Perencanaan Hutan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERENCANAAN KEHUTANAN



Oleh Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, MAgr (Guru Besar pada Fakultas Kehutanan IPB)



Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan WAS-GANIS PHPL Perencanaan Hutan (WASCANHUT), 3 Oktober ~ 29 Oktober 2010



BOGOR, 2010



Perencanaan Hutan



Halaman 0



I. PENDAHULUAN A. Pengertian khusus 1. Perencanaan penentuan



Kehutanan kegiatan



adalah



dan



proses



perangkat



penetapan



yang



tujuan,



diperlukan



dalam



pengurusan hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna



menjamin



tercapainya



tujuan



penyelenggaraan



penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. (NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN ) 2. Maksud pedoman



perencanaan dan



arah



kehutanan bagi



adalah



pemerintah,



untuk



memberikan



pemerintah



provinsi,



pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, pelaku usaha, lembaga profesi, yang memuat strategi dan kebijakan kehutanan untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan (UU No 41 Pasal 10 dan PP No 44 Tahun 2004) 3. Tujuan perencanaan kehutanan adalah mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat fungsi hutan yang optimum dan lestari. B. Pengertian Umum 1. Perencanaan



hutan



adalah



sebuah



proses



dimana



anggota



masyarakat (termasuk planner) secara bersama-sama membahas (merencanakan) apa yang mereka kehendaki dalam hutannya dan bagaimana masyarakat memandang, merasakan dan menginginkan fungsinya di masa mendatang. (Forest Planning is a process where community members come together to discuss how they want their forests and communities to look, feel, and function in the future). 2. Perencanaan adalah sebuah kesempatan atau peluang untuk membantu memutuskan apa yang akan terjadi terhadap lahan di Perencanaan Hutan



Halaman 1



sekitar kita (an opportunity to help decide what will happen on the land around you). C. Ruang Lingkup Perencanaan Hutan 1. Perencanaan hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam



kegiatan



pengurusan



hutan



(perencanaan



hutan,



pengelolaan kehutanan, litbangdiklatluh dan pengawasan) 2. Kegiatan perencanaan hutan meliputi kegiatan: a. Inventarisasi hutan. 1) Inventarisasi hutan adalah suatu kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap 2) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 dikelola dalam suatu sistem informasi kehutanan. 3) Sistem informasi kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjenjang yang meliputi nasional, provinsi, kabupaten/kota dan unit pengelolaan. b. Pengukuhan kawasan hutan. 1) Pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh Menteri untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas dan luas kawasan hutan.



Informasi tentang



pengukuhan hutan diperoleh dari kegiatan inventarisasi hutan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. 2) Pengukuhan hutan dilakukan dengan proses kegiatan sebagai berikut: a) Penunjukan kawasan hutan;



Perencanaan Hutan



Halaman 2



b) Penataan batas kawasan hutan; c) Pemetaan kawasan hutan; dan d) Penetapan kawasan hutan. c. Penatagunaan kawasan hutan.



Penatagunaan kawasan hutan



terdiri atas kegiatan: a) Penetapan fungsi kawasan hutan; b) Penggunaan kawasan hutan. 1) Penetapan fungsi kawasan hutan sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. a) Hutan Konservasi yang terdiri : (1)



Hutan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka



Margasatwa; (2)



Hutan Pelestarian Alam terdiri dari Taman Nasional,



Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam; dan (3)



Taman Buru;



b) Hutan lindung: c) Hutan Produksi (1)



Hutan Produksi Terbatas



(2)



Hutan Produksi Biasa



(3)



Hutan Produksi yang dapat dikonversi



2) Penggunaan kawasan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan



hutan



produksi



dan



kawasan



hutan



lindung.



Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan Perencanaan Hutan



Halaman 3



di



luar



kegiatan



kehutanan



diatur



dengan



Keputusan



Presiden. d. Pembentukan wilayah pengelolaan 1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari, dan dapat dilaksanakan untuk tingkat provinsi, kabupaten dan unit pengelolaan. 2) Wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi terbentuk dari himpunan



wilayah-wilayah



pengelolaan



hutan



tingkat



kabupaten/ kota dan unit-unit pengelolaan hutan lintas kabupaten/kota dalam provinsi. 3) Wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota terbentuk dari



himpunan



unit-unit



pengelolaan



hutan



di



wilayah



kabupaten/kota dan hutan hak di wilayah kabupaten/kota. 4) Unit Pengelolaan Hutan dapat berupa: a) Kesatuan



Pengelolaan



Hutan



Konservasi



pada



hutan



konservasi; b) Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung pada hutan lindung; c) Kesatuan



Pengelolaan



Hutan



Produksi



pada



hutan



produksi.



e. Penyusunan rencana kehutanan 1) Jenis rencana kehutanan; 2) Tata



cara



penyusunan



rencana



kehutanan,



proses



perencanaan, koordinasi dan penilaian; 3) Sistem Perencanaan Kehutanan; dan Perencanaan Hutan



Halaman 4



4) Evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana kehutanan.



II. PRINSIP-PRINSIP PERENCANAAN HUTAN A. Perencanaan hutan dapat mencakup perencanaan yang komprehensif yang secara spesifik ditujukan untuk hutan. Perencanaan kehutanan ini merupakan bagian yang integral dari perencanaan masyarakat secara umum (A community plan could include a comprehensive plan, groundwater plan, stormwater plan, transportation plan, biking trail plan, forest plan, and many more) B. Sepanjang masyarakat mempertimbangkan masa depan, sepanjang itu pula dia harus mengelola hutan dengan baik (as long as people thought about the future, they have managed forest). C. Pengelola



hutan



membutuhkan



sebuah



ketulusan



hati



dalam



memperlakukan hutan sebagai satu entitas (Forest managers required genuine sense to manage forest an entity) D. Klasifikasi Perencanaan Kehutanan 1. Perencanaan Strategis (Strategic Planning) : membantu mengatur arahan



utama



kehutanan



shg



hutan



dan



penggunaannya



memberikan kontribusi terbaik untuk kesejahteraan pemilik.  menjawab apa yang menjadi tujuan keseluruhan (overall goal) dari pengelolaan



hutan



-



membantu



menentukan



management



objective, tactical planning. 2. Perencanaan Taktis (Tactical Planning): menjawab pertanyaan2 apa yang harus dikerjakan dalam hutan untuk mencapai target produksi yang



diturunkan



dari



P.



Strategis



&



pembuatan



keputusan



berikutnya.  menghasilkan daftar dari sejumlah kegiatan (operasi & perlakuan) yg seyogyanya dilakukan dalam hutan Perencanaan Hutan



Halaman 5



3. Perencanaan operasional (Operative Planning):



merencanakan



implementasi dari perlakuan yang ditentukan pada P taktis.



E. CIRI-CIRI PERENCANAAN 1. Perencanaan Strategis: a. Evaluasi



dengan



preferensi



pemilik



(owner)



&



ada



unsur



ketidakpastian (uncertainty) b. Pendekatan lebih subyektif dengan multiple



criteria



comparison



menggunakan ranking dg



method



(sedikit/tidak



mengg



optimisasi numerik). c. Mempunyai horison waktu panjang d. Tidak spesifik lokasi e. Peubah-peubah produksi lebih banyak dipertimbangkan 2. Perencanaan Taktis a. Ketidakpastian (uncertainty) kurang relevan b. Objective didefinisikan lebih jelas c. Menggunakan optimisasi numerik d. Mempunyai



horizon



waktu



lebih



pendek



dari



perencanaan



strategis e. Spesifik terhdap lokasi f. Peubah produksi lebih sedikit < P strategis. 3. Perenanaan operasional. a. Mengikuti P taktis. b. Analisis preferensi mpk tahap strategis pd saat merencanakan.



Perencanaan Hutan



Halaman 6



Perbandingan antara tingkat-tingkat perencanaan Peubah penciri



Strategic planning



Tactical planning



Operative planning



Rentang waktu (Time horizon)



Panjang (Long)



Sedang (medium)



Pendek (Short)



Faktor produksi (Production factors)



Berubah-ubah (Variable)



…..



