Perbedaan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERBANDINGAN PENGATURAN OUTSOURCING PADA UU NO. 13 TAHUN 2003 DENGAN UU NO 11 TAHUN 2020 DENGAN PP NO. 35 TAHUN 2021



Dibuat Oleh : Nama



: Muhammad Firmansyah



NPM



: 19742010010



Mata Kuliah



: Hukum Ketenagakerjaan



Dosen Pengampu



: Dr. Safitri Wikan NS, SH., MH.



PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS ACHMAD YANI BANJARBARU 2021



ABSTRAK Sebuah rancangan undang-undang harus dapat menjawab dan menyentuh pokok permasalahan masyarakat sehingga dengan adanya undang-undang tersebut masayarakat mendapatkan sebuah perlindungan hukum dari negara. Namun, dalam RUU Cipta Kerja ini justru berakibat pada kontroversi yang tiada hentinya. Bahkan, disinyalir RUU ini mengandung kecacatan sejak awal pembentukannya. RUU Cipta Kerja ini masih memiliki banyak kelemahan, contohnya seperti outsourcing. Perubahan tersebut semakin mempersempit ruang gerak para buruh untuk memperjuangkan hak-hakya. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian akademis sehingga aturan-aturan yang ada dalam RUU ini mempunyai basis argumentasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan yang salah satunya adalah dengan membuat laporan kelayakan. Sayangnya RUU ini belum melakukan laporan kelayakan apakah RUU ini dibutuhkan dan penting di masyarakat. Kata Kunci : RUU Cipta Kerja, Outsourcing



KATA PENGANTAR



DAFTAR ISI



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reaksi terhadap RUU Cipta Kerja (RUU CK) yang diinisiasi oleh Pemerintah sebagai legacy konsep Omnibus Law seakan tidak pernah berhenti, bahkan mengundang perdebatan akibat kontroversi sebagai implikasinya. Omnibus Law Cipta Kerja diyakini Pemerintah sebagai obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakit menahun bangsa ini untuk membuka kran investasi yang seluas-luasnya, sehingga dengan begitu akan tercipta lapangan pekerjaan yang banyak. Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja telah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR. RUU Cipta Kerja yang ditujukan untuk menarik investasi dan memperkuat perekonomian nasional ini mendapat banyak kritik dari berbagai pihak, dimana terdapat beberapa perbedaan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satu pasal yang disoroti yakni menyangkut pekerja alih daya atau outsourcing. Undangundang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menghapus ketentuan jenis pekerjaan yang boleh diberlakukan sistem alih daya (outsourcing). B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan outsourcing ? 2. Bagaimana sistem pengaturan outsourcing? 3. Bagaimana perjanjian dalam outsourcing? 4. Apa sajakah perbedaan Outsourcing dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 (Undang-Undang Ketenagakerjaan) dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 (Undang-Undang Cipta Kerja Cluster Ketenagakerjaan) dan dengan PP No. 35 Tahun 2021 ?



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Outsourcing Outsourcing berasal dari bahasa Inggris yang berarti alih daya.1 Dari segi bahasa, outsourcing berasal dari kata “out” berarti keluar dan “source” yang berarti sumber. Outsourcing mempunyai nama lain yaitu contracting out. Pemborongan pekerjaan (outsourcing) adalah penyerahan sebagian pekerjaan



2



dari perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melalui perjanjian pemborongan pekerjaan tertulis. Outsourcing adalah pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja. Menurut Jehani, outsourcing merupakan bentuk penyerahan pekerjaan tertentu suatu perusahaan kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi beban perusahaan tersebut. Menurut Tunggal,outsourcing adalah pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kreteria yang telah disepakati oleh para pihak. Dalam



bidang



menejemen,



outsourcing



diberikan



pengertian



pendelegasian operasi dan menejemen harian suatu proses bisnis pada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Outsourcing awalnya merupakan istilah dalam dunia bisnis untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja suatu perusahaan dengan mendatangkan dari luar perusahaan. Adapun yang dimaksud dengan hubungan kerja berdasarkan sistem outsourcing adalah adanya pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu 1



