5 0 207 KB
KELOMPOK I 1.
Fhitrah tambiyo
2117011
2.
Stefani Kasim
2117010
3.
Ikhsan Pou
2117012
4.
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN GEMA INSAN AKADEMIK MAKASSAR 2019
A.
Latar belakang Etika adalah aturan bertindak atau berperilaku dalam suatu masyarakat tertentu atau komunitas. Aturan bertindak ini ditentukan oleh setiap kelompok masyarakat, dan biasanya bersifat turun-temurun dari generasi ke generasi, serta tidak tertulis. Sedangkan hukum adalah aturan berperilaku masyarakat dalam suatu masyarakat atau negara yang ditentukan atau dibuat oleh para pemegang otoritas atau pemerintah negara, dan tertulis. Baik etika maupun hukum dalam suatu masyarakat mempunyai tujuan yang sama, yakni terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib, aman, dan damai. Oleh sebab itu, semua anggota masyarakat harus mematuhi etika dan hukum ini. Apabila tidak, maka bagi para pelanggar kedua aturan perilaku ini memperoleh sanksi yang berbeda. Bagi pelanggar etika sanksinya adalah “moral”, sedangkan bagi pelanggar hukum, sanksinya adalah hukuman (pidana atau perdata). Petugas kesehatan dalam melayani masyarakat, juga akan terikat pada etika dan hukum, atau etika dan hukum kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan masyarakat, perilaku petugas kesehatan harus tunduk pada etika profesi (kode etik profesi) dan juga tunduk pada ketentuan hukum, peraturan dan perundangundangan yang berlaku. Apabila petugas kesehatan melanggar kode etik profesi, maka akan memperoleh sanksi “etika” dari organisasi profesinya. Dan mungkin juga apabia melanggar ketentuan peraturan atau perundang-undangan, juga akan memperoleh sanksi hukum (pidana atau perdata). Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam
konteks
pemahaman
masyarakat
majemuk,
selain
kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga
terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulaupulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuanpertemuan
dengan
kebudayaan
luar
juga
mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan
tingkat
keaneragaman
budaya
atau
tingkat
heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan. B.
Rumusan masalah 1. Pengertian Etika dan ethical awareness health care 2.
A.
Pengertian Etika dan ethical awareness health care Dalam arti yang sempit, pelayanan kesehatan adalah suatu tindakan pemberian obat-obatan dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat. lebih
menekankan
bagaimana
pelayanan
Konsep ini
publik
terutama
pelayanan kesehatan berhasil diberikan melalui suatu sistem yang sehat. Pelayanan kesehatan ini dapat dilihat sehari-hari di RSUD
ataupun
puskesmas-puskesmas.
Tujuan
pelayanan
kesehatan adalah menyediakan obat-obatan dan pelayanan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Obat-obatan dan pelayanan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan kesehatan yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap masyarakat, kalau perlu melebihi harapan masyarakat. Dalam arti yang luas, konsep pelayanan kesehatan (health service) identik dengan memberikan pelayanan jasa demi kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks ini pelayanan kesehatan lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemenelemen pelayan kesehatan seperti para tim medis melakukan pelayanan,
dimana
pelayanan
kesehatan
identik
dengan
pengobatan yang merupakan bagian dari manajemen ilmu kesehatan.
1.
Pentingnya Etika Pelayanan Kesehatan Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan
antara administrasi dan politik (dikotomi)
menunjukan bahwa administrator harus sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan
kesehatan.
salah
satunya
jasa
pelayanan
kesehatan. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian
mulai
administrator
ditujukan
dalam
kepada
keterlibatan
keputusan-keputusan
publik
para dalam
kebijakan pentingnya pelayanan kesehatan. Sejak saat ini dimata masyarakat mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para tim medis yang beprofesi dibidang pelayanan kesehatan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau para tim medis dibidang pelayanan kesehatan
tidak semata
didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip
administrasi
lainnya,
tetapi
juga
kriteria
moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995). Alasan mendasar mengapa pelayanan kesehatan harus diberikan adalah adanya public interest atau kepentingan masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah terutama dibidang pelayanan kesehatan, karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf
besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadarminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebaga 1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; 2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan 3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu a) Etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistem nilai”. b) Etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering
dikenal dengan “kode etik”; c) Sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali
disebut “filsafat moral”. Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah tentang pembedaan atas konsep etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri – yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak
pernah
diperbolehkan.
