Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERILAKU BERAGAMA KALANGAN PENGEMIS MUSLIM DI DUSUN WANTEYAN GRABAG MAGELANG



Faishal Hanif Alumni Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



ABSTRAK Penelitian ini mengeksplorasi tentang masyarakat di Dusun Wanteyan Desa Lebak Grabag Magelang, khususnnya dalam hal kegiatan mengemis. Studi ini dilandasi oleh kenyataan bahwa mengemis bukan lagi merupakan solusi instan bagi permasalahan perekonomian mereka, melainkan telah menjadi pekerjaan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kajian penelitian ini berupaya menjawab dua persoalan utama, yakni faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi sebagian masyarakat dusun Wanteyan menjadi pengemis dan bagaimana pengaruh menjadi pengemis terhadap perilaku beragamanya. Penelitian ini menemukan bahwa orang-orang Dusun Wanteyan menganggap, menjadi pengemis tidak berlawanan dengan hukum dan bukan profesi miskin. Proses internalisasi dan sosialisasi profesi mengemis dikuatkan melalui anggota keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa kegiatan mengemis berpengaruh terhadap perilaku beragamanya. Hal tersebut terjadi akibat lemahnya pengetahuan keaagaman mereka serta minimnya kesadaran terhadap penghayatan keaagamaannya, sehingga apa yang mereka lakukan hanya berdasarkan kemauannya sendiri tanpa melihat norma sosial maupun norma agama yang mereka yakini. Sebagai catatan akhir, studi ini menyimpulkan bahwa mengemis yang dilakukan warga dusun wanteyan masih dipertahankan oleh beberapa pihak, yakni keluarga dan masyarakat.



Pendahuluan Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang sampai saat ini masih menjadi problem nasional pemerintah Indonesia. Hal ini terlihat dari sebagian warga masyarakat desa yang taraf hidupnya masih rendah. Sejak orde baru hingga terjadinya krisis multi-dimensional pada tahun 1998



sampai sekarang, banyak dijumpai kasus-kasus kemiskinan yang terjadi di perkotaan maupun di daerah pedesaan. Daerah pedesaan salah satunya, daerah pedesaan yang diharapkan sebagai daerah yang produktif dan juga sebagai sentra pertanian dengan hasil bumi yang sangat melimpah, namun sampai sekarang masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial masih terjadi dan ini merupakan salah satu masalah yang sampai sekarang belum terselesaikan. Pada umumnya orang memakai istilah kemiskinan atau kemelaratan tidak mengetahui arti yang sesungguhnya. Bahwa sebenarnya istilah miskin tersebut sangat jelas artinya, yaitu dimana kebutuhan – kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi, pendapatan yang rendah atau kehidupan yang berada dibawah garis kemiskinan. Begitu, pula orang yang dianggap miskin juga jelas yaitu ; gelandangan, pengemis, pedagang asongan, buruh harian dan sebagainya (Banawirartama & Muller, 1993: 124). Dalam perspektif mikro, kompleksitas kemiskinan terkait dengan keadaan individu yang relatif memiliki keterbatasan untuk keluar dari jerat kemiskinan. Diantaranya, seperti lamban dalam bekerja keras, tidak memiliki keahlian, keterbatasan finansial dan lain sebagainya. Sedangkan dalam tatanan makro, kemiskinan yang dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada, itu ditandai dengan adanya keterbatasan peluang dan kesempatan untuk bekerj, (Bagong Suyanto, 1996:2). Masalah kemiskinan merupakan sesuatu yang nyata ada dalam kehidupan masyarakat seharihari. Dalam kehidupan bermasyarakat, kemiskinan menjadi suatu problema sosial, karena persoalan ini mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia dan juga tidak menutup kemungkinan terjadi tindakan yang bertolak belakang terhadap perilaku keagamaan seseorang, (Yusuf Qardhawi, 1996 : 13) Sejak dari dulu hingga sekarang umat manusia memiliki sikap yang berlainan terhadap kemiskinan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawy dalam bukunya “ Konsepsi Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan “ bahwa ada beberapa sikap terhadap kemiskinan diantaranya sikap golongan pemuja kemiskinan, sikap kaum fatalis, sikap pendukung kemurahan individu, sikap kapitalisme dan sikap sosialisme. Yusuf Qardhawi,1996). Agama dalam hal ini menjadi mempunyai arti penting bagi kehidupan umat beragama, sebab agama dapat memberikan bimbingan yaitu pengalaman yang telah ditanamkan sejak kecil, sehingga dari keyakinan dan pengalaman tersebut akan memudahkan dalam menghadapi persoalan. Selain itu agama dapat dijadikan penolong dalam kesukaran dan kesusahan, ketika menghadapi kekecewaan, agama dapat menentramkan jiwa dan batin seseorang. (Zakiah Derajat, 19885: 6). Agama juga berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina



hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya. Sedangkan menurut Murtadlo Muthahari, moral dan agama mempunyai hubungan yang sangat erat, karena agama merupakan dasar tumpuan akhlak dan moral, tidak ada sesuatu selain agama yang mampu mengarahkan pada tujuan yang agung dan terpuji. (Murtadlo Muthahari, 1984: 15) Dusun Wanteyan yang terletak di daerah perbukitan dan berada dikaki gunung Merbabu, tepatnya disebelah utara kota Magelang. Desa ini merupakan salah satu desa dengan lahan pertanian yang tergolong subur dengan hasil bumi yang melimpah. Dusun Wanteyan yang dulunya hanya terdapat berberapa rumah dengan bangunan sederhana, sekarang telah banyak berdiri rumah warga dengan berbagai bentuk. Dari yang sangat sederhana hingga yang berbentuk modern, bahkan saat ini banyak rumah yang berlantai berkeramik. Tetapi dibalik itu masih banyak juga rumah warga yang belum memenuhi standar, yaitu hanya dengan bangunan yang sangat sederhana dan tanpa dilengkapi sanitasi yang baik. Di tengah – tengah pemukiman warga dusun Wanteyan terdapat sebuah masjid yang berdiri sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Masjid yang dibangun oleh orang tua atau leluhur desa tersebut merupakan salah satu tempat untuk ibadah bagi warga setempat. Masjid tersebut digunakan tidak hanya sebagai tempat beribadah, namun juga digunakan sebagai sentra kegiatan keagamaan yang lainnya. Berdirinya Masjid ini menunjukkan sebuah identitas bahwa manusia dalam berhubungan dengan Ilahi ( vertical ) lewat sarana masjid ini. Masjid selain menjadi tempat ritual komunikasi manusia dengan Tuhannya dan juga berfungsi sebagai hubungan antar sesama manusia. Salah satu akibat dari faktor kemiskinan yang menimpa pada masyarakat di dusun Wanteyan, menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi maupun sosial. Sehingga akhirnya muncul tindakan yang tidak sewajarnya atau menyimpang dari norma – norma yang ada. Salah satu fenomena yang terjadi yaitu dengan munculnya pengemis dari dusun Wanteyan. Mereka mengais rejeki di kota - kota besar dengan cara meminta - minta. Fenomena munculnya pengemis disini dapat diindikasikan karena himpitan ekonomi yang disebabkan sempitnya lapangan pekerjaan, sumber daya alam yang kurang menguntungkan dan lemahnya sumber daya manusia (SDM). Menjamurnya jumlah pengemis di setiap kota di Indonesia, sehingga sosok pengemis dengan berbagai macam atributnya telah melahirkan sebuah persepsi yang kurang menyenangkan, baik dari sisi sosial, ekonomi maupun dari sisi Agama.



Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini berusaha untuk menjawab dua rumusan masalah sebagai berikut: 1. Faktor–faktor apa saja yang menyebabkan sebagian masyarakat Dusun Wanteyan hidup menjadi pengemis ? 2. Bagaimana pengaruh profesi menjadi pengemis terhadap perilaku keberagamaannya ?



Tinjauan tentang Kemiskinan Secara etimologis kata kemiskinan diambil dari akar kata miskin yang berarti tidak berharta, kekurangan dalam hidup yaitu dengan penghasilan yang rendah. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, 1991: 587 Istilah kemiskinan biasa digunakan untuk menunjukkan dimana kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi dan pendapatan yang sangat rendah. Begitu pula orang yang dianggap miskin biasa identik dengan gelandangan, pengemis, buruh harian, pedagang kaki lima dan lain sebagainya. Namun tidak sesederhana itu dimana kemiskinan mempunyai banyak segi dan dimensi mulai dari yang bersifat material sampai segi rohaniah, sehingga sulit untuk menemukan dan menentukan tolak ukur yang tepat mengenai kemiskinan. Ajaran Islam mengajarkan masalah hidup didunia ini secara realistik sesuai dengan fitrah manusia. Manusia hidup didunia ini memerlukan makanan, sandang, dan tempat tinggal yang wajar, karena ini merupakan keperluan hidup yang paling pokok. Rasulullah telah menegaskan bahwa manusia memiliki tiga hal, yakni rumah atau kediaman yang layak bagi dirinya dan keluarganya, makanan yang memenuhi syarat pokok dalam kualitas dan kuantitas, serta air bersih yang dapat mencegah dahaga dan menyehatkan tubuh dan lingkungannya, (Nabil Subhi At-Thawil, 1993: 36). Namun sangat disayangkan apabila disalah satu fihak, bahwa ajaran-ajaran Islam yang telah memberi motivasi yang kuat dalam perkembangan ekonomi melalui pemeluk–pemeluknya, sedangkan dilain fihak dengan pemahaman agama yang sempit oleh para penganutnya, justru menjadikan penghambat kemajuan dengan mengecilkan orientasi kepada nilai-nilai melihat kedepan dan pengejaran keberhasilan dunia. Akibatnya bisa dilihat banyak umat Islam yang hidup dalam taraf miskin, menjadi peminta-minta, gelandangan dan label-label kemiskinan yang lainnya.



Dilihat dari luasnya ruang lingkup dan dimensi kemiskinan, maka tiap-tiap disiplin ilmu pengetahuan memiliki pandangan yang berbeda tentang kemiskinan. Dilihat dari sudut pandang ekonomi, kemiskinan dianggap sebagai masalah dengan beberapa alasan, diantaranya yaitu : kemiskinan merupakan rendahnya permintaan agregat, kemiskinan terkait dengan rasio capital atau tenaga kerja yang rendah sehingga mengakibatkan produktivitas tenaga kerja yang tidak maksimal dan kemiskinan menyebabkan pemanfaatan sumberdaya terutama SDM dalam hal ini tenaga kerja yang tidak produktif. Sedangkan ditinjau dari sudut sosial, kemiskinan merupakan satu ciri lemahnya potensi suatu masyarakat untuk berkembang. Disamping itu kemiskinan berhubungan dengan aspirasi yang sempit dan pendeknya horizon dengan wawasan kedepan suatu masyarakat. Adapun disiplin politik mengkaji masalah kemiskinan, ketergantungan dan eksploitasi suatu kelompok masyarakat adalah tidak adil dan bahaya jika nasib masa depan mereka ditentukan oleh kelompok masyarakat yang lain. Kemiskinan yang menimpa pada sekelompok masyarakat tertentu, sehingga akan menimbulkan suatu kesenjangan yang lebih parah daripada kemiskinan itu sendiri, (Felik Sitorus, 1996: 46). Menurut Ellis G.P.R., bahwa dimensi – dimensi yang terkait dengan kemiskinan ada tiga macam yaitu : - Kemiskinan berdimensi Ekonomi atau Material. Dimensi ini menjadi kebutuhan dasar manusia yang bersifat material. Seperti sandang, papan, pangan, dan kesehatan. - Kemiskinan berdimensi Sosial Budaya Lapisan yang secara ekonomi miskin akan membentuk kantong- kantong kebudayaan yang disebut “Budaya Kemiskinan“ demi kelangsungan hidup mereka. - Kemiskinan berdimensi Struktural atau Politik Yaitu orang yang mengalami kemiskinan structural atau poltik, kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat proses politik dan tidak memiliki kekuatan politik sehingga menduduki struktur sosial yang paling bawah, (Amin Rais 1995: 31-32)



Tinjauan tentang Pengemis Secara bahasa kata pengemis sebenarnya tidak ada kata bakunya. Pengemis merupakan arti dari seseorang yang mencari uang dengan cara meminta-minta kepada orang lain. Pengemis juga diidentikkan sebagai golongan miskin yang tidak berharta, kekurangan dalam memenuhi



kebutuhan hidup. Begitu pula yang dianggap seseorang miskin, yaitu identik dengan dengan gelandangan pengemis dan lain sebagainya. Namun kemiskinan mempunyai banyak segi dan dimensi. Mulai yang bersifat material sampai segi rohaniah, sehingga tidak mudah untuk menemukan tolak ukur yang tepat mengenai kemiskinan dari sosok pengemis tersebut. Menurut Departemen Sosial R.I, “ Pengemis” adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang. (Dikutip dari website. http.www.depsos.go.id 15 November 2002. diakses 22 Januar 2009). Semantara menurut Muthalib dan Sudjarwo dalam Ali, dkk. diberikan tiga gambaran umum pengemis dan gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan. Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk, pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain, dengan cara seperti itu mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka seharihari, dibandingkan dengan seorang gelandangan yang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap maka kalau pengemis tidak tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap.