Johan Wahyudi, “Keuntungan dan Kelemahan Outsourcing IT/SI”, artikel diakses pada 06 Maret 2014 dari http://johan.blogstudent.mb.ipb.ac.id.com/2010/08/03/keuntungan-dankelemaha-itsi. (dari http:// http://repository.uin-suska.ac.id/7269/4/BAB%20III.pdf) (dikutip pada tanggal : 10 Maret 2021 Jam 11:00 WITA) 2 John M. Echols dan Hassan Shadily, 1997, Kamus Inggris Indonesia Cet. Ke-XXIV, Jakarta : PT Gramedia (dikutip pada tanggal : 10 Maret 2020 Jam 13:00 WITA)



perusahaan dengan sistem kontrak tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja tetapi oleh perusahaan lain yang merupakan perusahaan pengerah tenaga kerja.3 Dari uraian tentang sistem outsourcing tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan kerja termaksud adalah termasuk jenis hubungan kerja berdasarkan perjanjian



pengiriman/peminjaman



pekerja



(uitzendverhouding).



Pada



hubungan kerja demikian ditemukan adanya 3 (tiga) pihak yang terkait satu sama lain, yaitu: a. Perusahaan penyedia atau pengirim tenaga kerja/pekerja (penyedia) b. Perusahaan pengguna tenaga kerja/pekerja (pengguna) c. Tenaga kerja/pekerja. Pada hubungan segitiga tersebut kita dapat mengidentifikasi adanya 3 (tiga) hubungan: a) Hubungan kerja antara penyedia dan pengguna. b) Hubungan kerja antara pengguna dan pekerja. c) Hubungan kerja antara penyedia dan pekerja. B. Sistem Pengaturan Outsourcing Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, kata outsourcing tidak disebutkan secara langsung, namun disebutkan sebagai ”menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain.” Outsourcing sendiri merupakan istilah yang lazim digunakan dalam dunia industri dengan makna yang kurang lebih sama dengan maksud yang diuraikan oleh undangundang ketenagakerjaan. Penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain atau outsourcing tersebut diatur pada pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat) serta pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). Pasal-pasal tentang outsourcing pada Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut memberikan arahan outsourcing sebagai berikut : 3



H.P. Rajagukguk, 2002, Peran Serta Pekerja dalam Pengelolaan Perusahaan (Codetermination) Cet. ke-1, h. 79, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia (dikutip pada tanggal : 10 Maret 2021 Jam 13:20 WITA)



a. Jenis outsourcing. b. Persyaratan formal outsourcing. c. Persyaratan perusahaan penyedia jasa/buruh. d. Jaminan kesejahteraan karyawan/buruh di perusahaan penyedia jasa/ buruh. Pengaturan-pengaturan mengenai outsourcing dalam Undang-Undang 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan inimengalami perkembangan dari pengaturan yang terdapat dalam KUHPerdata, dimana berawal dari persewaan pelayan dan pekerja yang dimasukkan kedalam buku III KUHPerdata dimana jasa pelayan atau pekerja disamakan dengan harta. Dengan pngaturan pada undang-undang, tujuan pengaturan lebih ke arah pada aspek manusia atau perlindungan terhadap pekerja. Pemahaman terhadap Pasal-pasal mengenai outsourcing pada Undang-Undang 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, diuraikan sebagai berikut : a. Jenis-jenis Outsourcing Dalam undang-undang dinyatakan sebagai sebagian pelaksanaan pekerjaan perusahaan, terbagi menjadi dua bidang, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. 1. Pemborongan pekerjaan Dalam KUHPerdata pasal 1601 b disebutkan perjanjian pemborongan pekerjaan, yakni sebagai perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Pada outsourcing pekerjaan ini harus dibuat suatu perjanjian yang akan mengikat kedua perusahaan yaitu dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Unsur-unsur perjanjian pemborongan diuraikan sebagai berikut : a) Adanya perjanjian; b) Penyelenggaraan suatu pekerjaan oleh pihak pemborong bagi pihak lain yaitu pihak yang memborongkan;