Tetap (fixed)



Pengambilan keputusan (Decisionmaking)



Subbyektif (Subjective)



Obyektif (objective)



Tujuan (purpose)



Untuk memuaskan (To satisfy)



Untuk mengoptimalkan (To optimize)



Pertanyaan2 (Questions)



What goal



is



the



overall



What actions should be performed



How should it be done



III. PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN A. UUPK



No 5 1967 (24 Mei 67) tentang KETENTUAN-KETENTUAN POKOK



KEHUTANAN disebutkan secara eksplisit rentang keharusan menyusun rencana karya untuk hutan-hutan yang telah ditata. Bagi hutan-hutan yang belum ditata, maka diharuskan membuat sebuah bagan kerja. B. PP No 33 1970 diatur tentang Perencanaan Hutan, khususnya yang terkait dengan penyusunan rencana karya dua puluh tahunan (RKD), rencana karya lima tahunan (RKL) dan rencana karya tahunan (RKT) C. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor : 309/kpts-ii/1999 tentang sistem silvikultur dan daur tanaman pokok dalam pengelolaan hutan produksi D. Peraturan Menteri Kehutanan nomor : P30/menhut-ii/2005 tentang standar sistem silvikultur pada hutan alam tanah kering dan atau hutan alam tanah basah/rawa



Perencanaan Hutan



Halaman 7



E. Peraturan Menteri Kehutanan nomor : P. 11/menhut-ii/2009 tentang silvikultur dalam areal izin usaha pemanfaatan kayu pada hutan produksi



IV. PRINSIP PENENTUAN SISTEM SILVIKULTUR A.



Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau sistem teknik bercocok tanaman hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen.



B. Sistem Silvikultur juga didedifinisikan sebagai (P11/2009) sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan informasi terbentuknya hutan yaitu proses klimatis dan edaphis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari atau sistem teknik bercocok tanaman hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanamandan memanen. C. Sistem Silvikultur pada hutan alam tanah kering dan atau hutan alam tanah basah/rawa adalah sistem budidaya hutan yang mencakup kegiatan pembibitan, penanaman atau pengkayaan tegakan, pemeliharaan dan pembinaan tegakan, serta pemanenan hasil hutan. D. Prinsip pemilihan sistem silvikultur mencakup 4 prinsip, yaitu: 1. Kesesuaian dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya; 2. Pertimbangan yang lengkap dan menyeluruh terhadap nilai-nilai sumberdaya hutan; 3. Pertimbangan biaya dan manfaat ekonomi; dan 4. Kesesuian dengan tujuan pengelolaan sumberdaya hutan. E. Untuk memenuhi prinsip-prinsip pemilihan tersebut maka sistem silvikultur yang dipilih dan diterapkan pada Hutan Alam Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa harus memenuhi kriteria dan indikator:



Perencanaan Hutan



Halaman 8



F. Pendekatan Penutupan Hutan dan Penggunaan Lahan.



Untuk menentukan



sistem silcikultur apakah menggunakan sistem Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) atau bukan THPB maka dilakukan evaluasi kondisi vegetasi (penutupan hutan dan penggunaannya).



Proses evaluasi penutupan



lahan ini dilakukan menggunakan prosedur Delineasi Makro sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2007.



Hasil dari



delineasi ini berupa: 1. Areal hutan alam bekas tebangan 2. Areal yang telah ditanami 3. Areal tanah kosong, padang alang-alang dan semak belukar 4. Sarana dan prasarana 5. Permukiman, sawah, ladang, kebun dan areal pinjam pakai Hasil dari delineasi ini adalah sebagai standar pelaksanaan operasional percepatan pembangunan hutan tanaman secara ringkas. Delineasi dilakukan secara visual terhadap perbedaan penampakan baik berupa peta atau gambar yang diturunkan dari data dan informasi faktual di lapangan atau areal dengan cara menarik garis-garis batas. G. Pendekatan bio-fisik. Pendekatan ini dilakukan dengan delineasi mikro, yang mempunyai manfaat sebagai standar pelaksanaan operasional percepatan pembangunan hutan tanaman secara holistik (P.3/Menhut-II/2008, tentang Delineasi areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri dalam hutan tanaman). Hasil dari delineasi mikro ini dapat digunakan untuk menentukan: 1. Areal yang harus dipertahankan dan wajib dijaga dan dilindungi sebagai areal hutan produksi aam yang berfungsi sebagai kawasan hutan lindung 2. Areal yang diusahakan dengan sistem silvikultur bukan THPB



Perencanaan Hutan



Halaman 9



3. Luas areal hutan alam yang dialokasikan untuk kegiatan pembangunan hutan tanaman, yang meliputi perluasan tanaman pokok, tanaman unggulan, penambangan tanaman kehidupan dan pembangunan sarana dan prasarana. H. Untuk pengelompokkan ini dilakukan menggunakan



V. MACAM-MACAM SISTEM SILVIKULTUR A. Secara umum ada 4 sistem silvikultur yang dapat diterapkan pada hutan produksi di Indonesia, yaitu: 1. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) 2. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) 3. Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) 4. Tebang Pilih Tanam dalam Jalur (TPTJ). B. Berdasarkan struktur tegakannya, sistem silvikultur dibedakan atas: 1. Sistem silvikultur tegakan seumur, yang mencakup THPB dan THPA. Untuk mempertahankan kondisi regenerasi alami, pada tegakan seumur juga dapat diterapkan sistem silvikultur TPTI 2. Sistem silvikultur tegakan tidak seumur dilakukan melalui tebang pilih : a. Individu, dilaksanakan dengan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). b. Kelompok, dilaksanakan dengan Tebang Rumpang (TR). c. Jalur, dilaksanakan dengan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Penetapan sistem silvikultur ini didasarkan dari hasil risalah hutan, lokasi dan jenis tanaman yang dikembangkan. C. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Dengan sistem silvikultur TPTI, hutan alam akan menghasilkan berbagai jenis kayu yang mempunyai nilai kompetisi tinggi dan sangat aman dari sisi ekologis. Produksi TPTI merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka panjang. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah sistem silvikultur meliputi cara penebangan dengan batas diameter dan Perencanaan Hutan



Halaman 10



kegiatan permudaan hutan.



Penerapan sistem silvikultur TPTI dan atau Tebang



Rumpang (TR) diterapkan pada hutan alam perawan (virgin forest) atau hutan bekas tebangan (logged over area) di areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan produksiberdasarkan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan HasilHutan Kayu (RKUPHHK). D. Tebang Pilih Tanaman Jalur (TPTJ). Tebang Pilih Tanam dalam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter minimal 40 cm diikuti permudaan buatan dalam jalur. Dengan sistem TPTJ atau Tebang Pilih Tanam Intensif (TPTII) atau sering dikenal dengan istilah Silvikultur Intensif (Silin), hutan alam akan menghasilkan kayu yang lebih produktif dan bernilai tinggi terutama dari hasil tanaman di jalur antara, dan cukup aman dari aspek ekologi. Produksi dari TPTJ/TPTII/Silin merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka menengah atau sedang. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) adalah sistem silvikultur meliputi cara penebangan habis dengan permudaan buatan. Penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur diterapkan pada hutan bekas tebangan (logged over area) di areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan produksi berdasarkan Rencana Kerja UsahaPemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK). E. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) adalah sistem silvikultur meliputi cara penebangan habis dengan permudaan buatan. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Dengan sistem THPB, hutan yang rusak dapat direhabilitasi dan ditingkatkan produktifitasnya. Produksi dari THPB merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka pendek: 1. Hutan tanaman industri yang selanjutnya disingkat HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangunoleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. HTI dibangun pada areal yang tidak produktif. 2. Hutan tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk Perencanaan Hutan



Halaman 11



meningkatkan otensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.



HTR



dibangun pada areal yang tidak produktif. 3. Hutan tanaman hasil rehabilitasi yang selanjutnya disingkat HTHR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun melalui kegiatan merehabilitasi lahan dan hutan pada kawasan hutan produksi untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi lahan dan hutan dalam rangka mempertahankan daya dukung, produktivitas dan peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan. F. Penerapan sistem silvikultur THPB, diterapkan padahutan bekas tebangan (logged over area) atau pada hutan tanaman pada hutan produksi biasa atau hutan produksi yang dapat dikonversi di areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan



Kayu



pada



hutan



produksi



berdasarkan



Rencana



Kerja



Usaha



Pemanfaatan HasilHutan Kayu (RKUPHHK). G. Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) adalah sistem silvikultur meliputi cara penebangan habis dengan permudaan alam. Penerapan sistem silvikultur THPA, diterapkan padahutan bekas tebangan (logged over area) atau pada hutan tanaman melalui trubusan (coppice system) dan atau generatifpada hutan produksi biasa atau hutan produksi yangdapat dikonversi di areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan produksiberdasarkan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK). H. Reformasi Pengelolan Hutan di Indonesia 1. Saat ini, dalam satu unit pengelolaan hutan produksi (IUPHHK) lestari dapat diterapkan multisistem silvikultur, yaitu sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistem silvikultur dan merupakan multi usaha. Multisistem silvikultur ini bertujuan untuk mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Rekomendasi ini didasarkan pada Permenhut No. P.30/Menhut-II/2005 yang diperkuat dengan PP. No.3/2008 yang menyatakan bahwa dalam satu unit pengelolaan hutan produksi, baik dalam bentuk



Perencanaan Hutan



Halaman 12



IUPHHK-HA maupun IUPHHK-HT dapat digunakan lebih dari satu sistem silvikultur (multisistem silvikultur). 2. Multisistem silvikultur merupakan upaya optimalisasi pemanfaatan areal hutan, sehingga seluruh bagian areal hutan produksi, baik yang berupa hutan alam yang masih potensial maupun hutan yang sudah rusak, dapat dikelola sesuai dengan sistem silvikultur yang tepat. Kombinasi beberapa sistem silvikultur ini akan mempunyai beberapa kelebihan.



