Penguatan Islam Moderat Di Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



TANTANGAN DAN STRATEGI DALAM UPAYA PENGUATAN MODERASI BERAGAMA BAGI KALANGAN GENERASI MUDA FKUB * Oleh : Abu Hapsin PENDAHULUAN Kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi telah membuat proses globalisasi berjalan begitu cepat, memasuki kehidupan manusia yang tinggal baik di kota-kota besar maupun di pedesaan. Itulah karenanya persebaran isu-isu global tidak lagi ditentukan oleh kondisi tempat dimana kita tingal tetapi lebih banyak ditentukan oleh kemauan dan kenganan kita untuk mengunakan fasilitas dan teknologi informasi modern. Selama kita bersentuhan dengan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi modern, pengaruh globalisasi akan terasa sulit untuk dihindari. Pengaruh yang paling nyata dari globalisasi bagi kehidupan suatu bangsa seringkali ditandai dengan adanya perubahan tata nilai yang hidup dalam masyarakat. Bahkan negara yang tertutup sekalipun, secara perlahan tapi pasti, akan terkena dampak globalisasi. Tentu saja dampak globalisasi ini bisa positif dan bisa juga negatif. Secara positif kita bisa merasakan misalnya di bidang politik, demokratisasi terasa lebih berkembang, pemerintahan dijalankan secara lebih terbuka, akses masyarakat untuk melakukan kontrol juga semakin terbuka. Dalam bidang Hukum, perlindungan terhadap HAM semakin meningkat. Dalam bidang ekonomi, dengan terbukanya pasar internasional maka kesempatan untuk bersaing semakin terbuka. Dalam bidang sosial budaya, banyak hal positif yang terlahir dari budaya asing dapat diadopsi seperti etos kerja, disiplin waktu, prinsip kesetaraan dsb. Meski demikian globalisasi ini tidak selamanya berdampak positif. Dengan globalisasi ekonomi rasa cinta terhadap produk dalam negeri bisa jadi melemah. Banyak orang Indonesia yang lebih bangga datang ke Mc. Donald dari pada ayam goreng Mbok Berek, juga lebih bangga memakai produk luar negeri daripada produk dalam negeri sendiri. Globalisasi dalam aspek budaya bahkan telah banyak mengakibatkan mayarakat lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia. Secara sepintas kita menyaksikan banyak diantara mereka yang mengalami anomi. Faham individualisme, khususnya di perkotaan, juga semakin merebak. Model kehidupan kolektivitas yang selama ini menjadi ciri khas kehidupan bangsa Indonesia semakin memudar. Hal negatif lainya dari globalisasi adalah dampaknya yang begitu kuat terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia. Melalui globalisasi, gerakan keagamaan trans-nasional yang secara nyata berseberangan dengan gerakan moderasi Islam di Indonesia menyebar dengan begitu cepat di berbagai penjuru tanah air dan masuk kedalam semua aspek kehidupan (utamanya politik) dan segmen sosial.Gerakan keagamaan dari kalangan Islam moderat yang selama ini telah berjasa mengawal NKRI, Panacasila dan UUD 45 semakin tidak berdaya membendung arus faham dan gerakan Islam baru (“fundamentalisme”) yang masih energik. Dengan militansi yang diatur secara rythmic, organisasi yang rapih, dikemas dengan kemasan teknologi modern, cara berfikir keagamaan yang simplistis, dimainkan para aktor muda dengan latar belakang pendidikan umum, keadilan dan kepedulian sosial sebagai jargon *



Sebagai bahan diskusi pada acara Temu Generasi Muda FKUB Jateng, 30-31 Okt. 2019, Hotel Grand Wahid Salatiga. Sebagian dari makalah ini pernah disampaikan pada Seminar Nasional “Penguatan Islam Moderat di Indonesia” IAIN Walisongo, 23 Nopember 2013.