Sementara
etiket
menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia,
dan berlaku hanya dalam pergaulan atau berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan cara yang kurang sopan menurut kebudayaan
tertentu,
tapi
tidak
ada
persoalan
bagi
kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan
etika
yang
cenderung
berlaku
universal
dan
menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin. 2.
Beberapa Permasalahan Etika Pelayanan Kesehatan Realita yang terjadi saat ini, terkait dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) menjadi tidak relevan ditengah masyarakat yang membutuhkan pelayanan dan penanganan sesuai dengan tujuan diadakannya program kesehatan Gratis, program yang satu ini terlalu indah ditelinga
Rakyat,
namun
apakah
realita
yang
terjadi
dilapangan, apakah seindah pemaparan didalam tujuan pokok diadakannya program itu, ataukah memang lahan bisnis bagi Oknum-oknum tertentu, seperti halnya yang dialami oleh Penderita Tumor Ganas atas nama Salahudin warga Dusun Madalibi Desa Madaprama, Kecamatan Woja Kabuapten Dompu ,Salahuddin terdaftar sebagai peserta Jamkesmas pada PPK : 23050101- Puskemas Dompu Barat, No. Peserta 0002512250605, atau kepesertaan : P/I/S/A peserta tanggal lahir 01/07/1972, yang sudah sejak tanggal 20/10/2010 masuk Rumah Sakit Umum Dompu Akibat luka dalam yang dialaminya pada rusuk bagian kiri, selama dua hari menginap dirumah sakit yakni pada ruangan perawatan kelas I dengan harga Rp. 30.000,- (Tiga Puluh Ribu Rupiah) Per hari total Rp. 60.000,- (Enam Puluh Ribu Rupiah) selama dua hari, ditambah dengan biaya lain-lain sampai dengan Rp 363,000,- (tiga Ratus Enam Puluh Tiga Ribu Rupiah),
Pembayaran berdasarkan ketentuan pihak Rumah Sakit, yang memang pada saat awal masuk rumah Sakit, di Tanya oleh petugas Rumah Sakit “apakah mau masuk kelas I atau Kelas II pak/bu?”, kira-kira begitu dicontohkan oleh salah satu petugas RSUD dibagian yang menangani Jamkesmas, pada saat Dinamika Info News menelusuri apakah nama Salahudin terkafer atau tidak sebagai peserta Jamkesmas diruang registrasi Jaminan Kesehatan gratis RSUD Dompu, 28/03/11. Begitu juga penjelasan keluarga penderita, justru ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh pihak rumah sakit bahwa kelas yang akan di masuki oleh pasien adalah kelas I atau Kelas II, beberapa keluarga penderita tumor yang enggan disebut namanya pada saat dikonfirmasi Majalah Dinamika Info News dikediamannya di Desa Madaprama 27/03/11. Keluarga penderita mengeluhkan, sungguh Ironisnya, pihak Rumah Sakit sudah mengetahui bahwa calon pasien itu memiliki Kartu Jaminan Kesehatan secara gratis, kenapa justru dipertanyakan lagi, sementara untuk JAMKESMAS hanya kelas III yang bisa dipakai untuk tempat merawat penderita, “inikan sama halnya program tersebut dibisniskan”, keluhnya. Disamping penjelasan tentang ruang mana saja yang berhak dipakai untuk merawat peserta JAMKESMAS yang tidak jelas, yang terkesan menunjuk alias mengarahkan, penderita agar menempati ruang yang ditunjuk oleh pihak Rumah Sakit Umum Dompu, imbuhnya. Komentar pihak Dokter RSUD Dompu, begini pak!, “ruangan kelas III, ruangan itu saja yang digratiskan,” kalau ruangan I dan II itu, ruangan untuk pasien Askes Pegawai dan orang –orang tertentu saja, cetus salah satu yang mengetahui bahwa Data Jamkesmas untuk nama Salahudin
terdaftar
sebagai
peserta
pada
program
Pemerintah
khususnya Jaminan Kesehatan Gratis Masyarakat itu dengan berapi-api, sambil menarik tanda bukti pembayaran Rumah Sakit yang dibayarkan Keluarga Salahudin pada saat merawat tujuh bulan yang lalu. Ditempat terpisah dr. H. Ahmad Faisal, spA. Selaku Direktur
pada
Rumah
Sakit
Umum
Dompu
(RSUD)
membantah kalau pihaknya yang menolak Jamkesmas yang dimiliki
oleh
Salahudin,
apalagi
menyarankan
kepada