Kombinasi sistem ini



dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya. 3. Keuntungan dari sisi cashflow, pengelolaan hutan menggunakan multisistem silvikultur akan lebih ancar sehingga akan lebih menjamin kelayakan usaha dalam bisnis kehutanan. Jaminan keamanan kawasan hutan juga akan menjadi lebih mantap karena pengelolaan hutan menjadi optimal dan menyeluruh pada semua bagian hutan. 4. Keuntungan multisistem silvikultur pada IUPHHK-HA dari sisi produktifitas, pada areal hutan alam yang efektif untuk produksi dapat dipilah menjadi areal yang layak untuk TPTI dan areal yang layak untuk Silin/TPTJ 5. Dibandingkan pada IUPHHK-HA, penggunaan multisistem silvikultur pada IUPHHK-HT dari sisi produktifitas per-satuan luas tidak meningkatkan volume kayu yang dapat dimanfaatkan, namun variasi jenis kayu yang dihasilkan lebih beragam, yaitu dari jenis tanaman yang dikembangkan dan jenis kayu dari hutan alam. 6.



Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya (pasal 34 Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 tentang tata hutan danpenyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan)



7.



Pemanfaatan kayu dari hutan alam dapat diperoleh dari kegiatan usaha melalui pemanfaatan hasil hutan kayu; atau pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem.



Perencanaan Hutan



Halaman 13



I.



Siklus Tebangan 1. Pada hutan daratan tanah kering: a. 30 (tiga puluh) tahun untuk diameter ≥ 40 cm (empat puluh centimeter) pada hutan produksi biasa dan atau hutan produksi yang dapat dikonversi dan ≥ 50 cm (lima puluh centimeter) pada hutan produksi terbatas dengan sistemsilvikultur TPTI atau TR. b. 25 (duapuluh lima) tahun untuk sistem TPTJ pada jalur tanam selebar 3 (tiga)meter dilakukan tebang habis, dan di jalur antara ditebang pohon berdiameter ≥ 40 cm (empat puluh centimeter). c. Pada hutan rawa: 40 (empat puluh) tahun untuk diameter ≥ 30 cm (tiga puluh centimeter) d. Pada hutan payau/mangrove: 20 (dua puluh) tahun untuk bahan baku chip, dan 30 (tiga puluh) tahun untuk kayuarang untuk diameter ≥ 10 cm (sepuluh centimeter)



VI.



KEGIATAN DALAM SISTEM SILVIKUTUR



A. Pada Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) 1. Penataan areal kerja (PAK) dan risalah hutan (ITSP) 2. Pembukaan wilayah hutan (PWH) 3. Pembebasan pohon penaung 4. Pengadaan bibit 5. Pembuatan Jalur Tanam 6. Penanaman 7. Pemeliharaan Tanaman Muda (awal) 8. Penjaranan 9. Perlindungan Hutan 10.



Pemanenan



B. Pada Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) 1. Perencanaan/persiapan a. PAK Perencanaan Hutan



Halaman 14



b. PWH 2. Pelaksanaan a.



ITSP (E-2)



b. Penebangan c. Pembebasan Tahap 1 (Et + 2) d. Pengadaan bibit (ET + 2) e. Penanaman/rehabilitasi (ET + 3) f. Pemeliharaan Tanaman Rehabiltasi (ET + 4) g. Pembebasan II dan III (Et + 4 dan ET + 6) C. Pada Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) 1. Persiapan lahan a. PAK b. PWH 2. Pelaksanaan a. Pengadaan bibit b. Penanaman c. Pemeliharaan (tanaman muda dan penjarangan) d. Perlindungan hutan e. Pemanenan f. Pemasaran VII.



LAMPIRAN DRAFT PEDOMAN TEBANG PILIH TANAM JALUR



Perencanaan Hutan



Halaman 15



DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) A.



LATAR BELAKANG



Berdasarkan kenyataan atas pelaksanaan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) selama ini, dapat dikemukakan bahwa kegiatan pembinaan hutan bekas tebangan belum dilakukan secara intensif sehingga menimbulkan anggapan bahwa penanganan areal bekas tebangan kurang memperoleh perhatian yang serius di lapangan. Dengan kata lain kegiatan pengayaan dan pemeliharaan tegakan tinggal dalam TPTI belum tampak secara nyata di lapangan dan tidak memungkinkan dilakukannya pengawasan yang efektif. Kondisi ini mengakibatkan tidak terjaminnya pengelolaan hutan lestari (kelestarian produksi) sehingga mendasari perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan alam produksi. Sistem tersebut harus berpedoman pada 4 (empat) prinsip, yaitu teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, secara ekonomis menguntungkan namun tetap realistis mengarah pada kelestarian hutan, dan memungkinkan diadakannya pengawasan yang efektif. Untuk maksud tersebut, maka ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi, yang antara lain mengatur tentang Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). B.



MAKSUD DAN TUJUAN



Maksud ditetapkannya pedoman sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sebagai panduan dan arahan bagi pelaksana lapangan dalam menerapkan sistem TPTJ dengan murah dan benar. Adapun Tujuan disusunnya pedoman ini adalah agar pengelolaan hutan alam produksi dapat dilakukan secara lebih optimal melalui penerapan tindakan silvikultur secara jalur sehingga kegiatan pembinaan dan pengawasan hutan lebih terjamin. C.



KETENTUAN UMUM



1. Mengingat sistem silvikultur TPTJ menekankan pada upaya optimal pertumbuhan tanaman pengayaan sehingga diperlukan pembukaan tajuk yang lebih lebar, maka perlu diantisipasi dengan meminimalkan terjadinya erosi tanah yang berlebihan. Untuk itu penerapan TPTJ dibatasi pada : Perencanaan Hutan



Halaman 16



a. b. c. d.



Hutan alam produksi tetap atau logged-over area Topografi areal sebagian besar mempunyai kemiringan lereng antara 0-25 %. Bukan pada areal yang jenis tanahnya rentan terhadap erosi Diupayakan pada areal yang tidak m (satu hamparan) yang luas



2. Areal terdiri dari dua bagian yaitu jalur tanaman pengayaan/buatan yang selanjutnya disebut Jalur tanam, dan jalur vegetasi alam atau jalur tegakan tinggal yang selanjutnya disebut jalur antara. 3. Lebar jalur tanam ditetapkan 3 (tiga) m dan secara bertahap dapat diperlebar. 4. Jarak antara 2 sumbu jalur tanam yang bersebelahan ditetapkan sekitar 20 (dua puluh) m. 5. Jarak tanam dalam satu larikan tanaman dalam jalur adalah 2.5 m. 6. Penebangan awal untuk persiapan lahan atau pembuatan jalur tanam dan jalur antara dilakukan dengan menebang semua jenis pohon berdiameter >40 cm, kecuali pohon kehidupan yang dibutuhkan masyarakat setempat serta pohon dilindungi. 7. Penebangan akhir (pemanenan) dilakukan pada akhir rotasi atau apabila tanaman pengayaan sudah mencapai umur masak tebang (daur). Daur jenis tanaman pengayaan ditetapkan berkisar antara 20 sampai dengan 25 tahun, disesuaikan dengan kelas perusahaan yang ditetapkan. 8. Penebangan pohon pada jalur tanam dilakukan tebang habis, sedangkan di jalur antara dilakukan tebang pilih dengan limit diameter ≥ 40 cm. Pohon dilindungi dan pohon induk tidak diperkenankan ditebang. 9. Untuk mengurangi dampak penebangan terhadap tanah dan vegetasi harus menerapkan prinsip-prinsip pembalakan berdampak rendah (Reduced Impact Logging /RIL). 10. Jenis tanaman yang dipilih sebagai tanaman pengayaan adalah jenis pohon unggulan setempat yang mempunyai prospek pasar yang baik dan mempunyai pertumbuhan yang cepat, misalnya dari kelompok Dipterocarpaceae..



D.



