Perbedaan DKA Dan HHS Serta Manajemennya, Nutrisi Dan Cairan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama : Naela Rosyada NIM



: 22020118120019



Kelas : A18.2 Tugas : Perbedaan DKA dan HHS serta manajemennya : nutrisi dan cairan



REVIEW JURNAL Diabetic Ketoacidosis (DKA) dan Hiperglikemik Hyperosmolar State (HHS) adalah keadaan darurat hiperglikemik yang terus menjadi penyebab meningkatnya beban rawat inap di Amerika Serikat dan Inggris. DKA adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai dengan oleh trias DKA yaitu hiperglikemia, asidosis dan ketosis yang merupakan salah satu komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan mengancam nyawa (Masharani, 2010). Sedangkan HHS adalah diabetes yang ditandai dengan osmolaritas plasma 340 mOsm/L atau lebih (kisaran normal adalah 280-300 msOsm/L), naiknya kadar glukosa darah dengan cepat (lebih dari 600 mg/dl dan sering kali 1000-2000 mf/dl), dan perubahan tingkat kesadaran yang berat. Faktor pemicu HHS yang paling umum adalah infeksi. DKA adalah penyebab utama kematian pada anak dan dewasa muda dengan Diabetes Tipe (T1D), terhitung ~ 50% dari semua kematian pada pasien diabetes berusia di bawah 24 tahun, di Amerika serikat dan Eropa. Namun kematian yang dilaporkan juga terus mengalami peningkatan sebesar 10% dari negara-negara yang minim sumber daya perawatan akut. Sedangkan HHS lebih sering dilaporkan terjadi pada pasien dewasa dan lanjut usia dengan Diabetes Tipe 2 (T2D).1 Pasien dengan riwayat HHS memiliki resiko kematian yang signifikan setelah dirawat di rumah sakit, khususnya yang mengalami beberapa kali perawatan. Lain halnya dengan pasien diabetes tanpa HHS, sebuah studi baru-baru ini melaporkan bahwa setelah penyesuaian usia, jenis kelamin, komorbiditas terpilih, dan pendapatan bulanan, rasio bahaya kematian adalah 2,8% dan 4,5 kali lebih tinggi dari sebelumnya.1 Pasien dengan DKA sering datang dengan perjalanan klinis singkat yang ditandai dengan kelelahan dan gejala klasik hiperglikemia, poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan. Keadaan ini yang menyebabkan pasien DKA kehilangan cairan dan elektrolit. Keluhan gastrointestinal umum dengan nyeri perut difus, takikardia atau hipotensi ,mual serta



muntah dilaporkan juga terjadi pada pasien DKA. Ada pula yang pasien datang dengan kelesuan dan pingsan, tetapi kurang dari 25% datang dengan kehilangan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, pasien sering datang dengan tanda-tanda dehidrasi dengan derajat yang bervariasi, selaput lendir kering dan turgor kulit yang buruk. Selain itu pasien DKA juga menunjukkan respirasi Kussmaul dan bau nafas buah kl asik (aseton).1,2 Hampir sama dengan DKA, mayoritas pasien HHS datang dengan riwayat poliuria, polidipsia, kelemahan, penglihatan kabur, dan penurunan status mental yang progresif. Pada pemeriksaan fisik, pasien HHS sama dengan pasien DKA yang memiliki tanda-tanda dehidrasi, membran mukosa kering dan turgor kulit yang buruk, atau hipotensi. DKA adalah komplikasi diabetes yang berbahaya, memiliki mortalitas sebanyak 1% hingga 5%. Hal ini menyebabkan defisiensi insulin yang parah, kelainan elektrolit, dan dehidrasi, sehingga membutuhkan perawatan di ruang ICU. Setelah masuk, pasien memerlukan infus insulin dan pemantauan kadar elektrolit yang ketat serta gula darah dengan transisi selanjutnya ke insulin subkutan dan nutrisi oral. Tidak ada rekomendasi mengenai waktu yang tepat untuk inisiasi nutrisi oral. Sehingga kerugian potensial dari nutrisi oral yang diberikan dalam 24 jam awal masuk ke ICU yaitu termasuk kesulitan dalam pemantauan gula darah dan dosis insulin, perubahan status mental yang menjadi predisposisi aspirasi, dan memburuknya mual, muntah, dan nyeri perut.3 Diperlukan penalataksanaan yang tepat pada pasien DKA dengan melakukan perawatan serta monitor komplikasi terapi. Adapun manajemen yang bisa diberikan kepada pasien DKA antara lain; memperbaiki kehilangan cairan dengan cairan intravena, memperbaiki hiperglikemia dengan pemberian insulin, memperbaiki gangguan elektrolit terutama saat kehilangan kalium, memperbaiki keseimbangan asam basa, serta melakukan pengobatan jika terdapat infeksi. Sedangkan tujuan dari manajemen cairan pada pasien DKA adalah untuk meresusitasi cairan, pengembalian asidosis dan ketosis, pengurangan konsentrasi glukosa plasma sehingga menjadi normal, pengisian ulang elektrolit dan volume yang hilang serta mengidentifikasi penyebab yang mendasari terjadinya DKA.4 Resusitasi cairan adalah bagian penting dalam merawat pasien DKA karena larutan intravena menggantikan cairan ekstravaskular dan intravaskular yang kehilangan elektrolit. Cairan intravena juga mencairkan kadar glukosa dan kadar hormon pengatur sirkulasi. Jadwal yang disarankan untuk melakukan pemulihan cairan adalah dengan diberikan sebanyak 1-3 liter cairan saat jam pertama, 1 liter pada jam kedua, serta 2 dan 4 jam berikutnya. Pada pemberian 4 jam selanjutnya tergantung pada derajat dehidrasi dan pembacaan tekanan vena sentral. 4



Sedangkan insulin diperlukan untuk membantu memindahkan keadaan katabolik ke keadaan anabolik, dengan penyerapan glukosa dalam jaringan dan pengurangan glukoneogenesis serta produksi asam lemak bebas dan keton. Beberapa poin penting saat pengobatan insulin pada pasien DKA harus diperhatikan, salah satunya adalah regimen insulin. Regimen insulin dosis rendah memiliki keuntungan karena tidak menginduksi hipoglikemia berat atau hipokalemia yang dapat diamati dengan rejimen insulin dosis tinggi. Hanya short-acting insulin yang digunakan untuk koreksi hiperglikemia karena dapat menurunkan kadar gula darah dengan waktu yang cepat. Kemudian manajemen lain yang bisa digunakan yaitu memperbaiki gangguan elektrolit terutama pada saat kehilangan kalium. Perawat dapat melakukan pemantauan kalium setiap jam. Saat pemantauan kalium, infus harus diberhentikan jika tingkat kalium lebih besar dari 5mEq/L untuk mengantisipasi kambuhnya hypokalemia. Pada hypokalemia berat, disarankan tidak melakukan terapi insulin kecuali penggantian kalium. Hal ini untuk mencegah disrotmia jantung serius yang mungkin terjadi akibat hypokalemia. Penggantian kalium harus dimulai dengan penggantian cairan awal jika kadar kalium normal atau rendah. Perawat dapat menambahkan 20-4- mEq/L kalium klorida ke setiap liter cairan setelah kadar kalium kurang dari 5,5 mEq/L.4 Koreksi asidosis juga diperlukan untuk memperbaiki keseimbangan asam basa. Namun jika koreksi asidosis dilakukan secara cepat dapat memperburuk hypokalemia dan menyebabkan asidosis seluler paradoks. Bikarbonat biasanya tidak diganti karena asidosis akan membaik dengan hanya melakukan perawatan. Melakukan pengobatan jika terdapat infeksi juga diperlukan untuk menangani pasien DKA. Caranya dengan melakukan pemberian antibiotik yang tepat dipandu oleh hasil studi budaya dan sensitivitas. Mulai dari antibiotik empiris dengan dugaan infeksi sampai hasil pemeliharaan yang tersedia. 4 Hampir sama dengan manajemen pasien DKA, bedanya adalah pada pasien HHS memerlukan manajemen yang tepat dan cepat karena kondisinya yang akut dan jika tidak segera ditangani akan berakibat fatal. Perawatan yang cepat terhadap HHS mengarah pada resusitasi umum, pemulihan volume intravascular secara cepat, penggantian cairan dan elektrolit serta perbaikan hiperglikemia dan hipermolalitas. Resusitasi umum yang dapat dilakukan adalah dengan memantau jalan nafas. Pada kasus anak, pastikan jalan nafas paten dan jika dalam keadaan koma maka tambahkan pemberian jalan nafas. Jika pasien mengalami penurunan kesadaran maka masukkan tabung nasogastric, lakukan aspirasi dan biarkan drainase terbuka. Perawat dapat memberikan oksigen secara 100% dengan menggunakan masker wajah. Masukkan klanula IV dan ambil sample darah (glukosa, natrium, kalium, urea