penderita maupun keluarganya untuk masuk kelas lain selain kelas yang sudah ditentukan untuk Program Kesehatan Gratis ini, ditambahkannya hal senada mungkin saja pihak pasien yang ada Kartu Jamkesmasnya ini namun tidak terdaftar diregistrasi sebagai peserta pada program itu, jika Salahudin terdaftar di registrasi itu, tidak ada alasan pihak Rumah Sakit untuk membebankan kepada pasien dengan biaya-biaya, jelasnya pada saat dikonfirmasi media ini diruang kerjanya 28/03/11. Pelayanan
Kesehatan
yang
diharapkan
adalah
pelayanan yang bermutu walaupu harus dibayar, bagaimana jikalau
digratiskan,
sementara
yang
dibayar
sekalipun
sakitnya tak kunjung sembuh alias makin parah, “Perut itu, kian hari makin buncit”, sementara pihak keluarga penderita sudah menyurat Kepada Dinas terkait, Bupati Dompu, dan DPRD, namun sejauh ini belum ada tanggapan serius dari pihak-pihak diatas, keluhnya. Pihak keluarga mengharapkan agar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Dompu “Mundur dari jabatan” jika tidak tanggap dengan persoalan rakyat, ungkapnya. Dilanjutkannya,
bahwa
pihak
Dinas
Kesehatan
Kabupaten Dompu, “senagaja tutup mata dengan pederitaan yang dialami oleh Penderita tumor Ganas seperti Salahudin
ini, dan masih banyak persoalan yang sama diluar sana, yang sama sekali diduga minimnya sosialisasi khususnya tentang kesehatan masyarakat lainnya yang ada di Kabupaten Dompu. oleh karena itu, diharapkan Kepada pengambil kebijakan agar jangan ada lagi Kepala Dinas yang hanya mementingkan menghiraukan
kepentingan keluhan
rakyat
dirinya yang
sendiri menjadi
tampa tanggung
jawabnya Kenyataan
menunjukan
bahwa
pemerintah
tidak
memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. 1) Berkenaan dengan karakteristik masyarakat umum yang terkadang
begitu
variatif
sehingga
perlakuan
khusus.
Mempekerjakan
membutuhkan pegawai
negeri
dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan
ketidak
adilan,
dimana
calon
yang
dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju 2) Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer saat ini. Alasan penting
lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan kesehatan sangat besar. Pelayanan kesehatan tidak
sesederhana
sebagaimana
dibayangkan,
atau
dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan kesehatan itu sendiri. 3) Kompleksitas pemberi
dan
ketidakmenentuan
pelayanan
kesehatan
ini
mendorong
mengambil
langkah-
langkah profesional yang didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada. Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan kesehatan (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan kesehatan yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang
semuanya
itu
nampak
dari
sifat-sifat
tidak
transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb 4) Pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Alasan utama yang menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan hukum dan perundang-undangan, sikap mental manusia,
nilai-nilai
sosial
budaya
yang
kurang
mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali, sistem pemerintahan, kedewasaan dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses “pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa. 5) Dibutuhkan Kode Etik dalam pelayanan kesehatan. Kode etik pelayanan kesehatan di Indonesia masih terbatas pada
beberapa
profesi
seperti
ahli
keperawatan,
kebidanan dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan
kesehatan
untuk
mengenyampingkan
kepentingan masyarakat umum. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai yang bekerja dibidang kesehatan. 6) Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan berlaku
norma-norma
moralitas
yang
dalam pelayanan kesehatan masih kurang
maksimal, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan
jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi beretika. 7) Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk
mendahulukan
kepentingan
tertentu
tanpa
memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang-orang elit atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam konteks
organisasi
masyarakat
yang
menghendaki
perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi masyarakat terutama dalam pelayanan kesehatan. 8) Berdasarkan hal sudah dikemukakan diatas, maka kita akan melihat apakah benar puskesmas menjadi sarana kesehatan yang tidak bermutu lagi dimasyarakat. Dalam hal ini, puskesmas dibawah tanggung jawab Dinas Kesehatan menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat, mulai dari preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif. Program Dinkes yang telah ada tidah sepenuhnya berjalan dengan lancar, dapat dilihat dari masih adanya masalah kesehatan yang ditemui dalam masyarakat, misalnya ditemukan wabah gizi buruk pada balita dibeberapa tempat di Indonesia. Hal ini tidak bisa sepenuhnya diserahkan pertanggung jawaban dari pihak puskesmas setempat. Mungkin saja dikarenakan peran serta masyarakat yang kurang terhadap lingkungan, dalam hal ini para ibu yang tidak memperhatikan gizi anaknya mulai dari lahir sampai dewasa. Konsep Perannya
puskesmas bukan
seharusnya
hanya
seperti
menjemput rumah
sakit
bola. yang
menunggu pasien berkunjung. Untuk daerah terpencil yang sulit dijangkau, puskesmas harus mendekat ke
masyarakat agar mereka tidak terlanjur sakit. Bila masyarakat tidak dibina, dari 4 program puskesmas yang harus
ada,
mereka
rentan
jatuh
sakit,
sehingga
puskesmas akan dinilai gagal karena pasien yang akan berobat akan semakin banyak, dan yang lebih parah apabila mereka mengeluh dengan penyakit
B.
Pengertian kebudayaan Sebelum
kita
memahami
keberagaman
kebudayaan
Indonesia, terlebih dahulu patut kiranya kita memahami arti kebudayaan
itu
sendiri,
kata
kebudayaan
dalam
bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan di artikan sebagai hal hal yang bersankutan dengan budi dan akal. Kata kebudayaan dalam bahasa inggris diterjemhkan dengan istilah culture. Dalam bahasa Belanda di sebut cultuur. Kedua bahasa ini di ambil dari bahasa latin colore yg berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah. Dengan demikian culture atau cultuur diartikan sebagai segala kegiatan manusiauntuk mengolah dan mengubah alam. ada pula yang berpendapat bahwa kata budaya dari budi daya yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa.
Definisi kebudayaan menurut para ahli, sebagai berikut: 1.
Melville J. Herkovits Memandang bahwa kebudayaan suatu yang superorganic karena kebudayaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi yang tetap hidup terus walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran.
2.
Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi Merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
3.
E. B Taylor Mengidentifikasikan bahwa kebudayaan sebagai komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat
istiadat serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat. 4.
Andes Eppink Kebudayaan merupakan keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur sosial, dan religius.
5.
Koentjaraningrat Kebudayaan merupakan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka memenuhi kehidupan manusia dengan cara belajar. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebudayaan Fischer
menyatakan bahwa pembentukan kebudayaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, sbb: 1.
Lingkungan Geografis
2.
Induk Bangsa
3.
Kontak Antar Bangsa dengan Berbagai Kebudayaan
Sifat-sifat dari kebudayaan, adalah sebagai berikut : 1.
Adaftif Kebudayaan bersifat adaptif, artinya kebudayaan selalu mampu menyesuaikan diri, sifat adaptif ini akan melengkapi manusia pendukungnya dengan menyesuaikan diri pada halhal seperti kebutuhan fisiolologis badan mereka sendiri, lingkungan fisik-geografis dan lingkungan sosial.
2.
Integratif Kebudayaan
bersifat
Integratif
artinya
kebudayaan
memadukan semua unsur dan sifatsifatnya menjadi satu, bukan sekumpulan kebiasaan yang terkumpul secara acakacakan saja. Karena itulah kebiasaan yang dimiliki dalam suatu kebudayaan tidak dapat dengan mudah dimasukan kedalam kebudayaan lain.
3.