2 gerakan, tidak heran kalau gerakan Islam baru ini nampak lebih mudah menyebar dan diterima oleh masyarakat. Atas dasar latar belakang di atas, penulis akan mencoba mendiskusikan bagaimana melakukan penguatan peran kelompok-kelompok Islam moderat, lalu apa tantangannya serta strategi apa yang harus dibangun. TANTANGAN YANG DIHADAPI 1. Modernitas dan Isu-isu Global (Eksternal) Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk baik dari sisi bahasa, suku, ras, adat istiadat maupun agama. Kenyataan ini dapat melahirkan akibat ganda; disamping sebuah anugerah yang patut disyukuri karena merupakan kekayaan bangsa, juga bisa menjadi sebuah bencana, baik bencana sosial, politik dan kemanusiaan. Ditambah lagi dengan persebaran penganut agama yang terkonsentrasi pada pulaupulau tertentu, misal Hindu di Bali, Katolik di Flores, Protestan di Irian, Islam di Jawa, Madura, Sumatera dsb., maka tidak dapat dipungkiri kalau Indonesia merupakan sebuah bangsa yang rawan disintegrasi. Oleh karena itu keadaan ini harus disikapi dengan bijak agar pluralitas dan multikulturalitas tidak menjadi pemicu lahirnya konflik etnis maupun agama. Tantangan yang tidak kalah serious akhir-akhir ini muncul kembali ke permukaan. Sejak reformasi digulirkan, euporia kehidupan politik semakin menampakkan diri dalalm bentuknya yang beragam. Munculnya perda-perda yang berbau sektarian banyak bermunculan di berbagai daerah. Kelekatan etnisitas juga banyak muncul searah dengan diberlakukannya otonomi daerah. Meningkatnya ikatan kesukuan dan sektarianisme keagamaan yang belakangan muncul nampaknya telah berjalan berbarengan dengan pudarnya kesadaran masyarakat mengenai pemahaman wawasan kebangsaan. Sementara Pancasila yang seharusnya menjadi common ground dan common platform dalam bernegara dan berbangsa semakin kehilangan fungsi ideologisnya. Gerakan-gerakan tersebut tentu saja bukan hanya menjadi tantangan bagi kelangsungan moderasi Islam tetapi lambat laun bisa menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa. Sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, kelompok Islam moderat juga dihadapkan pada tantangan yang lahir akibat globalisasi. Globalisasi telah menyebabkan batas-batas serta identitas kenegaraan dan kebangsaan tergiring pada satu kesatuan wilayah yang mendunia (mondial) dan satu kesatuan ideologis. Keadaan inilah yang kemudian memunculkan isu global village dan global ethics. Akibatnya, tentu saja akan terjadi proses reduksi terhadap kekuatan ideologi keagamaan yang ditandai dengan munculnya faham humanisme secular untuk dijadikan acuan baku dalam menilai moralitas bangsa. Human rights muncul menjadi agama baru dan menjadi landasan moral bagi tatanan kehidupan dunia baru. Demokratisasi sebagai “saudara kembar” human rights juga telah menjadi tuntutan masyarakat. Sejalan dengan tuntutan demokratisasi dalam segala aspek kehidupan khususnya dalam aspek politik, maka isu kebebasan beragama menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dari sini maka munculah isu religious pluralism. Akibat lain dari tuntutan demokratisasi, juga telah memberikan imbas yang cukup kuat bagi kaum wanita untuk menuntut dilaksanakannya prinsip kesetaraan gender. Feminism, baik sebagai model pendekatan study maupun sebagai gerakan telah muncul sebagai suatu kekuatan “agama” baru. Dalam merespon isu-isu global di atas paling tidak umat Islam di Inodenesia bisa diklasifikasikan kedalam tiga kelompok. Pertama, ada kelompok Muslim yang larut serta menerima sepenuhnya. Kelompok kedua adalah mereka yang menolak



3 sepenuhnya isu-isu global karena Islam memiliki tatanan sosial politik maupun kultur sendiri. Karena Isu-isu global lahir dari dunia Barat modern, maka harus diposisikan sama haramnya dengan Barat. Kelompok ketiga adalah kelompok Muslim yang menerima isu-isu global namun dengan melakukan modifikasi dan penuh improvisasi agar tidak bertabrakan dengan tatanan nilai yang sudah sekian lama berlaku bagi masyarakat Islam Indonesia. Tentu saja sikap dari kelompok pertama bukan merupakan solusi karena meletakkan Islam bukan sebgai way of life. Islam telah terreduksi menjadi keyakinan individual dan diangapnya tidak memiliki otoritas untuk mengatur tatanan dunia baru. Sementara itu sikap dari kelompok kedua juga bukan merupakan solusi. Persoalan real yang dihadapi bangsa dan negara saat ini tentu saja tidak dapat dipecahkan dengan sikap romantis. Satu hal yang dapat merusak sikap realistik dalam beragama biasanya muncul saat para pemeluknya mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad mewujudkannya ke dalam zaman sekarang. Sikap romantis semacam inilah yang sering membuat pemeluk suatu agama menjadi utopis, suatu sikap yang melompat dari realitas karena ketidakmampuan untuk mengatasi terlebih lagi menciptakan realitas (Harb, 2007: 108). Visi keagamaan semacam ini, selama bisa diimbangi dengan kekuatan sikap toleran tidak menimbulkan bahaya. Tetapi jika semangat menjadikan masyarakat, bangsa atau negara agar berada pada prototipe tertinggi atau berada pada realitas surgawi tidak bisa diimbangi sikap toleran, maka radikalisme keagamaan kemungkinan besar akan terjadi. Dalam kontek politik, sikap utopis dapat mendorong para pemeluk suatu agama untuk mendirikan negara agama, atau negara teokratis, meskipun beberapa percobaan kontemporer tidak pernah membuktikan keberhasilannya. Rezim Taliban di Afghanistan, misalnya, melakukan kekejaman terhadap warganya atas nama syari’at Islam. Ide pendirian negara agama Yahudi yang dicetuskan oleh Rabi Mei Kahane telah berujung pada tindakan teror dan kekerasan atas nama agama terhadap warga Arab Palestina di daerah Judea dan Samaria. Di Amerika juga ada kelompok The Moral Majority yang dipimpin oleh Pendeta Jerry Falwell dan Christian Coalition yang didirikan oleh Pat Roberston yang menginginkan ajaran agama Kristen menjadi sumber hukum bagi negara (Kimball, 2003: 169-196). Di Indonesia, sikap utopis ini seringkali dimunculkan dalam gagasan yang berragam, dari mulai penerapan syari’at Islam untuk menggantikan sistem hukum yang ada hingga pendirian negara Islam. NKRI tidak lagi dianggap sebagai bentuk final sebagaimana hasil ijtihad atau penafsiran kelompok-kelompok Islam moderat. Kalau penafsiran mengenai bentuk negara yang ideal adalah teokratis, atau sistem khilafah sebagai mekanisme kepemimpinan yang sejalan dengan Islam, kemudian keduanya dianggap hasil ijtihad politik final, maka umat Islam pengikut faham demikian pasti akan merasa tidak nyaman dalam beragama. Selama hidupnya tentu saja akan dihantui perasaan berdosa karena tidak berusaha merubah NKRI menjadi Negara Islam yang teokratis. Kalau sikap yang terlahir dari kelompok pertama dan kedua bukan merupakan solusi maka yang paling realistis adalah sikap kelompok yang ketiga, yakni penerimaan terhadap modernitas Barat dan isu-isu global yang terlahir darinya dengan melakukan modifikasi. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua isu-isu global itu sejalan dengan kondisi sosio-kultural setempat. Oleh karena itu diperlukan upaya pemikiran yang kritis dan transformatif. Misalnya, gagasan demokrasi liberal model Barat belum tentu cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia. Begitu juga isu global tentang feminisme, ketika masuk ke Indonesia harus dikritisi terlebih dahulu sebelum dilakukan transformasi terhadapnya. Skap kritis dan transformatif ini bukan hanya