dan gas darah). Pengukuran tekanan darah dan detak jantung juga diperlukan untuk memantau perkembangan pasien HHS.5 Pasien dengan HHS memerlukan rehidrasi dengan estimasi cairan yang diperlukan adalah 100ml/kgBB. Terapi cairan awal bertujuan untuk mencukupi volume intravascular dan restorasi perfusi ginjal. Terapi cairan saja dapat menurunkan kadar glukosa darah. Adapun strategi pemberian manajemen cairan pada pasien HHS adalah dengan memberikan bolus sebanyak 20 ml/kg dari (NaCl 0,90%) jika ditemukan kasus syok hipovolemik. Pemberian bolus secara berulang juga diberikan untuk memberikan tekanan darah yang stabil dan mengembalikan perfusi jaringan yang baik.5 Pemberian insulin dengan dosis kecil juga dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya hipoglikemia dan hipokalemia. Namun sebelum pemberian insulin, rehidrasi cairan yang adekuat sangat penting diberikan kepada pasien dengan HHS. Fungsi insulin adalah meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer, menurunkan produksi glukosa oleh hati sehingga dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah. Selain itu, insulin juga berguna menghambat keluaran asam lemak bebas dari jaringan adiposa dan mengurangi ketogenesis. Ketika insulin diberikan terlalu agresif maka dapat menyebabkan penurunan glukosa plasma yang cepat sehingga menyebabkan kolaps sirkulasi. Pemberian insulin pada pasien HHS diberikan lebih rendah daripada pasien dengan DKA karena terdapat ketosis minimal. Pasien yang diberikan insulin lebih awal adalah pasien HHS dengan ketosis dan asidosis berat. Dimulai dengan memberikan infus insulin secara terus menerus selama sebanyak 0,0250,05U/kg/hour yang bertujuan untuk menurunkan glukosa sebanyak 3-4 mmol/L per jam.5 Adanya terapi insulin dan koreksi keadaan asidosis, kadar kalium yang meningkat dapat terkoreksi karena kalium akan masuk ke intraseluler. Untuk mencegah terjadinya hipokalemia, pemberian kalium secara intravena dapat diberikan. Kalium diberikan jika konsentrasi kalium plasma kurang dari 5,5 mmol/L. Saat dibutuhkan, berikan (40% KCl) dalam 500 ml cairan pengganti setelah pengkajian fungsi ginjal. Selama perawatan dan hidrasi insulin, kadar serum kalium turun dengan cepat. Oleh karena itu, dianjurkan untuk melakukan penggantian kalium sebelum pemberian insulin. Tujuannya adalah untuk mempertahankan konsentrasi kalium plasma dalam kisaran 4-5 mmol/L. Terapi insulin juga dapat menyebabkan berkurangnya konsentrasi fosfat. Fosfat harus dipantau selama 2-3 jam karena dapat menyebabkan hipofosfatemia, uraemia hemolitik kelemahan otot bahkan kelumpuhan. Tidak ada penelitian yang menyebutkan tentang adanya keberhasilan terapi fosfat untuk menangani pasien dengan HHS karena fosfat dapat



menyebabkan hipokalsemia, tetanus dan soft tissue calsification. Namun jika diperlukan penggantian, perawat dapat memberikan campuran 50:50 fosfat dan kalium klorida atau kalium asetat dalam empat cairan.5 Tujuan dari terapi DKA dan HHS adalah penggantian volume sirkulasi dan perfusi jaringan perifer, penurunan kadar glukosa serum dan osmolalitas plasma, koreksi ketidakseimbangan elektrolit, perbaikan keadaan ketoasidosis pada DKA, mengatasi faktor pencetus, melakukan monitoring dan melakukan intervensi terhadap gangguan fungsi kardiovaskular, paru, ginjal dan susunan saraf pusat. Diagnosis secara klinis untuk membedakan antara DKA dan HHS tidaklah mudah. Gejala yang dialami oleh pasien dapat serupa. Anamnesis manifestasi klinis dari DKA biasanya berlangsung pada waktu yang singkat, yaitu dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan dapat berlangsung selama beberapa hari, sebelum terjadinya ketoasidosis, muntah dan nyeri perut. Kemunculan nyeri perut dapat dikaitkan dengan kondisi asidosis metabolik, namun bukan karena hiperglikemia atau dehidrasi. Pada pasien dengan HHS, manifestasi klinis dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu. Pasien dapat mengalami poliuria, polidipsia, dan penurunan kesadaran yang progresif akibat osmolalitas darah yang sangat tinggi. Nyeri perut juga jarang dialami oleh pasien HHS. Dari pemeriksaan fisik didapatkan dehidrasi sangat berat, bau nafas keton tidak ada, status mental sampai koma. Meskipun DKA dan HHS sudah banyak kesamaan, perbedaan signifikan ada dalam patologi, kriteria diagnostik, manajemen, dan resolusi setiap gangguan, dan karenanya diperlukan diagnosis dan pengkajian yang akurat.



DAFTAR PUSTAKA 1. Fayfman M. Pasquel F J. Umpierrez G. E. (2017). Management of Hyperglycemic Crises. Medical Clinics of North America, 101(3), 587–606. doi:10.1016/j.mcna.2016.12.011. 2. Yati, N.P., Bambang, T.A.A.P. (2017). Panduan Praktik Klinis, Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe 1 (Edisi 1). Jakarta : Unit Kerja Koordinasi Endrologi. 3. Lipatov K et al. Early vs Late Oral Nutrition in Patients with Diabetic Ketoacidosis Admitted to a Medical Intensive Care Unit, 10(1), 57-62. 4. Hamdi O. Khardori R. (2019). Diabetic Ketoacidosis. American Association of Clinical Endocrinologist. 5. Ng, S.M., Egde, J. (2017). Hiperglycemic Hiperosmolar State (HHS) : a practical care to guide management, Pediatric and Child Health, 27(4), 171-175. 6. Lenahan C M. Holloway B. (2015). Differentiating between DKA dan HHS. 4(3), 201.