PENGERTIAN



1. Sistem silvikultur



Adalah



2. Sistem silvikultur



Adalah rangkaian kegiatan yang dirancang secara



Perencanaan Hutan



rangkaian kegiatan berencana dalam pengelolaan hutan yang meliputi tatacara permudaan, pemeliharaan dan penebangan tegakan hutan guna menjamin kelestarian hutan produksi serta hasil hutan kayu dan atau hasil hutan lainnya.



Halaman 17



Tebang Pilih Tanam Indonesia



sistematis dan diterapkan terhadap tegakan hutan alam untuk memacu pertumbuhan tegakan pada rotasi berikutnya. Penebangan dilakukan secara selektif dengan limit diameter tebang, permudaan dilakukan secara alami dan buatan serta tindakan pembinaan (pembebasan/penjarangan) tegakan tinggal agar pertumbuhannya lebih meningkat.



3. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur



Adalah rangkaian kegiatan berencana yang dilakukan terhadap hutan alam sehingga diperoleh struktur tegakan campuran berupa jalur vegetasi alam dan jalur vegetasi tanaman sebagai upaya peningkatan produktivitas hutan alam. Penebangan dilakukan dengan tebang pilih pada jalur antara dan secara tebang habis pada jalur tanam. Permudaan dilakukan secara alami dan buatan di jalur-jalur tanam, serta pemeliharaan intensif di jalur tanam.



4. Benih



adalah biji yang telah diseleksi dengan baik yang digunakan sebagai bahan pembuatan tanaman



5. Bibit



adalah bahan tanaman, baik yang berasal dari benih (generatif) maupun dari pembiakan vegetatif (stek, sambungan atau cangkok)



6. Cabutan



adalah bibit yang didapat dengan cara mencabut semai alam yang tumbuh disekitar pohon/tegakan alam.



7. Penguatan/ pengerasan (hardening)



adalah suatu jenis perlakuan terhadap bibit di persemaian berupa pengurangan frekuensi penyiraman, penaungan, dan perlakukan pemeliharaan lainnya secara berangsur-angsur dengan tujuan untuk mempersiapkan agar bibit tahan terhadap kondisi lapangan.



8. Jalur tanam



adalah jalur yang telah dibersihkan selebar 3 meter dan dapat diperlebar secara bertahap sebagai tempat ditanamnya bibit dengan jarak tanam dalam jalur 2,5 m.



9. Jalur antara



adalah jalur diantara dua jalur tanam selebar 17 m yang tidak dilakukan pembersihan, namun tetap dilakukan pembinaan tegakan untuk meningkatkan produktivitas tegakan di jalur antara.



Perencanaan Hutan



Halaman 18



10. Kebun pangkas



adalah areal tanaman (kebun) yang berasal dari pohon seleksi (plus) untuk menghasilkan bahan stek (vegetatif) dalam jumlah besar



11. Pemulsaan (mulching)



adalah kegiatan pemeliharaan tanaman untuk menjaga kelembaban dan suhu tanah disekitar tanaman dengan cara menutup tanah disekitar tanaman dengan serasah



12. Pembebasan



adalah kegiatan pemeliharaan untuk memberikan sinar langsung dan ruang tumbuh yang dibutuhkan tanaman dengan cara mematikan pohon penyaing yang menaungi/mendesak tajuk tanaman pokok dan pohon binaan dalam jalur antara.



13. Pemupukan



adalah kegiatan pemeliharaan untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan jenis dan dosis pupuk tertentu sesuai kebutuhan



14. Pendangiran



adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbaiki sifat tanah dengan cara menggemburkan tanah di sekeliling tanaman



15. Penjarangan



adalah kegiatan pemeliharaan tegakan yang dilakukani untuk mendapatkan kualitas dan pertumbuhan pohon yang optimal dengan cara mematikan pohon penyaing/pengganggu, dan pohon cacat



16. Penyapihan



adalah suatu tahapan kegiatan dalam pembuatan tanaman berupa pemindahan kecambah tanaman dari bak tabur ke bedeng sapih



17. Penyiangan



adalah kegiatan pemeliharaan tanaman muda dengan membebaskan tanaman pokok dari tumbuhan pengganggu dengan cara melakukan pembabatan/ pencabutan rerumputan atau tanaman pengganggu lainnya di sekitar tanaman



18. Penyulaman



adalah kegiatan pemeliharaan tanaman untuk meningkatkan persen jadi tanaman pokok, dengan cara menanami kembali/ mengganti tanaman yang mati/ terserang penyakit



19. Stek



adalah bibit yang didapatkan melalui perbanyakan vegetatif dengan cara menanam dan menumbuhkan potongan bagian vegetatif (batang atau pucuk) dari pohon induk



20. Tegakan benih



Adalah suatu areal tegakan hutan yang ditunjuk/ditetapkan di hutan alam maupun hutan tanaman sebagai penghasil benih



Perencanaan Hutan



Halaman 19



tanaman hutan untuk jangka waktu tertentu



E.



TAHAPAN KEGIATAN



Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam pelaksanaan TPTJ, maka tahapan kegiatan dan tata waktu pelaksanaan TPTJ ditetapkan sebagai berikut : Tabel 1. Tahapan Kegiatan TPTJ No



Kegiatan



Tata Waktu



1.



Penataan Areal Kerja (PAK) dan Risalah Hutan



Pt-2



2.



Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)



Pt-1



3.



Pembebasan/penebangan pohon penaung



Pt-1



4.



Pengadaan Bibit



Pt-1



5.



Pembuatan Jalur Tanam



Pt



6.



Penanaman



Pt



7.



Pemeliharaan Tanaman Muda (Awal)



Pt+1,2,3



8.



Penjarangan



Pt+5,10



9.



Perlindungan Hutan



10.



Pemanenan



Terusmen erus Pt+25



Keterangan : Pt = waktu penanaman 1.



Penataan Areal Kerja (PAK) dan Risalah Hutan



Penataan Areal Kerja merupakan kegiatan awal untuk menciptakan prakondisi yang memungkinkan diterapkannya prinsip-prinsip pengaturan kelestarian hasil, melalui penetapan blok RKT, dan petak yang bersifat permanen sehingga kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengawasan pengelolaan hutan dapat berjalan dengan baik. Kegiatannya meliputi identifikasi, delineasi dan pembuatan alur batas petak/anak petak di lapangan dan pemetaan areal kerjanya. Ketentuan umum dalam pelaksanaan PAK adalah sebagai berikut: a) PAK dilakukan 2 (dua) tahun sebelum penanaman (Pt -2). b) PAK didasarkan pada peta topografi, peta hidrologi, dan peta-peta lainnya yang terkait. Perencanaan Hutan



Halaman 20



c) Pembagian luas areal pengusahaan menjadi blok-blok tahunan disesuaikan dengan rotasi atau daur tanaman, dengan mempertimbangkan kekompakan areal potensi dan atau teknis pelaksanaan penebangan. d) Luas petak dalam blok-blok tahunan kurang lebih 100 hektar, yang batas-batas dan luasnya disesuaikan dengan kondisi lapangan. e) Batas antar petak dapat berupa batas alam berupa sungai, punggung bukit, lembah atau batas buatan (rintisan bersih ) selebar 4 meter yang juga berfungsi sebagai jalan pemeriksaan, jalan angkut bibit dan jalan angkutan kayu atau hasil hutan lainnya. f) Batas alur atau petak berupa patok beton atau kayu yang kuat dan awet berukuran ± 10 cm x 10 cm setinggi ± 50 cm di atas permukaan tanah dimana bagian yang ditanam ± 1 m dan dipasang setiap jarak atau interval sekitar 200 m. Pada setiap sudut petak juga diberi tanda batas berupa patok beton atau kayu setinggi ± 1 meter dan pada bagian ujung atasnya ditulis nomor petak. g) Koordinat lokasi tanda batas blok dan petak diukur dari titik ikat yang ada menggunakan metode konvensional (menggunakan alat iukur jarak dan azimuth) atau dapat menggunakan GPS (Global Positioning System) apabila titik lokasi yang diukur tersebut terletak pada areal terbuka dengan sedikit halangan tajuk-tajuk pohon. Koordinat tersebut selanjutnya dicatat pada buku register.



a)



b)



c)



d)