Tinjauan tentang Perilaku Beragama Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995: 755). Keberagamaan merupakan suatu padanan kata atau terjemahan dari bahasa Inggris yaitu “Religiosity, (Jalaluddin Rahmat, 1985: 92). Dalam menganalisa fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku keberagamaan, diperlukan kehatihatian dalam membedakan antara yang ingin dicapai oleh anggota-anggota suatu kelompok atau pemeluk tertentu dan akibat yang tidak dikehendaki dari tingkah laku mereka dalam masyarakat. (Pius Artanto dan Dahlan Al-Barry, 1994: 472) Manakala kita mengatakan bahwa seseorang itu beragama maka sebutan tersebut dapat bermakna banyak. Keyakinan-keyakinan terhadap doktrin-doktrin agama, etika hidup, kehadiran dalam upacara peribadatan pandangan dan banyak lagi tindakan-tindakan lain. Kondisi-kondisi semua itu dapat menunjukkan kepada suatu ketaatan dan komitmen terhadap agama. Dengan



refleksi diatas maka jelaslah aneka ragam makna yang dihubungkan dengan istilah beragama dapat saja berarti aspek - aspek gejala yang sama walau tak sepenuhnya sinonim, (Elizaabeth K Nottingham, 1997: 32). Perilaku keberagamaan adalah proses tingkah laku seseorang yang didasari dengan ajaran-ajaran agama tertentu yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada nash. Dalam penelitian ini obyek kajian adalah masyarakat yang beragama Islam. Sehingga ajaran-ajaran Islam merupakan motivator terhadap kehidupan sehari-hari. Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan kecil bahwa masyarakat miskin khususnya pengemis di Dusun Wanteyan meyakini ajaran-ajaran agama Islam sebagai pedoman hidup, namun perilaku-perilaku yang nampak dalam kehidupan sehari-hari ada persoalan yang tidak sesuai dengan norma-norma agama. Seorang ahli sosiologi kontemporer Amerika yang bernama Yinger, mendefinisikan agama melalui pendekatan fungsional yaitu agama merupakan system kepercayaan dan peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam perjuangan mereka untuk mengatasi masalah – masalah tertinggi manusia. Agama merupakan keenganan untuk menyerah kepada kematian, menyerah dalam menghadapi frustasi dan untu menumbuhkan rasa permusuhan tehadap penghancuran ikatan-ikatan kemanusiaan, (Hendro Puspito, 1984: 35). Jadi menurut teori fungsional agama mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika kecewa, mengaitkan dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral, dan menyediakan unsure-unsur identitas. Agama juga bertindak untuk menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, menyediakan saran untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan. Selain itu agama juga dapat melakukan peran risalah dan membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang tidak terpecahkan bahkan pengaruh suversif yang mendalangi masyarakat tersebut. Tuntunan perilaku beragama dalam ajaran Islam adalah suatu perilaku yang tidak dapat dipisahkan dari dimensi transedental dan spiritual, serta dimensi sosial yang berpangkal pada etika dan moral agama. Tuntunan dan patokan tersebut telah terkandung dalam kitab suci, tauladan Nabi dan pengikutnya, (Huston Smith, 2001:275) Sebagai seorang muslim menyadari bahwa Islam mengajar, menuntun manusia ke jalan yang lurus. Selain itu Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan merupakan gabungan antara perilaku moral dan etika dalam kehidupan masa kini dengan kehidupan kelak diakhirat. Disisi lain ajaran Islam juga menyamakan perilaku moral



pribadi dalam hubungannya dengan Allah SWT, sehingga praktek agama yang berasal dari perilaku amoral tidak akan diterima. (Abdul Rahman dan Abdul Kadir Kurdi, 2000: 68-69). Teori yang berkaitan dengan masalah perilaku masyarakat dusun Wanteyan adalah teori paradigma perilaku sosial. Menurut B.F Skinner bahwa obyek studi sosiologi yang kongkritrealistik adalah perilaku yang nampak serta kemungkinan perulangannya. Paradigma tersebut pusat perhatiannya pada proses interaksi. Sedangkan paradigma behavioral sociology dan teori exchange. Pandangan teori behavioral sociology dengan jelas menerangkan tingkah laku yang terjadi di masa sekarang melalui kemungkinan akibatnya yang terjadi di masa datang. Menariknya lagi, yaitu ada hubungan historis antara akibat yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. (George Ritzer, 2004: 70-73). Sedangkan pandangan teori “sosial - exchange” yang dikemukakan oleh James W Vander Zanden bahwa suatu keputusan atau kekecewaan yang terjadi dalam kehidupan manusia bersumber pada perilaku pihak lain. Dalam hal ini perilaku dari pihak lain tersebut juga ditimbulkan oleh dorongan dari perilaku diri sendiri. (Soerjono Soekanto, 1985: 46-49). Perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari pasti memiliki macam-macam bentuk dan karakter yang berbeda. Untuk mempermudah memahami permasalahan tersebut ada bentukbentuk karakteristik perilaku sosial yang dapat ditetapkan berbagai cara, antara lain : 1. 1. Perilaku yang berorientasi pada tujuan. Perilaku ini dapat terbentuk disebabkan adanya harapan-harapan yang rasional atau menentukan suatu tujuan pribadi seseorang. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari ketergantungan manusia terhadap suatu kondisi untuk mencapai target yang diinginkan. 2. Perilaku yang berorientasi pada nilai, yaitu perilaku yang berusaha untuk mewujudkan hal-hal yang telah diyakininya tanpa menanggung resiko. Misalnya, masalah-masalah yang berhubungan dengan kewajiban yang harus dikerjakan demi kehormatan, kepercayaan, keindahan dan lain sebagainya. Maka perilaku ini dapat dianggap sebagai tingkah laku yang berdasarkan nilai. 3. Perilaku yang bersifat emosional atau afektif. Perilaku ini dapat terbentuk disebabkan adanya hasil dan konfigurasi perasaan pribadi. Apabila perilaku ini lepas secara rasional dari ketegangan-ketegangan emosional, maka kemungkinan gejala-gejala itu akan menuju pada perilaku yang berkaitan dengan nilai dan tujuan. Dasar-dasar perilaku afektif berakar dari tuntutan sementara terhadap dorongan tertentu, dengan tujuan untuk membalas dendam, bersikap pasrah dan menyalurkan ketegangan.