Dinamis Kebudayaan bersifat dinamis artinya kebudayaan itu selalu berubah dan terus bergerak mengikuti dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat. Dinamika kehidupan sosial budaya terjadi sebagai akibat dari interaksi manusia dengan lingkungan sekitar, penafsiran-penafsiran atau interpretasi yang berubah tentang norma-norma, dan nilai-nilai sosial budaya yang berlaku Keragaman budaya adalah keniscayaan yang ada di bumi
Indonesia . keragaman budaya Indonesia adalah sesuatu yang tidak
dapat
di
pungkiri
keberadaanya.
Dalam
konteks
pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada di daerah tersebut. Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan 4 yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi
yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah singgungan antar peradaban itu. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal terbesar di pulau – pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami
dalam
wilayah
dengan
kondisi
geografis
yang
bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompokkelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan=pertemuan dengan budayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agamaagama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga mencerminkan kebudayaan agama tertentu. Bias di katakana bahwa Indonesia adalah salah satu Negara dengan tingkat keanekaragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragamanbudaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradisional hingga ke modern, dan kewilayahan. Dengan keanekaragaman kebudayaan Indonesia dapat dikatakan mempunyai keungulan di bandingkan dengan Negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah pentingnya, secara social budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang di rangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan di jalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda,namun juga meiliputi antar peradaban yang ada di dunia. Labuhnya kapal-kapal portugis di banten pada abad pertengahan missal nya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat
itu. Hubungan antar pedagang Gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban
yang
ada
di
Indonesia.
Singungan-singungan
peradaban ini pada 5 dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya local di tengah-tengah singgunagn antar peradaban itu. C.
Pengertian Moral Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tatacara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila.
Secara
terminologis,
terdapat
berbagai
rumusan
pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebagaimana
sebelumnya. dikutip
oleh
Sementara Bambang
itu
Daroeso
Wila
Huky,
(1986:
22)
merumuskan pengertian moral secara lebih komprehensip rumusan formalnya sebagai berikut : 1.
Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
2.
Moral
adalah
ajaran
tentang
laku
hidup
yang
berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
baik
3.
Moral
sebagai
tingkah
laku
hidup
manusia,
yang
mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik , sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. Agar diperoleh
pemahaman
yang lebih jelas perlu
diberikan ulasan bahwa substansi materiil dari ketiga batasan tersebut tidak berbeda, yaitu tentang tingkah laku. Akan tetapi bentuk formal ketiga batasan tersebut berbeda. Batasan pertama dan kedua hampir sama, yaitu seperangkat ide tentang tingkah laku dan ajaran tentang tingkah laku. Sedangkan batasan ketiga adalah tingkah laku itu sendiri Pada batasan pertama dan kedua, moral belum berwujud tingkah laku, tapi masih merupakan acuan dari tingkah laku. Pada batasan pertama, moral dapat dipahami sebagai nilai-nilai moral. Pada batasan kedua, moral dapat dipahami sebagai nilai-nilai moral atau norma-norma moral. Sedangkan pada batasan ketiga, moral dapat dipahami sebagai tingkah laku, perbuatan, atau sikap moral. Namun demikian semua batasan tersebut tidak salah, sebab dalam pembicaraan sehari-hari,
moral
sering
dimaksudkan
masih
sebagai
seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan tetapi lebih kongkrit dari itu , moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan, sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma. Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 237) etika diartikan sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sementara itu Bertens (1993: 6) mengartikan etika
sejalan dengan arti dalam kamus tersebut. Pertama, etika diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dengan kata lain, etika di sini diartikan sebagai sistem nilai yang dianut oleh sekelompok masyarakat dan sangat mempengaruhi tingkah lakunya. Sebagai contoh, Etika Hindu, Etika Protestan, Etika Masyarakat Badui dan sebagaimya. Kedua, etika diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, atau biasa disebut kode etik. Sebagai contoh Etika Kedokteran, Kode Etik Jurnalistik, 3 Kode Etik Guru dan sebagainya. Ketiga, etika diartikan sebagai ilmu tentang tingkah laku yang baik dan buruk. Etika merupakan ilmu apabila asas-asas atau nilai-nilai etis yang berlaku begitu saja dalam masyarakat dijadikan bahan refleksi atau kajian secara sistematis dan metodis. Sementara itu menurut Magnis Suseno, etika harus dibedakan dengan ajaran moral. Moral dipandang sebagai ajaranajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana ia harus bertindak, tentang bagaimana harus hidup dan bertindak, agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah orangorang dalam berbagai kedudukan, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan-tulisan para bijak seperti kitab Wulangreh karangan Sri Sunan Paku Buwana IV. Sumber dasar ajaran-ajaran adalah tradisi dan adat istiadat, ajaran agama-agama atau ideologiideologi tertentu. Sedangkan etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaranajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika adalah ajaranajaran moral tidakberada pada tingkat yang sama. Yang mengatakan, bagimana kita harus hidup bukan etika, melainkan ajaran moral. (Magnis Suseno, 1987; 14).
