Pengertian Dan Macam Putusan Perdata [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM PUTUSAN Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Sedangkan akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.



Ada berbagai jenis Putusan Hakim dalam pengadilan sesuai dengan sudut pandang yang kita lihat. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai berikut :



1.



Putusan Akhir –



adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua



tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan







Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah



mengakhiri pemeriksaan yaitu :



1.



putusan gugur



2.



putusan verstek yang tidak diajukan verzet



3.



putusan tidak menerima



4.



putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa –



Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang menentukan lain



2. Putusan Sela







adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk



memperlancar jalannya pemeriksaan







putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetaoi akan berpengaruh terhadap arah dan



jalannya pemeriksaan







putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah, melainkan ditulis



dalam berita acara persidangan saja







Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh



majelis hakim dan panitera yang turt bersidang







Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya



dipertimbangkan pula pada putusan akhir







Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan



keyakinannya







Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir.







Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sh dari putusan itu dengan



biaya sendiri



Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, putusan dibagi sebagai berikut :



1.



Putusan gugur







adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena



penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan







putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan



gugatan/permohonan







putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat :



1.



penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu



2.



penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah



3.



Tergugat/termohon hadir dalam sidang



4.



Tergugat/termohon mohon keputusan –



dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula



diputus gugur







dalam putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar biaya perkara







tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi



2. –



Putusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah



dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan







Verstek artinya tergugat tidak hadir







Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan



pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan patut







Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :



1.



Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu



2.



Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah



3.



Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan



4.



Penggugat hadir dalam sidang



5.



Penggugat mohon keputusan –



dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus verstek.







Putusan verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belummenilai secara materiil



kebenaran dalil-dalil tergugat







Apabila gugatan itu beralasam dan tidak melawan hak maka putusan verstek berupa



mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali dalam perkara perceraian







Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan verstek dapat berupa



tidak menerima gugatan penggugat dengan verstek







Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet)







Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia menggunakan hak verzetnya lebih



dahulu, kecuali jika penggugat yang banding







Terhadap putusan verstek maka penggugat dapat mengajukan banding







Apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan verzet,



melainkan ia berhak pula mengajukan banding







Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran dalil-dalil



tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan verstek







Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan



dilanjutkan pada tahap selanjutnya







Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat







Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil



pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan penggugat







Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir akan



menguatkan verstek







Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding







Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan



sendirinya menjadi putusan akhir yang telah mempero;eh kekuatan hukum tetap



3. –



Putusan kontradiktoir adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah



satu atau para pihak







dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat



pernah hadir dalam sidang







terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding



Jika dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut:



1.



Putusan tidak menerima –



yaitu putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan



penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil







Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh hakim, maka hakim selalu menjatuhkan



putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak menerima gugatan penggugat







Meskipun tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan gugatan



penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi







Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam hal



verstekyang gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban







Putusan tidak menerima belum menilai pokok perkara (dalil gugat) melainkan baru menilai



syarat-syarat gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa.







Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir







Terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan perkara baru.



Demikian pula pihak tergugat







Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang mengadili suatu perkara



merupakan suatu putusan akhir



2. Putusan menolak gugatan penggugat –



yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan dimana



ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti







Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu memeriksa



apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili



3.



Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya







Putusan ini merupakan putusan akhir







Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak



memenuhi syarat sehingga :







Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan







Dalil gugat yang tidak terbukti makan tuntutannya ditolak







Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan tidak diterima



4. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya –



putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil



tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti







Untuk mengabulka suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum mungkin didukung



oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti







Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil gugat



Sedangkan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai berikut :



1.



Putusan Diklatoir –



yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi



menurut hukum







semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk penetapan atau



besciking







putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan







putusan diklatoir tidak memerlukan eksekusi







putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya



memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada



2. –



Putusan Konstitutif Yaitu suatu pitusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan



keadaan hukum sebelumnya.







Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan



keperdataan satu sama lain







Putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi







Putusan konstitutif diterangkan dalam bentuk putusan







Putusan konstitutif biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan



bertalian langsug dengan pokok perkara, misalnya memutuskan perkawinan, dan sebagainya –



Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan huum tetap



3. Putusan Kondemnatoir –



Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu,



atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi







Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius







Putusab kondemnatoir sekaku berbunyi “menghukum” dan memerlukan eksekusi







Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela, maka atas



permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang memutusnya







Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer



baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta)







1.



Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk



menyerahkan suatu barang



2.



membayar sejumlah uang



3.



melakukan suatu perbuatan tertentu



4.



menghentikan suatu perbuatan/keadaan



5.



mengosongkan tanah/rumah



PELAKSANAAN PUTUSAN Di dalam dunia peradilan, ada beberapa jenis pelaksanaan putusan yaitu :



1.



putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang



2.



putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan



3.



putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap



4.



eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang Selanjutnya didalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :



1.



Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal :



2.



Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara suka rela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua pengadilan agama



3.



Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi



4.



Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama



1.



pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu



2.



pelaksanaan putusan provinsi



3.



pelaksanaan akta perdamaian



4.



pelaksanaan Grose Akta Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, PTA tidak berwenang melaksanakaan eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut :



1.



Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan



2.



Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan Agama, surat perintah dikeluarkan apabila : –



tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah







tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan



3. Dilaksanakan oleh panitera atau juru sita 3. Pelaksanaan sita eksekusi harus dibantu oleh dua orang saksi : –



Keharusan adanya dua saksi merupakan syarat sah sita eksekusi







Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu sekaligus sebagai saksi sita eksekusi







Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam berita acara sita eksekusi







Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat :



1.



telah berumur 21 tahun



2.



berstatus penduduk Indonesia



3.



memiliki sifat jujur



4.



Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi



5.



Membuat berita acara sita eksekusi yang memuat :



6.



Penjagaan yuridis barang yang disita diatur sebagai berikut :



7.



Ketidak hadiran tersita tidak menghalangi sita eksekusi



1.



nama, pekerjaan dan tempat tinggal kedua saksi



2.



merinci secara lengap semua pekerjaan yang dilakuan



3.



berita acara ditanda tangani pejabat pelaksana dan kedua saksi



4.



pihak tersita dan jga kepala desa tidak diharuskan, menurut hukum, untuk ikut menanda tangani berita acara sita



5.



Isi berita acara sita harus diberi tahukan kepada pihak tersita, yaitu segera pada saat itu juga apabila ia hadir pada eks penyitaan tersebut, atau jika tidak hadir maka dalam waktu yang secepatnya segera diberitahukan dengan menyampaikan di tempat tinggalnya



1.



Penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada di tangan tersta



2.



Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilakukan penjualan lelang



3.



Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain



4.



Penguasaan penjagaan tersebut harus disebutkan dalam berita acara sita



5.



Mengenai barang yang bisa habis dalam pemakaian, maka tidak boleh dipergunakan dan dinikmati oleh tersita Rate this:



Rate This Share it all 



Twitter







Facebook







Google



 Loading...



Mediasi Posted: April 28, 2014 in Hukum Acara Perdata



0



Efektivitas lembaga mediasi yang dihadapkan pada ketidakseimbangan akan memicu adanya penyelewengan dari fungsi mediasi. Ketidakseimbangan itu sendiri diartikan adanya perbedaan kekuatan antara pihak-pihak yang bersengketa, perbedaan itu meliputi status sosial, politik dan ekonomi. Sehingga perbedaan itu mengakibatkan perlakuan hukum yang tidak adil, dan secara langsung akan menimbulkan penyelewengan terhadap fungsi mediasi.



Sebenarnya di dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu pada pasal 2 ayat (1) yang mengatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator, hal ini berarti mediasi adalah wajib untuk dilaksanakan. Kemudian di dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut juga disebutkan di dalam hal menimbang bahwa fungsi mediasi adalah:







Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrument efektif mengatasi kemungkinan perkara di pengadilan.







Mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian sengketa yang dihadapi.







Institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pangadilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses pengadilan yang besifat memutus (ajudikatif). Analisa : Perbedaan yang meliputi status sosial, politik dan ekonomi pada pihak-pihak yang bersengketa adalah hal yang wajar. Karena pada dasarnya suatu persengketaan atau perselisihan yang terjadi tidak pernah melihat perbedaaan terlebih dahulu, dengan kata lain persengketaan atau



perselisihan adalah hal yang langsung terjadi tanpa harus melihat perbedaan. Sekarang bagaimana caranya agar pihak yang memiliki status sosial yang tinggi mampu dicegah untuk melakukan penyelewengan, karena pada umumnya orang yang status sosialnya tinggi memiliki kekuasaan yang tinggi pula. Kekuasaan itulah yang sering digunakan untuk melobi atau menekan mediator. Masalah seperti ini masih menjadi momok bagi kita dan pemerintah yang sampai saat ini terus berusaha menumpas KKN.



Ketika mediasi dihadapkan pada ketidakseimbangan, maka salah satu jalan keluarnya terletak pada mediator, tentunya mediator disini adalah mediator yang baik,dimana dia harus bersikap netral (non intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa, serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. dengan demikian mediator hanya bertindak sebagai fasilitator saja.



Pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai “penengah” yang membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Seorang mediator juga akan membantu para pihak untuk membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah yang perlu dihadapi secara bersama. Selain itu, juga guna menghasilkan kesepakatan, sekaligus seorang mediator harus membantu para pihak yang bersengketa untuk merumuskan berbagai pilihan penyelesaian sengketanya. Tentu saja pilihan penyelesaian sengketanya harus dapat diterima oleh kedua belah pihak dan juga dapat memuaskan kedua belah pihak. Setidaknya peran utama yang mesti dijalankan seorang mediator adalah mempertemukan kepentingan-kepentingan yang saling berbeda tersebut agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai pangkal tolak pemecahan masalahnya.Selain itu Mediator akan sering bertemu dengan para pihak secara pribadi. Dalam pertemuan ini yang disebut caucus (pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung No.02 tahun 2003) mediator biasanya dapat memperoleh informasi dari pihak yang tidak bersedia saling memberi informasi. Di dalam PERMA No.02tahun 2003 diatur pula mengenai mediator diantaranya pasal 8-13. Negara dalam artian pemerintah juga diharuskan mencetak atau mendidik para mediator-mediator secara resmi yang terikat oleh sumpah jabatan, sehingga mediator-mediator berikut lembaganya menjadi bersifat formal. Dan para pihak bersengketa secara prosedural harus memilih diantara beberapa mediator tersebut. Dengan peraturan yang sudah ada, tepatnya dalam PERMA No. 02 tahun



2003 pada Bab IV pasal 16 mengenai tempat dan biaya dimana disebutkan bahwa mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak, dalam hal ini di desa. Sehingga langkah mendirikan lembaga mediasi sengketa tingkat desa merupakan langkah inovatif guna mengembangkan mediasi sebagai penyelesaian sengketa. Rate this:



Rate This Share it all 



Twitter







Facebook







Google



 Loading...



Upaya Hukum dalam Hukum Acara Perdata Posted: April 28, 2014 in Hukum Acara Perdata



0 A. Upaya Hukum Biasa



Upaya hukum biasa terdiri dari tiga bagian (akan tetapi didalam KUHP hanya diatur mengenai banding dan kasasi), yaitu :



a. Verzet



Verzet adalah perlawanan terhadap putusan diluar hadirnya terdakwa (putusan verstek) yang hanya menyangkut perampasan kemerdekaan terdakwa. Verzet diajukan ke pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam waktu dan hari sesudah putusan



diberitahukan secara sah kepada terdakwa. Akibat diajukannya verzet maka putusan verstek dianggap gugur.



Pengadilan yang menerima verzet harus menentukan hari sidang. Apabila verzet telah diajukan dan putusannya tetap berupa perampasan kemerdekaan terdakwa, maka terhadap putusan tersebut dapat diajukan banding.



b. Pemeriksaan Tingkat Banding



.Putusan pengadilan yang bisa diajukan banding adalah :



• Putusan yang bersifat pemidanaan.



• Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.



• Putusan dalam perkara cepat yang menyangkut perampasan kemerdekaan terdakwa.



• Putusan pengadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidik atau penuntutan.



Upaya hukum luar biasa diajukan terhadap putusan pengadilan yang telahmempunyai kekuatan hukum yang tetap, dimana upaya hukum biasa tidak dimungkinkan lagi dilakukan.



Ad.1.a. Upaya Hukum Biasa: Perlawanan/Verzet



Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat (putusan verstek). Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam pasal 129 HIR. Verzet dapat dilakukan dalam tempo/tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah putusan putusan verstek diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir. Syarat verzet adalah (pasal 129 ayat (1) HIR):



1. keluarnya putusan verstek



2. jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari; dan



3. verzet dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum dimana penggugat mengajukan gugatannya.



Ad.1.b. Upaya Hukum Biasa: Banding



Adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947). Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:



1. ada pernyataan ingin banding



1.



panitera membuat akta banding



2.



dicatat dalam register induk perkara



3.



pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.



4.



pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra memori banding. Ad.1.c. Upaya Hukum Biasa: Kasasi



Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir. Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah:



1.



tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas wewenang;



2.



salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku;



3.



lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Ad.2.a. Upaya Hukum Luar Biasa: Peninjauan Kembali



Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undangundang, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan huikum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkempentingan. [pasal 66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004] Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu: a. Ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana yang dinyatakan palsu; b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemuksn; c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut; d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; e. apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu kekeliruan yang nyata. Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. (pasal 69



UU 14/1985). Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir (pasal 70 UU no 14/1985).



Ad.2.b Upaya Hukum Luar Biasa: Denderverzet



Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Dasar hukumnya adalah 378-384 Rv dan pasal 195 (6) HIR. Dikatakan sebagai upaya hukumluar biasa karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat dan tergugat) dan tidak mnegikat pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh sebab itu dikatakanluar biasa). Denderverzet diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama. Rate this:



Rate This Share it all 



Twitter







Facebook







Google



 Loading...



Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Posted: April 28, 2014 in Hukum Acara Perdata



0



Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupu oleh tergugat selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut. Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya.Sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi. Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan hakim sebagai aparatur negara dan sebagai wakil Tuhan yang melaksanakan peradilan harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam perundang-undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.



Arti putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar ara pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja tetapi juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan diucapkan oleh hakim di muka sidang karena jabatan ketika bermusyawarah hakim wajib mencukupkan semua alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan.Hakimmenjatuhkan putusan atas hahal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih dari yang digugat. Bentuk penyelesaian perkara dibedakan atas 2 yaitu: 1.



Putusan / vonis



2.



Penetapan / beschikking Suatu putusan diambil untuk suatu perselisihan atau sengketa sedangkan suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatupermohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan yuridiksi voluntain. 2.2 Susunan dan Isi Putusan Hakim



Putusan hakim terdiri dari: 1. Kepala putusan



Suatu putusan haruslan mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) UU No. 14 / 1970 kepala putusan ini memberi kekuatan eksektorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut. 2. Identitas pihak yang berperkara.



Didalam putusan harus dimuat identitas dari pihak: nama, alamat, pekerjaan dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan kepada orang lain. 3. Pertimbangan atau alasan-alasan.



Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas duabagian yaitu pertimbangan tentang dudu perkara dan pertimbangan tentang hukumnya.



Pasal 184 HIR/195 RBG/23 UU No 14/1970 menentukan bahwa setiap putusan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan. Putusan yang kurang cukup pertimbangan merupakan alasan untuk kasasi dan putusan harus dibatalkan, MA tanggal 22 Juli 1970 No. 638 K / SIP / 1969; MA tanggal 16 Desember 1970 No. 492 / K / SIP / 1970.Putusan yang didasarkan atau pertimbangan yang menyipang dari dasar gugatan harus dibatalkan MA tanggal 01 September 1971 No 372 K / SIP / 1970. 4. Amar atau diktum putusan.



Dalam amar dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu.Dalam diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atau pokok perselisihan.



2.3 Macam-Macam Putusan Hakim Putusan hakim dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: 1.



Putusan sela (tussen vonnis) Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.Dalam hukum acara dikenal macam putusan sela yaitu:



1.



Putusan preparatuir Yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir.



1.



Putusan inferlocutoin Yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena putusan ini menyangkut pembuktian maka putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir.



c. Putusan lucidentiel



Yaitu putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.



d. Putusan provisional



Yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. 2. Putusan akhir



Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan MA. Macam-macam putusan akhir antara lain:



a. Putusan condemnatior



Yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi. b. Putusan declaratory



Yaitu putusan yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum.



c. Putusan konstitutif



Yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru. Dari ketiga sifat putusan diatas maka putusan yang memerlukan pelaksanaan (eksekusi) hanyal yang bersifat condemnatior. 2.4 Kekuatan Putusan Hakim Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14 / 1970 adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.



Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu.



Macam-macam putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu: 1. Kekuatan pembuktian mangikat



Putusan ini sebagai dokumen yang merupakan suatu akta otentik menurut pengertian Undang-Undang sehingga tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat antara pihak yang berperkara, tetapi membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebut dalam putusan itu.



2. Putusan eksekutorial



Yaitu kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan aparat keamanan terhadap pihak yang tidak menantinya dengan sukarela



3. Kekuatan mengajukan eksepsi (tangkisan)



Yaitu kekuatan untuk menangkis suatu gugatan baru mengenai hal yag sudah pernah diputus atau mengenai hal-hal yang sama berdasarkan asas nebis inidem (tidak boleh dijatuhkan putusan lagi dalam perkara yag sama) Rate this:



Rate This Share it all 



Twitter







Facebook







Google



 Loading...



Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata Posted: April 28, 2014 in Hukum Acara Perdata



0 A. Pengertian Pembuktian



Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting. Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum formal bertujuan hendak memelihara dan mempertahankan hukum material. Jadi secara formal hukum pembuktian itu mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam RBg dan HIR. Sedangkan secara materil, hukum pembuktian itu mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut. Dalam jawab menjawab di muka sidang pengadilan,



pihak-pihak yang berperkara dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan dasar untuk meneguhkan hak perdatanya ataupun untuk membantah hak perdata pihak lain. Peristiwaperistiwa tersebut sudah tentu tidak cukup dikemukakan begitu saja, baik secara tertulis maupun lisan. Akan tetapi, harus diiringi atau disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu harus disertai pembuktian secara yuridis.Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan ( juridicto contentiosa ) maupun dalam perkaraperkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan ( juridicto voluntair ).Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benarbenar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya tersebut akan ditolak, namun apabila sebaliknya maka gugatannya tersebut akan dikabulkan.Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan : “ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.” Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam hal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara tersebut yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam melakukan pembuktian seperti yang telah disebutkan di atas, para pihak yang berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan perkara di persidangan harus mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat bukti serta kekuatan alat-alat bukti tersebut, dan sebagainya. Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR ( Herziene Indonesische Reglement ) yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai dengan Pasal 177; RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten ) berlaku diluar wilayah Jawa dan Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314; Stb. 1867 No. 29 tentang kekuatan pembuktian akta di bawah tangan; dan BW ( Burgerlijk Wetboek ) atau KUHPerdata Buku IV Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945. B. Prinsip Hukum Pembuktian



Prinsip-prinsip dalam hukum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud.



1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang ( negatief wettelijk stelsel, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki. Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP.