4 dilakukan saat berhadapan dengan isu-isu global saja tetapi juga saat kita berhadapan dengan ajaran Islam itu sendiri, khususnya ajaran Islam produk abad pertengahan dan masa-masa awal. Dengan demikian diperlukan suatu kearifan berfikir dan kesiapan untuk melakukan dialog yang sehat agar Islam tetap menjadi partner dan sekaligus pengayom dari kehidupan modern serta isu-isu global yang lahir darinya. Dan hal ini tidak mungkin bisa diwujudkan tanpa melakukan gerakan transformatif ganda, yakni transformasi isu-isu global dan transformasi terhadap ajaran-ajaran Islam. 2. Fundamentalisme Islam (Internal) Dalam sejarah tradisi Islam, istilah “fundamentalisme” atau yang semakna dengannya memang tidak dikenal. Meskipun sejarah mencatat pernah ada kelompok ekstrim yang gerakaknnya memiliki kesamaan watak dengan gerakan kelompok “fundamentalis” Muslim kontemporer, yakni kelompok Khawarij, para ahli sejarah, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, tidak pernah menyebutnya dengan gerakan fundamentalis. Alasannya jelas bahwa latar belakang munculnya kelompok Khawarij ini murni bersifat politik, sedangkan pembenaran keagamaan atas prilaku politik mereka muncul belakngan. Itulah karenanya istilah “fundamentalisme Islam” sebenarnya tidak punya akar sejarah. Kalaupun beberapa pengamat (Orientalist maupun Muslim) telah menjadikannya sebagai bagian dari wacana ideologi kontemporer, mungkin hal itu terjadi karena adanya kesamaan watak dengan fundamentalisme Kristen, baik menyangkut batasan religiusitas yang kemudian diwujudkan dalam gerakan keagamaan yang radikal maupun dalam mensikapi atau merespon berbagai penafsiran Islam yang bermuara pada sekularisasi. Akan tetapi, sebagaimana pengamatan Lawrence (1983:13), meskipun fundamentalisme Islam dalam beberapa hal memiliki kesamaan watak dengan fundamentalisme Kristen, ada beberapa hal yang membedakannya diantaranya: 1) fundamentalisme Islam lebih bersifat action-oriented ideology. Ini artinya bahwa upaya mempertahankan ideologi harus berjalan beriringan dengan upaya penciptaan kondisi dan situasi sosial politik maupun budaya yang kondusif guna mempertahankan ideologi tersebut. Oleh karena itu Islamisasi dalam berbagai aspek kehidupan dalam pengertiannya yang formal (formalisasi Islam) merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan secara bersamaan. 2) Anti Barat tetapi tidak anti modern. Ini merupakan akibat logis dari kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka adalah orang-orang terdidik secara akademis yang latar belakang keilmuannya bukan berasal dari disiplin“keagamaan”. Rasionalitas serta tradisi akademis itulah yang memungkinkan mereka mampu memisahkan Barat dari modernitas. 3) Berwatak nostalgic atau romantik dalam mensikapi sejarah Islam tetapi tidak traditional. Justru kehadiran fundamentalisme Islam ini dalam beberapa hal merupakan koreksi terhadap kelompok tradisionalis Islam dengan gerakan-gerakan moderatnya yang dianggap tak berdaya saat berhadapan dengan arus westernisasi. Ketidak berdayaan dalam melakukan transformasi kritis atas isu-isu global yang berasal dari Barat ini sebenarnya telah disadari oleh kalangan muda dari kelompok tradisionalis. Jika kita perhatikan, pemikiran yang progresif dan bahkan liberal justeru lahir dari kalangan tradisionalis. Para neo-tradisionalis inilah yang sekarang ini justeru menjadi tameng untuk menjaga berbagai serangan kelompok fundamentalis yang pada umumnya berwatak agresif. Esposito (1992:122-23) telah menggambarkan pandangan-dunia ideologis kelompok fundamentalis Muslim sebagai berikut:



5 1. Islam memuat aturan yang lengkap untuk mengatur kehidupan individu maupun kolektif, negara maupun masyarakat. 2. Qur’an dan Sunah Nabi merupakan fondasi bagi kehidupan Muslim. Sedangkan hukum Islam (Syari’ah) merupakan aturan yang komprehensif yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunah Nabi. Ia merupakan “ sacred blueprint” bagi kehidupan Muslim. 3. Keimanan serta keyakinan yang kuat akan keharusan mendirikan kekuasaan Tuhan (God’s sovereignty) di muka Bumi melalui pelaksanaan hukum Islam, karena hal inilah jalan yang dapat membawa komunitas Muslim (ummat) pada puncak kekuasaan serta kemakmuran hidup di dunia dan kebahagiaan pada kehidupan akhirat kelak. 4. Kelemahan serta ketidak-berdayaan yang selama ini menimpa umat Islam disebabkan karena mereka menjauh dari petunjuk wahyu dari Allah dan pada saat yang bersamaan mereka lebih suka untuk mengikuti pola kehidupan sekuler. 5. Oleh karena itu untuk mengembalikan kepercayaan diri dan kebangaan umat Islam harus dilakukan dengan cara menempatkan hukum Allah sebagai pembimbing bagi negara maupun masyarakat. 6. Sejalan dengan hal di atas, ilmu pengetahuan dan teknologi harus dimanfaatkan untuk kepentingan hal-hal yang bersifat Islami untuk menghindari westernisasi dan sekularisasi. Fundamentalisme merupakan produk dari ketertutupan sikap apresiatif terhadap kebenaran hasil penafsiran orang lain. Pada saat yang sama mereka melakukan absolutisasi terhadap kebenaran hasil penafsirannya sendiri. Fundamentalisme ini karenanya tidak mungkin terlahir dari lembaga-lembaga pendidikan Islam yang pola pengajarannya demokratis. Artinya, selama suatu lembaga pendidikan mengajarkan berbagai alternatif pendekatan dan penafsiran keagamaan, dan selama lembaga pendidikan memberikan kebebasan untuk memilih cara penafsiran, tidak bersifat doktriner, maka bisa dipastikan fundamentalisme tidak akan lahir dari lembaga pendidikan tersebut. Demokratisasi dalam pembelajaran dan pendidikan justeru akan melahirkan orang-orang gerakan keagamaannya berwatak moderat. Akibat ketiadaan sikap apresiatif terhadap nilai di luar diri seseorang, fundamantalisme agama bisa melahirkan sikap kaku, eksklusif, takut, cemas dan frustasi. Frustasi yang akut dan berkepanjangan mungkin saja suatu saat berubah menjadi bentuk gerakan radikal dan bahkan teror jika seseorang terus menerus berada dalam tekanan jiwa. Frustasi akut bisa melanda siapa saja, baik pemeluk agama maupun atheist. Teror yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin, Irlandia Utara dan Afrika Selatan pada masa apartheid jelas menunjukkan bahwa terorisme terlepas dari nuansa keagamaan. Karena itulah Crenshaw (1986:2) mendefinisikan terorisme bersifat netral dari warna agama, yakni “the systematic use of unorthodox political violence by small conspiratorial groups with the purpose of manipulating political attitudes rather than physically defeating an enemy”. Kegiatan terorisme bersifat psikologis dan symbolik dengan disertai tujuantujuan tertentu yang biasanya bermuara pada perubahan kekuasaan politik. Dengan demikian, benar seperti dikatakan Lasswell (Crenshaw, 1986:3) bahwa terorisme pada dasarnya merupakan bentuk partisipasi politik dengan menggunakan cara-cara yang dapat menumbuhkan kecemasan serta ketakutan dalam melakukan perubahan politik. Gambaran di atas jelas sekali mengisyaratkan bahwa terorisme serta bentukbentuk gerakan radikal lainnya dan fundamentalisme agama tidak memiliki