Pendapat Magnis bahwa etika merupakan ilmu tidak berbeda dengan Bertens, sebagaimana terminologinya yang ketiga tersebut, di samping pada bagian lain juga menyatakan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 1993: 4). Namun menurut Bertens, pengertian etika selain sebagai ilmu, juga mencakup moral, baik arti nilai-nilai moral, norma-norma moral, maupun kode etik. Adapun pendapat Magnis yang menyatakan etika sebagai filsafat juga sesuai dengan pandangan umum yang menempatkan etika sebagi salah satu dari enam cabang filsafat, yakni metafisika, epistemologi, metodologi, logika, rtika, dan estetika. Bahkan. oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles (384-322 s.M.), etika sudah digunakan dalam pengertian filsafat moral. Etika sebagai ilmu biasa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan meta etika. Etika deskriptif mempelajari tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat kebiasaan, pandangan tentang baik dan buruk, perbuatan yang diwajibkan, diperbolehkan, atau dilarang dalam suatu masyarakat, lingkungan budaya, atau periode sejarah. Sebagai contoh, pengenalan terhadap adat kawin lari di kalangan masyarakat
Bali,
yang
disebut
mrangkat
atau
ngrorod
(Koetjaraningrat, 1980: 288). Di sini, etika deskriptif tugasnya sebatas menggambarkan atau memperkenalkan dan sama sekali tidak memberikan penilaian moral. Pada masa sekarang obyek kajian etika deskpiptif lebih banyak dibicarakan oleh antropologi budaya, sejarah, atau sosiologi. Karena sifatnya yang empiris, maka etika deskriptif lebih tepat dimasukkan ke dalam bahasan ilmu pengetahuan dan bukan filsafat. Etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertangung-jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam perbuatan nyata. Berbeda dengan etika deskriptif,
etika
normatif
tidak
bersifat
netral,
melainkan
memberikan penilaian terhadap tingkah laku moral berdasar norma-norma mendeskripsikan
tertentu. atau
Etika
normatif
menggambarkan,
tidak melainkan
sekedar bersifat
preskriptif atau memberi petunjuk mengenai baik atau tidak baik, boleh atau tidak boleh-nya suatu perbuatan. Untuk itu di dalamnya dikemukakan argumenargumen atau diskusi-diskusi yang mendalam, dan etika normatif merupakan bagian penting dari etika. Adapun meta etika tidak membahas persoalan moral dalam arti baik atau buruk-nya suatu tingkah laku, melainkan membahas bahasa-bahasa moral. Sebagai contoh, jika suatu perbuatan dianggap baik, maka pertanyaannya adalah : apakah arti “baik” dalam perbuatan itu, apa ukuran-ukuran atau syaratsyaratnya untuk disebut baik, dan sebagainya. Pertanyaanpertanyaan semacam itu dapat juga dikemukakan secara kritis dan mendalam tentang makna dan ukuran adil, beradab, manusiawi, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya. Meta 5 etika seolah-olah bergerak pada taraf yang lebih tinggi dari pada perilaku etis, dengan begerak pada taraf bahasa etis (meta artinya melebihi atau melampui).
DAFTAR PUSTAKA Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut: Greenwood Press. Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N. J: Prentice-Hall International, Inc.
Koentjaraningrat. 2010. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan