Penunggu Jenazah - Abdullah Harahap [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kolektor E-Book



Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap Pembuat Djvu : Syauqy_Arr Pdf : Saiful Bahri Situbondo Dibuat : 3 Agustus 2018, Situbondo Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book https://m.facebook.com/groups/1394177657302863 dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel http://cerita-silat-novel.blogspot.com Selamat Membaca ya !!! ***



PENUNGGU JENAZAH ABDULLAH HARAHAP SARANA KARYA JAKARTA Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita yang bersamaan, Itu hanyalah suatu kebetulan belaka. Cerita ini adalah fiktif. PENUNGGU JENAZAH Karya : Abdullah Harahap Diterbitkan oleh : Sarana Karya. Jakarta Cetakan pertama : 1992 Setting oleh : Trias Typesetting Hak penerbitan ada pada Sarana Karya Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.



***



SATU Sepi menyentak waktu jam dinding berdentang dengan suara yang mengejutkan. Lebih keras dari biasa. Meninggalkan gaung memanjang di ruang depan yang sempit, di mana beberapa orang lelaki tengah duduk bersila dalam bentuk lingkaran. Gaung itu seperti bersatu dengan asap dari dupa menyan yang mengepul di tengah-tengah lingkaran. Meliuk liuk liar, biarpun tidak ada angin yang bertiup. Pintu terkunci rapat. Demikian pula jendela. Pengap bukan main. Dan asap menyan yang bertemperasan di langit langit ruangan, benar benar menimbulkan bau tidak enak. Namun tidak seorang pun yang bangkit untuk membuka jendela. Agar hawa segar masuk ke dalam . Apalagi, menyingkapkan tirai ruang tengah. . Tidak. Tak seorang pun yang bergerak dari tempat duduknya. Sampai : "sudah jam sepuluh" salah seorang di antara mereka berbisik. Pelan. Tetapi begitu tiba tiba .Semua kepala tertengadah, menatap orang itu. Berpasang pasang mata memancarkan kecemasan . "Ya Sudah jam sepuluh lebih. Mengapa orang itu belum datang"'' keluh laki-laki yang lebih muda di dekat pintu keluar. Suaranya resah. Ia bergerak sedikit. Gelisah. Ia baru saja akan membuka mulut untuk meneruskan keluhannya waktu sayup terdengar gonggongan anjing. Bukan! Bukan gonggongan. Tetapi lolongan. Mula-mula rendah. Lalu tinggi. Rendah lagi Memanjang. Reflex, mereka saling berpandangan. Dan. seperti dikomando, pandangan semua laki-laki itu beralih ke gorden pintu yang menutupi pemandangan ke ruang tengah. Kain gorden itu bergerak perlahan lahan. Nafas-nafas berat seketika meluncur dari mulut salah seorang di antara mereka. Laki laki pertama tadi. yang rambutnya sudah ubanan dan



tulang pipinya kempot dimakan usia. Enggan, ia bergumam: "Sayang. Anak-anak dan ibunya sudah mengungsi ke rumah Bu Enjuh..." Ia menoleh pada laki laki di dekat pintu." Mengapa tak kau buatkan kopi lagi. Parjo?" Yang dipanggil dengan nama Parjo menelan ludah. Dengan kecut matanya memandangi gelas demi gelas di depan mereka. Ada yang sudah kosong. Ada yang masih berisi setengah. Bahkan ada yang penuh. Belum disentuh sama sekali. Tentunya sudah teramat dingin karena sudah dihidangkan semenjak lepas Isya. sebelum nyonya rumah hijrah ke rumah sebelah . "Ah, tak usah repot repot. " untung ada suara-suara mendesah Paijo menarik nafas lega. Lalu sepi lagi. Seseorang yang duduknya paling dekat dengan pedupaan. menambahkan biji batu batu menyan kepedUpaan. Berkeratak bunyinya. Berpercik perCik apinya. Seperti mercon. Meledak ledak memecah kesepian yang mencekam di dalam ruangan. Helaan helaan nafas lagi. Lalu diam. Suara bergemerasak yang keras terdengar di luar rumah. Diiringi lolongan anjing yang menyayatkan hati. Semua kepala menengadah lagi Kali ini, menatap ke arah pintu. "Apa itu?" Seseorang berbisik. Gemetar. "Entah..." rungut Parjo Kecut. "Pergilah lihat!" kata laki laki bertulang pipi kempot dengan mata marah ke arah Paijo. Yang diperintah secara halus. Menelan ludah. Berkali-kali. Lalu pelan pelan bangkit. Kakinya agak gontai" waktu berjalan ke arah pintu. Di sana. ia tertegun sebentar. Diam. Mendengarkan. Lantas menoleh ke belakang. pada orang orang yang masih duduk bersila di tempat



masing-masing. Mereka juga sama memerhatikan dirinya, sehingga dengan rikuh Parjo terpaksa memutar anak kunci dengan jari jemari gemetar. Tangannya berkeringat keluar. Dan: "Hek!" Suaranya seperti tercekik waktu ia tiba tiba melompat mundur. Yang lain terperanjat. "Ada apa?" desah seseorang . Parjo menghela nafas panjang. "Ah, bukan apaapa. Hanya kaget." rungutnya. Lantas berjalan lagi ke pintu. Ia membukanya lebih lebar. Dan berpasang pasang mata di belakangnya. juga terpontang lebih lebar. malah ada yang seperti mau terloncat ke luar. Engsel pintu berderit nyaring dan kemudian terhempas keras. menghantam tembok. Angin dingin berhembus masuk. Sesosok tubuh bermuka pucat. berdiri di muka pintu Ia mengenakan celam hitam, kemeja kotak-kotak berwarna gelap dengan kain sarung yang juga hitam melingkar dari pundak sampai batas pinggang. Ia rupanya tidak mengenakan alas kaki sehingga langkah langkahnya tidak terdengar waktu berjalan ke teras lantas berdiri di pintu waktu Parjo tiba tiba membukanya. Aku Kurdi. ' gumamnya dengan suara berat. "Ooooh" cetus Parjo. lalu menyingkir memberi jalan. "Malam, Pak Kurdi. Kami sudah lama menunggu. Laki Laki setengah umur bermuka pucat itu masuk ke dalam tubuhnya sedang" tidak tinggi, tidak pula pendek. Tidak gemuk, namun tak bisa dikatakan kurus. Gerak geriknya tenang, bahkan tampak lamban sehingga ia bukanlah tipe seorang lelaki yang patut diperhatikan secara khusus. Tetapi ketika bibirnya yang tipis memperlihatkan seulas senyum kering disertai sinar mata yang tajam berkilat kilat, semua orang yang berada di ruang depan itu seolaholah melihat makhluk asing yang kehadirannya tidak boleh dilepaskan sekejap mata pun jua. Lakilaki beruban dekat pintu ruang tengah. berdiri menyongsong. Yang lain mengikuti



"Kami senang Nak Kurdi datang," ujarnya seraya menjabat tangan tamu yang datang kemalaman itu. "terima kasih. Mana mayatnya" ' Orang tua yang rUpanya adalah penghuni rumah. menggerakkan dagu ke arah ruang dalam. 'Di sana! ' sungutnya Menguatkan. "Hem," Kurdi memperhatikan dupa menyan yang mengepulkan asap di atas tikar pandan. Ia menghirup asap menyan itu dengan perasaan nikmat, dan sepasang matanya yang berkilat kilat tampak kesenangan. Angin dingin bertiup semakin kencang lewat pintu yang menganga. "Tutupkan, Parjo," kata orang tua tadi dengan muka memberengut. Parjo bergerak ke pintu demikian malas. dan sebelum menutupkannya ia sempat meninjau ke luar. Lewat pekarangan sempit berpintu pagar kecil ia melihat bayangan sesuatu dalam gelap. Sebentuk kereta yang aneh. Dengan seekor kuda yang berdiri di atas keempat kakikakinya yang kukuh, dengan kepala tegak. memandang ke arah rumah. Parjo tak dapat melihat sinar mata kuda itu dalam kegelapan, namun ia bisa menangkap suara mendengusnya yang keras dan kering. Tak jauh dari kereta, sesosok makhluk berbaring diatas tanah berumput. Juga dengan kepala tegak memandang ke arah rumah. Sinar matanya tampak samar samar membentuk sepasang bintik bintik kecil berwarna kuning kemerahan. "Anjing..." desis Parjo kecut. seraya menutupkan pintu buru buru. Berderak bunyinya, karena tergesa gesa. Sementara yang lain termasuk Parjo duduk kembali di tempat masing masing, Kurdi masuk ke ruang dalam ditemani oleh tuan rumah. Lewat tirai garden yang terbuka sebagian waktu mereka masuk, kedua orang itu berjalan pelan pelan ke tengah ruangan yang diterangi lampu bervoltase kecil. Di antara perabotan perabotan yang



disingkirkan ke tepi. tergelar tikar lebar di atas mana digelarkan sebuah kasur ukuran kecil. Selendang batik dari harga murahan menutupi sesosok tubuh mulai dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Meskipun lampu ruang tengah cukup untuk menyinari mayat itu. di sekelilingnya masih dipasang lilin lilin yang tinggal puing-puingnya saja lagi. menyala lemah. Bau menyan campur baur dengan bunga rempah-rempah di dekat kepala mayat. Setelah kumat kamit sebentar, Pak Kurdi memerintah: "Bukalah." Orangtua itu berjongkok. lalu dengan tangan gemetar pelan-pelan ia menyingkapkan Ujung kain yang menutupi bagian kepala. Pelan pelan pula wajahnya ia tolehkan ke arah lain. dengan mata yang terpejam. Didekatnya. tamu bermuka pucat itu memandang ke baWah dengan mata terbuka lebar. Mula mula ia melihat rambut yang ikal, panjang bergerai. lebat dan hitam. Disusul oleh dahi yang rekah di bagian pelipis, meninggalkan bengkak berwarna merah kebiru biruan. Di bawah alis tipis, lentik dan bagus bentuknya. sepasang mata tampak melotot di antara kelopak kelopak yang hancur bercampur darah mengering. "terus!" sungut Kurdi Waktu gerakan tangan yang membuka kain penutup agak tersendat . Orang tua itu terkejut. lantas menyingkapkan kain selendang sekaligus sehingga wujud mayat itu tampak lebih jelas. Orang orang yang berada di ruang depan sama sama menarik nafas. Lantas sama sama pada memalingkan muka dari arah ruang tengah. Orangtua yang berjongkok di sebelah Kurdi, mulai menangis. Tersendat sendat. Diantara suara tangisnya ia berkata. " anak malang. Ia ia " Kurdi manggut manggut. Bergumam' "Ya Ya .Aku maklum. Aku belum mengenal menantu bapak ini. Kalaupun ia pernah bertemu denganku. ia tak akan kukenali kembali. Wajahnya begitu rusak. Boleh dikata



anggota anggota tubuhnya hampir hancur. Anak malang' Hem. Apa yang menyebabkan ia mati dalam keadaan sedemikian rupa. Pak Marto?" Orang tua yang sudah ubanan itu sesenggukan. "... nekad" jawabnya 'Ningsih nekat. Tak bisa menahan diri. Kami tidak tahu mengapa ia tiba tiba menghilang tadi siang dari rumah, lalu sore hari ada orang mengabari bahwa... bahwa ia... ia..." Pak Marto tiba-tiba berteriak histeris: "Mengapa. Ningsih" Mengapa" Mengapa kau lakukan itu, anakku" Mengapa?" "Apa yang ia lakukan, Pak Marto"' "Ia... oh!" orangtua itu menahan sedu sedannya. Suara berat Pak Kurdi memberikan pengaruh aneh pada dirinya. 'Ia bunuh diri!" "Bunuh diri?" "Ya. Terjun ke rel pada saat kereta api barang lewat... Aduh! Orang itu bilang ada yang melihat... melihat Ningsih berdiri begitu lama di pinggir rel. Mulamula disangka mau menyeberang, sampai kereta itu datang dan Ningsih tiba tiba berlari ke arah maut itu datang. Ia tak sempat terjun ke tengah tengah rel ketika tubuhnya disambar oleh lokomotip dan " Kurdi manggut manggut lagi. Dalam "Ia terhempas ke pinggir rel, begitu" Orang yang menjemputku ke rumah telah menceritakannya padaku. Sangat tergesa gesa, sehingga aku tidak mendengar seluruh kejadiannya " 'Ia mati seketika. Kurdi! Lalu kami buru buru kesana. dan...." "Tentu. Tetapi yang ingin kutanyakan, mengapa ia melakukannya?" Orang tua itu tertengadah. memandang tamu asing itu. Matanya tampak tidak senang "Anakku telah mati." Sungutnya, dingin. "Tak sempat kami kuburkan hari ini. Lalu kau kami panggil untuk menjaganya. itu saja. Jadi" "



Seraya geleng geleng kepala, Kurdi bergumam: "Lihatlah pandangan matanya. Ia mati penasaran. Karena itulah aku kalian panggil. Pak Marto!" Kurdi tersenyum renyah. Dan erang kaku: "Kalian penakut! ' "Nak...." 'Kalian penakut. Karena kalian merasa bersalah, kalian jadi penakut!" Berkata demikian. sepasang mata Kurdi berkilau kilauan di wajahnya yang pucat. Pak Marto terbungkam. lalu merundukkan kepala dengan patuh, seolah-olah mengakui tuduhan yang dilemparkan padanya. 'Perempuan ini punya kamar Sendiri?" tanya Kurdi kemudian. Orangtua itu manggut manggut. "Tidak bisakah kalian memberi penghormatan padanya barang sedikit" Baringkanlah anak bapak di atas ranjangnya sendiri!" Pak Marto memandang Kurdi dengan heran. Matanya beradu dengan sepasang mata yang bersinar ganjil. Dengan kecut. Pak Marto bangkit lalu memanggil orang-orang di ruang depan . Bersama sama mereka masuk ke dalam. Enggan. Bersama sama pula mereka pindahkan mayat yang sudah rusak wajah dan bagian bagian tubuhnya itu ke kamar tidur. Teramat enggan. Selesai melakukan tugasnya orang orang itu cepat cepat berlalu ke ruang depan. Kepada Parjo yang duduk termangu tanpa ikut masuk ke dalam, orang-orang itu pamit Tak lama kemudian .Pak Marto menyusul. Ia menggamit Parjo, mengajaknya ke luar seraya menjelaskan: "Orang itu minta dibiarkan sendirian. Ia ada di kamar tidur bersama mayat isterimu."



*** DUA



Wajah Kurdi yang pucat diam tak bergerak-gerak setelah ia mengambil tempat duduk di sebuah kursi dekat kepala tempat tidur. Dihadapannya. terbaring mayat yang baru saja dipindahkan dari ruang tengah. Bagian-bagian wajah yang masih utuh tampak lebih pucat lagi. Di beberapa tempat malah sudah kebiru-biruan. demikian pula sebahagian lehernya yang jenjang. Seraya bibirnya yang kering kumat kamit membaca mantera. perlahan-lahan Kurdi membungkukkan badannya ke depan. Kain selendang yang menutupi mayat itu ia singkapkan seluruhnya. Mata Kurdi terpejam. Mulutnya kumat kamit lebih cepat. Terkadang disertai keluhan-keluhan berat dan rintihan rintihan seperti kesakitan. Waktu ia buka matanya kembali. dua berkas sinar hijau kemerah merahan membersit dari sepasang mata Kurdi. menatap langsung ke arah di mana seharusnya terletak sepasang mata di wajah mayat yang sudah rusak itu. Tubuh Kurdi mulai bergetar. Keringat sebesar jagung membercik dari jidatnya waktu pelan-pelan ia berbisik: "... kembalilah. Kembalilah kau. wahai arwah yang telah pergi!" Sepi sejenak. Kurdi menggeram. "Kubilang, kembalilah! Aku tahu kau masih gentayangan di sekitar jasadmu. Kau belum tiba di padang yang semestinya. karena kau tak rela. Kembalilah. arwah yang telah hilang. kembalilah!" Sosok tubuh yang hampir hancur di atas kasur bergerak sedikit. Hanya sedikit. "Jangan enggan. Kembalilah!" Kurdi membentak dengan suara kesal. Tiba-tiba. gelembung-gelembung payudara di tubuh perempuan telanjang yang sudah menjadi mayat itu. naik turun dengan gerakan gerakan lambat mula mula, lantas makin lama makin kencang. lambat lagi, kencang kembali dan setelah helaan nafas berat



terluncur dari bibir pecah-pecah yang sebagian sudah somplak dagingnya sehingga tampak beberapa buah gigi bertonjolan ke luar, gerakan naik turun dada mayat itu mulai teratur. Tanda tanda kehidupan sudah terlihat nyata, biarpun anggota-anggota tubuh lainnya masih diam. tidak bergerak gerak. Orang orang yang telah memandikan mayat itu senja hari-harinya tampaknya tergesagesa atau demikian ketakutan sehingga pekerjaan mereka tidak sempurna. Darah kering masih melekat di bahu yang bengkak kebiru-biruan. Juga dipertengahan lengan kanan yang hampir putus. Lutut kanan yang pecah. letaknya menyimpang. Mungkin tidak ada yang teringat untuk membetulkannya. Mungkin pula karena tulang-tulang lutut itu sudah hancur berantakan sehingga sukar membetulkannya dalam posisi semula. "Anak malang!" desah Kurdi. Serak. Ia menelan ludah. Dan: ?" mereka benar-benar mentelantarkan engkau. Tentu kau begitu penasaran, bukan?"



Helaan nafas berat keluar dari mulut mayat yang rusak itu. Dadanya bergelombang. Cepat. Seperti marah. "Tidak!" gumam Kurdi seraya menyeringai. "Aku tidak bermaksud menyakiti dirimu." Wajah mayat yang rusak itu. terangkat dari bantal. Sekejap cuma, karena kemudian terhempas kembali dengan keras. Kurdi tertawa kecil. "Tulang lehermu patah" Nah. Jadi, diamlah. Kau tidak bisa bergerak. Kau akan menurut segala perintahku. Sekarang jawablah. Siapa namamu, anak manis?" Helaan nafas dari mulut mayat berubah jadi desau angin. Sayup-sayup terdengar suara memelas. Suara seorang perempuan Setengah marah. setengah menangis.



M a r n i...." "Umurmu?" buat apa... kau tahu"' "Harus kuketahui yang sekecil kecilnya mengenai mayat-mayat yang kutunggui." tiga puluh tahun. dua bulan dan. dan.. "Cukup. Tak usah kau sebutkan harinya. Lahirmu?" "Ya?" "Siang" Atau malam?" senja." "Patut. Patut matimu penasaran. Orang yang lahir senja hari seperti kau. umumnya berhati penasaran. Apa yang terjadi pagi" Mengapa begitu cepat datangnya malam" Kau tak tahu. Karena kau lahir senja hari lalu kau ingin tahu. Itulah sifatmu yang lebih menonjol dari sifat sifat lain. Sangat penasaran, Serba ingin tahu. dan tidak sabaran!" Dada mayat itu berbuncah bungah. Kurdi memperhatikannya. Dan mulutnya tersenyum senang. 'Sifat jelek itulah yang menyebabkan kematianmu. Benar. bukan?" Suara sayup sayup itu bersungut-sungut kini: "He eh. Lantas apa perdulimu?" Kurdi angkat bahu. "Sudahi pertanyaan-pertanyaanmu, manusia terkutuk. Sudahilah.aku sangat lelah dan kesakitan..." Tubuh mayat itu bergerak gerak kekiri kanan menyertai permintaannya yang teramat memelas "Aku telah memenuhi panggilanmu. Karena itu, sudahilah siksaan ini. Cukuplah sudah siksaan yang kuterima menjelang saat saat terakhir hidupku. Jangan tambah tambah lagi. Hentikan. hentikan, kau manusia pengabdi setan. Aku telah datang. Kau tentunya puas, pengabdi setan. Karena itu, katakanlah sekarang. Maukah kau menolongku?" Kurdi menyeringai lebar



"Tentu," sahutnya. "Bangkitkan aku kembali. Bangkitkan aku. untuk membalas sakit hatiku'" "Sakit hati'" Pada siapa kau sakit hati"' "Perempuan laknat itu'" Alis mata Kurdi yang berbentuk golok. menyipit. "Kau dimadu?" "Ya. Aku dimadu. Haram jadah benar, aku dimadu. Perempuan laknat itu telah merenggut kebahagiaanku. Merenggut cintaku. Merenggut suamiku. Kemudian merenggut hidupku!" "Ia tak bersalah apa apa terhadapmu," Kurdi keberatan. "Tak patut aku libatkan dirinya. siapapun juga perempuan itu...." "Tolonglah." Suara sayup sayup itu berubah jadi jeritan sayup-sayup. "Tolonglah .Kau bangkitkan aku dan biarkan aku yang melakukannya. Kau tak usah turun tangan" 'Hm Caranya?" "Lewat tangan suamiku! ' "Tetapi ' "Demi setan yang kau puja.tolonglah aku!" Kurdi mengeluh. Lalu terdiam lama. ' Bagaimana" Bersediakah kau'" Lama pula baru Kurdi menjawab. "Boleh. Tetapi dengan satu syarat" Suara sayup sayup itu berubah jadi suara tertawa pahit. Dan: "Terkutuk kau. Najis dirimu .Tetapi apa boleh buat. Apa syaratmu?" "Dari duniamu. kau sudah bisa menebak keinginanku." "Jadah. Jadah. Seleramu terlalu rendah. Masihkah nafsu bejatmu bisa terbangkit melihat keadaan tubuhku yang begini rusak" Melihat dirimu saja aku sudah tidak bergairah. Padahal kau manusia yang utuh. Masih hidup. Dan aku tahu. kau seorang



laki-laki yang bisa memuaskan seorang perempuan, bisa saja yang kau setubuhi perempuan yang masih bernyawa..." Mayat itu cekikian lewat bibir sobek dan gigi gigi depannya yang bertonjolan keluar. "Tidak jijikkah kau melihatku?" Kurdi tersenyum. Ia meraba kantong kemejanya yang hitam. Sebuah pisau cukur ia letakkan dipinggir tempat tidur. Lalu sehelai daun kdapa muda. dan seutas tali dari pelepah pisang. 'Untuk apa itu?" "Diam sajalah kau." sungut Kurdi Matanya yang hijau kemerah merahan menatap kebagian mata wajah mayat. Lama. Tubuh mayat itu tergetar. Dan suaranya berubah ubah menyayatkan hati: "Kau... kau tak serius dengan maksudmu!" "Mengapa tidak?" "Tetapi aku... aku tidak bergairah!" "Perduli!" "Aku jijik melihatmu. pengabdi setan. Aku jijik. Aku hanya mau disentuh oleh suamiku. Aku...." Kurdi membuka pisau cukur, lalu mulai menyayat urat nadi lengan kirinya sendiri. Mayat itu berteriak: "Aku benci melihat darah. Aku benci melihatmu!" Tetapi tubuh mayat di tempat tidur tidak bergerak sama sekali untuk melawan. waktu dari urat nadi Kurdi mengucur darah deras yang oleh Kurdi kemudian diteteskan tepat di bagian mana jantmg mayat terletak. Payudara perempuan itu naik turun dengan gelisah ketika darah merah yang segar dan hangat itu mengenai bagian kulitnya. Terdengar suara seperti belerang disiram air. Seperti belerang pula. dari sekujur tubuh mayat berkebul asap putih ke langit langit,



bercampur dengan asap dupa menyan yang memenuhi empat pojok kamar tidur. Bau tak enak menusuk hidung. namun Kurdi menghisapnya dengan perasaan nikmat. Wajahnya yang pucat justru jadi kemerah merahan kini, dan tubuhnya mulai basah oleh peluh. Ia dengar suara si perempuan yang memohon: 'Jangan..." Tetapi ia tak perduli. 'Jangan'" Kurdi tetap tidak perduli. Darah semakin banyak mengucur. Asap semakin banyak terkepul. Lalu tubuh mayat di atas tempat tidur mulai berubah wujud. Bagian bagian yang telah rusak ditabrak lokomotip kereta api yang merenggut kematian si perempuan, kembali dalam wujud semula yang terbaring di atas tempat tidur bukanlah lagi sosok tubuh yang mengerikan, akan tetapi sosok tubuh telanjang seorang perempuan berwajah manis meskipun tidak begitu cantik, namun liku liku tubuhnya di mata Kurdi tampak begitu indah dan sempurna. Lakilaki itu mulai mengerang. Si mayat mengeluh: "Tidak... tidak.." disusul teriakan lengking "Tidaaaaaakk!" Ia terus berteriak sementara Kurdi membuka pakaiannya. Berteriak dan berteriak memilukan selagi Kurdi naik ke tempat tidur dengan nafsu binatang meronai wajahnya yang berubah mengerikan. Jeritan arwah yang kembali menghuni mayat di rumah itu, terbawa angin lewat celah celah pintu lewat celah celah jendela, lewat celah celah atap. Mdam yang sepi menyentak, jadi terlonjak. Di rumah sebelah. Pak Marto terloncat dari tempat duduknya. "... dengar" gunamnya. Serak. Dengan wajah pucat pasi. Dan tubuh gemetar. orang-orang lain di rumah itu, terpaku diam. "itu jeritan Marni!" desis Pak Marto.



Di kursinya. Parjo duduk meringkuk. Peluh dingin mengalir dari seluruh pori-pori kulitnya. membasahi wajahnya. menguyupi pakaiannya. Ketika akhirnya ia bangkit dengan seluruh tubuh gemetar. dari selangkangannya mengucur air hangat berbau pesing. Ia kemudian berlari masuk ke salah sebuah kamar sambil terkencing-kencing, melompat ketempat tidur di samping salah seorang adiknya yang sedang berusaha menahan kantuk. lau merintih dengan suara ketakutan: "Kau dengar" Kau dengar itu?" Si adik tak menjawab. Dan Parjo menggulung tubuhnya di bawah selimut. Di ruang tengah, Bu Marto jatuh pingsan dalam pelukan suaminya . Namun tak seorangpun yang berani keluar rumah, untuk memastikan suara jeritan itu. Tidak seorang pun. Di luar. malam semakin kelam. Udara semakin dingin Dan angin bertiup kencang. Gersang. Dan kering! ***



TIGA Ketika pagi datang, Kurdi meluncur turun dari tempat tidur. Sesaat. ia berdiri gontai. Sekujur tubuhnya letih dan basah oleh peluh. Pelan pelan ia mengenakan pakaiannya. Setelah itu duduk di kursi, terpekur. Kedua telapak tangan menekan di wajahnya yang pucat. Lengan kirinya yang sebelum naik ke pembaringan lebih dari dua jam berselang ia balut dengan daun kelapa muda dan diikat pakai tali pelepah pisang. bergetar hebat. 'Wahai." keluhnya Lirih 'Kapan kutuk ini akan berakhir'?" Lantas ia tersedu. Habis tersedu. kedua telapak tangannya ia buka. Matanya yang berjam jam sebelumnya berkilau merah kehijau hijauan, kini tampak



lesu dan pucat. Sepasang mata yang bersinar lemah itu. memandang sosok tubuh yang terbaring di atas tempat tidur. Sesosok mayat perempuan, dengan wajah hampir rusak. lengan dan lutut hancur dan darah kering melekat di sana sini. Ia tak tahu yang mana darah si perempuan dan yang mana darahnya sendiri. Hidungnya mencium bau anyir dari tubuh mayat. dan bau pengap dari dupa menyan yang memenuhi ruangan. "Aduh!" desahnya dengan perut melilit. Lalu: "Aaaghhh!" terbungkuk bungkuk. Muntah. Habis muntah, ia terpekur lagi di tempat duduknya . Wajahnya kian pucat. Matanya kian pucat. Lengan kirinya jauh lebih pucat. Lengan itu ia gerak gerakkan dengan hati hati. Sementara itu. lengan kanan ia pergunakan untuk membersihkan darah yang melekat di sekujur tubuh mayat dengan mempergunakan sarung hitam miliknya. Setelah ia rasa cukup bersih, sarung hitam itu ia belitkan di pinggang. Kain selendang yang tertumpuk di kaki tempat tidur ia selimutkan menutupi mayat mulai dari rambut sampai ke ujung kaki. Kemudian duduk diam diam. Menunggu.



***



Pintu rumah sebelah baru terbuka ketika matahari telah muncul di ufuk timur. Pak Marto adalah orang pertama yang keluar. Tiba di halaman mmahnya sendiri ia melihat beberapa orang tetangga, telah menunggu dengan peralatan masing masing .Mereka mengangguk pada orangtua yang beruban itu dengan wajah menyatakan ikut prihatin . Sementara tetangga tetangganya sibuk membuat peti mati di luar. Pak Marto bergegas masuk ke dalam rumah. Ruang depan kosong. Juga ruang tengah



Resah, ia masuk ke kamar tidur. Dan melihat Kurdi masih menunggui mayat dengan kepala menekuk setengah mengantuk, dan wajah kian memucat. Langkah langkah kaki Pak marto membuat kantuknya terenggut. Ia mengangkat wajah, memandang tuan rumah. kau baik baik saja, Nak Kurdi?" sapa Pak Marto Kurdi manggut-manggut. Pak Marto memandang ke tempat tidur. Lantas menghela nafas Lega. "Syukurlah, ' gumamnya. "Kenapa?" tanya Kurdi Pak Marto mengernyitkan kening. "Kami dengar jeritan Marni tadi malam." "Oh ya?" desah Kurdi Seperti orang bodoh. Dan tak berdosa. Pak Marto duduk di pinggir tempat tidur menatap selendang yang menutupi wajah mayat. 'Mungkin kami begitu ia benci disaat saat menjelang kematiannya." ia mengeluh. "Hingga kami dikejar kejar oleh perasaan bersalah. Ah! Ia menarik nafas. Berat. Dan panjang. "Mengapa aku begitu tolol" Marni sudah mati. Tak mungkin kami mendengar jeritannya lagi'" "Bapak mengkhayal! ' gumam Kurdi. "Ya. Ya. Aku mengkhayal. Juga isteriku. Dan Parjo." Wajah orangtua itu tampak kebingungan. "Mungkin... mungkin juga perasaan bersalah itu yang membuat isteriku begitu lelah sampai pingsan, dan Parjo terbirit birit ke kamar sambil terkencing kencing ..." "Ah?" Kurdi tersenyum. Kecut. "Anak malang," desah Pak Marto, seperti pada dirinya sendiri. "Kasihan Marni. Seharusnya. semua ini tidak terjadi padanya."



'Hem'." Kurdi acuh tak acuh. Dan Pak Marto tak perduli .Ia terus berkata-kata seperti pada dirinya sendiri .Suaranya penuh dengan punyesalan. " Ia yatim piatu. Masih termasuk sanak keluargaku sendiri. Ayahnya terbenam di laut waktu perahu mereka dilanda topan. Nelayan-nelayan lain pulang tanpa ikan tanpa ayah Marni dan dua orang nelayan lainnya. Marni masih bayi waktu itu .Dan masih menyusu ketika dia ditinggal mati pula oleh ibunya yang meninggal karena busung lapar. Marni lalu kami ambil. Kami hidupi seperti kami menghidupi anak anak kami sendiri. Tetapi kehidupan di pantai semakin kering. Ikan-ikan semakin habis. Kapal kapal besar milik orang orang asing merampas kehidupan kami. Lalu pantai di mana kami lahir dan dibesarkan, terpaksa kami tinggalkan. Bertahun tahun kami hidup di tempat ini. Membesarkan anak-anak kami. Membesarkan Marni. dengan susah payah...." Pak Marto menggeleng gelengkan kepala tiba-tiba. "Sayang." keluhnya. "Semua itu ternyata sia-sia." "Sia-sia?" Kurdi berminat. "Heeh." Setelah Marni tumbuh jadi perawan belasan tahun. kecantikan wajah dan kemontokan tubuhnya telah menarik banyak mata lakilaki. Termasuk Parjo sendiri...." "Parjo suaminya sebelum Marni meninggal. Begitukah?" "He eh. Celakanya Parjo anak kandungku sendiri." "Lho Apa salahnya?" "Salahnya?" Wajah Pak Marto berubah merah padam. "Setelah ibunya meninggal, Marni menyusu pada isteriku!" "Maksud bapak, Parjo dan Marni satu susu?" Orangtua itu tak menjawab Ia menggeram, sehingga giginya bergemeretakkan. "Terlalu benar. Seharusnya tidak kami beritahu pada anak anak itu. bahwa mereka



bukan saudara kandung. Seharusnya kami rahasiakan. sehingga mereka tidak saling jatuh cinta dan lantas?" 'lantas?" Kepala Pak Marto menekuk Lesu . Tetapi suaranya geram dan marah . "Lantas sementara adik adik mereka ke sekolah... Sementara isteriku ke sawah dan aku ke hutan untuk menebang kayu... mereka melakukannya. Terkutuk! Mereka melakukannya! ' "Zinah'?" Pak Marto menoleh ke arah Kurdi. sehingga yang belakangan ini agak terkejut. Sudut-sudut mata Pak Marto berkilau oleh butir butir air. Bibirnya kering waktu bersungut-sungut' "Adakah kata lain yang lebih nista dari ' itu?" Kurdi angkat bahu. Pak Marto memalingkan muka. Menahan tangis. "Yah!' keluhnya Sakit "Memang itulah kata yang tepat. Zinah. Zinah. Zinaah'" Ia tekapkan telapak tangan ke wajah, lantas mulai tersedu. "Seharusnya aku membenci mereka. Mengusir mereka. Melupakan mereka. Tetapi mereka tetap anak-anakku. Yang seorang lahir dari darah dagingku sendiri. Yang lain dibesarkan oleh susu isteriku. Kami terlalu mencintai mereka. Dan terpaksa menutup mata, ketika mengetahui apa yang mereka lakukan. Sampai mereka berdua memaksa untuk kawin...!" "Wah...!" "Begitulah. Petuah apa pun tak masuk di kepala anak-anak bodoh ini. Akhirnya mereka lari ke kota lain. Menikah diam diam di sana. Pada keluarga dan tetangga tetangga yang bertanya tanya. kami bilang saja anak anak itu mencari hidupnya sendiri sendiri di kota. Mereka percaya. Dan kami pun percaya. anak-anak kami akan hidup tenang dan tenteram. Biarlah dosadosa mereka kami tanggungkan di neraka.



Tetapi.Tuhan juga yang Maha Kuasa"." Pak Marto menarik nafas. Letih . "Kutuk itu menimpa rumah tangga mereka." ia melanjutkan. 'Tiga kali Marni bunting. Tiga kali ia keguguran. Kali keempat. anak mereka lahir dalam keadaan cacat dan sudah tak bernyawa. Kehidupan ekonomi mereka seret. Mereka pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain, dari satu usaha ke usaha lain, dari satu kota ke kota lain. Selalu menemui. Gagal Dan gagal lagi. Dan kesadaran itu perlahan lahan datang. Bahwa mereka sesusu. Mereka seharusnya tidak jadi suami isteri. Dan Parjo mulai berpaling ke perempuan lain ?" "Mengapa Marni sampai mati di sini?" tanya Kurdi. "ia sadar akan dosanya. Tapi tidak bisa melepaskan cintanya. Ketika Parjo dan perempuan itu menikah, Marni kabur ke mari. Parjo ia tinggali surat di mana ia katakan ia mengancam akan bunuh diri kalau Parjo tidak menceraikan perempuan madunya. Marni kami terima baik baik. dan satu dua kali usahanya untuk bunuh diri berhasil kami gagalkan. Nasihat nasihat kami masuk juga dihatinya. Tetapi .... Wajah Pak Marto menggambarkan kesedihan bercampur kegembiraan . "... suatu hari, kami dengar Parjo telah punya anak!" Ia geleng-geleng kepala. "Akhirnya aku punya cucu. Tetapi kegembiraan itu. lenyap begitu saja, karena hal yang sebaliknya justru terjadi pada Marni. Ia semakin susah dan pemurung. Ia tahu. dengan lahirnya anak itu, cinta Parjo padanya semakin berkurang. Perempuan madunya itu ia anggap telah merenggut segalagalanya dari dirinya. Wajahnya begitu polos. Sikap sikapnya begitu wajar. Tak tahunya, jiwanya begitu hancur. Kami tidak menduga apa apa ketika kemarin siang ia menghilang dari rumah tanpa ada yang mengetahui. Kami sangka ia ke sawah untuk menemani ibunya membersihkan rumput...." Langkah langkah kaki di ruangan itu mengejutkan keduanya.



Parjo telah berdiri di samping Pak Marto. 'Mereka sudah siap. ayah.' katanya. Laki laki itu sama sekali tidak berani memandang mayat di atas tempat tidur. Ketika salah seorang tetangga menginterlokalnya kemarin sore dari kantor polisi desa. ia sedang berada dalam pelukan isterinya di rumah mertua mereka yang besar dan mewah. Isteri dan mertuanya telah memberikan segala galanya pada Parjo. Pekerjaan, hidup senang, dan anak laki laki yang mungil. Ia tahu cintanya pada Marni telah redup perlahan lahan. Tetapi selama ngebut dengan mobil pulang ke kampung orangtuanya. ia pun tahu cinta Marni justru kian berkobar didorong oleh kecemburuan dan sakit hati. Cinta yang berkobar itu telah merenggut nyawa Marni. Parjo merasa berdosa. Dosa yang lebih besar dari dosa yang ia perbuat ketika mulai pertama ia menyetubuhi adik angkatnya itu. Masih tanpa memandang ke mayat. Parjo kemudian bergegas ke luar. Kurdi mendengus. Perlahan. Perlahan pula ia berjalan ke jendela. Jendela itu berhadapan dengan sebuah lapangan kosong dan ditumbuhi semak belukar. Ia melihat kereta kudanya di sana. Melihat anjingnya yang bertubuh besar dan berkulit hitam legam berkilat kilat. meringkuk di samping roda kereta. Seekor kuda tinggi besar dengan kulit berwarna coklat kehitaman. tengah merumput dengan rakus, masih mengenakan tali kekang kuda yang disimpulkan pada cagak kayu di samping tempat duduk kereta. Kurdi tersenyum. Binatang binatang itu tadi malam tentu telah berpindah sendiri dari halaman depan. 'Kawan kawanku yang baik, ' gumamnya. Pelan. Tetapi anjing itu seperti mendengar. Matanya memandang tuannya di jendela. Berkilat kilat. Ekornya berkibas ke kiri ke kanan. Kuda itu juga mendengar. Ia menoleh ke jendela. dan mendengus dengan keras. Kurdi tersenyum lagi. Lengan kirinya ia acungkan ke arah matahari terbit sehingga balutan dari daun



kelapa itu berkilau kilau bersiram mandi matahari. Beberapa orang tetangga yang bekerja di samping rumah. melihat apa yang ia lakukan. Dengan tenang, Kurdi membuka tali pengikat balutan lengan kirinya. Luka bekas sayatan di urat nadi lengan kinnya telah mengatup .Dan waktu luka itu ia hadapkan langsung ke arah matahari, mulutnya kumat kamit membaca mantera. Hanya dalam beberapa detik, luka itu perlahan lahan Sirna. lalu tidak meninggalkan bekas sama sekali. Seorang yang berdiri di dekat peti mati yang hampir siap, bergumam heran "Sedang apa orang itu" "Entahlah," jawab temannya di sampingnya. "Mungkin si penunggu mayat sedang berdo'a dengan jimat di tangan."



***



EMPAT Roda kereta berdetak waktu terantuk ke sebuah batu tepat di depan pintu pekuburan. Kurdi tersentak dari kantuk yang membuatnya terangguk angguk semenjak tadi di tempat duduk. Ia menggelengkan kepala. Sepasang matanya yang sempat bersinar tajam menembus kegelapan malam. Memandang berkeliling. Gelap semata. Sepi. Menyentak. Pandangannya kemudian beradu dengan mata besar berkilat kilat dari kepala kudanya yang menoleh ke belakang. Kurdi tersenyum "Terima kasih, anak baik." ia bergumam. Kuda itu mendengus. Senang. Kurdi meloncat turun dan membiarkan tali les berjuntai menyentuh tanah berbatu. Seekor anjing besar dan hitam. mendekat dengan mengibas ngibaskan ekor. lalu lidahnya yang lembut kemerahan menjilati betis Kurdi yang telanjang . "Ala. biyung." Sungut Kurdi seraya memandangi anjing itu. 'Aku berani bertaruh. kau



tak akan sudi masuk ke dalam," ia tolehkan kepala ke arah pekuburan. Anjing itu melolong kecil, kemudian meringkuk di samping roda kereta. Kurdi memeluk meluk punggung kuda, kemudian mengusap moncong anjingnya. "Kalian akan sabar menunggu. bukan?" _ Sekali lagi ia memandang berkeliling. Setelah merasa puas, ia lalu memasuki kompleks pekuburan. Dengan bantuan sinar rembulan dan cahaya bintang gumintang melangkah tenang-tenang di jalan tikus yang dibagian kiri dan kanannya dipenuhi gundukan gundukan tanah serta batu-batu nisan. Dibantu ingatannya ketika ikut mengantarkan jenazah yang dimakamkan tadi siang. Kurdi kemudian tiba di tempat yang ia tuju. Ia pandangi gundukan tanah yang masih baru dengan nisan yang juga baru. terbuat dari kayu, tak jauh dari kakinya. Ada suara berkepak tiba tiba. Kurdi menoleh. Seekor kelelawar rupanya terkejut oleh kedatangan Kurdi. lantas terbang dengan suara ribut dari rimbunan dedaunan sebuah pohon kemboja yang tumbuh subur. Burung itu seakan-akan melejit ke langit yang biru. berputar putar sebentar di atas tempat Kurdi berdiri. terbang lagi. Kian tinggi. akhirnya hanya tampak seperti bintik kecil yang seakan akan menerobos masuk ke perut rembulan. Kurdi menghela nafas. Ia rogoh saku kemejanya yang lebar. mengeluarkan sesuatu yang kemudian ia letakkan tepat di depan kayu nisan. di atas gundukan tanah makam. Bau harum yang semerbak menusuk hidung Kurdi Ketika mancis ia nyalakan. tampak bunga rampai beraneka ragam berserakan di sekitar pedupaan yang barusan ia letakkan. Dengan mempergunakan ranting ranting kering yang juga ia bawa. ia kemudian menyalakan isi dupa. Cahaya api membersit-bersit Kuning kemerahan. Setelah nyala api itu padam. kini tinggal asup putih berkebul, meliuk liuk ditiup angin malam yang dingin menusuk tulang. Sesaat. Kurdi menggigil. Ia kencangkan kain syaal tebal yang membelit di leher lalu dengan nikmat menghirup asap yang berkebul dari pedupaan. Perlahan lahan.



kepalanya bergeleng-geleng Ke kiri ke kanan. Lama lama makin cepat. sementara tangannya terus membubuhkan serbuk halus ke pedupaan. Bau menyan yang keras dengan cepat memenuhi udara di sekitar tempat Kurdi duduk bersila. Matanya terpejam rapat. Dan bibirnya komat-kamit membaca mantera. Tak lama kemudian. tubuh Kurdi berguncang guncang dengan keras. Butir butir keringat sebesar jagung mulai membasahi jidatnya. Mantera yang keluar dari bibirnya kian keras dan nyaring pula... "yaa bardaa. ya guru, ya Marni.?" Berulang kali ia membacakan mantera yang sama.



Lalu: "Kudatang. Kudatang. Kudatang'" Asap menyan membubung semakin banyak. Keringat di wajahnya semakin membanjir. Tubuhnya bergoyang goyang. berguncang-guncang, gemetar dengan hebat sedangkan kedua lengan yang menekan di dada jadi kaku dan tegang. Tiba tiba ia berhenti membaca mantera. Mata Kurdi pelan pelan membuka. Kepala ia tengadahkan. Menatap langsung ke arah rembulan yang entah semenjak kapan tau tau telah bersembunyi di balik awan putih perak yang mengapas di langit. Sinar lemah dari balik awan itu beradu dengan sinar tajam yang terpancar keluar dan sela kelopak kelopak mata Kurdi yang tidak berkedip sekejap pun juga. lama ia bersikap seperti itu. tanpa bergeming dari duduknya, tanpa mengerdipkan mata. bahkan tanpa bernafas sama sekali. Kulit mukanya mulai kemerahan dan terasa panas. Uap tipis sedikit demi sedikit keluar dari kulit wajah Kurdi yang basah oleh peluh. beradu dengan asap menyan yang juga semakin menipis karena Kurdi tidak lagi mengisi dupa dengan serbuk baru. "Huuuuu'" Kurdi tiba tiba mengeluh dengan suara seperti menangis . Ia renggutkan wajahnya dari rembulan. menatap ke tanah makam. tepat ke kayu



nisan. Setelah meludah tiga kali ke kayu nisan itu. matanya kembali terpejam. Seketika. tubuh Kurdi kembali terguncang. Dari mulutnya lepas erang yang tersendat sendat. "Bangkitlah. Bangkitlah, demi kepuasan hatimu. demi cinta kasihku pada tubuhmu yang telah sempat menyatu dengan tubuhku. Bangkitlah Marni, sempurnakanlah kepenasaran jiwamu yang melayang-layang di langit kelam. yang terlunta lunta di alam baka. yang terkapar di tanah kering". Bangkitlah, Marni. bangkitlah lalu cepatlah kau kembali. Yaa bardaa. ya guruu. ya Marniiiiii!" Asap menyan telah habis. Tetapi pedupaan itu kini tak lagi diam. Dupa kecil itu bergoyang pelan pelan, pelan, lalu makin keras, kemudian berguling ke sisi waktu tanah yang penuh oleh bunga rampai tempat dupa tadi terletak. mulai rekah, kemudian terbongkar dengan hebat seperti ada pacul dan sekop sekop yang tidak terlihat menggerakkan tanah-tanah makam itu sehingga berhamburan ke sekitar nya. Pada waktu rembulan keluar dari balik awan, sinar nya kembali menerangi bumi, menerangi makam di depan Kurdi. Kayu nisan terbalik. kemudian jatuh menganga lebar dan hitam tepat di tempat mana tadi dupa menyan terletak. Lalu suara mendesah mulai terdengar. Bukan dari mulut Kurdi yang kini mengatup rapat. Tetapi suara mendesah itu terdengar keluar dari lubang besar itu. disusul oleh suara tangis yang pilu menyayat. tersendat-sendat Suara seorang perempuan! Sayup sayup. terdengar suara anjing melolong. Jerit lengking dari lubang menganga, seketika menyentak kesepian malam yang menyelimuti kompleks pekuburan yang besar dan luas itu. Pada detik yang sama. sesosok makhluk muncul dari dalam lubang. Sosok tubuh yang terbungkus kain kafan putih yang telah dikotori tanah. Kain kafan itu robek disana sini pada saat tubuh yang terbungkus di dalamnya bergerak gerak dengan hebat. Beberapa saat berikutnya dari bagian atas kain tersembul keluar sesosok tubuh yang pucat dengan pelipis yang



hancur. sepasang mata terpentang lebar seakan akan mau terloncat keluar dari tahanan sisa sisa kelopak yang hancur. Kurdi tidak bergerak di tempatnya. Tubuhnya diam. Kaku Dan dingin. Hanya mulutnya yang kumat kamit membaca mantera. ia sama sekali tidak melihat bagaimana makhluk itu kemudian berjalan menjauh dari tempat itu. dengan langkah langkah kaki yang seperti melayang layang di atas permukaan tanah. . Makhluk itu pun seperti tidak melihat bahkan tidak perduli pada Kurdi. Berjalan terus, cepat sekali, makin lama makin jauh, makin lama makin samar dan tiba-tiba telah lenyap ditelan kegelapan malam. Angin keras tiba-tiba bertiup dengan kencang. Kurdi menggigil. Dari kejauhan. lolongan anjing terdengar kembali. Halus. Menyayat. Lalu tiba tiba "guuuk. guuuk. guuuk"!" lolongan itu berubah. Pelan mula mula lalu makin keras. Kurdi membuka matanya, terloncat berdiri pada saat yang sama. Ia melihat ke lubang menganga. gemetar sesaat, lalu memandang berkeliling. Yang tampak hanya gundukan-gundukan tanah, semak belukar, batu batu dan kayu kayu nisan yang berserakan. pohon pohon yang berdiri diam dengan rimbunan dedaunan menunduk menatap bumi dan" kelap-kelip lampu petromak dikejauhan. 'Hem!" Kurdi memberengut, Lalu merunduk. Matanya mencari cari. Kemudian juga tangannya. Tak lama. tangan itu telah menggenggam pedupaan. Sekali lagi ia memandang kekejauhan. ke arah kelap kelip petromak itu mendatang. Lalu bergegas ia berjalan di antara batu-batu nisan, meloncati satu dua dari nisan nisan itu dan dengan cepat telah tiba di pintu makam. Kudanya mendengus keras dengan salah satu kaki belakang berdetak detak dihentak hentakkan ke tanah berbatu batu. Anjing yang tadi meringkuk di samping roda kereta. menyambut Kurdi di pintu makam dengan ekor berkibas kibas tak sabar .



Kurdi menyambar tali les. Tanpa menaiki kereta, ia menarik tali les itu hati hati. Kudanya maklum, lalu berjalan di atas keempat kakinya hampir-hampir tanpa menimbulkan suara. Roda kereta berputar. Pelan. Dan anjing itu tak lagi melolong waktu mereka telah bersembunyi dibalik pepohonan dan semak belukar yang memenuhi pinggir jalan yang berseberangan dengan kompleks pemakaman. Cahaya pe tromak itu menerangi beberapa sosok tubuh yang berjalan dengan rapat satu sama lainnya. Waktu akan memasuki makam. Kurdi mengenal orang yang berjalan paling depan. Ia adalah Pak Marto. yang mendampingi isterinya seraya memeluk pinggang perempuan itu. Suami isteri yang sudah tua itu ditemani oleh beberapa orang tetangga dan salah seorang anak mereka. Lamat-lamat telinga Kurdi menangkap suara tangis si perempuan yang tersendat sendat. Lalu suara Pak Marto yang kesal: "Sudah. Hentikanlah tangismu. Kita telah tiba di makam...." Justru sesenggukan perempuan itu kian menjadi. Suaranya kering dan putus asa waktu mengeluh: "... biarkan aku. pak. Biarkan aku... " "Wah, kau bikin suasana duka cita jadi kacau. Tidakkah kau ingin menghormati" "Pak! Justru... justru karena aku ingin menghormati roh Marni, maka kuminta kalian menemaniku ke sini malam ini. Oh. Pak. Aku mencintai Marni seperti aku mencintai anak anak kita yang lainnya. Ia anak baik. Tetapi bernasib malang " suara itu kian sayup setelah sosok sosok tubuh mereka berjalan di antara batu batu nisan, menimbulkan bayangan bayangan hitam memanjang dan menari nari kian ke mari. Namun telinga Kurdi yang ditajamkan masih mendengar keluh kesah si perempuan. "aku nyesal pak. Tak seharusnya anak kita yang malang itu kita biarkan terbaring sendirian tadi malam!"



'Wah! Ia kan ditemani Nak Kurdi " "Penunggu jenazah itu bukan sanak saudara kita. Bukan sanak saudara Marni Pak, aku .. oh, pak. Percayalah. firasat aneh sepanjang hari ini membuat perasaanku tak enak. Tidakkah kau pernah memikirkan. dosa-dosa yang telah diperbuat Marni mungkin membuat rohnya tak diterima oleh bumi' Tidakkah..." "Hem!" Ditempat persembunyiannya. Kurdi mendengus. 'Celaka. Apa maunya orang tua itu" Menemani anaknva tidur di kuburan?" Sambil bersungut sungut. Kurdi menarik tali les kuda. kembali ke jalan dan menjauh dari tempat itu. Setelah merasa aman. ia kemudian naik ke tempat duduk. Kuda itu berjalan cepat di atas jalaran yang tak lagi berbatu batu. Anjingnya berlarilari mengikuti dengan lidah terjulur-julur dan ludah berlendir menetes satu persatu. berpencaran ditiup angin sebelum jatuh membasahi tanah yang lembab oleh embun. Dan.... Kurdi menghentikan kereta kudanya waktu jeritan itu terdengar Jauh sekali. Tetapi Kurdi bisa mengenal suaranya. Dan malah bisa membayangkan. bagaimana ibu Marni yang malang, jatuh pingsan dalam pelukan suaminya. Bahkan. mungkin bersama sama dengan Pak Marto sendiri. Kurdi tengadah. Menatap rembulan. yang kembali bersembunyi di balik awan. Lalu. dengan sekali pecut yang tak terlalu keras. kuda di depan tempat duduknya berjalan semakin cepat menembus malam yang pekat di antara pohon pohon raksasa di kiri kanan jalan....



***



Hartati berbaring gelisah di tempat tidurnya. Bayinya baru saja tidur di box. setelah menyusu. Entah mengapa, Hartati lebih senang andaikata bayi itu tidak tidur saja. Biarlah tangisnya memekakkan telinga, asal



Hartati tidak kesepian. Ah. Seharusnya ia tidur di rumah orang tuanya saja. Akan tetapi. waktu akan pulang ke kampung malam kemarin. Parjo sudah mengatakan bahwa ia akan kembali malam ini langsung ke rumah mereka. ia tak akan lama di kampung untuk menghadiri pemakaman adiknya yang bernama Ningsih Sumarni itu. Katanya ia akan pulang malam ini juga. Tak kuat lama berpisah dengan Hartati. Apalagi dengan bayi mereka. Baiklah. Hartati bisa memaklumi perasaan suamiuya. Lebih-lebih setelah Parjo menegaskan dengan katakata: "Lagipula. Tati. aku tak ingin nantinya suasana berkabung yang kubawa dari kampung. ikut mengganggu ketenangan keluargamu." Kalau memang hanya sekedar itu. memang benar. Tetapi patutkah Parjo menolak keinginan keluarga Hartati, agar ada salah seorang di antara mereka, yang ikut ke kampung untuk menemani Parjo" Hartati sendiri. betapa ingin. Ia belum pernah bertemu dengan keluarga suaminya, demikian pula kedua orangtua Hartati. Selama ini, mereka terpaksa menyerah pada kemauan Parjo. Karena perkawinan laki laki itu dengan Hartati, tanpa setahu kedua orangtuanya. Konon, parjo telah dicalonkan dengan salah seorang anak famili, dan orangtua Parjo berulangkali menekankan agar pilihan Parjo tidak jatuh pada perempuan lain. Bahkan persiapan Untuk perbesanan itu telah lama, tinggal menunggu Parjo memberikan lampu hijau saja . "Selama ini kuulur ulur waktu saja. Aku tak setuju dan tidak mencintai sama sekali calon orangtuaku itu. Dengan alasan aku belum punya pekerjaan dengan penghasilan yang bisa menghidupi rumah tanggaku. orangtuaku dan besan mereka terpaksa mengalah. Jadi. bisa kau bayangkan bagaimana murkanya mereka kalau tahu pilihanku telah jatuh pada perempuan lain." demikian Parjo pernah menjelaskan, "Lantas. kapan aku kau perkenalkan pada orangtuamu?" tanya Hartati. 'Tunggulah. Semurka murkanya orang tua, kalau sudah disodorin cucu, toh akan menyerah juga."



Dan kini. Parjo dan Hartati telah punya bayi. Orangtua laki laki itu telah punya cucu. Tinggal menunggu waktu saja. Sampai kesehatan Hartati pulih setelah melahirkan. Dan bayi mereka cukup kuat mereka rencanakan akan berangkat bersama sama ke kampung ditemani oleh kedua orangtua Hartati. bahkan dengan beberapa sanak keluarga lain. Biar ramai. Biar orangtua Parjo tidak sempat marah dan bikin ribut sehingga malu sendiri di hadapan sekian banyak tamu. Yang telah jadi besannya pula lagi. Dan telah membawa kado yang paling menarik, hadiah yang tiada duanya dari anak sulung mereka: seorang cucu yang mungil dan manis seperti ibunya. tetapi tak seperti ayahnya! Hartati tersenyum kecut. Memandang ke box. ia lihat bayinya tertidur dengan lelap. Betapa nikmat. Makhluk kecil yang polos itu. tidak tahu apa yang harus dihadapi orangtuanya. Tidak tahu, apa yang membuat ibunya malam ini begitu gelisah. Hartati sendiri memang tidak tahu juga Mengapa" Kecewa" Karena sebelum rencana untuk beranjang sana tercapai, telah terjadi musibah yang memilukan itu" Demikian memilukan. sehingga waktu menerima interlokal dari kampung, Parjo sampai sempat pingsan dengan butir butir air melelehi sudut sudut matanya! Apakah arti Nengsih Sumarni buat Parjo" Sekedar adik" Tetapi Parjo pernah menceritakan, Nengsih atau Marni itu adalah adik angkat. Pertalian itu tidak wajar. Tampaknya kalau dihubung-hubungkan dengan suasana ganjil yang berlangsung selama perkawinan mereka. Parjo yang suka mengigau waktu tidur. Menyebut nyebut nama adiknya, Marni, disertai kata kata "kasih" atau "sayang". Yang bila ditanya Hartati setelah suaminya terbangun, dijawab Parjo dengan tandas: "Ia anak malang. Ditinggal mati kedua orangtuanya. Wajar toh kalau tidak saja orangtuaku. tetapi aku juga mengasihi dan menyayangi Marni?" Demikian merasa wajarnya Parjo. sampai kadang kadang diwaktu mereka berada di



meja makan dan Hartati menghidangkan sesuatu. Parjo tiba tiba nyeletuk. 'Wah. sayur asam itu kesukaan Marni." Atau, waktu terbangun karena impian buruk di tengah malam. Parjo menyentuh pundak Hartati seraya berbisik. 'Marni, Marni sayang. Aku mellhat kita...." Betapa kasihnya Parjo pada Marni. Dan betapa sakitnya hati Hartati! Suara berderit dari box menyadarkan Hartati dari lamunannya. Ia menoleh. Melihat bayinya menggeliat. dan tiba tiba menangis. Hartati bangkit cepat cepat dari tempat tidur. Berjalan ke box. menepuk-nepuk paha bayi itu dengan lembut dan penuh kasih, mengusap usap wajahnya dengan rasa cinta. Tetapi sang bayi terus menangis. Malah semakin keras. Kedua kaki dan kedua tangannya menyentak nyentak Waktu Hartati mengangkatnya, ia lihat kain lapis kasur box. basah kuyup. dan juga merasakan hal yang sama di popok anaknya. "Hussy. pipis saja kok ribut banget!" celetuk Hartati. Ia merasa agak tenang setelah memangku bayinya. Cepat-cepat p0pok anak itu ia ganti. Meskipun ia ingin kesepian malam itu diusir oleh tangis anaknya, toh akhirnya ia tidak sampai hati. Ia susui juga bayi itu. Untuk tidak sampai resah sendiri, bayi itu tidak ia tidurkan kembali di box, melainkan di atas tempat tidurnya sendiri. Setelah merasa mulutnya menempel di putik susu ibunya. sang bayi rupanya merasa nyaman dan enak. lantas tertidur kembali. Hartati melepaskan mulut bayi dari putik susu. Lalu merebahkannya di sampingnya Ia pandangi bayi itu berlamalama. Dan sekali, tercetus tanya dari mulut: "Sungguh sungguhkah ayahmu mencintaiku, nak"' Habis berkata begitu. mata Hartati terasa perih. Ia memejamkannya. Dan kegelisahan itu kembali menerpa. Ia coba memejamkan mata. Gagal. Melirik ke jam antik yang terletak diatas buffet



kamar, ia lihat jam sudah menunjukkan pukul dua lewat tengah malam. Mengapa Parjo belum kembali" Apakah ia mengalami sesuatu di jalan" Atau" ya. Barangkali, kematian adik angkatnya yang bernama Nengsih Sumarni "terkasih" dan "tersayang" itu membuat Parjo betah tinggal di kampung. dan lupa kata-katanya sendiri bahwa ia tidak bisa berjauhan lama-lama dengan isteri dan anaknya. Sekujur tubuh Hartati tiba tiba terasa dingin. "Hem." ia bergumam sendirian. "Kalau ia tak pulang malam ini, baiklah. Aku akan nekad menyusulnya besok. Kalau perlu. anaknya akan kubawa serta. Biar dia sadar dan...." Dan kecemburuan melecut lecut hatinya dengan cepat. Tetapi. bukankah Marni itu adik Parjo" Mengapa ia harus cemburu" Mengapa Hartati harus didera oleh prasangka buruk dan takut yang tidak beralasan" Hartati mengerang sendiri . Hatinya teramat sakit. Sakit sekali. Celakanya. matanya tidak juga mau terpejam. Kesal. ia duduk mencangkung di tempat tidur. Berpikir keras. Dan tiba tiba tersenyum. Dan berbisik pada dirinya sendiri. "Bodohnya aku ini. Tentu saja aku tidak bisa tidur. Bukankah aku harus membukakan pintu untuk Parjo?" Persis ia habis berkata begitu. terdengar ketukan ketukan halus di pintu depan. Hartati terkejut karena ketukan itu begitu tiba tiba. "Parjo!" bisiknya kemudian, lantas meluncur cepat cepat dari tempat tidur. berjalan ke luar kamar dan bergegas ke ruang depan. Sebelum membuka pintu. terlebih dahulu ia menekan tombol lampu. Tetapi ia salah pijit. Yang tertekan adalah tombol lampu ruang depan di mana ia berada sehingga jadi terang benderang seketika. Padahal yang ia maksud adalah menerangi terras di luar. Tetapi apa perdulinya" Yang penting Parjo telah pulang. Lampu tak akan jadi persoalan!



Ketukan itu tak terdengar lagi. Sesaat, Hartati ragu. Jangan jangan, tadi ia salah dengar. Bukankah kalau pdang ke rumah, selain mengetuk pintu. Parjo selalu memanggil manggil namanya" Barusan. ketukan itu begitu halus. tidak keras seperti biasa. Tiada suara memanggil. Dan ketukan itu sendiri." tidak berulang lagi. Atau. memang tidak ada ketukan sama sekali. "Ah. mungkin suamiku teramat lelah. dan lupa kebiasaannya..." pikir Hartati. Pada saat itu. kecemburuan yang tidak beralasan dan kerinduan yang teramat sangat pada suami. telah membuat Hartati lupa akan keselamatan dirinya sendiri. Ia yakin suaminya telah kembali .Ia yakin Parjo yang mengetuk pintu. Dan ia merasa kasihan. tentulah Parjo teramat lelah sehingga kini hanya tersandar diam di bendul bagian luar dengan tubuh lesu, lelah dan kedinginan. Tak ayal lagi. kletak! Kunci diputarkan. Lalu. brai! Pintu ia buka. Angin dingin menerobos masuk ke dalam. Dingin sekali. Hartati menggigil. Dan keberaniannya ciut seketika. waktu ia tidak melihat siapapun di depan pintu. kecuali sinar lampu yang menerobos keluar menerangi terras. menjilati vas dan bunga kaktus. lalu kerikil kerikil putih kekuningan. Selebihnya. gelap semata. Gelap gulita. Tidak. Bukan saja kegelapan. Tetapi juga angin yang teramat dingin itu. meniupkan semacam bau tak enak. Mula mula hanya sedikit. Tetapi setelah ia hirup bau tak enak itu lebih banyak. perutnya terasa mulas. Ia mencium bau busuk. Bau bangkai! Dan sesosok bayangan tau tau telah berdiri di hadapannya . Bayangan itu menyeringai. Di mulutnya yang rusak. dan disepasang mata yang terpentang lebar, tanpa kelopak, serta pelipis yang hancur....



***



LIMA Parjo membelokkan mobil memasuki pekarangan rumahnya dengan suara ban berdecit nyaring dan kerikil yang ribut waktu mobil itu berhenti tepat di depan teras. Sejak ngebut dari kampung selama berjam jam. Parjo dihinggapi perasaan ganjil yang tidak menentu. Kehilangan Marni yang tidak ia sangka sangka seakan telah merenggut sebagian jiwanya. Tetapi kematian adik angkat yang sempat hidup sebagai suami isteri dengannya. yang begitu mengerikan. membuat Parjo tidak saja tak sanggup melihat mayat Marni. akan tetapi juga tidak kuat berlama lama di kampung. Segera setelah pemakaman selesai. ia langsung mengebut mobilnya pulang ke kota. Semakin dekat ke rumah, semakin cepat mobil ia larikan. Dan anehnya, Sesuatu perasaan ganjil itu kian menggila. Mesin mobil sudah ia matikan . Tetapi lampu depan. masih Ia nyalakan. Lampu mobil yang terang benderang itu. menangkap sesosok bayangan tubuh langsing dan padat dengan liku liku tubuh yang menggiurkan terbayang di balik kimono tidur yang tipis, tengah berdiri tegak di ambang pintu. Parjo berusaha menekan perasaan ganjil yang menghantuinya semenjak dari kampung, lantas mematikan lampu dan keluar dari mobil. Lalu berjalan di atas kerikil dengan suara ribut yang ditimbulkan oleh sepatunya. Angin malam yang dingin membuat kulit wajah Parjo terasa kaku. Ia melangkah ke teras. berjalan ke arah sosok tubuh itu masih tetap berdiri di tempatnya. Terpaku diam. dengan wajah pucat pasi. dan sepasang mata memandang jauh ke depan. Teramat jauh. Melewati bahu Parjo. melewati mobil di depan. melewati pekarangan. melewati pagar halaman, melewati jalan raya yang sepi. bahkan seperti melewati kegelapan yang tidak bertepi.. Parjo tercengang. Ia sentuh lengan perempuan itu. "Tati?"



Tak ada sahutan. Bingung, Parjo kemudian menepuk nepuk pipi Hartati. Dari menepuk, lantas memeluk. Sambil memeluk. juga mencium. Barulah kemudian ia merasakan gerakan pada tubuh si perempuan. Ia harapkan. gerakan itu adalah gerakan kerinduan. Lengan lengan halus mulus yang balas memeluk, dan bibir hangat berapi yang balas memagut. Tetapi. yang diperoleh Parjo adalah apa yang sama sekali tidak ia duga. "Plak!" Sebuah tamparan deras hinggap di pipi Parjo. Hartati meronta dari pelukan sang suami, dan sambil menjauh mulutnya melepas cerca: "Jadah!" "Tati!" Parjo terkejut dan bengong. Ia cepat cepat masuk, menutupkan pintu lalu berjalan mendekati isteri nya dengan pikiran bahwa Hartati hanya bersandiwara. sedang mengajak guyon. Baru juga selangkah. Hartati sudah berdesis: "Jadah. Diam di situ. Jangan sentuh aku. laki laki berjiwa kotor!" "Hen..." "Apa" Mau merayu" Terkutuk! Pencinta yang palsu dan menjijikkan! Setelah puas mencicipi tubuhku, kau lari ke perempuan lain!" perempuan itu mendengus. Parjo menyadari sesuatu di antara rasa kejut dan panik yang menyerangnya tiba tiba. Sesuatu yang membuat darahnya tiba tiba dingin. Matanya melihat tubuh Hartati, namun telinganya menangkap suara Nengsih Sumarni! Belum juga ia bisa mempercayai penglihatan dan pendengarannya. tau tau perempuan itu telah berlari masuk ke kamar tidur. Waktu keluar. bayi mereka telah berada di tangan Hartati. Bayi itu terpekik dan menangis keras " karena dibangunkan dengan kasar dan secara paksa. "Gumpalan daging dan darah kotor inikah yang mengguna gunaimu, eh?" jerit si perempuan seraya mengangkat bayi itu tinggi-tinggi. Parjo terkesiap.



'Jangan sakiti anak itu!" teriaknya. lalu meloncat ke depan. ia berusaha menyambar bayi dari tangan Hartati. akan tetapi isterinya berkelit dengan cepat. Sambil menjauh, si perempuan tertawa mengikik, membuat bulu roma di pundak Parjo pada berdiri. Sesaat ia kehilangan keseimbangan badan, tetapi waktu melihat bagaimana Hartati kembali mengangkat bayi yang menangis menjerit jerit itu tinggi tinggi lalu siap untuk dihempaskan ke lantai, maka Parjo menjadi nekad. Seraya menerjang, ia tendang salah satu lutut si perempuan . Hartati terpekik kesakitan. "Jadah! Jadah' Kau menyiksaku'" ia memaki maki. Badannya agak lunglai oleh tendangan itu sehingga waktu Parjo mengembangkan kedua lengan ke depan. Hartati tidak sempat lagi mempertahankan anak yang ia pegang. Parjo telah merenggutnya seketika. memeluk dan mendekapkannya ke dada seraya membujuk sang bayi dengan kata kata manis dan penuh kasih sayang .Akan tetapi tangis si bayi tidak juga reda. Kulit bayi itu pucat, dan anggota-anggota tubuhnya melejat lejat keras. Dengan panik Parjo terus membujuknya. Ia sama sekali tidak memperhatikan bagaimana Hartati telah berdiri tegak kembali. Dengan seringai lebar di mulutnya. si perempuan mengumpat: "Berikan dia padaku Parjo. Ia anakku!" Parjo tak perduli. "Berikan padaku. Parjo. Berikan..." suara si perempuan melemah kini. Suara yang letih, suara yang minta dibelas kasihani. Suaranya yang asli. Parjo memperhatikan isterinya. ragu ragu sebentar maju kemudian menyodorkan si bayi untuk diambil kembali oleh Hartati. Si perempuan maju dengan wajah masih memelas. Namun begitu jari-jarinya menyentuh tubuh anak itu. seketika seringai di mulutnya melemparkan bayangan muak yang mengerikan. Ia cengkeram salah satu kaki bayi itu. berusaha menariknya. dan di antara tawanya yang mengikik ia menjerit: "Lepaskan! Biar kubunuh dia. Lepaskan. Parjo. Lepaskan!"



Parjo tersentak mundur. Malang. salah satu kaki sang bayi masih dibetot oleh isterinya. Anak itu menjerit lengking oleh siksaan yang teramat sangat itu. Jeritannya menggugah hati Parjo sebagai lelaki. Sebagai seorang ayah yang memiliki naluri untuk membela darah dagingnya. "Perempuan tak tahu diri" Ia bersunguta Bersamaan dengan itu, kakinya menendang sekali lagi. Pegangan Hartati mengendur. Parjo menendang sekali lagi. Pegangan itu lepas kini. Parjo berharap si perempuan meringkuk atau menjauh kesakitan sehingga ia bisa berlari ke kamar untuk menyelamatkan si bayi dari amukan ibunya yang bertingkah laku aneh itu. Tetapi Hartati masih berdiri tegak di atas kedua kakinya dengan seringai yang semakin mengerikan di mulut. Sepasang matanya merah berapi api. Dengan kaki terpincang pincang akibat kena tendang. ia merangsek ke depan. Kedua lengan terjulur memperlihatkan jari jemarinya yang dalam keadaan lain lentik dan manis akan tetapi saat itu di mata Parjo tampak bagai cakar kera dengan kuku kuku panjang yang mengancam. Dalam keadaan panik oleh perubahan yang aneh pada tingkah laku isterinya, Parjo masih punya kesadaran untuk berusaha tenang. Sambil mundur perlahan-lahan menuju ke kamar. ia mencoba tersenyum. Kaku memang. tetapi bagaimanapun ia harus tersenyum. 'Tati. ada apa dengan kau?" "Hhheeeegghhh...!" geram si perempuan. "Tati. dengarlah. Kautak sadar dengan apa yang kau perbuat, bukan?" "Hiii'" "Hartati. sayangku kau?" "Sayangku! Sayang nenek moyangmu. babi terkutukl' jerit si perempuan begitu mendengar ucapan yang lemah lembut dan penuh rasa sayang keluar dari mulut Parjo. Seluruh tubuh perempuan itu gemetar dengan hebat. Peluh tidak saja telah membanjiri



wajahnya. akan tetapi juga menguyupi kimono tidur yang ia kenakan. Lekak lekuk tubuh yang menggairahkan terlebih lebih karena baru melahirkan anak pertama itu, sama sekali tidak lagi menarik di mata Parjo. Perempuan itu tak ubahnya makhluk yang menteror diri dan bermaksud menciderai bahkan ingin membunuh anaknya. Anaknya! Darah dagingnya sendiri! Dalam hati, ia berbisik dengan perasaan ciut' "Kau kesurupan, sayangku. Kau dimasuki setan... setannya Nengsih Sumarni ' Tiba pada pikiran itu. rasa takut menggerogoti jiwa Parjo. 'Tidaaaak!' ia berteriak. 'Kau adalah Hartati. Kau adalah isteriku. Kau adalah ibu anak ini. Dengan ini anakmu. Tati. Ini anakmu. Ingatlah! Ingatlah. Tati! ini anakmu!" "Yiiiieeeee'" Si perempuan memekik lengking lantas menerkam ke depan. Reflex saja. Parjo menghindar. Gerakan tubuh si perempuan demikian keras dan cepat. sehingga waktu Parjo mengelak. tak ayal lagi Hartati doyong ke depan, meluncur ke tembok. Terdengar suara berdebuk yang lembab dan keras. disusul oleh keluhan lirih. suara tubuh terjerembab jatuh ke lantai. Dengan dahi remuk oleh hantaman tembok. perempuan itu masih berusaha berdiri. Darah merah mengalir dari luka menganga di dahinya, menetes membasahi kelopak dan membuat bola matanya semakin menyala nyala. Parjo menelan ludah. Ia terpukau diam di tempatnya berdiri. ia ingin lari. Tetapi kakinya bagai terpacak ke lantai. Ia ingin menjerit minta tolong. Tetapi lidahnya kelu membeku. Akhirnya. dengan tangan gemetar memeluk bayinya yang tiba tiba terdiam dengan tanpa sesuatu sebab. ia memasrahkan dirinya pada Tuhan. Apapun yang akan terjadi, ia tampaknya tidak bisa lagi mengelak. la ingin mencubit pipinya keras keras untuk meyakinkan bahwa semua ini hanya impian buruk belaka. Tetapi tidak saja ia tak ingin melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh anaknya yang sudah diam tak



bergerak gerak lagi, akan tetapi juga, karena ia sama sekali tidak bisa meng gerakkan apa pun lagi dari anggota anggota tubuhnya. Bahkan. bernafas pun Parjo seperti tidak mampu: Lalu: "Parjo..." suara Hartati yang memelas. menyentuh tekak telinganya. Parjo tergugah. 'Apa yang terjadi denganku Parjo" Apa. sayangku" Aku ..'aku. ." tubuh si perempuan lunglai. Ia berlutut di lantai, dengan darah yang semakin banyak menetes memerahi wajahnya, memerahi kimononya. memerahi iubin. "Parjo. Mendekatlah ke mari, suamiku. Ini aku. Hartati! Demi Tuhan, Parjo, ini aku Hartati. Mengapa kau memandangku seperti itu...?" Perlahan lahan kesadaran Parjo muncul kembali. "Tati..." bisiknya. "Kemarilah. Parjo. Tolonglah aku." Parjo melangkah. Berusaha melangkah. Dan ia berhasil. Satu Dua. Tiga. Dan ia kini berdiri di depan isterinya yang masih berlutut di lantai. Pandangan mata si perempuan sangat memelas. Begitu putus asa. Begitu kebingungan. seolah-olah rasa sakit yang tengah ia derita. sama sekali tidak ia rasakan. Tangan si perempuan terangkat. Lemah. Dan gemetar. Pucat. Jari jemarinya lentik dan lembut. Tak berdaya. Berusaha membelai paha suaminya. dan berusaha mendekapnya. Parjo ikut berjongkok. Mereka bertatapan sesaat Kemudian. pada waktu yang bersamaan. menatap pula bayi dalam pelukan Parjo. Anak itu diam. Tiada gerakan sama sekali. Lengan lengannya terkulai. Kaki-kakinya terkulai. Wajahnya masih menekap didada Parjo. Menekap rapat. sedari tadi. Demikian rapat. sehingga anak itu tidak bisa bernafas sama sekali. Seketika. darah Parjo tersirap. Ia kembangkan kedua lengannya. Seolah olah ia ingin



menempatkan bayi itu di antara dia dengan isterinya. Untuk mereka peluk bersama. Untuk mereka kasihi bersama. Namun yang keluar dari mulut Parjo. bukan bujukan sayang. Melainkan: mati!" Hartati tengadah. Menatap tajam ke mata suaminya. "Ya?" suaranya hilang hilang timbul . "Anak kita telah mati. Mati oleh tanganku sendiri" Wajah Hartati yang letih dan pucat, mengapas kini. "Tidak..." desahnya. Lalu: "Tidaaaaak!" jeritnya. Ia sambar anak itu. Ia perhatikan dengan sepasang mata terpentang lebar. Memandang tidak percaya. Mulutnya menceracau panik: "Anakku. bangunlah. Bangunlah nak... ini ayahmu. Ini ayahmu. anakku. Ia telah pulang. Ia telah kembali padaku. padamu. pada kita.... Anakku, mengapa kau tak menjawab" Mengapa" Mengapaaa?" Ia goncang goncangkan tubuh bayi yang masih hangat di tangannya. Diam. Tetap diam. Jangankan bergerak. Tangis pun tidak. Nafaspun tak lagi terhela. Parjo berdiri. ini hanya impian buruk. bukan" Tanyanya pada diri sendiri. Katakanlah. Ini hanya impian buruk, bukan" Hartati mengerang "Tidak. Tidak mungkin." lalu. belakang kepalanya ia bentur-benturkan ke tembok. Ia benturkan berulang kali. Sambil menangis terisak-isak. Setelah puas membenturkan kepala ke tembok. ia peluk bayinya rapat-rapat. Ke dada. Kancing atas kimononya dibuka. Dadanya segera tersembul keluar. Keras dan kencang. "ini, nak. Menyusulah. Hayo. jangan menangis lagi ya. Ini, ayo. menyusulah..." lantas seraya memaksakan putik payudaranya masuk ke dalam mulut mayat bayi itu. ia



tertawa. Tertawa terkekeh-kekeh. Habis tertawa, ia menangis. Puas menangis, ia tertawa. Makin lama. suaranya makin lemah. Makin lama. tubuhnya makin lemah. Akhirnya. tubuh perempuan malang itu, lunglai. Terjerembab di lantai. Pingsan. Sekujur tubuh Parjo dingin. Dingin. Teramat dingin. Lehernya menekuk. Memandang ke bawah. Ke tubuh isterinya. Ke tubuh anaknya. Sepi menyentak. Lama Lalu lagi: "Parjo?"" Tubuh isterinya terdiam. Masih bernafas. Akan tetapi. mulutnya mengatup "Kang Parjo?" desah itu terdengar lagi. Lirih. Sayup sayup. "Aku di sini, kekasih " Pelan-pelan Parjo memutar tubuh. Dan ia melihatnya. "Nengsih . ." "Aku bukan adikmu. Aku kekasihmu.?" "Marni...." "Nah, begitu. Aku lebih menyukai kau memanggilku dengan nama itu. Sekarang. marilah kita tinggalkan tempat ini. sayangku..." "Tetapi... tetapi?" "Mengapa heran" Aku toh selalu menyimpan pakaian pengantin yang selalu kukenakan pada malam malam pertama kita hidup Serumah dulu... apakah aku masih tetap cantik, Parjo?" Perempuan itu berputar-putar. Perlahan sekali gerakannya, seperti digerakkan oleh gemulainya Pakaian pengantinnya yang putih gemerlapan, berkibar lembut kian kemari. Tubuhnya penuh daya pesona. Wajahnya yang cantik, tampak amat cemerlang. Dan sinar ajaib mengelilingi dirinya. Sinar cinta. Sinar kasih. Paijo menelan ludah.



Kekuatan gaib menarik dirinya untuk mendekati perempuan itu, berusaha memeluknya. Akan tetapi Marni mundur ke pintu. Parjo tertegun. Di sana. ia menoleh ke belakang. Ia berada antara sadar dan tidak. Ia dipengaruhi kemunculan Nengsih Sumarni. Ia justru juga melihat, Hartati dan anaknya . Terbaring diam di lantai. "Sudahlah. Kang Parjo. Anak itu lebih baik mati, daripada hidup terlunta lunta. Bukankah kita tidak diperkenankan punya anak selama ini'" Biarkan ia. sayangku. Biarkan ia tidur tenang dan abadi...." Mata Parjo terpantul ke tubuh Hartati. "Ah. Kau masih sayang padanya" Jangan membuatnya cemburu dan kembali sakit hati, kekasih. Hartati masih hidup. Sayang. Ia berlaku bodoh. Syaraf mata dan otaknya rusak. Ia tidak akan melihat apa apa lagi, bila ia sadar. ia tidak ingat apa-apa lagi. bila kesehatannya pulih. Ia akan melupakanmu. Melupakan anaknya. Sudahlah, mari kita tinggalkan tempat terkutuk ini !.." Parjo menoleh ke arah bayangan putih cemerlang di antara kegelapan itu. "Kau memasuki jasadnya tadi, Marni?" Nengsih Sumarni tersenyum . Lembut sekali . "Aku hanya meminjamnya sebentar.' jawabnya. Parjo menelan ludah. "Kudengar suaramu tadi....' "Sudah kubilang, aku meminjamnya sebentar. Sayang, Hartati tak begitu kuat. Aku berhasil menguasainya. pada saat pertama kali berpandang mata di sini. Di ambang pintu ini. Ia menunggumu waktu itu. Mengira kau yang pulang dan...." "Dan kau mendahului aku!" "Salahkah aku. sayangku?" senyum di bibir merah merekah itu mengembang. Parjo menarik nafas. Salah, jerit hatinya dengan nyeri.



"Kemana aku akan kau bawa?" tanyanya. "Kemana" Jauh. sayangku. Jauh. Ke tempat di mana, kita hanya hidup berdua Ke tempat di mana, cinta kita akan abadi selamanya. Tidak ada orang yang akan melarang kita untuk memadu kasih. Tidak ada orang yang akan mengurut dada. karena ingat kau dan aku satu susu. dari seorang ibu.... O. tidakkah semua ini begitu menyakitkan, Parjo" Tidakkah?" suaranya berubah ke cewa. "Kau lari ke perempuan lain. Aku tak mampu berpisah denganmu. Tak sanggup melihat kau dalam dekapan perempuan itu. Lalu aku pergi ke rel itu. Sudah kau dengar ceritanya, bukan" Sesaat, aku masih raguragu. Dan ketika kereta api itu datang, aku tidak terjun ke depan, tetapi juga tidak mau mundur. Maka aku disambar oleh moncong lokOmOtip yang mengerikan itu. dan... dan.?" Sepasang mata perempuan yang masih berputar melayang layang itu. berkilat kilat. "Sesuatu yang lebih mengerikan telah menimpaku. kekasih." "Sesuatu yang lebih mengerikan" Pario mengulang, dan tidak sadar ia terus melangkah menembus kegelapan subuh di luar rumah. Sepi dan dingin. Tetapi ia tidak merasakannya. Ia hanya melihat bayangan kekasihnya yang mengenakan pakaian pengantin yang cemerlang itu. Ia mengikutinya, dan tidak teringat sama sekali untuk bertanya lagi. kemana mereka akan pergi. Marni merintih. Sedih. Katanya "Laki-laki itu telah menjamah tubuhku." Kecemburuan meledak di dada Parjo. "Laki-laki" Laki-laki yang mana?" Marni tertawa Kecut. "Ah. Tak usah kau berprasangka buruk. Aku hanya mencintai dirimu seorang. Hanya mau dijamah oleh kau seorang. Tetapi laki laki itu... aku tidak sanggup melawan kekuatan dahsyat yang terpancar dari sorot mata. yang mengalir lewat tetes-tetes darahnya.... Lagipula. aku terpaksa menyerah. Dengan



syarat, ia mau membangkitkan aku kembali untuk bisa menemuimu dan.?" "Siapa laki-laki itu, Marni?" "Kurdi...." Parjo tertegun. Waktu itu. ia tertegun. Tepat di tengah jalan besar yang lengang, tak jauh dari sebuah pengkolan. Ada suara mengguruh dari kejauhan. Lalu sinar lampu yang samar-samar.... 'Maksudmu, si penunggu jenazah?" dengus Parjo. Marni mengangguk. "Tetapi. kapan, Marni" Bukankah kau belum pernah"." 'Malam itu. kekasih. Malam di mana kau tidak mau melihat jenazahku. Malam di mana kau justru lari bersembunyi di rumah lain. meninggalkan aku dikamar. Sendirian, dengan si penunggu jenazah. Seharusnya kau melindungiku. Ia tak akan berani berlaku tak senonoh. andaikata kau ada di dekatku... " "Bangsat!" Parjo memaki "Akan kubunuh binatang itu!" ' "Kita. sayangku. Kita akan sama sama membunuhnya. Arwah kita harus bersatu. Kutuk yang menimpa diri kita, akan merupakan kekuatan ampuh yang tidak akan mampu ia tolak"." "Arwah" Maksudmu, aku Marni mengikik. Dan sinar lampu itu mulai berputar di pengkolan. Suara mengguruh itu kian menderu, disertai suara mendecit decit lengking. Bunyi ban beradu dengan aspal oleh tekanan kekuatan berlari yang tidak dikurangi. Parjo mendengarnya. mengetahui bahaya yang mengancam. Tetapi sesuatu membuat ia tetap tertegun di tempatnya berdiri. Sesuatu yang mengerikan. Perwujudan Nengsih Sumarni yang cantik jelita dalam pakaian pengantin yang berkibarkibar cemerlang. tau-tau saja telah berubah jadi perwujudan mayat marni yang rusak. terbungkus kain kafan yang porak poranda .



"Ikutlah denganku sekarang. Parjo!' jerit si perempuan, lengking, disusul oleh tawa mengikik. Bayangan makhluk itu lenyap. Dan bayangan lain muncul. Sebuah benda besar. Besar dan hitam. Tak ubahnya makhluk raksasa yang kejam dan tidak kenal ampun. Parjo menjerit. Bunyi rem, terdengar mendecit decit. Terdengar suara benturan keras. Dan sebuah truck pengangkut kayu, tiba tiba berhenti setelah lebih dulu menyeret tubuh Parjo yang luluh lantak sepanjang beberapa meter.... Seseorang melompat turun dari dalam truck. Berlari ke belakang. dan melihat mayat yang hancur berlumur darah itu. "Ada apa?" seru seorang lainnya yang ikut turun. "Celaka?" bisik orang pertama. Sebuah pintu dari rumah terdekat, dibuka dengan tiba tiba. Ada cahaya lampu menerjang ke arah jalan. "Wah...." dengus orang pertama yang keluar dari truck, dengan suara cemas "Ayo, cepat naik kembali." Dan begitu mereka telah berada di tempat duduknya masing-masing. mesin truck kembali menderum. Dan makhluk raksasa yang besar dan berat itu, kabur dengan kecepatan tinggi .



***



ENAM Senja baru saja jatuh. Penduduk kampung seperti biasanya tengah berkumpul dengan keluarga masing masing. Pak tani baru saja pulang dari sawah. dengan pacul terpanggul di bahu. Ternak ternak telah bermasukan ke kandang. Warung-warung yang masih buka telah mulai menyalakan lampu, Dan adzan baru saja hilang dari mesjid. meninggalkan gaung yang seolah olah masih menggema di anak telinga. Jalanan



kampung mulai sepi. Hanya satu dua orang yang masih lalu lalang. dan sekelompok anak-anak muda tanggung tengah bercengkerama di dekat balai desa. Seorang perempuan setengah baya dengan suntil di mulut dan kemben membelit sebatas dada, berseru memanggil nama beberapa orang anak anaknya yang masih main kelereng di depan rumah tetangga. Temarampun turun. Lengang sudah jalan, ketika kereta berbentuk aneh itu muncul memasuki mulut desa. Meskipun ditarik seekor kuda, jelas itu bukan kereta atau andong. Karena tempat duduknya hanya satu, di depan Seorang laki laki setengah umur, mengenakan kemeja gunting cina dan celana katun warna hitam sampai batas setengah betis dengan kaki telanjang. duduk kaku di atasnya. Sebelah tangannya bersembunyi di balik sarung yang melingkari punggung sampai perut, untuk menahan udara senja yang teramat dingin. Sebelah tangannya yang lain, memegang tali les yang menjuntai seenaknya. Di depannya, kuda besar berkulit hitam legam itu, berjalan di atas keempat kakinya tanpa tergesagesa. Di belakang tempat duduknya. di bak kereta. terbaring diam sebuah peti empat persegi panjang yang lebar serta panjangnya hampir sama dengan bak kereta. Peti itu tertutup. Terbuat dari kayu jati yang peliturnya telah mulai luntur di sana-sini, sehingga tampak kesat dan kusam. Roda-roda kereta berderak waktu melalui jalanan berbatu. Dan menimbulkan bunyi lembut yang aneh ketika berputar di atas jalan bertanah keras dan licin berdebu. Di antara debu-debu yang beterbangan, berlari-lari seekor anjing yang juga berkulit legam dan hitam sebesar anak macan. Ekornya meringkuk di belakang kedua kaki belakangnya, sementara dari moncongnya yang bergigi-gigi tajam kekuningan, terjulur keluar lidah panjang kemerahan yang basah berlendir. Benar-benar sebuah pemandangan yang tak bisa dikatakan nyaman. Namun orang-orang hanya sepintas lalu memperhatikannya. Karena pendatang berkereta kuda dikawal anjing besar itu, sudah cukup dikenal oleh seantero penduduk daerah di sekitar



itu. Dan mereka pun sudah tahu maksud kedatangannya senja hari itu. Acuh tak acuh saja kusir kereta duduk di tempatnya, dan sang kuda seperti tidak perduli akan suasana di sekitarnya. Kereta itu melaju tidak terlalu cepat namun tak pula lambat, membelah jalan desa, memecah kesepian senja. Setelah satu belokan, kereta itu kemudian berhenti di depan sebuah rumah sederhana berpekarangan sempit. Demikian sempitnya, sehingga halaman rumah satu-satunya yang masih menerima kehadiran banyak-orang yang hilir mudik keluar masuk, jadi penuh sesak. Orang-orang itu menyingkir waktu laki-laki bermuka pucat tadi turun dari kereta. Seseorang datang menyongsong. "Besar sekali terima kasih kami, Pak Kurdi mau datang." Kurdi mengangguk seraya tersenyum. Sedikit, cuma. Ia masuk ke dalam rumah diikuti pandangan semua orang. Masih acuh tak acuh. Ia membalas anggukkan beberapa orang yang beradu pandang dengannya, berjalan terus ke ruang tengah di tempat mana segelintir orang sedang melingkari kain selendang yang menutupi sesuatu di atas tikar pandan yang lebar. Kurdi tertegun menatap gundukan berselubung kain selendang itu. Sepasang matanya mengecil, dan mulutnya melontarkan desah yang aneh. Setelah beberapa saat lamanya berlaku demikian, ia memandangi orang-orang yang duduk bersila, kemudian bergumam: "Kalau diperkenankan, biarlah saya hanya sendirian saja di sini, bersama ayah dari anak ini...." Orang-orang itu saling bertukar pandang, saling mengangguk dan kemudian sama-sama berdiri. Setelah semua orang menyingkir, yang duduk bersila di atas tikar pandan hanyalah seorang laki-laki muda. Ia mengenakan pakaian yang letak kancingnya tidak teratur, dengan kain sarung yang membelit sekenanya di pinggang. Rambutnya kusut. Matanya lesu menatap selubung bergunduk di depannya. Dan wajah itu, tampak kaku. Demikian pula sekujur tubuhnya. Desah nafasnya menghendus-hendus keras, menahan emosi



yang terpendam. Dari ruangan dalam, terdengar isak tangis saling bersahut dengan suara perempuan membujuk-bujuk, menyabarkan. Dan tentu saja, dengan kata-kata yang sudah lumrah terdengar: "Sudahlah. Tabahkan hati Neng Yuyu...." Jadi perempuan yang menangis itu bernama Yuyu. Orang mudah saja berkata, karena tidak mengalami sendiri. Tetapi Neng Yuyu tentu saja tidak bisa menerima kata-kata membujuk itu begitu saja. Tidak. Karena andaikata orang yang membujuk itu yang tengah terkena musibah, tentulah ia sendiri akan menangis tersendat-sendat, melolong meraung-raung. Kurdi memandangi laki-laki yang duduk bersila itu sejenak. Kemudian: "... bagaimana terjadinya" Laki-laki itu menggeleng. Patah-patah. Tanpa menoleh pada yang bertanya. "Hem. Kapan mayatnya diketemukan" "Dua jam yang lalu. Tersangkut di akar kayu di pinggir sungai." Kurdi manggut-manggut. Ia maklum, mengapa suara laki-laki itu begitu sakit, letih dan putus asa. "Anak ke berapa" "Empat..." "Ah. Masih ada tiga yang lain, bukan" Barulah laki-laki itu mengangkat dagu. Ia memandang tajam pada tamunya. Yang dipandang, tidak mengelak. Tidak pula memperlihatkan wajah cerah atau senyum bersahabat untuk menghibur. Dan lakilaki yang duduk bersila itu, kembali menatap ke gundukan berselubung kain selendang. Butir-butir air bening mulai berjatuhan satu persatu dari sudut-sudut matanya. "Si bungsu yang malang..." ia berdesah. Sakit.



"Boleh aku melihatnya" Laki-laki itu menatap Kurdi lagi. Lalu, mencondongkan badan ke depan. Wajahnya kaku, dan tatapan matanya keras, waktu tangan tangannya yang gemetar menyingkapkan kain selendang itu. Sekaligus, seluruhnya. Di depan biji mata Kurdi, tergeletak sesosok mayat anak kecil berusia kira-kira enam tahun. Berkaki telanjang. Bercelana pendek, yang masih lembab bekas basah dan agak kotor oleh lumpur. Demikian pula kemejanya yang berlengan pendek. Ada sisa-sisa darah mengering di bagian kerah. Dan warna merah kehitaman berbentuk lingkaran selebar piring kecil tempat gelas teh. Hanya sampai di situ saja bagian tubuh itu. Kurdi menarik nafas. Panjang. Lalu: "Kau cukup kuat, kulihat. Jadi, aku dipanggil tidak untuk sekedar menunggui mayat anakmu saja, bukan?" "Ya..." angguk lelaki itu. Suaranya memelas. "Kudengar, Pak Kurdi punya ilmu..." ia tengadah, menatap ke mata tamunya. Mendengar permintaan ayah yang bernasib malang itu, Kurdi tercenung. Lama berpikir dengan dahi berkerut. Baru: "Itu bukan pekerjaan yang gampang," gumamnya dengan suara berat. "Diperlukan ketabahan..." "Apa yang harus saya lakukan". Kurdi memandang mayat anak kecil tanpa kepala itu. Lalu: "Dia yang akan melakukannya." Ayah yang masih muda itu tercengang. Ia memandang ganti berganti. Ke si anak, ke Kurdi, ke mayat anaknya lagi, ke Kurdi kembali. Beberapa kali ia menelan ludah. Beberapa kali pula ia menarik nafas. Panjang. Membuangnya berkali-kali. Teramat panjang. Pada tarikan nafas yang kesekian, ia basahi bibirnya yang pucat dan kering, lantas berkata dengan nada tidak percaya: "Anak ini yang... ah, Pak Kurdi berseloroh."



"Aku bersunguh-sungguh." "Tetapi...." "Sudah kukatakan, dia yang akan melakukannya. Tetapi untuk itu, ia perlu bantuan dari seseorang yang bisa mengerti perasaannya sebagai seorang anak. Maka itu aku bilang, diperlukan ketabahan. Yang tidak tanggung-tanggung. Adakah orang lain di sini yang sanggup" Tanpa berpikir panjang, tuan rumah menjawab tandas: "Saya bersedia." Kurdi manggut-manggut. "Memang sebaiknya begitu. Anak ini tanpa kepala. Tetapi, dalam dadanya masih tersimpan hati dan jantung. Di situ terletak perasaannya. Dan perasaan anak ini, hanya bisa dipertemukan dengan orang yang paling dekat dengannya. Yakni ibu, atau ayah..." ia memandang ayah muda yang malang itu dengan tajam. "Kuharap kau tidak menyesal." Tatapan itu dibalas tuan rumah dengan bernafsu. "Demi kesempurnaan jasad anakku, apapun akan kulakukan!" Kurdi manggut-manggut lagi. Kemudian: "Suruhlah orang-orang yang tidak berkepentingan pulang ke rumahnya masing-masing. Yang tinggal, diharap tidur selekasnya." Meskipun masih bingung, yang disuruh melakukan perintah itu dengan cepat. Terdengar suara orang bergumam ramai di ruang depan, demikian juga di dapur. Lalu langkah-langkah bergegas, suara-suara bergumam yang kian menyepi, pintu-pintu kamar yang ditutup dan nafas lelah tuan rumah waktu kembali ke dalam dan duduk di samping Kurdi yang tengah mempersiapkan pedupaan serta menyan. Sambil membakar kemenyan itu, ia bertanya: "Siapa nama anak ini" "Dudung." "Ayahnya" "Aku Sumantri." "Dengan panggilan apa Dudung menyebutnya"



"Bapak." Asap kemenyan mulai mengepul ke atas. Kurdi menghirupnya dengan lubang-lubang hidung mengembang, seakan ingin memasukkan asap menyan itu sebanyak-banyaknya ke dalam dada. Setelah kumat kamit sesaat, ia memandangi laki-laki bernama Sumantri itu. Mata Kurdi kelihatan berwarna kelabu kehitam-hitaman. "Ambil nafas yang panjang." Sumantri menghirup udara di kamar itu sebanyakbanyaknya. "Buang sekarang." Sumantri melepaskan nafas panjang. "Ambil lagi. Lebih panjang. Dua kali!" Setelah tarikan nafas yang ketiga, Kurdi kemudian mengeluarkan pisau cukur dari kantong bawah kemejanya yang lebar, daun kelapa muda, tali dari pelepah pisang, yang ia letakkan hati-hati di samping mayat. Sumantri memperhatikan dengan penuh minat. Ia lihat Kurdi menghirup asap menyan lagi, lagi dan lagi, sambil terus kumat kamit membaca do'a-do'a serta mantera-mantera yang tidak dimengerti oleh Sumantri. la mendengar kata-kata yang aneh mengalir keluar dari mulut Kurdi, lalu tubuh dukun setengah baya itu gemetar perlahan-lahan, makin lama makin keras disertai dengan percikan-percikan keringat sebesar butir-butir jagung dari pori-pori kulit wajahnya. Waktu kumat kamit itu dari mulut Kurdi didengar sesekali oleh Sumantri kalau namanya dan nama anaknya disebut-sebut, disertai erang dan rintih yang silih berganti. Butir-butir keringat semakin banyak membasahi wajah Kurdi, sampai suatu saat ia bergumam. Parau suaranya: "... ikuti ucapanku. Dung, ini aku, bapakmu..." Sumantri yang dari tadi asyik memperhatikannya, melongo saja. Kurdi menyentak: "Ikuti, kubilang!" "Ya, Pak Kurdi?" "Dung, ini aku, bapakmu." Sumantri menelan ludah. Lalu:



"Dung, ini aku bapakmu..." "Bangkitlah." Terperangah Sumantri membetulkan letak duduknya kembali, lantas sambil kepalanya dipenuhi tandatanya oleh maksud si penunggu jenazah, pelan-pelan ia menggerimit: "... bangkitlah..." "Lebih keras!" "Bangkitlah!" "Sekarang, pikiranmu pusatkan. Buang jauh-jauh pikiran lain kecuali untuk berhubungan dengan hati dan perasaan anak ini. Apapun yang akan terjadi, jangan sampai kau lupa akan ketabahanmu. Ingat, dalam pikiran yang akan kau salurkan dalam perasaanmu, bahwa kau adalah bapaknya, yang mengasihinya yang tetap menganggapnya sebagai anakmu yang dalam keadaan hidup..." "Tetapi, anak ini sudah...." "Kau ingin aku pergi saja?" dengus Kurdi, tersinggung. Sumantri menelan ludah. "Maafkan saya, Pak Kurdi," rungut Sumantri dengan suara kering. Tanpa memperdulikan ucapan Sumantri, Kurdi kemudian kumat kamit dengan kedua mata mengatup rapat. Sesekali ia meludah, ke kiri ke kanan, sesekali menghembuskan asap menyan ke arah tubuh mayat terbaring. Kumat kamit lagi, ia lalu pegang sebelah tangan Sumantri yang diletakkan di atas dada mayat yang sudah dingin dari beku itu. Ya, Sumantri yakin dada itu dingin dan beku karena anaknya telah menjadi mayat semenjak beberapa jam yang lalu, dan ia pun telah beberapa kali menyentuhnya. Tetapi kini. Kini dada mayat itu terasa hangat. Memang masih diam, tetapi hangat! Sumantri terbelalak, dan hampir saja menarik tangannya mundur kembali saking kaget, kalau tidak segera matanya beradu dengan mata Kurdi yang marah. Dengan menguat-nguatkan hati, Sumantri tetap meletakkan tangannya di dada mayat anaknya. Maklum arti pandangan mata si penunggu jenazah yang dikenal juga punya ilmu gaib itu,



Sumantri kemudian memusatkan pikiran sebulat-bulatnya. Dengan menarik nafas berulang-ulang seperti yang diperintahkan Kurdi tadi, pelan-pelan pikirannya mulai terpusat. Dimatanya terbayang anaknya yang bungsu, terbaring dalam keadaan tidur yang nyenyak, dengan dada naik turun teratur. Dudung hidup, anakku hidup, anakku terkasih, anakku sayang... jerit hati Sumantri. Pada saat pikiran itu tersalur ke hati Sumantri, samarsamar ia sempat melihat bayangan tangan Kurdi bergerak mengambil pisau cukur. Lipatan pisau ia buka tanpa suara. Lalu matanya yang tajam berkilatkilat, ia goreskan ke urat nadi lengan kirinya. Wajah Sumantri memucat memperhatikan tingkah laku dukun itu. Tetapi perhatiannya segera tertuju ke arah darah Kurdi yang mulai mengucur keluar, lantas menetes jatuh membasahi punggung tangan Sumantri, meleleh di sana, menyelusup di antara celah-celah jari, lantas membasahi dada mayat anaknya. Bau menyan bercampur bau darah membuat Sumantri merasa puyeng. Namun ia kuat-kuatkan juga hati, sambil berpikir-pikir apa yang akan terjadi selanjutnya. Kurdi mendesis perlahan: "Pikiranmu terpecah, Sumantri!" Desisan itu memperingatkan Sumantri pada tekadnya semula. Lantas, pikirannya kembali ia pusatkan pada anaknya. Ia rasakan darah itu mulai mengaliri dada mayat itu, membuat warna merah mengorak di sana sini, seakan menyelusup masuk menembus kulit mayat dan... Dada mayat itu bergerak. Bergerak! Hampir saja Sumantri terlonjak. Tetapi ia ingat kembali tekadnya semula. Lantas, dengan mata terpejam untuk bisa lebih memusatkan pikiran serta perasaannya yang agak tergoncang, ia dengar Kurdi memerintahkan untuk mengucapkan kembali kalimat kalimat tadi: "Dung, ini aku... bapakmu... Bangkitlah!"



Gerakan-gerakan di dada lebih keras. Tetapi tubuh mayat itu masih diam. Sumantri mengulang lagi. Kali ini, tanpa ragu-ragu: "Dung, ini aku, bapakmu. Bangkitlah!" Dan, tangan si anak mulai ikut bergerak. Demikian juga kakinya. Seolah-olah menggeliat-geliat. Tak ubah dengan keadaannya waktu ia dibangunkan dari tidur yang nyenyak. Hanya bedanya, ia tidak menguap seperti biasa. Namun Sumantri yang matanya nyalang terbuka oleh sentuhan-sentuhan kaki yang melejat lejat di pahanya, tidak perduli lagi apakah anaknya menguap atau tidak. Ia tiba-tiba menjatuhkan diri, memeluk anak itu seraya menangis tersedu-sedu: "Anakku, anakku, kau hidup, anakku. Kau belum mati, anakku... ini aku, bapakmu. Dung, ayoh peluk aku, nak. Peluk bapakmu,... Mari kucium pipimu." Ketika itulah, ketika akan mencium arah pipi si anak, mulut Sumantri yang manyun tidak menemukan apaapa, kecuali angin yang dingin, serta dagunya menyentuh leher yang rata dan berselemak darah mengering. Rasanya ia ingin jatuh pingsan, tetapi ingatan bahwa Kurdi hadir di sampingnya segera membuat ia sadar kembali, bahwa tubuh yang ia pegang adalah tubuh mayat, bukan tubuh yang hidup sesungguh sungguhnya. Seraya menarik nafas, ia lepaskan pelukannya di tubuh mayat itu. "Bantulah ia berdiri," Ia dengar suara Kurdi. Setelah menyeka air matanya. Sumantri membantu anaknya berdiri. Andaikata, ya, andaikata di atas leher itu masih terdapat kepala, Sumantri pasti sudah terlepas dari pikiran semula, dan akan mengira anaknya benar-benar hidup seperti sediakala. Dengan hati yang hancur, ia gapaikan tangannya ke arah tangan Dudung yang terangkat seperti minta tolong. Air mata Sumantri menetes lagi, waktu anak itu berdiri sempoyongan. Sumantri memegang pinggang Dudung agar tidak sampai terjatuh. Ia kemudian menoleh pada Kurdi. Penunggu jenazah itu tengah sibuk membalut lengan kirinya dengan daun kelapa muda yang kemudian ia ikat pakai tali pelepah pisang. "Biarkan ia," gumam Kurdi. Hati-hati, Sumantri menarik tangannya dari pinggang



mayat anaknya. Dudung berdiri tegak kini. Tegak diam, seolah-olah menanti perintah. "Suruh tunjukkan tempat di mana kepalanya ditanam orang." Sumantri terkesiap. Ia menatap Kurdi. "Di tanam orang Maksud Pak Kurdi...." "Jangan berlama-lama. Kita harus mengejar waktu matahari terbit esok hari...!" Sumantri mengalihkan perhatiannya ke tubuh anaknya. Suaranya gemetar waktu bertanya: "Duh, biyung. Kejam nian orang... duh, biyung. Dimana gerangan kepalamu tersimpan, anakku".Tangan kanan itu terangkat, lalu jari telunjuknya membentuk garis lurus ke arah utara. "Bisa kau katakan...." "Tak bisa. Mulutnya ada di kepalanya," potong Kurdi. "Suruh ia tunjukkan jalan!" "Biyung, anak manis, si bungsu sayang. Maukah kau bawa bapak ke sana, nak?" Tangan kecil mungil dan pucat kebiru-biruan itu, turun perlahan-lahan. Kemudian kakinya mulai bergerak. Mayat tanpa kepala itu berjalan dengan langkah langkah seorang bocah menuju pintu keluar, diikuti oleh Kurdi dan Sumantri. Di ruang depan, seseorang yang rupanya tidak bisa tidur, melihat mayat itu lewat. Sesaat, mulut dan matanya terbuka lebar, disaat berikutnya mulut dan mata itu terkatup, disusul oleh suara tubuhnya yang jatuh terhempas ke lantai. Pingsan. *** Lolongan anjing menyambut mereka tiba di luar rumah. Malam telah mulai larut. Kampung itu sepi. Jangankan makhluk-makhluk hidup. Angin pun seperti enggan berhembus. Anjing itu berdiri tegak di atas keempat kaki-kakinya yang kukuh, mendengus sesaat. Matanya yang bulat dan besar, berkilat memperhatikan makhluk yang baginya sangat aneh, dan kini berjalan di sampingnya kearah tempat duduk kereta. Makhluk itu tampaknya adalah manusia seperti juga majikanku, mungkin begitu



pikiran yang terlintas di kepala kuda itu. Tetapi... mana kepalanya" Setelah mereka bertiga duduk di atas tempat duduk kereta, Kurdi menggerakkan tali kekang menyuruh kudanya mulai berjalan. Terdengar suara berderak roda kereta di antara depak-depak kaki kuda, lalu angin mulai berhembus. Dingin menusuk tulang. Di samping kereta, anjing berkulit hitam legam tetapi dengan sepasang mata berkilat-kilat terang itu, berlari-lari mengikuti. Sebuah pengaruh aneh dari malam yang gelap tanpa bulan dan angin yang dingin serta makhluk-makhluk misterius di dekatnya, membuat sekujur tubuh Sumantri dialiri peluh. Peluh dingin, tentu. Hanya tekad dan keinginan yang kuat untuk memakamkan mayat anaknya dalam keadaan yang sempurna yang membuat ia tetap betah duduk di tempatnya. Meski sesekali terlintas juga ingatan untuk terjun saja dari kereta, berlari-Iarian pulang, menjerit minta tolong, melompat ke tempat tidur dan meminta isterinya menyelimuti tubuhnya yang gemetar ketakutan. Bulan pucat di langit kelam, berpegangan kepinggir pinggir awan hitam waktu tangan Dudung bergerak lurus ke arah kiri. Jalan yang ia tunjuk adalah jalan menuruni bukit terjal, jauh ke bawah, di mana sebuah sungai mengalir. Mereka berada di mulut sebuah jembatan besar yang tinggal puing-puingnya saja. Seingat Sumantri, jembatan itu runtuh minggu yang lewat dilanda banjir yang dahsyat. Di kiri kanan jalan bertumpuk-tumpuk bahan-bahan untuk membangun sebuah jembatan baru. Sebuah truck kosong di parkir tak jauh dari bukit-bukit pasir. Nun jauh di belakang mereka, terlihat kelap kelip lampu sayup-sayup dari perkampungan yang tadi mereka lalui. Tadi, di sana, truck lebih banyak, ada satu dua orang yang masih tertawa-tawa di warung kopi ditemani perempuan-perempuan yang berdandan berlebihan. Tentu pekerja-pekerja yang sudah siap akan membangun jembatan baru, tidur di perkampungan itu. Mereka turun dari kereta. Lalu bergerak ke bawah bukit. Tiada rasa takut dan cemas lagi dalam diri Sumantri. Melihat anaknya sempoyongan waktu



menuruni bukit, timbul rasa kasih dan sayangnya. Ia bimbing Dudung menuruni bukit, berjalan di antara batu-batu besar, sesekali tergelincir oleh tanah longsor, bangun lagi, berjalan terus ke bawah dengan mayat anak tanpa kepala itu tetap berjalan paling depan. Adakalanya, karena jarak lompatan terlalu jauh, Sumantri dengan tabah membopong anaknya. Dalam kepala ayah yang masih berusia muda itu, hanya terpikir satu hal: kepala anaknya akan segera mereka temukan, dan si bungsu itu akan mereka makamkan dengan anggota tubuh yang lengkap. Tak jauh dari pinggir sungai, Dudung berhenti. Tangannya menunjuk ke tanah, tak jauh dari kakinya. Dengan mempergunakan sekop yang mereka bawa dari rumah Sumantri, tanah di dekat kaki Dudung mulai mereka gali. Di atas, anjing Kurdi melolong panjang, mengalunkan nada-nada lirih menusuk ke tulang, menggetarkan hati. Sumantri menoleh ke atas. Ia lihat anjing besar itu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi sambil terus melolong. Seakan-akan meratap ke arah rembulan. Waktu mendengar hendusan nafas yang keras, ia menoleh pula ke samping, dan melihat Kurdi juga tengah menatap rembulan. Wajahnya yang kelam, keras seperti batu. Sepasang matanya yang kecil dan menjorok jauh di balik kelopak, berkilat-kilat dengan ganjil. Dari mulut Kurdi terluncur ucapan-ucapan mantera yang tidak bisa dimengerti oleh Sumantri. Ia sendiri gemetar dan pucat. Di sampingnya, berdiri anaknya, Dudung, yang masih berusia enam tahun itu. Tegak dengan diam. Kedua lengannya terjuntai lemas disisi tubuhnya. Mayat anak itu tak bergerak sama sekali. Terpaku ditempatnya. Sumantri mengerti. Semacam pengertian yang aneh. Dalam pikirannya, ia lihat anak itu dengan wajahnya yang manis, lugu dan kekanak-kanakan, tengah memperhatikan sang ayah bekerja. Sumantri terus menggali. Sampai kemudian tubuh anak itu bergerak ke kiri kanan, dan Kurdi mendesah:



"Hentikan!" Sumantri berhenti menggali. "Sekarang, gali dengan tangan." Dengan bernafsu, Sumantri menggaruk tanah dengan tangannya. Jari jemarinya berubah jadi cakar besi yang keras dan tajam, didorong oleh keinginan yang amat sangat untuk melihat wajah anaknya. Sambil menggaruk-garuk tanah, mulutnya tidak berhenti henti menceracau: "Anakku, anakku... Biyung, anakku. Dung, anakku...." Dan air mata menetes tak berhenti, mengaliri kedua belah pipi. Ia tertegun sesaat waktu tangannya menyentuh benda yang dingin dan lunak. Sumantri mengerling ke arah Kurdi. Orang itu membalas kerlingannya dan mengangguk. Sumantri mempergunakan kedua belah tangannya untuk mengeluarkan benda itu dari dalam tanah. Ia kemudian naik dari lubang, berdiri di antara Kurdi dan mayat anaknya. Dengan mata berlinang dan tubuh gemetar oleh berbagai perasaan, ia perhatikan benda itu dibawah jilatan rembulan yang pucat. Sebentuk kepala kecil berlumpur. Ia usap dengan jari jemari bagian wajahnya, dan ketika mengenali wajah dari kepala ditangannya, seketika Sumantri bergumam: "Ya Tuhan-ku!" Lantas, ia sempoyongan mau jatuh. Kurdi cepat menangkap tubuh Sumantri dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain menyambar potongan kepala itu. "Ayoh. Ingat. Tabahkan hatimu. Kita sudah berhasil, bukan" Ia menghibur. Nada suaranya kini sudah sympathi. Sumantri mengeluh panjang pendek, tidak berani memandang potongan kepala itu, juga tidak berani memandang mayat anaknya. Ia kemudian berjalan mendahului naik ke atas. Kurdi mengikuti dengan susah payah, karena ia tidak saja harus memegang potongan kepala Dudung, akan tetapi juga harus membimbing dan sesekali memangku mayat Dudung yang tanpa kepala. Tiba di atas, mereka disambut oleh lolongan panjang sang anjing. Kurdi



mengangguk puas. Anjing itu mengibas ngibaskan ekornya. Dan sang kuda mendengus dengus keras. Tidak seorang pun diantara mereka yang berbicara ketika kereta itu mulai bergerak, dengan bunyi roda yang berderak-derak. Tanpa dipecut, kuda itu berlari dengan teratur. Sementara Kurdi menatap ke langit kelam dengan sinar mata berkilat-kilat ganjil. Mukanya tampak semakin keras, dan beberapa kali ia mengeluh. Bukan keluh letih, tetapi keluh yang seakan-akan kesakitan. Ia geleng gelengkan kepala ke kiri kanan, sesekali mengibas ngibaskan tangan ke udara seolah mengusir sesuatu yang tidak tampak oleh mata. Sumantri yang telah agak pulih kesadarannya, bertanya enggan: "Ada apa, Pak Kurdi" "Ada yang marah." "Siapa" "Entahlah." Habis berkata begitu, Kurdi kumat-kamit dengan keras. Kemudian ia melihat ke arah anjing yang berlari-lari di samping kereta. "Bantu aku, kawanku," pintanya. Anjing itu seperti mendengar. Hati Sumantri menciut waktu melihat bagaimana seekor anjing bisa berlari sambil melolong-lolong. Setahunya, anjing hanya melolong selirih itu dalam posisi tubuh duduk di atas kedua kaki belakang atau berdiri tegak di atas keempat kakinya, dengan kepala tertengadah. Kuda di depan kereta mendengus-dengus keras, sekali meringkik dengan suara menyeramkan, sehingga Sumantri terpaksa menelan ludah, sambil memandang berkeliling dengan mata ketakutan.



*** Begitu sadar dari pingsannya, orang yang tadi melihat mayat Dudung berjalan ke



luar memandang seputar ruangan dengan mata melotot dan wajah pucat seperti kapas. Ada tiga orang lainnya yang tertidur di ruang depan itu. Ketiga orang itu tampak nyenyak. Seperti tidak terjadi apa-apa. "Ataukah hanya mimpi jelekku saja?" orang itu berbisik pada diri sendiri. Ia mencoba tidur. Tetapi tidak berhasil. Suara dengkur kawan sebelahnya membuat ketakutan. Seingatnya, tadi juga ia tidak tertidur. Sumantri sudah menyuruhnya pulang, demikian juga tiga orang lainnya, tetangga-tetangga sudah pada pergi, mungkin juga kini tengah tertidur nyenyak seperti orang-orang di sebelah kiri kanannya. Akan tetapi, mereka berempat adalah sanak keluarga yang wajib menunggui rumah, dan begitu bangun pagi-pagi besok, harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman, ya, pemakaman Dudung. Tetapi tadi... Ah, sekedar mimpikah" Ia tajamkan telinga. Tidak. Tak terdengar suara apa-apa di ruangan dalam yang... ah, pintunya terbuka! Ketika Sumantri masuk tadi, pintunya ia tutupkan. Dan dari dalam ia dengar suara sepupunya itu tengah berbicara dengan tamu mereka. Penunggu jenazah yang konon punya ilmu gaib yang masyhur itu. Pak Kurdi, yang hidup menyendiri di sebuah rumah kecil, tanpa orang lain untuk menemani, kecuali seekor anjing, seekor kuda, dan sebuah kereta di mana ia lebih banyak diam untuk berkeliling memenuhi panggilan orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Dan, kehadiran Kurdi malam ini, adalah atas permintaan Sumantri, dengan maksud untuk minta tolong menemukan kepala mayat keponakannya Jadi, tadi... Seraya menelan ludah, ia berjingkat-jingkat ke arah pintu ruang tengah. Lalu mengintai ke dalam. Sepi. Tak ada suara-suara.



Tak ada Sumantri tak ada Pak Kurdi. Dan... juga mayat itu tidak lagi ada di tempatnya. "Astaga!" ia tersentak. Semakin pucat. Lalu melihat pada kawan-kawannya yang masih mendengkur. Dan tiba-tiba menjerit: "Hai, kalian. Bangun! Bangun! Bangun!" Ia goncang tubuh mereka satu persatu. Yang seorang menggeliat. Yang lain menggerutu, lantas tidur lagi. Yang ketiga, bangun seraya bersungut-sungut. Ia mendengarkan penuturan orang pertama dengan setengah sadar setengah mengantuk. Setengah mengantuk pula, ia mengintai ke ruang dalam. Dan apa yang dilihatnya, membuat suara bersungutnya semakin menjadi. "Lantas itu, apa, eh" ejeknya, seraya menunjuk. Yang ditanya, melongokkan kepala ke dalam. Matanya seakan mau terloncat ke luar. Di atas tikar, di tempat di mana barusan ia melihat hanya ada kain kain selendang menutup mayat, ia lihat kain-kain selendang itu memang menutupi sesosok tubuh kecil. Sesaat, ia memandang temannya dengan bingung. Tatap dan seringai ejekan yang ia peroleh. Puas mengejek, sang teman lantas tidur kembali, tak lupa meninggalkan umpatan: "Dasar penakut!" Yang diejek sakit hati. Memang, ia takut. Tetapi, ia ingat apa yang pertama kali dilihatnya. Mayat berjalan ke luar. Ia pingsan. Bangun kembali, ia lihat ruangan tengah yang kosong. Lalu membangunkan teman-temannya yang lain, dan kini... mayat itu telah ada di tempatnya semula. Mungkinkah. Dan ke mana Sumantri. Ke mana dukun itu. Ya, ya, ia takut. Tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja. Dengan kaki gemetar, ia merangkak hati-hati masuk ke ruang dalam. Kain selendang ia singkapkan.



Itu memang mayat Dudung, beku dan dingin tanpa..... Seraya memejamkan mata, ia bergerak mundur kembali ke ruang depan, lantas membaringkan tubuh di samping temannya yang telah mendengkur kembali. Ia berbaring di sana diam-diam, tidak berani bergerak, apalagi untuk membuka matanya. Di luar rumah, Sumantri bergumam: "Ia sudah tidur kembali!" Kurdi menarik pandangannya



Bab 2 Dengan matanya yang menembus pintu depan terus ke ruang dalam, ke arah kain selendang terhampar. Perhatiannya berpindah pada orang yang baru saja membaringkan tubuh, lewat kaca jendela. Lantas bersungut: "Untung aku berhasil menyesatkan pandangan mata mereka," lalu seraya menimang potongan kepala anak kecil di tangan yang satu dan menggenggam telapak tangan kecil Dudung di tangan yang lain, ia melanjutkan dengan perasaan lega: "Kalau tidak, penyempurnaan jasad anakmu ini akan gagal kita lakukan...." Mereka kemudian membuka pintu, masuk ke dalam dan berharap orang tadi tidak bangun kembali. Orang itu memang tidak bangun, tidak pula membuka mata untuk melihat apa yang didengar telinga: suara langkah-langkah kaki membuka pintu rumah. Langkah-langkah kaki orang dewasa. Dan langkah-langkah kaki anak kecil... Begitu berbaring, tubuh si kecil Dudung, diam tidak bergerak-gerak. Waktu menutupkan selendang sampai pertengahan dada mayat, tangan Sumantri terasa menyentuh tubuh yang beku dan dingin. Tidak lagi kehangatan. Tiada lagi gerakan. Sosok tubuh itu memang telah mati. Dengan air mata berlinang, ayah yang malang itu memperhatikan kepala anaknya yang masih terpisah dengan leher. Ia telah mencoba menyatukannya, namun toh masih jelas terlihat garis pemisah berwarna pucat kebiru-biruan diselemaki oleh darah mengering.



"Dudung, betapa malang nasibmu, nak," keluh Sumantri. Lirih dan sakit. "Apa dosamu, sehingga harus engkau yang dijadikan tumbal untuk jembatan terkutuk itu" Habis berkata begitu, Sumantri menangis terisak-isak. Kurdi menghela nafas. "Sudah ah," katanya. "Ditangisi pun anakmu tidak akan hidup kembali. Yang penting, harus kita sempurnakan jasadnya. Untuk itulah aku kau minta datang, bukan?" Sumantri mengangguk. Patah-patah. Kurdi meneruskan: "Sudah kita temukan kepalanya. Sekarang, tinggal penyempurnaannya. Ketabahan masih diperlukan." Dengan mata basah, Sumantri memandang Kurdi. "Apalagi yang harus kulakukan" tanyanya dengan bersemangat. "Tak ada." "Tidak?" "Ya. Kecuali ketabahan. Dan hati yang ikhlas." "Maksud bapak" "Relakan kematian anak ini." Sumantri menangis lagi. Sesenggukan. "Dudung yang malang," isaknya. "Mengapa ia.." "Kau relakan" Lama baru terdengar sahutan: "Demi anakku, aku rela." "Tak ada dendam?" Sumantri diam. "Camkanlah," ujar Kurdi mengingatkan. "Tidak ada orang yang bisa kau tuduh. Tidak ada bukti, anakmu dijadikan tumbal. Orang pasti angkat bahu. Mungkin mentertawakan. Lantas mengelak dengan alasan, toh anak ini bisa mati di mana saja .Oleh siapa saja. Hanya kebetulan yang menyebabkan kepala anak ini tertanam di bawah jembatan. Begitulah yang sering terjadi. Apa sebabnya ia mati, orang tidak peduli. Memang diselidiki, tetapi



penyelidikan akan berhenti suatu ketika. Dengan dua kemungkinan. Penyelidikan dihentikan berkat pengaruh sejumlah uang. Atau kalau pun si pembunuh diketemukan, hanya ia yang dihukum, terpantang bagi seorang dukun pencari tumbal, untuk mengakui bahwa ia melakukan pembunuhan itu atas permintaan seseorang..." Kurdi berhenti sebentar. Ia memperhatikan Sumantri, untuk melihat reaksi ayah yang malang itu, akan tetapi, perhatian Sumantri hanya tertuju pada bagian tubuh anaknya yang terpisah. Begitupun, apa yang diutarakan oleh Kurdi, jelas terdengar di telinganya. Kurdi yakin akan hal itu, dan dengan keyakinan itu ia melanjutkan: "Jadi begitulah. Sekali ucapan itu terlontar dari mulut si dukun, ia akan mencelakakan diri sendiri. Toh orang lain hanya meminta ia agar membantu keselamatan pembangunan jembatan, bukan untuk membunuh seorang anak yang tidak berdosa. Ada dukun yang minta tumbal kambing atau kerbau. Tetapi ada pula yang menjadikan tumbal nyawa manusia. Sayangnya, pemborong jembatan itu minta bantuan ke alamat yang keliru. Dan jangan lupa. Mayat anakmu akan kita sempurnakan. Bila itu terlaksana, mana ada yang percaya bahwa kepala anakmu pernah dijadikan tumbal. Sukar membuktikannya. Kecuali, bila kau rela anakmu kita makamkan seperti keadaan yang sekarang..." Sumantri memperhatikan mayat anaknya lagi. Lagi dan lagi. Lalu: "Tidak. Anakku harus dimakamkan dalam keadaan yang utuh." "Kalau begitu, lupakanlah dendammu." "Dan membiarkan dukun terkutuk itu tidak menerima akibat perbuatannya?" dengus Sumantri, tajam. "Dukun itu akan menerima akibatnya. Percayalah." "Bagaimana Pak Kurdi tahu. Bahkan kita tak tahu siapa orangnya." Kurdi memandang mayat Dudung: "Anak ini tahu siapa orangnya." Sumantri ikut pula memperhatikan mayat anaknya.



"Tetapi ia...." "Jasadnya. Memang jasadnya sudah mati. Tidak rohnya. Roh anakmu masih hidup...." Pengertian yang ganjil membersit di kepala Sumantri. Wajahnya memucat. Lantas dengan suara kering, ia bergumam: "Anakku mau kau suruh membunuh" Kurdi tersenyum. Tipis. Jawabnya: "Anakmu tidak akan membunuh dengan tangannya sendiri. Percayalah..." "Bagaimana mungkin" "Kalau tidak, tak akan kau memintaku datang!" Sumantri menelan ludah. Lalu tercenung, lama, memandangi mayat anaknya. Airmatanya menetes pula. Kurdi berkata dengan suara menghibur: "Tidurlah sekarang. Ada yang harus kukerjakan. Bila kau bangun pagi-pagi, mayat anakmu sudah dalam keadaan utuh. Aku berjanji...!" Tuan rumah menatap penunggu jenazah itu. Kemudian, bangkit, dan berjalan masuk ke kamarnya, menutupkan pintu dengan enggan, lantas berbaring di samping isterinya yang rupanya karena letih tubuh dan jiwanya, sudah tertidur resah dengan mata bengkak bekas menangis. Sepeninggal Sumantri, Kurdi mengheningkan cipta. Dari pedupaan, mengepul asap menyan dengan baunya yang khas. Berulang kali asap menyan itu ia hirup, berulang kali pula ia kumat-kamit membaca mantera. Sekali, tubuhnya tergoncang keras dan keringat menetes ke lantai. Dengan mata liar, Kurdi memandang seputar ruangan. Dari mulutnya lepas ucapan membantah: "... memang aku. Memang aku yang mengambil anak ini. Tetapi aku tidak bermaksud mencelakakan engkau!" Diam lagi. Tergoncang lagi tubuhnya. Lantas: "Terkutuk! Pekerjaan kita memang sama-sama terkutuk. Kita sama-sama pengabdi setan. Tetapi aku tidak pernah mencabut nyawa-nyawa orang yang hidup. Aku hanya



mengganggu orang-orang yang telah mati. Dan kau! Kau!" Ia meludah. Tiga kali. Ke udara! Terdengar angin bersiuran kencang. Jendela terhempas membuka. Dan, rembulan yang pucat, mengintai ke dalam. Ada lolongan anjing. Keras. Dan dengus kuda. Keras. Kurdi menggoyang-goyangkan kepala dengan keras, kumat kamit lagi. Menambah menyan ke dupa, berpercik-percik apinya. Pakaian yang ia kenakan basah oleh peluh, demikian pula rambut dikepalanya. Ketika gerakan tubuhnya perlahan berhenti, tatapan matanya terpusat ke kepala yang terpisah dari leher Dudung. "Demi kesempurnaan jasadmu, bergeraklah, arwah anak yang tersiksa!" Tiada gerakan. Tapi, ada suara. Suara seorang anak, suara bocah yang menangis. Sayup-sayup sampai, terdengar dari mulut di kepala Dudung. Suara tangis yang memilukan itu mengaung di seluruh ruangan. Kurdi memejamkan mata rapat-rapat. Di kamarnya, Sumantri terlonjak duduk. Di ruang depan, saudara Sumantri yang disesatkan pandangan matanya oleh kekuatan gaib Kurdi, terpentang lebar matanya, tetapi segera memejamkan matanya kembali seraya mengerang: "Celaka. Mimpi buruk lagi!" Tangis bocah itu menyayup, kemudian lenyap dibawa angin yang bertiup lewat jendela. *** Puluhan kilometer letaknya dari kampung Sumantri, seorang laki-laki setengah umur, tersentak dari duduknya yang resah. Di atas meja yang ia hadapi, terletak sebuah baskom besar berisi air bening. Di dasar baskom, terbenam segumpal darah yang telah dibekukan. Darah yang telah beku itu, secara berangsur-angsur mulai mencair. Warna



air berubah jadi merah, merah dan semakin merah. Permukaan air bergolak seperti digerakkan oleh tangan-tangan yang tak mau diam. Meja sama sekali tidak bergerak, demikian pula laki-laki setengah baya itu. Diam di tempat duduknya dengan tubuh tegang, ia dengar tangis bocah yang sayup-sayup sampai. Ia tutup telinga dengan kedua telapak tangan. Namun suara tangis itu malah semakin jelas di telinganya. Ia berteriak, marah: "Siapa kau, yang telah kurang ajar mengganggu tumbalku!" Tangis bocah itu lenyap seketika. Orang itu menarik nafas. "Celaka," keluhnya. "Aku harus memeriksa kesana...!" Ia bergegas ke luar rumah. Setengah berlari ke kandang, mengeluarkan seekor kuda berkulit coklat kehitaman dengan tubuh yang kurus. Tetapi waktu ia naiki dan pecut, kuda itu berlari dengan keempat kakinya yang kurus seperti melayang di permukaan tanah. Tiba di dekat reruntuhan jembatan, ia turun dari kuda. Subuh hampir datang, ketika ia meluncur ke bawah bukit berlari naik kembali, meloncat ke punggung kuda seraya mencaci maki: "Sialan, aku gagal kali ini!" Bergegas ia pacu kudanya kearah perkampungan di mana para pekerja yang akan mulai membangun jembatan keesokan harinya, menginap. Sayup-sayup ia lihat kelap kelip lampu, dan sayup sayup suara itu kembali memenuhi telinganya. Suara tangis seorang bocah. Ia sudah berhari-hari berkeliling waktu menemukan seorang anak bermain-main sendirian di tengah sawah, tak jauh dari sebuah perkampungan. Anak itu mungkin menemani ayahnya ke sawah, lantas berkeliaran sendirian selagi orangtuanya bekerja. Ia rupanya mengejar seekor kupu-kupu yang bersayap warna warni, indah sekali. Kupu-kupu itu ia tangkap, lalu diberikan pada si anak. "Mau lebih banyak lagi. Yang lebih bagus, biyung?" bujuknya. Anak itu mengangguk. Tertawa senang sewaktu menerima kupu-kupu yang ia



inginkan. Bocah yang tidak ia tahu namanya itu, ia bawa menjauh dari sawah, lalu dinaikkan ke atas kuda. Anak itu terkejut. Tetapi kuda sudah berlari. Tiba di pinggir sungai, anak yang mulai ketakutan itu ia turunkan. Tiada lagi wajah kebapakan, tiada lagi ucapan membujuk. "Biyung." Yang ada hanyalah wajah kejam, kilatan golok yang melayang, darah yang memercik kian kemari, tubuh bocah yang didorongkan jatuh ke kali... tanpa kepala. Sesaat sebelum kilatan golok itu melayang kebawah, terdengar suara tangis yang memilukan hati. Kemudian diam, disusul oleh bunyi benda berat jatuh tercebur ke dalam sungai... "Celaka. Mengapa tangis bocah itu terdengar lagi?" pikirnya selagi memacu kuda ke arah perkampungan dimana para pekerja itu menginap. Ia harus membangunkan kepala rombongan pekerja itu secepatnya, untuk memberitahukan agar pembangunan jembatan ditunda untuk sementara. Tentu saja, ia tidak boleh mengatakan bahwa ia harus mencari tumbal baru. Katakan saja, harinya yang tidak cocok, perhitungannya agak meleset. Dan.... Dan suara tangis bocah itu semakin menyayat juga. Di antara suara tangis, seolah-olah ia dengar si bocah berkata: "Aku tak mau jadi tumbal. Aku tak...." Dan ketika ia berhadapan dengan pemimpin rombongan pekerja yang bangun tergopoh-gopoh, dari mulut dukun setengah umur itu terlontar ucapan yang oleh kekuatan yang luar biasa ditelinganya merupakan ucapan sang bocah: ".... cari tumbal anak lain. Cari tumbal anak lain. Cari... !" Ucapan sang dukun terputus sampai di situ. Tadi, waktu ia bangunkan, orang yang berhadapan dengannya adalah mandor para pekerja jembatan. Tetapi bersamaan waktunya dengan ia mengucapkan kata-kata panik diluar kemauannya sendiri itu, tibatiba terjadi perubahan. Yang berdiri di hadapannya, memang tubuh... Paniknya kian menjadi. "Si... apa... Kk-kau...?" ia bertanya.



Gugup. Wajah bocah di atas leher tubuh si mandor yang tegap perkasa itu menyeringai. Dari mulutnya tidak keluar jawaban, melainkan suara tangis yang sangat menghiba: "Jangan bunuh aku... jangan!" Sang dukun bermaksud memusatkan pikirannya. Akan tetapi, mandor yang heran melihat sikap tamu yang membangunkannya subuh-subuh itu, telah bergerak dengan perasaan tak senang. Ia maju ke depan untuk menampar laki-laki yang ia kenal sebagai dukun penyelamat pembangunan jembatan, namun kini bersikap ganjil setelah dengan kurang ajar membangunkannya dari tidur yang nyenyak di samping seorang perempuan pelacur. "Jadah!" ia memaki sambil maju. Konsentrasi pikiran sang dukun buyar seketika. Ia bergerak mundur. "Jangan coba-coba dekati aku..." desisnya. Tetapi sang mandor bergerak pula maju. Tak perduli. Untuk pertama kali selama sekian ratus kali melakukan pengorbanan tumbal seorang anak, dukun itu benar-benar panik. Untuk pertama kali selama hidupnya, ia menjadi ketakutan. Belum pernah arwah korbannya muncul untuk membalas dendam. Dan sekarang,... Sekarang, tubuh laki-laki dewasa berkepala anak kecil yang terus menangis dengan suara menghiba-hiba itu, dengan cepat telah berada di hadapannya kembali. Wajah bocah di atas leher yang perkasa itu, menyeringai. Menyeringai kejam. "Tidak!" jerit sang dukun. Lantas, golok yang senantiasa terselip di balik pinggang, berkilap waktu melayang di udara. "Kubunuh kau. Kubunuh kau!" ia menjerit-jerit seraya menghunjamkan goloknya berkali-kali. Sang mandor yang tidak menduga datangnya serangan itu, tidak bisa mengelak. Ia terpekik kaget dan kesakitan, waktu mata golok menebas salah satu lengan yang tadi



terangkat mau menampar dukun itu. Sebelum kesadarannya muncul kembali, mata golok telah menyerang bagian tubuhnya yang lain. Ia terpekik dan terpekik keras, meraung-mung kesakitan. Suaranya membahana di subuh itu, membangunkan penduduk, membangunkan para pekerja dari tidur yang nyenyak. Seseorang berseru: "Hai, siapa itu." Lalu langkah-langkah kaki berlari. Disusul: "Eh, apa yang kau lakukan" Dukun itu memandang orang-orang yang mengerumuninya. Ia tidak mengenal mereka, tetapi ia melihat wajah-wajah mereka yang marah. Panik, ia menunjuk kearah korbannya yang menggelepar di tanah: "Anak ini...." Ia tidak meneruskan kata-katanya. Yang dilihatnya telah kembali pada ujudnya semula. Tubuh dan wajah seorang mandor yang sudah ia kenal. Mandor itu melejat-lejat sesaat, kemudian menghembuskan napas yang terakhir dalam sebuah lejatan yang keras. Ketika tubuh itu telah diam, mati, dukun memperhatikan orang-orang yang mengerumuninya. "Pembunuh!" maki mereka, lantas mulai bergerak. Sang dukun mundur seraya mengamang-amangkan goloknya. "Jangan mendekat!" ia menceracau. "Atau golokku...." Pekerja-pekerja itu ragu-ragu. Dan sang dukun mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ia berlari ke arah kudanya, duduk diatas punggung kuda yang kurus itu dengan sekali loncatan, lantas: "Hyyyaaaaa!" ia pecut kuda itu keras-keras. Binatang itu meringkik, kedua kaki depannya terangkat ke atas, lantas waktu menyentuh tanah kembali, keempat kaki kuda itu telah berlari. "Hei, ia kabur!" teriak seseorang.



"Kejam. Jangan biarkan dia lepas!" sambut yang lain. "Bunuh dia. Bunuh!" dimeriahi oleh teriakan-teriakan yang menggema memecah kesepian subuh, memecah gendang telinga sang dukun yang terus memacu kudanya dengan panik. Tali kekang di tangannya tegang, tidak terarah. Pikirannya kacau oleh kejadian yang ia alami, kegagalan tumbal yang ia lakukan, dan pembunuhan yang barusan ia lakukan. Selama ia berlari, diantara teriakan bergemuruh dari orang yang mengejarnya, juga ia dengar suara tangis yang menyayat menghiba-hiba. Dukun mengangkat kedua tangan menutupi telinga. "Pergi Pergi. Pergiiii...!" makinya. Ia pejamkan kedua mata. "Pergil Jangan dekati aku lagi. Pergiiiii!" Kuda tunggangannya meringkik keras. Kedua kaki depannya terangkat ke udara. Dukun itu terperanjat oleh ringkikan kuda yang tidak berhenti. Mata ia pentangkan lebar-lebar, menembus remang-remang cahaya subuh. Mula-mula ia hanya melihat kegelapan. Kemudian, ia lihat jurang besar yang menganga. Jauh di bawah, tampak sungai mengalir dengan suara ribut. Cepat tali kekang ia sentakkan. Tetapi sentakan itu tidak tepat. Kuda terus bergerak, berputar-putar dengan ditumpu kedua kaki belakang, makin lama makin sempoyongan dan ketika salah satu dari kaki belakang itu menginjak kayu jembatan lama yang sudah lapuk, terdengar ringkikan ngeri dari mulut kuda. Kendali tidak lagi ada gunanya. Bagaikan sebongkah batu gunung yang besar dan hitam, kuda itu melayang jatuh ke bawah membawa tubuh tuannya. Pekik ngeri dukun itu menggema di udara, disambut oleh si pongang, memantul dari bukit ke bukit, kemudian terenggut oleh suara hempasan-hempasan yang keras, benda besar jatuh ke sungai, lalu suara air mengalir yang acuh tak acuh. Orang-orang yang mengejar saling susul ke bibir jembatan, memandang ke bawah. Lama baru terdengar gumaman:



"Manusia biadab itu telah menebus dosanya!"



***



Dari ufuk timur, matahari pagi itu mengintai. Cahayanya putih kekuningan, hangat gemerlapan. Orang-orang bergerak meninggalkan tempat mengerikan itu dengan diam, tak ada yang mengeluarkan sepatah katapun juga. Cahaya matahari pagi menjilat sosok tubuh mandor mereka yang tergeletak berlumur darah. Mereka menggotongnya beramai-ramai, masuk ke salah satu rumah... *** Di rumah Sumantri, cahaya matahari pagi itu masuk lewat jendela. Orang pertama yang meloncat dari tempat tidur, adalah Sumantri. Tidak bisa tidur, penasaran, bercampur baur jadi langkah-langkah bergegas menuju ruang tengah. Ia lihat Kurdi masih duduk bersila di samping tubuh mayat anak Sumantri. Penunggu jenazah itu tampak amat letih, pucat dan berkeringat. Ia sedang mengusapkan telapak tangan kanannya ke bagian leher mayat Dudung. Setelah itu, ia bangkit. Gontai. Lalu berjalan kearah jendela. Gontai. Sumantri berjongkok di dekat mayat anaknya. Leher Dudung ia perhatikan. Tidak ada guratan. Yang ada hanya selemukan darah-darah kering. Sumantri mengusap darah kering itu. Lalu memperhatikan dengan tajam. Kepala anaknya telah bersatu dengan leher. Bersatu seperti tidak pernah berpisah sebelumnya. Bahkan sama sekali tidak meninggalkan bekas diperlakukan dengan kejam. Anak itu terbaringdalam keadaan mati, seolah-olah terbaring dalam keadaan tidur yang nyenyak dan nyaman. Ada senyum halus di bibir sang anak. Tersenyum.



Sumantri memeluk tubuh mayat itu, menangisinya dengan suara tersedu. Orang-orang lain di rumah itu, bergegas masuk mendengar tangis Sumantri. Mereka berkerumun di sekeliling mayat. Isteri Sumantri menjerit: "Anakku! Anakku sayang..." lantas memeluk anaknya, meratap. terus pingsan. Orang yang tadi malam melihat mayat Dudung berjalan, melongo sesaat. Lalu: "Apa kubilang. Aku tidak bermimpi. Dudung memang keluar untuk... untuk mengambil kepalanya!" Gumam bergaung di ruang itu, bercampur tangis. Sumantri menoleh pada sanak keluarganya. Mendesah, haru: "Jangan. Jangan ada lagi yang menganggap Dudung mati dengan kepala berpisah dari badannya. Anak ini mati sempurna. Mati wajar. Harap kalian camkan!" dan ia menangis pula. Tersendat-sendat. Sekilas, matanya menangkap bayangan tubuh di jendela. Kurdi tersadar di sana. Lengan kirinya teracung ke udara, menyambut terbitnya matahari pagi. Hati-hati, tangan kanannya membuka pembungkus dari daun kelapa muda pada bagian luka di urat nadi lengan kiri itu. Sumantri tidak terlalu jauh untuk bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri. Ketika pembalut dari kelapa muda itu terbuka, sempat ia lihat bekas luka oleh goresan pisau cukur. Luka itu dicium oleh cahaya matahari, mengabur lalu sirna perlahan-lahan. Ketika Kurdi menarik tangannya dari luar jendela, tiada lagi bekas luka di lengan kirinya. Ia tersenyum puas. Memandang ke arah kuda, kereta serta anjingnya di luar. Anjing itu menggonggong, lembut. Kuda itu mendengus. Lembut. Dan kereta itu bergerak kearuh pintu depan. "Sudah waktunya aku pulang... " gumam Kurdi kearah Sumantri.



Di bawah siraman matahari pagi, kereta kuda itu bergerak sepanjang jalan perkampungan demi perkampungan, diikuti pandangan orang-orang yang kebetulan melihatnya. Kereta kuda yang aneh, dengan sebuah peti mati di bak belakang, kuda besar yang hitam legam, serta anjing bertubuh seram berlari-lari di sampingnya dengan lidah terjulur-julur keluar. Kurdi memegang tali kekang seenaknya saja. Ia biarkan kuda berjalan tanpa tuntunan. Betapa inginnya ia tidur. Istirahat yang panjang. Kurdi amat letih. Pekerjaan mencari kepala anak itu tidaklah sukar. Yang sukar, adalah menyempurnakan jasadnya agar utuh seperti semula. Ia harus berjuang melawan pengaruh gelap selama pemusatan pikirannya meminta bantuan kepala Dudung mengalahkan kekuatan dukun yang telah memenggal kepala itu putus dari lehernya. Dan ketika kepala itu akhirnya tidak mengeluarkan suara tangis lagi, ia tahu pengaruh yang mengitari dirinya telah lenyap. Dengan beberapa kali usapan, leher dan kepala itu telah bersatu. Utuh. Benar-benar pekerjaan yang meletihkan. Setelah didahului oleh rasa kecewa yang tak tertahankan. Ya, betapa ia kecewa. Arwah Nengsih Sumarni bangkit dari kuburnya. Kurdi tahu arwah itu telah berhasil melaksanakan niatnya. Akan tetapi, arwah Nengsih Sumarni tidak mau kembali masuk ke dalam kubur. Betapa Kurdi sangat kecewa, waktu dalam pemusatan pikiran di sebelah kubur yang terbongkar hebat itu, ia dengar suara cekikikan Sumarni: "... kembali! Aku tak bisa. Aku tak bisa!" Waktu itu, Kurdi masih berusaha membujuk. "Demi kebaikanmu, Marni. Kembalilah." "Tidak. Aku tidak bisa kembali. Bumi tidak menerimaku, manusia pengabdi setan. Tidak mengertikah kau. Bumi tidak mau menerima jasadku. Mereka akan segera menguburkan jasad kekasihku. Tetapi aku tahu, bumi pun tidak akan sudi menerimanya.



Aku tidak mau membiarka n ia terkatung-katung sendirian. Aku akan ikut dengannya, berkelana di alam yang penuh kegelapan ini. Kami orang-orang yang dikutuk, tahukah kau. Kami orangorang yang dikutuk. Kami kawin, meski kami sadar bahwa kami adik kakak satu susu. Bumi tidak mau menerima orang-orang terkutuk seperti kami..." suara Marni berbaur dengan tangis yang memilukan. "Kami tidak menyesal. Karena kami saling mencintai. Dengarlah, laki-laki pengabdi setan. Kau telah menodai tubuhku. Kau telah menjamah perempuan yang bukan hakmu. Kau telah melakukan apa yang hanya berhak dilakukan suamiku atas tubuhku. Ingatlah ini: kami akan kembali pada suatu saat. Kami akan melawanmu, membalaskan sakit hatiku...." Suara Nengsih Sumarni tertawa nyekikik, membuat bulu roma Kurdi berdiri. Ia tidak pernah mengenal takut, tetapi pelanggaran yang dilakukan Nengsih untuk segera kembali masuk ke dalam kubur, membuatnya harus berhati-hati. Semenjak saat itu ia tidak pernah bisa merasa tenteram lagi. "Huh!" rutuknya, di antara derak-derak roda kereta. "Mengapa harus kupikirkan benar. Mungkin ia tidak kembali memang karena bumi tidak sudi menerima orang berdosa seperti perempuan itu!" Lalu ia sentak tali kekang kuda. *** Matahari sudah sepenggalah langit ketika kereta mayat yang dikendarai Kurdi memasuki mulut sebuah desa. Dengan mata setengah mengantuk ia melihat beberapa orang penduduk tergopoh-gopoh berjalan kearah sungai yang mengalir di pinggir desa itu serta membatasinya dengan desa lain. Dari desa yang bersebelahan Kurdi juga melihat beberapa penduduk berlari-larian melalui sebuah titian bambu ke tempat yang sama. Mula-mula Kurdi acuh tak acuh. "Paling-paling ada anak tenggelam," ia berkesimpulan.



"Mereka sudah cukup banyak untuk menolong. Dan ah... betapa berat rasanya kantuk yang menggantung di kelopak mata!" Ia sentakkan tali kekang kuda. Binatang berkulit hitam legam itu mendengus. Keras. Kepalanya bergerak ke samping, seolah memperhatikan majikannya. Enggan, kaki-kaki kuda itu bergerak maju. Dari mulutnya yang berbuih, beberapa kali terdengar hendusan-hendusan keras yang tidak berkeputusan. "Hem. Kau tentu sudah letih." rungut Kurdi ditujukan pada kudanya. "Sabarlah. Tidak sampai lima kilometer lagi, kita akan segera tiba di rumah...." Anjing yang berlari-lari kecil di samping kereta, tibatiba melolong halus. Kurdi mengernyitkan dahi. Itu bukan kebiasaan si hitam bermata kemerah-merahan itu. Dengan lidah terjulur-julur keluar, anjing itu berlari bukan lurus ke arah menuju jalan yang membelah desa, akan tetapi justru menyimpang ke arah orang orang semakin banyak berlarian ke pinggir sungai. Kurdi bermaksud memanggil anjingnya kembali, waktu salah seorang dari yang berlari-lari itu, keluar dari kelompoknya dan bergegas ke arah kereta yang berhenti tanpa dikehendaki Kurdi. "Ingin dipecut kau rupanya!" geram Kurdi kepada kudanya. Namun pecut itu tidak sempat terangkat. Karena orang tadi telah berada di samping kereta. Ia adalah seorang laki-laki tua dengan muka keras dan hitam dipanggang matahari. Blangkon menutup kepala orang itu sampai batas pertengahan dahi yang kulitnya sudah berlipat-lipat. "Kebetulan!" seru orang itu begitu ia berhadapan dengan Kurdi yang masih duduk dengan kesal di atas kereta. "Kebetulan sekali kau lewat, Nak Kurdi...." Kurdi memperhatikan jenggot yang sudah ubanan di dagu lancip orang itu, dan mencoba tersenyum seramah mungkin. "Apa yang terjadi, Pak Suryo?" tanyanya. "Ada mayat terdampar di pinggir sungai..." "Oh!" cetus Kurdi, seraya tengadah menatap langit,



"Hari masih belum begitu siang. Saya kira waktu untuk mengurus dan menanam mayat itu cukup banyak. Bukankah...." "Kalau cuma itu soalnya," si orangtua memotong cepat-cepat sambil mengusap-usap jenggotnya yang menjuntai sampai ke batas dada. "Aku tak perlu mencegahmu pulang, meskipun kulihat kau sudah ingin mengukur alas tempat tidur..." orangtua yang dipanggil Pak Suryo oleh Kurdi itu, tersenyum kecil. "Ketahuilah, Nak Kurdi. Penduduk desa ini tidak ada yang merasa kehilangan. Juga desa tetangga di sana..." ia menunjuk ke seberang sungai. "Hem!" Kurdi menghela nafas. "Jadi mayat itu terbawa hanyut dari desa lain" "Benar. Dan itupun tak perlu kita persoalkan, andaikata mayat itu mayat orang biasa." "Orang biasa?" Kurdi menggernyitkan dahi. "Maksudku, kami mengenalnya dengan baik, seperti kami mengenal diri sendiri. Ia bernama...." "Peti mati tak pernah bertanya soal nama orang yang akan ditampungnya. Apa pekerjaan orang itu semasa, hidupnya" "Dukun." "Melihat sinar mata Pak Suryo yang gusar, saya bisa menduga tentunya orang itu penganut ilmu hitam..." Kurdi menghela nafas sekali lagi. Panjang dan pasrah. "Baiklah," ia melanjutkan seraya meloncat turun dari atas kereta. "Saya bisa membayangkan betapa orang orang di sini tidak menyukai orang itu selagi hidupnya, dan membenci orang itu setelah kematian merenggut nyawanya...." "Tepatnya, tidak seorang pun yang sudi untuk mengurus mayatnya," timpal orangtua itu seraya berjalan mendahului Kurdi ke arah orang-orang berkerumun beberapa ratus meter dari jalan desa. Kurdi menepuk-nepuk punggung kuda sambil bersungut-sungut: "Jadi ini sebabnya kau memaksa kereta berhenti, eh?"



Ia kemudian berjalan mengikuti orangtua itu ke pinggir sungai. Dari jauh, anjingnya yang hitam legam dengan matanya yang kemerah-merahan serta lidahnya yang berlendir berlari lari menyongsong. Setelah dekat dengn Kurdi, kedua kaki belakang anjing itu merapat dengan posisi merendah, menjepit ekornya yang melingkar di bawa perut. Sesaat, Kurdi tertegun. Sikap ganjil yang diperlihatkan anjing itu, jelas merupakan suatu pertanda buruk. Ia mencoba mengerti arti gonggongan halus serta pandangan mata sahabatnya itu. Namun suara hiruk pikuk di pinggir sungai telah menyita perhatiannya. Orang-orang menyisi memberi jalan waktu Kurdi dan Pak Suryo tiba. Sesosok tubuh terlentang di rerumputan yang basah. Ia berkaki telanjang. Celananya dibagian lutut robek besar memperlihatkan kulit yang memar dan tulang yang tersembul ke luar. Putih seperti salju di antara warna merah kehitam-hitaman. Darah beku. Memar yang mengerikan terdapat hampir di seantero bagian tubuhnya yang lain. Yang membuat kerumunan orang-orang itu tidak berani terlalu dekat, adalah posisi tubuhnya. Orang yang telah menemukan mayat itu telah menyeretnya dari pinggir sungai dimana mayat terdampar. Karena ingin tahu, tentu mayat itu telah dibalikkan. Jelas kelihatan, mayat itu seolah olah merangkak ke pinggir sungai dan berusaha mencakar rumput untuk naik. Kedua tangannya berkembang dengan jari jemari ditempeli rumput dan lumpur, seakan ingin mencakar langit di atas mereka. Yang paling menakutkan adalah wajah mayat itu. Pucat kebiru-biruan, kaku dan memar di sana sini. Kedua tulang pipinya rekah berdarah yang sudah membeku. Demikian pula dagu. Bibir sobek memperlihatkan gigi gigi kuning kehitam-hitaman yang mencuat dari dalam gusi. Hidung remuk. Tetapi ajaib. Kedua belah matanya masih tetap utuh. Sepasang mata itu terbelalak lebar. Tidak ada cahaya sama sekali di sepasang mata itu. Akan tetapi, Kurdi merasakan jantungnya berdenyut. Mata itu seperti menatap lurus ke mata Kurdi. Menuduh.



Kurdi mengerdipkan matanya sendiri. Menarik nafas berkali-kali, lantas meludah ke tanah. Juga berkalikali. "Kau juga mengenalnya?" tanya Pak Suryo. Kurdi manggut-manggut. Sahutnya: "Siapa yang tak mengenal Ki Sanca ini. Ia bisa membuat perempuan jelek tampak jadi cantik di mata orang lain yang diingini. Bisa menjadikan orang yang sehat dan segar bugar tiba-tiba jatuh sakit bahkan mati. Aku jarang bertemu dengannya, tetapi sudah sering mendengar tentang sepak terjangnya. Sebenarnya... sebenarnya aku tidak suka mengantarkan mayat ini pulang ke rumah keluarganya." Orang-orang yang berkerumun bergumam dengan suara menggaung. Pak Suryo mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Gaung itu lenyap serentak seperti debu tertimpa hujan. "... kami tahu Nak Kurdi sudah dekat ke rumah," ujar Pak Suryo. "Desa Ki Sanca setengah hari perjalanan dari sini. Memang suatu siksaan. Tapi Nak Kurdi, tak bakalan seorang pun penduduk desa ini yang sudi pemakaman mereka dihuni oleh Ki Sanca. Juga demikian desa-desa di sekitar sini. Jadi, tak ada jalan lain. Mayatnya harus dipulangkan ke keluarganya, atau kita buang kembali ke sungai. Saya tahu, Nak Kurdi tidak tega untuk melakukan hal yang terakhir...." Kurdi menggelengkan kepala. Katanya, lesu: "Bukan itu maksudku. Aku... ah, mata Ki Sanca ini benar-benar tidak kusukai sama sekali." Orang-orang bergumam lagi. Ramai. "Baiklah!" akhirnya Kurdi berkata dengan suara dikeraskan untuk menenteramkan orang-orang itu. "Aku bersedia mengantarkannya!" Wajah-wajah pucat dan layu di sekelilingnya, seketika berubah cerah. Meskipun enggan, mereka kemudian bersedia mengangkat mayat yang sudah tidak karuan bentuknya itu menggotongnya beramai ramai ke jalan dan kemudian memasukkannya



ke dalam peti mati di bak kereta Kurdi. Penunggu jenazah itu meludah berkali-kali dengan pandangan tidak senang melihat peti matinya diisi oleh mayat Ki Sanca. Perasaan tidak senang itu dalam hati kecilnya bercampur baur dengan perasaan cemas yang tidak berujung pangkal. Pandangan mata dari mayat itu tidak lepas dari benaknya. Seolah-olah sepasang mata yang terbuka lebar di wajahnya pucat serta rusak itu, berusaha menembus papan penutup peti mati, berusaha menjilati sekujur tubuh Kurdi yang sudah naik ke tempat duduk kereta. Kurdi merasa kuduknya bergidik. Seolah ada yang mencakar. Jari jemari yang mencengkeram, keras, kaku serta dingin. Ia belum pernah secemas ini menghadapi mayat seseorang. Tak perduli orang itu seorang haji atau seorang pemuja setan. Ia coba menenteramkan hatinya dengan ingatan bahwa ia merasa tidak ada hubungan apa-apa dengan Ki Sanca, tidak pernah berbuat sesuatu yang melukai hati dukun itu semasa hidupnya. "Diamlah baik-baik di tempatmu kini terbaring," Kurdi menoleh ke arah penutup peti mati sebelum menggerakkan keretanya meninggalkan tempat itu. "Aku toh mau mengantarmu pulang. Mana gratis!" ia tersenyum sendiri, lantas mulai memecut kuda. Binatang itu menggerakkan kedua kaki-kaki depannya dengan serempak. Kereta bagai terlonjak, kemudian berlari tanpa tergesa-gesa. Di sampingnya, sang anjing mengikuti dengan enggan. Lolongannya sudah tidak terdengar lagi. Lidah tak lagi terjulur, demikian pula dengan ekor, kini mengibas-ngibas ke kiri ke kanan. Kerumunan orang-orang yang mereka tinggalkan tidak beranjak dari tempat masing-masing berdiri terpaku. Makhluk-makhluk yang berlari menjauh itu tetap ganjil di mata mereka. Sebuah kereta tua dengan peti mati berisi mayat, seorang laki-laki bermuka tirus dan pucat di tempat duduk, kuda yang mendengus-dengus serta anjing bermata kemerah merahan. Penduduk desa itu memang membenci mayat yang terbaring dalam peti mati. Namun itu tidak berarti, bahwa mereka semua menyukai orang yang dikenal di seantero



daerah itu sebagai penunggu jenazah. Konon, jenazah-jenazah orang-orang yang mati penasaran. Itu bukan pekerjaan yang enak untuk dipegang, dan bukan jabatan yang mudah memperolehnya. Kurdi itu senantiasa bergaul dengan mayat, dan mayat senantiasa bergaul dengan setan. Bukankah tidak mungkin Kurdi sendiri dalam tugasnya sering juga melakukan hubungan dengan setan. Dan setan memang tengah merajalela di kepala Kurdi. Setan kantuk. Saking tidak tahan, di kaki sebuah bukit kereta ia hentikan. Setelah memandang acuh tak acuh ke arah peti mati, ia meloncat turun dari tempat duduk. Kereta ia tinggalkan di pinggir jalan, dan membiarkan kudanya yang seluruh tubuhnya sudah basah oleh peluh, merumput di antara semak belukar. Kurdi berjalan ke bawah sebuah pohon yang berdaun rimbun, diiringi oleh anjing kesayangannya. Waktu Kurdi merebahkan tubuh di rerumputan, anjing itu menjilati tangannya. Kurdi menepiskan mulut binatang itu. Terdengar lolongan kecil yang sayup sayup, dan sinar mata kemerah-merahan di bawah kelopak berbulu hitam legam itu memperhatikan perasaan hatinya kepada Kurdi. "Apa yang kau khawatirkan?" rungut Kurdi pada anjingnya, dan acuh tak acuh mengatupkan kelopak matanya. Dedaunan yang rimbun, rumput yang sejuk dan angin yang berhembus dari pegunungan, membuai Kurdi sehingga ia terlelap dalam seketika. Ia tidur dengan nyenyak. Tidak perduli pada waktu. Tidak perduli pada rintihan anjing, serta dengus-dengus resah dari sang kuda. Tidak perduli pada matahari yang tak lama kemudian tergelincir di ufuk barat. Malam telah jatuh. Bersamaan dengan itu, tutup peti mati pelan-pelan bergeser terbuka.... Tiada suara apa pun yang terdengar waktu tutup peti mati itu bergeser ke samping. Perlahan sekali. Kuda yang berdiri tak jauh di depan kereta mengangkat kepalanya sedikit. Matanya berkilat-kilat memandang ke arah peti mati yang tutupnya bergeser semakin lebar. Binatang itu mengangkat kepalanya lebih tinggi, dengan bibir-bibirnya yang tebal ternganga memperlihatkan gigi-gigi panjang, besar-besar dan kuning. Rupanya kuda itu ingin meringkik, namun yang keluar dari mulutnya hanya hendusan



halus semata. Lambungnya kembang kempis dengan hebat pertanda betapa ia tersiksa oleh keadaan itu. Binatang itu kemudian menoleh ke arah tuannya yang berbaring di bawah pohon. Dalam kegelapan, Kurdi tampak seperti seonggok kayu mati. Hanya suara dengkurnya yang jelas terdengar memecah kesepian di kaki bukit itu yang memberi petunjuk bahwa si penunggu jenazah masih hidup adanya. Tutup peti itu bergeser semakin lebar. Kemudian sebuah tangan tampak menjulur ke luar. Pucat bagai kapas, seakan merahup angin malam yang berhembus enggan. Tangan itu menggapai tepi tutup peti mati, menggerakkannya lebih cepat sampai benar-benar menganga lebar. Dengan sedikit dorongan, tutup peti itu terjatuh ke samping. Terdengar suara berderak yang lembut. Di bawah naungan dedaunan pohon yang rimbun, Kurdi menggeliat. Mulutnya berkecap-kecip tidak menentu, menggeliat lagi lalu diam tidak bergerak gerak. Suara dengkur kembali menggema mengisi kesepian malam. Dari dalam peti mati yang menganga, pelan-pelan terjulur ke luar sebuah kepala yang memar-memar dan luka. Bulan yang baru saja muncul menjilati cahaya kemerah-merahan yang menetes dari lukaluka itu, mengalir membasahi leher yang biru lembab bekas benturan benda keras, lalu kemudian mengendap di kain kemeja yang kotor oleh lumpur. Ki Sanca kini terduduk dalam peti mati. Sepasang matanya mengedip. Berkali-kali. Mata itu ia seka dengan tangannya. Menghilangkan rasa perih. Kemudian ia seka juga darah yang menetes dari dahinya, bergumam setengah marah lantas memandang berkeliling. Mula-mula ia melihat jalan yang lengang dan hitam, semak belukar di kiri kanan serta batang-batang pohon yang tegak menjulang dengan kukuh, tak ubahnya raksasa-raksasa yang diam tidak bergerak-gerak, balas menatap pandangannya. Malam pun jadi ikut terdiam. Juga kuda tak jauh di depan kereta. Dan seekor anjing meringkuk dengan kepala menempel di atas rerumputan, ekor menyipat diantara kedua kaki belakang, serta mata kemerah-merahan tidak berkedip sedikitpun juga.



Ki Sanca kemudian melihat sesosok tubuh yang berbaring di sebelah anjing itu. Sepasang mata di atas pipi-pipi yang pecah-pecah berdarah itu, mengecil tiba tiba. Dari mulutnya tercetus desisan lemah: "Kurdi. Si penunggu jenazah!" Desisan itu disusul oleh geram yang tidak berketentuan. Mulut Ki Sanca yang sobek dengan susah payah berusaha mengeluarkan mantera mantera. Bunyinya seperti suara nyinyir seekor monyet tua yang cerewet, diiringi gerak tangan yang berulang-ulang menebas ke kiri kanan. Dengkur Kurdi tenggelam ditelan oleh suara Ki Sanca yang terus membaca mantera tanpa berhenti walau setarikan nafas sekalipun. Suaranya makin lama makin tinggi. Anjing Kurdi pelan-pelan menggeram. Geramannya pun tenggelam ditelan suara mantera Ki Sanca. Kepala anjing itu terangkat. Terdengar lolongan lirih lepas dari moncongnya. Lolongan itu terhenti waktu Ki Sanca pelan-pelan berdiri. Tepatnya, merangkak dalam usahanya untuk bisa berdiri tegak. Tetapi tempurung salah satu lututnya yang remuk, menggagalkan keinginannya. Ki Sanca meringis oleh rasa sakit yang hebat, dan berusaha menahan sakit itu dengan menyumpah-nyumpah tidak menentu. Ia terus merangkak, keluar dari peti mati, turun dari kereta dan setelah kakinya menginjak tanah, tubuhnya yang letih serta sakit-sakit ia sandarkan pada bak kereta. Berdiri dalam posisi serupa itu, mulutnya kembali kumat-kamit membaca mantera. Sesekali ia tujukan pandangan kedua matanya kearah Kurdi. Sesekali pula terdengar ia bertanya. Tajam. "Mengakulah!" Kurdi mengerang dalam tidurnya. "Mengakulah!" Kurdi bergumam dalam tidurnya: ".... aku... aku...." "Kaukah orangnya?" "... ya!"



"Jadah!" Tidak ada sahutan dari mulut Kurdi. Hanya keringat berbutir saja yang menetes keluar dari ujung hidungnya. Hidung itu kembang kempis dengan cepat, berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Mulut Kurdi terbuka, melepas nafas panjang berkali-kali. Kedua belah matanya masih terkatup rapat, waktu Ki Sanca menyeringai kejam lewat bibirnya yang sobek dan bengkak-bengkak. "Kau beruntung. Kekuatanku tidak seberapa dalam keadaanku yang serupa ini. Tetapi suatu waktu, kelak...." Ki Sanca meludah. Lalu bergerak menjauhi kereta, menjauhi tempat itu dengan menyeret sebelah kakinya yang hancur. Ia berjalan tersuruk-suruk tanpa menoleh lagi ke belakang, sesekali terjatuh tanpa mengaduh, bangkit juga tanpa mengaduh, lalu berjalan terus, tersuruk-suruk. Tubuhnya kemudian lenyap dalam kegelapan malam di antara bayang bayang pepohonan. Barulah pada saat itu, kuda yang berdiri di depan kereta, tiba-tiba menggerakkan seluruh tubuhnya yang kejang kaku. Kedua kaki depannya terangkat tinggi, kemudian menjejak dengan suara keras dan ribut ke tanah. Dengusannya yang ribut disambung oleh raungan anjing yang melengking tinggi. Anjing itu berlari-larian ke arah sosok hitam tadi menghilang di antara pepohonan. Lalu menyalak berkali-kali. Menyalak ribut, tanpa berusaha untuk mengejar. Suara yang riuh rendah itu seketika membangunkan Kurdi dari tidurnya yang nyenyak namun gelisah. Begitu matanya terbuka, begitu ia terlonjak berdiri. Perhatiannya langsung tertuju ke atas kereta. Ia melihat peti mati sudah terbuka. Tutupnya terkapar di samping peti. Dengan kaki-kaki yang gontai, Kurdi berjalan ke arah kereta. Di sana, ia tertegun, dengan wajah mendadak pucat. Tanpa melihat ke dalam peti mati, ia telah tahu apa yang terjadi. "Hem!" Kurdi mendengus. Lantas bersiul. Anjing yang masih menyalak-nyalak ke arah pepohonan berlari larian mendatangi Kurdi. Ia menjilati kaki tuannya dengan



erang-erangan lirih tidak berkeputusan. Kurdi mengangguk. "Aku tahu. Aku tahu," katanya. "Kalian telah berusaha membangunkan aku.... Biarlah. Ki Sanca sudah pergi. Jadi ia belum mati. Hem. Sudah, sudah. Kalian jangan ribut lagi. Sudah waktunya kita pulang, sekarang. Biarin manusia yang bangkit dari kematiannya itu menempuh jalannya sendiri. Itu lebih baik. Kita tak usah bersusah payah lagi mengantarkannya...." Akan tetapi, ketika Kurdi sudah menghenyakkan pantat di atas tempat duduk dan kereta itu mulai bergerak ke arah mereka semula datang, belakang kepala Kurdi terasa berdenyut-denyut. Dahinya melipat, dan mataya mengecil tanpa sinar, memandang lurus ke depan, ke arah kegelapan. Jalan yang mereka lalui kadang-kadang bersiram sinar rembulan, kadang-kadang seperti lenyap ditelan bumi. Tetapi kuda yang menarik kereta sudah tahu ke mana jalan pulang. Kurdi tidak perlu merasa gelisah. Yang ia gelisahkan, adalah bau tak enak dari udara yang berhembus ke kiri kanan tubuhnya. Ia mencium adanya pandangan mata tersembunyi dari tengah kegelapan, tanpa Kurdi bisa melihatnya. Hanya nalurinya yang merasakan. Naluri itu mengatakan padanya. "Ki Sanca telah berhasil menarik keterangan dari mulutmu." Keterangan! Keterangan apakah itu gerangan?" Dalam tidurnya, Kurdi tidak merasa bermimpi. Ia begitu nyenyak oleh karena letih, kurang istirahat dan tidak kuat menahan kantuk yang begitu hebat menyerangnya. Diam-diam ia menduga, kantuk itu semakin menjadi begitu tubuh Ki Sanca yang mereka sangka sudah menjadi mayat, dinaikkan ke atas kereta, dan terbaring dalam peti mati selama perjalanan mengantarkan dukun itu pulang ke kampungnya. "Ia tidak mati," geram Kurdi. "Ia tersiksa hebat, entah kecelakaan apa yang menimpa dirinya. Tetapi sebelum kematian datang, Ki Sanca pasti masih keburu bersemedi. Semedinya itu berhasil menolongnya dari cengkeraman malaikat maut yang sudah mengulurkan tangan. Pantas... Pantas pandangan matanya seperti mengandung arti. Siapakah yang



dituduhnya.Orang-orang kampung itu" Atau... aku?" Kurdi menghela nafas. Belakang kepalanya berdenyut semakin keras. Otaknya bekerja lembur. Lalu tiba-tiba ia berhasil menyimpulkannya. Dan kesimpulan itu, membuat Kurdi terhenyak di tempat duduknya, dengan wajah semakin pucat, dan bibir gemetar dan kering kerontang. Dengan liar matanya memandang ke kegelapan. Mencari-cari. Ia tidak menemukan apa yang ia cari. Otaknya yang masih kerja lembur, memberikan kesimpulan kedua. Kurdi menyeringai. Kecut. "... bahaya itu tidak akan muncul sekarang," gumamnya sendirian. "Kalau Ki Sanca mau, ia bisa mencelakakan aku selagi tidur.... Terkutuk, mengapa sebelum rebah dibawah pohon itu, aku lupa membaca mantera-mantera penjaga diri" Ah. Di tempat yang begitu sepi dan nyaman, masih juga berhembus angin jahat. Salahku sendiri. Tidak memperhitungkan kemungkinan Ki Sanca belum mati!" Ia sentak tali kekang. "Hiiiaaaaa!" bentaknya. Malam seperti berderak. Dan roda-roda kereta ikut berderak. *** Menjelang Subuh, Ki Sanca tiba di rumahnya. Isterinya yang membuka pintu untuknya. Perempuan setengah baya itu menjerit lirih waktu melihat sosok tubuh mengerikan yang terhuyung-huyung jatuh kearahnya, waktu pintu ia buka. Kalau tidak mengenali pakaian suaminya yang sudah robek-robek dikotori lumpur bercampur darah itu, tentulah ia sudah meninggalkan pintu depan dan menghambur masuk kembali ke kamar tidurnya, bergulung di bawah selimut. "Ki...!" jeritnya, lalu membungkuk untuk memeriksa tubuh itu. "Ki! Apa yang terjadi denganmu" Apa Ki" Apa?" Dengan air mata bercucuran, si



perempuan menyeret tubuh suaminya ke kamar, membaringkannya diatas tempat tidur dan dengan ribut menangis di samping tempat tidur itu. Mulut Ki Sanca yang robek mengeluarkan suara tersendat-sendat: "... ambilkan ramuan-ramuan itu. Jangan cuma menangis. Cepat..." Yang disuruh cepat-cepat berdiri. Cepat-cepat pula berlari ke luar, masuk ke sebuah kamar lain yang terkunci. Ia ribut mencari anak kunci, membongkar isi lemari, menggapai-gapai ke bagian atas bendul pintu dan jendela, meraba-raba dalam rak, sampai akhirnya ia berlarian lagi ke kamar tidur untuk menanyakan di mana suaminya menyimpan anak kunci. "Bodoh!" rungut Ki Sanca. "Ludahi saja pintu itu!" Si isteri berlari lagi ke luar. Ia ludahi pintu berkali-kali. Setelah itu daun pintu ia dorong. Demikian keras, sampai terhempas membuka. Berdebam bunyi daun pintu menghantam dinding. Si perempuan menerobos masuk. Dalam jilatan lampu minyak, matanya mengitari ruang sempit dan berbau pengap itu. Sebuah meja yang diatasnya terletak baskom, panci-panci berisi darah yang sudah dibekukan, golok berkilat-kilat terselip di antara tumpukan tulang belulang manusia, kemudian sekaranjang rempah-rempah di bawah meja. Ia rahup sebagian rempah-rempah itu, memasukkan ke baskom yang kemudian dicampurnya dengan segumpal darah, diisi air gentong, kemudian membawanya ke kamar tidur. Susah payah, Ki Sanca berhasil duduk. "Segera setelah aku sembuh, si penunggu jenazah itu akan tau rasa!" umpatnya, lalu mulai membaca mantera. Di luar, angin subuh bertiup dengan kencang. Perempuan yang berdiri dengan muka pucat di samping tempat tidur, menggigil seketika. Ia berjalan ke luar, dan menutupkan pintu cepat-cepat. *** Tak ubahnya sebuah meja jagal yang bundar dan bidang, langit di ufuk barat tampak berwarna merah darah kekuning-kuningan. Matahari baru saja merangkak ke balik



bukit. Warna merah darah kekuning-kuningan itu berpadu dengan kehijauan dedaunan rimbun sebuah pohon beringin yang tumbuh telah beratus-ratus tahun lamanya di pinggir hutan. Percikan-percikan sisa-sisa sinar matahari mengintip lewat celah dedaunan, menerpa akar-akar beringin yang berjuntai seperti ratusan ekor ular-ular raksasa yang saling berpagut, mengelilingi bagian samping dan belakang sebuah rumah kecil beratap ijuk. Sebagian dari cabang pohon beringin itu menyapu dinding setengah papan tepas dengan daun-daunnya yang beriak-riak ditiup angin senja, menimbulkan suara berisik lembut ditengah-tengah kesepian yang mencekam di sekelilingnya. Seekor kuda mendengus keras di sebuah kandang. Dari kejauhan, di dekat pintu masuk kelihatan sebongkah benda berwarna hitam Legam bagai melata di tanah. Semakin dekat, bongkah itu semakin berbentuk dan tiba-tiba berdiri tegak di atas keempat kaki-kakinya yang ramping dan kukuh. Ekor di belakang tubuhnya mengibas ke kiri dan ke kanan. Benda yang tidak lain dari seekor anjing itu menggereng dengan suara mengilukan tulang. Kepalanya tegak dengan mata yang merah memandang tajam pada seorang laki-laki yang muncul di pekarangan. Nafas orang itu terengah engah. Pakaiannya basah oleh peluh, demikian pula wajahnya yang tampak legam. Selama beberapa saat, laki-laki itu bersandar ke batang kayu pagar pekarangan, berusaha mengatur nafas. Matanya tidak beranjak dari anjing yang sebaliknya tidak pula mau melepaskan pandangannya dari tamu asing yang baru muncul itu. Sesaat, jantung si laki-laki menciut melihat warna darah di mata anjing itu. "Ehem!" Ia terbatuk. Atau sengaja batuk. Keras. Anjing itu tiba-tiba menggonggong. Keras. Si lelaki mundur setapak. Ia memandang ke kiri kanan. Tak tau apa yang akan ia cari. Tetapi andaikata ia harus berjuang, sebuah kayu atau sebongkah batu mungkin bisa menolong. Akan tetapi, setelah menggonggong keras, anjing bertubuh kekar hitam itu



kemudian mengibas-ngibaskan ekornya perlahan-lahan, lalu meringkuk kembali di atas kedua kaki belakangnya. Sepasang telinganya yang panjang,jatuh lunglai di kedua samping kepala. Lidahnya terjulur keluar, memperdengarkan suara mendengus dengus. Sepasang matanya berkilat-kilat, namun sikapnya yang diam membuat jantung laki-laki tadi kembali berkembang. "Ehem!" ia batuk lagi. Tidak sekeras tadi. Dan anjing itu diam saja. Tetap diam, selagi si lelaki bergerak maju dengan hati-hati dan mata awas, berjalan ke arah pintu, berusaha membuang bayangan anjing yang menakutkan itu jauh-jauh dari kepala, lantas mengangkat tangan kanan, yang kemudian ia gedorkan ke daun pintu. Sekali. Dua kali. Tiga. Setelah itu diam menunggu. Tidak ada sahutan. Tidak ada suara gerakan dari dalam. Sekali lagi orang itu menggedor, kali ini secara beruntun. Lalu tiba-tiba gedoran itu ia hentikan. Anjing hitam yang dari tadi duduk meringkuk diam diam, mulai melolong. Nyaring, lengking dan panjang. Laki-laki itu mundur dari pintu, dengan bulu kuduk bergidik. Untung senja begitu redup. Kalau tidak, ia lebih suka untuk terpencil dengan makhluk-makhluk menakutkan itu. Lolongan anjing memantul sampai ke dalam rumah. Suasana lengang di dalam, pelan-pelan diisi oleh suara bergerit yang lembut. Sebuah peti mati yang terletak di tengah-tengah ruangan, bagian atasnya bergerak terbuka. Dari dalamnya, bangkit seorang laki-laki setengah baya, dengan wajah pucat dan mata kecil berkilat-kilat. Kumisnya yang besar bergerak sedikit waktu ia menguap, merenggangkan otot-otot lalu berdiri. Setelah berada di luar peti mati, ia tutupkan kembali bagian atas peti itu, lalu berjalan terseok-seok ke arah pintu. Gedoran tadi sudah tidak terdengar lagi, namun lolongan anjing itu semakin lirih juga di telinga.



"Hem!" ia bergumam sendiri. Lalu membuka pintu. Melebarkannya. Laki-laki yang masih berpeluh wajahnya itu, sesaat termangu memandangi tuan rumah. Lalu di saat berikutnya, dari bibirnya yang pucat terdengar suara menggeletar: "... Pak Kurdi" "He-eh!" "Syukurlah bapak ada di rumah. Jauh-jauh saya datang hanya dengan bekal sepercik harapan saja. Kami dengar Pak Kurdi amat sibuk akhir-akhir ini...." "Biasanya. Ada orang lagi yang sudah putus asa menghadapi hidup ini" Sang tamu tersenyum. Ia heran tidak dipersilahkan masuk. Tetapi ia merasa itu lebih baik, karena sekilas lewat bahu Kurdi ia lihat ruangan yang lengang itu hanya diisi oleh sebuah peti mati, persis di tengah tengah. Tidak ada perabotan lain. Tidak ada makhluk lain. Entah, dibalik sebuah pintu kecil yang tertutup, tak jauh dari peti mati itu terletak. Bukan sebuah ruangan yang menyenangkan untuk duduk sebagai tamu yang dihormati. Pelan-pelan ia bergumam: "Yang ini bukan karena putus asa, Pak Kurdi!" "Oh!" Merasa ia ditunggu untuk menjelaskan sendiri, lakilaki itu melanjutkan: "Nyi Ijah mati setelah melahirkan." "Nyi Ijah?" "Bapak kenal?" "Ah. Tidak!" "Oh...." Diam setelah itu. Kaku. Di luar pintu, anjing tadi menggereng lirih. Dengus kuda terdengar memecah disamping rumah, dari arah kandang. Hanya ketiga makhluk itu saja yang berdiam di pinggir hutan ini, terpencil dari kampung-kampung lainnya



maupun dari kehidupan orang-orang sekitarnya. Seekor anjing, seekor kuda, seorang penunggu jenazah, ditambah sebuah kereta dan sebuah peti mati. Mual perut mengingatnya, lebih-lebih melihat betapa rumah di mana semua itu berada, terletak di bawah pohon beringin yang sudah ratusan tahun umurnya. "Kampung bapak?" tanya Kurdi tiba-tiba setelah melihat tamunya berdiam diri saja dengan sikap kaku. "Cikadut...." "0h. Cuma beberapa kilo dari sini. Syarat-syaratnya" Orang itu membuka sebuah keranjang yang dari tadi ia kepit di bawah ketiaknya. Ia keluarkan sekantong kecil beras putih, sekantong kecil pula beras merah, bangkai seekor ayam jantan besar dan gemuk berbulu putih berkaki merah, dan sebuah botol kecil berisi cairan kental berwarna merah. Sambil menyerahkan benda-benda itu ke tangan Kurdi, sang tamu menjelaskan: "Darah ayam ini masih segar. Saya tidak memotongnya di rumah, melainkan tadi ditengah perjalanan..." "Lebih baik begitu!" rungut Kurdi, setengah ramah, setengah enggan. "Syukur kalian tahu aku tidak suka menyembelih makhluk hidup.... Hem, jadi di Kampung Cikadut, dan perempuan itu bernama ljah. Sanak keluargamu?" "0h. Bukan. Nyi Ijah tak punya sanak keluarga." "Maksud saya, tidak, setelah ia ditinggal mati suaminya beberapa bulan yang laju...." "Hem. Lantas?" "Sebelum meninggal, Nyi Ijah sempat berpesan. Ia ingin dikuburkan berdampingan dengan kuburan suaminya." "Tempatnya?" "Justru itu. Tak seorang pun yang tahu, kecuali Nyi Ijah. Sayangnya, ia lupa memberitahukannya sesaat sebelum ia menghembuskan nafas yang terakhir...." "Ah...."



"Kami sangat memerlukan bantuan Pak Kurdi." "Tentu, Tentu. Pulanglah. Lewat Isya, aku telah berada di sana..." Ketika orang itu telah bergerak menjauh, Kurdi memanggil: "Hei...!" "Ya, Pak Kurdi?" "Anak Nyi Ijah. Bagaimana keadaannya sewaktu dilahirkan?" "... mati!" Kurdi menghela nafas. Lantas mengangguk. Patah patah. Orang tadi menunggu sebentar, tetapi rupanya tidak ada hal-hal lain yang ingin ditanyakan Kurdi. Setelah mengangguk sekali lagi, Kurdi kemudian menutupkan pintu, tercenung sesaat di tempatnya berdiri, dengan telinga melebar cupilnya waktu mendengar anjing di luar melolong lirih dan panjang. Cepat-cepat Kurdi membuka pintu kembali. Ia memandang sebentar ke luar. Dikejauhan, ia lihat laki-laki tadi berlari-lari kecil menuruni bukit. Mungkin orang itu tergesa-gesa. Tetapi biasanya, memang begitulah selalu tiap orang yang telah berkunjung ke rumahnya. Pulang dengan sikap anjing baru dilempar dengan kayu. Lari terbirit birit. Ketakutan. Lagi Kurdi menarik nafas. "Nasibku," gumamnya. Lesu. "Orang-orang membutuhkanku, tetapi tidak pernah merasa tenteram berada di dekatku. Apakah aku demikian menakutkan bagi mereka?" Setelah tercenung lama, ia keluarkan bangkai ayam dari dalam keranjang. Ia mengamat-amatinya sesaat. Membaca beberapa kalimat mantera dengan suara lirih, meludahi bangkai itu tiga kali, kemudian mencabuti bulunya dengan tangan yang terlatih. Maklum baru disembelih, tidak pula disepuh dengan air mendidih terlebih dahulu. Tak ayal, sebagian kulit bahkan sayap ayam itu ikut terlepas bersama bulu



bulunya. Bagian daging yang masih utuh, kemudian dilemparkan Kurdi ke tanah. Dalam sekejap mata, anjing kesayangannya telah melompat menerkam bangkai ayam itu, lalu dengan taring-taringnya yang tajam diboyong ke samping rumah. Kurdi mengikuti anjing itu sampai ke kandang. Di sana, ia lemparkan bulu-bulu ayam bercampur kulit berdarah itu ketumpukan jerami. Dengan rakus, kuda yang ada dalam kandang segera mengunyah hidangan yang pasti asing dan menjijikkan buat makhluk sejenisnya yang lain. Ia memperhatikan sebentar bagaimana binatang binatang kesayangannya bersantap dengan nikmat. Selera Kurdi ikut terbangkit. Ia masuk ke dalam rumah. Setelah menutupkan pintu, ia berjalan melewati peti mati ke arah kamar kecil yang tertutup di dekatnya. Pintu kamar kecil ia buka dengan hati hati. Ia masuk ke dalam, lantas menutupkan pintu di belakangnya tanpa menimbulkan suara yang sehalus apapun juga. Ia berjingkat ke atas sebuah tikar yang terhampar di lantai. Cahaya remang remang yang masuk lewat jendela, menerangi sebuah benda berwarna putih kekuning-kuningan yang terletak di atas tikar, dikelilingi oleh talam berisi kembang serta rempah-rempah, serta beberapa buah pedupaan yang mengepulkan asap. Bau menyan memenuhi ruangan sempit itu. Andai saja tidak berjendela, asap tentulah mengurung ruangan serta segenap isinya, menutup jalan pernafasan dengan tidak mengenal ampun. Kurdi duduk bersila memandangi benda putih kekuningan itu. Bentuknya bulat, sedikit pipih dan panjang di bagian bawah. Bagian atas sampai ke belakang, licin berkilat-kilat, dan di bagian depan memperlihatkan dua buah lubang sebesar telur, dan tepat di tengah-tengah sedikit di bawah antara kedua lubang itu, terdapat pula lubang lain berbentuk kerucut dengan ukuran yang sedikit lebih besar. Lebih ke bawah, lubang menganga yang lebih lebar, memanjang ke samping kiri dan kanan. Sebuah tengkorak kepala manusia!. Setelah kumat kamit sebentar, Kurdi bergumam: "Kakek, bantu aku lagi!"



Lalu darah ayam ia tuangkan dari botol melalui kedua belah mata tengkorak. Dalam sekejap, darah itu telah mengucur keluar dari lubang di mana seharusnya hidung terletak, juga dari mulut tengkorak. Tikar pandan di bawah tengkorak segera digenangi darah tersebut. Kurdi membungkuk. Ia geser tengkorak kepala itu sedikit ke belakang, sehingga terpisah dari genangan darah, yang kemudian ia hirup dengan mulutnya, tak ubahnya seekor anjing yang menjilati madu yang tertumpah ditanah. "Terima kasih kakek," gumam Kurdi setelah menjilati habis darah ayam itu sampai kering. Ia kemudian berdiri, berjalan ke luar. Otot-ototnya bertonjolan waktu peti mati ia pindahkan dari lantai ke bak kereta mayat. Kereta itu ditarik ke luar dari kandang, disusul oleh kuda serta anjingnya. Setelah naik ke tempat duduk kereta, Kurdi tidak segera menggerakkan tali kekang. Dengan membungkuk sedikit, ia tepuk-tepuk punggung kudanya. Binatang itu menggerakkan kepala ke samping, kemudian mendengus. Pelan. Kaki kirinya yang depan ia hentak-hentakkan ke tanah. Kesenangan. Di samping kereta, anjing hitam legam dengan matanya yang berwarna kemerah-merahan itu, menyalak keras. Kurdi tersenyum padanya. Dan anjing itu menggerak-gerakkan ekor, mengibas ke kiri kanan seraya menjulurkan lidahnya yang panjang berlendir ke arah tempat duduk. Kurdi melonjorkan kaki kanannya yang panjang. Anjing itu menjilatinya kesenangan. "Jangan suka cemburu!" gumam Kurdi. Ia pun merasa senang. Dan agak kemerahan mukanya, tersipu, sewaktu sadar bahwa ucapan yang keluar dari mulutnya telah membuka kedoknya sendiri. Ia berkata begitu, karena si anjing tidak suka kalau hanya si kuda yang dimanja. Maka ia lonjorkan kaki untuk meredakan kecemburuan binatang hitam legam bermata merah itu.



Cemburu. Hem! Biarlah kedua ekor binatang itu saling mencemburui satu santa lain. Betapa tidak. "Pasien" yang akan mereka kunjungi, adalah seorang perempuan. Baru beranak satu pula. Bayangkan! Kurdi tersenyum lagi. Memandang ke bawah bukit. Bermandi cahaya matahari senja, tampak rumah-rumah dari desa terdekat di lembah sana, tak ubahnya peti-peti kayu yang berserak tidak beraturan. Peti-peti itu mengecil jadi kotak-kotak korek api di desa-desa yang berikutnya. Sebagian terletak di lapangan terbuka, dikitari oleh sawah berselimut beludru hijau. Sebagian terlindung di balik pohon-pohon yang tumbuh subur selama sekian kurun tahun. Sekian kurun tahun pula, desa-desa di lembah sana, dan tempat Kurdi memandang, selalu tampak diam. Bukan acuh tak acuh. Melainkan, sebuah kebisuan yang menimbulkan kekakuan serta ketidaksukaan. Tidak terlihat suasana cerah dari bawah sana. Yang ada hanya kediaman yang mengilukan tulang. Begitu pulalah penghuni penghuni desa-desa di seantero lembah itu. Kaku serta tidak pernah memperlihatkan wajah suka, tiap kali Kurdi datang. Bahkan walau cuma sekedar lewat saja. Desa-desa itu baru bersikap ramah, apabila kehadiran Kurdi dibutuhkan. Bila tidak... Dengan senyum yang terenggut hilang dari bibir, Kurdi mengalihkan matanya ke arah perginya laki-laki itu ia lihat tersenyum ramah, bersikap penuh kekeluargaan sewaktu mereka berhadapan. Dan begitu laki-laki itu memperlihatkan punggung, maka ia pun lantas lari terbirit-birit menuruni bukit, pasti dengan wajah dibayangi ketakutan serta ketidaksukaan. Padahal, ia tidak perlu lari sifat anjing begitu. Toh ia bisa jalan bertenang tenang. Kalau takut terlambat tiba di desanya, ia bisa naik kereta. Tetapi,



puih. Mana ada pemilik kereta kuda yang mau naik sampai ke atas bukit ini, selama mereka tahu yang menghuni tempat ini adalah orang yang bernama serta mempunyai pekerjaan semacam Kurdi. "Persetan!" Kurdi memaki. Lalu. "Hiyaaaaaa!" Pecutnya naik ke udara, mendarat di punggung kuda. "Tasss!" Kuda penarik kereta meringkik keras. Kaki-kakinya menjompak ke depan dengan suara berdetak-detak di tingkah bunyi roda-roda kereta berderak-derak di atas jalan berbatu. Hingar bingar. Kurdi tidak perduli. Pecutnya terus mendera. Kereta berpacu. Tak tertahan. Di sebuah Pengkolan menurun, roda kereta menghantam sebuah batu besar yang menonjol dari pinggir jalan. Bak kereta terlonjak ke udara. Kurdi terangkat pantatnya, kemudian terhempas kembali di tempat duduk waktu roda-roda kereta kembali melaju di jalan rata. Namun sebuah suara yang menghempas dengan ribut, membuat Kurdi menolehkan kepala ke belakang. Peti mati yang ia letakkan di bak kereta, terbuka tutupnya. Kurdi cepat-cepat menarik tali kekang kuda. Pelan pelan kereta itu berhenti. Kurdi turun ke bak, memungut tutup peti mati yang hampir jatuh lalu bermaksud menutupkannya kembali, di saat itulah ia tertegun. Peti mati itu kosong melompong. Memang! Memang kosong. Tadi malam, di rumah, ia tidur di dalam peti mati itu. Tak sampai satu jam berselang, ia keluar dari dalamnya untuk menyambut tamu yang datang sore itu. Kemudian peti mati ia naikkan ke bak kereta, di tempatnya yang sekarang. Jadi, ia yakin benar, peti mati itu memang kosong. Akan tetapi, kenapa waktu mau ia tutup sekarang, terasa uap dingin keluar dari dalam peti menyambar tangannya". Itu belum penah terjadi. Mungkinkah karena tutup peti mati telah terbuka semenjak



tadi dan ruangannya diisi oleh udara dingin" Kurdi memusatkan pernafasan. Benar. Udara senja itu memang teramat dingin. Tidak ada suatu keanehan, kalau begitu. Ia membungkuk, bermaksud meneruskan niatnya. Dan otot-otot Kurdi seketika mengencang. Keringat membersit dari jidat. Ia kerahkan terus tenaganya. Namun jelas, ada dorongan menolak dari dalam ruangan peti mati. Dorongan yang sangat keras, dan uapnya teramat dingin. Menusuk-nusuk, menembus kulit-kulit lengannya, merambat liar seperti tusukan ribuan jarum yang secara teratur ditusukkan oleh tangan tangan ahli. Kurdi meringis kesakitan, lantas cepat cepat menarik mundur tutup peti mati. Sesaat, ia tegak dengan muka kaku dan dingin. Lalu, di saat berikutnya, tutup peti mati ia letakkan di dekat kakinya. Setelah mana ia kemudian duduk bersila, di atas permukaan tutup peti mati itu. Matanya terpejam. Rapat. Kedua telapak tangan ditekap menutup dada. Sementara mulut Kurdi kumat kamit membaca mantera, kain sarung yang melingkari punggungnya berkibar-kibar ditiup angin kencang yang tiba-tiba melanda tempat sekitar kereta berhenti. Kuda di depan, berdiri kaku di atas keempat kaki-kakinya yang kokoh, dengan kepala tegak. Diam. Uap putih berpencar-pencar keluar dari lubang hidung yang kembang kempis tak teratur. Anjing di belakang, memperlihatkan sikap yang sama. Keempat kaki berdiri kaku, kepala tegak, hidung mengendus-endus. Lalu, saat majikannya mengggoyang-goyangkan kepala ke kiri kanan, mula-mula pelan, kemudian makin lama makin cepat, anjing itu mulai melolong. Mula-mula sayup-sayup. Sampai, kemudian panjang melengking. "Puah!" Kurdi tiba-tiba meludah ke dalam peti mati di depannya. Kuda di depan meringkik.



Anjing di belakang menyalak. Kurdi berdiri, memungut tutup peti mati, kemudian menempatkannya di tempat yang seharusnya. Tiada uap dingin lagi. Tiada dorongan aneh lagi. Peti mati itu memang kosong. Kosong melompong. Kurdi menarik nafas panjang berulang-ulang, mengulangi ketegangan otot-otot tubuhnya. Pelan pelan mulutnya melepas seringai hambar. "Ada orang mau mengusik ketenangan kita," ia bergumam sedikit keras. Kuda dan anjing itu sama-sama mendengus. Kurdi kembali naik ke tempat duduk kereta, lantas mulai menarik tali kekang. "Hiyyyaaaaa!" Roda-roda kereta mulai berputar. Berderak-derak. Pelan. Lalu cepat. Dan malam pun segera jatuh. *** Gemeretak roda-roda kereta mayat itu menarik perhatian orang-orang yang sedang berada di luar rumah waktu Kurdi memasuki desa yang ia tuju. Dalam jilatan lampu-lampu minyak di pintu-pintu pekarangan, gambaran kereta itu tampak amat menakutkan. Di depan, berjalan terengah-engah seekor kuda berkulit hitam yang berkilat-kilat mandi keringat, sementara binatang sejenisnya telah pada masuk kandang karena tidak biasa ke luar malam. Di atas tempat duduk kereta, tampak bayangan laki-laki berpakaian hitam dengan sarung membelit pundak sampai sebatas pinggang, terhenyak diam dengan wajah acuh tak acuh, serta mata yang lurus memandang ke depan. Di belakangnya, berlari-larian seekor anjing besar juga berkulit hitam legam, akan tetapi dengan mata yang merah seperti darah tiap kali terpantul pada sinar lampu. ".... siapa dia?" seseorang mendesah. Temannya menunjuk:



"Lihat saja apa yang ada di bak kereta. Kau akan tahu siapa dia." "0h. Diakah si penunggu jenazah yang tersohor itu?" "He-eh!" "Orang misterius. Dengan makhluk-makhluk menakutkan sebagai teman-teman setianya. Kudengar, orang itu adalah penjelmaan setan...." "Husy! Pelan-pelan sedikit kalau ngomong. Bila ia dengar...." orang yang satunya lagi dengan tangan gemetar menarik tangan temannya agar menyingkir jauh-jauh. Gemeretak roda-roda kereta menyayup, dan bayangan tamu-tamu asing itu semakin pudar ditelan malam. Hanya sesekali tampak merupakan makhluk makhluk ganjil yang samar-samar terlihat melewati lampu demi lampu minyak di pinggir jalan. "Jadi benar ia penjelmaan setan?" orang pertama masih penasaran. "Setan tidak muncul di siang bolong. Kalau orang bertamu ke rumahnya, tak pernah ada yang berani malam hari. Orang-orang itu bertemu dia, jadi dia bukan penjelmaan setan. Menurutku, ia ada sering berhubungan dengan setan. Kalau tidak, tak akan ia berani bekerja sebagai penunggu mayat. Konon lagi mayat-mayat yang diakibatkan mati karena penasaran. Seperti Nyi Ijah itu misalnya...." "Benarkah Nyi Ijah akan menjelma jadi kuntilanak?" "Entahlah. Ia mati bersama bayi yang ia lahirkan. Jadi..." yang menyahut menggigil. Cepat-cepat masuk ke rumah yang mereka tuju, dan cepat-cepat pula menutupkan pintu. Di luar, angin malam mendesau-desau, keras tetapi kering. Mengerang-ngerang. Merintih-rintih. Lirih. Hanya sebuah pintu rumah yang masih terbuka di desa itu. Dan hanya beberapa orang yang masih tinggal di sana. Satu dua diantaranya keluar masuk untuk mengurusi sesuatu. Tetapi semakin larut malam, semakin sedikit orang yang masih tinggal. Satu



persatu mereka kembali ke rumahnya masing-masing, cepat-cepat menutup pintu, mungkin cepat-cepat pula menggulung diri di bawah selimut, biarpun yakin sampai pagi esoknya mata tidak akan sudi terpejam. Kurdi menghentikan kereta di pekarangan rumah yang pintunya masih terbuka itu. Seseorang menyongsong keluar waktu ia turun. Setelah melihat siapa tamu yang datang, orang yang baru keluar dari rumah sesaat tertegun, lalu: "... Pak Kurdi?" sapanya. "He-eh!" Orang itu mendekat untuk lebih seksama mengenali tamu desanya. Mulutnya melepas sebuah senyuman, tampak amat ramah dan senang didatangi. Tetapi mata Kurdi yang awas, menangkap bayangan yang sebaliknya di mata orang itu. Gambaran curiga, takut dan tidak senang. Selalu begitu. Dan selalu pula Kurdi harus menyabarkan diri. Sudah kodratnya untuk bekerja seperti apa yang segera harus ia laksanakan. Setelah sekilas melirik ke arah peti mati di bak kereta, orang tadi bergumam: "Masuk. Masuklah, Pak Kurdi. Kami sudah lama menunggu...." "Maaf. Ada gangguan di jalan, sehingga aku terlambat." "Ah, pokoknya Pak Kurdi datang!" Ucapan terakhir itu bernada senang. Tentu saja, pikir Kurdi. Dengan kehadiranku, orang itu tidak lagi harus duduk diam-diam di samping mayat yang mati karena melahirkan. Orang ini takut mayat itu bangkit lalu mencekik lehernya seraya tertawa mengikik... "Puah!" "Boleh minta beras putih?" Orang tadi yang sedang memperhatikan kuda serta anjing Kurdi, terjengah. "Ya, Pak Kurdi?" "Beras putih!" "Oh. Ada di dalam. Mari, masuk. Nanti akan...."



"Ambilkan sekarang saja." "Tak masuk dulu?" Kurdi tak menjawab. Dan orang itu tahu, ia tidak akan memperoleh jawaban lisan, karena mata Kurdi yang mengecil memandang dengan dingin ke arahnya. Mata yang sangat pucat... sehingga mengingatkan orang itu pada mata Nyi Ijah yang terbaring diam di ruang tengah rumah. Dalam satu helaan nafas, ia telah membalikkan tubuh lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Terdengar suara berbisik-bisik di dalam, diikuti suara berbisik orang-orang sedang sibuk. Kurdi tak perduli. Ia tengadah. Menatap langit kelam digantungi mendung mendung hitam. Tiada sekerlip bintang pun. Yang tampak hanya rembulan yang berwajah pucat, mengintip dengan enggan dari awan pekat yang berarak ke arah utara. Pantas desa ini sepi. Hujan akan turun. Pasti. Yang tidak pasti, hanya bahwa malam ini desa itu akan diganggu oleh makhluk bernama kuntilanak. Biarpun kehadiran kuntilanak itu belum bisa dipastikan, mereka toh lebih baik mengunci pintu rumahnya masing-masing dari pada memberanikan diri ke luar rumah dan tiba-tiba.... Tiba-tiba sesosok tubuh sudah berdiri di samping Kurdi. *** Desah nafas orang itu menyadarkan Kurdi. Ia melepas nafas panjang, kemudian bertanya: "Mana?" Orang itu menyodorkan sebuah baskom berisi penuh dengan beras putih. Kurdi tersenyum kecil. "Tidak perlu sebanyak ini!" Lantas ia comot beberapa butir beras dari baskom, didekatkan ke mulutnya yang kemak-kemik membaca mantera. Ia memerlukan hanya beberapa detik untuk melakukan itu. Setelah ia semburkan dengan sedikit ludah, butir-butir putih itu ia taburkan satu persatu mengelilingi rumah dengan jarak masing masing satu tombak. Waktu ia



mengakhiri putaran mengelilingi rumah dan tiba di depan kembali, orang tadi masih berdiri termangu-mangu. Ia memegang baskom berisi beras putih dengan tangan terangkat, sikapnya tetap seperti menyodorkan benda tersebut seperti tadi. "Hei!" tegur Kurdi seraya menyentuh bahunya. Orang itu tersentak kaget. Hampir saja baskom jatuh dari tangan. Tetapi tak urung beberapa jumput beras ikut tertumpah. "Ya Pak Kurdi?" tanyanya gagap. "Ah. Enggak apa-apa. Mari kita, masuk sekarang!" Kurdi berjalan duluan. Orang itu mengikuti kemudian. Wajahnya pucat, dan tubuhnya masih gemetar. Berkecamuk pikiran dibenaknya. Betapa tidak. Begitu butir beras pertama jatuh ke tanah dari tangan Kurdi, ia merasa sekujur tubuhnya dingin dan kaku. Semula ia kira karena pengaruh udara malam. Tetapi ketika ia mau menggerakkan kaki, ternyata kakinya terpaku di tanah. Demikian pula dengan kedua tangannya. Ia sadar penunggu jenazah itu berkeliling rumah menaburkan butir beras, akan tetapi ia tidak dapat menggerakkan leher untuk bisa melihat dengan mata kepalanya. Yang ia tahu, hanyalah, tiba-tiba bahunya disentuh oleh Kurdi, dan segala kejadian ganjil yang menjalari dirinya, seketika menghilang. Karena tak kuat menahan hati, ia bertanya takut takut: "Apa yang Pak Kurdi lakukan tadi?" "Menaburkan beras," jawab Kurdi. Tenang-tenang saja. "Untuk apa?" "Di jalan tadi ada yang mengusikku. Di sini, aku tak mau diusik lagi. Kalau diusik, tidak saja pekerjaanku gagal, akan tetapi juga keselamatanku bisa terancam..." "Oh!" "Itukah mayatnya?" Kurdi menunjuk pada sesosok tubuh yang ditutupi kain selendang batik, terbujur diatas permadani kecil dengan rajutan-rajutan warna yang semarak. Satu-satunya



orang yang ada di ruangan itu selain Kurdi dan laki-laki yang menyongsongnya, hanyalah seorang perempuan tiga perempat umur, yang duduk bersimpuh di dekat bagian kaki mayat. Kepalanya tegak waktu Kurdi masuk. Mulutnya yang keriput mencoba mengeluarkan senyum ramah. Namun ia gagal. Karena kesedihan yang terbayang di matanya, telah memukul habis keinginan yang sangat bertentangan itu. "Dia Bu Enjuh," menjelaskan laki-laki di samping Kurdi. "Ia yang punya rumah ini. Nyi Ijah indekost di sini semenjak almarhumah mula-mula datang ke desa kami." "Hem..." Kurdi mengangguk pada perempuan tua itu, yang dibalas dengan anggukkan samar-samar, sekedar untuk basa basi. "Ia sendirian tinggal di sini?" "Ya." "Dan...?" Kurdi menyidik dengan matanya ke arah lakilaki di sampingnya. "Oh. Saya lurah." "O, Pak Lurah. Mana orang-orang lainnya?" Laki-laki itu kelihatan sangat gugup. Lama baru ia menjawab dengan suara terputus-putus: "Mereka... mereka... Ah. Bagaimana ya" Siang tadi sih banyak yang melayat. Tetapi begitu matahari turun... Oh ya. Keamanan di desa belakangan ini kurang terjamin. Maka lumrah kalau mereka cepat-cepat menutup pintu." Kurdi tertawa kecil. Ia tahu laki-laki itu berdusta, maka ia nyeletuk seenaknya: "Tak aman kok malah mengunci diri. Bukan berjaga jaga...." Lurah tertawa. Pahit. Ia tak suka berbantah dengan tamu mereka. Dan ia lebih tidak suka untuk tinggal berlama-lama di tempat itu. Oleh karenanya ia segera mendekati Bu



Enjuh, berbisik di telinganya. Perempuan itu bangkit dengan enggan. "Bu Enjuh ada baiknya menginap di rumahku saja malam ini. Ada sesuatu yang Pak Kurdi perlukan sebelumnya..." "Jangan pergi dulu!" Lurah menyeringai. Kurdi juga menyeringai. Bu Enjuh tampak agak senang. Kelihatan dari nada suaranya waktu ia berkata enggan: "Biarlah aku tinggal, Nak Ibing." Lurah bernama Ibing itu kelihatan ragu-ragu, akan tetapi pandangan mata yang tegas dari tuan rumah membuatnya tidak berdaya. Oleh karena itu ia angkat bahu seraya berkata. "Saya maklum betapa sayang ibu pada Nyi Ijah. Tadinya saya khawatir kalau-kalau ibu...." "Ah," potong Bu Enjuh. "Aku sayang pada Nyi Ijah seperti kau katakan, bukan" Jadi, karena Nyi Ijah pun tau aku sayang padanya, maka arwahnya tidak akan mengganggu ibu!" Lurah Ibing jadi tersipu. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera ke luar. Juga tanpa menoleh ke belakang, biarpun hanya satu kali. la berjalan seperti orang yang sedang diburu setan. Barangkali kalau punya sayap, ia ingin terbang saja. Hanya beberapa detik, ia telah berada di luar rumah, disambut oleh kepekatan malam, udara dingin sepi yang memekik, dan ditengah jalan... sebuah bayangan keputih-putihan keluar dari dalam kegelapan. Bayangan samar-samar itu bergerak cepat ke arah lurah Ibing. Ia terpaku diam ditempatnya, dengan wajah pucat-pasi, ketiak bersimbah peluh, tubuh gemetar dan mulut terkatup rapat, berbeda dengan sepasang mata yang terpelotot lebar-lebar. Lurah Ibing ingin menjerit, waktu bayangan itu tiba tiba melalui lampu minyak di pintu pagar terdekat. Ternyata bukan arwah Nyi Ijah yang penasaran, melainkan sosok tubuh seorang laki-laki yang berjalan dengan nafas tersengal-sengal dan baju basah kuyup oleh



keringat. "... Kau itu, Dung?" seru Lurah lbing. Suaranya masih gemetar. "Saya, pak lurah." "Wah, kenapa tak bilang-bilang dari tadi...." Ketegangan otot-otot Lurah Ibing mengendur. "Dari mana kau?" Orang itu tercengang. Ia mengatur nafas sebentar. Lalu: "Lho, kan menjemput dukun turunan set...." "Sssst," Lurah Ibing menekan jari telunjuk ke bibir, dengan wajah semakin pucat. "Pelan-pelan, jangan main tuduh. Ia sudah di dalam dan...dan...." Kalimatnya terputus sampai di situ. Matanya jelalatan memandang kearah kereta. Diikuti oleh orang yang baru datang. Mereka melihat kuda dan anjing si penunggu jenazah, berdiri resah di dekat kereta. Secara kebetulan pada saat yang bersamaan pandangan mata anjing serta kuda itu, tertuju pula kearah lurah dan temannya. "Nah. Apa kubilang," bisik Lurah, sengau. "Bahkan binatang-binatang itu pun telah jadi mata-matanya. Ayo, kita cepat pulang...." Lurah kemudian bergerak kearah utara. Temannya ke arah selatan. "He, kau mau ke mana?" seru lurah. Temannya berhenti. "Pulang." "Jalannya ke sini, Dung." "Rumah saya di sana, pak Lurah." "Jangan bertingkah. Kau tidur di rumahku malam ini. Hayo!" Mau tak mau, orang itu menurut. Ia berjalan disamping pak Lurah yang melangkah tergopoh gopoh. Dan waktu tiba-tiba anjing Kurdi melolong dengan suara halus tetapi tinggi menyayat tulang, tanpa berkata ba atau bu lagi, Lurah Ibing kabur mengambil



langkah seribu kearah rumahnya. Tak ayal pula, temannya ikut berlari dengan kaki bagai tak menginjak tanah samasekali.... Lolongan anjing itu sayup-sayup sampai ke telinga Kurdi yang sudah duduk bersama Bu Enjuh di samping mayat Nyi Ijah. Kepala Kurdi tegak. Matanya berkilat kilat, menatap ke arah pintu luar, sementara cupil telinganya bergerak-gerak. Lama ia berlaku demikian, sampai lolongan anjing itu mereda, kemudian lenyap sama sekali. Barulah ia menghela nafas, seraya bergumam: "Hem. Si pengusik itu mengikuti aku rupanya.... " Bu Enjuh memandang Kurdi, bertanya lewat sinar mata. Cepat-cepat Kurdi tersenyum. "Ah, bukan siapa-siapa," katanya, maklum arti pandangan mata Bu Enjuh. "Tak usah dicemaskan. Si pengusik tak bakal mengganggu sampai ke sini..." ia menghela nafas lagi. Berulang ulang. Lantas: "Jadi Nyi Ijah indekost dengan ibu...." "Benar, Nak Kurdi. Rumahku ini tadinya gubuk bobrok. Ketika Nyi Ijah datang ke desa, kebetulan akulah orang pertama yang bertemu dengannya. Setelah ia tahu aku menjanda dan hidup sendirian, ia lantas memaksa untuk diberi tempat tinggal dirumahku. Mula-mula aku menolak karena maklumlah, tidak saja rumahku sudah bobrok dan jelek, akan tetapi juga aku tak sanggup menerima tamu. Maklum, untuk satu dua suap nasi, aku peroleh dari belas kasihan orang. Yaitu, orang-orang yang mau dipijit karena otot-otot pegal-pegal atau sakit-sakit pusing..." "Hem. Lantas?" Bu Enjuh tampak senang karena tamunya serba ingin tahu. "Nyi Ijah tetap memaksa ikut tinggal denganku. Setelah masuk ke rumah, ia tidak kecewa. Ia punya uang banyak, dan sekali dua pergi meninggalkan desa. Kalau kembali, ia membawa uang lebih banyak lagi, dan persediaan makanan yang tidak sedikit.... Malah kemudian ia membantu memperbaiki rumahku yang jelek. Hasilnya, seperti kau lihat sekarang..."



Bu Enjuh menoleh berkeliling ruangan dengan mata bangga. Untuk memuaskan hatinya, Kurdi ikut melihat berkeliling sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Nyi Ijah benar-benar anak semang yang baik," gumamnya mengomentari, seraya menatap sosok mayat berselimut kain selendang batik yang terbujur di depan mereka. "Anak semang" Nyi Ijah sudah kuanggap anak sendiri...." Mata perempuan itu tiba-tiba basah. "Sayang, ia pergi terlalu cepat..." "Kudengar ia mati ketika melahirkan. Pendarahan?" Bu Enjuh lama baru menjawab. "He-eh." "Bayinya?" "Sudah dikubur di belakang rumah, sesaat setelah dilahirkan..!" "Koq...?" Setelah mengigit bibir sesaat, Bu Enjuh menjelaskan: "Ijah tak mau dipanggilkan bidan. Ia minta agar aku yang mengurus pada saat-saat yang mencemaskan



itu. Pernah sekali dua aku membantu bidan menolong orang



yang melahirkan, jadi apa boleh buat. Kupikir toh aku bisa. O, Nak Ijah, Nak Ijah manis. Kau toh tak akan menuduh ibu yang mencelakakanmu, bukan?" Perempuan tua itu tiba-tiba sesenggukan. Kurdi menghela nafas. "Sudahlah, Ibu sayang pada Nyi Ijah. Tentu ia tau, bukan ibu yang menyebabkan kematiannya...." Bu Enjuh manggut-manggut. "Memang...." sedunya. "Memang bukan aku. Melainkan...." Tangisnya tiba-tiba terhenti. Ia menelan ludah, berkali kali. Lantas: "Ah, begitulah. Ia kemudian mati. Dan anaknya... Aku cuma melaksanakan amanat. Untung Lurah Ibing mau mengerti...." "Amanat?" "Sebelum meninggal, Ijah sempat berpesan. Kalau anaknya terus hidup, harus cepat-cepat kusingkirkan ke tempat jauh. Kalau anaknya mati agar cepat-cepat



ku-kuburkan, sebelum dilihat orang... " "Mengapa harus begitu?" "Anak itu... lahir cacat. Kepalanya besar. Mata indah dan sempurna seperti ibunya. Akan tetapi... mulut dan hidungnya bersatu. Dan... tangan-tangannya panjang sampai ke tumit kaki, serta.... serta berbulu pula. Ibu hampir pingsan waktu melihatnya..." dan wajah perempuan itu tiba-tiba pucat pasi. Ia memandang Kurdi dengan mata menyesal. Lalu, seraya menakupkan wajah di kedua telapak tangan, ia menangis dan berkata tersendat-sendat: "Oh. Mengapa! Mengapa kuceritakan musibah mengerikan itu pada orang lain?" Kurdi membuang muka. Semenjak tadi ia menatap mata perempuan tua itu sedemikian rupa sehingga dengan kekuatan batinnya, ia berhasil memaksa si perempuan untuk mengeluarkan perasaan hatinya. Tentu saja ia tidak sampai hati untuk menerangkan hal itu. Namun melihat rasa penyesalan di wajah Bu Enjuh mau tidak mau Kurdi ikut pula menyesali diri sendiri. Tidak patut ia mengusik duka cita yang dikandung Bu Enjuh dengan menimbulkan perasaan berdosa. Akhirnya Kurdi berusaha menghibur: "Yang sudah, ya sudahlah, bu. Tak usah ditangisi..." "Tetapi," ratap Bu Enjuh. "Aku telah berjanji pada Nak Ijah agar tidak...." Ia kemudian merahup mayat di hadapan mereka seraya menangis tersedu-sedu. "Anakku. Anakku. Maafkan ibu, nak. Ibu telah lancang mulut. Ibu telah melanggar janji, nak. Ooo, andaikata kau masih hidup, ibu bersedia kau tempeleng. Katakan, Ijah. Katakan. Kau bersedia memaafkan perempuan tua renta itu. Ijah, katakanlah. Ijah...!" Tanpa sadar tangannya telah menggerakkan kain selendang penutup mayat sehingga tersingkap bagian atasnya. Seketika, mata Kurdi mengecil. Di hadapannya, terbujur sesosok tubuh perempuan berumur sekitar dua-puluh limaan. Berhidung bangir, dagu tergantung lembut di bawah sepasang gondewa bibir mungil yang penuh mencuat.



Meskipun sudut-sudut bibir itu bergaris tajam dengan kerut-kerut halus pertanda betapa ia menderita di saat elmaut datang untuk mencabut nyawanya, namun jelas terbayang betapa indah bentuk mulut itu bila dia masih segar dan hidup. Kurdi sampai menahan nafas. Dalam. Teramat dalam.... Berulang-ulang. Tarikan nafasnya terdengar semakin kentara manakala sepasang matanya yang mengecil dan bersinar pucat itu, terpandang pada sepasang bola mata yang bundar dengan manik manik yang sudah mati. Bukan putih mata yang ia lihat. Sungguh. Sepasang bola mata dalam lingkaran hitam yang besar. Mata itu terpentang lebar. Dengan ta'jub, Kurdi menyingkapkan seluruh kain penutup mayat. Semakin jelas terlihat keadaan perempuan muda bernama Nyi Ijah itu. Tubuhnya montok berisi. Kulitnya berwarna putih kemerah merahan. Benar. Putih, tidak pucat sama sekali, malah kemerah-merahan. Yang jadi tanda ia telah mati, hanyalah denyut jantung yang sudah berhenti serta manik-manik mata yang sudah tidak bercahaya sama sekali. "... kematian yang aneh," Kurdi bergumam. Ia mencoba memusatkan konsentrasi. Tetapi tangis Bu Enjuh yang tersendat-sendat mengganggu konsentrasinya. Kurdi memegang bahu si perempuan. Memintanya berdiri dan kemudian menuntunnya berjalan keluar dari rumah. Di halaman, kegelapan malam yang sehitam pekat tak ubahnya tabir tebal dari sebuah kehidupan yang tidak mengenal ampun. Lampu-lampu minyak berkelap-kelip dengan lemah di sana-sini. Sesaat Kurdi tertegun. Biasanya, bila penduduk takut akan mereka perbesar sumbunya, sehingga kampung jadi terang benderang dan hantu takut menampakkan diri. Benar, waktu ia datang, jalan utama di kampung itu diterangi oleh lampu-lampu minyak, akan tetapi sekarang jalan utama itu bagaikan hilang. Bangunan bangunan rumah penduduk di kiri-kanan jalan tak ubahnya barisan raksasa-raksasa yang berjongkok diam-diam dalam kegelapan. Kurdi tidak merasakan



angin bertiup kala itu. Akan tetapi, lampu-lampu minyak menari-nari liar, makin lama makin lemah, dan mulai berpadaman satu demi satu. Kurdi mencoba menembus kegelapan malam di sekelilingnya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu apapun. Tidak dengan matanya. Ia melihat lewat perasaannya. Seringai pendek terukir di bibir Kurdi. "Si pengusik itu lagi," cetusnya serak. "Kau tak akan berhasil. Tak akan....!" Lalu pada si perempuan yang memandang heran pada sikap Kurdi, ia bertanya dengan suara ramah: "Ibu tahu letaknya rumah pak lurah?" Bu Enjuh manggut-manggut. "Ibu berani jalan sendirian?" Anggukan lagi. Tegas. "Syukurlah. Nah, sekarang pergilah ke sana, dan tidurlah di rumah pak lurah malam ini. Ia akan senang, karena tadi ia pun berkata demikian. Tenangkan pikiran ibu. Tidurlah. Bila ibu terbangun esok pagi, mudah-mudahan segalanya berjalan selamat. Aku bisa mengetahui di mana kubur suami Nyi Ijah, dan ibu boleh berlega hati arwah Nyi Ijah tak akan gentanyangan sebagai... sebagai kuntilanak!" Dahi perempuan tua itu mengerut. "Anakku tak akan jadi kuntilanak," desisnya. "Mereka yang mengatakan begitu. Mereka terlalu..." Kurdi mengangguk setuju. "Oleh karena ituah, mereka harus kita yakinkan, bukan?" Bu Enjuh ragu-ragu, kemudian mengangguk. Ia memegang tangan Kurdi sejenak. Memegangnya erat erat. Hati Kurdi terenyuh. Tak biasanya ia diperlakukan oleh "langganan-langganannya" seakrab itu. Hati Kurdi jadi tergoncang. Lama setelah Bu Enjuh menghilang ditelan kegelapan malam, Kurdi baru mengerti. Perempuan itu tidak bermaksud ramah terhadapnya. Perempuan itu berlaku demikian, karena ia benar benar berharap Kurdi bisa mengabulkan apa yang ia inginkan. Agar arwah anak angkatnya tidak gentayangan jadi kuntilanak. Tak lebih dari itu! "Hem," desah Kurdi, lalu memutar tubuh masuk kedalam rumah kembali.



Ia kemudian menutupkan pintu. Telinganya masih menangkap sempat dengus kuda dan lolongan anjing yang lirih di halaman. Tetapi ia tidak sempat melihat, bagaimana lampu-lampu minyak yang masih menyala, padam seketika. Seolah-olah ada orang yang meniupnya dengan keras. Kurdi langsung ke tengah rumah, duduk bersimpuh menghadapi mayat Nyi Ijah yang terbujur di atas permadani. Goncangan-goncangan dalam dirinya menyentak-nyentak kembali, waktu memandangi sekujur tubuh Nyi Ijah, memandangi bibir mungil yang mencuat itu, memandangi gelembung dada yang diam tak bergerak-gerak itu. Sukar bagi Kurdi untuk menahan diri agar tidak segera melaksanakan hajat tiap kali ia berhadapan dengan mayat perempuan. Bila saja sepasang mata Nyi Ijah itu terpentang lebar, tentulah Kurdi tidak bisa menahan diri. Memandang mata yang seolah-olah hidup itu, Kurdi merasakan pengaruh ganjil dalam dirinya. Sesuatu yang menimbulkan perasaan tidak enak, serta kecemasan yang tersembunyi. Tangan Kurdi gemetar waktu mengeluarkan dupa dan menyan dari saku bawah yang lebar dari kemejanya. Ia letakkan benda-benda itu di antara lututnya dengan tubuh mayat, di tempat mana kemudian ia juga meletakkan sebuah pisau cukur, sehelai daun kelapa muda dan tali dari pelepah pisang yang sudah kering. Setelah ia rasa sudah tersedia segala peralatan, Kurdi memasukkan bubuk menyan ke dalam dupa, lalu menyalakannya dengan sebatang korek api. Terdengar suara membersit halus, percikan-percikan kuning berpencaran dari dupa, nyala korek api padam, nyala di dupa membesar. Benggol dupa sebesar anak jari kemudian ia sorongkan ke tengah-tengah nyala api dupa. Percikan-percikan lagi, nyala api yang padam, disusul oleh kebulan asap yang kian lama kian menebal. Asap menyan itu ia hirup dalam-dalam, berulang ulang. Lantas mulut Kurdi mulai kumat kamit membaca mantera. Suaranya terdengar sangat perlahan mulanya, kemudian makin keras dan di saat berikutnya tubuh Kurdi tergoncang-goncang ke kiri dan ke kanan. Dari mulutnya, mantera-mantera itu terdengar seperti rentetan derak-derak roda kereta yang terdengar sayup-sayup,



sementara butir-butir keringat sebesar jagung mulai berlelehan dari pori-pori wajahnya. Pada saat asap menyan memenuhi ruangan tengah rumah yang tidak begitu lebar itu, Kurdi tiba-tiba membentak: "Jangan pergi!" Dengan sepasang mata tertutup rapat dan mulut kembali kumat kamit membaca mantera, Kurdi bergerak bersamaan dengan terdengarnya suara bentakan yang kedua: "Kembali!" Kedua lengannya terpentang ke depan, dengan jari jemari terkembang. Suatu saat jari jemari itu seperti menyentuh sesuatu di atas sosok tubuh mayat Nyi Ijah, yang ia cengkeram kuat-kuat lalu ia tekan sebisa-bisanya ke bawah. Sesuatu yang tidak terlihat itu rupanya melakukan perlawanan sehingga beberapa kali tubuh Kurdi doyong mau jatuh dan pegangannya terlepas. Baru setelah ia berlutut, sesuatu yang ia pegang rupanya tidak bisa lepas lagi. Otot-otot dan urat-urat lengan Kurdi bersembulan, demikian pula urat-urat lehernya yang banjir oleh peluh. Bertumpu pada lutut, ia tekankan telapak tangannya kembali seperti tadi. Terarah ke bawah, makin lama makin dekat ke bagian dada si perempuan. Seinci demi seinci, disertai dengan nafas lelah dari hidung Kurdi, lalu: "Hap!" Kedua telapak tangannya mendarat malah sedikit terbenam di sepasang gelembung payudara Nyi Ijah. Masih tanpa membuka mata, Kurdi kemudian meludahi. "Cuh!" Langsung ke dada Nyi Ijah. Tubuh mayat Itu tersentak, kemudian diam. Kurdi menarik kedua telapak tangannya, membuka matanya, memandangi mayat di hadapannya dengan muka tegang. Wajah Kurdi yang pucat kini berubah merah padam, berkilat-kilat oleh keringat. Ia tatap sepasang mata yang terpentang lebar di wajah mayat itu, lalu seraya menyeringai lebar Kurdi mendesah:



"Diamlah di jasadmu, roh perempuan manis. Kau tak boleh lari lagi seperti tadi. Kau tak akan bisa. Tak akan bisa...." Ia hirup lagi asap menyan. Lalu mengatur nafas. Baru berkata: "Rohmu masih berada di tubuhmu, perempuan manis. Jadi aku tidak bersusah payah untuk memanggilkan kembali. Mengapa" Mengapa rohmu tidak mau pergi, tatkala kau sudah mati?" Mula-mula tidak ada reaksi. Baru setelah Kurdi membentak: "Jawablah!" Bibir Nyi Ijah mulai bergerak-gerak. Menggerimit. Seperti desau angin, terdengar suara lemah seorang perempuan: "... aku... aku tak mau... aku... aku tak sudi." "Itu tak patut!" "Aku ingin... berada di jasadku... di jasad anakku..." "Anakmu telah dikubur." "Jasadnya. Tidak rohnya. Kami... kami tidak mau berpisah. Kami... kami masih ingin hidup... tetapi kematian... kegelapan yang mengerikan... kenistaan yang menyakitkan,... O, kau pengabdi setan... ketahuilah, aku... aku masih ingin memperkenalkan hidup ini pada anakku... aku... aku ingin ia merasakan arti... hidup ini. Tetapi ia... ia mati. Dan aku... aku ia bawa mati..." "Biarkan roh anakmu hidup tenteram di alam baka. Biarkan ia tetap suci seperti ketika ia masih kau kandung." "Tetapi... aku ingin membopongnya. Aku ingin... ingin memperlihatkan pada semua orang... inilah anakku, inilah anakku. Aku ingin... anakku tahu... keadaan dunia ini... siapa-siapa yang kukenal dan harus ia kenal..." "Biarpun untuk itu kau harus terbang dari satu pohon ke pohon lain di kala malam, dengan anakmu dalam gendongan?" "... ya!"



"Orang-orang tak akan sudi melihat anakmu. Mereka melainkan menjauhi anakmu." "... oh... Tak mungkin. Mereka kejam." "Bukan. Bukan karena mereka kejam. Tetapi karena mereka takut... takut pada rohmu yang bergelantungan di pohon-pohon rindang, takut pada tangis anakmu yang menyayat-nyayat tanpa terlihat.... Tahukah kau sebutan apa yang mereka berikan padamu, kalau kau teruskan niatmu itu?" Kurdi menyeringai, lantas melanjutkan dengan suara kejam: "Kuntilanak! Kuntilanak! Kuntilanak!" Mulut mayat Nyi Ijah terbuka lebar. Terdengar jerit memilukan memecah kesepian malam itu: "Tidaaaaaaakkkkk!" Seluruh kampung terenggut diam. Malam terpaku diam. Kuda dan anjing di halaman rumah Bu Enjuh, tegak dengan diam. Pohon-pohon diam. Angin diam. Gunung-gunung diam. Bahkan awan pekat yang bergulung-gulung di langit, ikut terdiam. Tidak seorang pun manusia yang ada di kampung itu, yang tidak terdiam kala jerit memilukan itu terdengar, biarpun ada di antara mereka yang saat itu tengah bermain kartu dengan suara ribut untuk mengendurkan rasa takut yang telah timbul semenjak mereka tahu Nyi Ijah telah mati di saat perempuan itu melahirkan. Mereka sudah menduga Nyi Ijah akan gentayangan sebagai kuntilanak. Tetapi mereka tidak pernah menduga, demikian memilukan dan mengerikan suara jeritannya. Jeritan yang kemudian disusul oleh isak tangis-isak tangis yang bagai merangkak dari satu rumah kelain rumah, disertai suara memohon yang lirih: "Kasihanilah aku. Kasihanilah anakku...!" *** Suara Kurdi merendah. "Kalau begitu, tinggalkan dunia ini. Tinggalkan dengan perasaan aman dan tenteram..."



"Tidak!" Suara yang lepas dari mulut mayat Nyi Ijah seperti suara orang sakit. "Aku tidak bisa. Aku...." "Hem. Yang kau maksud sudah dikatakan oleh mereka padaku. Kau Ingin dimakamkan disamping makam suamimu, bukan?" Mulut mungil itu renyai sedikit. Malah sepasang kelopak matanya, sempat mengerjap. Lalu: "Ya.... Tetapi mereka... mereka tidak tahu. Aku sendiri tidak pernah tahu di mana letaknya makam itu." "kau akan menunjukkannya padaku, perempuan manis," ujar Kurdi seraya tersenyum. Manis. "Maksudku, rohmu...." Mulut Nyi Ijah meringis. "Kalau kau melakukannya, aku... aku akan sangat menderita, dan..." "Kau ingin disemayamkan di samping suamimu?" "... ya!" "Kalau begitu, kau harus tabah!" "Bukan itu saja. Aku...aku...." "Jangan membantah!" Suara Kurdi berubah tajam. "Kalau tidak, akan kubiarkan mereka menyebut kau kuntilanak, dan menyebut anakmu anak kuntilanak!" "Aaaa, tidaaaaak!" jerit Nyi Ijah, nyaring. "Hussyyy, jangan menjerit lagi. Geger orang sekampung kau buat!" Wajah Nyi Ijah berubah memelas. Kurdi menghembuskan asap menyan ke wajah perempuan muda itu. Nyi Ijah terengah-engah. Kemudian terbatuk-batuk. Keras. Sampai tubuhnya terangkat dari permadani, seakan menghindar. "... bau apa ini?" Jerit Nyi Ijah tertahan. "Aku tak tahan. Aku... aku tak kuat. Tolong bukakan pintu. Bukakan jendela. Biar bau busuk ini pergi,... Tolonglah!"



"Dan rohmu ikut pergi?" Kurdi menyeringai. "Tidak. Rohmu akan tetap ada dalam jasadmu, karena rohmu yang akan menunjukkan di mana terletak makam suamimu.... Bukan pekerjaan mudah. Tetapi selagi kau hidup, kau beramanat pada mereka, agar mayatmu dimakamkan di samping makam suamimu. Amanat itu adalah tutur katamu. Amanat itu adalah sumpahmu. Kau tidak mungkin mundur lagi..." "Sudah kubilang, aku tidak tahu..." "Dengan bantuanku, kau pasti tahu!" tukas Kurdi, tegas. "Sungguh?" "Aku berjanji. Tetapi diperlukan kerjasama..." "Aku mencintai suamiku... Hanya ia... ia seorang yang... yang memperhatikan dan memperlakukan aku... sebagaimana layaknya ia memperhatikan dan memperlakukan orang yang... yang ia kasihi. Hanya ia seorang. Banyak laki-laki... ah. Banyak orang,.. aduh! Aku tidak berani mengatakannya. Aku hanya bisa mengatakan padamu, aku mencintainya dengan segenap jiwa ragaku. Malah ketika keluarganya menentang keras hubungan kami... ia... ia berontak. Ia bersedia mati... kemudian ia berjanji untuk sehidup semati denganku, kalau tidak... Ia, ia pasti mencintaiku. Ia pasti menungguku dipersemayamannya. Ia...." "Kau ragu terhadap cintanya, bukan?" "Aku... aku tidak perduli." "Kau ragu. Berkatalah jujur. Kalau tidak, aku tidak mungkin membantumu...." "Kau harus membantuku!" "Karena itu, perempuan manis, ceritakanlah sejujur jujurnya!" "Mengapa kau ingin tahu?" "Supaya aku mengetahui bagaimana perkembangan jiwa dari rohmu di saat-saat terakhir hidupmu. Keadaan jiwamu itu penting sekali, agar aku bisa menyesuaikan diri dengan kemampuanku...."



"Kau memperalatku. Memperalat roh orang yang sudah mati!" sungut Nyi Ijah. Tubuhnya gemetar. "Apa boleh buat. Coba kau mati dalam keadaan tenang, tidak penasaran seperti ini. Sudahlah. Tak perlu lagi hal itu diungkit-ungkit. Ceritakan saja, apa yang dialami jiwa dari rohmu semasa hidupmu, menjelang kau mati..." Kurdi duduk bersila, seperti layaknya seorang anak yang siap mendengar dongeng dari sang nenek. Tetapi sebelum Nyi Ijah membuka mulut kembali .Kurdi cepat-cepat memperingatkan: "Camkan. Hanya yang ada hubungan dengan suamimu. Karena kearah dia-lah pekerjaanku akan kulakukan...!" Nyi Ijah manggut-manggut. Benar-benar mengangguk!



*** Gara-gara persoalan harta, ayah Nyi Ijah yang keturunan tuan tanah, menceraikan ibu Nyi Ijah yang lahir dari keluarga penggarap sawah orang. Ayahnya kemudian kawin dengan salah seorang anak sanak famili yang tinggal di kota. Nyi Ijah serta ibunya ditinggalkan begitu saja di kampung, dan hanya boleh bersyukur telah menerima sebuah rumah gubuk dan dua kotak sawah sebagai tanda putus hubungan. Tentu saja memiliki sawah sendiri meskipun cuma dua kotak merupakan suatu kebanggaan dari keluarga ibu Nyi Ijah yang selama hidup mereka hanya menggantungkan hidup dari menggarap sawah orang lain. Tetapi apalah artinya sawah dua kotak dan sebuah rumah gubuk yang dimakan dan ditempati bersama-sama oleh kakek nenek dan sanak keluarga ibu Nyi Ijah yang jumlahnya belasan orang. Dengan cepat harta kekayaan yang tidak seberap a itu, ludas tanpa bersisa sedikitpun. Ibunya kembali bekerja sebagai penggarap di sawah orang, dan Nyi Ijah yang masih bocah terpaksa ikut belajar bergumul dengan lumpur yang mengotori kulitnya yang putih bersih dan "gagang ketam padi meleceti telapak tangannya yang halus. Dengan suara



memelas, ibunya kemudian berkata: "Nak, kau di rumah saja. Memasak nasi untuk ibu, atau menangkap kupu-kupu..." Meningkat remaja, ibunya yang tampak jauh semakin tua mengeluh: "Melihat wajah dan pembawaanmu, anakku, mengingatkan ibu pada ayahmu. Orang memandang wajahmu seraya tersenyum kagum. Orang memperhatikan tingkah lakumu seraya geleng-geleng kepala. Kau tidak pantas jadi anak petani. Pantasnya kau jadi anak tuan tanah...!" Ketika ibunya mau meninggal, tiada lagi harta kekayaan yang bersisa untuk diberikan pada Nyi Ijah yang sedang ranum-ranumnya. Dari pembaringan di mana perempuan tua yang malang itu tergeletak lemah dengan nafas yang tinggal satu-satu, ibu Nyi Ijah mengulurkan tangan untuk mengusap wajah anaknya. "Anakku," ia berpesan. "Di kampung ini, kau akan terlunta-lunta. Ibu tak punya apa-apa yang bisa ditinggalkan untuk kau makan dan kau pakai. Paman paman dan bibi-bibi serta uwa-uwamu yang masih hidup, berkelana dari satu kampung ke lain kampung untuk mengharap belas kasihan pemilik-pemilik sawah yang membutuhkan para pekerja. Orang-orang seperti kita tidak ada yang sanggup membelamu. Paling-paling orang-orang kaya, yang ibu tahu dan arif, suka mengganggumu. Ibu malah sering ditawari bantuan. Ibu tahu maksud mereka. Tetapi ibu lebih tahu pengalaman apa yang telah ibu jalani. Mereka akan tetap menganggapmu anak melarat, yang hanya patut dibelas kasihani, tetapi tidak patut untuk duduk sejajar dengan mereka. Suatu ketika, kau akan mereka lemparkan semenamena sebagaimana mereka pernah melempar ibu...." Di antara isak tangisnya, Nyi Ijah mendengar pesan terakhir sang ibu: "Anakku, hanya kepada satu oranglah kau bisa pergi. Ayahmu." Lalu ibunya pun mati, tidak dengan tenang. ***



Dengan sedikit bekal yang dikumpulkan bersusah payah oleh sanak famili ibunya, Nyi Ijah pun berangkat ke kota. Ia naik bus yang lewat menjelang hari siang tak jauh dari kampung, dan tiba bersamaan dengan datangnya malam ditengah-tengah kota. Untuk beberapa saat lamanya Nyi Ijah hanya terbengong-bengong memandangi terminal bus, kagum dan suasana di sekelilingnya. Pertokoan yang ramai, gedung-gedung yang megah, pasar yang tidak pernah diam, manusia yang hilir mudik dengan pakaian aneka ragam yang bagus-bagus semuanya di mata Nyi Ijah. Terpandang sandal jepit di kaki dan rok dari bahan tetrex murahan di tubuhnya, Nyi Ijah tersipu sendiri. Wajahnya merah padam tiap kali beradu pandang dengan orang-orang di terminal. Barulah ketika seseorang menegur: "Cari siapa, Neng?" Nyi Ijah tersentak. Ia pandangi si penanya. Ternyata petugas de-el-el-de-terminal yang memandangi penuh perhatian pada perawan ranum yang tampak sekali baru pertama kali menginjakkan kaki di kota besar itu. Dengan wajah menunduk malu dan tangan mempermainkan kuku, Nyi Ijah menjawab gemetar: "Cari ayah, Pak...." "Oo, sama-sama datang dari kampung?" "Siapa?" Nyi Ijah gugup. "Ayah eneng." "Nama saya Ijah, bukan Eneng...." Petugas berkemeja putih bercelana biru itu terkekeh kekeh. Habis kekehnya, ia berkata: "Ayahmu. Aku bertanya, apakah ayahmu tadi datang bersama-sama dengan Eneng... eh, Neng Ijah." Semakin Ijah tersipu. "... tidak," katanya. Lambat. Hampir-hampir tidak terdengar. Tetapi geleng kepalanya cukup jelas terlihat oleh si petugas. "Ayah saya tinggal di kota ini...."



"Tahu alamatnya?" Ijah menyebutkan alamat ayahnya dengan mata mengharap, semoga orang yang berhadapan dengannya tahu di mana letaknya alamat ayahnya tinggal, semoga orang itu kenal baik dengan ayahnya pula. Tentulah sebagai orang kaya, ayahnya cukup terkenal. Tetapi waktu ia sebut alamat dan kemudian juga nama ayahnya, petugas de-el-el-de itu hanya manggut-manggut, hampir-hampir tanpa perhatian. Setelah menatap sejurus pada tubuh perawan yang baru jadi di hadapannya, petugas terminal itu memegang tangan Nyi Ijah. Si gadis tersentak kaget. "Jangan takut," rungut si laki-laki sambil membalas pandangan beberapa orang lainnya di terminal itu, yang memperhatikan mereka semenjak tadi. "Akan kuantarkan kau ke luar terminal, di sana banyak becak yang bisa mengantarkan kau ke rumah ayahmu...!" Dan kepada abang becak yang kendaraannya kemudian dinaiki Nyi Ijah, petugas de-eI-el-de itu berpesan: "Sampai ketemu orang yang dicari, mang!" Sepanjang jalan, abang becak itu banyak bertanya tanya. Dari mana asal Nyi Ijah, siapa namanya, berapa kali sudah ke kota, berapa umurnya dan sebagainya dan sebagainya, yang hanya dijawab Nyi Ijah dengan kata-kata pendek-pendek. Ia lebih tertarik pada jalan-jalan lebar yang diterangi lampu-lampu mercury, kendaraan-kendaraan hilir mudik, rumah rumah megah, toko-toko yang menjual banyak ragam pakaian dan makanan. Nyi Ijah semakin malu pada apa yang ia kenakan di tubuh, dan semakin merungkut pada perut yang melilit. Ia sudah lapar sekali. Tadi dijalan, bus berhenti di rumah makan. Banyak penumpang yang turun untuk makan. Tetapi Nyi Ijah lebih suka duduk diam-diam, karena dari rumah ia sudah makan banyak-banyak agar tidak kelaparan di jalan. Toh, nanti di kota, ayahnya pasti akan memberi makanan yang banyak dan lezat-lezat.



".... nomor berapa rumahnya, Neng?" Pertanyaan abang becak itu menyadarkan Ijah dari lamunannya. "Tiga dua...." sahutnya. "Inikah jalannya?" "Benar, Neng. Nah yang ini tiga belas, nomor ganjil. Sebelah kanan, nah, nomor dua puluh dua. Barangkali itu tuh, yang ada mobil diparkir di depannya..." Bukan bayangan ayahnya punya mobil bagus yang membuat jantung Ijah berdenyut. Melainkan bayangan ayahnya sendiri. Ia masih bocah ingusan ketika ditinggalkan oleh ayahnya. Ijah sudah lupa-lupa ingat, bagaimana rupa sang ayah. Apakah ayahnya juga demikian" Dan bagaimana sikap ayahnya nanti, bila ia tahu Ijah, anak yang merindukan dan sangat mengharapkan pertolongannya, tiba-tiba berdiri di hadapannya. Dada Ijah berdebar kencang waktu becak berhenti di depan rumah bernomor tiga puluh dua. Bersebelahan dengan rumah yang ada mobil bagus di pekarangannya tadi. Di sini tidak ada mobil. Tetapi pekarangannya luas. Ada taman bunga. Dan patung seorang perempuan dari pualam putih gemerlapan di jilat lampu neon bundar tersembul di antara rerumputan. Dengan menjinjing tas kecil yang ia bawa dari kampung berisi dua helai pakaian ganti serta foto lama ketika ia masih bayi dipangku ibu disebelah ayahnya, Nyi Ijah melangkahi jalan masuk pekarangan yang dilapisi batu koral. Rumah gedung itu sepi. Tidak ada orang di teras depan. Lewat jendela kaca bertirai kain gorden putih yang tipis, ia melihat ruangan depan yang megah serta cemerlang, juga tidak ada orang. Sesaat, Ijah menoleh ke belakang. Becak tadi sudah berangkat. Hanya samar-samar terlihat melaju ditelan kegelapan malam, menghilang di sebuah pengkolan. Tiada teman untuk berbicara. Tiada tempat lagi untuk bertanya. Tinggal pada diri sendiri: bolehkah aku masuk" Ada ayah dirumah" Masihkah ia mengakui aku datang bersandal jepit, ber-rok yang sudah lusuh sepanjang perjalanan dari kampung, serta muka kotor oleh debu" Apa pula kata isteri ayahnya nanti" Istri



ayahnya. Ia itu ibu tiri Nyi Ijah. Ibu tiri. Wahai, seperti apa gerangan rasanya beribu tiri" Dari radio Nyi Ijah sering mendengar lagu lagu sedih tentang ibu tiri yang.... Salak seekor anjing membuat Nyi Ijah tersentak. Ia terpaku ditempatnya berdiri, tepat di depan pintu, di teras. Tangannya baru saja akan mengetuk pintu tanpa melihat, atau kalaupun melihat tidak tahu bagaimana menggunakan bel di dekat pintu itu, ketika salak anjing yang lantang itu terdengar, jantungnya sampai berhenti berdenyut, dan jalan darahnya bagai terputus. Dengan wajah pucat ia memandang berkeliling. Liar matanya mencari. Tetapi ia tidak melihat anjing datang mengejar, atau menerkam. Ia hanya mendengar gonggongannya yang tidak putus-putus, semakin lama semakin lebar. Ia tak tahu itu garasi samping. Nyi Ijah menghela nafas. Kejutnya mereda, tetapi takutnya tidak. Ia bergerak mundur. Siapa tau sewaktu-waktu pintu lebar itu terbuka dan.... Dan pintu lebar itu memang terbuka tiba-tiba, disertai bentakan: "Bruno! Masuk!" Gonggongan keras itu berhenti. Jantung Nyi Ijah berdenyut kembali. Darahnya kembali pula mengalir. Didahului oleh seorang perempuan gadis seumur Nyi Ijah sendiri tampak anjing itu menjulurkan kepalanya lewat sela-sela daun pintu. Sebentuk kepala yang hampir sebesar kepala Ijah sendiri, berbulu hitam pekat, bermata merah menyala-nyala, bermoncong sempit dengan gigi taring yang mencuat ke luar dari mulut. Seekor boxer besar, yang membuat Nyi Ijah bergerak mundur menjauh. "Hayo, Bruno masuk!" membentak lagi gadis yang keluar dari pintu lebar itu, yang segera ia tutupkan begitu anjing boxer tadi menarik kepalanya mundur dari sela-sela daun pintu. Gadis itu kemudian memandangi Nyi Ijah dengan mata penuh selidik, dari ujung rambut yang awut-awutan, sampai ke ujung kakinya yang telanjang, berdebu. Sebaliknya, Nyi Ijah balas memandangi gadis tersebut. Bedanya, alangkah jauh. Sandal si gadis bagus. Bajunya berwarna-warni, indah sekali di mata Ijah. Tubuhnya tampak manis. Telinganya pakai anting-anting. Bibirnya merah bersepu, pipinya semua putih



berbedak. "... cari siapa?" tanya si gadis, waktu mereka beradu pandang. Nyi Ijah mengatur nafas. Berusaha tenang: "Ayah," sahutnya. "Ya?" "Cari ayah." Kembali gadis itu memandangi sekujur tubuh Nyi Ijah, dari ujung rambut ke ujung kaki. Kembali pula Nyi Ijah membalas, memperhatikan si gadis. Tentulah ia ini anak ayahnya dari isterinya yang sekarang. Jadi, saudara tiri Nyi Ijah. Pantaslah ia penuh selidik. Pantas. Ia tentu tidak mau mengaku bahwa... "Ayahmu Siapa?" Nyi Ijah dongkol. Ia sebutkan nama ayahnya keras keras. Dari ruang tengah, tampak bayangan seorang laki-laki berjalan keluar. Nyi Ijah dan si gadis serempak menoleh waktu pintu yang tadi mau diketuk Ijah, terbuka. "Mirah!" seru laki-laki itu setelah ke luar. "Apakah taksi itu belum...." kalimatnya terputus begitu melihat ada orang lain di samping gadis yang ia panggil dengan nama Mirah. Lalu: "Siapa anak ini?" Setengah membungkuk, gadis di dekat Nyi Ijah menyahut: "Entah, Tuan. Katanya ia mencari ayahnya." Dahi laki-laki berpakaian perlente itu mengerut. "Ayahnya?" "Saya, Tuan," Ijah kini yang menyahut, mengikuti panggilan si gadis terhadap laki-laki itu, malah juga mengikuti gerak membungkuk yang sedikit kaku. "Keluarga saya memberi tahu alamat ini pada saya...." Laki-laki perlente itu memandangi Nyi Ijah sejurus. Lantas: "Benar nama jalannya?" "Benar, Tuan."



"Nomor rumahnya?" "Saya, Tuan." "Apa?" "Benar, Tuan. Nomornya sama." "Eh. Kok... siapa namanya?" Ijah menyebutkan nama ayahnya. Laki-laki itu berpikir sebentar, kemudian tersenyum. Jelas tidak ramah sama sekali. Dipaksakan. Tetapi Nyi Ijah tidak merasakan senyuman yang terpaksa itu. Ia sudah putus harapan karena tampaknya ia terbentur ke alamat yang salah. Lebih-lebih lagi waktu si laki-laki tiba-tiba berujar: "O, baru aku ingat. Memang dulu ia pemilik rumah ini, sebelum kami beli..." "Oh" "Kau siapa?" "Anaknya, Tuan." "Oh, ya, ya. Tadi sudah kau bilang...." lantas pada Mirah ia bersungut: "Eh, kenapa masih berdiri di situ" Si boy lagi berak di kamar mandi. Ayo tunggui sana!" Mirah membuka pintu lebar tadi, disambut salak anjing, kemudian pintu tertutup kembali. Si laki-laki perlente ikut pula memutar tubuh mau masuk ke dalam rumah. "Tuan...." Laki-laki itu memandangi Nyi ljah dengan malas. "Apa lagi?" "Ke mana pindahnya ayah saya?" "Wah. Mana aku tahu. Kalaupun tahu, aku sudah lupa. Ia sudah pindah sepuluh tahun yang lewat... !" lantas seraya bersungut-sungut sendirian: "Brengsek benar taksi itu. Sudah sejam menunggu...." dan pintu dihempas tertutup. Nyi Ijah berdiri termangu-mangu. Wajahnya semakin pucat. Bukan karena salak anjing boxer mengerikan itu masih terdengar dari balik pintu lebar disertai suara kuku menggaruk-garuk daun pintu, akan tetapi karena



kepastian yang menghancurkan sisa-sisa harapannya. Bahwa ayahnya telah lama pindah. Dan tidak seorang pun tahu alamatnya yang baru. Seharusnya aku tanyakan pada keluarga ayahku di kampung, pikir Ijah seraya berjalan meninggalkan rumah itu. Tetapi, ah. Mereka terlalu pongah. Baru saja aku tampak di kejauhan, mereka sudah menutup pintu. Padahal aku cuma sekedar lewat di depan rumah. Diperlakukan seperti pengemis saja. Aduh, ibu, ibu! Kau beruntung. Tidak mengalami nasib seperti aku. Kemana ayah akan kucari" Kemana, ibu" Tanpa terasa lagi, air mata Nyi Ijah jatuh bercucuran, ia berjalan dengan gontai. Kakinya lemah sekali, kebingungan membuatnya lupa diri. Tiba-tiba matanya silau oleh cahaya silau, lantas telinganya menangkap bunyi rem mendecit-decit nyaring, sebuah mobil berhenti didepannya lalu dari kegelapan ia dengar suara supir menyumpah-nyumpah: "Jadah! Mau bunuh diri, bukan di sini tempatnya!" Lalu mobil itu melaju lagi, setelah Nyi Ijah buru-buru menepi. Selintas ia masih sempat melihat bagaimana mobil tadi membelok memasuki pekarangan rumah yang baru ia tinggalkan. Tentulah taksi yang ditunggu tunggu laki-laki itu sehingga tampak sangat begitu kesal. Yang ia tahu, adalah hal yang sangat bertentangan. Ketidaktahuan. Ke mana akan pergi! "Becak, Neng?" Lagi-lagi Nyi Ijah tersentak. Sebuah becak melaju perlahan-lahan di sampingnya. Nyi Ijah memperhatikan pengendaranya, berharap mudah-mudahan ia adalah abang becak yang tadi. Ternyata bukan. Yang tadi sudah tua, berwajah kelimis. Yang ini masih muda, bertubuh kekar, dengan kumis melintang di atas bibirnya yang tebal. Seram juga, tetapi Nyi Ijah perlu seseorang untuk bertanya: "Benarkan jalan ini jalan Pandu, Kang?" Dipanggil akang, abang becak itu tampak senang. "Benar. Mengapa?" Kalau begitu, nomor rumah tadi juga benar. Tentulah laki-laki



parlente itu tidak berdusta. Ayahnya sudah pindah. Entah ke mana. "Cari seseorang, Neng?" Nyi Ijah tiba-tiba punya harapan lagi. "Ya," katanya. "Mencari ayah saya," lantas ia sebut nama ayahnya, berharap semoga abang becak itu kenal. "Di mana tinggalnya ayahmu?" tanya abang becak, sama sekali tanpa perhatian pada nama ayah Nyi Ijah. Jadi, orang inipun tidak tahu. Tidak kenal. Ijah semakin lemas. Lututnya mulai goyah. Tidak saja tubuh, akan tetapi juga jiwanya mulai letih. Abang becak itu menghentikan kendaraannya. "Naik saja, Neng. Kita cari bersama-sama...." Ijah menurut saja. Ia tak tau mau ke mana pergi, tetapi mudah-mudahan si abang becak bisa menanyakan alamat ayahnya kesana kemari. Mereka berputar-putar di bagian kota, namun perhatian Ijah pada suasana cemerlang dan megah disekelilingnya sudah hilang. Tiada kekaguman lagi. Tiada rasa takjub. Yang ada hanya kecemasan pikiran kalut, dan keringat dingin yang berlelehan di ketiak. Sampai tiba-tiba becak berhenti, dan pengendaranya berkata: "Kita turun di sini saja, Neng." Seketika, Ijah melihat berkeliling. Mereka berada di sebuah jalan aspal yang sudah rusak berat, tanpa lampu-lampu mercury, tanpa gedung-gedung megah, tanpa toko-toko yang gemerlapan. Gelap sepanjang jalan, dan bau busuk yang pengap terlempar dari sebuah selokan besar yang airnya kehitam-hitaman di pinggir jalan. "Di sinikah ayahku tinggal?" tanya Nyi Ijah, memandang ke rumah-rumah disekitarnya. Rumah rumah dari dinding papan dengan atap-atap genteng yang sudah lumutan. Ayahnya kan orang kaya, tidak mungkin dia.... "Kita tak tahu di mana ayahmu tinggal, Neng. Aku yang tinggal di sini. Mau ikut?" Ijah kebingungan. Abang becak itu tersenyum lebar, seraya memperhatikan sekujur tubuh dan wajah Ijah dengan mata lebar. "Kau tentu lelah. Perlu istirahat. Mandi, makan, lalu tidur..."



Ya, ya, orang ini benar, pikir Ijah, lantas turun dari becak, berjalan mengikutkan laki-laki itu memasuki salah sebuah rumah petak tak jauh dari selokan. Rumah itu berlantai tanah ruang depan yang sempit hanya diisi kursi rotan yang sudah reot, diterangi lampu 25 watt. Ruang tengah merangkap ruang makan dan ruang dapur, dengan perabotan ala kadarnya, lalu sebuah kamar berpintu kayu yang kapurnya sudah luntur. Orang itu mengatakan ia tinggal sendirian dirumah ini, jadi Ijah tak usah malu malu. Ia menyuruh Ijah mandi ke sumur di belakang. Tertawa dengan ramah di mulut, dan tersenyum nakal di matanya yang tak berkedip memandangi perawakan tubuh serta raut wajah Nyi Ijah. *** "Kau bertele-tele," rungut Kurdi memotong cerita Nyi Ijah yang terbujur diam dihadapannya. Mulut si mayat kumat-kamit melontarkan sumpah serapah yang samar-samar kedengaran. Kemudian: ".... aku menceritakan..." Nafasnya terdengar berat dan lelah. "Menceritakan apa yang... yang ada hubungannya dengan suamiku, seperti yang kau... kau minta!" "Langsung saja!" "Tidak. Kau harus tahu bagaimana mulanya aku bertemu dia. Kau harus tahu bagaimana baiknya ia padaku. Kau harus!" Suara Nyi Ijah terdengar penuh semangat. "Ia benar-benar seorang lelaki yang patut didambakan wanita manapun di dunia ini. Ia...." "Baik. Ia laki-laki terbaik. Tetapi ceritakan tentang dia saja. Tak usah bawa-bawa nama tukang becak yang tidak karuan itu." "Tanpa abang becak itu, tak akan aku bertemu dengan suamiku!" desis mayat Nyi Ijah. Marah. "Hem!"



