Periodisasi Sastra Inggris, Amerika, Dan Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Mata Kuliah Teori, Apresiasi, dan Pengajaran Sastra



Periodisasi Sastra



Oleh: Agung Rinaldy Malik (9905817019) Ryen Maerina (9905817008)



Dosen Pengampu: Prof. Dr. Emzir, M.Pd. Eva Leliyanti, Ph.D.



PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2018



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Allah karena izin-Nya jualah sehingga penulis dapat mewujudkan makalah ini. melalui usaha keras di tengah hambatan dan keterbatasan, penulis mencoba melakukan yang terbaik untuk menyususn makalah ini dengan judul “Periodesasi Sastra". Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh penulis, baik dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Karena itu, sebagai penulis kami mengharapkan dengan tangan terbuka kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini selanjutnya. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada orang-orang yang membacanya, terutama kepada penulis sendiri. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala bantuan, petunjuk, saran dorongan dan izin yang telah diberikan dari berbagai pihak semoga bernilai ibadah dan mendapatkan imbalan yang berlipat ganda. Semoga Allah Swt memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.



Jakarta, 30 Maret 2018



Penulis        



DAFTAR ISI Halaman Judul…………………………………………………………………. i Kata Pengantar………………………………………………………………… ii Daftar Isi………………………………………………………………………… iii BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang………………………………………………………... 1 B. Rumusan Masalah……………………………………………………. 2 C. Tujuan………………………………………………………………….. 2 D. Manfaat………………………………………………………………… 2 BAB II Pembahasan A. Perodisasi Sastra Inggris …………...……………….................... 3 B. Perodisasi Sastra Amerika ………. …………………….……….... 17 C. Perodisasi Sastra Indonesia………. …………………….………... 33 BAB III Kesimpulan…………………………………………………………... 41 Daftar Pustaka …………………………………………………………….… 42



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya sastra merupakan merupakan hasil karya cipta manusia. Di satu pihak, karya sastra dibangun atas dasar rekaan, dienergisasikan oleh imajinasi, sehingga berhasil untuk mengevokasi kenyataan-kenyataan, yang khususnya mengalami stagnasi sehingga tampil kembali ke permukaan sebagai aktualitas. Di pihak lain, kebudayaanlah yang memberikan isi, sehingga kenyataan yang dimaksudkan dapat dipahami secara komprehensif. Di samping itu, teori kontemporer menunjukkan adanya keraguan terhadap identitas fakta. Keraguan tersebut akan terjawab justru melalui hakikat fiksi. Sebagai sebuah produk budaya, sastra memiliki perkembangan baik dalam bentuk maupun isinya. Hal itu juga semakin memperkaya khazanah kesusatraan di setiap periodenya baik sastra Inggris, sastra Amerika, maupun sastra Indonesia. Di dalam makalah ini, akan dibahas tentang periodisasi sastra sastra Inggris, sastra Amerika, dan sastra Indonesia.



B. Rumusan Masalah Berdasarkan  latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini mengenai: 1. Bagaimana periodisasi sastra Inggris? 2. Bagaimana periodisasi sastra Amerika? 3. Bagaimana periodisasi sastra di Indonesia?



C. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan periodisasi sastra Inggris. 2. Mendeskripsikan periodisasi sastra Amerika. 3. Mendeskripsikan periodisasi sastra Indonesia.



D. Manfaat Makalah ini di samping untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori, Apresiasi, dan Pengajaran Sastra juga diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoritis, hasil makalah ini bermanfaat pada kajian Teori, Apresiasi, dan Pengajaran Sastra. Secara praktis,



makalah



ini



diharapkan



dapat



memberikan



sumbangan



pengetahuan bagi para pembaca tentang periodisasi sastra Inggris, Amerika, dan Indonesia.



BAB II PEMBAHASAN



A. Periodisasi Sastra Inggris Dari akar abad pertengahan hingga saat ini sastra Inggris mengalami banyak perkembangan di setiap masanya. Sastra Inggris berbicara dengan sejarah bahasa Inggris dan tanahnya, serta ekspansi bersama mereka di seluruh dunia. Era utama sastra Inggris meliputi Abad Pertengahan, Renaisans, abad ke delapan belas, romantisme, Victoria, dan modern. Luasnya sastra Inggris juga meluas melampaui kiasankiasan yang dominan ini, dengan tampilan bagus dari suara-suara kontras menantang mode yang berlaku saat itu. Juga, tidak ada era sastra yang berakhir pada hari tertentu, pada jam tertentu, dan karenanya kategorikategori berikut ini mencerminkan kecenderungan dan kemungkinan umum, dengan pemahaman tentang batas-batas pengkategorian imajinasi manusia ke tahun-tahun, dasawarsa, atau bahkan abad tertentu Periode



sastra



Inggris



dibagi



menjadi



delapan  periode.



Delapan  periode tersebut  antara lain: 1. Periode Old English atau Anglo-Saxon (abad ke-5 sampai abad ke-11) 2. Periode Middle English (abad ke-12 sampai abad ke-15) 3. Periode Renaissance (abad ke-16 sampai abad ke-17) 4. Periode Eighteenth Century (abad ke-18) 5. Periode Romantic (pertengahan pertama abad ke-19)



6. Periode Victorian Age (pertengahan kedua abad ke-19) 7. Periode Modernism (zaman Perang Dunia I sampai Perang Dunia II) 8. Periode Postmodernism (tahun 1960an sampai tahun 1970an)



1. Abad Inggris Kuno (Old English Period abad ke-5 sampai 11) Periode Old English (Anglo-Saxon) berlangsung sejak invasi bangsa Inggris oleh bangsa Jerman sampai invasi oleh bangsa Perancis di bawah pimpinan William tahun 1066.Tulisan yang ditulis antar abad 18 sampai abad 11 dinamakan Old English atau Anglo-Saxon. Tulisan-tulisan yang dikumpulkan dari abad ini tidak begitu banyak mulai dari mantramantra ajaib, teka-teki, dan puisi-puisi seperti The Seafarmer (abad ke-9) atau The Wanderer (abad 9 dan 10) serta epic seperti mitologi Beowulf (abad 8) atau The Battle of Maldon yang berdasarkan fakta sejarah.



2. Abad Pertengahan (The middle Period abad 12 sampai 15) Periode Middle English berlangsung sejak abad 12 sampai abad 15 ketika orang Norman berbahasa Perancis menaklukan Inggris. Ada banyak tulisan-tulisan yang tersimpan dari zaman ini, diantaranya termasuk lirik-lirik puisi yang panjang dan epic dengan isi agama seperti Piers Plowman. Romansa, sebuah genre baru yang sekuler, juga berkembang pada zaman ini termasuk “Sir Gawain and The Green Knight”  yang ditulis pada abad 14 dan “Le Morte d’Arthur” yang ditulis



pada tahun 1470 oleh Thomas Malory. Bentuk ini secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan novel di abad 18. Invasi Norman tahun 1066 membawa kaum bangsawan berbahasa Prancis ke Inggris selama beberapa ratus tahun, dan pergeseran linguistik ini bertepatan dengan pergeseran sastra juga, di mana etos heroik dan elegiak (bersifat syair ratapan) banyak sastra Anglo-Saxon diserahkan ke perayaan kesopanan dan ksatria dalam genre roman Arthurian yang baru lahir. Penguasa legendaris yang terkenal, King Arthur, muncul sebagai salah satu topik sastra yang menentukan pada Abad Pertengahan. Karena materi ini bergeser dari ranah pseudohistory Geoffrey ke sastra, penyair menciptakan genre romansa, di mana ksatria melakukan pencarian untuk memenangkan cinta para wanita mereka, atau untuk menemukan Cawan Suci yang hilang, atau hanya untuk berpetualang untuk menghormati raja mereka. Minat dalam tradisi Arthurian meluas melampaui Inggris, dan penulis benua, termasuk penyair Prancis Chrétien de Troyes (Lancelot, c. 1177-1181) dan penyair Jerman Wolfram von Eschenbach (Parzival, c. 1200) dan Gottfried von Strassburg (Tristan, c. 1210), memastikan bahwa tradisi Arthurian akan berkembang sepanjang Abad Pertengahan. Mahakarya lain dari tradisi bahasa Inggris Arthurian termasuk Sir Gawain dan Ksatria Hijau (c. 1375) dan Thomas Malory Le Morte D’Arthur (sekitar 1470). Pada abad ke-14, Geoffrey Chaucer mengangkat bahasa Inggris Tengah dari bahasa sehari-hari yang diremehkan, yang dipandang lebih



rendah secara estetika daripada bahasa Italia, Prancis, dan Latin, ke dalam bahasa sastra yang sesungguhnya dengan The Canterbury Tales, Troilus dan Criseyde, dan mahakarya lainnya. Meskipun sebagian besar penyair dan penulis pada Abad Pertengahan adalah laki-laki, penulis perempuan meninggalkan warisan sastra yang kaya juga, dan karya-karya ini sering dijiwai dengan tema kesalehan afektif yang menggambarkan hubungan penulis dengan yang ilahi dalam bahasa yang sangat emosional. Drama abad pertengahan terutama terdiri dari drama moralitas dan drama misteri, yang mencapai puncak popularitas mereka pada abad keempat belas dan kelima belas.