c) Penerimaan pihak pemborong atas sesuatu harga tertentu sebagai harga borongan dari pihak yang memborongkan. 2. Penyedia Jasa Pekerja/Buruh Penyedia Jasa Pekerja yang dimaksud dalam pasal 64 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan diartikan sebagai perusahaan menyerahkan pelaksanaan pekerjaan kepada “pihak lain” berikut perlengkapan dan peralatan kerjanya. Dengan kata lain, “perusahaan lain” tersebut hanya menyediakan jasa tenaga kerja saja. Proses penerimaan karyawan sampai dengan proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan merupakan tugas dari perusahaan penyedia jasa pekerja, tentunya dengan masukan serta pertimbangan dari pihak pemberi pekerjaan. Penyediaan jasa tidak untuk kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan penyedia jasa berbentuk badan hukum dan memiliki izin dari Instansi Ketenagakerjaan. Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan karyawannya yang ditempatkan pada perusahaan pemberi pekerjaan dapat berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu ataupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.4 b. Pembatasan Kegiatan Outsourcing Kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.” Kegiatan tersebut antara lain usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering),usaha tenaga pengaman (security/satuan pengaman), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.



4



Lis Julianti, Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Outsourcing Di Indonesia, Jurnal Advokasi Vol. 5 No. 1 Maret 2015 (dikutip pada tanggal : 10 Maret 2021 Jam 15:00 WITA)



c. Persyaratan Formal Outsourcing Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a) Adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. b) Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dan/atau perjanjia kerja waktu tidak tentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. c) Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketanagakerjaan. C. Perjanjian Dalam Outsourcing Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja atau buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Prof. Subekti, S.H memberikan pengertian tentang perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri, adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (dierstverhanding), yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.5 5



R. Subekti, 1997,  Aneka Perjanjian, Bandung : Alumni Bandung (dikutip pada tanggal : 10 Maret 2021 jam 21:00 WITA)



1. Bentuk-bentuk perjanjian kerja Hubungan kerja adalah hubungan perdata yang didasarkan pada kesepakatan antara pekerja dengan pemberi pekerjaan atau pengusaha. Karena itu bukti bahwa seseorang bekerja pada orang lain atau pada sebuah perusahaan/lembaga adalah adanya perjanjian kerja yang berisi tentang hakhak dan kewajiban masing-masing baik sebagai pengusaha maupun sebagai pekerja. Terdapat dua bentuk perjanjian kerja, yaitu perjanjian kerja secara lisan dan perjanjian kerja secara tulisan. a. Perjanjian kerja secara lisan Perjanjian kerja umumnya secara tertulis, tetapi masih ada juga perjanjian kerja yang disampaikan secara lisan. Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UUKK) membolehkan perjanjian kerja dilakukan secara lisan, dengan syarat pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja, yang berisi : 1) Nama dan alamat pekerja; 2) Tanggal mulai bekerja; 3) Jenis pekerjaan; 4) Besarnya upah (Pasal 63 UUKK). Untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu dan pengusaha bermaksud memperkerjakan karyawan untuk waktu tertentu (PKWT), perjanjian kerja tidak boleh dibuat secara lisan. b. Perjanjian kerja Tertulis Perjanjian kerja tertulis harus memuat tentang jenis pekerjaan yang akan dilakukan, besarnya upah yang akan diterima dan berbagai hak serta kewajiban lainnya bagi masing-masing pihak. Perjanjian kerja tertulis harus secara jelas menyebutkan apakah perjanjian kerja itu termasuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT atau disebut sistem kontrak) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT atau sistem



permanen/tetap). Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus didasarkan pada: a) Kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan hubungan kerja. b) Kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum. c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan. d) Pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu bahwa perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yaitu perjanjian yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja yang disahkan oleh pemerintah



(Instansi



Ketenagakerjaan). Syarat



dan



ketentuan



pemborongan pekerjaan diatur dan ditetapkan berdasarkan hukum perjanjian, yakni kesepakatan kedua belah pihak. Asas yang berlaku dalam hukum perjanjian adalah, hal-hal yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian berlaku sebagai undang-undang yang mengikat.



