Perencanaan Proses Produksi Alkil Poliglikosida (Apg) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS MATA KULIAH PERANCANGAN PABRIK “PERANCANGAN PROSES PRODUKSI ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG)”



Oleh Dayu Dian Perwatasari



F34070101



Muthi Anisa



F34070081



Agung Utomo



F34070012



Sri Alam S. N



F34070006



Huda Adhyaksa



F34070068



DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010



PERENCANAAN PROSES PRODUKSI ALKIL POLIGLIKOSIDA



A. Sekilas mengenai Surfaktan, Alkil Poliglikosida, Glukosa, Pati, dan Fatty Alcohol



1. Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi secara sintesis kimiawi ataupun biokimiawi. Surfaktan memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik dalam satu molekul. Pembentukan film pada antar muka fasa menurunkan energi antar muka. Surfaktan dimanfaatkan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier oleh industri farmasi, industri kosmetika, industri kimia, industri pertanian, industri pangan (Hill, 2000). Bahan baku surfaktan dapat terbuat dari sumber nabati yang bersifat dapat diperbaharui dan mudah terurai, tidak menggangu aktivitas enzim, proses produksi lebih bersih sehingga sejalan dengan isu lingkungan (Johansson dan Svenson, 2001). Industri surfaktan di Indonesia masih terbatas, padahal surfaktan dibutuhkan dalam jumlah besar. Kebutuhan surfaktan Indonesia pada tahun 2006 adalah 95.000 ton, sekitar 45.000 ton, masih diimpor dan diperkirakan jumlah impor tersebut setiap tahunnya terus berkembang sejalan dengan tumbuhnya industri kosmetik, industri makanan, industri minuman, industri farmasi, industri tekstil dan industri penyamakan kulit (Sofiyaningsih dan Nurcahyani, 2006). Indonesia merupakan negara yang berbasis pertanian sehingga mempunyai potensi bahan nabati yang berlimpah, misalnya kelapa sebagai bahan baku alkohol lemak. Selain itu, potensi pati dari berbagai sumber di Indonesia cukup besar. Salah satu surfaktan yang dapat diproduksi dari bahan nabati adalah alkil poliglikosida (APG) dan surfaktan APG ini telah diklasifikasikan di Jerman sebagai surfaktan kelas I yang ramah lingkungan (Hill et al., 1996). Sehingga potensi untuk mengembangkan dan memproduksi surfaktan APG ini masih sangat besar mengingat potensi pasar yang cukup besar dalam berbagai industri, antara lain industri herbisida, perawatan badan, kosmetik dan bahan pembersih (Czichocki, et al., 2002). Surfaktan APG ini tidak berbahaya untuk mata, kulit dan membran lendir, mengurangi efek iritan serta dapat terurai baik secara aerob maupun anaerob (Messinger, et al, 2007) Menurut Von Rybinski dan Hill (1998), surfaktan APG dapat diproduksi secara langsung (asetalisasi) dan secara tidak langsung melalui dua tahap yaitu butanolisis



dan transasetalisasi dan selanjutnya melalui tahapan netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan.



2. Alkil Poliglikosida Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan nonionik yang biasa digunakan pada formulasi beberapa produk seperti formulasi herbisida, produk-produk perawatan badan, produk kosmetik maupun untuk pemucatan kain tekstil. APG merupakan surfaktan generasi baru yang ramah lingkungan karena bersifat mudah terurai. Bahan baku APG adalah alkohol lemak dari oleokimia minyak kelapa atau minyak inti sawit dan karbohidrat seperti pati. APG pertama kali dikenal sekitar tahun 1983 oleh Emil Fischer. APG merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dengan bahan baku yang berbasis pati (kentang, sagu, tapioka dan lain-lain) dengan alcohol lemak berbasis minyak nabati (kelapa, sawit, biji kapok dan biji karet). Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu pertama berbasis bahan baku pati dan alcohol lemak sedang kedua berbasis dekstrone dan alcohol lemak. APG mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari alcohol lemak yang berasal dari minyak sawit atau minyak kelapa. Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrolifik dari APG tersusun dari molekul glukosa/pati.



3. Glukosa Glukosa, suatu gula monosakarida, adalah salah satu karbohidrat terpenting yang digunakan sebagai sumber tenaga bagi hewan dan tumbuhan. Glukosa merupakan salah satu hasil utama fotosintesis dan awal bagi respirasi. Bentuk alami (D-glukosa) disebut juga dekstrosa, terutama pada industri pangan.



Gambaran proyeksi Haworth struktur glukosa (α-D-glukopiranosa)



Glukosa (C6H12O6, berat molekul 180.18) adalah heksosa—monosakarida yang mengandung enam atom karbon. Glukosa merupakan aldehida (mengandung gugus CHO). Lima karbon dan satu oksigennya membentuk cincin yang disebut "cincin piranosa", bentuk paling stabil untuk aldosa berkabon enam. Dalam cincin ini, tiap karbon terikat pada gugus samping hidroksil dan hidrogen kecuali atom kelimanya, yang terikat pada atom karbon keenam di luar cincin, membentuk suatu gugus CH 2OH. Struktur cincin ini berada dalam kesetimbangan dengan bentuk yang lebih reaktif, yang proporsinya 0.0026% pada pH 7. Glukosa merupakan sumber tenaga yang terdapat di mana-mana dalam biologi. Kita dapat menduga alasan mengapa glukosa, dan bukan monosakarida lain seperti fruktosa, begitu banyak digunakan. Glukosa dapat dibentuk dari formaldehida pada keadaan abiotik, sehingga akan mudah tersedia bagi sistem biokimia primitif. Hal yang lebih penting bagi organisme tingkat atas adalah kecenderungan glukosa, dibandingkan dengan gula heksosa lainnya, yang tidak mudah bereaksi secara nonspesifik dengan gugus amino suatu protein. Reaksi ini (glikosilasi) mereduksi atau bahkan merusak fungsi berbagai enzim. Rendahnya laju glikosilasi ini dikarenakan glukosa yang kebanyakan berada dalam isomer siklik yang kurang reaktif. Meski begitu, komplikasi akut seperti diabetes, kebutaan, gagal ginjal, dan kerusakan saraf periferal (‘’peripheral neuropathy’’), kemungkinan disebabkan oleh glikosilasi protein.



Bentuk rantai D-Glukosa. Dalam respirasi, melalui serangkaian reaksi terkatalisis enzim, glukosa teroksidasi hingga akhirnya membentuk karbon dioksida dan air, menghasilkan energi, terutama dalam bentuk ATP. Sebelum digunakan, glukosa dipecah dari polisakarida. Glukosa dan fruktosa diikat secara kimiawi menjadi sukrosa. Pati, selulosa, dan glikogen merupakan polimer glukosa umum polisakarida). Dekstrosa terbentuk akibat larutan Dglukosa berotasi terpolarisasi cahaya ke kanan. Dalam kasus yang sama D-fruktosa disebut "levulosa" karena larutan levulosa berotasi terpolarisasi cahaya ke kiri.



4. Pati Sagu (Metroxylion sagu Rottb.) Merupakan tanaman penghasil pati yang sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara alami di Papua dan Maluku yang dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk sebagai makanan seharihari. Pati sagu, selain sebagai bahan pangan juga digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, makanan, kertas dan plastik (Limbongan, 2007). Potensi sagu yang masih dapat digarap di Indonesia sangat tinggi, karena masih terdapat hutan sagu seluas 1,25 juta ha di Papua dan Maluku, serta 148 ribu ha lahan sagu semibudidaya di Kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Lahan sagu ini merupakan lahan terluas di dunia (Humas, 2006). Tepung sagu merupakan hasil ekstraksi inti batang sagu yang juga hampir seluruh bagiaannya mengandung pati. Kandungan pati sagu sekitar 84% sehingga sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha. Indonesia termasuk satu dari dua negara yang memiliki areal sagu terbesar di dunia selain Papua Nugini. Areal sagu seluas ini belum di eksploitasi secara maksimal sebagai penghasil tepung sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan) maupun untuk komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu yang hanya sekitar 0,1% dari total areal sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam mengelola sagu, rendahnya kemampuan dalam mengelolah tepung sagu menjadi bnetuk-bentuk produk lanjutannya, kondisi geografis dimana habitat tanaman sagu umumnya berada pada daerah marginal/rawa-rawa yang sukar dijangkau, serta adanya kecenderungan masyarakat menilai bahwa pangan sagu adalah tidak superior seperti halnya beras dan beberapa komoditas karbohidrat lainnya. Menurut Samad (2002), sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik disbanding Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kg per pohon. Produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun. Usia tanaman sagu ini sekitar 7-10 tahun untuk bisa dipanen. Namun baru 565 saja yang bisa dimanfaatkan dengan baik. Sagu mempunyai keunggulan antara lain dapat disimpan lebih lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, dan jarang terkena hama penyakit (Bujang dan Ahmad, 2000).



5. Fatty Alcohol Alkohol lemak merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai alcohol lemak alami sedangkan



turunan dari petrokimia (paraffin dan etilen) dikenal sebagai alcohol lemak sintetik (Hall et al., 2000). Alkohol lemak termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar yang merupakan alcohol alifatik rantai panjang, dengan panjang rantai antara C8 sampai C22. Sebagian besar merupakan rantai lurus dan monohidrat serta dapat diserap atau mempunyai satu atau lebih ikatan ganda. Alkohol dengan panjang atom karbon lurus di atas C 22 lebih dikenal dengan Wax Alkohol. Karakter Alkohol lemak (primer atau sekunder) linier atau bercabang, jebuh atau tidak jenuh ditentukan oleh proses pabrik dan bahan baku yang digunakan (Presents, 2000). Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di Eropa Barat hanya 5% yang digunakan secara langsug dan kira-kira 95% dimanfaatkan dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan Alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan kira-kira sebesar 7075% (Presents, 2000). Menurut Suryani et al,. (2001), Alkohol lemak diturunkan datri asam lemak dan metal ester melalui reaksi hidrogenasi. Reaksi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 



minyak nabati ditransesterifikasi menjadi metal ester, lalu dihidrogenasi menjadi Alkohol lemak.







minyak nabati dihidrolisis menjadi asam lemak, lalu dihidrogenasi menjadi Alkohol lemak.



B. Alternatif Proses Terdapat dua alternatif proses pembentukan APG, yang dikenal dengan istilah proses 1 tahap dan proses 2 tahap. Perbedaan mendasar dari kedua proses ini adalah bahan baku yang digunakan serta banyaknya tahapan yang dilalui. Diagaram alir untuk kedua alternatif proses pembentukan APG adalah sebagai berikut:



Glukosa Anhidrat atau Glukosa monohidrat ( Dekstrosa )



Air



Asetalisasi



Fatty Alcohol



Netralisasi



Distilasi



Fatty Alcohol



Pemurnian Pelarutan Diagram Alir Proses 1 Tahap



Pemucatan



Alkil Poliglikosida



Air



Pati atau Sirup Dekstrosa



Butanolisis



Butanol / Air



Transasetalisasi



Butanol



Fatty Alcohol



Netralisasi



Distilasi



Fatty Alcohol



Pemurnian



Air



Pelarutan



Pemucatan



Alkil Poliglikosida Diagram Alir Proses 2 Tahap



Perbedaan kedua alternatif proses di atas adalah pada prosedur satu tahap, bahan yang digunakan berupa glukosa anhidrat atau monohidrat yang termasuk kedalam dekstrosa atau sering disebut prosedur sintesis alkil poliglikosida (APG) berbasis dekstrosa-fatty alcohol. Kemudian bahan yang ada akan dilanjutkan ke proses asetalisasi sebelum masing-masing prosedur masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan, dan pemucatan. Prosedur ini berbeda dari proses dua tahap. Pada proses satu tahap, sebelum proses netralisasi hanya terjadi proses asetalisasi.



Sedangkan pada prosedur dua tahap, sebelum proses netralisasi terdapat proses butanolisis dan proses transasetalisasi. Selain itu proses dua tahap menggunakan bahan baku berbasis pati-fatty alcohol.. Alkil poliglikosida (APG) merupakan suatu asetal yang diperoleh dari glukosa dan alkohol rantai panjang (C8 – C22), sehingga proses pengikatan glukosa siklik terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (wuest et al,1992). Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan glikosida) glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses asetalisasi pada sintesa APG sering pula disebut glycosidation. Tahapan asetalisasi pada sintesa alkil poliglikosida (APG) merupakan tahapan yang sangat penting, karena pada tahap ini ikatan antara glukosa dan alkohol lemak terbentuk. Secara umum pada tahapan ini ada tiga bahan baku utama dalam sintesa alkil APG secara langsung yaitu gula, alkohol lemak rantai panjang (C8-C22) (McCurry etal., 1996) dan katalis asam. Sedangkan kondisi selama reaksi harus pada suhu tinggi dan tekanan rendah. Proses produksi APG



melalui proses asetalisasi dilakukan dengan



mencampurkan alkohol lemak dan glukosa dengan perbandingan 2:1 sampai dengan perbandingan 10:1 dengan katalis asam p-toluena sulfonat. Kondisi reaksi diatur pada suhu 1000 - 1200c selama 3-4 jam pada tekanan 15-25 mmHg. Tahapan asetalisasi pada sintesa alkil poliglikosida (APG) merupakan tahapan yang sangat penting, karena pada tahap ini ikatan antara glukosa dan alkohol lemak terbentuk. Menurut Gibson(2001), menetukan katalis asam yang digunakan dalam proses asetalisasi/tranasetalisasi menggunakan perhitungan sebagai berikut : 



Katalis pertama kira-kira 0.7-1.4% dari berat pati.







Katalis kedua kira-kira 25-50% dari berat katalis pertama.







Katalis yang digunakan pada tahapan proses asetalisasi adalah penjumlahan dari katalis pertama dan katalis kedua.



Setelah itu, campuran bahan dilakukan netralisasi sampai pH 8-10 dengan menggunakan NaOH 50% pada suhu 800c. setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur dengan residu (air+alcohol lemak) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan alcohol lemak dilakukan pada suhu 160-



2000c dan tekanan 15 mmHg. Tahap akhir adalah pemucatan untuk memperoleh APG murni pada suhu 50-1000c kurang lebih selama dua jam (Indrawanto,2007).



Proses reaksi dan struktur APG



Proses sintesis APG satu tahap Pembentukan APG pada proses dua tahap dapat menggunakan bahan baku pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa. Tahap pertama, pati atau hasil degradasi pati direaksikan dengan alkohol rantai pendek yaitu butanol. Reaksi pada tahap ini dikenal sebagai reaksi glikosidasi. Tahap kedua berupa reaksi transasetalisasi yang mereaksikan hasil dari tahap pertama dengan fatty alcohol rantai panjang , C8 – C22



terutama C12 –



18



yang merupakan bahan baku alami. Reaksi tahap kedua dikenal



sebagai reaksi transglikosidasi. Reaksi butanolisis pada tahap pertama dilakukan pada temperature di atas 125oC dan dibawah tekanan 4-10 bar dalam zona reaksi tertutup. Reaksi transasetalisasi pada tahap kedua dilaksanakan pada temperatur di bawah 115-118oC dengan kondisi vakum. Setelah tahapan transasetalisasi dilakukan tahapan pemurnian APG kasar yang diperoleh, sama halnya dengan proses satu tahap. Proses reaksi sintesis APG dua tahap dapat dilihat pada gambar berikut:



Proses Sintesis APG 2 Tahap



PEMILIHAN ALTERNATIF PROSES Alternatif proses yang kelompok kami pilih untuk tugas perancangan pabrik ini adalah alternatif kedua, yaitu proses dua tahap. Pemilihan ini didasarkan pada keinginan untuk memanfaatkan sumberdaya alam Indonesia yang begitu melimpah sebagai bahan baku APG, yaitu pati sagu.



Potensi sagu sebagai bahan pangan dan bahan industri telah disadari sejak tahun 1970. Namun hingga



ini pengembangan tanaman sagu masih jalan di



tempat. Indonesia memiliki potensi penghasil sagu yang sangat besar. Areal sagu terbesar di Indonesia berada di Papua sebesar 2,2 juta ha yang merupakan 90% total areal sagu dunia. Selain itu, daerah lain seperti Kabupaten Bengkalis, Riau juga memiliki luas area penanaman sagu sebesar 47.172 ha. Dengan area penanaman yang luas tersebut, potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan mencapai 5 juta ton pati kering per tahun. Konsumsi pati sagu dalam negeri hanya sekitar



210



ton



atau



baru



4-5%



dari



potensi



produksi



(http://www.lrptn.com/kategori-lrptn-xii-b/). Selain itu, sagu juga merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang paling produktif dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Tanaman sagu yang dikelola dengan baik dapat menghasilkan pati kering hingga dua kali lebih tinggi dibandingkan produktivitas pati kering ubi kayu dan kentang. Hal tersebut lah yang mendorong kami untuk menggunakan bahan berbasis pati yaitu pati sagu. Pemanfaatan sagu sebagai bahan baku APG akan meningkatkan nilai tambah dari pati sagu itu sendiri. Ketersediaan akan bahan baku tidak perlu dikhawatirkan lagi,



hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana caranya untuk menghasilkan proses yang efektif dan efisien pada pembuatan APG berbasis pati sagu ini. Bila dibandingkan dengan proses satu tahap, harga bahan baku pada proses dua tahap jauh lebih murah. Harga pati sagu per-kg sebesar Rp 3000,-. Sementara itu, harga bahan baku untuk proses satu tahap yaitu glukosa monohidrat dan glukosa anhidrat tergolong cukup mahal. Harga untuk glukosa monohidrat dapat dilihat pada tabel berikut:



Sedangkan harga untuk glukosa anhidrat yaitu:



Adapun dari segi rendemen, proses 1 tahap menghasilkan 7,5% APG murni sedangkan proses dua tahap menghasilkan 9,41% APG kasar. Bila dibandingkan antara proses satu tahap dan dua tahap, proses satu tahap memang membutuhkan waktu yang lebih singkat dan alat yang lebih sedikit. Namun yang menjadi penekanan kami adalah pertimbangan bahan baku yang ingin digunakan berupa pati sagu. Sehingga alternatif proses yang dipilih adalah proses pembentukan APG dua tahap.



C. Alur Proses Alur proses yang lebih detail mengenai pembentukan APG dengan proses 2 tahap adalah sebagai berikut:



1. Reaksi Butanolisis Reaksi butanolisis (glikosidasi) merupakan reaksi antara monosakarida (sumber pati – patina) dan butanol dengan mengguanakn katalis asam untuk membentuk produk intermediate butil glikosida. Selama proses reaksi butanolisis terjadi pemisahan air (H2O). Pemilihan katalis pada proses sintesis APG bertujuan untuk memepercepat / memperpendek proses sintasis APG. Selain itu juga sangat menentukan keberhasilan terbentuknya ikatan asetal. Katalis yang dipilih dalam proses sintesis APG adalah katalis oraganik asam p-toluena sulfonat. Katalis asam p-toluena sulfonat bersifat bisa diurai oleh



lingkungan, merupakan jenis asam lemah. Penggunaan asam lemah bertujuan untuk menghindari adanya kemungkinan bereaksi asam dengan menghidrolisa glukosa. Penggunaan asam lemah ini juga akan memudahkan dalam proses netralisasi. Selain itu asam p-toluena sulfonat juga bersifat tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al., 1996).



2. Reaksi Transasetalisasi Reaksi transasetalisasi (transglikosidasi) merupakan reaksi antara produk butyl glikosida hasil dari proses butanolisis dengan fatty alcohol / alkohol rantai panjang (C8-C22) dengan katalis asam. Pada proses reaksi tranasetalisasi ini, gugus butil pada produk butil glikosida akan diganti dengan gugus alkil pada alkohol rantai panjang sehingga membentuk produk Alkil Poliglikosida (APG). Selama proses reaksi transasetalisasi butanol dan air akan menguap. Menurut Gibson et al., (2001), penentuan katalis asam yang digunakan dalam proses sintesis APG menggunakan perhitungan sebagai berikut :  Katalis pertama (reaksi butanolisis) kira – kira 0,7 – 1,4 % dari berat pati  Katalis kedua (reaksi transasetalisasi) kira – kira 25 – 50 % dari berat katalis yang pertama.



3. Netralisasi Tahapan netralisasi bertujuan untuk menghentikan proses tranasetalisasi dengan menambahkan basa hingga tercapai suasana basa yaitu pada pH sekitar 810. Netralisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara antarra lain dengan penetralan menggunakan alkali, natrium karbonat, ammonia ataupun dengan menggunakan uap (deacidifikasi). Netralisasi dengan alkali terutama dengan NaOH sering dilakukan pada industry karena lebih efisien dan lebih murah (Kertaren, 1986). Menurut Wuest et al,. (1996), jenis basa yang dapat digunakan untuk proses netralisasi meliputi alkali metal dan aluminium salt. Selain itu juga dapat dari anion dari basa organik maupun inorganic seperti sodium hidroksida (NaOH), potassium hidroksida, kalsium hidroksida, alumunium hidroksida dan sebagainya.



Penggunaan larutan sodium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi terhadap alkohol atau produk. Selain itu, proses penambahannya lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang tebentuk (Wuest et al., 1996).



4. Distilasi Tahapan distilasi bertujuan untuk menghilangkan fatty alcohol yang tidak ikut bereaksi. Proses distilasi ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan rendah untuk memisahkan / menguapkan fatty alcohol yang tidak ikut bereaksi. Proses distilasi ini dapat dilakukan pada suhu sekitar 140º - 180º C dengan tekanan sekitar 0,1-2 mmHg, tergantung fatty alcohol yang digunakan. Semakin panjang rantai fatty alcohol maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan. Pada tahapan destilasi diharapkan memperoleh kandungan fatty alcohol sekecil mungkin pada produk APG yaitu kurang dari 5 % dari berat produk. Kelebihan fatty alcohol yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi efektifitas kerja dari surfaktan APG. Hasil akhir dari proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar berbentuk pasta yang bewarna kecoklatan dan berbau kurang enak. Oleh karena itu perlu dilakuakn proses pemurnian untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat.



5. Pemucatan (Bleaching) Pemurnian merupakan suatu proses meningkatkan kualitas suatu bahan agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Beberapa metode pemurnian yang dikenal adalah secara kimia ataupun fisika. Pemurnian secara fisika memerlukan peraltan penunjang yang cukup spesifik, akan tetapi bahan yang dihasilkan lebih baik, karena warnanya lebih jernih dan komponen utamanya menjadi lebih tinggi. Untuk metode pemurnian kimiawi bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan hanya memerlukan pencampuran dengan absorben atau senyawa pengomplek tertentu (Hernani, 2007).



Proses pemurnian surfaktan APG terdiri dari beberapa tahap, yaitu : tahap netralisasi, tahap distilasi, tahap pelarutan, dan tahap pemucatan (bleaching) serta isolasi produk (Buchanan et al,. 1998). Proses pemucatan (bleaching) merupakan salah satu tahap pemurnian surfaktan APG yang dilakukan sebagai tahap akhir proses sintesis surfaktan APG. Proses pemucatan bertujuan untuk membuat penampakan dan bau surfaktan APG yang lebih baik. Proses pemicatan dilakukan dengan menambahkan larutan H 2O2 ditambah air dan NaOH hingga diperoleh produk dengan pH 8-10. Proses bleaching dilakukan pada suhu 80 – 90 º C selama 30 – 120 menit pada tekanan normal (Hill et al,. 1996). Menurit Schmidt (1993), proses pemucatan (bleaching) merupakan suatu tahapan proses pemurnian surfaktan APG yang bertujuan untuk menghilangkan zat – zzat yang tidak disukai dan menghilangkan bau. Dalam proses pemucatan (bleaching) ini, produk surfaktan APG akan mengalami peningkatan / pencerahan warna dan penstabilan waran alkil poliglikosida. Proses pemucatan (bleaching) dapat dilakukan dengan adsorben, bahan kimia, maupun dengan cara pemanasan. Pemucatan dapat juga dilakukan dengan cara adsorbs dan chelasi. Adsorbs dilaukan dengan cara mencampur produk dengan sejumlah kecil adsorben, seperti tanah lempung (fuller earth), lempung aktif (activated clay), dan arang aktif atau dapat juga mengguankan bahan kimia lainnya, sedangkan chelasi adalah proses pengikatan ion dengan zat pengkelat seperti asam sitrat dan EDTA (Kertaren, 1986).



DAFTAR PUSTAKA



Buchaan, C.M., M.D. Wood. 1998. Process For Making Alkyl Polyglycosides. Dalam www.freepatentonline.com [25 November 2010] Hernani dan Tri M. 2007. Peningkatan Mutu Minyak Atsiri Melalui Proses Pemurnian. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor. Hill, K., Von Rybinski, W. Stoll G (Eds). 1997. Alkyl Polyglycoside Technology, Properties and Application. Dalam www.scf-online.com [25 November 2010] Wuest, W., R. Eskuchen., P. Schulz., V. Bauer., F. Carduck., H. Esser., C. Zeise., M. Weuthen., dan J. Penninger. 1996. Patens : Process for Bleaching Discolored Surface- Active Alkyl Glycosides and for Working Up The Bleached Material. Dalam www.uspto.gov [25 November 2010]