Perkembangan Personal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Perkembangan Personal, Sosial, dan Emosional A. Perkembangan Personal Perkembangan personal adalah pertumbuhan sifat-sifat kepribadian yang sifatnya menetap sebagai hasil interaksi indivdu dengan lingkungan fisik dan sosialnya (Eggen dan



Kauchak,2004).



Selanjutnya



dikemukakan



bahwa



perkembangan



personal



dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor hereditas dan faktor lingkungan. Faktor Keturunan (Hereditas) Perbedaan setiap individu dalam berbagai aspek psikologis sudah dibawa sejak lahir. Sifat dan perilaku dipengaruhi oleh faktor genetik, seperti sifat dan perilaku anak berkaitan dengan karakteristik orang tuanya. Selain itu faktor genetik memiliki dampak yang cukup signifikan termasuk intelegensi, perasaan malu, dan perilaku agresif yang berlangsung sepanjang hidup (Boyd & Bee, 2010). Faktor Lingkungan : -



Peran Orang Tua, Keluarga merupakan pendidik utama dan pertama dalam



memelihara pertumbuhan fisik, kesehatan anak, nilai-nilai budaya, agama, masyarakat. Keluarga secara tidak langsung menjadi model yang ditiru oleh anak, apa yang dilihat dan dipelajari serta yang dirasakan dan dialami anak-anak akan terinternalisasi dalam batin. - Peran Guru, Guru memiliki peran dalam menyiapkan kondisi bagi perkembangan personal anak. Mulai dari belajar menyesuaikan diri di taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Anak yang berlajar di taman kanak-kanak mengalami proses pembelajaran yang menyenangkan, yaitu mendapatkan perhatian, bujukan, pujian dari guru yang membuat anak amat terkesan. Namun, Setelah memasuki sekolah dasar, anak mengalami perbedaan dalam mengikuti proses pembelajaran. Mungkin anak mendapat empati dan perhatian, namun anak juga bisa mendapat perlakuan kasar dari guru, guru cepat tersinggung, marah, berkata kasar dan jenis-jenis perlakuan lainnya yang dialami oleh anak. - Teman Sebaya, memiliki usia dan tingkat kematangan yang relatif sama, sehingga terjalin komunikasi. Memiliki teman sebaya yang baik semasa sekolah dasar memiliki



keterkaitan dengan kesuksesan kerja dan kemampuan menjalin persahabatan, anak juga memiliki keterampilan sosial yang baik dan keterampilan kepemimpinan dalam kelompok sosialnya. B. Perkembangan Sosial Perkembangan sosial digambarkan sebagai kesempatan individu untuk mengembangkan kemampuannya melakukan interaksi dan hidup berdampingan dengan sesama dalam rentang waktu tertentu (Eggen dan Kauchak, 2004). Perkembangan sosial akan memberi dampak yang berarti bagi proses pembelajaran dan kepuasan anak dalam menjalani pengalaman belajarnya (Coolahan, 2000). Proses Perkembangan sosial pada masa kanak-kanak a) Usia 3-4 Tahun Pada usia tersebut, perkembangan sosial sudah mulai tumbuh, perasaan saling menyayangi dan sifat kooperatif dalam bergaul sudah ada, namun sering kali mereka masih ingin menguasai temannya. b) Usia 3-5 Tahun Pada usia tersebut, anak telah menyadari tentang makna dan identitas gender. Anak menyadari bahwa ia adalah seorang laki-laki atau perempuan berdasarkan pengalaman dan peran yang ditampakkan oleh laki-laki atau perempuan dewasa. Anaki ingin menjadi model sepakbola , meyakini dirinya bahwa ia seperti model tersebut dan memiliki pengalaman emosi bahwa ia memiliki perasaan seperti model yang ditirunya. c) Usia 7-8 Tahun Perkembangan sosial anak usia tersebut, sejalan dengan perkembangan fisiknya, telah menunjukkan kesadaran akan pentingnya pergaulan terutama dengan teman sebaya.



Perkembangan Personal, Emosional, dan Sosial Secara Terintegrasi Menurut Teori Erikson



Erik Erikson berupaya mempelajari perkembangan personal dan emosional secara terpadu yang dipengaruhi ingkungan sosial, integrasi antara perkembangan personal dan emosional serta faktor sosial akan memberi pemahaman yang komprehensif tentang perkembangan manusia. Erikson menamai teorinya sebagai teori psikososial. Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya) 



Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan







Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.







Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak.







Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.



Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt) 



Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun







Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.







Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.







Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian.







Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.



Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt) 



Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.







Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.







Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.







Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan raguragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.







Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.



Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri) 



Terjadi pada usia 6 s/d pubertas. Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka. 







Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya. Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.







Prakarsa yang



dicapai



sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat



dengan pengalaman-pengalaman baru. 



Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.







Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.







Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.



Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas) 



Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun







Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.







Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).







Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa – pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.







Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai.







Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.







Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.







Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.



Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan) 



Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)







Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap berkomitmen dengan orang lain.







Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.







Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi.







Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.



Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan) 



Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).







Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga.







Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.







Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.



Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa) 



Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun)







Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.







Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan.







Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa







Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami.







Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.



Teori perkembangan yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan (Sunarto,2013:176). Selain itu Kohlberg juga menyelidiki struktur proses berpikir yang mendasari perilaku moral ( Moral Bahavior). Dalam perkembangannya Kohlberg juga menyatakan adanya tahapan-tahapan yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang dari segi proses penalaran yang mendasarinya bukan dari sikap moral. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam stadium perkembangan dengan tiga tahapan yang teridentifikasi. Kohlberg memberikan berbagai kasus dilema moral dengan tingkat kompleksitas yang berbeda. Anak-anak yang menjadi subjeknya memberikan pengertian, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks, atas beberapa kasus perilaku. Dari hasil penelitiannya ini, Kohlberg membagi perkembangan moral dalam 6 tahap. Berikut ini adalah tiga level perkembangan moral menurut Kohlberg (Cahyono dan Suparyo, 1985:37-45), di mana masing-masing tingkat memuat dua tahap perkembangan moral: 1.      Tahap Moral Pre-konvesional Pada tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-



norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan. Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari yang menerapkan normanorma tersebut. Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu: a.



Tahap Punishment and Obedience Orientation Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk.



b.



Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain, serta tindakan tersebut tidak merugikan. Pada tahap ini hubungan antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan timbal balik dan sikap terus terang yang menempati kedudukan yang cukup penting.



2.      Tahap Tingkat Konvensional Pada tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok, masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut dilakukan tanpa harus mengaitkan dengan konsekuensi yang muncul, namun dibutuhkan sikap dan loyalitas yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku. Pada tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok di sekitarnya. Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu: a.       Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain. Jadi, setiap anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain untuk dapat dianggap bermoral. b.      Tahap Law and Order Orientation Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai tindakan



yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada.   3.      Tahap Tingkat Post konvensional Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok. Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap perkembangan moral, yaitu: a.     Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari perbedaan individu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap tahap yang memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada tahap ini, hukum atau aturan juga dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat. b.    Tahap Orientation of Universal Ethical Principles             Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.