Kegiatan risalah hutan meliputi inventarisasi hutan dan identifikasi lokasi di lapangan. Inventarisasi hutan dilakukan untuk memperoleh data sediaan tegakan baik yang akan ditinggalkan maupun yang tidak ditebang berupa data jumlah, komposisi jenis, dan volume pohon yang membentuk serta permudaannya. Selain itu juga dilakukan pencatatan terhadap kondisi topografi dan tapak dari petak yang diiventarisasi. blok kerja. Hasil kegiatan ini selanjutnya akan digunakan sebagai dasar penetapan target produksi tahunan dan rencana Pembukaan Wilayah Hutan. Hasil inventarisasi digambarkan dalam peta penyebaran pohon. Adapun ketentuan umum pelaksanaan kegiatan risalah hutan adalah sebagai berikut : Kegiatan risalah hutan dilaksanakan 2 (dua) tahun sebelum penanaman (Pt-2). Risalah hutan dilakukan petak per petak secara sistematis untuk setiap blok kerja tahunan berdasarkan PAK yang sudah dibuat. Untuk memudahkan pencatatan, risalah hutan dilakukan dengan sistem jalur dengan lebar jalur cruising 20 m arah Utara Selatan dan mencatat dan mengukur semua jenis pohon berdiameter >20 cm, baik untuk jenis pohon yang akan ditebang, pohon inti dan pohon dilindungi. Kegiatan inventarisasi hutan meliputi: 1. Pemberian nomor secara urut pada semua jenis pohon yang akan ditebang, pohon inti, pohon dilindungi dan pohon binaan serta dipetakan pada skala 1 : 10.000 2. Penandaan pohon-pohon yang akan ditebang (label merah), pohon-pohon inti dilindungi (label kuning). 3. Penghitungan volume pohon per kelas diameter per petak dan per blok. Kegiatan pencatatan kondisi lapangan antara lain: Perencanaan Hutan



Halaman 21



1. Pengukuran dan pencatatan kelas dan arah lereng pada setiap interval jarak 200 m di dalam jalur ukur yang lebarnya 20 m. Lokasi atau koordinat titik pengukuran tersebut dicatat dalam buku ukur. 2. Penandaan areal yang tidak boleh ditebang atau kawasan lindung seperti: 100 m kiri/kanan sungai dan 50 m kiri-kanan anak sungai, jurang dan tebing dengan kelerengan >40 %, dan lain-lain. 2.



Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)



Pembukaan wilayah hutan merupakan kegiatan penyediaan sarana dan prasarana wilayah agar seluruh kegiatan dalam rangka pengelolaan hutan dapat dilakukan dengan tertib, teratur, aman dan lancar. Kegiatan PWH, meliputi pembangunan dan perbaikan jalan angkutan, jembatan, gorong-gorong, base camp, pondok kerja dan lain-lain. Adapun ketentuan atau tatacara umum pelaksanaan kegiatan PWH adalah sebagai berikut: a) Kegiatan PWH dilaksanakan 1 (satu) tahun sebelum penanaman (Pt-1) b) Perencanaan PWH dilakukan berdasarkan data dan informasi hasil survey lapangan dan peta-peta lain yang diperlukan. c) Dampak pelaksanaan PWH diupayakan seminimal mungkin terhadap kerusakan hutan (tanah dan vegetasi). d) Intensitas PWH dihitung berdasarkaan perbandingan antara panjang jalan (meter) dengan luas areal unit kerja produksi (m/ha). Berdasarkan pengalaman, intensitas jalan yang dibuat ± 20 m/ha. e) Pembuatan jalan angkutan mengikuti ketentuan sebagai berikut : 1. Lebar jalan 8 m – 12 m; 2. Kemiringan tanjakan kurang dari 10 %; 3. Jalur dibuat melalui batas petak kerja; 4. Memperhatikan erosi yang akan terjadi; 5. Saling menyambung satu sama lain, sehingga dapat dijadikan batas blok/petak tanaman; h) Sarana lain seperti Base camp dan pondok kerja dibuat secara bertahap mengikuti perkembangan atau intensitas kegiatan pengelolaan hutan. Base camp merupakan tempat kegiatan administrasi dan manajemen, sifatnya harus permanen/semi permanen, sedangkan pondok kerja sebagai tempat menginap para pekerja harus memenuhi persyaratan kesehatan, keamanan dan kenyamanan.



Perencanaan Hutan



Halaman 22



3.



Pembebasan Pohon Penaung



Penebangan awal dalam TPTJ dimaksudkan untuk membuat pembukaan tajuk sehingga memacu pertumbuhan tanaman dan tegakan tinggal. Hasil tebangan pohon penaung tersebut dapat dimanfaatkan sebagai hasil antara dalam pengusahaan hutan ini. Adapun ketentuan atau tatacara umum penebangan dan atau penyiapan lahan tanaman adalah sebagai berikut: a) Penebangan dilakukan satu tahun (Pt-1) atau setengah tahun (Pt-1/2) sebelum penanaman. b) Penebangan pohon dan penyaradan harus berdampak minimal terhadap tegakan tinggal dan dilakukan berdasarkan peta pohon pada seluruh blok kerja yang akan dibuat jalur tanam c) Pohon yang boleh ditebang adalah semua jenis pohon niagawi berdiameter ≥ 40 cm, kecuali jenis-jenis pohon dilindungi.



4.



Pengadaan Bibit



Pengadaan bibit bertujuan untuk memperoleh bibit berkualitas dalam jumlah yang memadai dan dapat tersedia sesuai waktu yang telah ditentukan yang diharapkan mampu tumbuh dengan baik sesuai dengan kondisi tempat tumbuhnya. Kegiatan pengadaan bibit dilaksanakan satu tahun sebelum penanaman (Pt-1). Jenis pohon yang dipilih untuk penanaman adalah jenis pohon unggulan setempat yang mempunyai prospek pasar dan pertumbuhannya cepat, terutama dari kelompok Dipterocarpaceae. Bahan tanaman dapat diperoleh baik secara generatif (benih dan cabutan semai alam) maupun vegetatif (stek). Ketentuan tatacara pengadaan bibit adalah sebagai berikut : a) Pengadaan bibit dari benih/biji 1. Benih dikumpulkan dari pohon induk yang berbatang lurus, percabangan tinggi, bertajuk lebat, dan sehat. 2. Untuk jenis Dipterocarpaceae yang dikumpulkan adalah buahnya dari lantai hutan. Buah yang dipungut adalah buah yang baik, besar dan tidak busuk. 3. Buah dari kelompok Dipterocarpaceae cepat berkecambah dan cepat menurun daya kecambahnya oleh karena itu membutuhkan penanganan yang tepat. 4. Buah yang terkumpul diseleksi dan diproses (dibuang sayapnya) kemudian segera diangkut ke persemaian untuk selanjutnya disemaikan. b)



Pengadaan bibit dari cabutan alam Bibit dari anakan alam atau cabutan dapat dikumpulkan dengan cara sebagai berikut: Perencanaan Hutan



Halaman 23



1. Semai dikumpulkan dari jenis yang diinginkan di sekitar pohon induk (dibawah proyeksi pohon induk meranti tersebut). 2. Pencabutan semai sebaiknya dilakukan pada saat tanah masih dalam keadaan basah/lembab. 3. Pada umumnya ukuran bibit cabutan yang ideal berukuran tinggi minimum 30 cm dengan jumlah daun antara 2 sampai 5 helai, berbatang lurus, dan tidak patah. 4. Dalam melakukan pencabutan bibit juga harus memperhitungkan masalah waktu, teknik pencabutan dan alat bantu yang digunakan sehingga tidak mengalami kerusakan. 5. Bahan cabutan (semai alami) terlebih dulu dipotong daunnya sampai setengah atau 2/3 dari bagian daun, dan dikurangi sebagian akarnya (akar pokok dan serabut) agar mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.



c) Persiapan media semai 1. Media semai yang digunakan adalah topsoil yang diambil dari bawah tegakan meranti (telah terinfeksi mikoriza), lebih baik lagi jika topsoil dicampur pasir, atau campuran media tanah dan kompos dengan perbandingan yang seimbang. 2. Media semai yang sudah siap pakai, selanjutnya dimasukkan kedalam polybag ukuran 15 cm x 20 cm. d)



e)



3. Selanjutnya polybag diangkut ke bedeng sapih. Perlakuan bibit di persemaian adalah sebagai berikut : 1. Selama bibit berada di dalam sungkup (selama ± 2 bulan), bibit disiram secara teratur untuk mempertahankan kelembaban agar tetap tinggi. Sungkup berada di bawah naungan dengan intensitas cahaya 25%. 2. Sungkup dibuka setelah bibit membentuk tunas baru diikuti dengan peningkatan intensitas cahaya naungan sebesar 50%. Perlakuan ini diperuntukkan bagi bibit berumur 2-4 bulan. Setelah umur 4 bulan sebaiknya intensitas cahaya naungan ditambah hingga mencapai 75%. 3. Pemupukan (jenis dan dosis) dilakukan jika bibit menunjukkan pertumbuhan yang kurang baik. 4. Upaya pencegahan terhadap serangan hama dan penyakit perlu dilakukan secara cermat dan seksama. 5. Sebelum bibit ditanam di lapangan, intensitas naungan dan frekuensi penyiraman dikurangi untuk penguatan bibit. Teknik pengadaan bibit dari stek pucuk dapat dilakukan menggunakan teknik yang sudah dikembangkan oleh Badan Litbang Kehutanan yaitu dengan metode Koffco.