3. Rennaissance (Abad ke-16 sampai 17) Mesin cetak, ditemukan oleh Johann Gutenberg di Jerman sekitar tahun 1440 dan diperkenalkan ke Inggris oleh William Caxton sekitar tahun 1475, menandai transisi besar dalam sejarah sastra. Terutama, ini menandai pergeseran antara Abad Pertengahan dan Renaisans. Periode Renaissance atau yang biasa juga disebut sebagai zaman Elizabethan atau pencerahan merupakan periode dimana masyarakat Inggris keluar dari zaman kegelapan (dark ages) dimana pemikiran masyarakat pad amasa itu sangat sempit hanya sebatas wilayah atau negara di mana mereka tinggal dan kebudayaan sangat terikat dengan aturan yang dibuat oleh gereja.



 



Renaissance juga disebut periode Inggris baru awal, istilah yang berfokus pada sejarah bahasa, dan zaman Elizabeth (Ratu Elizabeth I) atau usia Jacobean (King James), divisi berdasarkan aturan politik. Yang paling menonjol pada periode ini adalah kebangkitan genre klasik, seperti epik dengan Faerie Queene karya Edmund Spenser (1590; 1596), dan drama modern dengan William Shakespeare, Christopher Marlowe, dan lain-lain.



Kebangkitan



genre



Greco-Roman



mereka



adalah



untuk



mempengaruhi dan mendominasi jalannya sejarah sastra Inggris. Di samping adaptasi drama dan epik, Renaisans Inggris juga menghasilkan genre prosa yang relatif independen, seperti misalnya, romansa karya John Lyly (c. 1554-1606) Euphues (1578) atau Philip Sidney (1554–86) Arcadia (c. 1580) Bentuk sastra yang sangat tidak biasa yang menunjukkan afinitas terhadap drama pada waktu itu adalah Pengadilan Masque, yang bergantung pada desain arsitektur yang rumit. Periode ini menjadi dekat dengan pembentukan Persemakmuran (16491960) di bawah bimbingan Puritan Oliver Cromwell. Larangan drama karena alasan agama dan penutupan teater publik selama "Puritan interregnum" sangat memengaruhi sejarah sastra Inggris. Karya sastra yang luar biasa saat ini ditulis oleh John Milton (1608–74), yang pamflet dan epos politiknya (Paradise Lost, 1667 dan Paradise Regained, 1671) menandai baik klimaks maupun akhir dari Renaisans Inggris.



4. Periode Eighteenth Century (abad ke-18) Periode



Eighteenth



Century



juga



dikenal



sebagai



zaman



neoclassical, golden atau Augustan Age. Pada zaman ini teori klasik sastra diadaptasi untuk menyesuaikan budaya kontemporer. Penulispenulis seperti John Dryden, Alexander Pope, Joseph Addison dan Jonathan Swift menulis terjemahan-terjemahan, essai-essai teoritis dan tulisan-tulisan literatur dalam berbagai macam genre. Zaman ini memberikan pengaruh terhadap pendistribusian teks-teks termasuk perkembangan novel sebagai genre baru dan pengenalan koran dan majalah literatur seperti The Tatler (1709-11) dan The Spectator (171114). Sebagian besar penulisan sastra di Amerika pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas dimotivasi oleh agama dan oleh karena itu dapat digolongkan di bawah rubrik Puritan usia atau zaman kolonial. Periode ini dapat dilihat sebagai fenomena sastra pertama di benua Amerika Utara. Teks-teks awal Amerika mencerminkan, dalam orientasi historiografi dan teologis mereka, akar agama zaman kolonial Amerika. Catatan Cotton Mather (1663–1728) dan John Winthrop (1588–1649) dalam bentuk buku harian dan puisi Anne Bradstreet (sekitar 1612–72) adalah salah satu sumber paling penting untuk memahami koloni awal. Dalam beberapa tahun terakhir telah ada peningkatan minat dalam karyakarya budak Afrika-Amerika, seperti Phillis Wheatley (c. 1753-84) Puisi



tentang Berbagai Mata Pelajaran (1773). Teks-teks ini memberikan pandangan baru tentang kondisi sosial periode dari perspektif non-Eropa. Periode puritan atau yang biasa disebut “puritanisme” merupakan sebuah masa dimana kaum puritan atau gerejawan mengambil alih pemerintahan setelah memenangkan perang saudara dimana kaum puritan melawan pemerintah yang saat itu dipimpin oleh James I dan Charles I. Kaum puritan yang sudah tidak tahan lagi karena mendapat tekanan akhirnya melakukan perlawanan dan setelah memenangkan perang saudara mereka mendirikan pemerintahan “Commonwealth” yang dipimpin oleh Oliver Cromwell namun tidak berlangsung lama karena hadirnya Charles Stuart yang menejadi Charles II yang kembali memulihkan pemerintahan pada 29 May 1660. Kesusasteraan yang dihasilkan pada masa ini sangat berbeda jauh dengan karya yang dihasilkan pada masa sebelumnya, yaitu masa Elizabeth, dimana kesusasteraan pada masa Puritan dibungkus dengan kesedihan dan kemuraman sehingga karya sastra yang dihasilkan lebih bersifat intelektual yang lebih menggunakan fikiran dari perasaan. The Age of Reason (1650-1780). Istilah dari “The Age of Reason” lebih mengarah kepada pengertian yang menekankan pada tingkah laku dan kepercayaan pada masa itu. Setelah jatuhnya pemerintahan “Commonwealth” yang dipimpin oleh kaum Puritan, pada masa ini, masyarakat menjadi sangat reasonable dimana mereka melakukan segala sesuatu yang menurut mereka masuk akal dan mulai meninggalkan mitos-



mitos yang selama ini mereka percaya yang berasal dari gereja. Fenomena-fenomena alam yang terjadi tidak lagi mereka percaya sebagai sebuah kejadian karena kemarahan Tuhan atau sesuatu yang lebih bersifat metafisik. Hal ini juga diperkuat dengan munculnya ilmuwan matematika, Isaac Newton pada tahun 1687 yang membuka cakrawala berpikir masyarakat pada masa itu. The Age of Reason mencakup masa Restorasi dan masa Agustus. Pada masa Restorasi sendiri yang dipimpin oleh Charles II, para sastrawan mengalami kesulitan dalam hal keuangan dan ketertarikan masyarakat pada karya sastra yang bersifat Elizabethan. Masyarakat lebih menyukai karya-karya yang bercerita tentang isu-isu yang sedang dibicarakan pada saat itu, bukan lagi sesuatu yang penuh dengan dunia khayalan dan pada masa ini muncul pula kegemaran masyarakat terhadap karya pantun. Saat memasuki pasa Agustan, dimana pemerintahan dipimpin oleh Ratu



Anne



dan



George



I,



para



penyair



beralih



kepada



gaya Augustan karena kesamaan politik dan keadaan sosial pad asaat itu yang dianggap sama dengan keadaan di Roma dibawah kepemimpinna Caesar Augustus. Penyair pada masa ini kebanyakan berasal dari kelangan kelas menengah dan karya sastra yang lehir bersifat epos, satir, elegi, dan tragedi.



