Perubahan Iklim [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Perubahan Iklim Dan Pengaruhnya Terhadap Sektor Kesehatan - Arum Siwiendrayanti



PERUBAHAN IKLIM DAN PENGARUHNYA TERHADAP SEKTOR KESEHATAN Arum Siwiendrayanti *)



ABSTRAK Efek rumah-kaca (greenhouse effect) merupakan mekanisme alami yang menjaga kestabilan suhu bumi. Berbagai aktivitas manusia telah mengakibatkan peningkatan konsentrasi gas rumah-kaca/greenhouse gases (di antaranya CO2, CH4, N2O, dan CFC) di atmosfer sehingga efek rumah-kaca pada bumi menjadi berlebihan dan mengakibatkan pemanasan global (global warming) yang selanjutnya menimbulkan perubahan iklim (climate change). Perubahan iklim itu sendiri terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang, antara 50-100 tahun. Walaupun terjadi secara perlahan, perubahan iklim memberikan dampak yang sangat besar pada kehidupan umat manusia. Perubahan iklim hingga saat ini telah menimbulkan banyak kerugian melalui beberapa dampaknya yang dapat berupa musim kemarau yang semakin panjang serta musim hujan yang semakin pendek periodenya namun semakin tinggi intensitasnya, kekeringan, gagal panen, krisis pangan dan air bersih, banjir dan longsor, wabah penyakit tropis, dan lain sebagainya. Isu perubahan iklim merupakan isu global sehingga dalam penanganannya perlu melibatkan pihak global secara berkelanjutan. Namun sementara itu, perubahan iklim ataupun pemanasan global adalah isu yang masih asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia padahal tanpa disadari dampak dari perubahan iklim itu sendiri sudah dirasakan. Dampak-dampak tersebut pun pada gilirannya nanti akan menghambat kemajuan pembangunan di berbagai sektor, termasuk sektor kesehatan. Kata kunci : perubahan iklim (climate change), efek rumah-kaca (greenhouse effect) PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan teknologi, manusia telah banyak membuat perubahan dalam peradabannya yang secara bersamaan juga mengakibatkan perubahan pada kondisi bumi. Kondisi bumi kini tidak lagi hanya dipengaruhi oleh rotasi, evolusi, siklus hidrologi, siklus biogeokimia, dan lain *)



sebagainya melainkan juga dipengaruhi oleh dampak dari aktivitas manusia. Perubahan iklim merupakan salah satu kondisi yang diakibatkan oleh perubahan kondisi bumi karena aktivitas manusia. Ada sebagian pihak yang masih salah mempersepsikan perubahan iklim adalah sama dengan perubahan musim sehingga kemudian menimbulkan respon yang



Staf Pengajar Pada Jurusan IKM FIK Universitas Negeri Semarang



17



KEMAS - Volume 3 / No. 1 / Juli - Desember 2007



keliru pula yakni ‘semua ini tidak perlu dicemaskan’. Padahal sesungguhnya perubahan iklim (climate change) yang dimaksud di sini adalah perubahan pola iklim dunia yang merupakan dampak dari pemanasan global ( global warming ), sementara pemanasan global merupakan akibat dari efek rumah-kaca (greenhouse effect). Pemahaman orang tentang pemanasan global melalui efek rumahkaca mulai muncul pada abad ke-19, yaitu ketika ilmuwan Perancis, Jean-Baptiste Fourier, menyatakan bahwa berbagai jenis gas di atmosfer bumi (yang kemudian disebut sebagai gas rumahkaca atau greenhouse gases yang diantaranya adalah CO2, CH4, dan N2O) memerangkap radiasi matahari sehingga tidak dapat memantul ke ruang angkasa dan sebagai akibatnya terjadi peningkatan suhu. Apa yang dikemukakan Fourier di atas kemudian diperkuat oleh sejumlah ilmuwan lain, seperti Svante Arrhenius dari Swedia dan Charles David Keeling dari Amerika. (Kompas, 19 Februari 2005) Konsentrasi gas rumah-kaca pada masa pra-industri dalam abad ke-19 adalah 278 ppmv (CO2), 700 ppbv (CH4), dan 270 ppbv (N2O). Konsentrasi tersebut kemudian meningkat cepat menjadi 365 ppmv (CO2), 1.745 ppbv (CH4), dan 314 ppbv (N2O) pada tahun 1998 (Gillenwater dkk, 2002). Awalnya, kenaikan konsentrasi gas rumah-kaca berkecepatan rendah dalam rentang ratusan tahun namun pada abad ke-20 konsentrasi gas rumah-kaca naik dengan kecepatan puluhan tahun. Peningkatan konsentrasi yang sangat cepat ini diantaranya diakibatkan oleh penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara serta alih guna lahan khususnya 18