6 keterkaitan mutlak (iltizam). Tetapi secara hipotetical dapat dijelaskan bahwa model pemahaman keagamaan yang bercorak tekstual/literal berpotensi menghantarkan seseorang untuk menjadi fundamentalis. Meski demikian tidak semua bentuk pemahaman keagamaan yang bersifat fundamental bermuara pada gerakan radikal keagaman. Radikalisme merupakan ledakan emosi yang lahir dari konflik nilai yang berkepanjangan dan rasa frustasi yang akut. Hal ini bisa melanda siapa saja atau kelompok apa saja, bukan hanya kelompok fundamentalis agama. SOLUSI DAN LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS Di atas telah dijelaskan bahwa tanangan yang dihadapi kelompok Islam moderat ini pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua. Pertama tantangan yang bersifat eksternal yakni, tantangan yang lahir dari modernisasi dengan berbagai isuisu global yang dibawanya, seperti pluralisme agama, human rights, feminisme, demokratisasi dan sebagainya. Sedangkan tantangan internal datang dari tubuh umat Islam sendiri. Tanangan yang paling kuat adalah munculnya berbagai kelompok fundamentalis Muslim dengan gerakan keagamaan yang radikal. 1. Apresiatif terhadap Local Wisdom Untuk menghadapi tantangan eksternal di atas, kelompok Muslim moderat sudah saatnya melakukan perubahan berpikir dengan melakukan reinterprtetasi terhadap ajaran-ajaran Islam yang diproduk beberapa abad yang lalu untuk memecahkan berbagai isu global seperti di atas. Melakukan reinterpretasi dan melakukan transformasi kritis terhadap ajaran Islam merupakan kewajaran sejarah dan baik untuk dilakukan karena Islam sendiri adalah agama yang lahir dari hasil dialektika antara kehendak Tuhan dan kebudayaan manusia. Inilah yang mendorong sebagian kalangan yang menghendaki agar dimensi partikular yang ada dalam Islam harus dipisahkan dari universalitasnya. Meskipun demikian ini bukan berarti kita tidak menghormati satu tradisi yang telah memoles tampilan Islam, tetapi tentu akan lebih bijak jika tradisi yang telah memberikan kontribusi bagi peradaban Islam itu dibaca kembali dengan menggunakan perspektif kekinian. Karena bagaimanapun juga perubahan waktu dan tempat memaksa kita untuk memperbaharui cara pandang terhadap agama, tanpa menghilangkan semangat dan nilai moral yang dikandungnya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa fondasi Islam berakar dari konstruksi budaya lokal. Khalil Abdul Karim (2004), seorang pemikir asal Mesir, menunjukan dengan baik bagaimana Islam mengakomodir budaya lokal untuk kemudian dijadikan sebagai bagian dari doktrin keagamaan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Noel J Coulson, seorang orientalis yang concern dalam bidang hukum Islam. Ia mengatakan bahwa al Qur’an yang menjadi doktrin umat Islam tidak menghapus budaya yang telah mengakar dalam prikehidupan bangsa Arab. Yang dilakukan justru melakukan inkulturasi dengan budaya setempat yang lebih memungkinkan adanya penerimaan masyarakat secara inklusif terhadap Islam. Hal inilah yang kemudian mengilhami sejumlah penyebar agama Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, kiprah perjuangan Walisongo, terutama Sunan Kalijogo, selalu dikaitkan dengan apresiasi yang tinggi terhadap budaya lokal. Sunan Kalijogo berdakwah dengan menggunakan media gamelan dan wayang. Ini dilakukan agar kesan yang timbul adalah Islam yang toleran dan apresiatif terhadap local wisdom. Dengan demikian, memaknai Islam secara transformatif berarti kegiatan pembacaan terhadap wahyu dalam situasi yang dialogis, saling memberi pendapat dan kritik. Dalam situasi ini, maka penghargaan yang utuh terhadap keragaman dan perbedaan ruang dan waktu penting untuk dikedepankan. Tentu saja hal ini penting



7 untuk dipahami karena heterogenitas kultur mengharuskan adanya perbedaan dalam menangani masalah. Inilah makna dari refungsionalisasi ijtihad yang manfaatnya jelas untuk menjembatani gap ruang dan waktu. 2. Seimbang antara Pendekatan Fiqh dan Shufi (Form vs. Substansi) Upaya untuk menghasilkan ajaran Islam dengan karakter yang apresiatif dengan tradisi local seperti di atas, sangat sulit dilakukan jika mengandalkan caracara pendekatan fiqhy yang konvensional. Fiqh dalam dunia Islam, memang telah tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat serta dan menjadi disiplin ilmu yang paling formal. Watak formalistik Fiqh ini dapat dilihat dengan jelas dari pola istinbath hukum1 yang sangat menekankan pada aspek kebahasaan. Sebagaimana diketahui bahwa prosedur penafsiran melalui kaidah-kaidah kebahasaan itu selalu mengutamakan bentuk lahir (eksoterik) dari teks. Karena aspek eksoterik ini yang selalu dimenangkan, akibatnya fiqh berwatak formalistik, kaku dan seringkali menemui benturan keras saat berhadapan dengan tatanan atau system budaya baru. Dibandingkan dengan kalangan fuqaha, kalangan sufi nampaknya lebih memiliki keberanian untuk melewati batas-batas prosedur penafsiran eksoterik ini. Itulah karenanya wajar jika kalangan sufi ini lebih bersikap toleran terhadap tatanan nilai budaya baru. Hal ini dapat dibuktikan dari cara-cara pengembangan Islam serta praktek-praktek keagamaan para penyebar Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Di tanah Jawa, kiprah perjuangan Walisongo, terutama Sunan Kalijogo, selalu dikaitkan dengan apresiasi yang tinggi terhadap budaya lokal. Sunan Kalijogo berdakwah dengan menggunakan media gamelan dan wayang. Di sekitar kota Kudus, Jawa Tengah, sampai hari ini bahkan tidak ada yang berani menyembelih sapi. Pada awalnya karena khawatir menyinggung perasaan masyarakat yang masih beragama Hindu tetapi kemudian berlanjut hingga sekarang, meskipun tidak sampai mengharamkan makan daging sapi. Ini semua dilakukan agar kesan yang timbul adalah Islam yang toleran dan apresiatif terhadap nilai-nilai yang hidup di masyarakat setempat. Banyak tradisi yang sampai sekarang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam Jawa pada hakekatnya merupakan perpaduan dari tradisi Jawa purba, HinduBudha dan Islam. Ada tradisi berupa ritus-ritus yang biasa dilakukan orang Jawa dari sejak bayi dalam kandungan, pasca kelahiran, perkawinan hingga kematian dan pasca kematian. Misalnya ada upacara mitoni, yaitu selamatan pada saat kehamilan mencapai tujuh bulan, upacara puputan, selamatan pada saat sisa tali pusar bayi lepas, upacara midodareni, selamatan yang dilakukan di kediaman calon mempelai wanita pada malam upacara pernikahan untuk menebus kembar mayang oleh calon suami, upacara tahlilan dan yasinan yang dilaksanakan sejak hari pertama kematian hinga hari ke tujuh, dan banyak lagi ritus-ritus lainnya yang sama sekali tidak pernah ada precedence sebelumnya baik dari Rasulullah Muhammad saw. maupun para sahabatnya2. Gambaran tradisi Islam Nusantara (Jawa) diatas tenatu saja merupakan hasil dari model pendekatan sufi bukan pendekatan fiqhy yang dalam proses penafsirannya sangat terkungkung oleh prosedur penafsiran lafdziyah. Sebagaimana tercatat dalam 1