5. Periode Romantic (pertengahan pertama abad ke-19) Periode Romantic dimulai dengan edisi pertama “The Lyrical Ballads” (1798) oleh William Wordsworth dan Samuel Taylor Coleridge dimana individu dan alam serta pengalaman emosi mempunyai peranan penting dalam penulisannya. Romanticism dapat dipandang sebagai reaksi terhadap pencerahan dan perubahan politik di Eropa dan amerika pada akhir abad 18. Pada periode inilah definisi literatur mulai berkembang. Literatur dipandang sebagai hal yang imajinatif. Kata imajinatif memiliki istilah yang dapat digambarkan yakni “imaginary” yang berarti “tidak nyata atau khayalan”, namun kata imajinatif juga dapat memiliki arti “visioner” (Eagleton, hlm.15). Periode Romantisme terjadi diantara akhir baaad ke-18 hingga awal abad ke-19. Kebanyakan dari sastrawan masa Romantisme mengubah aliran mereka dari aliran yang mereka ikuti pada masa The Age of Reason menjadi aliran yang sesuai dengan masa itu, Romantisme yang lebih berani, individual, memiliki pendekatakan imaginasi mengenai karya sastra dan kehidupan sekaligus. Ide dari karya sastra pada masa Romantisme adalah spontan, alami (tidak dibuat-buat), dan bebas sesuai dengan kehendak (individual). Aliran tersebut lebih dipengaruhi atau didasarkan karena adanya revolusi Perancis yang dimulai pada tahun 1789 dengan prinsip kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Hal inilah yang kemudian membuat para penyair di Inggris merespon kesedihan masyarakat Perancis yang



kemudian dimasukkan dalam karya-karya mereka yang menuntut kebebasan individual tanpa adanya kelas-kelas sosial di masyarakat sehingga terciptanya persaudaraan. American



Transcendentalism



dipengaruhi



oleh



antusias



Romantisme terhadap alam. Pada periode ini alam merupakan kunci pemahaman filosofis. Dari perspektif ini manusia tidak boleh puas dengan fenomena alam tetapi harus dapat memahami lebih dalam agar mendapatkan



pandangan



filosofis



tentang



dunia



secara



menyeluruh.Tulisan-tulisan yang dihasilkan pada periode ini antara lain: tulisan-tulisan filosofis Ralph Waldo Emerson, cerita-cerita pendek Nathaniel Hawthorne dan novel Henry David Thoreau  “Walden” (1854). Pada masa ini, karya sastra yang banyak lahir adalah puisi dari beberapa sastrawan ternama seperti William Blake (1757-1827) dengan “From Song of Innocent” dan “From Song of Experience”, William Wordsworth (1770-1850) “The World Is Too Much With Us”, Samuel Taylor Coleridge (1772-1854) “Frost at Midnight”, Lord Byron (1788-1824) “When We Two Parted”, John Keats (1795-1821) “The Ode on a Grecian Urn” dan Walter Scott (1771-1832) “The Lay of the Last Minstrel”. Selain puisi, prosa juga mengalami perkembangan dalam masa ini dan tetap dengan nilai individualitasnya yang bebas dan spontan serta tidak dibuat-buat. Contoh penulis prosa yang sangat terkenla seperti Jane Austen (1775-1817) dengan karya-karyanya mengenai kehidupan rumah tangga dama kesehariannya seperti “Pride and Prejudice”.



6. Periode Victoria (pertengahan kedua abad ke-19) Periode Realism dan Naturalism dinamakan juga periode Victorian Age di Inggris. Realism sering digambarkan sebagai gerakan yang mencoba menggambarkan realita sebenar-benarnya melalui bahasa. Di sisi lain, Naturalism memfokuskan pada penggambaran dari dampak perubahan sosial dan lingkungan sebagai akibat dari penemuanpenemuan science yang digambarkan melalui tokoh-tokoh yang ada di dalam tulisan tersebut. Di amerika tulisan ini kebanyakan berupa fiksi sedangkan di Inggris tulisan ini dituangkan ke dalam drama seperti karya George Bernard Shaw. Penulis-penulis amerika yang terkenal pada periode ini antara lain Mark Twain, Henry James dan Kate Chopin. Dan penulis-penulis Inggris seperti Charles Dickens, Charlotte and Emily Bronte serta George Elliot merupakan penulis-penulis terkenal pada periode ini. Pada tahun-tahun awal abad kesembilan belas dan berlanjut di seluruh era Victoria, novel Inggris menjadi tertanam kuat sebagai media artistik di mana, dengan palet luas, penulis mengumpulkan berbagai karakter untuk menyelidiki dengan peningkatan kecanggihan psikologis dan keinginan manusia. Charlotte Brontë, dalam Jane Eyre (1847) dan Villette (1853), melukiskan wanita muda yang berjuang untuk membimbing nasib mereka sendiri, dan adik perempuannya Emily Brontë melukis dengan nada gotik dari kisah cinta terkutuk Catherine Earnshaw dan Heathcliff



di



Wuthering



Heights



(1847).



Saudara-saudara



Bronte



diterbitkan di bawah nama samaran Currer dan Ellis Bell karena prasangka terhadap penulis perempuan, seperti yang dilakukan Marian Evans, yang, seperti George Eliot, menulis serangkaian novel klasik termasuk Adam Bede (1859), The Mill on the Floss (1860), Silas Marner (1861), dan maha karya Middlemarch (1871–1872). Fiksi Eliot membahas keterkaitan kehidupan yang sering menjengkelkan di desa-desa Inggris, di mana ritual sosial menghambat upaya individu untuk menentukan nasib sendiri. Sementara



citra



era



Victoria



dalam



imajinasi



populer



membangkitkan pandangan tentang kesopanan sosial yang kaku dan seksualitas yang ditekan, stereotip ini mengaburkan sifat yang berani dan provokatif dari banyak literaturnya. Dalam banyak hal melanjutkan pembinaan romantis individu dalam puisi, novel, dan drama mereka, penulis Victorian mengintip di balik façade budaya mereka untuk mempertanyakan nilainya, untuk mempromosikan reformasi, dan untuk meminta pembacanya untuk mempertimbangkan hubungan antara masyarakat Inggris dan keinginan individu.



7. Periode Modernism (zaman Perang Dunia I sampai Perang Dunia II) Modernisme Inggris dan Amerika dapat dilihat sebagai reaksi terhadap gerakan realis pada akhir abad kesembilan belas. Sementara realisme dan naturalisme terfokus pada penggambaran realitas yang sebenarnya, modernisme menemukan teknik naratif inovatif seperti aliran-



kesadaran, atau bentuk struktural seperti kolase dan sastra kubisme. "Modernisme" adalah istilah selimut yang mencakup luas inovasi sastra dalam dekade pertama abad kedua puluh yang memanifestasikan diri di bawah pengaruh psikoanalisis dan fenomena budaya-historis lainnya. Karya-karya utama termasuk James Joyce's Ulysses (1922) dan Finnegans Wake (1939), Virginia Woolfs Mrs Dalloway (1925) dan To the Lighthouse (1927), Gertrude Stein (1874–1946) Three Lives (1909), Ezra Pound's The Cantos (1915–70), TSEliot The Wasteland (1922), dan William Faulkner The Sound and the Fury (1929). Ketika



era



Victoria



memudar,



modernisme



bangkit



untuk



menantang kepekaannya, dengan para penulis memecah bentuk sastra dan kepekaan estetika di masa lalu. Ketika era Victoria menyaksikan kejayaan industrialisme, tahun-tahun awal abad kedua puluh juga mengalami



peningkatan



inovasi



teknologi.



Sementara



beberapa



perkembangan ini menjanjikan besar untuk masa depan, seperti penerbangan udara Orville dan Wilbur Wright pada tahun 1903, janji kemajuan teknologi seperti itu dilemahkan oleh kekerasan periode: Perang Boer Kedua di Afrika Selatan (1899-1902), Dunia Perang I (1914– 1918), Perang Saudara Spanyol (1936–1939), dan Perang Dunia II (1939–1945).