4. Perilaku yang bersifat tradisional. Yaitu suatu reaksi yang memberikan dorongan-dorongan untuk mengarahkan perilaku secara rutin. Permasalahan obyek tugas-tugas rutin tersebut mencakup kegiatan manusia setiap hari. Perilaku ini bisa dikaitkan dengan nilai apabila manusia mengalami kesadaran diri dalam tingkah lakunya. Masyarakat dalam hal ini pasti suatu saat akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut bagi masyarakat memiliki pengaruh yang terbatas ataupun meluas, lambat atau cepat. Perubahanperubahan yang terjadi di masyarakat mencakup nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, interaksi sosial dan lain sebagainya. Sebab interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas sosial. Gillin dan Gillin dalam bukunya cultural sociology mengemukakan hubungan - hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang dengan orang, antar kelompokkelompok manusia. Sehingga interaksi sosial inilah yang mempengaruhi dan menimbulkan perubahan sosial di masyarakat. ( Soerjono Soekanto, 2002). Kaitannya dengan agama Islam pada dasarnya hal itu merupakan bagian pranata sosial yang tercermin dalam tindakan serta perbuatan sehari-hari. Tindakan dan perbuatan tersebut sedikit banyak telah dipengaruhi oleh kondisi sosial pada umatnya. Oleh karena itu agama sebagai pendorong, penggerak maupun pengontrol perilaku individu sangat dipengaruhi oleh system nilai yang ada dalam masyarakatnya. Dengan demikian perilaku keagamaan seseorang maupun individu sangat dipegaruhi oleh lemah ataupun kuatnya nilai agama serta system sosial budaya dalam masyarakatnya. Menurut R. Stark dan C.Y Glock keberagamaan adalah ketaatan dan komitmen terhadap agama yang meliputi beberapa unsur diantarnya yaitu keanggotaan gereja, keyakinan kepada doktrindoktrin agama yang dianut, etika hidup kehadiran dalam acara peribadatan dan pandanganpandangan serta lain lagi yang menunjukkan ketaatan terhadap agama. Diantara yang mendasari pengertian keagamaan menyangkut beberapa dimensi, diantaranya sebagai berikut : 1. Dimensi keyakinan agama (ideologis) Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana seseorang yang religius berpegang teguh teehadap pendirian teologisnya, mengakui kebenarannya atas doktrin tersebut. Salah satu perkara yang paling penting dalam keberagamaan seseorang adalah keyakinan agama yang bersifat dogmatis. Di dalam islam keyakinan yang dimaksud adalah rukun iman. 2. Dimensi praktek agama



Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan oleh orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Indikasi tersebut mengarah kepada pengalaman ibadah khusus, sejauh mana rutinitas seseorang dalam menjalankan ibdahnya, seperti sholat, puasa, zakat. Praktek-praktek agama ini terdiri atas a. Ritual; mengacu pada seperangkat ritus: seperti tindakan keagamaan secara formal dan praktek-praktek suci yang mengharapkan pemeluknya melaksankan ibadah sholat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu; b. Ketaatan apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik. Semua agama yang dikenal juga mempunyai tindakan persembahan yang kontemplasi personal yang relative spontan, informal dan hak pribadi. Pengertian ini diarahkan kepada amal-amal sunnah seperti sholat sunnah dan membaca Al – Qur’an. 3. Dimensi Pengetahuan Agama Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa oerang-orang yang beagama paling tidak memilki minimal ilmu pengetahuan mengenai dasar-dasar ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi, .dimensi ini menggambarjkan sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya yaitu sejauh mana aktifitasnya dalam manambah pengetahuan agamanya. Seperti apakah aktifitas keagamaannya diantaranya yaitu dengan membaca Al-Qur’an, megikuti pengajian serta dengan membaca bukubuku yang islami 4. Dimensi penghayatan Agama Dimensi ini memfokuskan pada penghayatan tentang pengalaman keberagamaan seseorang, baik dari pengalaman yang diperolehnya lewat lingkungan sekitar maupun dari luar lingkungannya. Penghayatan keagamaan yang mereka dapatkan kemudian diterapkan pada kehidupan seharihari, apakah pengalaman keagamaannya tersebut dapat mempengaruhi proses peningkatan penghayatan keagamaannya. 5. Dimensi pengalaman agama (konsekuensial) Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat dari keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan orang dari hari ke hari. Dimensi ini menjelaskan tentang sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan ajaran agama yang dianutnya



Sosialisasi Nilai dalam Keluarga



Banyak ilmuwan sosial menyatakan bahwa keluarga merupakan lembaga yang paling penting dan pertama dalam mensosialisasikan suatu nilai terhadap kepribadian seseorang. Demikian pula halnya dengan nilai-nilai tentang kepengemisan di Dusun Wanteyan Desa Lebak Kecamatan Grabag, Magelang. Pertama, nilai tersebut disosialisasikan melalui kehidupan keluarga. Seperti dituturkan oleh informan Masdi bukan nama sebenarnya (Wawancara, Tanggal 20 Desember 2008) yang menyatakan bahwa mencari rezeki dengan jalan mengemis bagi sebagian masyarakat Wanteyan tidak dianggap sebagai sesuatu yang hina. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Painem, “Bagi kami pekerjaan mengemis bukanlah hina, karena ini juga jalan yang halal. Apalagi kami sadar bahwa mencari pekerjaan sekarang ini sangat sulit sehingga untuk menghidupi keluarganya mereka bekerja menjadi pengemis, (Hasil wawancara dengan Ibu Painem pada tanggal 2 januari 2009) Karena itu pemahaman mengenai cara mencari nafkah dengan jalan mengemis pun sudah tertanam lama dari satu generasi ke generasi. Para sesepuh atau orang tua mereka memberikan indoktrinasi bahwa pilihan pekerjaan untuk bertahan hidup yang bisa mereka lakukan adalah mengemis, maka wajar bila dalam satu keluarga tertanam jiwa atau mental mengemis. Sosialisasi mengenai hal ini terus berlangsung dan tak pernah ada yang mempersoalkan. Salah satu fenomena lain yang menarik adalah realitas di Dusun Wanteyan dengan penduduk 50 KK, di mana hampir semua penduduknya bermata pencaharian petani. Akan tetapi di saat krisis ekonomi melanda ditandai dengan naiknya harga kebutuhan pokok, banyak orang yang tidak bisa bertahan. Alhasil, mereka yang semula bertani ini pindah profesi sebagai pengemis dan pengalaman ini kemudian menjadi pekerjaan, karena penghasilannya lebih banyak dari berdagang. “Dengan mengemis mereka justru mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, bahkan uang itu masih tersisa untuk kebutuhan yang lainnya,” ujar salah seorang informan. Dari 50 Kepala Keluarga yang ada di kampung Wanteyan ini, sekarang tinggal 30 persen yang masih menekuni profesi sebagai pedagang, dan selebihnya (70 persen) beralih profesi sebagai pengemis. Profesi mengemis bagi masyarakat Wanteyan bukan menjadi pekerjaan sampingan, akan tetapi sebagian sudah menjadi pekerjaan pokok. Ketika membelanjakan hasil mengemis, selain untuk makan, dibelikan juga perabotan dan ada juga yang dibelikan hewan ternak yaitu sapi atau kambing. Ada yang dipelihara sendiri dan ada juga yang dipeliharakan pada orang lain atau (Gadoh) dengan sistem bagi hasil (paroan) atau langsung dijual untuk dibelikan tanah. Bahkan



