Perkembangan Moral Lickona [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam beberapa tingkat perkembangan banyak sekali hal yang harus manusia ketahui betapa pentingnya perkembangan yang dilewati oleh setiap orang dari tahap pertama sampai tahap terakhir. Perkembangan tersebut bermacam-macam aspeknya baik berupa kognitif,sosial, fisik, bahasa ataupun moral. Zaman globalisasi ini pendidikan di indonesia lebih banyak menekankan pendidikan merujuk kedalam konteks daya cipta atau kognitif dan ilmu pengetahuan yang lainnya. Padahal perkembangan tingkah laku, sosial, ataupun moral sangatlah penting untuk diajarkan kepada siswa-siswi di sekolah. Apalagi diterapkan terhadap Pendidikan Anak Usia Dini, peran guru sangatlah penting dalam memberikan stimulus sosial atau moral yang baik kepada peserta didik. Apabila perkembangan ini di terapkan di indonesia maka sangat mungkin pendidikan indonesia lebih maju dan terpandang baik oleh negara lain. Dimana, sistim pendidikannya mempunyai kelebihan yang berbeda dari pendidikan lain. Dalam makalah ini akan menjelaskan perkembangan moral menurut Thomas Lickona. Thomas Lickona merupakan tokoh yang menjelaskan tentang perkembangan moral. Perkembangan tersebut mempunyai tahapan-tahapan tertentu, di dalam perkembangan moral menurut Lickona menjelaskan pulanilai – nilai etika, aspek – aspek moral, komponen – komponen sebagai fasilitas moral, dan garis besar desain komperehensip praktik pendidikan karakter. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah Konsep Dasar Perkembangan Moral Lickona? 2. Apa saja Nilai – nilai Etika Lickona secara Universal? 3. Apa saja Aspek – aspek Moral Lickona? 4. Apa saja Komponen - komponen sebagai fasilitas Perilaku Moral Lickona? 5. Bagaimana Garis Besar Desain Komperhensif Praktik Pendidikan Karakter Strategi untuk Guru? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui Konsep Dasar Perkembangan Moral Lickona 2. Untuk mengetahui Nilai – nilai Etika Lickona secara Universal 3. Untuk mengetahui Aspek – aspek Moral Lickona 4. Untuk mengetahui Komponen - komponen sebagai fasilitas Perilaku Moral Lickona 1



5. Untuk mengetahui Garis Besar Desain Komperhensif Praktik Pendidikan Karakter Strategi untuk Guru 1.4 Manfaat Makalah ini disusun untuk dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun teoritis. Secara praktis makalah ini bisa dijadikan bahan rujukan pengetahuan bagi para pembaca kalangan mahasiswa maupun praktisi pendidikan atau bagi para orangtua cerdas. Secara teoritis makalah ini bermanfaat dalam diskusi keilmiahan berkaitan dengan perkembangan peserta didik.



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Konsep Dasar Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sosial untuk membantu pembentukan karakter secara optimal). 2



Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Jadi, pendidikan karakter ini membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Secara terminologis, makna karakter sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Lickona: A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya dia menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior”. Menurut Thomas Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benarbenar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills). Dengan demikian, proses pendidikan karakter, ataupun pendidikan akhlak dan karakter bangsa sudah tentu harus dipandang sebagai usaha sadar dan terencana, bukan usaha yang sifatnya terjadi secara kebetulan. Bahkan kata lain, pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai3



nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga negara secara keseluruhan. Thomas Lickona menyebutkan tujuh unsur-unsur karakter esensial dan utama yang harus ditanamkan kepada peserta didik yang meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Ketulusan hati atau kejujuran (honesty). Belas kasih (compassion); Kegagahberanian (courage); Kasih sayang (kindness); Kontrol diri (self-control); Kerja sama (cooperation); Kerja keras (deligence or hard work). Tujuh karater inti (core characters) inilah, menurut Thomas