Perencanaan Hutan



Halaman 24



5.



a). 1) 2) 3)



4)



5)



b). 1)



2) c). 1) 2) 3)



Pembuatan Jalur Tanam Kegiatan pembuatan jalur tanam pada TPTJ meliputi : Pembuatan Jalur Tanam Tata cara umum pembuatan jalur tanam adalah sebagai berikut: Pembuatan jalur tanam dikerjakan secara manual atau semi mekanis dan dilakukan setelah penebangan. Berdasarkan peta jalur tanam, ditentukan tanda batas jalur tanam atau sumbu jalur tanam sebagai jalur pertama. Jalur tanam dibuat per petak kerja dan sedapat mungkin menjadi satu kesatuan yang utuh dengan blok-blok kerja tahunan. Jalur tanam dan jalur antara dibuat secara berselang-seling (Gambar 1). Lebar jalur tanam awal 3 m, harus bersih dari semak belukar dan pohon yang menaungi tanaman kecuali jenis komersial dan dilindungi. Apabila ada anakan alam jenis komersial dalam jalur tersebut, maka anakan tersebut harus dipertahankan. Lebar jalur tanam dapat diperlebar secara bertahap sesuai dengan perkembangan tanaman untuk mengintroduksi cahaya lebih banyak. Pelebaran jalur tanam harus diartikan sebagai tindakan silvikultur untuk menstimulasi pertumbuhan. Lebar jalur antara adalah 17 m, berupa vegetasi tegakan alam atau tegakan tinggal. Jarak antar sumbu/poros jalur tanam adalah 20 m. Pemasangan Ajir Ketentuan atau tata cara umum pemasangan ajir adalah sebagai beikut: Pemasangan ajir pada jalur tanam terletak di tengah-tengah jalur. Ukuran dan bahan ajir disesuaikan dengan ketersedian bahan yang ada, dengan ketentuan kuat dan mudah dilihat. Jarak antar ajir adalah 2,5 m, sesuai dengan jarak tanam. Pembuatan Lubang Tanam Ketentuan atau tata cara umum pemasangan ajir adalah sebagai beikut: Pada setiap ajir dibuat lubang tanam berukuran 40 cm x 40 cm x 30 cm, pada lubang tersebut diisi dengan humus atau kompos. Lubang tanaman dibuat dengan menggunakan cangkul beberapa saat (± 1 minggu) sebelum kegiatan penanaman dilaksanakan. Dengan jarak tanam 20 m x 2,5 m, maka jumlah lubang tanaman per ha adalah 200 lubang.



Perencanaan Hutan



Halaman 25



3



1



17 1 . Jalur Antara 5



. 5



m



m



m



m



2.5 m (Jarak



t a n a m



20 Jalur



Gambar 1. Skema 6.



Penanaman



t a jalur tanam n a m



Jarak antar m jalur tana m



d a l a m



dan jalur antara



Pada dasarnya penanaman adalah kegiatan pengkayaan yang dilakukan secara jalur sehingga memudahkan untuk pelaksanaan monitoring dan pengawasan. Berbeda dengan pengkayaan pada TPTI yang bersifat sporadis atau tidak teratur (irregularly distributed planted). Adapun ketentuan atau tatacara umum pelaksanaan penanaman pengkayaan adalah sebagai berikut: a)



Pengangkutan Bibit 1) Bibit yang digunakan adalah bibit siap tanam, dengan persyaratan sebagai berikut  Tinggi bibit 30 cm atau lebih.  Batang tunggal, lurus dan kuat, dan telah melalui proses penguatan atau adaptasi di tempat terbuka (tanpa naungan).  Sistem perakaran padat  Bebas hama dan penyakit (daun-daunnya berwarna hijau gelap). 2) Bibit yang telah diseleksi selanjutnya diatur di dalam tempat/wadah bibit. 3) Sebelum dimuat ke atas truk pengangkut, bibit harus disiram untuk menjaga kelembabannya.



Perencanaan Hutan



Halaman 26



j a l u r )



b)



c)



Penampungan/Tempat Penyimpanan Bibit 1) Sebelum ditaman, bibit harus ditampung terlebih dahulu di tempat penampungan sementara agar tidak mengalami penurunan kualitas. 2) Pemilihan tempat penampungan bibit harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :  Dekat dengan lokasi penanaman.  Dekat sumber air, sehingga mudah melakukan penyiraman dengan frekuensi 2 (dua) kali setiap hari dengan menggunakan alat semprot (sprayer) halus.  Mudah mendapatkan tenaga kerja.  Ada naungan untuk bibit.  Bebas dari gangguan hama dan penyakit. Penanaman Bibit 1) Penanaman bibit di lapangan dilakukan pada bulan disaat hujan cukup banyak dan merata. Dilaksanakan sesegera mungkin setelah kegiatan pembuatan dan pembersihan jalur tanaman atau ± 1 (satu) minggu setelah pembuatan lubang tanam. 2) Kegiatan penanaman dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :  Kantong plastik harus dilepas sebelum ditanam.  Akar tanaman tidak rusak atau patah.  Bibit ditanam tegak lurus sampai batas leher akar.  Setelah bibit ditanam, segera dilakukan :  Pemulsaan dengan serasah kering atau serasah yang telah terdekomposisi  Pendangiran di sekeliling tanaman pokok dengan radius 50 cm dari pangkal batang.



7.



Pemeliharaan Tanaman Muda (Awal)



Pemeliharaan tanaman pada jalur tanam bertujuan untuk menyiapkan atau membuat kondisi tempat tumbuh menjadi lebih baik. Pemeliharaan awal dilakukan sampai dengan tanaman berumur 3 tahun, meliputi penyiangan dan penyulaman. Pemeliharaan tanaman muda merupakan kegiatan yang sangat penting untuk mendapatkan persen jadi tanaman dan pertumbuhan yang optimal. Pemeliharaan tanaman muda lebih difokuskan pada kegiatan penyiangan terhadap gulma dan penyulaman. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut: 1) Jalur tanaman dibersihkan agar bibit yang ditanam dapat dilihat dengan mudah. 2) Penyiangan atau pengendalian gulma dilakukan dengan cara membebaskan tanaman pokok dari tumbuhan pengganggu atau gulma dengan cara tebas total yaitu membersihkan semua tumbuhan pengganggu yang ada di sekitar tanaman selebar 3 m, tinggi tebasan adalah 5-10 cm dari permukaan tanah.



Perencanaan Hutan



Halaman 27



3) Penyiangan dilakukan pada musim penghujan dan frekuensi kegiatannya disesuaikan dengan kondisi setempat namun secara umum pengaturan tata waktu penyiangan adalah sebagai berikut :  Setiap 3 bulan sampai tanaman berumur 1 tahun.  Setiap 4 bulan pada umur tanaman 1-2 tahun.  Setiap 6 bulan pada umur tanaman 2-3 tahun  Setiap tahun pada umur tanaman 3-4 tahun. 4) Pemulsaan dilakukan pada bekas penyiangan di bawah tajuk tanaman. 5) Penyulaman pertama dilakukan setelah tanaman berumur 1 (satu) bulan, dan penyulaman kedua dilakukan pada akhir tahun kedua selama hujan masih turun. Selain itu juga dilakukan pembebasan vertikal dan pemangkasan cabang-cabang yang tidak produktif. Kegiatan ini dimaksudkan agar tanaman mendapat cahaya matahari yang cukup atau tidak ternaungi oleh pohon-pohon sekitar atau pohon liar penyaing tanaman dan untuk menstimulasi pertumbuhan. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut: 1) Pembebasan tajuk dilaksanakan setelah tanaman berumur 2 (dua) tahun atau apabila tanaman pokok ternaungi/tersaingi tajuknya oleh pohon lain (dilakukan bersamaan dengan penyiangan). 2) Mematikan tumbuhan penaung/penyaing dengan cara menebang hanya dilakukan terhadap pohon berdiamater maksimum 10 cm sehingga pohon yang ditebang tidak menimpa tanaman serta tidak menciptakan ruang permudaan bagi tumbuhan bawah dengan cepat, sedangkan bagi pohon penyaing berdiameter lebih dari 10 cm dilakukan peneresan. 8.