8. Periode Postmodernism (tahun 1960an sampai tahun 1970an) Dalam postmodernisme, isu-isu modernis mengenai teknik naratif inovatif diambil lagi dan diadaptasi dalam cara akademis, kadang-kadang formalistik. Gerakan sastra paruh kedua abad kedua puluh ini secara tidak langsung berhubungan dengan kejahatan Nazi dan penghancuran nuklir Perang



Dunia



II



sementara



secara



struktural



mengembangkan



pendekatan-pendekatan modernisme. Teknik narasi dengan berbagai perspektif, jalinan alur cerita, dan eksperimen dalam tipografi mencirikan teks-teks zaman ini. Bekerja seperti John Barth (1930–) Lost in the Funhouse (1968), Thomas Pynchon's (1937–) The Crying of Lot 49 (1966), Raymond Federman (1928–) Double or Nothing (1971), dan John Fowles '( 1926–) The French Lieutenant's Woman (1969) membantu gerakan untuk mendapatkan pengakuan dalam kritik sastra. Kedua drama absurd, termasuk karya-karya seperti Waiting for Godot Samuel Beckett (1952) dan Tom Stoppard's Travesties (1974), dan film postmodern mengadaptasi banyak elemen dari puisi dan fiksi postmodern untuk disesuaikan dengan media mereka. Beberapa kritikus mengidentifikasi transisi sastra setelah Perang Dunia II dari modernisme ke postmodernisme, dengan postmodernisme menggunakan mode seperti pastiche dan parodi dan perayaan absurd. Meskipun demikian sulit untuk mencirikan banyak penyair dan penulis abad kedua puluh di bawah rubrik ini; perbedaan seperti itu cocok untuk beberapa penulis lebih baik daripada yang lain. Juga, sangat mungkin



untuk membayangkan bahwa beberapa karya saat ini direndahkan sebagai fiksi ringan, seperti trilogi The Lord of the Rings karya J. R. R. Tolkien dan novel Harry Potter karya J. K. Rowling, mungkin lolos uji waktu. Dari kematian Ratu Victoria pada tahun 1901 hingga awal abad ke dua puluh satu berkisar luas berbagai sekolah sastra dan kepekaan, gaya dan suara, dari ledakan awal modernisme sampai konsepnya dan refashioning



baik



dalam



dan



melawan



postmodernisme.



Dalam



keragaman suara-suara pengarang yang terus berkembang, ketika para penulis perempuan, non-kulit putih, dan gay dan lesbian semakin berbicara tentang kebenaran mereka sendiri, abad ke-20 akan diingat sebagai masa pembebasan, jika juga keputusasaan akan kemampuan manusia yang tak terbatas untuk berperang dengan dirinya sendiri.



B. Periodisasi Sastra Amerika Perjalanan sastra Amerika mencerminkan asal-usul tanah yang membentuk Amerika Serikat. Sastra Amerika dimulai dengan cerita penduduk asli Amerika dan para penjelajah dari Eropa kemudian meluas ke karya kreatif para budak dan orang-orang yang kehilangan haknya. Imigran dan keturunannya serta terus masuknya bangsa imigran baru juga berkontribusi pada kelahiran karakter khas Amerika. Dengan latar belakang ini, tradisi sastra Amerika menjadi beragam. Periodisasi sastra Amerika dipengaruhi oleh sejarah panjang bangsa Amerika dimulai dari era pra kolonial dan kolonial sampai era



munculnya serangan 9/11 pada tahun 2011. Sejarah panjang inilah yang membentuk dan mempengaruhi karya sastra Amerika baik puisi, fiksi, maupun drama. Pugh dan Johnson (2014) membagi sastra Amerika ke dalam enam periode yaitu: 1.



Era Pra Kolonial dan Kolonial (Pra-Columbus-1720)



2.



Era Revolusioner dan Awal Amerika (1720–1820)



3.



Romantisisme (1820–1865)



4.



Realisme dan Naturalisme (1865–1910)



5.



Modernisme (1910–1945)



6.



Postmodernisme (1945 – Sekarang) Penjelasan mengenai latar belakang sejarah dan peristiwa yang



memengaruhi pengelompokan sastra Amerika serta penulis-penulis dan karya-karyanya yang muncul dalam setiap periode akan dijelaskan pada bagian berikut.



1. Era Pra Kolonial dan Kolonial (Pra-Columbus-1720) Sastra Amerika Serikat dimulai dengan cerita, nyanyian, dan doa yang berasal dari komunitas penduduk asli Amerika, yang telah diturunkan dari generasi ke generasi melalui pertunjukan lisan. Cerita ciptaan penduduk asli Amerika ini memiliki fitur-fitur umum seperti pentingnya alam dan menawarkan wawasan unik tentang sejarah dan keyakinan orang-orangnya. Beberapa kisah tersebut di antaranya kisah Creek, Iroquois, Cherokee, Lakota, Navajo, dan Lakota.



Pelayaran



orang-orang



Eropa



ke



seluruh



benua



Amerika



menghasilkan kumpulan teks berupa dokumentasi perjalanan. Dokumendokumen tersebut memberikan informasi yang rinci mengenai lanskap fisik, flora dan fauna, serta penduduk asli Amerika. Salah satu contoh dokumen tersebut adalah Historia de las Indias yang ditulis pendeta Katolik Roma, Bartolomé de las Casas yang mencatat sejarah kolonisasi Hindia Barat antara tahun 1492 sampai 1520. Dokumen-dokumen perjalanan lainnya ditulis Cabeza de Vaca, Francisco Vásquez de Coronado, Hernán Cortés, Arthur Barlowe, John Smith, Samuel de Champlain, dan Robert de La Salle. Pada abad ketujuh belas imigran baru mulai menciptakan komunitas atau bergabung dengan komunitas yang sudah ada. Munculnya permukiman-permukiman ini mendorong perkembangan publikasi baru. Sebagian publikasi ini bersifat nonfiksi yang membahas isu-isu penting untuk orang-orang di permukiman. Salah satunya adalah Of Plymouth Plantation karya William Bradford. Selain itu, terdapat publikasi lain berupa kisah pengalaman Mary Rowlandson yang diculik bersama tiga anaknya oleh anggota Wampanoag dalam A Narrative of the Captivity and Restoration of Mrs. Mary Rowlandson (1682). Publikasi kisah penahanan ini dan kisah-kisah petualangan lainnya memulai serangkaian panjang sastra petualangan Amerika.



2. Era Revolusioner dan Awal Amerika (1720–1820) Pada tahun-tahun menjelang Revolusi Amerika, banyak kolonis merenungkan



isu-isu



yang



berkaitan



dengan



kemerdekaan



dan



pemerintahan. Dukungan kebebasan beragama memainkan peran dalam kehidupan sipil koloni yang pada tahun 1730-an dan 1740-an mengalami kebangkitan iman agama yang dikenal sebagai the Great Awakening. Sepanjang



sisa



abad



ke



delapan



belas,



sastra



Amerika



mengembangkan karakternya berlandaskan pada kurangnya iman dan lebih mengandalkan akal. Pada periode ini, Thomas Paine menulis enam belas pamflet berjudul The Crisis (1776—1783) yang mengilhami para pembaca Amerika untuk memperjuangkan kemerdekaan. Selain tulisan tersebut, muncul genre otobiografi yang menceritakan kehidupan dan penganiayaan budak atau narasi budak tulisan Olaudah Equiano berjudul The Interesting Narrative of the Life of Olaudah Equiano (1789). Penyair Amerika selama periode revolusioner ini adalah Philip Freneau dan Joel Barlow. Freneau menulis puisi “On the Emigration to America and Peopling the Western Country” (1779), “The Indian Burying Ground” (1788), dan “On Mr. Paine’s Rights of Man” (1795). Sementara, Barlow menulis puisi "The Hasty Pudding" (1793). Setelah kemerdekaan, muncul novel-novel pertama Amerika yang mengambil subjek menghibur dan sering berpotongan dengan ide-ide sosial dan politik. Novel-novel tersebut antara lain The Power of Sympathy (1791) karya William Hill Brown, Charlotte Temple (1794) karya Susanna



Rowson, Novel the Coquette (1797) karya Hannah Webster Foster. Novelnovel pertama ini bertema tentang pelajaran tentang perilaku untuk kepada wanita muda agar mereka dapat melindungi kehormatannya.