deforestasi. Para ahli memperkirakan bahwa CO2 akan mencapai 550 ppmv di tahun 2050 (Murdiyarso (a), 2003). Perubahan iklim hingga saat ini telah menimbulkan banyak kerugian melalui beberapa dampaknya yang dapat berupa musim kemarau yang semakin panjang serta musim hujan yang semakin pendek periodenya namun semakin tinggi intensitasnya, kekeringan, gagal panen, krisis pangan dan air bersih, banjir dan longsor, wabah penyakit tropis, dan lain sebagainya. Dampak tersebut akan semakin parah seiring dengan meningkatnya konsentrasi gas rumahkaca di atmosfer. (Meiviana dkk, 2004) Isu perubahan iklim merupakan isu global sehingga dalam penanganannya perlu melibatkan pihak global secara berkelanjutan. Namun sementara itu, perubahan iklim ataupun pemanasan global adalah isu yang masih asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia padahal tanpa disadari dampak dari perubahan iklim itu sendiri sudah dirasakan. Dampak-dampak tersebut pun pada gilirannya nanti akan menghambat kemajuan pembangunan di berbagai sektor, termasuk sektor kesehatan. BAGAIMANA IKLIM DAPAT BERUBAH ? Baik perubahan iklim maupun pemanasan global, keduanya merupakan akibat dari efek rumah-kaca. Dinamakan efek rumah-kaca karena memang mirip efek yang terjadi pada rumah-kaca atau greenhouse. Rumah-kaca atau greenhouse adalah suatu bangunan/rumah khusus yang semua dinding dan atapnya terbuat dari kaca yang dipakai para petani di daerah beriklim sedang / non-tropis untuk memelihara pertumbuhan sayuran dan biji-bijian tertentu. Pada siang hari



Perubahan Iklim Dan Pengaruhnya Terhadap Sektor Kesehatan - Arum Siwiendrayanti



dalam kondisi cuaca cerah, walaupun tanpa penggunaan alat pemanas, suhu dalam rumah-kaca lebih hangat dari pada suhu di luar rumah-kaca. Radiasi matahari (yang berupa cahaya tampak) dari luar akan masuk menembus dinding dan atap yang terbuat dari kaca dan menghangatkan tanah dalam ruangan rumah-kaca. Radiasi matahari tersebut kemudian akan dipantulkan kembali ke angkasa berupa energi sinar infra merah (infra-red) namun dinding dan atap kaca akan memantulkan sebagian dari energi panas dari sinar infra merah tersebut kembali ke dalam ruangan rumah-kaca. Energi panas dari sinar infra merah tersebut akhirnya terperangkap dalam rumah-kaca sehingga kondisi dalam rumah-kaca menjadi semakin hangat (Kristanto, 2004). Efek yang terjadi pada rumah-kaca juga terjadi pada bumi kita. Terdapat beberapa gas pada atmosfer (yang kemudian disebut gas rumah-kaca) yang berperan sepeti kaca pada rumah-kaca. Beberapa diantara gas-gas tersebut adalah uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), methan (CH4), dan nitrous oksida (N2O) (Kristanto, 2004). Gas-gas rumahkaca tersebut terbentuk secara alami dan menyerap serta memantulkan sebagian pantulan energi panas sinar infra merah kembali ke bumi sehingga suhu bumi menjadi hangat (Murdiyarso (a), 2003). Masing-masing gas rumah-kaca memiliki sifat absorbsi yang berbeda, yang disebut sebagai spektrum absorbsi. Uap air mengabsorbsi sinar infra merah yang memiliki panjang gelombang antara 4x103 – 7x103 nm dan yang diserap oleh CO 2 adalah yang memilik panjang gelombang 13x10 3 – 17x10 3 nm, sehingga terdapat ‘jendela’ yang dapat dilalui oleh sinar infra merah dengan