Lickona, yang paling penting dan mendasar untuk dikembangan pada peserta didik, disamping sekian banyak unsur-unsur karakter lainnya. 2.2 Nilai-Nilai Etika Thomas Lickona secara Universal Pengembangan nilai-nilai etika inti menyiratkan keyakinan tentang apa saja sifatsifat karakter dan bagaimana caranya menjadi pribadi yang benar dan baik secara moral. Etika adalah aturan dasar yang digunakan untuk memperoleh seluruh nilai-nilai yang lain. Seluruh keyakinan tentang apa yang benar dan salah adalah nilai-nilai etika. Nilai etika bersifat universal dan objektif. Nilai-nilai yang menyediakan standar-standar karakter baik dan etika eksternal dan bersifat sepanjang masa. Nilai-nilai etika menurut Thomas Lickona (1993) adalah nilai-nilai yang menjunjung tinggi hak azasi manusia dan memperkokoh martabat manusia. Nilai-nilai yang berlaku berlaku secara universal di seluruh dunia. Nilai-nilai inti menyuguhkan tanggung jawab sipil dalam alam demokrasi demikian juga dipahami oleh pribadi-pribadi rasional dalam kebudayaan yang berbeda. Nilai-nilai moral itu mencakup kejujuran dan tanggungjawab yang menjadi kewajiban dalam bertindak sekalipun hal itu tidak kita inginkan. Secara universal nilai-nilai etika meliputi: a. Kesalehan (piety)



4



Kesalehan berarti percaya kepada Tuhan dan memiliki komitmen untuk melaksanakannya, yakni ibadah kepada Tuhan, menghormati sesama manusia, dan melestarikan dan menjaga lingkungan sebagai habitat hidup. b. Keterpercayaan (trustworthiness) Keterpercayaan berarti menjadi percaya pada dan atau percaya dalam. Keterpercayaan meliputi sifat-sifat seperti integritas, keteguhan hati, kejujuran, kebenaran, ketulusan hati, terus terang, andal, menepati janji, dan loyalitas. Percaya adalah esensi bagi hubungan yang bermakna, abadi dan menghargai pertemanan, dan perkumpulan (asosiasi) sukses di perguruan tinggi, dalam aktivitas ekstra-kurikuler dan tempat kerja. c. Hormat (respect) Hormat memiliki makna yang setara dengan menghargai semua orang, menghargai martabat, privasi, dan kebebasan orang lain, santun, dan toleran atas perbedaan.Esensi hormat adalah menunjukkan kesungguhan dalam menghargai seseorang dan diri sendiri. Memperlakukan orang dengan hormat berarti menghargai keamanan dan kebahagiaan seseorang. Hormat bekerja sesuai dengan kaidah-kaidah luhur (the golden rule), memperlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan diri sendiri. d. Tanggung jawab (responsibility) Tanggung jawab berarti menjadi pribadi yang terhormat, melakukan tugas secara bertanggung jawab, menjadi pribadi yang bertanggung jawab, melakukan tanggung jawab terbaik demi keunggulan, dan berlatih mengendalikan diri.Tanggung jawab berarti kesadaran untuk melaksanakan hak dan kewajiban secara seimbang, mengetahui apa yang dilakukan (dan yang tidak dilakukan), dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Tanggung jawab secara literer berarti “kemampuan menanggapi”. Tanggung jawab dimaknai tugas atau kewajiban positif kita. Tanggung jawab memanggil kita untuk memenuhi komitmen, campur tangan ketika diperlukan untuk menegakkan apa yang benar, dan membenahi apa yang salah. Tanggung jawab menggambarkan tentang keandalan atau keterpercayaan, kemampuan untuk melakukan tugas-tugas dan memenuhi kewajiban baik di rumah, di tempat kerja, dan di lingkungan masyarakat atau komunitas. Seseorang dapat dinilai bertanggung 5