Beberapa saat hanya terdengar nafas-nafas lelah saja. Kurdi membiarkan. Kebulan dari dupa telah menipis. Ia tambahkan sebonggol kecil lagi batu menyan. Membersit bunyinya. Karena asap dupa tidak membesar juga, Kurdi mengipas-ngipas dupa itu dengan sarung hitam. Asap dengan cepat berkebul, membawa bau khas yang mendirikan bulu roma orang-orang yang tidak menyukainya. Dan Ijah! Ia terbatuk-batuk. "Asap itu!" katanya setengah merintih, di antara suara batuk yang menguncang-goncang tubuhnya. "Asap itu. Hentikan!" "Akan kuhentikan, begitu selesai ceritamu!" "Baik. Baik. Akan kuteruskan. Tetapi asap itu, aduh... huk... Uhuuk! Uhuuk...!" Suara batuk Nyi Ijah terdengar sampai ke luar rumah. Bu Enjuh yang beberapa saat berselang mendengar jeritan anak angkatnya yang sudah mati itu, kembali tertegun di dekat sebuah batang pohon besar, hanya beberapa meter lagi dari rumah pak lurah. Ia memutar tubuh, memandang ke arah rumahnya di kejauhan. Tetapi yang ia lihat hanya malam yang pekat, kehitaman yang mencekam. Suara batuk-batuk barusan tidak sekeras jeritan tadi. Namun, di malam sesunyi sekarang, disaat mana jangankan tetangga tetangganya, bahkan jengkerik pun pada takut untuk menimbulkan suara. Suara batuk-batuk itu terdengar sangat jelas memecah kesepian malam. "Anakku...." bisik Bu Enjuh. Parau. "Apakah kau...." Ia ingin berlari. Pulang. Untuk membuktikan bahwa anak angkatnya tersayang tidak mati, akan tetapi masih hidup. Atau si dukun penunggu jenazah itu telah menghidupkannya kembali. Bu Enjuh ingin berlari ke sana, secepatnya, sekuatnya. Tak perduli apa nanti kata Kurdi. Tetapi waktu ia gerak-gerakkan kaki, aduh, lemasnya. Otot-otot Bu Enjuh teramat kejang. Tidak, ia tidak sanggup berlari ke rumah. Tidak pula ia sanggup memandang muka Kurdi yang pasti akan marah besar karena merasa diganggu. Lebih baik ia teruskan perjalanan ke rumah pak lurah. Bahkan untuk



memutar tubuh kembali pun, otot-otot kaki Bu Enjuh terasa lemah sekali. Ia tahu rumah pak lurah tinggal beberapa langkah lagi. Ia kuat-kuatkan hati. Ia kuat-kuatkan pula kaki. Suara kaki-kakinya menjejak di tanah, biasanya tidak terdengar sama sekali. Tanah terlalu lembut untuk memantulkan jejak-jejak kaki tua dan lemah, setua dan selemah kaki Bu Enjuh. Namun di telinga perempuan tua itu, suara-suara jejak kakinya di tanah terdengar berdebum-debum, seperti langkah-langkah kaki raksasa. Ia cemas memikirkan nasib anak angkatnya di rumah. Tetapi kecemasan itu, perlahan-lahan dirayapi perasaan takut oleh bunyi langkahnya sendiri. Benar-benar berisik. Arwah-arwah yang selama ini terbaring tenang dalam kegelapan, bisa bangkit karena marah. Termasuk arwah anak-angkatnya. Ah " Arwah anak-angkatnya" Bu Enjuh tertegun sesaat. Bagaimana kalau arwah anak-angkatnya yang bangkit. Bila itu terjadi, tentu ia tidak melihat Nyi Ijah berjalan lemah gemulai mendatanginya, melainkan berjalan tanpa menjejak di tanah. Mungkin terbang, seraya menyeringai, tertawa terkikik-kikik, menggendong mayat bayinya yang berbentuk aneh itu.... Hiiii! "Tidak!" bisik Bu Enjuh, menghibur dirinya. "Ijah tak akan jadi kuntilanak. Tak...." Suaranya terputus sampai disitu. Ia mendengar sebuah suara. Suara yang aneh. Seperti orang batuk. Bukan batuk Nyi Ijah, melainkan batuk lelaki. Kering dan serak. Jelalatan mata Bu Enjuh melihat ke kiri ke kanan, menembus kegelapan malam, ia menoleh ke belakang terus membesarkan mata memandang ke depan. Kegelapan semata. Paling-paling tampak bayang-bayang pagar bambu... Ah, mungkin hanya lamunanku saja, pikir Bu Enjuh lalu melangkah lagi. Pelahan, agar tak terdengar suara kakinya, agar tak berisik membangkitkan arwah-arwah dikegelapan malam, agar.... "Hheeeeiii...!"



Suara berat itu jelas sekali terdengar. Dekat di telinganya. Sebelah kiri, Bu Enjuh menggigil. "Lihat ke mariii...!" "Ap... appaaa?" sentak Bu Enjuh, sengau, lalu menoleh ke kiri. "... mendekatlah!" Bu Enjuh mendekat. Ada kekuatan gaib yang menyuruh mendekat, melewati pepohonan yang hitam, memasuki kegelapan yang lebih hitam lagi. Semakin dekat, semakin ia dengar suara ganjil itu. Suara yang berat, letih, serak, desah-desah nafas yang tersentak-sentak, mirip desah nafas kerbau yang sekarat dengan leher yang putus disembelih...



*** Di rumah Bu Enjuh, mayat Nyi Ijah melanjutkan ceritanya dengan desah nafas yang sama letihnya; Sebagai gadis kampung, hatinya polos tanpa prasangka. Abang becak itu ia anggap sebagai penolong, dan besok pasti bersedia mencarikan alamat yang baru dari ayahnya. Laki-laki ini begitu baik. Membolehkannya ikut dengan becaknya tanpa membayar. Coba kalau Nyi Ijah harus jalan kaki! Membawanya ke rumahnya. Coba, kalau tidak, di mana Ijah harus tidur" Disini, sebelum tidur ia malah diberi makan sekenyang-kenyangnya. Sehingga begitu ia baringkan tubuh di dipan kecil dalam kamar satu-satunya di rumah petak itu, ia lantas terlelap seperti seorang puteri yang habis bermain yang melelahkan sepanjang hari. Dalam tidurnya ia bermimpi. Ia lihat ayahnya datang. Ia lupa-lupa ingat wajah ayahnya, hanya tahu dari potret. Setahunya, ayahnya bermuka kelimis. Tetapi yang datang ini, berkumis, dengan rambut awut awutan tak terurus. Ia mendekati Ijah, mengulurkan tangannya. Ijah berharap ayahnya memeluknya seraya mengucapkan kata-kata: "Anakku. Anakku yang malang, syukurlah kita bertemu, Nak." Ijah ingin berkata: "Ayah! Ayah. Dari mana kau ayah" Di mana kau tinggal dan mengapa..." Ijah



tersentak. Laki-laki yang ia sangka ayahnya itu, memang memeluknya. Kuat sekali. Tetapi, laki-laki itu berbuat lebih dari sekedar memeluk. Ia juga mencium Ijah. Bukan saja di pipi, tetapi juga di leher, di bibir, bahkan jari jemarinya yang kasar meremas-remas dada Ijah yang baru tumbuh. Ijah terlonjak. Bangun dengan kaget. Ternyata abang becak yang mengajaknya tidur di rumah petak itu yang tengah menggeluti tubuhnya. "Kang!" katanya. "Mau apa kau, Kang?" "Hem, diam-diamlah, anak manis. Kau akan senang." "Kang, aduh!" Abang becak itu merenggut pakaian yang melekat di tubuh Nyi Ijah. Gadis itu mau menjerit, tetapi mulutnya keburu di bungkam oleh si laki-laki. "Kalau kau menjerit lagi, kupukul kau. Mengerti?" Dengan mata melotot ketakutan. Nyi Ijah mengangguk-anggukkan kepala. "Nah, berlakulah seperti anak manis. Kau telah kutolong, dan aku akan terus menolongmu...!" Tetapi Ijah sempat juga memekik tertahan, manakala laki-laki durjana itu berhasil merenggut keperawanannya. Gadis itu menangis, tidak saja oleh rasa kesakitan, akan tetapi juga rasa sedih dan takut. Laki-laki itu berulang kali melakukan hal yang sama atas tubuh Nyi Ijah, sehingga gadis itu hampir jatuh pingsan. Ia tak bisa bangkit dari tempat tidur, sewaktu pagi harinya abang becak itu keluar setelah lebih dulu meninggalkan ancaman: "Jangan coba-coba lari. Kau akan kubunuh, bila kutemukan!" Jangankan lari. Turun saja dari tempat tidur Ijah tak sanggup. Mana pintu dikunci pula dari luar. Ia hanya menangis sampai matanya bengkak terus menerus. Akhirnya laki-laki itu datang, menyuruhnya mandi dan berganti pakaian, memberinya makan nasi bungkus. Tetapi Ijah tidak bisa menikmati makanan yang dalam keadaan lain pasti sangat enak itu. Ada goreng ayam, ada gulai hati dan petai rebus. "Bawa aku pergi dari sini. Bawa aku ke ayahku," tangisnya. Laki-laki itu tertawa.



"Kau memang akan kubawa pergi. Tetapi mana tahu aku, di mana ayahmu tinggal" Tetapi, senangkanlah hatimu. Kau akan kubawa ke sebuah rumah di mana kau bisa hidup senang...." Dan laki-laki itu membawanya ke sebuah rumah yang lumayan megah. Perempuan setengah baya pemilik rumah itu berwajah manis, bersenyum manis. Leher, pergelangan tangan, jari jemari, telinga bahkan pergelangan kakinya penuh dengan perhiasan emas yang bagus-bagus. Rumahnya mempunyai banyak kamar, dengan perabotan yang bagus-bagus. Anak anaknya, semua anak gadis, berperawakan, berwajah dan berpakaian bagus-bagus. Ijah pun kemudian diberi pakaian dan kamar yang bagus. Perasaan sedih dan sakit hatinya akan perbuatan si abang becak, perlahan-lahan lenyap, sampai suatu malam, seorang laki-laki datang ke kamarnya, menutup pintu bahkan menguncinya sekalian. Dan laki-laki itu, berbuatlah hal yang sama terhadap Ijah. Memperkosanya! "Telah kubeli kau dengan harga mahal dari penarik becak itu!" rungut induk semangnya, ketika Ijah mengeluh keesokan harinya. "Karena itu, kau harus menurut dengan patuh, apa saja pun yang diperbuat laki-laki yang datang ke rumah ini, pada dirimu. Mengerti"!" Dan laki-laki demi laki-laki, silih berganti menikmati tubuh Nyi Ijah. Di kamarnya, atau ke luar dari rumah, naik mobil ke hotel atau ke luar kota. Begitu terus dari hari ke hari, minggu ke minggu, sampai berbilang tahun. Ia sudah melupakan ayahnya. Tetapi ia tidak bisa melupakan sakit hatinya. Abang becak itu telah menjual tubuhnya, dan hanya memberi sedikit bagian saja, sekedar makan enak, dan bisa membeli pakaian bagus serta sedikit perhiasan. Ijah tak boleh memiliki banyak uang, dan tiap kali menerima pembayaran dari laki-laki yang mencarternya, harus menyetorkan uangnya pada perempuan bermuka manis namun berhati busuk itu. "Aku ingin keluar!" Pernah ia berkata dengan marah. "Pergilah. Dan tukang-tukang pukulku akan menyilet mukamu yang cantik biar cacat



seumur hidupmu. Lalu kau mereka lemparkan ke pinggir jalan supaya hidup sebagai seorang pengemis. Masih mau pergi, oh?" Tidak. Ijah tak mau mukanya disilet. Ia tak sudi dilempar ke pinggir jalan. "Kau harus pindah. Perempuan itu memerasmu. Kau pantas untuk hidup senang, dan diperlakukan sebagai perempuan terhormat!" seseorang tiba-tiba berkata begitu padanya. Dan orang itu terus menerus menekankan hal demikian. Dan ia memang memperlakukan Ijah sebagai. perempuan terhormat. Diajak keluar rumah makan minum di restoran, masuk nite club, nonton, piknik, semua tanpa memperlakukan tubuhnya sebagai mana diperlakukan oleh laki-laki lain. Paling-paling laki-laki itu... yang juga membayar sebagaimana laki-laki lain membayar Ijah, hanya memeluk dengan lembut, dan mencium dengan penuh kasih sayang, diakhiri dengan sebuah kalimat pendek yang membuat Nyi Ijah merasa hidup kembali: "Aku akan memperisteri kau, sayangku!" Dan laki-laki itu menebus Ijah dengan harga yang mahal. Tetapi, ia juga kemudian hari terpaksa harus menebus tekadnya untuk memperisteri Ijah, dengan harga yang jauh lebih mahal. "Dia kan laki-laki yang kau maksud makamnya harus harus kita Cari?" Lagi-lagi Kurdi menukas cerita Nyi Ijah dengan tidak sabar. "He-eh...." "Ceritakan kenapa ia mati. Ceritakan mengapa kau tidak tahu di mana jenazahnya dimakamkan. Kau menghabis-habiskan waktuku dengan kisahmu yang berlarut-larut itu!" Kembali mulut mayat yang terbujur di lantai bergerak gerak melontarkan sumpah serapah pertanda ia sangat marah. "Ia laki-laki yang baik. Ia laki-laki yang harus dihormati. Ia...." "Ya, aku tahu. Aku tahu!" rungut Kurdi. "Bagaimana kematiannya terjadi?" "Mana aku tahu?" Suara mayat itu, letih dan marah. "Sebabnya?" Kalau saja jasad itu hidup, tentulah sudah tergoncang goncang



menahan amarah. Tetapi karena jasad itu jasad mati, hanya mulut kemak-kemiknya saja yang sanggup melontarkan sumpah serapah tidak berkeputusan, sampai Kurdi ikut marah. "Hentikan menghinaku, atau kau kubiarkan gentayangan jadi kuntilanak menggendong mayat bayimu kemana-mana!" bentaknya. Mayat itu terbatuk. "Baiklah. Baiklah.... Kaulah yang harus bersabar sedikit." "Eh, mayat terkutuk. Mau tawar menawar pula lagi!" "Kumohon...." "Hem, lanjutkanlah."



*** Jauh di luar rumah, Bi Enjuh mendengar lanjutan dari ucapan-ucapan aneh dari dalam kegelapan di depannya: "Kau kembalilah ke rumah itu!" Bu Enjuh membesarkan mata. Tetapi ia tidak melihat apa-apa. "Kau, siapa?" tanyanya, takut. "Tak perlu tahu. Kembalilah kesana, dan lihat apa yang dilakukan oleh Kurdi laknat itu pada mayat anak angkatmu!" "Mengapa... kau tidak pergi sendiri melihatnya?" Terdengar suara orang meludah. Lalu gerutuan marah: "Jadah. Beras putih yang ia tebarkan mengelilingi rumah itu. Aku tidak bisa mencarinya malam-malam begini, dan memungutinya satu persatu. Aku tak bisa menerobos ilmu sihir yang...." "Sihir?" Bu Enjuh menggigil. "Jadah!" makian lagi, lalu: "Hufff", seperti suara orang meniup. Angin dingin menampar wajah Bu Enjuh,



sampai beku rasanya kulit mukanya. Begitu angin dingin itu lenyap, Bu Enjuh tidak ingin berkata apaapa lagi. Malah tidak ingat apa-apa lagi, siapa dirinya, di mana ia berada, siapa orang itu, apa maunya. Ia berdiri kaku, wajah kaku, pandangan mata kaku. "Salahmu!" Terdengar lagi suara dari kegelapan. "Terlalu ceriwis. Dasar nini-nini! Pergi sana, dan lakukan apa yang kuperintahkan!" Angin bertiup lagi. Bu Enjuh memutar tubuh. Kaku. Dan perlahan sekali. Ia melangkah. Kaku. Juga perlahan sekali. Ia telah dijadikan robot hidup oleh makhluk asing yang mempengaruhi jalan darah dan pikirannya. Dalam keadaan biasa, dalam beberapa menit ia akan bisa sampai di rumah. Tetapi dalam keadaan serupa itu, mungkin banyak waktu yang ia perlukan. "Nenek sialan!" maki suara dalam kegelapan. "Tulang tulangnya bisa bercopotan dipengaruhi ilmuku. Apa boleh buat. Aku harus tahu apa yang dikerjakan musuhku itu. Mudah-mudahan saja si nenek ini tidak mundur dan berlari menjauh dari rumahnya, begitu pengaruhku hilang di saat ia menginjakkan kaki melewati garis ilmu si penunggu jenazah itu!" *** Penunggu jenazah itu mendengarkan dengan sabar. Ijah kemudian menikah dengan lak-laki yang mengangkatnya dari dunia hitam yang nista itu, dengan mendapat tantangan keras dari orangtua si laki-laki. Suaminya bukan saja tidak diaku anak lagi, malah dikutuk agar hidup sengsara dan menderita, selama ia bersikeras untuk berumah-tangga dengan bekas pelacur bernama Ijah itu. "Mula-mula kutuk itu kami anggap sepi," ujar Ijah lirih. "Tetapi usaha suamiku, kekayaan yang kami miliki, ludas dengan cepat. Kami berusaha menghemat, tetapi ada saja pengeluaran yang tidak terduga. Suamiku seringkali jatuh sakit, dan aku semakin disingkirkan tiap kali ia mulai sehat kembali..." Karena panasaran, Nyi Ijah mendatangi seorang dukun.



"Suamimu diguna-gunai keluarganya," ujar dukun itu. "Tolonglah aku melawan guna-guna itu," mohon Ijah. "Wah. Berat. Orang yang dipakai keluarga suamimu bukan kaliberku. Ilmunya tinggi. Kau harus mencari guru yang lebih tinggi dari dia." "Siapa" Di mana tempatnya" Berapa biayanya?" desak Nyi Ijah tidak sabar. "Hampir-hampir tanpa biaya. Ia hanya memberikan syarat-syarat tertentu. Akan kuberitahukan tempatnya padamu!" Tempatnya jauh. Di lereng sebuah gunung yang jarang dijamah manusia. Gurunya bukan sembarang guru. Ijah harus menyerahkan tubuhnya untuk ditiduri sebagai syarat utama, meskipun... "Wah, telah larut malam!" protes Kurdi tiba-tiba sewaktu ia dengar lolongan anjing yang lirih menyayat tulang di luar rumah. Lolongan itu disertai dengus kuda yang keras. "Persingkat ceritamu. Hanya tentang suamimu, sudah kubilang berkali-kali padamu!" Mayat Nyi Ijah terdiam sebentar. Sepasang matanya yang terbuka lebar dengan manik-manik yang sudah mati, memandang langi-langit kamar dengan kosong. Lalu: "... aku pulang ke rumah, setelah apa yang kukehendaki kuperoleh. Tetapi di sana telah ada mertuaku, dan banyak sekali orang. Ternyata suamiku telah mati waktu mereka tiba dirumahku." Ijah dikutuk tidak saja oleh mertuanya, tetapi juga kebanyakan orang di tempat itu. Ia dituduh telah meninggalkan suami yang tengah sakit, dituduh mencari laki-laki lain, melacurkan diri. Ia kemudian diusir, dan mayat suaminya dibawa pergi oleh mertuanya, betapa pun Ijah bersikeras untuk memakamkan sendiri suaminya. Dalam keputusasaan, Ijah lari pada gurunya ditengah hutan, dan memperoleh jawaban: "Lawanku kalah. Ia marah, dan lupa diri. Gunagunanya ia rubah jadi sumpah kematian. Itulah sebabnya begitu kau pulang, suamimu telah tiada." Ijah jadi putus asa. Ia ingin bunuh diri. Tetapi gurunya berkata dengan tegas: "Kematian itu akan datang sendiri. Tetapi bukan sekarang waktunya...!" Dan



kandungan di perut Nyi Ijah, memberi dorongan untuk menunda datangnya kematian itu. "Anakku... harus hidup...." desis mayat Nyi Ijah. "Ia satu-satunya peninggalan suamiku. Satu-satunya yang paling berharga di dunia ini. Karena itu aku pun... harus hidup... demi anakku. Aku lalu meninggalkan hutan, dan terdampar di kampung ini...." Mayat itu menghentikan ceritanya dengan nafas lirih dan teramat letih. "Tetapi ketika anakku lahir... ternyata anakku... anakku...." Suara tangis menyayatkan hati, menggaung di dalam rumah. "Hem!" Berengut Kurdi. Ia mengembangkan kedua tangannya. Ia putarkan secara bersilang di atas wajah mayat Nyi Ijah. Suara tangis itu perlahan-lahan hilang, mulut yang kemak-kemik itu kemudian berhenti. Yang terdengar adalah suara Kurdi membaca mantera, gerakan tangannya yang semakin liar, kemudian bentakan yang halus: "Sekarang, sebagai imbalan bantuanku, kau harus memenuhi syarat yang kukehendaki." Mulut mayat itu bergerak-gerak: "... ap-paaa?" "Kau harus bersedia kusenggamai!" Terdengar pekik halus. Lalu: "Tidak... aku tak sudi!" "Harus!" Kurdi terkekeh. "Bukankah kau sudah biasa begitu dengan banyak lelaki lain?" "Aku... aku tak keberatan. Tetapi kau harus tahu... aku sedang kotor.... darahku, kotor... Lagipula, kau harus tahu siapa guruku dan apa yang ia tentukan sebagai..." "Aku tak perduli siapa gurumu. Kau telah mati jadi kau bukan muridnya lagi." Suara memelas dari mayat Nyi Ijah, tiba-tiba berubah jadi suara mengikik. Ya. Nyi Ijah tertawa mengikik. "Kau...." katanya seraya terkikik-kikik. "Kau tak tahu sumpahku yang segera akan terjadi... kau... penunggu jenazah terkutuk.



Teruskan niatmu, teruskanlah, dan kau akan menyesal. Aku mengutukmu, aku...." "Arwah yang kembali!" seru Kurdi keras mengatasi suara ketawa mengikik dan sumpah serapah mayat Nyi Ijah. "Hangatilah jasadmu yang diam ini. Isilah jalan darahnya kembali...!" Habis berkata begitu, "Jress!" Kurdi menyayat urat nadi lengan kirinya pakai pisau cukur. Darah menyembur, bersimbah di dua jantung mayat. Terdengar pekik nyaring, melengking-lengking. Di luar rumah, penduduk kampung meringkuk dibalik selimut masing-masing. Takut dan ngeri. Tidak ada yang bergerak dari tempatnya. Termasuk Bu Enjuh, yang sudah berada dalam garis pengaruh ilmu si penunggu jenazah. Begitulah ia tiba di garis itu, lenyaplah pengaruh ilmu dari orang yang bersembunyi dalam kegelapan nun tak jauh dari rumah pak lurah. Bu Enjuh tersadar dari kesima. Ia dengar pekik Nyi Ijah yang memilukan hati. Ia dengar lolongan anjing didekatnya, panjang dan lirih, dengus kuda yang keras dan menyembur nyembur, lantas merasakan ketakutan dalam dirinya. Lama ia tertegun di tempatnya berdiri, sementara jeritan itu perlahan-lahan menurun kemudian tidak terdengar sama sekali. Yang terdengar hanya lolongan anjing, dengan kuda, bersahut-sahutan, lalu terlihat bayangan kereta dan peti mati di atasnya, hanya beberapa langkah dari tempat Bu Enjuh berdiri. Tubuhnya menggigil dengan hebat. "... apa... apa yang harus kulakukan?" ia berbisik ketakutan, memandang berkeliling, ke arah kegelapan. Tidak. Ia tidak berani mengganggu Kurdi. Tetapi di sana... dalam kegelapan, makhluk yang tidak terlihat itu, suaranya yang mendirikan bulu roma, dan pengaruh gaibnya yang membekukan tubuh dan perasaan... Tidak, Bu Enjuh juga tidak berani kembali kesana. Ia harus masuk ke dalam rumah. Rumah yang terdekat, adalah rumahnya sendiri. Tak ada jalan lain. Perlahan-lahan, ia masuk ke dalam rumah dengan berjingkat-jingkat, berharap Kurdi tidak mendengar lantas terusik pekerjaannya. Tetapi lolongan anjing si penunggu jenazah yang



kemudian menyentak nyentak tinggi membuatnya terkejut. "Tolong!" Bu Enjuh menjerit tertahan, lantas menghambur ke ruang tengah. Di sana, ia tertegun. Dan terkesima kembali. Dia melihat sebuah pemandangan yang sangat ganjil di lantai, di atas hamparan permadani, ia lihat dua sosok tubuh yang tidak mengenakan pakaian selembar pun tengah bergelut. Masih sempat ia perhatikan baik baik, apa yang sebenarnya terjadi. Tubuh Nyi Ijah, anak angkatnya yang sudah mati, tergeletak diam, sementara Kurdi dengan liar menggagahinya.... "Ya Allah!" keluh Bu Enjuh, lantas dengan rona ngeri tiada tara di wajahnya, perempuan itu seketika menghambur ke luar rumah. "Aaaak!" Kurdi menjerit mendengar seruan Bu Enjuh, meloncat berdiri, menyambar pakaian dan sarung, mengenakannya buru-buru. Ia terus berteriak kesakitan seraya memegangi kedua telinga, menutupnya rapat-rapat dengan telunjuk, sampai kemudian tubuhnya menjadi tenang kembali. Pada waktu matanya ia buka ia masih sempat melihat tubuh Bu Enjuh yang berlari ke luar. Ia hampir saja berlari menyusul kalau saja suaranya tidak menangkap perubahan pada mayat Nyi Ijah, yang tergeletak dengan posisi tidak karuan di lantai. Tadi, kulit tubuh itu halus dan licin. Kini tampak kasar, berbulu kehitam-hitaman, makin lama makin lebar, memenuhi seluruh tubuh kecuali bagian-bagian tertentu. Dahi Nyi Ijah menyempit, hidung dan mulutnya melebar. Dari sudut-sudut mulutnya keluar taring-taring tajam dan panjang. *** Kurdi jatuh terduduk di lantai. Sekujur tubuhnya lemas dan gemetar. Ya, tidak perduli lagi apakah Bu Enjuh lari ke salah sebuah rumah dan dengan ribut menceritakan apa yang tadi ia saksikan. Ia tidak perduli. Bahkan bila pun penduduk nanti datang beramai-ramai untuk membunuhnya, Kurdi juga tidak perduli. Toh nanti ia bisa mempengaruhi pikiran perempuan itu agar bercerita lain di hadapan semua orang. Ia akan gunakan dan ia percaya, orang-orang akan mengiyakan bila ia tuduh: "Perempuan tua mengatakan!" Ia akan mempengaruhi mereka semua. Akan membuat



mereka percaya. Kini, ia sendiri yang terpengaruh. Tidak percaya dengan apa yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Perempuan muda yang terbujur mati di lantai, payudaranya basah oleh darah bercampur keringat Kurdi, tengah menistanya! Terdengar suara mengekeh berat dari mulut mayat: "... muridku... sudah memperingatkan kau. Tetapi kau tidak mau dengar. Kau...." Kurdi memusatkan pikiran. Memusatkan jiwa. Kala, seraya memejamkan mata, ia menyenggak: "Katakan, siapa kau gerangan!" "Aku gurunya!" "Mengapa kau mengusik pekerjaanku" Bukankah muridmu sudah mati dan tidak layak lagi kau ganggu gugat?" Suara terkekeh itu menggema lebih berat. Lalu: "Kau yang mengusikku. Mengusik jasad muridku. Pengabdiku, bila mati, tepat tengah malam dan berubah jasad seperti jasadku. Tetapi kau menggagalkan pekerjaanku. Kau menggoda muridku. Aku terpaksa memunculkan wujudku pada jasadnya. Supaya kau tahu kau tidak patut menjamah tubuhnya. Hanya aku. Hanya aku yang berhak menjamahnya...." "Pantas. Pantas bayi Nyi Ijah yang sudah mati, berujud sebagian manusia, sebagian kera, demikian menurut yang kudengar...." "Terkutuk. Bayi itu percampuran kasihku dengan benih suami perempuan ini. Ia lahir membawa jiwa ayahnya, tetapi membawa perwujudanku sekaligus. Untunglah ia mati. Orang akan membencinya bila ia hidup dan aku tidak bersedia didekatinya sebagai ayah kedua itu akan membuatku celaka. Biarlah ia mati serupa itu. Mati tanpa terusik oleh kekuatan apapun, kecuali penciptanya. Hanya yang ini pengabdiku yang muda, cantik dan patuh ini, harus kubawa. Sekarang juga!" "Tidak. Itu tidak boleh kau lakukan!" dengus Kurdi. "Aku berhak!"



"Tetapi kita harus saling menghormati pekerjaan kita satu sama lain. Aku melaksanakan amanat. Amanat orang yang mau meninggal. Amanat Nyi Ijah. Aku harus memenuhinya karena aku telah berjanji..." "Apa amanatnya itu, ?" "Ia ingin dimakamkan di samping makam suaminya!" "Hem..." "Pergilah. Kumohon, pergilah. Waktuku tinggal sedikit...!" "Tetapi...." "Kumohon padamu, siapapun jua kau adanya. Manusia biasa seperti aku, atau setan seperti yang kuabdi. Aku tidak tahu muridmu masih menjadi hakmu, setelah ia mati. Sungguh, aku tidak tahu... kini, pergilah. Jangan mengusik pekerjaanku, dan akupun tidak akan mengusik keinginanmu. Kau boleh ambil muridmu ini kembali, apabila tugasku telah kuselesaikan." Lama tak terdengar jawaban. Kurdi hampir-hampir tak sabar. Mantera-manteranya ia bacakan sekuat-kuat ia bisa, asap pedupaan menyan ia hembus semampu ia dapat. Terdengar suara batuk-batuk, suara helaan nafas berat, lantas suara seperti igauan: "... kukira kau benar. Aku akan mengambil muridku dari makamnya nanti. Tugasmu tidak gampang, bukan?" "Aku akan berusaha. Kau telah mengusikku, danmasih ada orang lain di luar sana yang bermaksud mengusikku. Orang itu tidak menghormatiku, mungkin karena aku juga ia kira tak pernah tidak menghormati pekerjaannya. Tetapi aku menghormatimu. Aku telah meminta maaf. Kumohon, agar kaupun menghormatiku barang sedikit...." Terdengar tawa parau. Mengakak, diselang-seling oleh suara mengik-ngik-ngik-ngik, suara kera besar yang banyak berkeliaran di hutan-hutan terlarang. Kurdi merasakan sekujur tubuhnya bersimbah peluh dingin, kemudian angin gersang menyapu ruangan itu, dan ketenangan kembali pada dirinya. Ia membuka matanya, memperhatikan berkeliling ruangan, menembus asap menyan yang berkebul, baru kemudian



memusatkan pikiran kembali seraya bergumam lemah lembut: "Nyi Ijah, perlihatkanlah wujudmu yang asli." Lalu: "Puah!" Ia meludah ke dada mayat. Terdengar rintihan kesakitan, suara erang yang terengah-engah, lalu sepi menyentak. Kurdi membuka matanya. Di lantai, terbaring jasad Nyi Ijah. Tiada bulu-bulu hitam yang lebat, tiada kening yang sempit, hidung dan mulut yang lebar, ataupun taring tajam mengerikan. Yang ada hanyalah sesosok tubuh lemah, berkulit halus dan licin, berbibir bagus, berdahi manis, berhidung indah... dengan sepasang mata yang masih tetap terpentang lebar lebar, persis seperti mata yang dilihat Kurdi atau dilihat orang-orang, dikala perempuan muda yang malang itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kurdi terperangah. Lelah. "Sekarang." bisiknya lemah, ditujukan ke arah jantung Nyi Ijah. "Hai kau roh yang telah sempat gentayangan, pergilah. Tunjukkanlah di mana letak mayat suami perempuan ini, tunjukkanlah kedalam pikiranku. Tunjukkanlah, hai kau roh yang penasaran...!" Ia bersimpuh, membaca mantera perlahan-lahan sambil memusatkan jalan pikirannya. Ada hentakan- hentakan halus di belakang kepala, pada otak Kurdi, kemudian lecutan-lecutan keras sehingga tubuh Kurdi terombang-ambing ke kiri dan ke kanan. Angin keras bertiup dalam ruangan, membuyarkan asap menyan yang berkebul-kebul, berputar seperti angin puyuh di atas ubun-ubun Kurdi. Ketika desau angin itu berhenti dengan sendirinya, Kurdi menganggukkan kepala. "Aku tahu. Aku tahu sudah..." desahnya. Lirih. Dan letih. Kemudian, ia membaca mantera lagi, lalu diam. Tiada suara apa-apa lagi yang terdengar dalam ruangan. Apalagi di luar rumah. Anjing Kurdi merintih perlahan. Kuda didekatnya menghentak-hentakkan kaki dengan enggan. Lolongan anjing dan hentakan kaki kuda itu demikian halusnya sampai-sampai tidak terdengar oleh telinga biasa. Apalagi telinga penduduk desa itu, yang sedang menciutkan tubuh sekecil mungkin, agar tidak terlihat dan terjamah oleh hantu mengerikan yang sewaktu-waktu bisa muncul. Namun,



sayup-sayup telinga mereka menangkap suara asing. Suara teriakan minta tolong, suara orang berlari-lari, mengarah ke rumah pak lurah. "..... Bu Enjuh sudah ketemu kuntilanak Nyi Ijah," bisik semua orang ketakutan. Memang Bu Enjuh yang berlari-larian seraya menjeritjerit minta tolong itu. Ia menggedor pintu rumah demi pintu rumah, yang tidak satupun penghuni nya bersedia membuka. Akhirnya, dalam keputusasaan, Bu Enjuh berlari dalam kegelapan ke arah rumah pak Lurah. Beberapa kali kakinya terantuk pagar, terantuk batu, terantuk akar-akar pohon yang melintang jalan. Tetapi ia terus berlari, jatuh bangun. Sampai suatu saat, tepat di tempat di mana ia tadi mendengar suara ganjil, tubuhnya terpaku diam, dan suara itu kembali terdengar: ".... h h e e i i i, kemarilah...!" Tiupan angin dingin itu menyapu wajah Bu Enjuh. Ia mendekat, digerakkan oleh kekuatan gaib. ".... apa yang kau lihat di rumahmu?" Perempuan tua yang malang itu, menceritakannya. Lebih tepat dikatakan, mengeja kata demi kata, tentang apa yang disaksikannya. "Puih," suara meludah. "Aku tahu sudah. Pergi, pergi kau sana, perempuan tua renta!" Tiupan angin dingin kembali, dan Bu Enjuh sadar dari kesima. Begitu sadar, ia menjerit lagi, dan berusaha lari. Tetapi jeritan itu tertahan di kerongkongan, lututnya goyah tak mau digerakkan. Dalam sekejap, tubuh perempuan tua yang malang itu limbung. Ia jatuh ke tanah tanpa suara, kecuali erang sakit dan ngeri yang terlontar dari mulutnya, sesaat sebelum kepalanya membentur benda keras di permukaan tanah. "Wah, celaka!" gumam suara dalam kegelapan. Cemas. "Aku harus cepat-cepat menyingkir dari tempat ini!" Lolongan anjing, menggema dikejauhan. Tinggi, mendaki ke balik awan pekat, di mana rembulan sedang menyembunyikan diri dengan segala kecemasannya. Awan hitam itu mulai bergerak,



perlahan, kemudian makin cepat. Petir tiba-tiba menyambar. Guntur menggelegar. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun menyiram bumi yang masih diam ternganganganga itu.... Hujan baru berhenti pada waktu pagi datang. Tetapi penduduk kampung itu baru berani ke luar rumah masing-masing, setelah matahari terbit dan ternak ternak ribut berkeliaran mencari makan. Orang-orang melupakan pekerjaannya, dan bergerombol-gerombol menuju rumah Bu Enjuh. Mereka ingin tahu, peristiwa apa saja yang terjadi sepanjang malam yang mengerikan itu. Dan bagaimana halnya dengan Kurdi, si penunggu jenazah" Penunggu jenazah itu sedang berdiri di luar rumah, ketika orang-orang berdatangan. Ia baru saja melepas pembalut dari daun kelapa muda di pergelangan tangan kiri yang ia rentangkan ke arah matahari terbit. Tiada luka sayatan, tiada bekas sama sekali. Ia menarik nafas lega, memperhatikan orang-orang yang datang dengan wajah dingin dan sukar dibaca. Sepi mencekam seketika orang-orang itu berhadapan dengan Kurdi. Sampai pak lurah yang memulai: "... Pak Kurdi selamat?" Barulah Kurdi tersenyum. Ramah, dan sedikit kecut. "Berkat do'a kalian," ujarnya, lemah. "Wajah-wajah kalian membuat aku bertanya-tanya. Gerangan apa yang membuat kalian cemas?" "Kunti...." seseorang membuka mulut, tetapi segera menutupnya kembali dengan wajah yang pucat pasi. "Maksud saya, apakah mayat Nyi Ijah masih di tempatnya...." "Oh. Masih. Masih." "Syukurlah." "... rohnya?" seseorang nyeletuk pula. Dan terkejut sendiri oleh pertanyaannya, sementara beberapa orang lain menyesali si pembicara yang terlanjur buka mulut tanpa dipikir panjang itu. Kurdi mengernyitkan dahi.



Heran. "Bukankah kalian semua tahu, orang mati ditinggalkan oleh rohnya?" Orang tadi mengangguk. Yang lain-lain pun ikut mengangguk. "Nah, rohnya pergi. Ke alam baka, tentu. Aku mengerti apa yang tersirat di balik kepala beberapa orang di antara kalian. Percayalah. Aku berjanji roh itu tidak akan kembali atau gentayangan di antara kalian. Bukankah untuk tujuan itu kalian memanggilku ke mari?" Orang-orang mengangguk lagi. Dan pak lurah mengiyakan dengan mulut: "Memang benar, Pak Kurdi. Juga kami ingin meyakinkan, bahwa mayat perempuan malang itu disemayamkan di samping makam suaminya." Kurdi manggut-manggut. "Memang itulah tugasku," katanya. "Kalau begitu, kami percaya. Pak Kurdi Istirahatlah dulu. Kami akan memandikan jenazah, sebelum Pak Kurdi bawa pergi." Kurdi mau melangkah masuk ke rumah, waktu pak lurah nyeletuk: "Mana Bu Enjuh?" Kurdi angkat bahu. "Ia tinggalkan aku semalam. Katanya mau ke rumahmu. Tidakkah ia ke sana malam tadi?" Orang-orang pada bengong. Kemudian ribut mencari. Dan tak jauh dari rumah pak lurah, di antara batang batang pohon kelapa, orang menemukan Bu Enjuh. Ia rebah di atas tanah berlumpur, dengan belakang kepala tepat berada di permukaan sebuah batu besar dan tajam. Perempuan itu telah mati. Pada wajahnya tidak terlihat gurat-gurat kesakitan melainkan penderitaan yang ditimbulkan oleh rasa takut yang luar biasa. *** Mayat Nyi Ijah sudah dimasukkan ke dalam peti mati, ketika Kurdi mendengar tentang kematian Bu Enjuh. Orang-orang menjadi gempar seketika. Kurdi menghela nafas. Lega.



Mati adalah pilihan yang paling terbaik bagi perempuan itu. Ia sudah tua renta, tidak punya sanak famili, serta anak angkat kesayangannya telah pula mendahuluinya. Setidak tidaknya, kematian perempuan itu jelas sangat menguntungkan Kurdi. Bu Enjuh bisa membahayakan dirinya, karena perempuan tua itu adalah satu satunya saksi hidup yang pernah melihat dengan mata kepala sendiri apa yang diperbuat Kurdi terhadap jenazah perempuan yang ia tunggui. Hanya satu-satunya orang. Dan orang itu kini telah mati. Dengan menyimpan keinginan untuk tersenyum, Kurdi kemudian bergegas mengikuti orang-orang yang berlari-larian kearah mana mayat Bu Enjuh diketemukan. Dalam hati ia bertanya-tanya. Mengapa perempuan itu kembali lagi ke rumah, malam tadi" Kekuatan apa yang mendorongnya" Takut ke luar sendirian" Atau karena ingin berdekatan dengan anak angkat kesayangannya, meski Nyi Ijah sudah tak mungkin ia ajak tertawa dan bersenda gurau" Kepenasaran Kurdi terpenuhi setelah ia menyeruak di antara orang banyak dan melihat raut wajah Bu Enjuh. Lagi-lagi Kurdi menarik nafas. Gumamnya: ".... perempuan malang!" Orang-orang di dekatnya menoleh. Mata mereka memancarkan keinginan agar Kurdi mengulangi ucapannya yang samar-samar mereka dengar. Tetapi Kurdi hanya berdiam diri, lantas satu dua orang di antara mereka yang berkerumun itu ikut mengulang apa yang diucapkan Kurdi: "Perempuan malang!" Pak lurah berbisik: "Perempuan ini tidak mati begitu saja. Tentu ada sebab-sebabnya?" Seorang menyahut: "Benar, Ia terjatuh. Kepalanya menimpa batu. Pecah. Lalu ia mati." "Ah, kau. Kau kira semudah itu" Tak kau lihat raut wajahnya yang mengerikan" Sebelum matinya, ia pasti telah melihat sesuatu yang dahsyat. Sesuatu yang menteror jiwanya. Aku kira, ia malah telah mati sebelum kepalanya jatuh menghantam batu!" pak lurah menoleh pada Kurdi. Ia pandang penungu jenazah itu dengan sorot mata tajam, lantas mendesah.



"Apakah dugaan saya salah, Pak Kurdi?" Kurdi geleng-geleng kepala. "Tidak!" jawabnya. "Kau benar. Ia telah melihat sesuatu yang mengerikan... dan itu adalah apa yang kulakukan atas mayat Nyi Ijah tadi malam, pikirannya, seraya melanjutkan: "Ada makhluk asing berkeliaran disekitar tempat ini tadi malam...!" Sepi menyentak seketika. Lalu: "Kuntil..." ucap seseorang, seperti tidak disengaja. "Bukan!" potong Kurdi. "Mayat Nyi Ijah tak lepas dari penjagaanku sepanjang malam. Ia tak mungkin berkeliaran di luar...." "Jadi...?" "Makhluk asing. Dan yang ia kehendaki sebenarnya bukan perempuan malang ini. Tetapi aku!" Lalu Kurdi bergegas meninggalkan tempat itu. Pak lurah mengikutinya, setelah memerintahkan warganya mengangkat mayat Bu Enjuh ke rumahnya. Ia tidak mengerti kenapa mayat Nyi Ijah tahu-tahu telah berada dalam peti mayat, dan ketidakmengertiannya itu ia ungkapkan terang-terangan pada Kurdi. "Apa tak sebaiknya almarhumah kita sembahyangkan lebih dahulu?" Kurdi membalas pandangan tak enak dari pak lurah. Tanyanya: "Apakah mayat Nyi Ijah kalian sembahyangkan pula sebelum dikuburkan?" Pak lurah terdiam. Kemudian, dengan gelisah ia menyahut: "ltu... lain soalnya. Amanat dan...." "Anaknya lain. Ibunya pun lain," rungut Kurdi, lalu: "Hys, heiyyaaa," Tali kekang ia sentak, disusul pukulan pecut sekali dua. Kuda di depan kereta meringkik. Kedua kaki depannya terangkat tinggi ke atas, kemudian menjompak dengan dahsyat di permukaan tanah yang lembab dan basah. Beberapa saat kemudian... hampir-hampir tak disadari orang-orang yang ada di tempat itu, Kurdi dengan sahabat-sahabatnya yang setia itu telah menghilang membawa mayat Nyi Ijah



dalam peti mati. Kurdi acuh tak acuh saja terhadap setiap orang yang ia lalui dan mengangguk padanya. Itu bukan anggukan hormat. Melainkan anggukan takut. Dan mata mereka! Mata yang penuh kecurigaan! Mata yang menggambarkan ketidaksukaan. Persetan! Karena tidak ingin berpapasan dengan muka-muka yang ia benci seperti itu. Kurdi mengambil keputusan meninggalkan jalan besar. Sebenarnya dengan mudah ia mengikuti jalan utama desa. Jalannya lebar, halus dan rata meskipun tidak diaspal dan agak becek di sana sini bekas hujan. Tetapi, sekali lagi dan senantiasa selalu begitu, ia pastilah akan berpapasan dengan penduduk yang tidak akan melepaskan perhatian mereka pada dirinya, sahabat-sahabatnya, kuda dan anjing yang setia itu, serta terutama peti mati di bak belakang kereta. Tidak, ia tidak suka pandangan mereka, seperti mereka juga tidak suka memandangnya. Ia ambil jalan memintas. Berlubang-lubang, permukaannya seperti habis dilanda gempa, ditumbuhi onak dan duri, melalui semak belukar, anak-anak sungai bahkan air sungai yang sedang meluap, tanpa ada jembatan diatasnya di mana ia bisa melaju dengan santai. Ia menyukai jalan memintas yang buruk serta menyiksa itu. Dengan demikian, ia bisa menghindari penduduk, menghindari pandangan-pandangan tidak suka serta menjijikkan itu. Mungkin ia akan tiba lebih lama dibanding dengan bila ia menempuh jalan utama, tetapi ia tidak perduli. Soal waktu, adakalanya menentukan, adakalanya boleh diabaikan. Menunggui jenazah, waktu Kurdi terbatas. Tetapi membawa jenazah untuk dikuburkan di tempat yang semestinya, ia tidak perlu tergesa-gesa. Pokoknya sampai di tempat tujuan. Maklum akan kebiasaan tuannya, kuda penarik yang gagah itu terus berpacu tanpa kenal lelah, diikuti oleh anjing besar berkulit hitam legam dengan matanya yang hijau kemerah-merahan itu tidak sekalipun meredup kecapaian. Ternak-ternak yang sedang merumput tak jauh dari kampung demi kampung yang mereka lewati, terpaku diam memperhatikan makhluk-makhluk asing itu lewat.



Binatang-binatang hutan menjauhkan diri. Ada pengaruh aneh keluar dari sorot mata sahabat-sahabat Kurdi yang mentakjubkan itu, terhadap binatang lain. Pengaruh yang jangankan makhluk-makhluk sejenis, bahkan manusia yang sempat melihatnya pun tidak akan pernah tahu, apa... Hanya Kurdi yang tahu. Karena yang memberi makan anjing itu dengan bangkai ayam yang telah ia jampe. Ia yang memberi kuda itu memamah bulu-bulu ayam yang telah diludahi. Terutama karena sebelum meninggal, ayahnya telah mengamanatkan: "Makhluk-makhluk ini warisan turun temurun. Apa yang kuberikan pada mereka, adalah apa yang diberikan ayahku pada mereka, atau moyangku pada mereka. Kau pun harus memberikan itu pada mereka...." Warisan turun temurun! Dan satu-satunya yang tidak diketahui Kurdi, sudah berapa puluh atau ratus tahunkah umur kedua ekor makhluk itu. Anjing dan kuda itu telah sebesar sekarang, ketika Kurdi dilahirkan, dan kemudian menjadi sahabat-sahabatnya, ketika ia menangisi mayat ibunya yang meninggal waktu ia masih bocah ingusan. Anjing dan kuda itu juga yang menemaninya, ketika ayahnya mati meninggalkan pesan: "Kita mewarisi kutuk yang ditimpakan pada nenek moyang kita, anakku. Kau ditakdirkan jadi penunggu jenazah seperti juga telah ditakdirkan padaku, pada kakekmu, pada moyangmu. Takdir kedua yang harus kau jalani: membujang seumur hidupnya, atau isterimu mati ketika kau masih sayang-sayangnya padanya, ketika anak-anakmu masih memerlukan bimbingannya. Tetapi moyangmu manusia biasa. Kakekmu manusia biasa. Aku pun manusia biasa. Sebagai manusia, moyangmu, kakekmu, ayahmu ini, merindukan teman untuk bersenda, teman untuk bercumbu. Karena itu, anakku. Sebagai manusia, aku tahu suatu ketika kau akan berusaha menolak takdir. Sebelum kau melakukan itu, anakku, ingatlah, suatu ketika kau akan kehilangan orang yang paling kau sayangi dan cintai di dunia ini. Kau akan sendirian kembali. Kesepian kembali. Tak ada yang melindungimu. Tak ada yang mengasihimu.