tidak sedikit masyarakat Wanteyan yang mengalokasikan uangnya untuk membiayai anak sekolah. Sejak kecil anggota keluarga terlibat dalam mencari dan mengelola uang dengan cara mengemis, sehingga mengemis telah tertanam dalam diri setiap anggota keluarga, dan pekerjaan mengemis itu tidak saja halal tetapi juga mulia, bagi sebagian masyarakat berpendapat seperti itu. Dengan cara tersebut mereka sudah turut memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk dalam membangun rumah, serta menyekolahkan anak. Jadi di dalam keluarga di Desa Lebak khususnya Dusun Wanteyan sosialisasi nilai mengenai mengemis ini sudah berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya selama bertahun-tahun. Saat ini banyak pengemis yang mencari ide bagaimana terus memperbaiki modus dan melakukan perubahan inovasi di dalam mengemis agar mampu menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Namun yang terjadi di kalangan pengemis di dusun wanteyan terjadi yang sebaliknya, karena dari dulu sampai sekarang mereka masih sama dengan cara konvensional yang modusnya yaitu dengan door to door di kota maupun ke pasar-pasar. Dalam konteks pembaharuan model mengemis dikenal apa yang disebut mengemis dengan cara non-konvesional, yang dikenal sejak tahun 1980-an. Mengemis dengan cara non-konvensional dilakukan dengan cara menyodorkan surat dan proposal atas nama suatu yayasan atau lembaga pendidikan untuk diedarkan terutama di kota-kota besar di Indonesia. Namun sampai sejauh ini dari hasil pengamatan peneliti di lapangan belum ada yang melakukan inovasi seperti itu untuk menambah penghasilannya.



Sosialisasi Nilai dalam Masyarakat Lingkungan masyarakat memiliki kontribusi dalam pembentukan kepribadian dan kebudayaan seseorang. Dalam konteks kemasyarakatan, proses sosialisasi nilai mengemis ini terjadi pada anggota masyarakat Dusun Wanteyan karena mereka hidup di lingkungan pengemis. Meskipun lambat namun pasti, kebiasaan mengemis telah menjadi tradisi dan menjadi bagian dari kehidupan warga di Dusun Wanteyan. Salah satu bentuk sosialisasi nilai mengemis pada level kemasyarakatan adalah melalui tradisi hajatan, seperti acara perkawinan, khitanan anak maupun cucu. Berbagai bentuk hajatan ini telah menuntut mereka untuk mengumpulkan uang dalam rangka menyukseskan acara tersebut. Biaya acara perkawinan pada tahun 2002 sebesar kurang lebih Rp 10 juta. Kalau ternyata uangnya



kurang, mereka menjual ternaknya untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga mengemis menjadi solusi yang dipilih atau mereka menjual tanah dan dan ternaknya. Kondisi tesebut diperparah oleh perasaan gengsi bila ada tetangga yang mengadakan hajatan, khitanan dan acara besar lainnya. Dua faktor tersebut, hutang dan gengsi, telah menjadi dan dijadikan beban dalam kehidupan sosial masyarakat yang sekaligus berfungsi sebagai pemicu pengekalan budaya mengemis. Selain dua faktor diatas ada sebagian orang yang menjadikan profesinya sebagai sandaran hidupnya, karena kondisi yang sangat tidak memungkinkan untuk bekerja yang layak dan kondisi ekonominya sangat miskin. Seperti yang dutarakan oleh Ibu Paimin ” suami saya sudah tidak mampu lagi kerja karena sakit – sakitan, sehingga mau tidak mau saya mencari penghasilan sebagai pengemis ”



Modus atau Bentuk Mengemis Praktik mengemis dilakukan pertama kali secara individual, baik dalam hal keberangkatan maupun penentuan daerah operasi. Keuntungan modelindividual ini adalah kebebasan menggunakan hasil yang diperoleh. Mereka menjalankan profesinya secara penuh waktu, berangkat pagi sekitar pukul 5 (lima) pagi atau setelah subuh dan pulang menjelang Maghrib. Perjalanan ke tempat mengemis ditempuh dengan berjalan kaki bila jaraknya dekat. Namun jika jaraknya cukup jauh, maka mereka naik angkutan untuk menuju kota tujuan operasi. Seperti yang diungkapkan salah satu sopir angkutan desa bapak Warto yang membawa mereka pergi ke luar ”saya mengantarkan mereka dari desa sekitar jam 5 pagi setelah subuh dan itu hanya sampai pasar Secang. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan ke Temanggung, ambarawa, bahkan ada yang ke Weleri ” Ketika mereka mau pulang kerumah, namun ternyata kemalaman maka mereka mencari tempat untuk menginap di tempat-tempat umum seperti masjid, balai desa bahkan ada pula yang mengontrak rumah yang harganya 3000/malam. Seperti yang diungkapkan ibu Yami yang pergi sampai weleri ” kalau mau pulang tapi sudah kemalaman maka saya menginap di rumah warga setempat, namun kalau tidak boleh maka ada rumah warga yang boleh disewa untuk menginap atau bermalam disana” Seperti juga yang diutarakan oleh kaur kesra Desa Lebak Bapak Ari, ” sebagian dari mereka yang keluar / pergi ke kota, apabila kemalaman mereka menginap dirumah warga setempat atau ke masjid ” Hasil mengemis dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kategori; uang dan barang.



Kalau uang, biasanya mereka tidak langsung membelanjakan, tetapi disimpan dahulu sampai cukup untuk membeli barang atau hewan piaraan seperti ayam, kambing, sapi dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Jika hasilnya berupa barang seperti jagung, padi, bawang sebagian dimasak dan selebihnya disimpan untuk dijual. Hasil penjualan jagung dikumpulkan dan dijadikan satu dengan uang hasil mengemis.



