Pertumbuhan & Perkembangan Tafsir [PDF]

  • Author / Uploaded
  • udyne
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH STUDI AL-QUR’AN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TAFSIR



Oleh : Kelompok 8 1.



Alifuddin Wachid



(09650153)



2.



Faiqul Ihsan



(09650



JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2010



ABSTRAK



Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Telah menjadi sunnatullah bahwa Allah mengutus setiap rasul dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal itu karena agar komunikasi di antara mereka berjalan dengan lancar. Allah berfirman,



“Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim : 4) Kitab yang diturunkan kepadanya juga dengan bahasa kaumnya. Apabila bahasa Muhammad bahasa Arab, maka kitab yang diturunkan kepadanya pun tentu dalam bahasa Arab, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf : 2); “Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy-Syu’ara : 192-195). Jadi jelas bahwa lafadz – lafadz Al-Qur’an itu berbahasa Arab, makna-makna yang terkandung di dalamnya pun sesuai dengan makna – makna yang dikenal di kalangan bangsa Arab.apabila terdapat sedikit lafadz yang diperselisihkan dalam pandangan ulama, apakah ia berasal dari bahasa lain yang kemudian diarabkan ataukah ia bahasa Arab asli tetapi terdapat pula pada bahasa lain ? Maka yang demikian ini tidak mengeluarkan Al-Qur’an dari statusnya sebagai kitab yang berbahasa Arab.



Pendapat yang dipegangi para penyelidik adalah bahwa lafadz – lafadz tersebut merupakan kata-kata memiliki kesamaan antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibn Jarir Ath-Thabari. Dalam hal ini ada riwayat tentang ayat yang menggunakan bahasa yang juga dipakai bahasa selain Arab, diantaranya bahasa Habasyah :



“Allah memberikan rahmatNya kepadamu dua bagian.” (QS. Al-Hadiid : 28) Dikatakan bahwa makna al-khiflain dalam ayat tersebut sama dengan dhifani (dua kali lipat pahala) menurut bahasa Habasyah. Juga ayat,



“Sesungguhnya bangun di waktu malam...” (QS. Al-Muzammil : 6) Adalah bahasa Habasyah, sebab jika seseorang bangun di waktu malam, mereka mengatakan nasya’a (ia bangun malam), dan masih banyak lagi yang lainnya. Menurut Ath-Thabari tidak seorang pun mengatakan bahwa kata-kata tersebut dan yang serupa dengannya bukan bahasa Arab. Namun sebagian mereka mengatakan, “Kata ini dalam bahasa Habasyah artinya begini, kata ini dalam bahasa Arab artinya begitu.” Selain itu, telah jelas pula bahwa terdapat sejumlah lafadz yang persis sama dalam berbagai bahasa, misal kata dirham, dinar, dawat, qalam, dan qirthas (kertas). Tidak ada alasan yang pasti mengapa lafadz – lafadz tersebut menjadi bagian bahasa tertentu, yang kemudian dialihkan ke dalam bahasa lain. Tak satupun dari dua bangsa, etnis, ras yang lebih berhak mengklaim sebagai pemilik asalnya. Dan yang mengklaim demikian berarti ia mengklaim sesuatu tanpa dalil dan alasan.



PEMBAHASAN Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir



A. Pada Masa Nabi SAW



Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Selain faktor tersebut, diantara kandungan Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui takwilnya kecuali melalui penjelasan Rasulullah. Misalnya rincian tentang perintah dan larangan-Nya, dan ketentuan hukum-hukum yang difardhukanNya. Allah memberikan jaminan kepada Rasulullah bahwa Allah-lah yang ‘bertanggung jawab’ melindungi Al-Qur’an dan menjelaskannya, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Qiyamah :17-19 yang artinya sebagai berikut : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” Nabi memahami Al-Qur’an dengan sempurna baik secara global dan terperinci. Dan adalah tugasnya menerangkannya kepada para sahabat, hal ini ditrangkan dalam firman Allah Surat An-Nahl : 44 yang artinya : “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah,” Keteranganketerangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan,” (QS. An-Nahl : 44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :



“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu bisa.” (QS. Al-Anfal : 60) Kemudian Rasulullah berkata, “ Ketahuilah, bahwa ‘kekuatan’ itu pada memanah. Juga hadits dari Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim, Rasulullah bersabda : “Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.” B. Pada Masa Sahabat



Seperti dijelaskan di atas, para sahabat juga dapat memahami Al-Qur’an, karena AlQur’an diturunkan dalam bahasa mereka. Akan tetapi antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an, apa yang tidak diketahui oleh seseorang di antara mereka mungkin diketahui oleh sahabat yang lainnya. Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya. Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas. Para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an pada masa ini berpegang teguh pada : 1. Al-Qur’an Al-Karim



Sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat di jelaskan secara terperinci di ayat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat yang lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan “Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.” Penafsiran seperti ini cukup banyak contohnya. Misalnya, kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang ditampilkan secara ringkas di beberapa tempat, kemudian di tempat lain datang uraiannya panjang lebar. Misalnya, “Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu....” (QS. Al-Maidah : 1), dan “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah........” (QS. Al-Maidah : 3).



2. Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam.



Beliaulah pemberi penjelasan (penafsir) Al-Qur’an otoritatif. Ketika para sahabat mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat, mereka langsung merujuk kepada Rasulullah SAW. Dari Ibnu Mas’ud diriwayatkan, ia berkata, “Ketika turun ayat, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman.....” (QS. Al-An’am : 82) sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?” Beliau menjawab, “Kezaliman di sini bukanlah seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang saleh (Luqman),



“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman : 13) Kezaliman yang dimaksud di sini, sesungguhnya adalah syirik.” 3. Pemahaman dan Ijtihad Apabila tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, mereka melakukan ijtihad. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek kebalaghah-an yang ada di dalamnya. Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir yang datang dari para sahabat, karena merekalah yang paling ahli bahasa Arab dan menyaksikan secara langsung konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka, disamping mereka mempunyai daya pemahaman yang shahih. Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan berkata : “Ketahuilah Al-Qur’an itu ada dua bagian. Satu bagian penafsirannya datang berdasarkan naql (riwayat) dan bagian yang lain tidak dengan naqli. Yang pertama, penafsiran itu ada kalanya dari nabi, sahabat atau tokoh tabi’in. Jika berasal dari nabi, hanya perlu dicari kesahihan sanadnya. Jika berasal dari sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka menafsirkan dari segi bahasa ? Jika ternyata demikian maka mereka adalah yang paling mengerti tentang bahasa Arab, karena pendapatnya dapat dijadikan pegangan, tanpa



diragukan lagi. Atau jika mereka menafsirkan berdasarkan asbabun nuzul atau situasi dan kondisi yang mereka saksikan, maka hal ini tidak diragukan lagi.” Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Muqaddimah Tafsir-nya : “Jika kita tidak mendapatkan tafsiran dalam Al-Qur’an dan tidak pula dalam Sunnah, hendaknya kita merujuk kepada penafsiran para sahabat, sebab mereka lebih mengetahui mengenai tafsir AlQur’an. Merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi yang terjadi. Juga mereka mempunyai pemahaman sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shaleh, terutama para ulama dan tokoh besarnya, seperti empat Khulafa’ Ar-Rasyidin, para imam yang mendapat petunjuk dan Ibn Mas’ud.” Dalam periode ini tidak ada sedikitpun tafsir yang dibukukan, sebab pembukuan, sebab pembukuan baru dilakukan pada abad kedua Hijriah. Di samping itu tafsir hanya merupakan cabang dari hadist, dan belum mempunyai bentuk yang teratur . Ia diriwayatkan secara bertebaran mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sistematika ayat-ayat Al-Qur’an dan surat-suratnya disamping juga tidak mencakup keseluruhannya. C. Masa Tabi’in



Kalau di kalangan sahabat banyak yang dikenal pakar dalam bidang tafsir, di kalangan tabi’in yang nota benenya menjadi murid merekapun, banyak pakar di bidang tafsir. Dalam menafsirkan, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri. Menurut Adz-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah, para mufassir dari kalangan tabi’in berpegang pada Al-Qur’an itu, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari rasululullah, penafsiran para sahabat, ada juga yang mengambil dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya: 1) Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.



2) Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. 3) Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy. Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya. Kitab-kitab tafsir menginformasikan kepada kita pendapat-pendapat tabi’in tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui proses penalaran dan ijtihad yang independen. Artinya penafsiran mereka sedikitpun tidak berasal dari Rasulullah atau para sahabat. Segolongan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus) dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka bisa saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegang, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. D. Masa pembukuan Itulah perkembangan tafsir pada masa pembukuan dibagi menjadi dua, masa periwayatan dan masa kodifikasi. Masa periwayatan di mulai dari zaman Nabi Muhammad SAW, sahabat dan tabi’in, sedangkan masa kodifikasi di mulai dengan masa adanya usaha pembukuan yaitu awal dari dinasti Bani Abbasiyah dan akhir dari dinasti Umayyah. Dalam masa kodifikasi di bagi menjadi beberapa masa yaitu: Masa pertama masa dalam bagian dari hadits. Masa kedua tafsir sudah terpisah dari hadits dalam bentuk tafsir bil mastur. Tahap ketiga yaitu tafsir masih dalam bentuk periwayatan (bil mastur) akan tetapi ada peringkasan sanad-sanad, dan tafsir sudah mulai tercampur antara yang sahih dengan yang cacat. Masa keempat, tafsir sudah banyak di masuki filafat kajian madzhab, fanatisme madzhab dan golongan, masa kelima tafsir sudah menjadi corak tersendiri sesuai dengan keilmuan mufassir corak. Lima periode pembukuan tafsir yaitu; •



Periode Pertama, Tahapan ini dimulai pada zaman setelah tabi’in yaitu pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah. Pada masa itu tafsir sudah mulai dibukukan yaitu masih menjadi sub-bagian dari hadits dan tafsir belum berdiri sendiri



dan belum ada penulisan tafsir Qur’an surat persurat dan ayat perayat dari awalnya sampai akhir. Ada sebagian ulama hadits yang menafsirkan Al-Qur’an dan dinisbahkan kepada tafsir Rasulullah, sahabat dan tabi’in akan tetapi tafsir tersebut merupakan bagian dari pada bab-bab yang ada di hadits, di antara mereka adalah Syu’bah ibn AlHajjaj, wafat 110 H, Yazir ibnu Harun As-Silmi 117 H, Waki’ ibnu Al-jaroh 1997 dan Sufyan Ibnu Uyainan 198 H. •



Periode Kedua, Dalam masa ini tafsir telah terpisah dari hadits dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri dan meletakkan tafsir setiap ayat dari Al-Qur’an dan meletakkannya berdasarkan tertib mushaf. Dan telah di selesaikan oleh beberapa ulama di antaranya: Ibnu Majah meninggal 273 H, ibnu Jarir At-Thobari 310 H, Abu Bakar Ibnu AlMundzir An-Naisaburi 318 dan Ibnu Abi Hatim 328 H. Dan setiap dari penafsiran ini diriwayatkan dengan sanad kepada Rasulullah, sahabat. Tabi’in dan tabiu, at-tabi’in dan tidak ada di dalam penafsiran-penafsiran itu yang lebih banyak dari pada penafsiran bil ma’stur, kecuali ibnu Jarir At-Thobari maka beliau telah menyebutkan pendapat-pendapat, kemudian mengkomposisikan dan menarjihkan sebagian yang satu atas sebagian yang lain dan beliau menambah juga i’rab jika diperlukan serta mengistinbatkan hukum-hukum jika perlu. Hal inilah yang mengilhami beberapa ulama setelahnya untuk mengadakan tarjih yang lebih luas terhadap pendapat beberapa tabi’in maupun tabi’ut tabi’in, lebih menjadi hukum dan lebih banyak memberi keterangan tata bahasa (gramatikal) dalam penafsiran, maka beberapa puluh tahun kemudian muncullah tafsir bil royi yang lebih condong ke fiqih, bahasa, dan lain-lain.