3. Romantisisme (1820–1865) Periode sastra ini dipengaruhi oleh semangat revolusioner perang dengan Inggris, terjadinya Revolusi Prancis (1789-1799), serta munculnya gerakan sastra romantis Inggris. Pada paruh pertama abad kesembilan belas ini para penulis Amerika menarik semangat romantis dan menciptakan suara Amerika yang unik. Banyak karya sastra ini memuji dunia alami untuk keindahan dan kekuatannya serta merayakan emosi manusia dan pentingnya kebebasan dari kontrol pemerintah. Para penulis fiksi Amerika periode ini adalah Washington Irving dan James Fenimore Cooper. Washington Irving menulis kumpulan esai dan cerita pendek berjudul The Sketch Book of Geoffrey Crayon, Gent. (1819–1820). Buku ini mencakup kisah-kisah terkenal seperti "Rip Van Winkle" dan "The Legend of Sleepy Hollow" yang banyak menggunakan elemen fantasi dalam plotnya. Sementara, James Fenimore Cooper menulis lima novel yang dikenal sebagai Leatherstocking Tales (1823-1841). Salah satu novelnya yang paling terkenal adalah The Last of the Mohicans. Dalam novel-novelnya, Cooper menggambarkan karakter stereotipikal warga Afrika Amerika dan pribumi Amerika.



Penulis lainnya, Nathaniel Hawthorne menciptakan suara naratif khas Amerika melalui rekonstruksi genre roman dalam The Scarlet Letter (1850). Pemahaman Hawthorne tentang unsur-unsur gelap psikologi manusia mengangkat ceritanya ke dalam seni sastra. Karya-karya Hawthorne lainnya adalah The House of the Seven Gables (1851), The Blithedale Romance (1852), The Marble Faun (1860), dan beberapa cerita pendek, seperti "Young Goodman Brown" (1835) dan "My Kinsman, Major Molineux" (1832). Selama hidupnya, Hawthorne menginspirasi banyak penulis, di antaranya Herman Melville yang menulis Typee: A Peep at Polynesian Life (1846), Omoo: A Narrative of Adventures in the South Seas (1847), dan Moby-Dick (1851). Masalah perbudakan dalam banyak cara mendefinisikan karakter Amerika di tahun-tahun sebelum Perang Sipil AS. Beberapa penulis yang mengangkat tema ini dalam karyanya adalah Harriet Beecher Stowe dalam novel Uncle Tom's Cabin (1852) yang menceritakan kehidupan beberapa budak ketika bekerja pada pemilik budak yang berbeda dan saat dalam pelarian, Harriet Jacobs dalam otobiografi Incidents in the Life of a Slave Girl (1861) meneliti kehancuran pribadi dan komunal yang disebabkan oleh perbudakan, dan Henry Wadsworth Longfellow yang menerbitkan Poems on Slavery pada tahun 1842. Pada periode ini muncul penulis cerita pendek dan penyair Amerika paling penting yaitu Edgar Allan Poe. Bahasa, nada, dan subjek supranatural menempatkan banyak karya Poe dalam tradisi sastra gothic



yaitu



genre yang



mengandalkan



perangkat sastra



romantis dan



mengerikan. Cerita pendek hasil karyanya antara lain “The Fall of the House of Usher” (1839), “The Cask of Amontillado” (1846), dan “The TellTale Heart” (1843). Selain cerita pendek, Poe juga menulis puisi "The Raven" (1845), "Nevermore," dan “Annabel Lee”. Penyair periode ini yang lainnya adalah Ralph Waldo Emerson yang terkenal sebagai pelopor dan pemimpin gerakan filsafat transendentalisme. Puisi-puisi Emerson antara lain "Concord Hymn", "The Rhodora", "Brahma", dan "Uriel". Penyair-penyair periode ini adalah Longfellow, John Greenleaf Whittier, William Cullen Bryant, James Russell Lowell, dan Oliver Wendell Holmes, Sr., yang memiliki julukan the Fireside Poets. Para penyair ini menghasilkan bait dan syair berirama yang menggunakan bentuk-bentuk tradisional sehingga mudah dihafal dan dibaca. Puisi-puisi tersebut menggabungkan gambar dan subjek dari kehidupan, politik, dan sejarah Amerika. Pada paruh kedua abad kesembilan belas, Walt Whitman menulis Leaf of Grass (1855) yang versi awalnya ditulis dalam puisi bebas atau puisi tanpa meteran biasa. Emily Dickinson menerbitkan sepuluh puisi selama masa hidupnya. Akan tetapi, saudara perempuannya menemukan lebih dari 1.700 puisi setelah kematian Dickinson. Syair Dickinson tidak seperti penyair lain pada zamannya, terutama dalam gaya dan bentuk. Dia menggunakan tanda hubung bukan jenis tanda baca lainnya. Subjek dalam puisinya beragam tapi banyak yang berhubungan dengan sekarat dan kematian.



4. Realisme dan Naturalisme (1865–1910) Mulai akhir abad kesembilan belas hingga awal abad ke-20, karya sastra realis dan naturalis muncul dan menggeser fokus sastra Amerika. Realisme sastra menggambarkan karakter, masyarakat, dan pengalaman dengan tepat. Tokoh-tokoh dalam karya sastra periode ini berasal dari semua lapisan masyarakat yang digambarkan memiliki perilaku akrab dan umum atau tidak berperilaku heroik dan moralistik. Penulis realis juga menggambarkan situasi yang lebih akrab bagi pembaca. Selain itu penulis genre ini juga berfokus pada cara manusia menjadi bagian dari dunia alam/hewan yang dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin yang menekankan bagaimana unsur-unsur lingkungan, fisik, dan keturunan mengontrol perilaku manusia. Pelopor gerakan realis adalah Mark Twain yang menulis The Adventures of Tom Sawyer (1876) dan The Adventures of Huckleberry Finn (1885). Twain membuat tokoh-tokohnya dalam novelnya berbicara menggunakan kata-kata dan dialek regional daripada bahasa sastra. Contoh lain sastra yang mengusung warna lokal adalah novel The Country of the Pointed Firs (1896) karya Sarah Orne Jewett yang berfokus pada bahasa, adat istiadat, dan folkways dari wilayah tertentu. Selain itu, kumpulan cerita pendek The Conjure Woman (1899) karya Charles Chestnutt yang ditulis berdasarkan kisah-kisah dari dongeng-dongeng Afrika-Amerika. Penulis-penulis lain yang terkait dengan gerakan ini



adalah Mary E. Wilkins Freeman, Paul Laurence Dunbar, dan Joel Chandler Harris. Selain menggunakan warna lokal, terdapat penulis realis yang berfokus pada realisme psikologi dan emosi dalam karyanya seperti Henry James dalam The Portrait of a Lady (1881) dan The Turn of the Screw (1898). Sebagian besar fiksi James menawarkan realisme psikologis melalui penggunaan narasi orang pertama dari sudut pandang karakter dalam narasi. Penulis realis lainnya memusatkan perhatian pada isu-isu perilaku etis dan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi seperti William Dean Howells dalam novel The Rise of Silas Lapham (1885), A Hazard of New Fortunes (1890), dan The Landlord at Lion's Head (1908). Advokasi Howells ini memperluas cabang realisme yang dikenal sebagai sastra naturalisme. Karya-karya sastra naturalis antara lain novel McTeague (1899) karya Frank Norris, Maggie: A Girl of the Streets (1893) dan The Red Badge of Courage (1895) karya Stephen Crane, serta The Awakening (1899) karya Kate Chopin. Karya-karya sastra naturalis ini menunjukkan bahwa perilaku manusia dikendalikan oleh naluri hewan dan lingkungan fisik sehingga keinginan bebas seseorang untuk membuat pilihan etis atau bertanggung jawab menjadi terbatas. Kekuatan fiksi realis dan naturalis mempengaruhi sastra sampai abad ke-20.