Penjarangan



Penjarangan adalah tindakan pengurangan jumlah batang per satuan luas untuk mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon. Penjarangan bertujuan agar ruang tumbuh bagi pohon tinggal menjadi lebih baik sehingga pohon dapat tumbuh lebih cepat dan menciptakan tegakan yang sehat. Adapun ketentuan/tatacara umum pelaksanaan kegiatan penjarangan tanaman pengayaan adalah sebagai berikut: 1) Penjarangan dilakukan 2 (dua) kali selama daur, yaitu pada tahun ke-5 dan tahun ke-10. 2) Penjarangan dilakukan dengan mematikan pohon penyaing yang ditanam dalam jalur, pohon berbatang cacat/sakit, berbentuk jelek, dan tertekan. 3) Sebelum dilakukan penjarangan, harus dilakukan penilaian terhadap kondisi pertumbuhan tanaman di setiap jalur tanam. Apabila tajuk antar tanaman di dalam jalur tanam sebagian besar sudah mulai saling menutupi maka tindakan penjarangan mulai dilakukan.



Perencanaan Hutan



Halaman 28



4) 5) 6)



7)



8)



9.



Apabila kondisi pertumbuhan tanaman seragam, maka sebaiknya digunakan metode penjarangan sistematik (berselang-seling). Apabila kondisi pertumbuhan tanaman tidak seragam, maka penjarangan dapat dilakukan dengan metode penjarangan selektif. Apabila digunakan penjarangan sistematik maka intensitas penjarangan maksimal 50 %, sedangkan apabila digunakan penjarangan selektif maka intensitas penjarangan ditetapkan berdasarkan kerapatan tanaman dan atau kondisi kesehatan tanaman di setiap jalur tanam. Pohon-pohon yang sudah dipilih, selanjutnya dipetakan pada setiap jalur tanam/petak/blok, dan pemberian tanda silang pada batangnya untuk mempermudah petugas lapangan. Mengingat kegiatan penjarangan memerlukan biaya yang tidak sedikit, maka sebaiknya konsep penjarangan diarahkan pada penjarangan produktif. Perlindungan Hutan



Perlindungan hutan ditekankan pada upaya pencegahan dan penanggulangan gangguan terhadap hutan oleh faktor-faktor pengganggu, seperti hama penyakit, kebakaran dan perambahan hutan. a)



Pengendalian hama dan penyakit pada prinsipnya adalah tindakan pencegahan agar tidak terjadi serangan hama dan penyakit yang meluas sehingga menyebabkan kerugian yang besar. Oleh karena itu sejak dini perlu terus dilakukan pemantauan agar apabila ada indikasi serangan hama dan penyakit dengan cepat dapat ditanggulangi. Adapun ketentuan atau tata cara umum pelaksanaan kegiatan pengendalian hama dan penyakit adalah sebagai berikut: 1). Pemantauan terhadap tanda-tanda serangan hama dan penyakit dilakukan secara terus-menerus. 2). Segera dilakukan tindakan penyemprotan insektisida atau fungisida terhadap tanaman yang terserang. 3). Apabila terjadi serangan hama dan atau penyakit pada satu tanaman maka tindakannya adalah mencabut atau menebang tanaman tersebut agar tidak menjalar ke tanaman lainnya. 4). Perlu dipelajari karakteristik hama dan penyakit potensial yang dapat membahayakan tanaman agar dengan cepat dapat dilakukan tindakan untuk menanggulangi dan mengatasinya. 5). Apabila terjadi serangan hama dan penyakit yang sudah meluas dan sulit dilakukan pencegahan, maka sebaiknya areal tersebut diisolasi, dan tanaman dimusnahkan agar tidak lebih meluas. b) Pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penanggulangan perambahan dan kebakaran hutan meliputi : 1). Penyuluhan dan sosialisasi program kepada masyarakat sekitar hutan. Perencanaan Hutan



Halaman 29



2). 3). 4). 5). 10.



Penyediaan peralatan pemadaman kebakaran hutan. Pembentukan satuan pengamanan hutan. Pembangunan pos-pos pengamanan dan patroli rutin pengamanan areal. Pembangunan kantong-kantong air (embung). Pemanenan Akhir Daur



Pemanenan kayu dalam sistem silvikultur TPTJ merupakan faktor penting yang turut menentukan keberhasilan penanaman pada rotasi berikutnya. Ketentuan atau tata cara umum pelaksanaan pemanenen akhir daur adalah sebagai berikut:



a). Kegiatan pemanenen dilakukan setelah tegakan telah mencapai umur daur dimana untuk jenis unggulan setempat khususnya kelompok Dipterocarpaceae ditetapkan 25 tahun. Daur atau rotasi tergantung pada jenis tanaman yang diusahakan pada jalur tanam. b). Penebangan di jalur tanam dilakukan tebang habis, sedangkan di jalur antara ditebang pohon jenis komersial berdiameter ≥ 40 cm. c). Untuk meminimalkan kerusakan hutan akibat pemanenen maka pelaksanaan pemanenan harus menerapkan sistem pemanenan berdampak rendah (Reduced Impact Logging/RIL). e). Arah rebah pohon di dalam jalur tanam diupayakan searah dengan jalur tanam, sedangkan arah rebah pohon di jalur antara sebaiknya memotong jalur (sehingga membentuk seperti sirip ikan terhadap arah penyaradan). f). Untuk mengurangi pengikisan lapisan tanah atas (top soil) dan pemadatan tanah akibat penyaradan, pembagian batang dilakukan setelah pohon ditebang dengan panjang batang maksimum 4,5 meter, sehingga penyaradan dapat menggunakan traktor yang lebih kecil. g). Sistem penyaradan yang dianjurkan adalah sistem skidder atau sistem kabel. Sistem skidder menggunakan wheel skidder yang merupakan traktor beroda ban karet, diutamakan mesin yang high floatation dan low ground pressure, dilengkapi dengan winch dan arch atau arch integral atau fair lead yang menggunakan high density cable berdiameter 7/8 inci dan kabel choker. h). Jumlah lintasan skidder dalam penyaradan pada jalur tanam harus diusahakan seminimal mungkin supaya tidak terjadi pemadatan tanah di tempat tersebut. Sistem kabel yang dianjurkan adalah yang mempunyai daya jangkau berukuran sedang sampai panjang (600-1200 m), diutamakan yang dapat bergerak (mobile system).



Perencanaan Hutan



Halaman 30



PEDOMAN UMUM TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) PADA HUTAN ALAM PRODUKSI LAHAN KERING/DARATAN (KONSEP RENCANA PENYEMPURNAAN) DRAFT 0



Tim Penyusun Dr Irdika Mansur Dr Priyanto Pamungkas Ir Djoko Wachjono, MSc Prof Dr I Nengah Surati Jaya, MAgr



Perencanaan Hutan



Halaman 31



BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagai salah satu negara yang memiliki hutan tropis yang cukup luas serta kepedulian pemerintah yang tinggi untuk melakukan pengelolaan secara lestari, maka dipandang perlu menyusun pedoman teknis yang mengatur tentang suatu sistem silvikultur silvikultur yang tepat, ramah lingkungan (minimal kerusakan) namun tetap ekonomis untuk diterapkan. Salah satu sistem tersebut adalah TPTI, yaitu u sistem silvikultur yang dinilai masih paling tepat untuk diterapkan dalam pengelolaan hutan alam produksi, khususnya untuk hutan yang kondisi hutannya masih baik sehingga dimungkinkan pulih kembali ke kondisi semula dengan hanya sedikit campur tangan pengelola. TPTI adalah sistem silvikultur TPTI sangat konservatif dalam pemanfaatan kayu sehingga kerusakan tegakan dan keanekarahaman dapat diminimalisir. Sistem TPTI sebagian besar mengandalkan pada kemampuan alami dari proses regenerasi dan pertumbuhan tegakannya. Upaya campur tangan manusia hanya terbatas pada upaya merehabilitasi areal-areal yang rusak sebagai akibat dari proses pembalakan serta upaya pembinaan tegakan tinggal dengan meminimalkan persaingan bagi pohonpohon yang mempunyai prospek tumbuh lebih baik sebagai unsur utama tegakan pada rotasi berikutnya. Telah disadari bahwa sejak ditetapkan tahun 1972, TPTI telah mengalami beberapa kali penyempurnaan, yaitu tahun 1989, 1990 dan tahun 1993. Penyempurnaan itu semata-mata dimaksudkan agar tujuan pengelolaan hutan alam produksi lestari dapat diwujudkan dengan tetap mempertimbangkan kelestarian hutan, hasil hutan serta rasionalitas implementasinya di lapanga. Diakui bahwa dalam aplikasi sistem ini di lapangan masih jauh dari harapan, secara teknis kurang tidak operasional dan bagi pemerintah relatif sulit untuk melakukan pengawasannya. Berdasarkan hasil kajian-kajian teknis dari praktisi kehutanan serta hasil-hasil penelitian ilmiah serta masukan dari berbagai pihak khususnya para pengelola di lapangan, beberapa tahapan TPTI kurang efektif, efisien dan secara oprasional kurang rasional untuk dilakukan di lapangan. Dari 12 tahapan TPTI yang ada pada Pedoman dan Petunjuk Teknis TPTI pada hutan alam daratan, beberapa tahapan dapat digabungkan (disederhanakan) atau bahkan dihilangkan, mengingat bahwa secara prinsip pengelolaan hutan alam dengan TPTI adalah sepenuhnya mengandalkan kekuatan alam. Oleh karena itu dengan prinsip minimal kerusakan hutan membawa konsekuensi produksinya relatif rendah, kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan memerlukan biaya yang cukup besar akan sangat berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan. Sejalan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan No 11/MenhutII/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam areal Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi, yang antara lain mengatur tentang TPTI, maka dipandang perlu untuk dilakukan penyempurnaan terhadap tahapan sistem silvikultur TPTI agar lebih aplikabel/praktis namun tetap tidak mengurangi esensi kegiatan utamanya yaitu berupa rangkaian kegiatan berencana tentang tatacara penebangan, permudaan dan pembinaan/pemeliharaan tegakan agar produktivitasnya dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan.