panjang gelombang 7x103 – 13x103 nm dan lepas ke angkasa. Mekanisme ini menjaga supaya intensitas efek rumah kaca yang ditimbulkan oleh gas rumahkaca tidak berlebihan (Kristanto, 2004). Inilah yang disebut efek rumah-kaca yang normal, yaitu suatu mekanisme yang memungkinkan bumi menjadi cukup hangat dan mendukung kehidupan. Tanpa mekanisme ini, suhu bumi akan 34 0C lebih rendah sehingga tidak cocok untuk kehidupan (Murdiyarso (a), 2003). Masalah mulai terjadi sejak revolusi industri tahun 1880-an. Meningkatnya taraf hidup manusia mengakibatkan peningkatan penggunaan bahan bakar fosil yang akhirnya mengakibatkan meningkatnya emisi gas rumah-kaca (Murdiyarso (a), 2003). Hal ini makin diperparah oleh pencemaran udara dari aktivitas industri yang diantaranya terdiri dari berbagai gas yang memiliki spektrum absorbsi antara 7x103 – 13x103 nm. Hal ini berakibat menyempitnya ‘jendela’ yang menjadi jalan lolosnya sebagian energi sinar infra merah sehingga makin banyak pula energi sinar infra merah yang terperangkap di bumi dan menjadikan suhu bumi melebihi suhu idealnya. CFC (kloroflorokarbon) merupakan salah satu gas pencemar yang bersifat sebagai gas rumah-kaca (selain sebagai perusak lapisan ozon). CFC ini merupakan sekelompok zat ciptaan manusia yang banyak digunakan dalam industri dan aktivitas manusia sehari-hari (Kristanto, 2004). Masa tinggal (residence time) suatu gas rumah-kaca di atmosfer juga mempengaruhi efektivitasnya dalam meningkatkan suhu bumi. Semakin panjang masa tinggalnya di atmosfer, semakin efektif pula pengaruhnya terhadap peningkatan suhu bumi 19



KEMAS - Volume 3 / No. 1 / Juli - Desember 2007



(Kristanto, 2004). Uap air (H 2 O) sebenarnya adalah gas rumah-kaca yang sangat potensial namun tidak diperhitungkan sebagai gas rumah-kaca yang efektif karena masa tinggalnya yang sangat singkat yaitu 9,2 hari (Murdiyarso (a), 2003). Tabel 1. Masa tinggal gas rumah-kaca Gas



CO 2 CH4 N2O CFC-11 CFC-12



Masa Tinggal (tahun) 50 - 200 10 150 65 130



Sumber : Kristanto, 2004



Masa tinggal gas rumah-kaca amat lama di atmosfer sehingga meskipun emisi gas rumah-kaca dihentikan dengan segera, dampak dari akumulasi gas rumah-kaca tersebut masih akan dirasakan puluhan bahkan ratusan tahun kemudian (Murdiyarso (a), 2003). Efek rumah kaca adalah penyebab, sementara pemanasan global dan perubahan iklim adalah akibat. Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya akumulasi panas di atmosfer. Hal ini dapat menyebabkan naiknya temperatur ratarata bumi yang kemudian dikenal dengan pemanasan global. Pemanasan global pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim, atau tepatnya perubahan beberapa variabel iklim seperti suhu udara, curah hujan dan musim (Meiviana dkk, 2004). Secara umum iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu, curah 20