jawab jika ia dapat melakukan pekerjaannya bagi kelompoknya. Terdapat tiga kategori tanggung jawab, yakni tanggung jawab yang berpusat pada norma atau “tanggung jawab kolektif” (bertindak sesuai dengan nilai-nilai kelompok tertentu), tanggung jawab empatik atau tanggung jawab personal (digerakkan oleh penderitaan lain), dan tanggung jawab prinsipal atau tanggung jawab sosial (komitmen terhadap etika universal). e. Keadilan (fairness) Adil berarti bersifat atau bersikap tidak memihak dan konsisten terhadap orang lain, bersedia mendengar dan terbuka terhadap pandangan yang berbeda, dan mengikuti prosedur yang adil terhadap orang lain dalam situasi yang ada. f. Kepedulian (caring) Kepedulian adalah esensi dari nilai etika. Peduli terhadap nilai, terhadap cinta, kehormatan, memiliki penghargaan tinggi dan berperhatian terhadap makhluk lain, komunitas, kota, negara, dan dunia. Kepedulian, dan kebajikan rasa kasih, berjasa, berbuat baik, mementingkan orang lain, kedermawanan, murah hati, dan kebersamaan adalah esensi etika. g. Kewarganegaraan (citizenship) Kewarganegaraan, dalam hal ini kewarganegaraan yang baik, berarti memiliki rasa hormat terhadap hukum dan adat istiadat suatu negara, menghargai bendera dan segala simbol, melakukan gotong-royong membantu komunitas, bermain sesuai aturan masyarakat, dan menghargai figur penguasa dan representasinya.Kewarganegaraandimaknai sebagai tugas, hak, perilaku dan tanggung jawab warga negara. Tidak satu pun dari nilai-nilai inti itu dapat diajarkan secara terpisah, hanya dalam suatu kombinasi dan penyatuan ke seluruh mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi dapat memberi hasil positif. Oleh karenanya, suatu pendekatan sistem diperlukan untuknya. 2.3 Aspek-Aspek Moral Thomas Lickona Pengertian moral, menurut Suseno (1998) adalah ukuran baik-buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah pendidikan untuk menjadaikan anak manusia bermoral dan



6



manusiawi. Sedangkan menurut Ouska dan Whellan (1997), moral adalah prinsip baikburuk yang ada dan melekat dalam diri individu/seseorang. Walaupun moral itu berada dalam diri individu, tetapi moral berada dalam suatu sistem yang berwujut aturan. Moral dan moralitas memiliki sedikit perbedaan, karena moral adalah prinsip baik-buruk sedangkan moralitas merupakan kualitas pertimbangan baik-buruk. Dengan demikian, hakekat dan makna moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral dalam mematuhi maupun menjalankan aturan. Ada beberapa pakar yang mengembangkan pembelajaran nilai moral, dengan tujuan membentuk watak atau karakteristik anak. Pakar-pakar tersebut diantaranya adalah Newman, Simon, Howe, dan Lickona. Dari beberapa pakar tersebut, pendapat Lickona yang lebih cocok diterapkan untuk membentuk watak/karater anak. Pandangan Lickona (1992) tersebut dikenal dengan educating for character atau pendidikan karakter/watak untuk membangun karakter atau watak anak. Dalam hal ini, Lickona mengacu pada pemikiran filosofi Michael Novak yang berpendapat bahwa watak/ karakter seseorang dibentuk melalui tiga aspek yaitu, moral knowing, moral feeling, dan moral behavior, yang satu sama lain saling berhubungan dan terkait. Lickona menggarisbawahi pemikiran Novak. Ia berpendapat bahwa pembentukan karakter/watak anak dapat dilakukan melalui tiga kerangka pikir, yaitu konsep moral(moral knowing), sikap moral(moral feeling), dan prilaku moral(moral behavior). Dengan demikian, hasil pembentukan sikap karekter anak pun dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral. Pemikiran Lickona ini mengupayakan dapat digunakan untuk membentuk watak anak, agar dapat memiliki karater demokrasi. Oleh karena itu, materi tersebut harus menyentuh tiga aspek moral (Lickona), seperti berikut; 1. Konsep moral (moral knowing) mencakup kesadaran moral (moral awarness), pengetahuan nilai moral (knowing moral value), pandangan ke depan (perspective talking), penalaran moral (reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan pengetahuan diri (self knowledge). 2. Sikap moral (moral feeling) mencakup kata hati (conscience), rasa percaya diri (self esteem), empati (emphaty), cinta kebaikan (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (and huminity). 3. Prilaku moral (moral behavior) mencakup kemampuan (compalance), kemauan (will) dan kebiasaan (habbit).