Periode Ketiga, Pada tahapan ini masih berbentuk tafsir bil ma’stur akan tetapi terjadi beberapa perubahan diantaranya peringkasan sanad-sanad kemudian mengambil perkataan dengan bil ma’stur dari para mufassir dari kalangan terdahulu mereka tanpa menisbahkan perkataan tersebut pada orang yang berkata, maka masuklah pemalsuan dalam tafsir dan bercampurlah yang sahih dengan yang cacat, maka para peneliti dalam buku-buku ini mengira bahwa setiap apa-apa yang ada didalamnya adalah betul semua, maka para ulama mutaakhiri banyak mengambilnya untuk dimasukkan ke



dalam tafsirannya dan mengutip isroiliyah dari buku-buku ini dan itulah awal dari munculnya bahaya pemalsuan isroiliyah. Oleh karena itu nantinya Ibnu Katsir akan cenderung berhati-hati dalam memaparkan hadits-hadits, pendapat-pendapat sahabat, thabi’in dan juga terutama sangat berhati-hatinya adalah ketika mengutip isroiliyah. •



Periode Keempat, Kemudian tafsir berlanjut dari tahapan ini ke tahapan yang lebih luas dan lebih



longgar. Berlangsung dari zaman Abbasiyah sampai kepada masa kita saat ini, setelah tafsir sebelumnya hanya berkisar pada riwayat yang didapat dari ulama terdahulu. Kemudian tafsir menembus tahapan itu dan melangkah dengan penulisan tafsir yang mana bercampur di dalamnya antara pemahaman akal dalam penafsiran dengan naql (periwayatan) dengan adanya catatan-catatan. Pada awalnya hanya berupa mengutip beberapa pendapat dan menarjihkan sebagian atas sebagian yang lainnya kemudian bertambah dan berkembang menjadi pengetahuan yang berbeda-beda dan ilmu yang bermacam-macam, pendapat-pendapat yang fanatis dan akidah-akidah yang sangat kontras sampai di temui buku-buku tafsir yang didalamnya terkandung beberapa ilmu yang hingg hampir tidak bersambung kepada tafsir kecuali di situ ilmu-ilmu bahasa, nahwu shorof, fanatik madzhab, perbedaan fiqih dan muncul para kelompok-kelompok Islam menyebarkan madzhabmadzhabnya dan menyerukannya dan di terjemahkannya buku-buku filsafat dan kemudian ilmu-ilmu tersebut menjalahkan tentang pembahasan hadits itu sendiri. Ibnu Katsir termasuk ulama yang hidup di masa ini oleh karena itu, Ibnu Katsir dan gurunya berusaha mengembalikan tafsir kepada kedudukannya semula yang tidak dipengaruhi fanatisme madzhab dan golongan serta tidak mengungkapkan gramatikal yang berlebih hanya sebatas keperluan dan ini beliau lakukan dengan membawa penafsiran kepada zaman Rasulullah sampai pada tabi’in karena memang penafsiran pada masa itu relatif terjaga dari percampuran hal-hal yang merusak dari luar. •



Periode Kelima (corak kitab-kitab tafsir berdasarkan pendidikan mufasir). Tinjauan disini lebih berkisar pada coraknya bukan pada tinjauan sejarah,



meskipun sedikit banyak mengungkap sejarah. Di dalamnya kita akan mendapati setiap mufasir yang mempunyai kecakapan dalam cabang ilmu tertentu maka akan menulis tafsirannya sesuai dengan bidang yang di kuasainya. Seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-



Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan AlJassos dengan Ahkamul Qur’annya. E. Tobaqot (Kelompok Mufassir)



Berdasarkan uraian di atas kita dapat mengelompokkan mufassir sebagai berikut : 1.



Mufassir dari kalangan sahabat Diantara mereka yang paling terkenal empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu



Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin AzZubair, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Jabir dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Di antara empat khalifah yang banyak diriwayatkan tafsirnya adalah Ali bin Abi Thalib, sedang periwayatan dari tiga khalifah lainnya jarang sekali. Yang demikian disebabkan mereka meninggal terlebih dahulu, sebagaimana terjadi pada Abu Bakar. Sementara itu Ibnu Mas’ud lebih banyak diriwayatkan tafsirnya daripada Ali. 2.