5. Modernisme (1910–1945) Memasuki



abad



ke-20,



para



penulis



sastra



Amerika



mulai



menantang norma-norma sastra dan sosial. Para penyair Amerika misalnya tahun 1912 mulai menggunakan sajak bebas dengan bahasa yang jelas dan tepat serta menolak meteran tradisional yang mendukung irama musik yang lebih alami. Beberapa puisi dari periode ini antara lain “In a Station of the Metro” (1913) karya Ezra Pound, "The Red Wheelbarrow" (1923) dan "This Is Just to Say" (1934) karya William Carlos Williams, dan "The Love Song of J. Alfred Prufrock" dan "The Wasteland" (1922) karya T. S. Eliot. Sementara dalam puisi "Desert Places" (1936) Robert Frost menggunakan meteran dan bentuk stanzaik standar dalam puisi. Selama periode ini para penulis Afrika-Amerika atau penulis Harlem Renaissance menciptakan suara kolektif yang menandai abad ke-20 sebagai era baru dalam ekspresi artistik. Karya-karya seniman ini diterbitkan dalam bentuk antologi karya Countee Cullen, Claude McKay, Langston Hughes, dan Zora Neale Hurston berjudul The New Negro: An Interpretation (1925) oleh Alain Locke. Penulis Afrika-Amerika lainnya, Langston Hughes, berinovasi dengan bentuk-bentuk baru ekspresi puitis dengan irama jazz dan blues. Para penulis Harlem Renaissance ini membahas tema kefanatikan rasial dan perjuangan orang Afrika-Amerika yang mengungkapkan harapan dan kebanggaan.



Para penulis fiksi dengan struktur suara dan narasinya yang unik ikut berkontribusi pada keragaman gaya dan bentuk modernisme. Tema novel yang muncul pada periode ini berfokus pada generasi Perang Dunia I yang kecewa dan secara psikologis hilang pascaperang. Novel yang mengangkat tema ini anatar lain A Farewell to Arms (1929), The Sun Also Rises (1926), To Have and Have Not (1937), For Whom the Bell Tolls (1940), dan The Old Man and the Sea (1962) karya Ernest Hemingway serta The Great Gatsby (1925) karya F. Scott Fitzgerald. Tema novel lainnya



seperti



menemukan



mengenai



kembali



diri



hasrat



pada



kekayaan,



sendiri,



dan



pentingnya



kemungkinan kelas



sosial



mengemukakan pandangan pesimis tentang kehidupan Amerika modern sebagai keadaan moral yang membusuk. Novel yang mengangkat tema ini adalah Tender Is the Night (1934), In the Sound and the Fury (1929), As I Lay Dying (1930), Light in August (1932), dan Absalom, Absalom! (1936) karya William Faulkner. Selain itu, tema-tema masalah politik dan ekonomi juga muncul seperti dalam novel Nightwood (1936) karya Djuna Barnes, The Grapes of Wrath (1939), Tortilla Flat (1935), Of Mice and Men (1937), dan Cannery Row (1945) karya John Steinbeck, serta trilogi novel The 42nd Parallel (1930), 1919 (1932), dan The Big Money (1936) karya John Dos Passos. Dramawan yang paling signifikan di periode ini adalah Eugene O'Neill dan Thornton Wilder. Drama-drama awal O'Neill menggambarkan pengalaman kelas-kelas tertindas seperti dalam Anna Christie (1920) dan



The Hairy Ape (1922). Karya O’Neil selanjutnya berfokus pada kehidupan keluarga yang disfungsional yang kecanduan alkohol dan narkoba dalam Long Day's Journey into Night (1956). O’Neill menggunakan teknik eksperimental stream-of-conscious (aliran sadar) dalam Strange Interlude (1928). Sementara drama Wilder antara lain Our Town (1938), The Skin of Our Teeth (1942), dan novel The Bridge of San Luis Rey (1927). Wilder menggunakan berbagai teknik inventif, termasuk hanya memiliki unsurunsur minor dari satu set dan beberapa alat peraga untuk digunakan oleh para pemain drama. Gagasan-gagasan kontemporer tentang kesadaran dan sifat realitas dalam karya para penulis modern ini dipengaruhi oleh para pemikir penting seperti Sigmund Freud dan Albert Einstein. Banyak literatur modernis juga membahas masalah sosial yang lebih besar, seperti keterasingan



emosional



dan



fisik



yang



meluas



dari



masyarakat



kontemporer, tantangan terhadap harapan dan norma sosial, dan frustrasi atas dampak Depresi Besar dan Perang Dunia I dan II pada budaya Amerika dan keluarga.



6. Postmodernisme (1945 – Sekarang) Istilah postmodern mengacu pada periode sastra yang berjalan kirakira dari akhir Perang Dunia II pada tahun 1945 hingga hari ini dan satu set prinsip-prinsip estetika dan gaya yang menggambarkan unsur-unsur sastra tertentu. Seperti pada karya-karya sastra moden, dalam karya-



karya sastra postmoden juga ditemukan unsur-unsur fragmentasi, pastiche, ironi, intertekstualitas, dan jenis-jenis eksperimen formal lainnya. Namun, tujuan digunakannya teknik-teknik ini oleh para penulis modern berbeda dengan penulis postmodern. Sebagai contoh, beberapa penulis modern menggunakan fragmentasi sebagai refleksi dari kebingungan dan rasa sakit kehidupan modern sedangkan penulis postmodern lebih menerima fragmentasi sebagai keadaan eksistensi biasa. Dalam sastra postmodern gaya dan pengalaman fragmentaris ditanggapi dengan cara yang menyenangkan sedangkan dalam sastra moderen isolasi dan hilangnya kepercayaan di dunia sekitar mereka diratapi seperti yang dilakukan banyak modernis. Terlepas dari gaya artistik tertentu, sastra periode postmodern merespon masyarakat dan budaya kontemporer dan membahas ide dan pengalaman saat ini. Di antara subjek yang umum dalam sastra postmodern seperti isu gender dan seksualitas, ras dan etnisitas, serta kebenaran dan sejarah menunjukkan minat untuk memahami tempat individu dalam sebuah masyarakat dengan nilai-nilai yang berubah cepat. Para penulis Amerika terus mengambil subjek beragam seperti perang dan terorisme, gender dan seksualitas, serta etnisitas dan ras, yang semuanya memiliki tujuan menambah warisan sastra kaya yang mencerminkan keragaman dan cita-cita bangsa. Periode postmodern ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok penyair seperti the Beats, Black Mountain, The New York School, dan The



Black Arts Movement. Pada awal era postmodern, kelompok penulis the Beats banyak membahas masalah sosial dan politik dalam karya-karya mereka seperti isu kebebasan, seksualitas, dan penggunaan narkoba. Penulis yang masuk dalam kelompok ini adalah Allen Ginsberg, Jack Kerouac, Michael McClure, William S. Burroughs, Lawrence Ferlinghetti, Gregory Corso, dan Gary Snyder. Selain kecenderungan romantis sastra Beat, muncul gerakan puitis lainnya yang juga menunjukkan kepekaan romantis dan anti-modernis antara 1950-an dan 1960-an. Kelompok ini adalah para penyair konfesional yang menulis tentang detail intim kehidupan mereka. Penyair-penyair tersebut antara lain Sylvia Plath, Anne Sexton, John Berryman, dan Robert Lowell. Kelompok penyair Black Mountain seperti Charles Olson, Denise Levertov, Robert Duncan, dan Robert Creeley berfokus menggunakan garis puitis sebagai cara untuk mengkomunikasikan



emosi



yang



menyuarakan



pandangan



anti



kemapanan dalam puisi mereka. Sementara para penyair The New York School seperti Frank O'Hara, John Ashbery, dan James Schuyler, dipengaruhi oleh seni abstrak dan umumnya berfokus pada kehidupan urban saat menulis puisi. Setelah peristiwa pembunuhan Malcolm X tahun 1965, sekelompok penulis kulit hitam yang dipimpin oleh Amiri Baraka bergabung dalam The Black Arts Movement di New York City. Kelompok penulis ini membahas tantangan dan kemungkinan kehidupan perkotaan, mengadvokasi