Hanya dirimu sendiri, anakku. Dirimu sendiri...!" Lalu ayahnya mati. Dan Kurdi tidak ingin menolak takdir itu. Ia masuk ke kamar tempat selama ini ayahnya bersemedi, kakeknya bersemedi, dan moyangnya bersemedi. Ia bakar menyan di dupa. Ia tebarkan ramu-ramu kembang di atas tikar yang ia duduki. Lalu ia bersimpuh, menyembah tengkorak yang tidak pernah ia tahu milik siapa tetapi ia tahu telah ada di situ semenjak ia lahir ke dunia ini. Kemudian menghaturkan sumpah: "Kuikuti takdirku, suatu ketika aku akan mati. Kutolak takdir, aku pun mati, tetapi orang lain akan ikut mati. Karena itu, aku tak mau orang lain ikut mati karena aku. Biarlah aku mati dalam kesepianku, dalam kesendirianku. Kuterima takdirmu!" Ia kemudian menyembelih seekor ayam jaman berbulu putih, berparuh putih, bertaji putih. Darahnya ia masukkan ke dalam rongga telinga tengkorak, mengalir di antara kedua baris gigi benda itu, membasahi tikar yang kemudian ia jilati dengan jijik, dan lama kelamaan dengan bernafsu. Bulu-bulu ayam itu ia ludahi, demikian pula bangkainya, yang kemudian ia berikan sebagai santapan sahabatnya yang misterius itu. Ayam putih itulah, satu-satunya makhluk yang pernah dibunuh Kurdi, sepanjang hidupnya ia biarkan ular menyelinap di semak belukar, biarpun kakinya telah dipatuk. Ia biarkan nyamuk menggigit kulit, biarpun itu berarti darah terhisap dari tubuh serta kulitnya menjadi gatal-gatal. Bahkan ia biarkan seekor kijang melarikan diri meskipun sudah terperangkap di dalam rumah dan ia sudah teramat lapar serta ingin mengunyah daging. Dengan sabar ia bersemedi di bawah pohon-pohon, menunggu buahnya jatuh untuk dimakan. Dengan sabar, ia menanti kabar seseorang telah mati, menunggu ada orang mengirim darah bangkai ayam. Godaan paling dahsyat yang hampir-hampir tidak bisa ia lewatkan, adalah kehadiran seorang perempuan. Mira nama perempuan itu. semasih kecil, Kurdi sesekali bermain ke tengah kampung meskipun dilarang ayahnya. Penduduk di mana ia datang, menjauhi bahkan sering mengusirnya. Tetapi tidak Mira. Gadis kecil itu sering mengantarkan makanan



untuknya tanpa setahu orang-tuanya. Mereka selalu bertemu diam-diam, bermain diam-diam, bercinta pula, dengan diam-diam, sampai tiba-tiba ayah Kurdi mati, dan ia harus melepaskan Mira untuk diboyong oleh lelaki lain. Ia tahu betul. Mira tidak pernah mencintai laki-laki itu, ia hanya mencintai Kurdi, melebihi cintanya kepada orangtuanya sendiri. Hanya karena Kurdi ingat pada kutuk yang menimpa keluarganya, ia kemudian rela melepaskan Mira untuk dijamah laki-laki lain. Mira kemudian kawin dengan laki-laki lain itu. Tetapi kekasih Kurdi yang malang itu, tidak bisa melepaskan kenang-kenangan manisnya dengan laki-laki yang ia cintai. Pada saat suaminya menjamah tubuhnya, ia merasa jijik, marah, benci, sakit hati. Ia merasa orang telah menodai tubuhnya. menodai jiwanya. Ia merasa ia telah menodai cintanya. Mira putus asa, melarikan diri dari rumah. Kemudian terjun ke sungai yang sedang meluap oleh banjir. Alam dan cinta mereka yang tulus jualah yang mempertemukan Kurdi dengan mayat Mira yang terdampar di muara. Sebelum mayat itu disambar buaya, Kurdi yang panik mengikuti arus sungai setelah mendengar Mira bunuh diri, cepat-cepat menariknya ke pinggir. Ia tangisi kekasihnya. Ia peluk dan cium kekasihnya. Ketika itulah, sebuah naluri yang ganjil merasuk dalam diri Kurdi. Ia tidak saja menangisi, memeluk, menciumi tubuh Mira yang telah menjadi mayat itu. Ia kemudian melakukan apa yang pernah ia ingin lakukan bersama kekasihnya namun telah jadi mayat itu, ia gauli. Mula-mula dengan segenap rasa cinta serta dendam rindu, namun lama kelamaan semata mata karena didorong birahi. Tetapi dari hari ke hari, mayat Mira mengalami proses alami. Mira mulai membusuk, kemudian daging di seluruh tubuh perempuan itu mulai dimakan ulat. Betapa pedihnya hati Kurdi, karena ia tidak boleh membunuh ulat-ulat yang telah merusak keindahan tubuh kekasihnya. Ia biarkan ulat itu melampiaskan nafsu biadabnya, ditemani oleh cacing tanah, binatang melata, sampai Mira tinggal tulang-tulang berserakan belaka dan dengan sudut-sudut mata yang basah, Kurdi melemparkan tulang belulang Mira kembali ke tengah sungai, seraya bergumam lirih:



"Selamat jalan, kekasihku. Pergilah, ke mana kau ingin pergi. Kurelakan kau kini...." Bahkan hanya dengan bercinta... tanpa pernah menikah... orang yang paling disayangi pun harus mati! *** Roda kereta beradu dengan batu besar, membuat peti mati di bak belokan bergerak dengan suara berisik. Kurdi menoleh. Hari telah mulai senja ketika itu, dan samar-samar ia lihat tubuh peti mati agak tersingkap, ia melihat paha mayat itu tersembul. Mulus, putih dan halus. Kurdi menelan ludah. Birahinya datang tibatiba. Kereta segera ia hentikan. Kudanya mendengus kesenangan. *** Setelah mengganjal bagian depan kereta pakai sepotong kayu agar posisi bak belakang tetap rata, Kurdi membiarkan kudanya menjauh ke semak belukar, mencari rumput-rumput segar. Kurdi menggeliat, mengendurkan otot-ototnya yang kejang. Rintihan anjing di dekat kakinya membuat ia tersenyum. "Kau cemburu lagi!" berengut Kurdi. "Kalalu tak suka, kau boleh menghindar, sahabatku yang baik..." Anjing itu mengibas-ngibaskan ekor, lalu menjilati kaki Kurdi yang telanjang setelah mana kemudian berlari-lari kecil, menjauh ke tempat di mana tadi kuda penarik kereta menghilang di balik semak belukar diantara pohon-pohon raksasa yang menjulang menjangkau langit. Sesaat Kurdi menghirup udara senja yang segar. Ia menatap ke arah bukit di balik bayangan pepohonan. Bukit itu berwarna kelabu, berpeluk sisa-sisa kehangatan matahari yang baru saja kembali ke peraduan. Angin berhembus sepoi-sepoi basah, membuat mata Kurdi terasa berat. "Hem," pikirnya. "Malam belum jatuh." Lalu ia duduk dengan merebahkan punggung ke roda kereta. Dalam sekejap, matanya telah rapat, dan dengkur yang keras lepas dari hidungnya. Rupanya ia tidak kuat menahan kantuk dan tidak berwaspada. Kurdi baru tersentak



bangun waktu kudan ya mendengus dengan keras, dan anjingnya melolong tinggi, mengalun tanpa irama, memecah kesepian di sekeliling mereka, menusuk-nusuk sampai sumsum Kurdi. Tersentak, ia bangkit berdiri. Bulan mengintai di sepenggalahan langit, diantara rimbunan dedaunan. Awas, mata Kurdi tajam memandang ke sekitanya. Tak ada apa-apa, kecuali kegelapan bayangan pepohonan dan dedaunan yang menimbulkan bercak bercak hitam di atas rerumputan. Dari balik semak belukar, dengus kuda itu terdengar lagi, disambut oleh lolong anjing yang lirih. Kurdi melirik ke atas bak kereta. Peti mati itu masih terletak di sana. Dan waktu ia meloncat naik, mayat Nyi Ijah pun masih terbaring di dalam, tutup peti yang sedikit terbuka menyingkap kain yang menutupi paha perempuan itu. Warna putih yang mulus itu, tampak samar-samar. Kurdi menelan ludah, tubuhnya menggigil sesaat. Semenjak ia menyetubuhi mayat kekasihnya, Kurdi selalu bergairah tiap kali melihat tubuh mayat yang lain. Perempuan, tentu, muda. Baru beranak satu. Banyak darahnya yang keluar waktu melahirkan anaknya yang kemudian mati itu, akan tetapi bentuk tubuhnya tidak terpengaruh karenanya. Kurdi telah melihatnya. Bahkan telah menjamahnya, tadi malam. Kini, hasrat untuk menjamah mayat itu, kembali bergolak. Tutup peti mati ia geser sampai lepas, kemudian ia letakkan di samping. Tubuh Nyi Ijah jelas-jelas kini terbaring di hadapannya. Menantang. Kurdi menelan ludah untuk kesekian kalinya, lalu tengadah menatap rembulan. Ia kumat kamit membaca mantera, setelah mana kemudian ia keluarkan pisau lipat dari saku kemeja. Mentera-mentera yang keluar dari mulutnya kian keras, kian cepat, hampir-hampir tanpa aturan, diiringi oleh gerakan-gerakan tubuhnya yang bergoyang keras, ke kiri dan ke kanan. "Kembalilah, roh yang telah pergi. Hangatilah jasadmu yang terbaring ini!" tiba-tiba ia berseru tertahan. Lalu, "jres," urat nadi lengan kirinya ia sayat. Dari lengan kirinya itu, luka segera menganga, darah mengucur jatuh langsung di arah jantung mayat Nyi Ijah. Angin tiba-tiba berhembus keras. Ada suara orang menangis. Suara perempuan. Lirih, seperti



sedang sakit hati, lalu tubuh perempuan di dalam peti mati tersentak-sentak, tak ubahnya orang yang terkejut di kala tidur tetapi tidak dapat bangun untuk melepaskan diri dari kejutan-kejutan yang menyiksa itu. Dari semak belukar, terdengar kuda meringkik berkali-kali, sahut bersahut dengan lolongan anjing yang lengking dan nyaring. Jidat Kurdi basah oleh peluh ketika ia tutup lengan kirinya yang luka dengan helai daun kelapa kering yang telah dilemaskan dan selalu sudah tersedia di saku kemejanya. Setelah membalut lengan kirinya dengan pelepah daun kelapa, ia kemudian mengikatnya erat-erat mempergunakan tali pelepah pisang. Mulutnya berhenti kumat kamit, dan matanya yang terpejam sementara membaca mantera, kini terbuka. Nyalang. Ia menyeringai waktu memperhatikan gerakan-gerakan halus di dada Nyi Ijah yang menggelembung padat. Tanpa sadar, lidah Kurdi membasahi bibirnya yang kering. Ia kemudian masuk ke dalam peti mati. Kedua kakinya rapat diantara kedua kaki Nyi Ijah. Dengan gerakan tidak sabar ia lepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya, kemudian merebahkan diri di atas tubuh Nyi Ijah. Dari balik semak belukar, anjing dan kuda itu memperhatikan dengan dua pasang mata mereka yang bersinar-sinar menembus kegelapan malam. Binatang-binatang itu melihat peti mati di bak kereta, bergerak-gerak liar. Binatang-binatang itu kembali memperdengarkan suara, sahut bersahut, sampai tak lama kemudian peti mati diatas bak kereta tiba-tiba tidak bergerak, dan angin pun seperti berhenti berhembus. Tau-tau saja, Kurdi telah meloncat berdiri dari peti mati, seraya mengenakan pakaiannya buru buru. ".... Siapa kau?" tanyanya, keras dan lirih. Anjing dan kuda di balik semak belukar, memandang tajam ke sesosok bayang-bayang yang keluar dari kegelapan, tak jauh dari kereta. Tampaknya seperti sebatang pohon tua yang buntung dengan akar-akar mencakar kian ke mari, merayap di antara pepohonan. Kurdi melihat munculnya sosok hitam itu. Persis bayangan asing itu berada di tempat terbuka sehingga wujudnya bersiram



cahaya rembulan, segera Kurdi mengenalinya. "Ki Sanca!" ia mendengus. Anjing dan kuda di balik semak belukar, ikut puIa mendengus. Ki Sanca menolehkan wajahnya yang tanpa hidung serta kedua belah tulang pipinya menganga oleh bekas luka, ke arah semak belukar. Ia meludah, jijik, acuh tak acuh pada sahabat-sahabat Kurdi, dan lebih mementingkan berhadapan muka dengan si penunggu jenazah yang kini sudah meluncur turun dari kereta. Suara sengau yang berat. keluar dari mulut Ki Sanca: "... jadi, kau ternyata manusia yang lebih busuk dari aku!" Kalaulah waktu itu siang, Ki Sanca akan melihat bagaimana kulit muka Kurdi merah padam sampai ke daun daun telinganya, sekujur tubuhnya gemetar marah dan malu luar biasa. Seseorang telah mengetahui rahasianya, itu tidak boleh terjadi. Kalau sampai terjadi, tidak akan ada lagi penduduk yang datang untuk minta tolong. Tidak akan ada lagi mayat-mayat yang harus ia tunggui. Tidak akan ada lagi sesajen-sesajen dari orang-orang yang membutuhkan bantuannya menunggui mayat sanak keluarga mereka. Bahkan, penduduk kemudian akan beramai-ramai mencarinya. Beramai-ramai membunuhnya. Barangkali juga, mereka tidak berani turun tangan. Takut, itu pun tidak berarti, Kurdi akan terlepas dari siksaan. Tidak ada lagi darah-darah sesajen untuk memuaskan nafsu lapar serta dahaga. Tidak ada bangkai untuk disantap sahabat sahabatnya. Tidak ada mayat perempuan untuk... Kurdi mungkin bisa menggali kuburan-kuburan, mencari mayat-mayat yang ia kehendaki. Tetapi ia tidak menyukai pekerjaan itu. Dan di dalam kuburan-kuburan yang ia gali, tidak ada darah sesajen. Tidak ada bangkai untuk sesajen. "Terkutuk! Haram jadah! Setan hina dina!" ia menyumpah serapah. Ki Sanca tertawa. Bergelak. Ia melangkah lebih dekat. Gerakannya pincang. Ia menyeret sebelah kakinya. "... kau telah membuatku jadi manusia yang tidak sempurna wujudnya," ia balas menyumpah.



"Perbuatanmu tidak akan kubiarkan, Kurdi. Kau harus mengalami bagaimana sakit dan menderitanya jadi laki-laki yang tidak punya hidung, laki-laki yang punya pipi rusak menakutkan, laki-laki yang tergantung gantung tanpa tenaga dari kaki-kakinya. Sesudah itu, aku akan membuatmu malu. Membuatmu tersiksa, dengan apa yang kusaksikan barusan..." "Hem. Hem." Ki Sanca menyeringai lebar. "Sudah kesampaiankah hajatmu pada tubuh mayat itu. Kalau belum, kau boleh meneruskan. Siapa tahu, aku bukannya jijik dan mau muntah, tetapi ikut pula bergairah..." Lantas ia tertawa. Terkekeh-kekeh. "Bangsat!" maki Kurdi. "Kita sama-sama bangsat. Aku membangsati orang hidup, dan kau membangsati orang mati. Jadi, tak usah kau tamatkan kata-kata terpuji itu kepadaku, karena bisa-bisa kembali ke alamat si pengirim!" "Mau apa kau?" Kurdi berusaha menyabarkan diri. "Sudah kukatakan tadi. Membalas perbuatanmu, setelah itu...." "Jadah. Kau tak akan bisa menjamahku!" "Tidak! Kau laki-laki. Tetapi, aku juga laki-laki, bukan?" "Jangan coba!" "Justru aku ingin...." "Kubunuh kau!" "Kau tak akan! Setahu yang kudengar, kau tak akan membunuh, apalagi melukai makhluk apapun di dunia ini. Kalau kau lakukan, matamu akan buta, otot-otot tubuhmu akan berhenti bekerja, dan otakmu akan membatu di kepalamu. Kau akan tersiksa detik demi detik, sampai maut menggerogoti tubuhmu. Atau kalau tak salah pula, sampai binatang-binatang peliharaanmu, mengoyak-ngoyak kemudian mengunyah-ngunyah jasadmu. Betulkah itu?" Kurdi menggigil.



"Kau tahu banyak," desisnya. "Tetapi kau pun tentu tahu aku bisa membunuhmu, tanpa menurunkan tangan..." Kembali Ki Sanca melepas tawa mengekeh. Ia tampaknya amat senang, sehingga ia terbungkuk bungkuk oleh kesenangan serta tawanya yang tidak berhenti-henti. Mungkin air matanya sampai jatuh bercucuran, karena ketika ia kemudian berhenti tertawa lantas tengadah menatap lawannya, kedua belah pipinya yang rusak mengerikan itu, berkilat-kilat oleh butir-butir air. Ia terengah-engah waktu mengejek: "Kau akan menggunakan kekuatan bathinmu, bukan" Kau lupa, Kurdi. Bathinku akan melawanmu. Dan kalau bathinku kalah, serta aku sampai terbunuh karenanya, maka itu pun, berarti kau telah membunuhku juga, jadi, kau tak akan menggunakan ilmumu yang terkutuk. Aku" ia tertawa lagi, bergelak, kemudian melanjutkan dengan suara rendah dan tajam. "Aku bebas mempergunakan senjata apa saja yang kumaui. Ilmu yang meresap dalam di bathinku, dan ini..." Ia mencabut sebuah golok dari balik kemejanya. "Dengan ilmuku aku akan membuat kau tidak berdaya. Dengan golokku, aku akan mengeluarkan hidung, mencercah pipi, membuntungkan kakimu...." Habis berkata begitu, ia tengadah menatap bulan. Dari mulutnya lepas rintihan sengau. Kurdi pucat pasi seketika. Tanpa mengerahkan kekuatan ilmunya, orang tua yang menakutkan itu dengan mudah akan menaklukkan Kurdi. Sementara Ki Sanca kumat kamit membaca mantera dan meludah kian kemari seperti orang yang punya persediaan berember-ember. Lendir busuk di mulutnya, Kurdi mulai panik. Ia terumbang-ambing oleh dua pilihan. Turun tangan langsung, dan ia yakin ia bisa mengalahkan musuhnya... atau membiarkan dirinya dicacah Ki Sanca. Kedua alternatip itu akan berakibat sama. Turun tangan, ia akan mati tersiksa. Tidak turun tangan, juga akan lebih tersiksa. Kurdi sudah lama ingin mati, terutama semenjak ia ditinggal mati oleh Mira. Tetapi kematian itu tidak pernah datang dengan sendirinya.



Kini, kematian itu muncul didepan mata. Kematian yang menyiksa. Ia ingin mati, tetapi juga ia ingin tidak tersiksa menjelang kematiannya. Pada saat Kurdi bimbang oleh kepanikannya, sekonyong-konyong semak belukar di belakang Ki Sanca, terkuak. Dari kegelapan, muncul dua sosok makhluk hitam dengan mata yang berkilat-kilat. Buas dan mengerikan. Terdengar dengus marah yang aneh. Lalu salah satu dari makhluk itu yang terkecil, tahu tahu telah terbang di udara. Gerakan makhluk hitam yang menerpa dengan sekonyong-konyong itu seketika membuat konsentrasi Ki Sanca menjadi buyar. Suara aneh disertai desir angin menyentuh selaput telinganya yang peka. Dengan melupakan sama sekali tujuan utamanya untuk melumpuhkan kekuatan ilmu Kurdi, laki-laki setengah umur yang sebelah kakinya hampir lumpuh itu masih sempat mengelak dengan gesit. Sedikit memiringkan bahu, bayangan makhluk hitam itu meluncur melewati tubuhnya dan jatuh bergulingan di tanah yang berbatu. Terdengar suara menggeram marah bersamaan waktunya mahluk itu kembali berdiri di atas keempat kaki-kakinya yang kukuh. "Anjing hina dina!" maki Ki Sanca, lantas mengamang amangkan golok. "Ayo, maju lagi kalau kau mampu!" Sepasang mata anjing milik Kurdi yang setia itu, bernyala-nyala dengan hebat. Hijau kemerah merahan, seakan ingin membakar kegelapan malam yang mencekam itu. Tiba-tiba kedua kaki depannya menekuk. Dari moncongnya yang menganga lepas geram dahsyat yang sesaat membuat jantung Ki Sanca menciut. Nalurinya segera menyadari, bahwa yang ia dengar bukan geraman seekor anjing biasa. Dan tatapan sepasang mata berwarna ganjil itu menguatkan dugaannya. Dengan waspada ia mundur beberapa langkah sambil menyilangkan golok di depan tubuh. Lalu, dengan sebuah loncatan yang hampir-hampir tidak kelihatan saking cepatnya, anjing besar dan hitam itu tau-tau telah meluncur sekali lagi di udara.



Moncongnya menjurus langsung ke arah leher Ki Sanca. Dukun yang sedang dimakan rasa dendam itu cepat cepat mengayunkan golok.



Meleset. "Celaka!" cetusnya, terkesiap. Ia berusaha menghindar. Malang baginya, gerakan makhluk yang dahsyat itu tak ubahnya terror yang tidak kenal ampun. Moncongnya gagal menyambar leher Ki Sanca, namun tidak urung kuku-kuku kakinya yang tajam menggurat batang leher dan sebelah pipi Ki Sanca. Luka di pipi yang belum sembuh itu menganga kembali, mengeluarkan darah. Ki Sanca meringis sambil memutar tubuh dan mengatur posisi untuk menghadapi serangan berikut dari lawannya. Namun, makhluk yang diwarisi Kurdi turun temurun itu memperlihatkan dirinya bukan sembarang binatang, bukan anjing yang gampang dipecundangi. Begitu kakinya menjejak di tanah ia telah berputar dan kali ini tanpa pasang ancang-ancang langsung menyerang. Mengira serangan ketiga itu ditujukan kepada lehernya sebagaimana kebiasaan anjing yang sedang dilanda nafsu ingin membunuh, Ki Sanca kembali menyilangkan golok di depan muka, seraya sebelah tangan yang bebas berusaha menyambar tubuh makhluk itu sedapat-dapatnya. Ternyata dugaan Ki Sanca keliru. Serangan anjing itu justru ditujukan ke kaki Ki Sanca. Laki-laki itu tiba-tiba merasakan daging betisnya bagai ditusuk dengan sembilu, kemudian dicapit oleh gegep yang tajam, seterusnya daging betisnya itu terenggut lepas disertai perasaan sakit yang alang kepalang. Saking sakitnya, Ki Sanca menjerit marah:



"Kubunuh kau! Kubunuh kau, anjing buduk!" Sambil menjerit-jerit dan menyumpah serapah, kakinya yang utuh menyepak-nyepak dengan membabi-buta. Gerakan reflek yang tidak diperhitungkan itu rupanya menolong. Salah satu tendangannya mengenai perut anjing Kurdi yang baru saja mau menerkam untuk kesekian kalinya. Anjing itu mengaing seketika, berusaha mundur, tetapi tendangan berikutnya membuat tubuhnya yang besar dan kokoh terkumbalang dengan dahsyat, melayang di udara kemudian membentur pohon. Sempat merapalkan beberapa ajian yang ia miliki, karena sadar bahwa anjing yang ia hadapi tidak bisa



dianggap sepele. Kurdi yang dari tadi terpaku diam dalam kepanikannya, ketika melihat sahabatnya yang setia muncul pada waktu yang tepat, sempat merasa lega. Lebih-lebih setelah Ki Sanca ia lihat jadi repot bahkan terluka kakinya. Barangkali kaki yang terseret-seret itu kini benar-benar sudah lumpuh. Namun kakinya yang masih utuh ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa pula. Sekali sepak, anjingnya sudah mengaing, dan sepakan berikutnya anjingnya sudah terhantar setelah membentur batang pohon. Kelegaan Kurdi lenyap seketika, dan kepanikan muncul kembali pada dadanya. Apa yang harus ia lakukan" Melawan" Berarti ia akan hidup tersiksa, karena ia harus melumpuhkan Ki Sanca dan membunuhnya sekaligus demi nama baik dan pekerjaannya. Berdiam diri saja, dan menerima sambaran golok Ki Sanca begitu saja, juga tetap merupakan kematian yang tersiksa. Ia sadar Ki Sanca akan melaksanakan dendamnya untuk melukai sebelah kaki Kurdi sampai lumpuh kemudian merusak wajahnya sampai cacat menakutkan, dan Kurdi akan tidak bisa bekerja, kalaupun bisa, orang orang yang sudah takut akan semakin takut lagi padanya, bahkan mungkin tidak mau lagi meminta bantuannya. Hilanglah kesempatan untuk memperoleh sesajen-sesajen yang bisa meneruskan kelanjutan hidupnya. Selagi Kurdi masih belum bisa menentukan alternatip mana yang harus ia pilih, dengan menyeret sebelah kakinya Ki Sanca telah berada satu langkah di depan Kurdi. Di dalam jilatan cahaya rembulan yang samar samar, dari sepasang matanya terpancar keluar sinar kebuasan dan dendam yang menyala-nyala. "Rasakanlah sekarang!" teriak Ki Sanca. Goloknya melayang. Langsung ke wajah Kurdi. Kurdi terkesiap, tetapi sempat mengelak mundur. Tampaknya Ki Sanca benar-benar sangat bernafsu melaksanakan niatnya. Kurdi tidak melihat jalan lain, kecuali melawan. Dalam hatinya, ia bertekad untuk melakukan perlawanan yang sehebat-hebatnya, sehingga Ki Sanca tidak hanya akan merusak wajah atau memotong kakinya, akan tetapi didorong oleh dendam dan



nafsu amarahnya, akan membunuh Kurdi sekaligus. Itu merupakan angan-angan yang paling manis untuk bisa diharap dalam keadaan segawat itu, dan Kurdi akan terlepas dari tekanan jiwa yang menghantui dirinya selama ini. Menunggui jenazah orang lain, melahap darah yang mengalir dari tengkorak manusia di kamar semedi, menzinahi mayat-mayat. "Hem!" ia menggeram. "Apa boleh buat!" Ia kumat kamit membaca ajian-ajian yang ia miliki. Tubuhnya tergoncang dengan hebat, seluruh darah di tubuh itu naik ke kepala, membakarnya menghanguskan segenap kesukaran, lalu dengan mata merah bersinar-sinar ia tegak menunggu datangnya serangan lawan! Namun serangan itu tidak pernah tiba. Ketika Kurdi membaca ajiannya, Ki Sanca mempergunakan kesempatan yang hanya beberapa detik itu untuk membacokkan golok. Ia sama sekali tidak melihat bahkan tidak mendengar bagaimana sesosok makhluk lain yang jauh lebih besar dan lebih kuat dari anjing yang sedang berusaha bangkit dari tanah, berlari dari semak belukar. Sebuah ringkikan yang keras memecah kesepian malam. Disusul oleh hantaman dahsyat yang menerpa punggung Ki Sanca. Ia terjerembab jatuh seketika. Goloknya terlepas, menghunjam di tanah tak jauh dari kepalanya. Masih untung, tidak jatuh menimpa kepalanya sendiri sehingga bisa-bisa senjata makan tuan. Kaget dan panik, ia menggulingkan tubuh lalu berusaha berdiri dengan susah payah. Namun hantaman yang mirip palu godam menimpa itu, telah mematahkan beberapa tulang-tulang di tubuhnya, ia menggeliat, meliuk dan kemudian jatuh kembali. Makhluk ganas itu meringkik sekali lagi, maju pula sekali lagi. Kedua kaki depannya terangkat tinggi di udara. Ki Sanca terbeliak, terpana oleh bayangan tubuh yang nampaknya seperti raksasa sebesar gunung yang siap terjun ke bawah. "... jangan!" ia mengerang lirih. "Jangan!" Tetapi kaki-kaki kuda itu telah terhunjam jatuh. Tak ubahnya batang pohon yang dipacakkan ke tubuh Ki Sanca. Salah satu hunjaman kaki itu menghancurkan



dadanya, dan yang satu lagi hanya seinci melewati pinggangnya. Ki Sanca menjerit histeris menggelepar gelepar liar, sambil matanya tidak beranjak dari kuda yang berdiri di atas keempat kaki-kakinya yang kukuh, memandang musuhnya dengan tatapan yang mengerikan. Kejadian itu pun tidak lepas dari perhatian Kurdi. Ia terpesona, dan jantungnya seperti luluh melihat nasib apa yang menimpa diri Ki Sanca. Ia tahu, sahabat sahabatnya ingin menolongnya dari bahaya maut, melepaskan dirinya dari kesulitan yang menggerogoti jiwa. Akan tetapi, sama sekali tidak ia nyana, akan begitu buasnya makhluk-makhluk yang selama ini belum pernah ia lihat membunuh makhluk lain apalagi membunuh manusia. Kurdi tegang kaku menyaksikan kebuasan binatang-binatang kesayangannya, tak kuasa berkata apa-apa. Lidahnya kelu. Kelu sekali. Rasanya, tubuhnya yang dihantam kaki-kaki yang kukuh itu, bukan tubuh Ki Sanca. "... Kurdi!" Kurdi tersentak. Ia menoleh ke arah Ki Sanca yang sudah berhenti menggelepar. Dalam kegelapan malam, tampak mata laki-laki malang itu menatap langsung ke mata Kurdi. Tajam. Menusuk. Api dendam bersinar-sinar dari kilatan matanya. Hanya itu sajalah yang bisa ia lakukan kini. Berbaring diam, menahan azab yang menyiksa, namun masih mampu untuk menumpahkan dendam kesumatnya. "Aku akan mati!" rintih Ki Sanca "Tertawalah, Kurdi. Tertawalah melihat kematianku yang mengerikan ini. Tetapi rohku akan bangkit. Kau bisa menahan roh orang-orang lain, tetapi tidak rohku. Aku akan bangkit, Kurdi... untuk melaksanakan... dendamku. Aku akan menyiksa engkau... membangkitkan roh-roh orang orang yang pernah sakit hati padamu, pernah... berniat balas dendam atas perbuatanmu...."



Ia mengerang kesakitan sesaat, lalu melanjutkan: "Darahku, Kurdi... darahku yang mengalir... akan menjelmakan roh-roh mereka di sekitarmu... di depan biji matamu... sehingga... sahabat-sahabatmu yang terkutuk itu, akan mati di tanganmu. Aku bersumpah!" Sehabis berkata begitu, kepalanya terkulai. Andaikata matanya ikut terpejam oleh kematian, Kurdi tidak akan tergoncang. Tetapi sepasang mata itu, terbelalak liar dan langsung menatap ke mata Kurdi. Mata yang sudah tidak bersinar lagi. Mati. Namun pengaruhnya, terasa sampai ke sumsum. Kurdi tidak tahan, memalingkan muka, kemudian berjongkok. Beban berat di selangkangannya lepas tanpa bisa ia tahan. Ia terkencing di tempat itu juga. Entah beberapa lama ia dalam keadaan shock. Kurdi tidak tahu, dan tidak mau tahu. Ia baru bangkit, setelah warna subuh yang temaram muncul dari balik bukit di kejauhan. Angin dingin menerpa tubuhnya. Ia menggigil, dengan gigi yang gemeletuk. Erangan halus menggerakkan kepalanya. Ia lihat anjingnya yang setia... dan tidak akan ia lupakan kebuasannya... meringkuk didekat roda kereta. Waktu Kurdi bangkit, anjing itu melolong lirih. Tampaknya makhluk bersinar mata ganjil itu telah lepas dari sakit yang menerpa tubuhnya oleh tendangan Ki Sanca. Kurdi menarik nafas. Gersang di udara yang lembab. Embun mulai naik, mengapur di udara. Kuda penarik kereta yang tidak beranjak dari samping mayat Ki Sanca semenjak manusia yang malang itu menerima nasibnya, mendengus perlahan, kemudian meringkik tertahan, seolah-olah berusaha menyambut datangnya pagi dengan pikiran yang masih kalut. Kuda itu memperhatikan tuannya dengan diam-diam, dan Kurdi menyadari kalau ia diperhatikan. Ia tidak ingin membalas pandangan kuda itu. Karena, betapapun, sahabatnya yang juga setia ini, telah melakukan suatu pekerjaan yang paling mengerikan dari segala macam kejadian-kejadian buruk yang selama ini pernah dilihat oleh Kurdi. Selama beberapa saat, ia masih termangu-mangu memikirkan kejadian itu. Akan diapakan mayat Ki



Sanca" Betapa rusak dan porak porandanya tubuh laki-laki itu. Tentulah rohnya teramat penasaran. Lebih dari apapun di dunia ini. Penasaran Kurdi menggigil lagi. Selama ini ia bertugas menunggui orang-orang mati yang diperkirakan rohnya penasaran. Tadi malam pun ia melakukan hal yang sama. Bedanya, kali ini terpaksa. Tanpa ada yang meminta. Tanpa ada sesajen. Ia punya persediaan menyan di kantong. Bunga-bunga rampai banyak terdapat di sekeliling tempat itu, tetapi semua itu tidak berguna. Sumpah Ki Sanca sebelum kematiannya, tergurat dalam di benak Kurdi. Diam diam ia mengakui rasa takut yang mengaliri seluruh pembuluh darahnya. Roh Ki Sanca, tidak akan mudah ditaklukkan. Hem. Jadi, ia akan membangkitkan roh-roh orang yang pernah dibuat sakit hati oleh Kurdi.



"Jadah!" maki Kurdi. "Aku tak sudi mengingat-ingat itu!" Lalu ia menghardik pada sahabat-sahabatnya! Ia kemudian menutupkan peti mati yang menganga terbuka semenjak tadi malam. Kurdi tidak berselera lagi untuk memperhatikan tubuh mayat perempuan di dalam peti mati itu, ketika ia menutupinya. Ia bahkan tidak melihat perubahan di kulit tubuh yang putih mulus serta halus itu. Bulu yang panjang bermunculan disana-sini, banyak sekali bulu-bulu berwarna coklat kehitam-hitaman. Kedua belah tangan Nyi Ijah memanjang. Demikian pula kuku-kukunya. Perubahan yang lebih dahsyat terlihat lebih jelas di wajahnya yang tadinya manis dan penuh daya pesona. Andaikata Kurdi mau memperhatikannya. *** Setelah menghenyakkan punggung yang letih di tempat duduk kereta, Kurdi termangu-mangu memandangi mayat Ki Sanca. Akan dibiarkan sajakah tubuh laki-laki yang sudah tidak berketentuan wujudnya itu terhampar di tanah"



Atau lemparkan ke dalam jurang" Biar tubuh itu remuk atau terpotong potong, berserakan tak dikenali lagi sehingga penduduk yang kebetulan melalui jalanan hutan ini tidak berlari terbirit-birit ketakutan pulang ke rumah untuk kemudian jatuh pingsan atau meriang dan membuat panik di mana-mana. Tetapi ah... buat apa susah-susah menggotong tubuhnya ke pinggir jurang. Sudah saja di sana. Toh nanti burung-burung pemakan bangkai akan membereskannya. Atau binatang binatang hutan lainnya. Mereka tidak perlu banting tulang untuk mendapatkan santapan pagi. Mengingat umurnya, daging-daging tubuh Ki Sanca mungkin agak sedikit liat. Tetapi bagaimanapun, makanan gratis selalu menarik selera... Tetapi ketika kereta sudah berjalan meninggalkan tempat itu, serta hamparan sawah-sawah penduduk mulai tampak hijau keputih-putihan dalam pelukan embun pagi nun dibawah sana, Kurdi berbalik pikir. Alangkah bahagianya penduduk yang hidup di kampung sana. Alangkah bahagianya. Manusia yang bisa menikmati cucuran keringatnya. Mereka bisa meninggalkan sesuatu untuk keturunan mereka kelak. Dan kalau mereka mati, akan ada yang menangisi serta mengurus. Kurdi" Atau Ki Sanca" Benar, mereka juga menikmati hasil cucuran keringat sendiri, meskipun kenikmatannya sangat jauh berbeda dengan orang-orang lain yang tidak perlu memenggal leher anak-anak seperti Ki Sanca atau meretanya. Tetapi apa boleh buat. Ia harus mengejar waktu, setelah itu pulang kembali ke rumah membersihkan peti bekas ditiduri mayat Nyi Ijah lalu tidur di dalamnya setelah lebih dahulu menutupnya. Alangkah menyenangkan tidur dalam peti mati itu. Tidak terdengar suara apapun yang mengganggu. Tak ada cahaya yang masuk. Bahkan udara pun, hampa. Ia bisa tidur tanpa gangguan, bisa memusatkan pernafasan tanpa harus membuat lelah paru-parunya. Sejam dua jam. Atau sehari dua hari. Bahkan ia kuat tidur dalam peti



selama berminggu-minggu, sampai ada orang datang mengetuk pintu rumahnya, dan nalurinya menyuruhnya bangun karena ada yang harus dikerjakan. Di sebuah mata air, Kurdi berhenti. Ia membersihkan golok, tangan dan kakinya yang dikotori tanah. Mulutnya kering, namun ia sama sekali tidak berselera untuk meminum air itu. Apa yang ia makan, apa yang ia minum, hanya darah sesajen. Darah semata-mata. Itu adalah ketentuan yang harus ia jalankan. Kutuk, tepatnya, tanpa mengetahui kapan kutuk itu akan berakhir. Ia hanya tahu ayahnya telah melatih dirinya menjalankan hal itu semenjak ia lahir ke dunia, tanpa sekalipun mengenal apa artinya susu ibu. Itu pula sebabnya Kurdi tidak mungkin menikah dengan Mira. Mira akan heran mengapa Kurdi hanya meminum dan memakan darah. Kalaupun Mira tahu dan mengerti, Mira tak akan tega membiarkan anaknya nanti hidup semata-mata dari meminum darah sesajen pula. Mira akan tersiksa, dan mati menderita, seperti moyang perempuannya. Wajah-wajah curiga menyambut Kurdi ketika ia membawa kereta melewati jalan utama sebuah desa. Mula-mula orang tertarik untuk memperhatikan peti di bak belakang. Anak kecil pun tahu, buat apa peti itu. Meskipun mereka tidak tahu apakah peti itu berisi atau kosong, namun orang-orang yang berpapasan, dengan Kurdi memicingkan mata dengan dahi berkerut, dan beberapa diantaranya menghindari cepat-cepat. Kalau pun ada yang berani untuk mendekat, orang itu segera mundur setelah anjing yang berjalan di samping kereta menaikkan kepala untuk memperlihatkan sinar matanya yang hijau kemerah-merahan, moncong lebar dengan gigi-gigi taring yang runcing serta lidah terjulur keluar berwarna lebih merah lagi. Merah darah. Ia menggoyang-goyangkan ekornya dengan liar, seolah olah memberi isyarat agar orang-orang jangan coba coba mendekat. "Puah!" umpat Kurdi, kemudian meludah ke tanah. Ia terus memacu keretanya. Roda berderak ribut, hampir melabrak seorang anak yang berlari ke jalan untuk mengejar seekor ayam burik, sehingga seorang laki-laki setengah umur terpekik kaget dan



buru-buru menyeret anaknya ke tepi. Namun tak urung lepas caci maki dari mulutnya yang ditempeli tembakau: "Setan! Ngebut! Ia kira kereta reot itu mobil, eh?" Kurdi acuh tak acuh. Selalu begitu. Juga ketika di ujung desa seseorang yang duduk mencangkring dalam lindungan bayang-bayang pohon beringin menyapa: "Tergesa-gesa benar, mau ke mana, Pak?" Sapaan yang ramah itu menarik hati Kurdi. "Biasa. Ada urusan," jawabnya. Jawaban lumrah, sambil membalas anggukan orang tersebut. Namun tiba-tiba hatinya terkesiap. Ia menoleh ke belakang. Orang itu tertawa. Tawa yang tersendat sendat, membuat wajahnya yang rusak tampak mengerikan dengan mata melotot lebar, mengingatkan Kurdi pada seseorang Pilot tertawa, orang itu berdiri lalu bertumpu ke batang pohon. Kakinya pincang sebelah, sementara dari dadanya yang rusak berlumur darah, bersembulan tulang belulang yang patah-patah. "Kaget" Memang akulah ini, kau.... Mengapa tidak turun dari kereta supaya kita berbincang-bincang barang sesaat dua saat?" Kurdi menarik tali kekang kuda seketika. Kaki-kaki depan kuda terangkat tinggi, kemudian menjompak jatuh ke tanah keras, menimbulkan suara berdebuk mirip batang-batang kelapa tumbang dengan dahsyat, kuda meringkik, berdiri dengan gelisah di atas keempat kaki-kakinya yang kukuh, Kurdi hampir saja terlempar dari tempat duduk kereta. Sekali lompat, ia sudah menjejakkan kakinya di tanah. Seraya berseru lantang melontarkan sumpah serapah, ia mendekat ke bawah bayangan pohon beringin besar itu dengan marah. "Sialan kau, Ki Sanca. Kau mau kita selesaikan di sini sekarang, eh?" lantas lupa pada kutuk yang ditimpakan atas dirinya, ia keluarkan golok dari balik kemeja yang langsung ia sambarkan ke tempat di mana tadi ia lihat orang itu berdiri. "Clep!" terdengar suara mata golok menghunjam ke sebuah benda. Bukan lunak semacam leher, tetapi keras. Tangan Kurdi tegang, dengan jari jemari semutan tiba



tiba. Matanya melotot memperhatikan apa yang telah dimakan oleh mata goloknya. Batang pohon beringin. Tidak ada orang. Tidak ada suara apa-apa, kecuali helaan nafasnya sendiri, yang terengah-engah menahan amarah. Di belakangnya, terdengar suara mendengus. Kurdi memutar tubuh dengan cepat seraya menarik goloknya kuat-kuat dari batang pohon. Golok itu lepas, dan ia sudah siap menerima serangan. Tetapi yang berada di hadapannya, hanyalah kereta mayat yang sudah reot itu, serta kuda penarik yang menolehkan kepala kearah Kurdi, memperlihatkan sorot mata tajam dan seperti mencemooh. Ternyata kuda itu yang mendengus. "Jadah!" maki Kurdi perlahan. Ia mengurut dadanya yang sakit. Liar, matanya mencari kian kemari. Tidak ada siapa-siapa. Dari rumah penduduk yang terdekat, ia lihat ada orang memperhatikan. Meskipun jauh, Kurdi bisa menebak pancaran di mata orang tersebut. Seraya angkat bahu, ia naik kembali ke tempat duduk kereta. Menghela nafas berulang kali, kemudian melecut punggung kuda. "Hiyyyaaa...!" Tidak. Ia tidak percaya, bayangan tadi hanyalah kosong semata. Ia yakin ia melihat bayangan Ki Sanca, ia yakin mendengar suaranya pula. Kalau tidak, amarahnya tidak akan begitu meluap sehingga ia lupa diri. Selama ini ia cukup berhati-hati menghindari pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar kemauannya. Tetapi kali ini... "Hebat dia!" diam-diam Kurdi memuji. "Siang bolong, bisa memperlihatkan diri. Benar-benar penasaran arwah Ki Sanca. Jangan-jangan mayatnya pun ikut bangkit dari kubur, dan ia seret sepanjang perjalanan ke mana ia pergi.... Kalau tidak, mana mungkin ia muncul dalam wujud yang sempurna" Ilmu yang luar biasa. Arwah yang muncul di siang bolong. Hem!" Ia geleng-geleng kepala. Hampir-hampir tidak yakin sekarang, pada dirinya sendiri. Ia bayangkan, mayat Ki Sanca bangkit dari kuburnya di pagi buta itu. Sementara kereta melaju, ia pusatkan jiwa. Semedhi, dengan mulut kumat kamit membaca aji-aji dan



mantera-mantera yang ia miliki, sambil tidak lupa memohon kepada arwah pemilik tengkorak kepala di rumah yang ia tinggalkan, agar memberinya kekuatan dan petunjuk. Samar-samar di antara kabut yang menutupi kegelapan dibalik kelopak matanya yang mengatup, ia melihat gerakan dan suara. Gerakan tanah rekah, dan batu-batu besar yang ia susun, bergelinding jatuh dengan suara yang bising sehingga tekak telinganya terasa sakit. Dari rekahan tanah dan lubang dibawah mana tadinya batu-batu itu terletak, mayat Ki Sanca berusaha duduk, kemudian bangkit. Kabut semakin menebal. Mata Kurdi perih. Ia berusaha bertahan, tetapi kabut itu mengeras seperti batu sehingga kelopak matanya cepat-cepat ia pentang lebar-lebar. Ia melihat kudanya berhenti dengan dengus gelisah seraya menelengkan kepala ke samping kiri. Perasaan tidak enak menyentuh uluh hati Kurdi. *** KURDI sangat terkejut waktu menyadari apa yang menyebabkan kuda menjadi demikian gelisah. Ternyata anjingnya yang setia itu tengah tergeletak di pinggir jalan, dengan dua kaki belakangnya melejat lejat liar. Sepasang matanya yang besar hampir hampir terloncat ke luar dari rongga menahankan rasa sakit. Dari moncongnya keluar darah berwarna merah kehitam-hitaman, diantara lendir yang berbusa. Dengan cemas Kurdi melompat dari tempat duduk kereta, bergegas mendapatkan sahabatnya itu. "Mengapa...." pertanyaan itu tidak ia teruskan. Mata Kurdi menangkap bengkak yang besar di selangkangan anjingnya. Ucapan kaget lepas dari mulut Kurdi: "Wah. Baru kuingat. Kau terkena sepak Ki Sanca tadi malam!" Ia rahup anjing itu dalam pelukannya. Ia elus-elus kepalanya seraya menghibur dengan kata-kata manis yang disambut oleh anjing itu dengan erangan halus. Matanya yang hijau kemerah-merahan menatap ke mata Kurdi. Entah apa yang ingin disampaikan anjing itu, Kurdi tidak tahu. Tetapi jantungnya sempat berhenti berdenyut waktu menyadari betapa tatapan mata anjing itu teramat ganjil. Antara minta dibelas kasihani, dan ditinggalkan begitu saja. Ada perintah samar-samar tersembunyi dibalik sinar mata itu.



Agar Kurdi menjauh. Menjauh, dan jangan memperdulikan sahabatnya. "Tidak!" berengut Kurdi. "Kau tak akan kutinggalkan. Kau akan sembuh," katanya, memelas. Anjing itu merintih. Kemudian melolong. Kurdi menoleh waktu mendengar suara orang berlari larian. Ternyata laki-laki yang tadi memperhatikan waktu Kurdi membacok pohon beringin. Orang itu adalah seorang laki-laki yang sudah lanjut usianya. Kaki dan tangannya kurus sekali, demikian pula wajahnya yang tirus. Kurdi heran ia bisa berlari secepat itu, tetapi keheranannya segera lenyap setelah melihat tatapan mata laki-laki tua tersebut. Pandangannya yang tajam dan berpengaruh, membisikkan ke hati Kurdi kalau ia sedang berhadapan dengan seorang manusia yang punya ilmu. Diam-diam ia merasakan uap dingin pada tubuhnya dan segera sadar orangtua ini berasal dari kalangan magi putih. "... boleh kubantu?" sapanya begitu ia berjongkok disamping Kurdi. Si penunggu jenazah termangu beberapa helaan nafas. Ia tidak menyukai orang asing. Seperti kata hatinya menegaskan orang lain lebih tidak menyukai dia lagi. Tetapi suara ramah itu agak mendinginkan pula hatinya, sehingga seraya mencoba tersenyum ia menyerahkan anjingnya untuk diperiksa oleh orangtua yang aneh itu. "... hem!" rungut si orangtua. Ia mengusap jenggot putihnya sejenak, memandang ke arah luka di selangkangan anjing. "Siapa yang menganiaya makhluk malang ini" Tadi waktu keretamu melewati rumahku aku sudah lihat anjing ini berlari-lari seraya menyeret kaki-kaki belakangnya. Itu makanya aku terus mengikuti dengan mataku, sampai kulihat anjing itu tersentak menggelepar di pinggir jalan tanpa kau sadari..." "0h!.." cetus Kurdi. Itu saja. "Namaku Jumena..." orangtua itu memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangan, karena ia tengah sibuk memijit-mijit bagian yang bengkak di selangkangan anjing, sehingga binatang itu melolong-lolong dengan suara lirih. Mendengar suara lolongan



memilukan itu hati Kurdi memelas. Ia lupa untuk balas memperkenalkan diri. "... apakah bisa sembuh?" tanyanya dengan bernafsu. Jumena manggut-manggut. "Agak lama. Terapi untuk sementara, bengkaknya bisa dibuat hilang. Hem. Yang menendang bagian ini tentu seseorang yang sangat kuat. Tulang selangkangan anjing ini patah. Namun, aduhai, anjing ini ternyata lebih kuat lagi. Anjing-anjing lain pasti sudah mati!" Ia menoleh pada Kurdi. "Mau kau ambilkan akar ilalang dan getah daun embacang?" Tumbuh-tumbuhan yang diminta si tua Jumena itu banyak terdapat di pinggir jalan sehingga dalam waktu beberapa detik Kurdi telah memperoleh dan memberikan segenggam akar ilalang dan berapa helai daun embacang yang getahnya bertetesan. "Kau rupanya enggak mau susah-susah memanjat, mau cepat-cepat saja," rungut Jumena seraya menerima benda-benda itu. "Daun embacang ini sudah tua-tua." Kurdi mau berlari lagi ke batang embacang terdekat, tetapi orangtua itu keburu meneruskan: "Sudahlah. Yang ini juga memadai!" Ia kemudian meletakkan akar-akar itu di atas sebuah batu berpermukaan rata. Lalu, akar itu ia gilas dengan tangannya sampai lumat dan mengeluarkan cairan putih kecoklat-coklatan. Cairan itu segera ia sodorkan ke mulut anjing sementara getah dedaunan ia oleskan ke bagian yang membengkak. Mulutnya kumat-kamit, namun tidak ada suara apa pun yang didengar oleh Kurdi kecuali hembusan angin serta helaan nafasnya sendiri. Tidak lama kemudian rintihan anjing itu berhenti, matanya mengatup dengan tenang. Orang tua itu berhenti kumat kamit. Barulah ia mendesah: "Aneh," katanya. "Darah yang keluar dari mulut binatang malang ini, merah kehitam-hitaman. Kupikir, ini bukan darahnya sendiri..." Kurdi gelagapan. Ingatan selintas pada saat-saat anjing itu menerkam lalu merengut betis Ki Sanca membuat ia kehilangan kata-kata. Lama baru ia bergumam:



"Di tengah jalan ia menerkam binatang lain..." "Oh ya?" Orangtua itu menoleh ke arah kuda didepan kereta. Salah satu kaki kuda itu dilekati oleh darah kering bercampur lumpur. "Apakah kudamu juga melakukan hal yang sama?" Kurdi terjengah. Namun cepat ia memperoleh jawaban: "Tadi malam seekor macan kumbang mau menerkamku. Tetapi keburu sahabat-sahabatku yang setia ini menolong. Macan itu telah mati sebelum kuku-kukunya sempat menjamah tubuhku...." "Hem!" orangtua itu mendehem. Ia serahkan anjing yang sakit itu ke tangan Kurdi. "Setahuku darah macan tidak hitam... entah kalau macan jadian..." Ia geleng-geleng kepala dengan dahi mengernyit dan sudut-sudut mulutnya menggurat tajam. "Pergilah. Bengkak di tubuh anjingmu akan lenyap, serta tulangnya yang patah akan bersambung kembali. Jangan biarkan bergerak untuk sementara." Kurdi mau mengucapkan terimakasih, tetapi si tua Jumena buru-buru menjauh seraya mengibaskan sebelah tangannya. "Pergilah. Aku mencium bau tidak enak di sini...." Dan setelah kereta Kurdi menjauh. Jumena bersungut sungut sendirian: "Makhluk terkutuk. Jasadnya saja anjing, tetapi rohnya..... Kuda itu juga! Dan tampaknya orang yang duduk di tempat duduk kereta itu tidak mengetahui makhluk apa yang selama ini ia anggap sahabat sahabatnya. Hem. Orang ini pun tidak memiliki mata yang jernih. Apakah ia yang dijuluki si penunggu jenazah bernama Kurdi itu" Kalau ya, huh. Menyesal aku mengurangi penderitaan salah seekor makhluk peliharaannya!" Kemudian ia mengurut dada. Dan berucap: "Jauhkan hamba-Mu ini dari cengkeraman setan, ya Tuhanku!" Lalu ia memutar tubuh. Kembali ke rumahnya. Dengan langkah tertatih-tatih. Tidak biasanya ia melakukan pekerjaan mengobati orang atau binatang berakibat hampir lumpuhnya persendian-persendian tubuhnya. Oleh sebab itulah ia menyadari binatang yang ia



jamah tadi, bukan binatang yang terlihat pada wujudnya saja. Ada sesuatu kekuatan atau makhluk lain bersembunyi didalam tubuh binatang itu. Sesuatu yang ia duga, tentulah manusia adanya, seperti dirinya sendiri. Ah, ia letih benar. Untunglah kesadarannya muncul segera, sehingga ia tidak perlu menjamah makhluk terkutuk itu berlama-lama. Makhluk itu telah ia lepaskan dari siksaan sakit, tetapi ia tak yakin apakah perbuatan itu perlu ia lakukan.... *** Kurdi merasa berterima kasih sekali. Ia biarkan kereta berjalan dengan lambat, agar goncangannya tidak menimbulkan rasa sakit kembali di tubuh anjing yang kini meringkuk diam-diam di sampingnya. Tampaknya anjing itu telah jatuh tertidur. Selintas Kurdi memperhatikan moncong binatang kesayangannya. Benar, warna darah yang keluar dari mulut anjing itu, agak kehitam-hitaman. Ia mencoba mempertajam matanya untuk memperhatikan darah kering diantara lumpur yang mengotori salah satu kaki depan kuda penarik kereta. Juga darah itu tentulah kehitam-hitaman, karena setelah mengering telah berubah warnanya seperti arang. "Darah Ki Sanca. Darah membusuk!" sungutnya. Terngiang kembali sumpah Ki Sanca: "Darahku yang mengalir akan menjelmakan roh-roh...! Darahnya yang mengalir! Apa maksud Ki Sanca" Mereka tinggal menempuh satu desa lagi sebelum tiba di pinggir kota kecamatan di mana makam suami Nyi Ijah terletak. Ia telah menyuruh roh Nyi Ijah mencari makam itu, dan roh itu memastikan tempat di mana suaminya dikuburkan oleh sanak keluarga mereka. Lengkap dengan petaknya, bagian keberapa dari petak itu, serta pohon apa yang terdapat di dekat nisannya yang berbatu pualam putih, satu-satunya nisan berbatu pualam di pemakaman yang akan didatangi Kurdi. Mudah sekali mengenali makam itu, akan tetapi sekarang sudah keburu datang malam. Kalau saja anjingnya yang malang tidak terluka, sehingga kereta harus berjalan lambat....