Praktek Mengemis Menurut Ali Humaidi Pengemis terbagi menjadi dua yaitu pengemis konvensional dan non konvensional. (Humaidi, Ali, Pergeseran Budaya mengemis di masyarakat Pragaan Daya Sumenep Madura, STAIN Pamekasan Madura). Pengemis konvensional yaitu pengemis yang bersifat individual atau berangkatnya sendiri – sendiri. Dalam menjalankan profesinya mereka pergi ke daerah Kabupaten Magelang dan Temanggung, namun ada juga yang merantau ke luar Kota Magelang seperti Jogja, Kendal, Weleri hingga kota Demak. Ada beberapa alasan mengapa mereka memilih kota - kota tersebut. Pertama, komunikasi lebih mudah karena mereka masih sama-sama berbahasa Jawa. Kedua, ada filosofi yang berkembang di kalangan orang Jawa bahwa ketika mereka saling bertemu meskipun tidak saling kenal, mereka tetap disebut saudara atau sedulu (Sedulur sama artinya dengan saudara, saudara jauh ataupun saudara dekat). Ketiga, orang jawa dikota secara umum dianggap relatif merasa iba apabila melihat kondisinya sehingga tidak enggan untuk mensedekahkan sebagian hartanya. Meski demikian, sasaran mengemis tidak sebatas orang Jawa, siapapun akan diminta, termasuk orang – orang kota yang non muslim (Cina). Dalam mendapatkan penghasilannya ada 2 (dua) bentuk objek pengemisan yaitu uang dan barang. Di lihat dari sisi waktu, kegiatan bentuk pertama ini mereka lakukan setiap hari sepanjang tahun. Sedangkan kategori kedua biasanya dilakukan pada saat musim tertentu, seperti musim panen jagung, panen bawang. Pada musim panen, modus yang dilakukan adalah mereka berangkat bersama-sama (minimal dua orang) menuju satu desa tertentu lengkap dengan karung. Mereka bermalam di rumah penduduk atau di balai desa atas ijin penghuni. Soal tempat tidak pernah mereka persoalkan, yang penting mendapatkan ijin untuk bermalam. Ketika akan meminta, mereka kadang-kadang ikut membantu memetik hasil panen padi meskipun hanya sebentar sambil menunggu makan siang.



Kadangkala mereka juga langsung meminta - minta pada saat satu keluarga sedang memetik hasil panen atau langsung mendatangi rumah - rumah penduduk. Dalam musim panen tersebut, penghasilan mereka rata-rata sekitar 20 kilogram. Hasil yang diperoleh kemudian pada malam harinya dikumpulkan di tempat peristirahatan untuk kemudian dibawa pulang atau langsung dijual. Bagi mereka yang kebutuhan hidup selama mengemis kurang, maka hasil mengemis langsung dijual, sedangkan bila cukup, maka barang tersebut dibawa pulang dan disimpan untuk makan sekeluarga, sebagian lagi dipergunakan untuk menanam jagung, bagi yang punya sawah. Sebagaimana profesi lain, dunia pengemis juga mengenal persaingan. Persaingan terjadi ketika memperebutkan daerah operasi. Seringkali para pengemis membentuk kelompok yang ditentukan atas dasar kedekatan rumah, hubungan famili dan teman dekat. Di antara sesama anggota kelompok kemudian membuat kesepakatan tentang daerah mana yang akan dijadikan wilayah operasi, pukul berapa berangkat dan bermalam di mana. Pembentukan kelompok tidak harus dibuat formal, sebab prosesnya pun tidak formal, tidak ada aturan formal yang terlalu mengikat. Oleh sebab itu, antar anggota kelompok bisa saling bertukar tempat operasi sesuai dengan kesepakatan. Beberapa informan mengatakan bahwa sejak mereka mengemis belum pernah terjadi perselisihan apalagi pertengkaran, kecuali persaingan untuk mendapat hasil yang banyak. .



Kehidupan Keberagamaan Pengemis. Secara kongkrit mengetahui pemahaman dan pengamalan seseorang terhadap ajaran agamanya adalah hal yang sulit. Karena masalah keyakinan seseorang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, namun dapat dilihat dari aktivitas kesehariannya dalam menjalankan ajaran serta mengamalkan ajarannya. Namun apabila individu hidup lingkungan yang salah maka hal ini akan berpengaruh terhadap keberagamaan individu tersebut, karena lingkungan mempunyai pengaruh kuat terhadap terbentuknya karakteristik setiap individu. Dalam kehidupan kesehariannya para pengemis didesa Lebak khususnya berkaitan dengan kegiatan keagamaan baik itu berupa ritual individu dalam kehidupan kesehariannya ataupun kegiatan yang bersifat keagamaan dan dilakukan secara berkelompok. Seperti pengajian yang dilakukan setiap hari



Jum’at diisi oleh pemuka agama atau biasa disebut dengan kyai dan diikuti oleh bapak-bapak. Seperti yang diutarakan oleh bapak Tri selaku Sekdes “ Warga desa ini khususnya yang golongan tua - tua sangat antusias mengikuti pengajian, karena pengajian yang diadakan setiap jum’at sangat bermanfaat bagi warga, dengan begitu akan menambah ilmu khususnya tentang ajaran islam “ Menurut Glock dan Stark, pengalaman keagamaan termasuk perasaan-perasaan dan persepsi terhadap Tuhan. Dengan demikian selain beraneka ragam, bergantung pula pada setiap pribadi atau individu. Sebab setiap kejadian atau peristiwa yang terjadi dapat ditanggapi dengan emosi keagamaan. Selain itu peristiwa yang dialami seseorang bisa juga memberi pengaruh batin langsung dengan berhubungan dengan Allah SWT tetapi juga bisa ditanggapi biasa layaknya hukum alam. (Abdul somad “Agama Islam dalam Kehidupan Remaja Banguntapan Bantul “ dalam jurnal penelitian Agama no.6 thn, 1994, (YK : IAIN SUKA 1994: 24) Dalam hal ini penulis mencoba melihatnya dari lima (5) dimensi keagamaan meliputi: tingkat keyakinan, pengetahuan agama, praktek agama, pengalaman keagamaan, dan konsekuensi penghayatan agama di kalangan pengemis di dusun wanteyan.