Untuk melihat watak formalistik fiqh ini dapat dikaji ulang dalam berbagai kitab Ushul Fiqh khususnya dalam pembahasan mengenai ‘Illat serta dalam pembahasan pembahasan aturan kebahasaan yang biasanya disajikan dalam bab Qaidah Ushuliyah Lughawiyah. 2



Ismail Yahya dkk.(2009) menggambarkan tentang ragam budaya Islam-Jawa ini dengan kajian yang simple dan sistematis.



8 sejarah, para walisongo dan para wali lainnya adalah penganut sufisme sunny yang sangat menghargai Fiqh, meskipun diantara mereka ada juga pengikut sufisme Syi’ah Bathiniyah seperti Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang (Saksono 1995:231). Mereka memiliki integritas moral yang tidak diragukan lagi sehingga dalam waktu relatif singkat proses Islamisasi tanah jawa berjalan mulus tanpa ada konflik horizontal maupun vertikal yang bernuansa agama. Jika pada awal penyebaran Islam di Jawa dan juga Nusantara yang dihadapi oleh para ulama adalah ritus-ritus yang berasal dari tradisi Jawa purba, Hindu dan Budha, maka yang dihadapi para ulama sekarang adalah institusi-institusi dan ideologi modern seperti Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tungal Ika. Gagal dalam mememberikan legitimasi religious terhadap keempat pilar kebangsaan tersebut pasti berakibat pada tumbuhnya konflik nilai dalam jiwa masyarakat Muslim. Untuk itu semua, maka spirit gerakan sufi yang penuh dengan ketulusan, modal psikologis sufi yang toleran serta model pendekatan sufi yang lebih menekankan pada aspek subsatansi daripada form, menjadi sangat penting untuk dimiliki. 3. Penguatan Lembaga-Lembaga Pendidikan Kalangan Moderat "Saya yakin, para ulama mampu menyumbangkan pemikiran mengenai bagaimana sebaiknya mengembangkan wawasan kebangsaan masyarakat kita. Sebagai organisasi sosial keagamaan umat Islam, NU telah mempunyai landasan yang mantap untuk secara positif dan kreatif memberi isi pada wawasan kebangsaan sesuai dengan tantangan yang dihadapi bersama. Itu terjadi karena NU memiliki kejelasan konsep dan keseimbangan sikap dalam menghayati ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. NU telah memberikan landasan kukuh bari pengembangan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. NU memandang negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini sebagai bentuk final dari perjuangan umat Islam dalam kehidupan politik. Sikap itu dinyatakan secara tegas dan jelas. Sikap itu merupakan sumbangan sangat besar bagi kemantapan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. NU telah ikut membina etika, moral, dan spiritualitas masyarakat Indonesia dengan baik jauh sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri”. Rangkaian kata di atas merupakan kutipan dari pidato al-marhum Presiden Soeharto saat membuka Muktamar Ke-29 Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Tentu saja pidato Pak Harto tersebut dapat diartikan sebagai kesaksian seorang musuh terhadap lawan politiknya. Saat itu hubungan Pak Harto dengan Gus Dur dalam keadaan tidak harmonis. Menurut berita yang berkembang, konon Pak Harto akan datang ke Muktamar asalkan Gus Dur tidak duduk di deretan depan. Ketidaksukaan Pak Harto terhadap Gus Dur ini dipicu oleh banyak hal, diantaranya komentar Gus Dur dalam buku Nation in Waiting yang bernada merendahkan Pak Harto. Pada hal saat itu Pak Harto masih dalam posisi yang sangat kuat seperti raja yang tidak pernah berbuat salah. Meski demikian Pak Harto tetap secara objektif memberikan kesaksiannya secara jujur. Kesaksiannya mengisyaratkan bahwa sumbangan NU terhadap bangsa dan negara yang paling besar terletak dari ajarannya yang diwarnai kelenturan doktrinal sehingga bagi NU persoalan kebangsaan dan kenegaraan ini sudah selesai. Ini dapat dilihat dari keputusan Muktamar Situbondo 1984 yang kemudian ditegaskan kembali saat Munas dan Kombes 2006 di Surabaya. Inilah sumbangan NU yang cukup besar dalam menciptakan stabilitas Nasional.



9 Pujian Pak Harto yang senada dengan rangkaian kata-kata di atas, saya yakin bukan hanya dialamatkan kepada NU tetapi juga kepada semua kelompok keagamaan Islam moderat. Oleh karena itu sangat wajar jika Pemerintah Indonesia membantu, khususnya pendanaan, agar lembaga-lembaga pendidikan kelompok Islam moderat lebih maju lagi. Bukan hanya membantu lemaga pendidikan, Pemerintah juga harus membantu ormas-ormas keagamaan Islam moderat agar eksistensi mereka semakin terrasakan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, Pemerintah tidak kemudian mengkontrol dan menjadikannya hanya sebagai pemadam kebakaran.. Kerja sama ini harus merupakan kemitraan yang serasi sehingga diperoleh mutual benefit antara keduanya. Misalnya, dalam hal rekruitmen kepegawaian, Pemerintah harus hati-hati jangan sampai kalangan fundamentalis ini menguasai pos-pos penting pemerintahan, misalnya militer, kepolisian dan bahkan BUMN. Kasus terbunuhnya Anwar Sadat jangan sampai terjadi di Indonesia. 4. Kerjasama antar Kelompok-kelompok Keagamaan (Islam) Moderat Dalam melakukan kerja sama tentu saja paradigma yang digunakan haruslah paradigma kemanusiaan. Dalam paradigma politik berlaku adagium “tidak ada lawan dan teman abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Ada lagi adagium yang lebih dahsyat, ”in politics your enemy can not hurt you but your friend will kill you”. Meskipun tidak sepenuhnya benar, dalam banyak hal, praktek kehidupan politik seringkali menjadi pembenar adagium tersebut. Kepentingan umum baik dalam skala nasional maupun regional seringkali berada di bawah bayang-bayang kepentingan pribadi dan golongan. Lalu, adakah ketulusan persahabatan dalam dunia politik, ataukah yang ada hanyalah persahabatan semu? Melihat sejarah praktek politik yang ada, nampaknya kecenderungan yang akhir lebih dominan. Apa yang tersimpul dari adagium di atas menunjukkan betapa sulitnya membangun sebuah kerjasama atas dasar paradigma politik. Dunia politik selalu diwarnai dengan kecurigaan yang hanya melahirkan persahabatan serta kerjasama semu. Kerja sama yang tulus antar ormas Islam yang ada hanya mungkin bisa diwujudkan manakala didasarkan atas paradigma kemanusiaan. Ini berarti menempatkan persoalan yang dihadapi bersama sebagai persoalan kemanusiaan. Apapun bentuk kerjasama, harus bermuara pada satu tujuan yakni mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai manusia. Ia harus terbebas dari tarikan kepentingan politik dan harus ditempatkan diatas perbedaan faham teologis, terlebih lagi perbedaan pemahaman yang tidak bersipat prinsipil, seperti masalah-masalah khilafiyah furu’iyah. Cara pandang ini harus selalu dijadikan sebagai “pengawal” motivasi setiap kali melakukan kerja sama. Jika sepakat untuk menjadikan paradigma kamanusiaan sebagai landasan untuk bekerja sama dalam rangka pemberdayaan umat, maka sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan dari mulai pemberantasan korupsi, pengangkatan harkat dan martabat masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah dan ekonomi lemah, pemberdayaan kaum wanita, pemberantasan pornografi dan pornoaksi dan lain sebagainya. Semuanya sebenarnya bisa ditarik menjadi persoalan kemanusiaan murni yang memungkinkan kerja sama antara sesama organisasi keagamaan bisa berjalan dengan baik. Ketulusan niyat yang didasarkan atas paradigma kemanusiaan dalam membangun kerja sama sering kali terkontaminasi oleh tarikan kepentingan politik dan masalah khilafiyah furu’iyah. Diantara kedua hambatan tersebut, yang terakhir nampaknya sudah tidak lagi menjadi ganjalan utama. Pada awal-awal sejarah kemunculan NU dan Muhammadiyah persoalan khilafiyah furu’iyah memang pernah