Namun, tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil ( formeel waarheid ). Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil



Dalam rangka mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai pegangan bagi hakim maupun bagi para pihak yang berperkara.



a. Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif



Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai halhal yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas pada mencari dan menemukan kebenaran formil, dimana kebenaran tersebut diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung. Sehubungan dengan sifat pasif tersebut, apabila hakim yakin bahwa apa yang digugat dan diminta penggugat adalah benar, tetapi penggugat tidak mampu mengajukan bukti tentang kebenaran yang diyakininya, maka hakim harus menyingkirkan keyakinan itu dengan menolak kebenaran dalil gugatan, karena tidak didukung dengan bukti dalam persidangan Makna pasif bukan hanya sekedar menerima dan memeriksa apa-apa yang diajukan para pihak, tetapi tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran fakta yang diajukan ke persidangan, dengan ketentuan :



(1) Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan. Semuanya itu menjadi hak dan kewajiban para pihak. Cukup atau tidak alat bukti yang diajukan terserah sepenuhnya kepada kehendak para pihak. Hakim tidak dibenarkan membantu pihak manapun untuk melakukan sesuatu, kecuali sepanjang hal yang ditentukan undang-undang. Misalnya berdasarkan Pasal 165 RBg/139 HIR, salah satu pihak dapat meminta bantuan kepada hakim untuk memanggil dan menghadirkan seorang saksi melalui pejabat yang berwenang agar saksi tersebut menghadap pada hari sidang yang telah ditentukan, apabila saksi yang bersangkutan relevan akan tetapi pihak tersebut tidak dapat menghadirkan sendiri saksi tersebut secara sukarela.



(2) Menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di persidangan, untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim.



3) Pemeriksaan dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan penggugat dalam gugatan. Hakim tidak boleh melanggar asas ultra vires atau ultra petita partium yang digariskan Pasal 189 RBg.yang tidak diminta atau mengabulkan lebih daripada yang digugat. b. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta



Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta. Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada fakta-fakta yang mendukungnya.



1) Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas yang diajukan dalam persidangan.



Para pihak diberi hak dan kesempatan menyampaikan bahan atau alat bukti, kemudian bahan atau alat bukti tersebut diserahkan kepada hakim. Bahan atau alat bukti yang dinilai membuktikan kebenaran yang didalilkan pihak manapun hanya fakta langsung dengan perkara yang disengketakan. Apabila bahan atau alat bukti yang disampaikan di persidangan tidak mampu membenarkan fakta yang berkaitan dengan perkara yang disengketakan maka tidak bernilai sebagai alat bukti.



2) Fakta yang terungkap di luar persidangan.



Di atas telah dijelaskan bahwa hanya fakta-fakta yang diajukan di persidangan yang dapat dinilai dan diperhitungkan untuk menentukan kebenaran dalam mengambil putusan. Artinya, fakta yang dapat dinilai dan diperhitungkan hanya yang disampaikan oleh para pihak kepada hakim dalam persidangan. Hakim tidak dibenarkan menilai dan memperhitungkan fakta-fakta yang tidak diajukan pihak yang berperkara. Misalnya, fakta yang ditemukan hakim dari surat kabar atau majalah adalah fakta yang diperoleh hakim dari sumber luar, bukan dalam persidangan maka tidak dapat dijadikan fakta untuk membuktikan kebenaran yang didalilkan oleh salah satu pihak. Walaupun sedemikian banyak fakta yang diperoleh dari berbagai sumber, selama fakta tersebut bukan diajukan dan diperoleh dalam persidangan maka fakta tersebut tidak dapat dinilai dalam mengambil putusan. Meskipun banyak orang yang memberitahukan dan menunjukkan fakta kepada hakim tentang kebenaran perkara yang disengketakan,fakta tersebut harus ditolak dan disingkirkan dalam mencari kebenaran atas perkara dimaksud. Fakta yang demikian disebut out of court, oleh karena itu tidak dapat dijadikan dasar mencari dan menemukan kebenaran.



3) Hanya fakta berdasar kenyataan yang bernilai pembuktian.



Selain fakta harus diajukan dan ditemukan dalam proses persidangan, fakta yang bernilai sebagai pembuktian, hanya terbatas pada fakta yang konkret dan relevan yakni jelas dan nyata membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan perkara yang disengketakan. Dengan kata lain,alat bukti yang dapat diajukan hanyalah yang mengandung fakta-fakta konkret Sedangkan fakta yang abstrak dalam hukum pembuktian dikategorikan sebagai hal yang semu, oleh karena itu tidak bernilai sebagai alat bukti untuk membuktikan sesuatu kebenaran.