7



Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian moral/moralitas adalah suatu tuntutan prilaku yang baik yang dimiliki individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam pemikiran/konsep, sikap, dan tingkah laku. Dalam pembelajaran, moral sangat penting untuk ditanamkan pada anak usia SD, karena proses pembelajaran di SD memang bertujuan untuk membentuk moral anak, yaitu moral yang sesuai dengan nilai falsafah hidupnya. Menurut Thomas Lickona (Sutawi, 2010), ada 10 aspek degradasi moral yang melanda suatu negara yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa, yaitu: 1. Meningkatnya kekerasan pada remaja 2. Penggunaan kata-kata yang memburuk 3. Pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan 4. Meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas 5. Kaburnya batasan moral baik-buruk, 6. Menurunnya etos kerja 7. Rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru 8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara 9. Membudayanyaketidakjujuran 10. adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama. Meski dengan intensitas yang berbeda-beda, masing-masing dari kesepuluh tanda tersebut tampaknya sedang menghinggapi negeri ini. Dari kesepuluh tanda-tanda tersebut, aspek yang kesembilan yakni membudayanya ketidakjujuran tampaknya menjadi persoalan serius di negeri ini. Kejujuran seolah-olah telah manjadi barang langka.Atas dasar itulah maka pendidikan karakter menjadi amat penting. Pendidikan karakter menjadi tumpuan harapan bagi terselamatkanya bangsa dan negeri ini dari jurang kehancuran yang lebih dalam. Meski hingga saat ini belum ada rumusan tunggal tentang pendidikan karakter yang efektif, tetapi barangkali tidak ada salahnya jika kita mengikuti nasihat dari Character Education Partnership bahwa untuk dapat mengimplementasikan program pendidikan karakter yang efektif, seyogyanya memenuhi beberapa prinsip berikut ini: 1. Komunitas sekolah mengembangkan dan meningkatkan nilai-nilai inti etika dan kinerja sebagai landasan karakter yang baik. 8



2. Sekolah berusaha mendefinisikan “karakter” secara komprehensif, di dalamnya mencakup berpikir (thinking), merasa (feeling), dan melakukan (doing). 3. Sekolah menggunakan pendekatan yang komprehensif, intensif, dan proaktif dalam pengembangan karakter. 4. Sekolah menciptakan sebuah komunitas yang memiliki kepedulian tinggi.(caring) 5. Sekolah menyediakan kesempatan yang luas bagi para siswanya untuk melakukan berbagai tindakan moral (moral action). 6. Sekolah menyediakan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang, dapat menghargai dan menghormati seluruh peserta didik, mengembangkan karakter mereka, dan berusaha membantu mereka untuk meraih berbagai kesuksesan. 7. Sekolah mendorong siswa untuk memiliki motivasi diri yang kuat. 8. Staf sekolah ( kepala sekolah, guru dan TU) adalah sebuah komunitas belajar etis yang senantiasa berbagi tanggung jawab dan mematuhi nilai-nilai inti yang telah disepakati. Mereka menjadi sosok teladan bagi para siswa. 9. Sekolah mendorong kepemimpinan bersama yang memberikan dukungan penuh terhadap gagasan pendidikan karakter dalam jangka panjang. 10. Sekolah melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter. 11. Secara teratur, sekolah melakukan asesmen terhadap budaya dan iklim sekolah, keberfungsian para staf sebagai pendidik karakter di sekolah, dan sejauh mana siswa dapat mewujudkan karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan pengembangan dan peningkatan nilai-nilai inti etika di sekolah, maka sekolah-sekolah di Indonesia harus menempatkan kejujuran sebagai prioritas utama dalam pengembangan program pendidikan karakter di sekolah. Gordon Allport menyebutkan bahwa ‘”kejujuran adalah mahkota tertinggi dari sistem kepribadian individu”. Jadi. sehebat apapun kepribadian seseorang jika di dalamnya tidak ada kejujuran, maka tetap saja dia hidup tanpa mahkota, bahkan mungkin justru dia bisa menjadi manusia yang berbahaya dan membahayakan. 2.4 TigaKomponen Sebagai Fasilitas Perilaku Moral. Thomas Lickona menulis di bagian pertama buku yang berjudulEducating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility bahwa “down