10 menimbulkan ketegangan hubungan antar keduanya. Namun saat sekarang nampaknya sudah muncul kesadaran bersama untuk melepaskan diri kekakuan berpikir mengenai persoalan tersebut. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim dari Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo pada tahun 1994 tentang kecenderungan akulturasi NU dan Muhammadiyah menunjukkan bahwa kelekatan terhadap simbolsimbol kultural sudah mulai memudar. Dengan kata lain, ada gejala desimbolisasi kultural baik di kalangan warga Nahdliyin maupun Muhammadiyah. Meskipun belum menjadi fenomena massal, paling tidak persoalan yang dulu dianggap menjadi hambatan utama, sekarang sudah dapat diminimalisir. Persoalan yang seringkali menjadi ganjalan utama sekarang adalah tarikan kepentingan politik. Kegagalan kerjasama antar ormas keagamaan sering diakibatkan oleh ketidakmampuan mengelola in group feeling masing-masing warga yang sangat mungkin disalurkan melalui saluran kepentingan politik. Akhirnya persoalan kemanusian yang akan dihadapi bersama berubah menjadi persoalan kelompok. Meskipun di permukaan terlihat ada kerja sama, sifatnya hanya temporal atau bahkan semu. Untuk menghindari hal tersebut, maka kerja sama dalam pemberdayaan umat harus difokuskan pada persoalan-persoalan kemanusiaan yang paling sedikit kandungan tarikan politiknya. Kepentingan politik ibarat parasit yang dapat tumbuh pada setiap kegiatan kemanusiaan. 4. Menjadikan ajaran Islam sebagai etika sosial. Melatih para kader pemimpin kelompok Islam moderat untuk berpikir realistis dengan menjadikan NKRI sebagai sebuah kenyataan yang harus dihadapi merupakan suatu keharusan. Bagi yang berpikir realistis, gerakan keagamaan yang lahir ke permukaan bukannya menjadikan Syari’at Islam (Hukum Islam) sebagai hukum positif, tetapi, sebagaimana digagas oleh K.H. Sahal dalam “Fiqh Sosial”-nya, menjadikan hukum Islam sebagai etika sosial. Dengan cara ini diharapkan Syari’at Islam bisa menjadi living tradition. Kalau ajaran yang bersumber dari Islam sudah menjadi tradisi yang hidup dalam masyarakat, maka tidak sulit bagi lembaga legislatif dan eksekutif untuk melakukan legislasi. Dengan demikian menjadikan hukum Islam sebagai etika sosial merupakan upaya kultural yang berfungsi sebagai batu loncatan agar ketika hukum Islam ditransformasi menjadi hukum positif, ia dapat berlaku efektif baik secara politis maupun sosiologis. Itulah karenanya dalam konteks penegakan Syari’at Islam, kelompok Islam moderat harus mampu melakukan pentahapan ini agar terhindar dari benturan kepentingan dengan kelompok lainnya yang memiliki keyakinan keagamaan berbeda. Dengan langkah ini maka upaya yang diperlukakn bukanlah formalisasi Syari’at Islam dalam bentuk perundang-undangan tetapi menjadikan Syari’at Islam sebagai etika sosial. Setelah itu baru kemudian dijadikan peraturan perundangan. Meski demikian, setelah jadi peraturan perundangan label “Islam” tidak harus dipakai. Menciptakan suasana keberagamaan (religiosity) tentu saja tidak harus melalui formalisasi Syari’at Islam. Mengedepankan aspek substansi dalam beragama jauh lebih bermakna bagi terciptanya kesalehan individual maupun sosial dari pada mengedepankan simbol atau bentuk (form). Simbol dalam beragama memang penting. Tanpa simbol-simbol yang diyakini secara bersama-sama agama akan menjadi keyakinan individual. Akan tetapi beragama dengan lebih mengedepankan simbol bisa terjebak dalam sikap kekanak-kanakan dalam beragama (infantile faith) PENUTUP



11 Demikian beberapa pokok pikiran yang, tentu saja, perlu didiskusikan lebih jauh. Selebihnya penulis serahkan sepenuhnya kepada peserta seminar untuk mencermati, mengkritisi dan juga menyimpulkanya.



12



Daftar Pustaka Abdalla, Ulil Abshar, Teks, Ortodoksi dan Estetika, dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Jakarta, Yayasan Festival Istiqlal, 1996 Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Beirut, Darul Fikr, tt. Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, Beirut, Darul Fikr tt. Crenshaw, Martha, (ed.) Terrorism, Legitimacy and Power, The Consequences of Political Violence, Middletown, Connecticut, Wesleyan University Press, 1986 Esposito, John L., The Islamic Threat, Myth or Reality, New York, Oxford University Press, 1992 Evans, Rod L., dan Berent, Irwin M., Fundamentalism, Hazards and Heartbreaks, La Salle, Illinois, Open Court Publishing Company, 1988 Gergen, Kenneth J., Personality and Social Behavior, London, Wesley Publishing Company, 1990 Gordon, Jesse E., Personality and Behavior, New York, Macmillan Publishing Company, 1983 Harb, Ali, Qira’ah fi al-masyhad al-‘Alamy; al-‘Unfu wa Judzuruhu, (terj. Melacak Akar-akar Kekerasan: Membaca Fenomena Global) dalam Tashwirul Afkar, edisi No. 21, 2007 Karim, Khalil Abdul, al-Judzur al-Tarikhiyyah li al-Syari’ah al-Islamiyah, terj. Syari’ah, Sejarah Perkelahian Pemaknaan, Yogyakarta, LKiS., 2003 Kimball, Charles, When Religion Becomes Evil, (terj. Kala Agama Jadi Bencana), Bandung, Pustaka Mizan, 2003 Mardsen, George M., Evangelical and Fundamental Christianity, dalam The Encyclopaedia of Religion, Vol. 5, New York, Macmillan Publishing Company, 1987 Qordhowi, Yusuf, al-Sahwatul Islamiyah, bainal Ikhtilaf al-Masyru’ wa al-Tafarruq al-Madzmum, Cairo, Dar al-Shahwah, 1990 Roy, Oliver, The Failure of Political Islam, London, I.B. Tauris & Co Ltd., 1994 Saksono, Widji, Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, Bandung, Mizan, 1996 Sholikhin, Muhammad, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Yogyakarta, Narasi, 2010 Swidler, Leonard and Paul Mojes, The study of Religion in an Age of Global Dialogue, Philadelphia, Temple University Press, 2000 Wilson, Timothy D. dan Klaren Kristen J., Expectation Whirls Me Round, dalam Clark, Margaret S., (ed.) Emotion and Social Behavior, London, Sage Publication, 1992 Woodward, Mark, R., Islam in Java, Normative Piety and Mysticism, terj. Islam Jawa,Kesalehan Normatif versus Kebatinan, 2008, Yogyakarta, LKiS Yahya, Ismail, dkk., Adat-adat Jawa alam Bulan-bulan Islam, Adakah Pertentangan?, Jakarta, Inti Medina, 2009