Ketentuan



tersebut



dikenal



dengan



Asas



Kebebasan



Berkontrak. Namun demikian, sekalipun undang-undang memberikan kebebasan kepada pihak-pihak untuk menentukan isi perjanjian pemborongan pekerjaan, syarat dan ketentuan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan norma keadilan. 2. Jenis-jenis perjanjian kerja Perjanjian Kerja ada banyak jenis dan masing-masing perjanjian kerja tersebut mempunyai konsekuensi berbeda bila terjadi PHK. Dalam UndangUndang Ketenagakerjaan ditentukan ada beberapa jenis Perjanjian kerja, yaitu sebagai berikut: a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja yang jangka berlakunya telah ditentukan atau disebut sebagai karyawan



kontrak. Bila jangka waktu sudah habis maka dengan sendirinya terjadi PHK dan para karyawan tidak berhak mendapat kompensasi PHK seperti uang pesangon, uang penghargan masa kerja, uang penggantian hak, uang pisah. b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Perjanjian untuk waktu tidak tertentu adalah suatu jenis perjanjian kerja yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, yang tidak memiliki jangka waktu berlakunya. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu tidak akan berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan oleh penjualan, pewarisan, atau hibah. PKWT dan PKWTT harus ditanda tangani kedua belah pihak. c. Perjanjian Kerja Dengan Perusahaan Pemborong Pekerjaan Sebuah perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yang berbadan hukum dengan cara membuat perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Dalam praktiknya, outsourcing biasanya menggunakan PKWT juga terkait perjanjian kontraknya sehingga menjadi buruh outsoucing dengan status kontrak (PKWT). Jadi, PKWT dan outsourcing adalah istilah yang berbeda meskipun penerapannya bisa dilakukan secara bersamaan.           Untuk



mengantisipasi



kemungkinan



penghentian



perjanjian



kerja outsourcing, dalam perjanjian kontrak harus ada klausa khusus mengenai hal ini. Termasuk kapan dapat dihentikan, siapa boleh menghentikan, berapa lama harus memberitahukan terlebih dahulu, apakah ada kompensasi atau tidak dan sebagainya. Dengan demikian kemungkinan timbulnya perselisihan akan berkurang, pertimbangan apakah kontrak outsourcing yang sudah ada dihentikan akan diberikan kepada pemberi jasa lainnya atau dikeljakan sendiri lagi, tergantung pasa evaluasi manajemen pada waktu itu. Apabila berdasarkan pengalaman



mengenai mutu kerja, biaya maupun hubungan sedemikian rupa sehingga diperkiran bahwa pemberi jasa lainya juga tidak akan banyak perubahan maka ini mendorong keputusan untuk kembali kerja sendirian. D. Perbedaan Outsourcing dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 dengan PP No. 35 Tahun 2021 Sistem perjanjian pemborongan pekerjaan dan sistem penyediaan jasa pekerja/buruh dikenal dengan sistem outsourcing (alih daya). Sebelumnya perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh diatur dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan). Akan tetapi, pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Undang-Undang Cipta Kerja) telah menghapus ketentuan pada Pasal 64 dan 65 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan melalui Pasal 81 angka 18 dan 19 Undang-Undang Cipta Kerja. Penghapusan pasal tersebut terjadi karena pemerintah tidak ingin masuk ke dalam ranah perjanjian bisnis (Perdata). Pemerintah hanya mengatur soal perlindungan bagi pekerja atau perjanjian kerjanya.6 Selain itu, terdapat juga Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yang merupakan salah satu aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang sudah selesai dibahas dan telah disahkan oleh Presiden. Peraturan Pemerintah (PP) tersebut mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja.



6



https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57749322e840f/perbedaanpemborongan-pekerjaan-dengan-penyediaan-jasa-pekerja/ (diakses pada tanggal : 14 Maret 2021 jam 20:40)