Dari kalangan Tabi’in Ibnu Taimiyah menjelaskan, orang yang paling mengetahui tafsir itu penduduk



Mekkah, yaitu murid-murid Ibnu Abbas, seperti Mujtahid, ‘Atha’ bin Abi Rabah, ‘Ikrimah seorang maula (sahaya yang dimerdekakan oleh Ibnu Abbas), Sa’id bin Jubair, Thawus dan lain-lain. Di Kufah adalah murid-murid Ibnu Mas’ud dan di Madinah adalah Zaid bin Aslam yang tafsirnya diriwayatkan oleh putranya sendiri Abdurrahman bin Zaid, dan Malik bin Anas. 3.



Kelompok berikutnya adalah mereka yang menyusun kitab-kitab tafsir dengan



metode koleksi pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in, seperti Sufyan bin Uyainah, Waki’ bin Al Jarrah, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yazid bin Harun, Abdurrazzaq, Adam bin Abu Iyas, Ishaq bin Rahawaih, ‘Abd bin Humaid, Rauh bin ‘Ubadah, Abu Bakar bin Abi Syaibah dll. 4.



Kemudian disusul generasi Ali bin Abi Talhah, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu



Abi Hatim, Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnu Mardawaih, Abu Asy-Syaih bin Hibban, Ibnu Al Mundzir dll. Tafsir-tafsir mereka memuat riwayat-riwayat yang disandarkan pada sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, semuanya sama kecuali yang disusun oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, di mana ia mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan salah satu atas yang lain, serta menerangkan i’rab dan istinbath hukum. Karena itu tafsir ini lebih unggul dari lainnya.



5.



Kelompok mufassir yang memberi perhatian terhadap penafsiran Al-Qur’an



yang menggunakan pendekatan kebahasaan, membahas problematika qira’at, seperti Abu Ishaq Az-Zajjaj, Abi Ali Al-Farisi, Abi Bakar An-Nuqasy, dan Abu Ja’far AnNahhas. 6.



Golongan muta’akhirin menulis pula kitab-kitab tafsir. Mereka meringkas



sanad-sanad riwayat dan mengutip pendapat-pendapat secara terputus. Karenanya masuklah ke dalam tafsir sesuatu yang asing dan riwayat yang shahih bercampur baur dengan yang tidak shahih. 7.



Kemudian, setiap mufassir memasukkan begitu saja ke dalam tafsirnya



pendapat yang diterima dan apa saja yang terlintas dalam pikiran yang dipercayainya. Kemudian generasi sesudahnya mengutip apa adanya semua yang tercantum di sana dengan asumsi semua kutipan itu asli, tanpa meneliti lagi tulisan yang datang dari ulama salaf yang saleh yang menjadi panutan. Sampai Asy Suyuti mengatakan, bahwa penafsiran firman Allah “Ghairil Maghdhubi alaihim wa la adh-dhallin” ada sepuluh pendapat. Padahal penafsiran yang berasal dari nabi, para sahabat dan tabi’in hanya satu, yaitu “orang Yahudi dan Nasrani”. 8.



Sesudah itu , banyak mufassir yang mempunyai keahlian dalam berbagai



disiplin ilmu mulai menulis tafsir. Mereka memenuhi kitabnya dengan cabang ilmu tertentu dan hanya membatasi pada bidang yang dikuasainya, seakan-akan Al-Qur’an hanya diturunkan untuk ilmu itu saja, bukan untuk yang lain, padahal Al-Qur’an memuat penjelasan mengenai segala sesuatu. 9.



Masa kebangkitan modern. Pada masa ini para mufassir menempuh langkah



dan pola baru dengan memperhatikan keindahan uslub (redaksi), kehalusan ungkapan, dan menitikberatkan pada aspek-aspek sosial, pemikiran kontemporer, dan aliranaliran modern, sehingga lahirlah tafsir “sastra-sosial.” Diantara mufassir kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Sayyid Muhammad Rasyid Rida, Muhammad Mustafa AlMaraghi, Sayyid Quthub dan Muhammad “Izzah Darwazah.



DAFTAR PUSTAKA •



Al-Qaththan,Syaikh Manna’.2007.Pengantar Studi Ilmu Al-Quran.Pustaka Al-Kautsar : Jakarta







Salma, Muhammad Abu.2009.Sejarah Tafsir dan Perkembangannya.Islam House.com







http://www.contohmakalah.co.cc/2009/08/sejarah-tafsir.html







http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_Al-Qur%27an







http://abutaqiyya.multiply.com/