Perilaku Keberagamaan Pengemis Keyakinan Keagamaan. Pada umumnya tidak ada perbedaan yang prinsip mengenai keyakinan agama, karena semua warga yang berprofesi sebagai pengemis dan tinggal di dusun wanteyan ini menganut agama Islam. Keyakinan yang dianut bersifat dogmatis, didalam islam keyakinan yang dimaksud yaitu seperti yang dirumuskan dalam rukun iman yaitu enam prinsip keyakinan. Yaitu : pertama percaya kepada Allah SWT dan tidak ada sekutu baginya, kedua yakin dan percaya pada kitabkitab suci, ketiga yakin dan percaya pada para malaikat, keempat yakin terhadap nabi dan rasul Allah, kelima percaya kepada ketentuan baik dan buruk itu berasal dari Allah, dan keenam yakin dan percaya pada hari akhir. Secara keseluruhan tingkat keyakinan keagamaan pengemis sangat menggembirakan, dikarenakan para pengemis yang ada didusun wanteyan semuanya memeluk agama islam. Sebagaimana seperti yang dikatakan oleh bapak kadus “ saya telah mendata seluruh warga dusun wanteyan yang berprofesi sebagai pengemis, bahwa agama yang mereka peluk adalah islam, karena sebagian besar warga desa ini adalah warga asli dan sebagian adalah pendatang ”



Seperti yang dikatakan oleh ibu Siyamsih,” saya memang mencari uang dengan cara mengemis meskipun begitu saya tetap menjalankan ibadah., sejak suami saya tidak ada maka saya sendiri yang mencari uang untuk kebutuhan hidup. Walaupun pekerjaan saya hina saya tetap islam, saya juga meyakini rukun iman walaupun saya juga tidak banyak mengetahui tentang ajaran islam yang sesungguhnya“ Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa warga dusun wanteyan yang berprofesi pengemis, secara keseluruhan juga sangat menggembirakan. Hal ini terbukti dari sebagian besar pengemis merasa yakin dengan agama islam diantaranya yaitu: seperti yakin terhadap islam dan ajarannya, dan agama islam sebagai penenang dan menjadikan tentram bagi pemeluknya, mereka juga meyakini bahwa agama islam adalah agama yang diridloi oleh Allah SWT. Dengan keyakinan yang dimiliki oleh kalangan pengemis terhadap agama yang dianutnya yaitu agama islam, setidaknya mereka memiliki keyakinan terhadap Allah SWT yang menciptakan alam semesta. Hal ini diharapkan menjadi pedoman hidup bagi pengemis untuk menata kehidupan yang lebih baik.



Pengetahuan Agama Pada hakekatnya orang-orang yang beragama paling tidak memiliki pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakianan dari kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi ini menggambarkan sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Selain itu juga untuk mengetahui sejauh mana aktifitas dalam menambah pengetahuan agama, seperti mengikuti pengajian, membaca buku islami atau juga membaca al-qur’an. Pemahaman keagamaan pengemis terhadap agama yang dianutnya juga menggembirakan, mereka mengaku memeluk agama islam, mengakui bahwa Allah SWT sebagai tuhan mereka, mereka juga mengakui bahwa rukun iman dan rukun islam benar adanya, namun faktor ekonomi yang menyebabkan mereka terpaksa menjadi pengemis, mereka juga menyadari bahwa hal tersebut yaitu pekerjaan mengemis bertentangan dengan ajaran islam yang sesungguhnya, karena haram bagi orang yang mampu namun mendapatkan harta dari meminta-minta, selain itu juga bertentangan dengan norma agama dan norma sosial. Pemahaman keagamaan pada umumnya dipahami oleh setiap pemeluk agama apapun itu, namun terkadang pemahaman keagamaan belum tentu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal



inilah yang terjadi dikalangan pengemis, mereka mengakui beragama Islam namun tingkah laku mereka justru bertentangan dengan ajaran islam. Hal tersebut dikatakan oleh ibu Ari selaku kadus “ Dulu kegiatan pengajian rutin diadakan setiap minggu sekali dan yang mengikuti juga banyak, namun sekarang yang mengikuti semakin hari malah semakin berkurang. Tidak tahu kenapa, namun yang pasti meskipun yang mengikuti sedikit pengajian tetap dilaksanakan dengan baik “



Praktek Keagamaan Pengemis Dimensi peribadatan atau praktek agama menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang diajarkan dan dianjurkan oleh agama. Dalam islam dimensi peribadatan diantaranya menyangkut ibadah sholat, puasa, zakat, haji, membaca Qu’an, ibadah kurban dan sebagainya. (Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, 2001) Praktek keagamaan sangat banyak karena meliputi kegiatan manusia didalam kehidupannya, untuk melaporkan semua kegiatan yang dilakukan kalangan pengemis yang ada di dusun Wanteyan rasanya tidak mungkin. Oleh sebab itu yang dapat dilaporkan dan diamati hanya ritual dan ketaatanya. Terutama yang berkaitan dengan perilaku dan prinsip – prinsip dasar dari rukun islam yang senantiasa dilaksankan oleh kalangan pengemis di dusun Wanteyan, salah satunya yaitu ibadah sholat. Ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Indikasinya mengarah kepada pengamalan syari’at islam yaitu pengamalan ibadak khusus dan sejauh mana rutinitas seseorang dalam menjalankan ibadah itu. Dengan demikian bearti ia telah melaksanakan perintah Allah dan menegakkan syari’at Islam. Seperti yang dikemukakan diatas tentang dimensi peribadatan atau dimensi praktek keagamaan, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa orang di kalangan pengemis, adapun pertanyaan yang disampaikan kepada pengemis adalah, apakah pengemis tersebut melaksanakan salah satu dimensi keberagamaan yang tertera diatas, namun dari beberapa beberapa dimensi keberagamaan hanya perintah zakat yang rutin Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang di kalangan pengemis, penulis mendapat gambaran tentang perilaku keberagamaan para pengemis yang bertempat tinggal di desa lebak dusun wanteyan, tentang pelaksanaan ibadah sholat yang mencakup sholat wajib dan ibadah



yang lainnya. Seperti yang dikemukakan diatas bahwa keyakinan terhadap agama mempengaruhi terhadap praktek agama, sebab keyakinan adalah sumber dari praktek yang akan dilaksanakan. Tingkat pengetahuan agama mereka dalam hal ini adalah kalangan pengemis. Pengetahuan yang mereka peroleh masih sangat kurang dan hanyalah sebuah keyakinan semata, karena mereka sendiri seperti belum meyakini bahwa pekerjaan yang mereka jalani bertentangan dengan ajaran yang mereka anut. Selain itu tingkat pengetahuan keagamaan mereka yang minim sehingga dalam pelaksanaan ibadah mereka hanya sebagai pelengkap saja. Dimensi ini mencakup pengamalan atau akhlak yang menunjuk pada seberapa tingkat muslim berperilaku yang dimotivasi oleh agamanya dan ajarannya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya terutama dengan manusia yang lain. Dalam keberislaman dimensi ini mencakup perilaku suka menolong, kerjasama, menegakkan keadilan, berlaku jujur, tidak menipu, tidak berjudi, mematuhi norma – norma islam berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran islam dan lain sebagainya. (Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Pelajar, 2001) Menjadi pengemis tentunya bertentangan dengan dimensi keberagamaan yang keempat yaitu penghayatan agama. Yang salah satu penjelasannya yaitu letak kadar iman dan taqwa seseorang dapat dilihat dan diukur, yaitu salah satunya dengan melihat aktifitas sehari-harinya dalam mengamalkan dan menghayati agamanya jadi penghayatan keagamaan di kalangan pengemis sangat ditentukan oleh keyakinan dan pengetahuan agama tersebut. Disamping faktor lingkungan keluarga dan faktor dari lingkungan masyarakat sekitar juga sangat mempengaruhinya untuk terwujudnya kepribadian yang islami. Sekilas dapat diketahui bahwa dikalangan para pengemis tidak menyadari bahwa segala sesuatunya adalah milik Allah SWT semata, sehingga kita sebagai manusia biasa sebagai hambanya harus mau dan yakin bahwa Allah SWT akan selalu membukakan jalan keluar yang terbaik bagi mereka. Dalam surah Al Baqarah 273 ” Kepada orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah; mereka tidak dapat di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (Dikutip dari Al – Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 2: 273). Seseorang yang berputus asa berarti dia tidak meyakini kebesaran Allah SWT sehingga dia mengambil jalan pintas meskipun itu bertentangan dengan norma-norma islam dan sosial, dia juga tidak dapat menghayati dan menjalani agamanya dengan sungguh – sungguh.