Perencanaan Hutan



Halaman 32



B. TUJUAN Tujuan penerapan sistem silvikultur TPTI di hutan-hutan alam daratan adalah untuk mempertahankan keanekaragaman hayati, kelestarian hutan dan hasil hutan kayu serta non kayunya dengan meminimumkan gangguan terhadap ekosistem hutan dalam setiap tahapan kegiatan. C. SASARAN Sasaran penerapan sistem silvikultur TPTI adalah hutan alam daratan produksi tidak seumur dengan kondisi tertentu, yaitu volume sediaan tegakan jenis niagawi layak secara ekonomis dipanen serta memiliki kondisi permudaan alami jenis niagawi yang memadai yaitu terdapat tingkat tiang minimum 400 pohon per Ha. BAB II PENGERTIAN-PENGERTIAN (sama dengan pedoman lama tahun 1993) BAB III KETENTUAN UMUM A. PRASYARAT 1. Prasyarat Areal a. Hutan alam campuran HP atau HPT baik berupa hutan primer maupun hutan bekas tebangan. b. Mempunyai kondisi permudaan dan sediaan tegakan (standing stock) yang yang cukup, khususnya dari jenis-jenis niagawi. c. Dilakukan areal-areal yang secara umum kemiringan lerang nya 40 cm). Rotasi tebang bisa diperpendek, karena kalau pohon inti dipelihara dengan intensif, ada pemupukan mungkin tidak harus menunggu 30 tahun, tetapi ditetapkan misalnya minimum 30 tahun atau jumlah pohon yang diijinkan ditebang telah mencapai 100 pohon per Ha, makin lama daur maka biaya pengamanan akan semakin tinggi. 6. Dalam proses penebangan digunakan ketentuan sistem pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging /RIL). 7. Setelah penebangan, segera dilakukan pengayaan/rehabilitasi, dan pemeliharaan tegakan tinggal, serta perlindungan dan pengamanan. 8. Dipersiapkan tenaga yang cukup dan terlatih serta sarana dan prasarana yang memadai (tenaga kerja perlu sertifikat yang dikeluarkan lembaga yang diberi wewenang oleh Dephut) C. TAHAPAN KEGIATAN DAN TATAWAKTU 1. Perencanaan/Persiapan a. Penataan Areal Kerja (PAK) Et-3 b. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Et-1 2. Pelaksanaan a. Inventarisasi Tegakan Sebelum Tebangan (ITSP) Et-2 b. Penebangan Et c. Pembebasan Tahap I Et+2 d. Pengadaan Bibit Et+2 e. Penanaman (Rehabilitasi) Et+3 f. Pemeliharaan Tanaman Rehabilitasi Et+4 g. Pembebasan II dan III Et+4, 6 BAB IV PERENCANAAN/PERSIAPAN A. Penataan Areal Kerja (PAK) Et-3 tetap 1. PAK adalah kegiatan untuk mengatur dan membuat batas petak kerja, berupa rintisan dan patok batas dengan mempertimbangkan bentang alam, untuk tujuan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan unit pengelolaan hutan. 2. Petak adalah satuan pengelolaan hutan terkecil yang bersifat permanen sebagai satu kesatuan administrasi dan pengelolaan (penerapan satu sistem silvikultur yang sama) yang mempunyai luasan tertentu. 3. PAK dimaksudkan untuk memudahkan pengelolaan unit pengelolaan hutan, dengan tujuan untuk mengatur areal kerja sehingga pengelolaan hutan dapat dilakukan secara tertib dan efisien. 4. Batas blok dan petak kerja dapat berupa patok batas dan atau rintisan/alur serta digambarkan dalam peta kerja. Perencanaan Hutan



Halaman 34



B. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Et-1 tetap 1. PWH adalah kegiatan penyediaan prasarana jalan wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan, inspeksi, transportasi dan komunikasi antar pusat kegiatan. 2. Hasil kegiatan PWH berupa jaringan jalan utama, jalan cabang dan jalan sarad, TPn, TPK, Camp, dan lain-lain.



BAB VI PELAKSANAAN A. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) Et-2 tetap ada dengan penyesuaian 1. ITSP adalah kegiatan pengukuran dan penandaan pohon dalam petak-petak kerja yang berada di dalam blok kerja tahunan untuk mengetahui sediaan tegakan berupa jumlah, jenis, dimensi (diameter dan tinggi) untuk semua jenis pohon dengan diameter lebih besar atau sama dengan 20 cm. Dalam ITSP ini secara otomatis tercakup diameter antara 20-39 cm dan jenis pohon dilindungi, serta dilakukan pencatan tentang kondisi bentang alam dari areal yang disurvei. 2. ITSP dilakukan dengan cara sensus menggunakan sistem jalur yang lebarnya 20 m. ITSP bertujuan untuk mengetahui sebaran serta komposisi jenis, jumlah dan sediaan pohon/tegakan baik yang akan dipanen maupun sediaan tegakan yang akan datang. 3. Pada kegiatan ITSP dilakukan juga pencatatan dan pengukuran permudaan tingkat pancang dan tiang dengan membuat subplot contoh berukuran 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, dan 5 m x 5 m untuk tingkat pancang. Jarak antar subplot permudaan tersebut dibuat berjarak sekitar 100 m. 4. Pada tahap ITSP ini sudah harus ditentukan jenis pohon binaan sejumlah 275-300 batang per ha. B. Penebangan (Et) ada penyesuaian terhadap limit diameter 1. Penebangan adalah kegiatan pengambilan kayu dari pohon-pohon dalam tegakan yang berdiameter sama atau lebih besar dari limit diameter yang ditetapkan berdasarkan buku RKT yang telah disahkan. 2. Pada hutan produksi limit diameter sebesar 40 cm, pada hutan produksi terbatas 50 cm, pada hutan rawa 30 cm. 3. Untuk meminimalkan kerusakan lingkungan akibat pemanenan maka pelaksanaan pemanenan harus menerapkan Reduced Impact Logging (RIL). C. Pembebasan tahap 1 tetap ada 1. Pembebasan tajuk untuk dari sekitar 275-300 pohon binaan dan permudaannya dari tanaman penyaing sehingga menciptakan ruang tumbuh yang lebih baik bagi pohon binaan. 2. Kegiatan ini dapat berupa penebangan atau peneresan D. Pengadaan bibit Et+2 tetap ada 1. pengadaan bibit hanya difokuskan untuk penanaman di luar blok tebangan, seperti bekas jalan sarad, TPn, dan TPK. Bibit dapat berasal dari benih, stek, maupun cabutan. E. Penanaman/rehabilitasi (Et+3) tetap ada tapi dengan penyesuaian Perencanaan Hutan



Halaman 35



1. Penanaman hanya dilakukan pada tempat-tempat terbuka, seperti TPn, TPK, dan bekas jalan sarad yang sudah tidak difungsikan lagi.. 2. Pengayaan tidak perlu lagi dilakukan di dalam blok tebangan karena realitasnya jumlah permudaan setelah penebangan memadai dan kecenderungannya meningkat dengan makin meningkatnya waktu. F. Pemeliharaan tanaman tetap ada tetapi difokuskan untuk tanaman di lahanlahan terbuka. G. Pembebasan tahap 2 dan 3 (Et+4, 6)  tetap ada 1. Pembebasan 2 dan 3 adalah pengulangan seperlunya dari pembebasan 1 agar tajuk pohon binaan selalu mendapatkan cahaya matahari langsung, serta memilki ruang tumbuh yang lebih baik.



Perencanaan Hutan



Halaman 36