9



through history, in countries all over the world, education has had two great goals: to help young people become smart and to help them become good” (Lickona, 1991: 6). Dari pernyataan tersebut dapat di kita pahami bahwa menjadikan manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih sulit atau bahkan sangat sulit.Maka dari itu dalam hal ini pendidikan moral atau lebih sering dikenal dengan pendidikan karakter menjadi suatu hal penting untuk lebih dipahami dan di implikasikan dalam kehidupan manusia. Seperti halnya penjelasan sebelumnya karakter merupaka suatu hal yang menjadikan ciri khas dari setiap manusia untuk dapat menjalani hidup dan berkerjasama dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Suyatno (dalam Setiawan. 2013: 55) mengatakan Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan akibat dari keputusan yang dibuatnya. Kemudian pendidikan karakter sendiri berkaitan dengan pendidikan tentang nilai. Hal itu senada dengan pendapat Kirschenbaum &Golemen (Setiawan, 2013: 55) Pendidikan karakter pada hakikatnya adalah pendidikan nilai. Sedangankan Lickona (1991) mengemukakan mengemukakan bahwa pendidikan nilai/moral yang menghasilkan karakter, didalamnya terkandung tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yakni: pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling) dan perbuatan moral (moral action). Tiga komponen inilah yang menjadi hal pokok dalam implemantasi dan tahapan pendidikan karakter. Adapun penjelasan dari ketiganya adalah sebagai berikut: 1. MoralKnowingatau yang lebih dikenal dengan pengetahaun tentang moral, berkaitan dengan kesadaran moral, pengetahuan nilai-moral, pandangan ke depan,penalaran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan diri. 2. Moral Feelingyang meliputi kata hati, rasa percaya diri, empati, cinta kebaikan, pengendalian diri dan kerendahan hati. 3. Moral Action berkaitan dengan motif dorongan seseorang untuk berbuat baik, tampak pada aspek kompetensi, keinginan dan kebiasaan yang ditampilkannya. pengetahuan tentang moral (moral knowing)menjadi sesuatu yang esensial yang harus diajarkan kepada peserta didik. Namun pendidikan karakter hanya sebatas Moral Knowing saja tidak cukup, maka perlu berlanjut sampaiperasaan tentang moral (moral feeling) dan bahkah terus berlanjut pada tahap perbuatan moral (moral action). Ketika 10



kita pahami sehingga dapat diartikan bahwa implementasi tiga komponen tersebut harus terbangun secara terkait. Hal itu senada dengan pendapat Setiawan (2013: 56) ketersusunan tiga komponen moral yang saling berhubungan secara sinergis, menjadi syarat aktualisasi pendidikan karakter dalam mengembangkan kecerdasan moral peserta didik. Berkaitan dengan pendidikan karakter yang baik, Tiga komponen karkater menurut Lickona dapat digambarkan pada 3.4.1 berikut ini: Gambar 1: Tiga Komponen Pendidikan Lickona (sumber Setiawan, 2013: 56) Moral Knowing



6.



Moral Feeling



Moral Awareness Knowing Moral Values Prespeective Taking Moral Reasoning Decision Making Self Knowledge



1. Conscience 2. Self Esteem 3. Empathy 4. Loving The Good 5. Self Control 7. Humility



Moral Action 1. Competence 2. Will 3. Habit



2.5 Garis besar desain komprehensif praktik pendidikan karakter, strategi untuk guru Pendidikan karakter telah menjadi perhatian bagi negara dalam mempersiapkan generasi yang berkualitas. Bukan hanya untuk kepentingan individu melainkan untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Menurut Dalmeri (2014, 271) pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan man yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan melakukan yang baik. Upaya penaman karakter menjadi suatu hal yang urgen mengingat krisis moral yang sedang melandan Negara Kesantuan Republik Indonesia. Agar dalam penanaman karakter dapat terwujud dengan baik,maka diperlukan prinsip-prinsip pendidikan karakter yang efektif, menurut Lickona (dalam Setiawan, 2013: 57) terdapat 11 prinsip-prinsp penanaman karakter diantaranya: (1) Mengembangkan nilai-nilai universal sebagai fondasi; (2) Mendefinisikan Karakter secara konmperhesif yang mencangkup aspek pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) menggunakan pendekatan yang komperhesif dan proaktif; (4) menciptakan komunitas sekolah yang penuh dengan perhatian; (5) 11



memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan tindakan moral; (6) membuat kurikulum akademik yang bermakna; (7) mendorong motivasi peserta didik; (8) melibatkan seluruh komponen sekolah sebagai komunitas pembelajaran moral; (9) menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral; (10) melibatkan keluarga dan anggota sebagai mitra; dan (11) mengevaluasi karakter sekolah baik terhadap staf sekolah sebagai pendidik karakter maupun peserta didik dalam memanifestasikan karakter yang baik. Prinsip moral di atas pada konsep lingkup yang kecil masyarkat dalam hal ini sekolah menurut Ktresna (dalam Setiawan, 2013: 57) dapat diaktualisasikan dengan empat pilar, yaitu: (1) kegiatan belajar mengajar di kelas, dengan mengimplementasikan pendidikan karakter yang menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach); (2) kegiatan keseharian dalam bentuk pencipataan budaya sekolah (School Culture); (3) kegiatan ko kurikuler dan atau ekstrakulikuler; (4) kegiatan keseharian di rumah dan dalam masyarakat. Empat pilar ini jika dipahami secara lebih mendalam bahwa pendidikan karakter perluadanya desain dalam pemrogramannya. Menurut Setiawan (2013: 57) program yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Desain pendidikan karakter berbasis kelas, desain ini berkaitan dengan relas guru sebagai pendidik dan peserta didik sebagai pembelajaran. Artinya kelas merupakan salah satu tempat strategis dalam upaya penanaman moral atau karakter, di dalam kelas terjadi interaksi antara guru sebagai pendidik dapat melakukan sebuah pembelajaran kepada peserta didik, sehingga variasi pembelajaran yang menyenangkan tanpa mengabaikan penanaman nilai moral menjadi suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan. Pemilihan model, metode, dan strategi pembelajaran menjadi sangat penting karena dalam hal itu kita dapat menentukan nilai moral atau karakter apa yang akan ditekankan yang nantinya dapat membantu dalam menanamkan karakter kepada peserta didik. Desain pembelajaran pendidikan karakter dapat dilakukan dengan merubah pola pembelajaran konvensiaonal menjadi pembelajaran yang lebih inovatif, hal itu dapat dijelaskan dengan tabel di bawah ini: Tabel 2. Pendekatan Pembelajaran Konvensional dan Inovatif (Sumber: Setiawan, 2013)



Pembelajaran Konvensional



Pembelajaran Inovatif



12



Pendekatan Teacher Centered Dominan Ekspositori Minim Media Textbook Center Pembelajaran Verbalistik Evaluasi dominan kognitif tingkat rendah Posisi guru sebagai transfer of knowledge



Pendekatan Student Centered Mutli Model dan Metode Multimedia Multi sumber belajar Pembelajaran kontekstual Evaluasi: Kognitif, Afektif, & Psikomotor Posisi guru sebagai director of learning



2. Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah yang mampu membentuk karakter peserta didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri peserta didik. Pranata sosial sekolah disini untuk mengantarkan individu kedalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya, serta untuk menjaga kelangsungan eksistensi masyarakat dan kebudayaannya, sehingga kerjasama semua elemen sekolah baik guru, kariyawan, ataupun penjaga sekolah sebagai orang dewasa diharapkan memiliki kewajiban dan bertanggung jawab untuk menciptakan sebuah lingkungan sekolah yang menanamkan nilai-nilai moral. Sebagai contoh selalu menanamkan 3S (Senyum, Sapa, Salam) di lingkungan sekolah. 3. Pendidikan karakter berbasis komunitas, dalam hal ini untuk menanamkan karakter atau nilai moral sekolah tidak berjuang sendirian, masyarakat diluar lembaga pendidikan seperti keluarga, masyakarat, negara juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan peserta didik. Berkaitan dengan hal ini semuan elmen yang disebutkan tadi juga perlu memahami n berkaitan dengan moral knowing, moral feeling dan melaksanakan moral action dalam kehidupan bermasyarakatan dan bernegara. Pendidikan karakter dapat terselenggara dengan baik dan efektif jika prinsipprinsip pendidikan karakter seperti penjelasan di atas dapat dilaksanakan melalui tiga desain pendidikan karakter dan dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Melalui desain tersebut diharapakan pendidikan karakter dapat berperan dalam mengembangkan kecerdasan moral secara komperhensif dan berkelanjutan.



13



BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan 3.2 Saran



14



DAFTAR PUSTAKA



Dalmeri. 2014. Pendidikan Untuk Pengembangan Karakter “ Telaah Terhadap Gagasan Thomas Lickona Dalam Educating For Character”. Jurnal. Al Ulum Vol 14 (1). F. Clark Power et al., Moral Education: A Handbook, Volume 1 & 2, Westport: Praeger Publishers, 2008, 24. Setiawan. 2013. Peran Pendidikan karakter Dalam Pengembangan Kecerdasan Moral. Jurnal Pendidikan Karakter. Vol 3 (1) Thomas Lickona, ‘‘The Return of Character Education,’’ dalam Educational Leadership, Vol. 51, No. 3, 1993, 6–11 Thomas Lickona, Educating for Character, New York: Bantam Books, 1991.



15