pentingnya



literatur Afrika-Amerika, dan mengambil



tindakan untuk memastikan bahwa suara mereka dan orang-orang kulit



hitam Amerika lainnya dihargai. The Black Arts Movement ini menarik perhatian



para



penulis



Afrika-Amerika



karena



para



senimannya



mengantarkan kepada era baru penulisan kreatif rasial dan etnis yang beragam. Novelis paling awal dari era postmodern menampilkan perpindahan dari modernisme ke postmodernisme, dengan karya-karya yang semakin tertarik pada gaya narasi dan ekspresi yang lebih baru. Novel yang berasal dari awal era postmodern ini antara lain Native Son (1940) karya Richard Wright, dan Invisible Man (1952) karya Ralph Ellison. Sementara novel-novel seperti “Everything That Rises Must Converge” (1965), “A Good Man Is Hard to Find” (1955), and Wise Blood (1952) karya karya Flannery O’Connor, "A Worn Path" (1940) karya Eudora Welty, The Heart Is a Lonely Hunter (1940) karya Carson McCullers, To Kill a Mockingbird (1960) karya Harper Lee, dan Other Other, Other Rooms dan In Cold Blood karya Truman Capote diklasifikasikan ke dalam kelompok tulisan dalam tradisi gothic selatan yang mengangkat kisah orang-orang biasa yang menemukan diri mereka dalam keadaan luar biasa. Novelis pada 1950-an, 1960-an, dan 1970-an lebih memusatkan perhatian pada bahasa dan bentuk karya sastra sebagai konstruksi buatan daripada hubungan emosional di antara tokoh-tokohnya. Selain itu, penulis sastra era ini mengedepankan unsur-unsur ironi komik, pastiche, dan metafiction dalam karya-karyanya. Para penulis tersebut antara lain



Kurt Vonnegut, Vladimir Nabokov, John Barth, Reed Ismael, Robert Coover, Donald Barthelme, dan Thomas Pynchon. Pada



bagian



akhir



abad



ke-20,



muncul



novel-novel



yang



menggabungkan estetika postmodern dengan tema-tema politik, ras, etnis, dan jenis kelamin. Novel-novel tersebut antara lain The Bluest Eye (1970), Song of Solomon (1977), dan Beloved (1987) karya Toni Morrison, Tripmaster Monkey: His Fake Book (1989) karya Maxine Hong Kingston, Going after Cacciato (1978) and The Things They Carried (1990) karya Tim O'Brien, Ceremony (1977) karya Leslie Marmon Silko, Maus (1991) karya Spiegelman, dan Tracks (1988), novel karya Louise Erdrich. Seperti puisi dan novel, drama juga ikut mengalami perubahan selama akhir tahun modernisme dan tahun-tahun awal postmodernisme. Perubahan tersebut terkait dengan tema-tema yang digunakan penulis drama dalam naskah drama yaitu tentang isu-isu kontemporer seperti identitas seksual, kelas, etnisitas, dan ras. Beberapa penulis drama pada periode ini antara lain William Inge, Lillian Hellman, Clifford Odets, Lorraine Hansberry, Arthur Miller, dan Tennessee Williams. Selama tahun-tahun awal abad ke dua puluh satu, untaian sastra baru telah berfokus pada cerita kehidupan di Amerika Serikat pada 9/11 dan pasca-9/11. Novel dengan tema tersebut antara lain Teroris (2006) karya John Updike. Falling Man (2008) karya Don DeLillo, The Good Life (2006) karya Jay McInerney. Sementara, drama dengan tema tersebut adalah drama The Mercy Seat (2002) karya Neil LaBute yang



menggambarkan pria yang sudah menikah dan kekasihnya yang bekerja di World Trade Center. Puisi dengan tema tersebut antara lain “History of the Airplane” karya Lawrence Ferlinghetti dan "9/14/01" karya David Lehman.



C. Periodisasi Sastra Indonesia Sebagaimana pengetahuan



dan



produk-produk alat



teknologi,



budaya karya



lainnya, sastra



seperti



pun



ilmu



mengalami



perkembangan, baik dalam bentuk maupun isinya. Perkembangan karya sastra, khususnya yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah adat istiadat, agama, ideologi, politik, dan ekonomi. Secara garis besar, perjalanan sejarah sastra Indonesia terbagi menjadi dua periode, yakni periode sastra Indonesia lama dan periode sastra Indonesia baru atau modern.



1. Sastra Lama Kesusastraan



lama



disebut



juga



kesusastraan



klasik



atau



kesusastraan tradisional. Zaman perkembangan kesusastraan klasik ialah sebelum masuknya



pengaruh



Barat ke



Indonesia.



Bentuk-bentuk



kesusastraan yang berkembang pada zaman ini adalah dongeng, mantra, pantun, syair, dan sejenisnya. Sastra Lama atau kesusastraan klasik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:



a. Nama penciptanya tidak diketahui (anonim). b. Pralogis atau cerita-ceritanya banyak diwarnai oleh hal gaib. c. Banyak menggunakan kata-kata yang baku, seperti alkisah, sahibul hikayat, menurut empunya cerita, konon, dan sejenisnya.



d. Peristiwa yang dikisahkan berupa kehidupan istana (istana sentris), raja-raja, dewa-dewa, para pahlawan, atau tokoh-tokoh mulia lainnya.



e. Karena belum ada media cetak dan elektronik, sastra klasik berkembang secara lisan. Perkembangan kesusastraan Indonesia pada periode klasik menjadikan referensi bagi proses kreatif pada sastra Indonesia baru. Eksistensi sejumlah bentuk karya sastra lama hingga kini masih dapat dijumpai di sejumlah daerah yang didalamnya memiliki budaya sastra warisan leluhur. Berbagai bentuk dan jenis kesusastraan lama menjadi khazanah tersendiri bagi peradaban sastra di tanah air. Sejumlah manuskrip sastra lama yang masih menggunakan bahasa daerah kemudian perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, khususnya yang mengandung nilai sejarah, agar dapat dipelajari karakteristiknya.



2. Sastra Baru Tonggak sastra baru Indonesia dimulai pada zaman ’20-an. Sastra baru Indonesia terus berkembang seiring dengan perjalanan waktu dan



dinamika kehidupan masyarakatnya. Dari rentang waktu ’20-an hingga sekarang, para ahli menggolongkannya menjadi beberapa angkatan.



a.



Angkatan ’20-an atau Angkatan Balai Pustaka Karya sastra yang lahir pada periode 1920-1930-an sering disebut



sebagai karya sastra Angkatan ’20-an atau Angkatan Balai Pustaka. Disebut Angkatan ’20-an karena novel yang pertama kali terbit adalah pada 1920, yakni novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Karyakarya yang lahir pada periode tersebut disebut pula Angkatan Balai Pustaka karena banyak diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka. Selain disebut Angkatan Balai Pustaka, Angkatan ’20-an disebut juga Angkatan Siti Nurbaya karena novel yang paling laris dan digemari oleh masyarakat pada masa itu adalah novel Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Karya-karya sastra Angkatan ’20-an tentu memiliki ciri berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang masih merupakan karya sastra lama. Ciri-ciri sastra Angkatan ’20-an sebagai berikut:



1) Temanya tentang kehidupan masyarakat sehari-hari (masyarakat sentris), misalnya tentang adat, pekerjaan, dan persoalan rumah tangga.



2) Telah mendapat pengaruh dari kesusastraan Barat. Hal ini tampak pada tema dan tokoh-tokohnya.



3) Pengarangnya dinyatakan dengan jelas.



b.