Demikian halnya yang terjadi dikalangan pengemis yang berdomisili di Desa Lebak Dusun Wanteyan ini. Mereka mudah berputus asa sehingga mereka beralih ke jalan yang tidak semestinya, dan mereka menganggap bahwa dalam mendapatkan penghasilan dengan jalan meminta-minta itu sah-sah saja dan halal menurut mereka, meskipun tindakan tersebut bertentangan dengan norma agama dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.



Kesimpulan Setelah melalui pembahasan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat dusun Wanteyan menjadi pengemis dan bagaimana pengaruh profesi pengemis terhadap perilaku keberagamaannya, disini penulis berpendapat bahwa ada beberapa hal yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut : Pertama, Faktor yang mempengaruhi mereka menjadi pengemis yaitu sebagian besar dari mereka menjadi pengemis karena tekanan ekonomi, sehingga mau tidak mau mereka mencari penghasilan lewat jalan meminta-minta. Selain itu faktor tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi salah satu faktor penting yang menghambat terjadinya perubahan pola pikir pada masyarakat. Kedua, Secara keseluruhan keberagamaan dikalangan pengemis berada di dusun Wanteyan masih kurang. Hal ini terlihat dalam keseharian mereka, yang sebagian besar diantara mereka yang berprofesi menjadi pengemis tidak melaksanakan kewajiban dalam dalam hal ini menunaikan sholat 5 waktu, hanya sebagian kecil yang tetap melaksanakan kewajiban menjalankan ibadahnya. Sedangkan dalam dimensi keberagamaan mereka para wanita khususnya yang berprofesi menjadi pengemis tersebut belum maksimal pelaksanaanya. Ketiga, berdasarkan dari analisis diatas dapat diketahui bahwa pengemis yang bekerja dengan cara meminta-minta merupakan salah satu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan tidak dianjurkan oleh agama, sehingga berdampak pada perilaku beragama masyarakat dusun wanteyan khususnya dikalangan pengemis.



Daftar Pustaka Artanto Pius dan M Dahlan Al – Barry, karya Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994 Baha` Uddin, Pengemis sebagai Profesi: studi tentang makna dan etos kerja di kalangan komunitas pengemis sirkuler di Kota Yogyakarta. Bina Desa Masalah social yang ada di masyarakat, 1987



Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995 Derajat Zakiah, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, Jakarta : PT Gunung Mulia, 1988 Humaidi Ali, Pergeseran budaya mengemis di masyarakat desa pragaan daya sumenep madura, STAIN Pamekasan, 2003 Huston Smith, Agama – agama manusia, terj. Safrudin Bahar Jakarta ; YOI, 2001 JB Banawirartama, SJ dan J Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu ; Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman, Yogyakarta : Kanisius, 1993 Lewis, Oscar. 1988. Kisah Lima Keluarga Telaah Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Lewis, Oscar, Kemiskinan dan strategi Memerangi Kemiskinan, dalan Andi Bayo (Ed), Penerbit Liberty 1981, Yogyakarta Marpuji Ali, dkk., Gelandangan di Kertasura, dalam Monografi 3 Lembaga Penelian Universitas Muhammadiyah. Surakarta (1990). Muthahari Murtadlo, Perspektif Al – Qur’an Tentang Manusia dan Agama, terj. Djalaluddin Rahmat, Bandung : Mizan, 1984 Muhtadi Ridwan, Usaha Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional ,UIN Malang, 2005 Nabil Subhi At-Thawil, kemiskinan dan keterbelakangan Di Negara – Negara Muslim, Bandung : Mizan, 1993 Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001 Nottingham Elizaabeth K, Agama dan Masyarakat : suatau pengantar Sosiologi Agama, terj.Abdul Muis Naharong Jakarta : Rajawali Press, 1997 Puspito Hendro, Sosiologi Agama, Yogyakarta : Kanisius, 1984, dikutip dari Joachim Wach. Qardhawi Yusuf, Konsepsi Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan, terj.Umar Fanany, B.A, Surabaya: PT .Bina Ilmu, 1996 Rais Amin, Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Yogyakarta : Aditya Media 1995 Rahmat Jalaluddin, Metode Penelitian Agama Bandung : Remaja Karya, 1985 Rahman Abdul dan Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosial Islam Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000



Ritzer George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda terj. Alimandan Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004 Sahdan Gregorius, Menanggulangi Kemiskinan Desa, www.ekonomirakyat.org, Jurnal Ekonomi Rakyat Sitorus Felik, Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan , Jakarta : Gresindo, 1996 Soerjono Soekanto, Suatu Pengantar Sosiologi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002 Soekanto Soerjono, Konsep-konsep Dasar Dalam Sosiologi, dikutip dari Max Webber. Jakarta: PT Rajawali, 1985 Soekanto Soerjono, Sosiologi : Suatu Pengantar, dikutip dari Gillin dan Gillin, Cultural Sociology Jakarta : PT. Raja Grafindo Persad, 2002 Soetrisno, Loekman. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanisius. 1997. Suparlan Parsudi, Antropologi Sosial ,1986 Suyanto Bagong, Perangkap Kemiskinan Problem Dan Strategi Pengentasannya, Yogyakarta : Aditya Media, 1996 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta : Balai Pustaka. 1991 . Sumber Web. www.wordpers.com/masalah kemiskinan/makna/go.id, 22 Januari 2009 anak-jalanan-indonesia www..kompasnews.com., 22 Januari 2009 kemiskinan di masyarakat desa.www.suaramerdekanews.com., 22 Februari 2009