"Mudah-mudahan saja mayat Nyi ljah tidak keburu membusuk," sungutnya, tak lupa menoleh ke belakang. Tutup peti mati terletak rapat di tempatnya. Peti Itu tidak bergerak-gerak. Alangkah damainya mayat itu berada disana. Tetapi alangkah tersiksanya roh dan jasad mayat itu nantinya. Begitu ia menemukan makam suaminya, berbaring sejenak di sana untuk melampiaskan kerinduan yang lama terpendam, maka Nyi Ijah akan pergi lagi. Pergi dalam bentuk yang lain. Bentuk yang seorang manusia pun tidak akan pernah menyukainya... seburuk-buruknya kematian Kurdi, ia masih termasuk orang yang beruntung. Jasadnya akan mati dalam keadaan sempurna sebagai manusia, dan rohnya akan tetap roh seorang manusia pula. Sedang Nyi Ijah.... Roda kereta terantuk ke akar sebatang pohon. Kurdi agak terlonjak, dan anjing yang meringkuk disebelahnya terbangun. "Pelan, sahabatku," bujuk Kurdi seraya membungkuk dan mengelus-elus punggung kuda. "Pergunakan matamu yang menakjubkan itu dalam gelap malam... tak usah tergesa-gesa. Terlambat beberapa jam, tak ada salahnya...." Kuda itu meringkik. Halus.



Ah. Halus" Ia tajamkan telinganya. Bukan. Kuda itu tidak meringkik. Tetapi bersorak. Sorak kegembiraan yang tertahan, seolah-olah senang melihat munculnya rembulan yang retak-retak diantara gumpalan gumpalan awan berarak. Bulan retak. Itu adalah pertanda tidak baik, pikir Kurdi. Tetapi kuda ini.... Kurdi terkesiap. Kuda ini masih terus berlari perlahan-lahan menarik kereta. Tetapi... kaki-kaki depannya tampak lebih pendek, dan menekuk berlawanan dengan



tekukan biasa. Juga kedua kaki belakangnya. Menekuk di lutut, ke arah depan. Apa yang terjadi dengan kudanya" Ia coba menahan tali kekang. Tetapi kuda itu terus berlari. Hanya sedikit menggoyangkan kepala oleh tarikan tali, tetapi terus berlari seraya bersorak. Ya. Jelas kini. Bersorak. Senang. Dalam cahaya bulan, kulit kuda yang hitam legam berkilat-kilat itu perlahan-lahan mulai berubah warna, bahkan berubah bentuk. Tiba-tiba Kurdi menyadari, bahwa yang menarik kereta bukanlah seekor binatang. Melainkan sesosok tubuh lain. Tubuh manusia yang hancur mengeluarkan darah di sana sini, memperlihatkan tulang belulangnya yang putih remuk sama sekali. Sekali kuda itu menoleh ke belakang. Menyeringai. Bukan seringai kuda. Tetapi seringai seseorang. Seseorang manusia yang juga hancur wajahnya. Bukan pula wajah Ki Sanca. Melainkan wajah seorang laki-laki yang belum pernah ia kenal..., Laki-laki yang menyeringai liar, dengan mata buas memandang Kurdi di tempat duduk kereta, serta kedua tangan dan kakinya bukan berlari, tetapi mencakar-cakar tanah, berusaha menahan berat beban yang dibawanya. Tanpa sengaja, Kurdi menyentuh anjing yang setahunya berbaring meringkuk di sebelahnya. Tetapi tangannya menyentuh udara hampa yang dingin, ia menoleh. Tersirap darahnya seketika. Di sampingnya duduk sesosok tubuh yang juga sudah rusak di sana sini. Sosok tubuh perempuan. Benar. Sesosok tubuh perempuan, akan tetapi tangannya tidak merasa menyentuh sesuatu meskipun tangan Kurdi berada tepat di bagian tengah dada perempuan itu. *** Kaget, tangan Kurdi tersentak mundur. Sikapnya berubah jadi hati-hati. Betapa tidak.



Bukan saja perubahan telah terjadi pada wujud binatang kesayangannya. Akan tetapi juga, barusan tadi Kurdi tidak menyentuh tubuh yang hangat, melainkan udara hampa yang dingin. Dengan mata terpentang lebar, ia perhatikan sosok tubuh yang berjongkok di sampingnya itu, bergoyang-goyang hebat oleh guncangan kereta yang berlari dengan kecepatan tinggi. Mata Kurdi yang tajam segera mengenali wajah makhluk itu: "... kau!" cetusnya, hampir-hampir tidak percaya pada pandangan matanya. "Hi... hi... hi...." Mulut yang mengerikan itu menyeringai lebar, memperdengarkan suara mengikik. Bersamaan dengan terdengarnya suara mengikik itu, hidung Kurdi mencium bau busuk dan hanyir, yang keluar dari sekujur tubuh perempuan itu. Lamat-lamat mata Kurdi menangkap genangan darah membeku di bagian bagian tubuh si perempuan yang rusak hebat terhantam benda berat yang tidak kenal ampun. Kurdi ingat betul perempuan ini mati karena menerjunkan diri ke atas rel persis pada waktu sebuah kereta api kilat lewat di kampung mereka. "Mau apa kau?" rungut Kurdi. Hati-hati. "Hih... hi... hi...." "Apa maksudmu menggangguku, Marni?" Arwah perempuan yang telah mengambil alih wujud anjing Kurdi itu, hanya tertawa menyeringai. Dalam bayangan bulan yang retak-retak di makan gerhana, sepasang matanya tampak berkilat-kilat, seolah-olah semburan api yang menyambar-nyambar ke wajah Kurdi. Penunggu jenazah itu mengelakkan pandangan si perempuan, kemudian berusaha memusatkan pikiran. Ia melakukan semedi, membaca segala macam mantera yang pernah ia miliki. Namun sampai otot-otot tubuhnya kejang dan bulir-bulir keringat sebesar jagung membanjiri pakaiannya sehingga basah kuyup, Kurdi tidak berhasil memusatkan pikiran. Ingatannya melayang ke saat-saat ia dipanggil oleh keluarga Nengsih Sumarni untuk menunggui jenazah perempuan muda yang mati bunuh diri itu. Tidak bisa ia lepaskan sama sekali bayangan waktu mana ia menggeluti perempuan itu,



membangkitkan si perempuan dari kuburnya, dan tidak pernah kembali lagi... Ingatan itu benar-benar mengganggu konsentrasinya. Lebih-lebih lagi goncangan-goncangan kereta. Derak derak roda, serta berciutnya engsel-engsel. Ribut sekali. "Celaka!" rutuknya dalam hati. Lantas: "Hiyaaaaa. Berhenti, kau. Berhenti!" Ia berseru lantang. Namun apa daya. Makhluk aneh yang kini menarik kereta itu malah mempercepat larinya. Lari yang terombang-ambing di atas kedua kaki-kaki depan yang lebih pendek dengan kedua kaki-kaki belakangnya itu. Kuda yang telah berganti wujud itu malah balas menoleh ke belakang, menyeringai kearah Kurdi kemudian tertawa membahana. Sungguh, tertawa membahana. Tidak lagi meringkik. Kurdi menjadi marah. "Setan!" umpatnya, lalu menyambar pecut. Baru saja pecut itu akan ia derakkan ke punggung makhluk penarik kereta, terdengar suara menggereng liar, lalu suara angin keras menyambar. Dalam sekejap pecut di tangan Kurdi telah lenyap. Yang tinggal hanyalah rasa kebas akibat renggutan yang sekonyong-konyong itu. Ia sampai terpekik lirih. Dan kemarahannya benar-benar telah naik sampai ke kepala. "Biadab!" ia berteriak, lantang, memecahkan kesepian malam di tengah rimba belantara itu. "Aku tahu, kalian berada dibawah perintah!" Lantas, ia meluadah ke kiri ke kanan, berkali-kali, sambil kumat kamit membaca mantera. Namun, sekali kepalanya tertengadah ketika meludah itu, dengan maksud mengusir bau busuk dari udara diatasnya. Matanya terpaut pada bulan. Bulan yang retak-retak dan buruk itu, ia tidak menyukai bulan dalam keadaan seperti itu. Pengaruh ilmunya jadi berkurang. Tak pelak lagi, Kurdi menarik tali kekang kuat-kuat, seraya berdiri tegak di tempat duduk kereta. Ia pacakkan kuat-kuat kedua tumit kakinya, dan mengerahkan segenap kekuatan-kekuatan otot-ototnya menarik ke belakang sehingga tubuhnya miring sampai



45 derajat. Usahanya tidak membawa hasil. Diam-diam ia menyadari, bahwa yang menarik kereta masih tetap kudanya, hanya wujudnya saja yang berubah. Tetapi kebinatangan kuda itu telah dipengaruhi oleh suatu kekuatan yang dahsyat, kekuatan yang berada di luar pengaruh Kurdi. Kekuatan dari alam barzah. Kekuatan dari roh. Roh orang yang berilmu. Tak salah lagi. Arwah Ki Sanca tengah mempermainkan dirinya, dengan mempergunakan arwah-arwah manusia yang pernah sakit hati pada Kurdi. Ki Sanca telah menjanjikannya. Lewat darah-darahnya. Kurdi tibatiba menyesal. Mengapa ia tidak membersihkan darah Ki Sanca dari moncong anjing serta kuku-kuku kudanya. Tenaga Kurdi kian lama kian melemah. Dalam keadaan demikian, makhluk yang dari tadi tetap berjongkok di sampingnya, bergerak untuk kedua kalinya. Salah sebuah tangan makhluk itu, Kurdi tak tahu apakah itu anjing atau manusia, terangkat ke arah tali-tali kekang, menjepitnya dengan jari-jari serta kuku-kukunya, kemudian mendekatkannya ke arah gigi taring, lantas merencah-rencah tali kekang makhluk itu. Tau-tau saja, salah satu dari tali itu telah putus. Segenap kekuatan Kurdi kini berbalik total melawan kemauannya. Ia terhumbalang ke belakang, menimpa peti mati di atas bak kereta, terlontar ke samping, jatuh di atas jalanan yang untunglah hanya tanah. Akan tetapi, tanah itu keras, dan di beberapa tempat dihunjani batu- batu. Tak pelak lagi, Kurdi terhempas hempas di jalan, sementara tangannya yang memegang seutas tali lain berputar-putar sehingga tali itu membelit lengannya. Ia tidak bisa melepaskannya sama sekali, dan hanya mampu untuk berusaha agar tubuhnya tidak sampai hancur terseret. Ia tumpukan kekuatan pada ujung-ujung jari kakinya, satu-satunya bagian tubuhnya yang tidak mungkin ia elakkan dari torehan tanah keras dan hantaman batu-batu. Lama kelamaan ia menyadari kalau kaki-kakinya itu mulai luka memar disana sini, berdarah, dan menimbulkan rasa sakit yang alang kepalang. Ia menggigit bibirnya keras-keras, agar tidak sampai mengeluarkan jerit kesakitan. Dan tiba-tiba siksaan yang dahsyat itu berakhir. Ia dengar ringkikan kuda. Dan



lolongan anjing yang sayup-sayup sampai ke telinga. Ia coba menajamkan pandangan matanya, menembus kegelapan malam. Kereta itu berhenti tak jauh dari sebuah jalan besar, beraspal serta rumah-rumah yang diterangi lampu listrik. Mereka telah tiba di pinggir kota kecamatan itu. Tetapi mengapa makhluk-makhluk itu menghentikan siksaan atas dirinya" Bukankah dengan menyeret Kurdi di atas jalanan beraspal itu, kematian akan datang lebih cepat" "Hem!" Kurdi bersungut pada dirinya sendiri. Makhlukmakhluk itu, atau arwah-arwah itu, tidak mengingini kematian Kurdi yang begitu mudah. Kurdi berharap ada orang lewat di jalan. Atau bus. Atau apa saja. Yang bisa melihat keadaannya, dan datang untuk membantu, sehingga arwah-arwah itu melarikan diri. Kurdi tahu betul. Mereka menginginkan dirinya. Bukan orang lain. Dan mereka, hanya terlihat oleh Kurdi seorang. Tidak oleh orang lain. Tetapi orang lain akan melihat Kurdi. Mula-mula mereka tentu heran, kemudian setelah melihat luka-luka Kurdi, akan cepat-cepat datang menolong... Tidak. Tiak ada orang lewat. Tidak ada bendi. Tidak ada bus. Bahkan tidak ada suara apa-apa sama sekali, kecuali kesunyian malam, kegelapan yang menghantui, serta dengus nafas terengah-engah. Nafas Kurdi. Nafas anjing. Nafas kuda. Ia menelan ludah. Membasahi bibirnya yang kering. Harapannya timbul lagi. Untuk melihat anjing serta kudanya yang setia. Sempoyongan ia coba berdiri. Dengan sebelah tangannya yang bebas, ia seka mata yang basah oleh peluh bercampur debu. Perih rasanya. Tetapi ia bisa melihat dengan lebih jelas kini. Melihat, makhluk makhluk itu tidak beranjak dari binatang-binatang kesayangannya. Makhluk-makhluk itu bergerak-gerak dengan liar, berjumpalitan, menggereng, melolong, meringkik. Kurdi



segera menyadari. Jika anjing serta kuda itu melakukan perlawanan. Namun kekuatan dari alam barzah, dari roh- roh itu, tidak mampu mereka lawan. Kurdi menggeram: "Enyah, kalian makhluk-makhluk busuk. Enyah kau, Parjo. Aku telah membantu kalian agar bisa bertemu kembali. Bersatu di dunia lain. Karena itu, enyahlah. Anggaplah sebagai balas jasa!" "Hih... Hi... Hii...." Nengsih Sumarni menyeringai. "Balas jasamu telah kau ambil. Kau telah menodai tubuhku. Melanggar kehormatanku. Kau makhluk terkutuk, manusia berhati busuk...!" Pengaruh Ki Sanca rupanya menang. Tiada lagi perlawanan dari jiwa anjing itu. Yang ada hanya kepatuhan kini. Anjing yang telah berubah wujud jadi Nengsih Sumarni itu, menerkam ke depan. Disusul hentakan-hentakan kaki kuda. Hentakan hentakan kaki yang menggebu-gebu hebat mendatangi tempat Kurdi berdiri sempoyongan, disertai sumpah serapah dari mulut makhluk itu, menyumpahi kelakuan Kurdi, melepaskan rasa sakit hati karena kekasihnya telah dinodai Kurdi, mengutuk perbuatan Kurdi yang katanya telah mengakibatkan ia kehilangan anak serta isterinya yang kedua. Kurdi mulanya pasrah. Ia tidak perduli kematian bagaimana yang harus ia alami. Tetapi pandangan matanya yang tajam segera melihat sosok-sosok tubuh lain dibalik penjelmaan arwah-arwah itu. Sosok tubuh anjing serta kudanya yang setia. Binatang-binatang itu tidak boleh tersiksa jiwanya. Kurdi tidak tega. Ia harus melepaskan siksaan itu, bagaimanapun juga caranya. Kurdi hanya memerlukan tempo tak sampai tiga detik untuk berpikir. Tangannya yang bebas mengeluarkan golok dari sarung yang terikat di pinggangnya. Ia tidak pernah membunuh makhluk hidup, tetapi ia pun tidak sampai hati membiarkan makhluk-makhluk setia yang selama ini melindunginya itu, terlunta-lunta arwahnya. "Matilah dengan tenang!" bisik Kurdi, lirih, dan goloknya dengan cepat telah terayun. Kilatan golok itu



membersitkan bayangan lain di mata Kurdi. Bayangan dirinya. Dengan mata buta, otot-otot lumpuh, otak tidak mau bekerja, dan kematian yang datang secara lambat, siksaan yang akan menggerogoti hidupnya detik demi detik. Pengorbanan itu ternyata tidak sampai terjadi. Golok Kurdi hanya memapas angin. Angin keras yang lewat di sampingnya, oleh lontaran tubuh yang berat. Terdengar suara berdebuk yang lunak, lalu lolongan anjing yang lirih. Waktu Kurdi menoleh ke arah suara itu, tahulah ia bahwa makhluk pertama yang menerkam dirinya, telah gagal melaksanakan niatnya. Pada detik terakhir, kesadaran anjing itu akan kesetiaannya sebagai binatang pelindung tuannya, muncul. Binatang itu mengelakkan sambaran golok Kurdi. Akibatnya, tubuhnya yang sudah keburu terbang ke udara, meluncur deras ke bawah, dengan kepala terlebih dahulu tiba di tanah keras dan berbatu. Pada detik peristiwa itu berlangsung, wujud makhluk itu telah kembali pada wujud semula. Anjing besar, berkulit hitam legam, namun kekokohan tubuhnya telah tidak berdaya sama sekali. Jumena, dukun berilmu putih dari desa yang mereka lewati senja tadi telah mengisyaratkannya. Goncangan sedikit saja, akan membuat anjing itu mati. Apalagi, hempasan keras dari kepalanya ke atas batu. Kurdi tersentak ke bak kereta dengan hati yang luluh. Ia sama sekali tidak memperhatikan bagaimana sosok tubuh lain yang jauh lebih besar serta lebih perkasa dari anjing itu melakukan tindakan ganjil pula. Rentakan-rentakan kaki keras menghempas di tanah. Wujud Parjo menghilang. Yang ada hanyalah wujud seekor kuda tinggi besar, dengan tubuh yang kuat kokoh. Kulitnya yang hitam berkilat-kilat membasahi keringat. Kilatan lain membersit lebih nyata dari sepasang matanya. Kuda itu memandang anjing yang sedang sekarat di tanah, kemudian berjalan mendekat, berdiri sebentar di dekat anjing itu, kemudian kepalanya menekuk ke bawah. Kuda itu menjilati anjing itu dengan gerakan-gerakan yang di mata Kurdi jelas hanya berarti satu hal: kasih sayang! Habis menjilati bangkai anjing, sang kuda menoleh kearah Kurdi. Dalam



remang-remang malam, mata Kurdi menangkap cairan bening di sudut-sudut mata kuda. "... kau menangis," bisik Kurdi. Ta'jub. Dan ia sendiri pun, sebenarnya ingin menangis. Belum lagi air mata Kurdi mengalir keluar, sahabatnya yang tinggal satu-satunya di dunia itu, telah melakukan gerakan tidak terduga. Binatang besar itu berjalan kearah sebatang pohon besar, mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, kemudian dengan satu hentakan kuat pada kaki-kaki belakangnya, kuda itu menghempaskan tubuhnya ke depan. Kepalanya dengan dahsyat melanda batang pohon. Terdengar suara berderak. Kurdi tidak tahu apakah suara berderak itu berasal dari kepala kuda atau batang pohon, atau barangkali juga kedua-duanya. Yang ia tahu hanyalah, binatang bertubuh besar dan kokoh itu, terhempas ke tanah, keempat kaki-kakinya menyepak-nyepak dengan liar. Tak lama kemudian tinggal lejotan-lejotan perlahan serta dengus-dengus napas lemah. *** Kejadian yang susul menyusul itu berlangsung sangat cepat. Kurdi belum sempat mengatur nafasnya yang memburu, ketika binatang-binatang kesayangannya itu telah terkapar di hadapannya. Ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang ia saksikan, sehingga merasa sangat terpukul manakala telinganya menangkap bayangan-bayangan tubuh yang sekarang sekarat itu. Sekujur tubuhnya seolah-olah mendadak lumpuh, sehingga ia jatuh melorot, terduduk di tanah. Golok di tangannya terlepas tanpa ia sadari, gagangnya menimpa punggung kaki kanannya yang memar-memar, berdarah. Ia tidak merasakan kesakitan dan perih yang ditimbulkan oleh luka-luka di kaki serta lecet-lecet berdarah pada tangannya yang masih dibelit tali. "Apa... apa yang kalian perbuat?" bisiknya, lirih. Ia berusaha memikirkannya. Kemudian teringat sekilas pandang mata mereka yang



diarahkan pada Kurdi, sebelum sahabat-sahabatnya itu berbuat nekad. Dan Kurdi semakin runtuh, manakala ia sadari apa maksud semuanya itu. "Mengapa?" ia tiba-tiba menjerit tertahan. "Mengapa kalian lakukan itu" Mengapa justru kalian yang harus berkorban" Bukankah mati di tanganku bagi kalian berarti sama saja" Kematian" Kematian" Mengapa" Mengapa?" Lalu perlahan-lahan, ia kembali menangis. Hancur hatinya. Bukan saja karena kini tinggal sendirian. Tetapi juga, karena terharu oleh pengorbanan sahabat-sahabatnya yang setia itu. Di antara kehancuran hati yang tengah melanda Kurdi, diam-diam sanubarinya diselinapi perasaan ta'jub. Binatang-binatang kesayangannya itu seakan-akan tahu apa akibat yang terjadi pada Kurdi apabila Kurdi melakukan sesuatu yang bisa mematikan bahkan cuma melukai makhluk lain. Mereka seperti tahu. Atau mereka memang tahu. Itu sebabnya mereka menerjang Ki Sanca malam kemarin, dan kini nekad pula bunuh diri. "... belum cukupkah lindungan yang kalian berikan padaku" Belum cukupkah?" keluhnya. Terbayang di matanya saat-saat di mana binatang binatang itu selalu bertindak sebagai pelindung. Anjing itu pernah menggigit putus leher seekor ular Sanca yang hampir saja mematuk Kurdi. Seekor macan tutul yang hampir saja menerkam Kurdi, lumat kepalanya di tendang kudanya. Dulu, ketika penduduk kampung Mira mengetahui gadis itu bercinta-cintaan dengan Ki Sanca, pernah beberapa orang pemuda mau mengeroyoknya. Tetapi mereka lari serabutan begitu anjing dan kuda Kurdi menggeram-geram di dekat mereka. Anjing dan kuda itu pun selalu mengawasi dari kejauhan tatkala Kurdi dan Mira sedang memadu janji di tempat-tempat tersembunyi. Seakan-akan anjing dan kuda itu mengerti apa yang tengah melanda dada muda mudi yang masih remaja itu serta... Kenangan-kenangan manis itu terputus tiba-tiba. Sepasang mata Kurdi yang dari tadi



terpaut ke tubuh binatang-binatang kesayangannya itu, kini terbelalak lebar. Mata yang sudah terbiasa dengan kegelapan malam itu, bergulat dengan bathin Kurdi yang masih bimbang. Tidak. Ia tidak tengah bermimpi. Ia tidak tengah membayangkan pemandangan-pemandangan ganjil. Ia tidak percaya. Itu saja, karena apa yang tengah berlangsung di hadapannya, mungkin merupakan peristiwa aneh yang pernah ia saksikan seumur hidupnya. Ia sekali dua mendengar bahkan pernah menyaksikan proses manusia berubah jadi binatang, karena si manusia itu "munjung" atau pengabdi setan berwujud binatang. Tetapi kini... yang ia lihat adalah sebaliknya. Anjing dan kuda, dua ekor binatang yang paling dekat dengannya selama ini, pelan-pelan tetapi pasti berubah wujud seorang perempuan, sementara kuda berubah jadi wujud seorang laki-laki! "Demi roh-roh yang melindungiku!" Kurdi bergumam, serak. "Apa artinya semua ini?" Laki-laki yang berasal dari wujud kuda, rupanya mendengar erangan Kurdi. Ia mengangkat kepalanya. Perlahan. Kepala yang rusak berat karena di hantam pohon. Darah mengalir di sana sini. Kurdi tidak mengenal laki-laki itu. Biarpun wajahnya misalnya utuh, Kurdi yakin ia juga tidak akan mengenalinya. Dengan terheran-heran ia mendengar suara patah patah: "Kurdi.... Kami adalah moyangmu. Itulah artinya...!" Kurdi jadi tegang. Ia pandangi laki-laki yang sedang sekarat itu. "Mo... moyangku..." Kalian berdua?" Matanya kemudian berpindah ke tubuh si perempuan. Juga rusak wajahnya. Terhantam batu. Tiada gerakan dari perempuan itu. Tiada sama sekali. Kurdi menajamkan pandangannya, mempergunakan seluruh kekuatan bathinnya. Kemudian ia



menyadari mengapa si perempuan kini tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda hidup. Kepalanya pecah. Di bagian belakang ada bercak-bercak putih. Otak. "Moyangku!" Kurdi mendengus. Segenap kekuatan kemudian kembali pada dirinya. Ia bangkit, dan bermaksud mendapatkan kedua orang yang mengaku moyangnya itu. Tetapi si laki-laki kembali menggerakkan kepalanya, seakan-akan memprotes sehingga Kurdi urung niatnya. Ia kemudian hanya berdiri, tegang dan gemetar, mendengar ucapan laki-laki yang sekarat itu: "Jangan! Jangan kau... sentuh kami ini. Jangan, Kurdi. Percuma saja... isteriku sudah mati. Ajalku pun akan segera tiba. Jangan kau sentuh jasad kami. Biarkan jasad kami ini... meneruskan takdir..." Ada batuk-batuk serak sebentar, kemudian helaan helaan nafas tersengal-sengal, dan dilanjutkan suara terputus-putus: "Tajamkan telingamu, Kurdi. Dengarkan apa yang akan kuceritakan..." Kurdi mengerahkan kekuatan bathin. Ia kemudian mendengar, bahkan seolah-olah bisa menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri. Kedua suami isteri itu lebih dari seratus tahun yang lalu pernah sama-sama bertapa. Mereka ingin kebal, dan juga ingin tetap awet muda. Keinginan itu ditentang habis-habisan oleh ayah si suami, yang dengan tandas menegaskan: "Yang maha kuasa sudah mengguratkan kekuatan phisik serta keampuhan usia manusia melawan alam!" Si suami memberi dalih: "Kami cuma menuntut ilmu, untuk menjaga diri. Tidak ada tujuan-tujuan lain." "Bohong. Kalian terdorong nafsu birahi, dan ingin perkasa seumur hidup kalian." "Kami tak akan pergunakan untuk maksud-maksud jahat, ayah. Hanya untuk kelanjutan hidup kami berdua saja. Kami berjanji!" Karena mereka bersikeras juga, akhirnya sang ayah tidak kuasa lagi menahan. Dengan lesu, ia mengingatkan:



"Baiklah. Teruskanlah maksud kalian yang bagiku tetap berbau busuk itu. Tetapi, tanggunglah sendiri sendiri resikonya!" Banyak resiko-resiko berat yang harus mereka lampaui. Tetapi demi ilmu kebal serta keinginan awet muda sampai mati, mereka terima saja semua cobaan-cobaan serta resiko-resiko itu. Termasuk keharusan mereka meninggalkan menu sehari-hari. Dari nasi dan lauk pauk, menjadi hanya darah ayam putih. Itu pun, ayamnya harus dipotongkan orang. Dengan lain perkataan, resiko yang lebih berat adalah, mereka tidak boleh melukai makhluk lain, apalagi membunuhnya. Celakanya lagi, darah itu harus mengalir dari lubang lubang hidung serta mulut sebuah tengkorak manusia. Serta tengkorak itu, haruslah tengkorak orang yang sama-sama telah melahirkan mereka ke dunia ini. Dengan hati berat, mereka laksanakan semua syarat syarat itu. Memang, mereka jadi kebal. Terhadap senjata tajam. Akan tetapi, tidak terhadap penyakit. Sang isteri, yang orangtuanya masih hidup kedua-duanya tidak bertahan cukup lama untuk menunggu ibunya mati. Ia diserang penyakit asthma. Penyakit itu menyiksa selama menjalani sisa-sisa hidup yang tidak pernah lagi berbahagia. Sementara si suami, ketika ketahuan oleh ayahnya yang fanatik itu telah membongkar kuburan ibunya kemudian mengambil tengkorak kepalanya, dikutuk dan disumpah, serta tidak diaku anak, dan tidak akan mendapat warisan. Anak dan ayah itu bertengkar hebat. Kedua-duanya jadi emosi. Si ayah karena merasa terhina, tengkorak isterinya diangkat dari kuburan, sementara si anak kecewa dengan keputusan ayahnya, disamping sudah putus asa menghadapi penyakit sang isteri. Tak dapat menahan emosi, keduanya berkelahi. Sebuah tinju yang deras dari sang anak, menerpa mata sang ayah, sehingga pecah berdarah. Si ayah kalap, menyambar sebilah pedang dan bermaksud membunuh anaknya. Tetapi pedang itu tidak berhasil melukai sang anak. Ia kebal. Dan tau-tau saja senjata telah makan tuan. Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, sang ayah sempat menyumpah serapah: "Kukutuk kalian, kalian akan menunggu jasadku seumur hidup kalian berdua. Dan



turun-temurun kalian berdua, akan menunggui jasad orang-orang yang mati penasaran seperti diriku!" Seperangkat kutuk masih ia tambahkan dalam sumpah serapahnya. Setelah merasa puas, sang ayah pun mati. Meskipun jasad sang ayah telah membusuk, tetapi sang anak tidak pernah berhasil mereka lenyapkan. Di kubur, tanah terbongkar dan jasad itu kembali berada di rumah. Dilempar ke sungai, tenggelam, tetapi malam harinya sudah hadir kembali di rumah. Kengerian serta bau busuk tidak kuat mereka tahan. Suami isteri yang durhaka itu meninggalkan rumah untuk pindah ke tempat lain. Kemana pun mereka pergi, mayat itu tetap mengikuti, sampai tinggal tulang belulangnya saja. Akhirnya mereka meninggalkan rumah untuk terakhir kalinya, kembali ke tempat di mana dulu mereka pernah bertapa. Tempat itu adalah tempat dimana sekarang berdiri rumah yang didiami turun temurun oleh anak dan cucu-cucu mereka, tempat Kurdi sebagai turun terakhir tinggal. Ketika mereka tiba di pertapaan itu, kerangka sang ayah sudah menunggu di sana. Namun karena mereka sudah terbiasa, mereka membiarkannya saja. Tidak panik. Tidak pula terpengaruh. Apalagi mundur. Terpantang bagi keduanya. Mereka meletakkan tapa brata bersama-sama, diganggu oleh siksaan bathin. Si isteri, oleh siksaan asthma. Mereka satukan kekuatan bathin. Mereka minta: "Jauhkan kami dari pohon beringin tua, pohon yang menaungi rumah kediaman mereka dan keturunan mereka kemudian di tempat itu, pohon yang mereka sembah adalah: "Pisahkah tulang belulangnya. Lempar ke dalam penjuru angin!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, kerangka sang ayah mereka luluh lantakkan, kemudian dilempar lemparkan ke delapan penjuru angin. Habis melakukan perbuatan itu, mereka kembali bertapa brata. Pohon keramat itu berkata: "Kalian tak akan diganggu oleh kerangka-kerangka itu lagi. Tetapi, kalian telah



melanggar peraturan yang kuberikan. Kau, perempuan! Kau tidak berhasil memperoleh tengkorak kepala ibumu. Kau gagal. Dan kau, laki-laki. Kau peroleh tengkorak ibumu. Tetapi kau lukai, bahkan kemudian kau bunuh ibumu. Kau pun telah gagal!" Mereka mengaku bersalah, dan mohon ampun. "Tidak. Jangan menjilat ludah. Jangan melanggar janji. Kalian seharusnya malu!" "Tolonglah...!" "Tidak! Aku tidak sudi menolong manusia-manusia tak berguna seperti kamu berdua. Kukutuk kalian, untuk tetap tinggal di tempat ini sampai keturunan kalian yang paling akhir. Hehehe... jangan keburu berlega hati, mengira hukumanku terlalu ringan. Ilmu kalian hilang, akan tetapi tidak berani syarat-syaratku juga kucabut. Kamu berdua harus tetap menyembah tengkorak yang diambil dari kubur itu. Kamu berdua pun harus tetap menjalani peraturan-peraturan yang telah kalian setujui bersama. Hidup dari darah ayam putih, ayam yang disembelihkan orang lain!" Harta peninggalan sang ayah cukup banyak. Dengan itu mereka bisa mendatangi penduduk di berbagai desa, membeli ayam putih dan minta tolong menyembelihkannya sekalian. Semua mereka jalankan dengan terpaksa, sampai anak mereka seorang laki-laki, lahir, bertumbuh lambat, dan kemudian mereka berdua cepat menjadi tua. Ketika kematian mereka rasa tak akan terelakkan lagi, kedua suami isteri itu kembali melakukan tapa brata. "Anak kami belum cukup besar. Tetapi kami akan mati. Sedangkan kami ingin tetap merawat dan melindunginya. Tunjukkanlah pada kami, hal apa yang harus kami perbuat?" kedua suami isteri itu memohon dengan sangat. "Malah kalau kau perbolehkan, ingin sekali kami jadi pelindung keturunan kami sampai yang paling akhir. Betapa malangnya mereka, telah termakan sumpah yang dijatuhkan ayah!" Pohon menjawab:



"Ada dua makhluk yang bisa melakukan hal-hal itu. Yang satu, anjing. Yang kedua, kuda. Mau kalian berubah wujud jadi binatang-binatang itu?" Lama waktu yang mereka perlukan untuk berpikir. Sampai ajal kian mendekat, dan siksaan tak tertahankan lagi. Mereka menyembah pohon beringin itu, dan berujar: "Demi keselamatan darah daging kami, isteriku bersedia ganti rupa jadi dengan anjing. Jadikanlah aku seekor kuda!" "Demikianlah yang terjadi, Kurdi...." kata laki-laki itu dengan nafas terengah-engah, serta batuk-batuk yang kian menjadi. Sesaat, bibirnya yang terluka menyeringai seulas senyum. Katanya: "Ah, batuk ini. Rupanya aku sempat terjangkit oleh penyakit isteriku!" Kurdi tidak menganggap ucapan itu sebagai hal yang lucu. "Lalu..." ia bergumam. Hati-hati. "Kenapa moyang berdua berganti wujud jadi manusia lagi?" Laki-laki itu tertawa. Terkekeh-kekeh. Parau. "Begini," jawabnya. "Pohon keramat yang melindungi rumah kita selama ini, berkata bahwa aku dan isteriku akan mati wajar sebagai manusia, apabila salah seorang keturunan kami rela mengorbankan diri untuk ketenangan jiwa kami berdua. Dan itu telah kau lakukan, Kurdi.... Betapa besar terimakasih kami padamu." "Lantas mengapa moyang berdua harus bunuh diri" Bukanlah dengan golok ditanganku...." "Kurdi!" tukas si laki-laki. "Meskipun aku dan isteriku telah berganti rupa jadi anjing, tetapi kutuk ayahku tetap kami ingat baik-baik. Maka, lebih baik kami bunuh diri daripada meninggalkan kau harus mati dengan cara mengerikan serta tersiksa di setiap helaan nafas serta detikan jantung, yang akan makan waktu cukup lama...." Kurdi memelas:



"Mengapa aku tidak mati saja seperti kalian" Seperti orang-tuaku" Seperti Mira?" "Bila gerhana bulan... ilmu dan kutuk itu..." Suara si lelaki terputus sampai di satu. Kurdi lebih mendekatkan telinganya lagi. Tetapi tidak ada ucapan apapun yang ia dengar sebagai lanjutan kalimat yang terputus itu. Bahkan juga tidak tarikan nafas. Ia perhatikan wajah laki-laki itu. Kaku. Pucat. Dan diam. Ia ingin menggoyang-goyangkan tubuh si laki-laki, ingin memaksa agar ia teruskan ucapannya yang tidak selesai. Tetapi segera teringat akan peringatan moyangnya, agar jangan menyentuh jasad mereka. Apa yang akan terjadi dengan jasad kedua orang moyangnya itu" Dan apa maksudnya dengan kata-kata, "BiIa gerhana bulan...." Reflex, Kurdi tengadah. Dan melihatnya. Semenjak datang malam, ia telah melihatnya. Bulan retak-retak. Gerhana! Lalu kutuk dan ilmu. Serta hubungannya dengan hidup Kurdi. Dengan hati yang penasaran, Kurdi merundukkan mukanya lagi. Berharap, moyangnya belum mati dan masih mau melanjutkan kata-katanya. Tetapi untuk kesekian kalinya, mata Kurdi terbelalak sangat lebar... Moyang perempuannya. Kedua tubuh yang tadi berkulit halus itu, dengan cepat telah menjadi keriput. Keriput disekujur tubuh keduanya, diiringi oleh warna rambut yang hitam berubah jadi putih. Belum lagi Kurdi sempat mengatur nafas, peristiwa berikutnya dengan cepat telah berlangsung. Tubuh yang tadi tinggal kulit, kini tinggal tulang belulang serta tengkorak tanpa biji mata, tanpa telinga, tanpa daun hidung, tanpa bibir. "Demi roh..." bisiknya, tersendat. Dan, tulang belulang serta tengkorak itu pun lenyap dengan tiba-tiba. Tinggal debu belaka, yang tertangkap jelas oleh sinar mata Kurdi yang masih dibantu kekuatan bathin. Pelan-pelan, tetapi pasti, ia merasa kekuatan bathin itu pun menurun. Angin dingin bertiup disekelilingnya, mula-mula perlahan, kemudian keras. Ia menggigil. Tidak pernah ia merasa sedingin ini. Tidak pernah ia



merasa segemetar ini. Rasa-rasa sakit pada kaki serta tangannya, muncul pula tiba-tiba. Tidak pernah ia merasa sesakit ini. Matanya terasa perih, tetapi ia paksakan juga untuk melihat apa yang terjadi dengan debu-debu keputihan-keputihan itu. Dengan sinar mata yang kian melemah, ia lihat bagaimana debu kedua orang moyangnya bertemperasan ditiup angin, bertemperasan kian ke mari. Kemudian lenyap sama sekali. Hilang. Ke arah delapan penjuru angin! Angin dingin itu kian kencang bertiup. Kegelapan menghantu dengan tiba-tiba. Kurdi tengadah. Bulan retak-retak itu telah hilang. Mendung berlari-lari di langit kelam. Mendung hitam. Lalu guntur tiba-tiba menggelegar, sehingga Kurdi terlonjak berdiri saking kagetnya. Ketika kemudian petir menyambar ia tutupkan kedua tangannya diatas kepala. Aneh ia juga belum pernah merasa setakut ini. Apa yang terjadi dengan dirinya" Apa" Apa" Kurdi berusaha mengatur nafas. Diantara hutan yang mulai turun rintik-rintik, ia coba memusatkan pikiran. Tetapi tidak berhasil. Pikirannya terpecah. Kacau balau. Bingung. Ia coba membaca mantera. Namun hanya satu dua yang berhasil ia ucapkan. Kebanyakan, kacau susunannya, terganggu oleh kebingungan dan kekalutan pikiran. Suatu perasaan ganjil menyentuh ulu hatinya. "Apakah ilmuku telah..." Ia merasa kecewa. Hanya sekejap, tapi. Karena tibatiba ia merasa kegembiraan menyelinap pula di dada. Pikirnya: "Apakah ini juga berarti, kutuk atas diriku juga telah sirna?" Petir menyambar lagi. Dalam cahaya yang bersinar hanya sekejap saja itu. Kurdi



melihat sebuah benda besar dan hitam tak jauh dari tempatnya berdiri. Peti mati di bak kereta itu. Butir-butir hujan yang kian menderas, menerpa tutup peti mati itu, menimbulkan warna-warni putih keperak-perakan, serta suara berdetak-detak yang teratur. Mungkin juga suara detak-detak itu berasal dari dalam tubuh Kurdi. Dari jantungnya. "Ah," ia bergumam. "Seperti kata moyangku aku tidak boleh melanggar janji. Harus kuselesaikan tugasku. Kalau benar ilmu dan kutuk atas diriku akan berakhir mulai sekarang, maka ini pun tentulah merupakan tugas yang paling akhir pula. Entah apa yang terjadi setelah ini padaku. Tetapi yang penting, aku tidak boleh menjilat ludah. Aku tidak boleh melanggar janji...." Kemudian tali kekang yang sudah putus-putus itu ia sambung-sambung dibawah siraman air hujan. Ditambah dengan segulung tali lain yang ia ambil dari bawah tempat duduk kereta, ia kemudian membuat ikatan yang kuat di sekeliling peti mati itu, menarik simpul. Ujung yang lain ia belitkan dari dada sampai ke punggung dengan simpul besar yang bisa ia pegang dibagian depan. Setelah menyelesaikan pekerjaan itu, ia kemudian berusaha menurunkan peti mati. Dengan susah payah usaha itu berhasil ia lakukan, meski salah satu ujung peti itu terhempas dengan keras ke tanah ketika mula-mula ia turunkan dengan cara mengangkat bagian depan bak kereta tinggi-tinggi sehingga peti meluncur ke belakang dan jatuh dengan deras ke jalan bertanah yang becek. Setelah itu, ia berdiri terengah-engah. Mengatur nafas. "Sekarang, Nyi Ijah," bisiknya kearah peti mati. "Kau akan kuantar ke kuburan suamimu. Akan kugali kuburan disebelahnya, sehingga kau bisa berbaring dengan tenang di samping pembaringan suamimu..." Ia kemudian memandang berkeliling. "Dimana letaknya kuburan itu?" Ya. Tiba-tiba ia sadar. Dimana letaknya kuburan itu, pernah ia catat baik-baik di otaknya. Itu, dengan bantuan roh Nyi Ijah sendiri. Tetapi



kini, otaknya menemui jalan buntu. Otaknya seperti tidak mau berpikir, karena mengalami perubahan total yang tidak ia mengerti. Ingatannya yang berhasil diberi petunjuk oleh roh perempuan yang kini terbaring di dalam peti, entah mengapa telah hilang begitu saja. "Celaka," pikirnya. "Ilmuku benar-benar hilang kini!" Ia memandangi peti mati itu. Kemudian: Nyi Ijah. Bangkitlah. Tunjukkan padaku dimana kubur suamimu..." Tetapi peti mati itu tidak bergerak-gerak. Hanya menimbulkan suara detak-detuk. Aneh. Suara itu keras sekali. Seperti suara sesuatu yang digedor gedorkan pada tutup peti. Lalu ia melihat butir-butir hujan yang sebesar-besar jagung, berpercikan di sekitar peti mati. "Hem. Suara itu tentu ditimbulkan oleh hujan. Buktinya, kepalaku juga terasa perih ditimpa oleh butir-butir air sebesar besar jagung ini. Wahai, sakit sekali. Dinginnya, ampun!" Ia coba berpikir. Dari pengalamannya selama ini, ia ingat bahwa penduduk biasanya menyediakan tempat untuk orang-orang yang sudah mati, di pinggir desa atau kampung. Tentu kuburan yang dimaksud oleh Nyi Ijah selama ini, juga terletak di pinggir kota kecil ini. Tetapi pinggir sebelah mana" Kurdi memandang ke arah jalan raya. Yang ada hanya kegelapan, dan sinar lemah dari lampu-lampu rumah di kejauhan. Apakah ia harus berjalan menempuh jalan besar itu, menarik peti mati tanpa tujuan" Ia coba memperhitungkan waktu. Sekarang sudah menjelang subuh. Syukur kalau pekuburan itu ia temukan sebelum satu jam. Kalau tidak" Bukan saja ia akan tersiksa oleh usaha menarik peti mati itu, akan tetapi orang-orang akan sudah bangun, dan apa kata mereka kala melihat seorang laki-laki asing terlihat menyeret peti mati sepanjang jalan" Benar benar mengerikan. Itu berarti, percuma saja. Kutuk atas diri Kurdi hilang. Padahal, diam-diam ia sudah membayangkan, bagaimana rasanya mencicipi nasi,



mencicipi lauk pauk, dari hangatnya tubuh seorang perempuan yang masih hidup. Bukan tubuh sesosok mayat yang sudah dingin membeku... Mau muntah rasanya Kurdi ingat sampai di situ. "Hem," ia menemukan jalan keluar. Setelah melepaskan tali pengikat pada tubuhnya, ia kemudian berjalan tersuruk-suruk ke arah rumah terdekat, yang letaknya beberapa ratus meter dari tempat itu. Kesakitan yang amat sangat menderita kedua kakinya, ia sampai terjatuh berulang-ulang. Tetapi ia segera bangkit lagi, dan berusaha berjalan, sesekali merangkak ke arah rumah yang ia tuju. Betapa sukarnya menempuh perjalanan yang begini pendek. Bagaimana nanti bila ia harus menyeret sebuah peti mati sebagai tambahan beban" Peti" Mengapa pula ia harus membawanya" Peti itu bisa ia buka, dan mayat Nyi Ijah ia panggul. "Hem... dengan begitu, mungkin bebanku agak ringan," cetusnya dengan perasaan puas, tepat ketika ia berhasil mendekati pintu rumah yang ia tuju, kemudian mengetuknya perlahan-lahan. Tidak ada sahutan. "Ah, hujan badai menelan suara ketukan..." gumamnya, lantas pintu itu ia gedor. Sekali. Dua kali. Tiga. Tiap kali lebih keras, sampai lampu ruang depan menyala, pintu terbuka tiba-tiba dan mata Kurdl silau oleh cahaya. "Ada ap..." Pertanyaan dari penghuni rumah itu tidak diteruskan. Kurdi membiasakan matanya pada cahaya, kemudian memperhatikan orang yang berdiri dihadapannya. Orang itu, seorang laki-laki setengah baya, bertubuh sedang, berkain sarung dengan kaus singlet tampak gemetar dan pucat wajahnya. Sebelum Kurdi membuka mulut untuk menerangkan siapa dirinya, orang itu telah berusaha menutupkan pintu. Kurdi cepat menahan dengan tangannya. Tangan yang lecet-lecet, luka dan berdarah. Orang itu pun melihatnya, sebagai extra dari pemandangan sebelumnya, yakni tubuh sesosok manusia asing, berlumur darah dan basah kuyup oleh hujan serta wajah yang tampak



seram karena demikian pucatnya. Penghuni rumah itu lebih terpesona lagi waktu Kurdi bertanya: "Di mana letaknya kuburan daerah ini?" Mendengar itu, si laki-laki setengah baya menjerit: "Hantu. Kau... hanttuuuuuuuuu!" Lantas ia berlari masuk ke rumah dengan suara ribut, tanpa menutupkan pintu kembali. Orang-orang lain di rumah itu segera pada bangun. Sebelum mereka keluar. Kurdi sudah mengundurkan diri cepat-cepat. Celaka, rutuknya, mengumpat-umpat. Haruskah ia pergi ke rumah lain dan menerima perlakuan yang sama" Fuih. Penakut benar, aku disangka hantu. Puih! ia meludah, dan terseok-seok berlari ke tempat semula. Sudah. Ia cari saja kuburan itu, dengan berusaha menghindarkan bertemu dengan penduduk. Tetapi, apa yang terjadi. Tali pengikat peti telah putus-putus, dan tutup peti mati itu terbuka perlahan-lahan. Mula-mula Kurdi tidak melihat apa-apa. Tetapi bersamaan dengan menyambarnya kilat di udara, tutup peti mati terhempas membuka, dan sesosok tubuh besar berbulu coklat kehitam-hitaman bangkit dari peti mati. "Nyi...." Kurdi tidak melanjutkan suaranya yang terengah. Itu bukan Nyi Ijah. Melainkan sesosok makhluk tinggi besar dan mengerikan, yang hanya terdapat ditengah rimba belantara. Seekor mawas, yang menyeringai lebar di wajahnya yang buruk, memperlihatkan gigi gigi taring yang panjang-panjang. Mawas itu menggeram. "... kau," bathin Kurdi seolah-olah mendengar. "Kau gagal menguburkan jasadku di samping suamiku!" "Tidak!" jerit Kurdi. "Aku tidak..." "Geeeeerrrr!" Dan makhluk itu telah menerjang Kurdi. Mencekik lehernya, kemudian taring-taring



yang panjang serta runcing merengkah kepalanya. Kurdi tak sempat berteriak lagi. Dan, ketika penghuni rumah terdekat dari tempat itu, datang berlari-lari disertai oleh tetangga-tetangga setelah hujan berhenti dan matahari mulai muncul, laki-laki setengah baya itu terpaku di dekat peti mati yang menganga terbuka. Di dalam peti, terbaring tubuh Kurdi yang sudah menjadi mayat. Lama tak terdengar suara. Bahkan helaan nafas. Sampai seseorang tiba-tiba bertanya dengan suara kecut: "Inikah... hantu yang katamu subuh tadi datang ke rumahmu?" Laki-laki setengah baya berkain sarung dan berkaos singlet itu, tidak kuasa menjawabnya. Tidak. Tentu saja. Hantu tidak pernah muncul di siang bolong! Atau, arwahnya-kah yang muncul di rumahnya" "Ia..." ujarnya kemudian. "Ia bertanya di mana letaknya kuburan..." Beberapa jam kemudian, penduduk setempat menggali sebuah kuburan di komplex pemakaman mereka. Mayat Kurdi mereka tanam di sana, bersebelahan dengan sebuah kuburan lama. Di alam lain, roh Kurdi bertemu dengan roh pemilik kuburan tetangganya. Ternyata tetangganya itu adalah laki-laki yang sewaktu hidupnya pernah menjadi suami Nyi Ijah. Sementara orang-orang sibuk menutup kembali kuburan Kurdi, dari kejauhan, bergelantungan di sebuah pohon besar dan rimbun, sepasang mata ikut memperhatikan. Setelah orang-orang menyelesaikan tugasnya, makhluk itu pun menggeram, kemudian menyeringai lebar memperlihatkan gigi-gigi taring yang panjang. Sudut-sudut matanya yang kecil-kecil, dibasahi oleh butir-butir air bening. Lama makhluk itu berlaku demikian, sampai kemudian ia berpaling. Setelah itu, ia menyelinap, masuk ke dalam hutan...



Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book https://m.facebook.com/groups/1394177657302863 dan



Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel http://cerita-silat-novel.blogspot.com Sampai jumpa di lain kisah ya !!! Situbondo,3 Agustus 2018 Terimakasih -TAMAT(KOLEKTOR E-BOOK)