Angkatan ’30-an atau Angkatan Pujangga Baru Istilah Angkatan Pujangga Baru untuk karya-karya yang lahir



sekitar‘30–40-an diambil dari majalah sastra yang terbit pada 1933. Majalah itu bernama Pujangga Baroe yang kepengurusannya dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane.Angkatan Pujanga Baru disebut juga Angkatan’30-an sebab angkatan ini lahir pada tahun 1930-an. Karya sastra yang lahir pada angkatan ini berbeda dengan karya sastra angkatan sebelumnya. Karya-karya pada periode ini mulai memancarkan



jiwa



yang



dinamis,



individualistis,



dan



tidak



lagi



mempersoalkan tradisi sebagai tema sentralnya. Hal semacam itu timbul karena para pengarang khususnya sudah memiliki pandangan yang jauh lebih maju dan sudah mengenal budaya-budaya yang lebih modern. Di samping itu, semangat nasionalisme mereka sudah semakin tinggi sehingga isu-isu yang diangkat dalam karya mereka tidak lagi kental dengan warna kedaerahan.



c.



Angkatan ‘45 Angkatan’45 disebut juga sebagai Angkatan Chairil Anwar karena



perjuangan Chairil Anwar sangat besar dalam melahirkan angkatan ini. Dia pula yang dianggap sebagai pelopor Angkatan’45. Angkatan’45 disebut juga Angkatan Kemerdekaan sebab dilahirkan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.



Pengarang yang terkenal pada waktu itu, antara lain adalah, Indrus, Usmar Ismail, Rosihan Anwar, El Hakim, dan Amir Hamzah. Pada periode ini juga muncul penyair terkenal Chairil Anwar. Dua karya yang terkenal adalah Atheis karya Achadiat Kartamiharja dan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus.



d.



Angkatan ‘66 Nama Angkatan’66 dicetuskan oleh H.B.Jassin melalui bukunya



yang berjudul Angkatan ’66. Angkatan ini lahir bersamaan dengan kondisi politik Indonesia yang tengah mengalami kekacauan akibat teror dan merajalelanya paham komunis. PKI hendak mengambil alih kekuasaan negara dan menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi komunis. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir pada periode ini lebih banyak berwarna protes terhadap keadaan sosial dan politik pemerintah pada masa itu. Pengarang yang produktif pada masa itu antara lain Taufik Ismail, Mansur Samin, dan Bur Rasuanto. Contoh dua karya yang diterbitkan oleh angkatan



ini



adalah Pagar



Kawat



Berduri karya Toha



Mohtar



dan Tirani (kumpulan puisi) karyaTaufik Ismail.



e.



Angkatan ’70-an Sekitar tahun ‘70-an, muncul karya-karya sastra yang lain dengan



karya sebelumnya. Kebanyakan karya-karya itu tidak menekankan makna



kata.Para kritikus sastra menggolongkan karya-karya tersebut ke dalam jenis sastra kontemporer. Kemunculan sastra semacam ini dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bachri. Dengan karya-karyanya yang seperti itu, Sutardji sering disebut sebagai pelopor puisi kontemporer. Ciri umum puisi Sutardji adalah dikesampingkannya unsur makna.Unsur permainan bunyi danbentuk grafis  lebih ditekankannya. Puisi-puisi  Sutardji  terkumpul  dalam sebuah buku



yang



berjudul



O,



Amuk,



Kapak



yang



diterbitkanpada



1981.Kekontemporerantampakpulapadapuisi-puisiLeon kumpulan



puisinya



dalam Wajah



yang



berjudul Hukla (1979),



Kita (1981), F.



Koruptor (1985),



Rahim



Qahhar



Rahardi



Agusta



dalam



Hamid



Jabar



dalam Catatan



dalam Blong, dan



Sang



Ibrahim



Sattah



dalam Dandandik (1975). Beberapa sastrawan lainnya dalam angkatan ini adalah Umar Kayam Ikra negara ArifinC. Noer, Akhudiat, Darmanto Jatman, Arief Budiman,



Goenawan



Mohamad, Budi



Darma,



Putu Wijaya, WisranHadi, WingKardjo,Taufik Busye,   Purnawan



Tjondronegoro, Djamil



Hamsad Ismail,



Rangkuti, Motinggo



Suherman, Bur Rasuanto,



Sapardi Djoko Damono, Satyagraha, Hoerip Soeprobo, dan termasuk H.B. Jassin. Memasuki dasawarsa pertama 1980-an, suara lokal dalam sastra Indonesia masih berkutat pada persoalan nilai tradisional dan modern. Untuk menyebut beberapa contoh, novel tetralogi Pulau Buru karya



Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar (1981) dan Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983) karya Y.B. Mangunwijaya, Bako (1982) karya Darman Moenir, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, masih berkutat pada persoalan ritual, agama, dan kekerabatan. Karya sastra Indonesia pada masaangkatan80-antersebarluas di berbagai majalah dan penerbit umum. Satu hal yang ikut menandai angkatan 80-an adalah banyaknya roman percintaan. Sastrawan wanita yang menonjol pada masa itu adalah MargaT. Beberapa sastrawan lainnya yang dapat mewakili Angkatan 80- antara lain adalah Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, dan Kurniawan Junaidi.



f.



Angkatan Reformasi Seiring dengan jatuhnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru,



muncullah wacana tentang Sastrawan Angkatan Reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, dan novel yang bertemakan sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di sejumlah



media,



pementasan-pementasan



sajak,



dan



penerbitan-



penerbitan, didominasi oleh karya sastra reformasi. Sastrawan reformasi merefleksi keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir 1990-an. Di zaman ini, sejumlah penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, turut meramaikan kondisi ini dengan berbagai karyanya.



g.



Angkatan 2000 Wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi muncul,



tetapi tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki ‘juru bicara’. Namun, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia Jakarta, pada 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikussastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna Ahmadun Yosi Herfanda, danSeno Gumira Ajidarma,serta yang muncul pada akhir 1990an,seperti AyuUtami dan Dorothea Rosa Herliany. Angkatan 2000 juga ditandai pula dengan karya-karya yang cenderung berani dan vulgar, seperti novel Saman karya Ayu Utami. Sebagai pengimbang atas maraknya karya-karya yang vulgar dan novelnovel teenlit, bermunculan fiksi-fiksi islami. Gerakan fiksi islami seakanakan sengaja memberi wacana alternatif agar dunia fiksi Indonesia tidak hanya didominasi oleh fiksi-fiksi seksual. Oleh karena itu, fiksi islami kemudian didefinisikan sebagai karya sastra berbentuk fiksi yang ditulis dengan pendekatan islami, baik eksplorasi tema maupun pengemasannya. Satu hal yang menarik adalah aktifis gerakan fiksi islami didominasi oleh para perempuan penulis seperti halnya pada fiksi sekuler. Dua kelompok main stream sastra yang



berbeda ideologi itu seakan saling berebut pengaruh dan pembaca dalam perkembangan sastra Indonesia kontemporer.



BAB III KESIMPULAN



Periode sastra Inggris dibagi menjadi delapan  periode yaitu Periode Old English atau Anglo-Saxon (abad ke-5 sampai abad ke-11), Periode Middle English (abad ke-12 sampai abad ke-15), Periode Renaissance (abad ke-16 sampai abad ke-17), Periode Eighteenth Century (abad ke-18), Periode Romantic (pertengahan pertama abad ke19), Periode Victorian Age (pertengahan kedua abad ke-19), Periode Modernism (zaman Perang Dunia I sampai Perang Dunia II), dan Periode Postmodernism (tahun 1960an sampai tahun 1970an). Sementara itu, periode sastra Ameria dibagi menjadi enam  periode yaitu Era Pra Kolonial dan Kolonial (Pra-Columbus-1720), Era Revolusioner dan Awal Amerika



(1720–1820),



Naturalisme



Romantisisme



(1865–1910),



(1820–1865),



Modernisme



Realisme



(1910–1945),



dan dan



Postmodernisme (1945 – Sekarang). Periode sastra di Indonesia secara garis besar dibedakan atas periode sastra lama dan sastra baru.



DAFTAR PUSTAKA



Klarer, Mario. 2004. An Introduction to Literary Studies Second Edition. Newyork: Wissenschaftliche Buchgesellschaft Darmstadt.



Kosasih, E. 2008. Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Nobel Edumedia.



Pugh, Tison dan Margareth E. Johnson. 2014. Literary Studies A Practical Guide. UK: Routledge.