hujan, tekanan udara, dan angin dalam jangka waktu yang panjang, antara 30100 tahun (inter centennial). Pada intinya iklim adalah pola cuaca yang terjadi selama bertahun-tahun. Sementara cuaca itu sendiri adalah kondisi harian suhu, curah hujan, tekanan udara dan angin. Jadi jika kita membicarakan perubahan iklim, maka yang kita maksud adalah perubahan pada pola variabel-variabel iklim yang telah terjadi dalam jangka waktu lama, setidaknya puluhan tahun (Meiviana dkk, 2004). DAMPAK PERUBAHAN IKLIM IPCC Working Group I, dalam laporannya yang dikeluarkan di Paris tanggal 2 Februari 2007, menerangkan bahwa kemungkinan 90% atau “very likely” bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab perubahan iklim ( h t t p : / / w w w . p e l a n g i . o r. i d / press.php?persid=79). IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change ) merupakan suatu panel ilmiah yang ditujuk oleh pemerintah anggota Konvensi Perubahan Iklim untuk melakukan pengkajian ( assessment ) terhadap perubahan iklim. IPCC memiliki tiga kelompok kerja (working group) : I. Dasar ilmiah; II. Dampak, Adaptasi, dan Kerentanan; dan III. Mitigasi (Murdiyarso (a), 2003). Laporan yang dikeluarkan IPCC Working Group II pada 6 April 2007 yang berjudul “Climate Change 2007 : Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability” menyampaikan dampak-dampak perubahan iklim yang sudah terjadi dan yang mungkin terjadi di masa depan. Laporan ini memberikan bukti bahwa perubahan iklim sudah mulai membawa dampak negatif dan bisa menjadi semakin parah di masa depan. Berdasarkan data



Perubahan Iklim Dan Pengaruhnya Terhadap Sektor Kesehatan - Arum Siwiendrayanti



yang lengkap, laporan ini berkesimpulan bahwa ada “ high confidence ” (yang berarti 80% kemungkinan) untuk menyatakan perubahan suhu yang terjadi akhir-akhir ini telah berdampak kepada banyak sistem fisik dan biologis alam (IPCC, 2007). Meski jumlah data yang digunakan jauh bertambah dibanding laporan serupa sebelumnya (tahun 2001), namun pada laporan tanggal 6 April 2007 ini masih ada ketimpangan data secara geografis dimana data dari negara-negara berkembang masih minim. Untuk wilayah Indonesia, berdasarkan data-data yang ada, laporan IPCC mengindikasikan hanya satu lokasi perubahan fisik alam, yaitu di Papua. Peningkatan temperatur di wilayah Indonesia berkisaran antara 0,2 hingga 1 0C pada tahun 1970-2004 (IPCC, 2007). Secara umum laporan IPCC tanggal 6 April 2007 tersebut menunjukkan kenaikan suhu di berbagai wilayah bumi, meluasnya area es kutub yang mencair, kenaikan permukaan air laut, dan perubahan pola musim yang kemudian berdampak pada berbagai sektor kehidupan (IPCC, 2007). DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KESEHATAN Tingkat kondisi sehat dihasilkan dari interaksi antara host (induk semang, dalam konteks ini adalah manusia), agent (penyebab penyakit), dan environment (lingkungan). Environment terdiri atas aspek fisik, biologis, dan sosial. (Mukono, 2000). Perubahan iklim hingga saat ini telah menimbulkan banyak perubahan pada host, agent, dan environment (baik aspek fisik, biologis, maupun sosial). (a). Dampak terhadap Environment.



Indonesia juga merupakan wilayah yang tak dapat lepas dari dampak perubahan iklim. Menurut Armely Meiviana dkk, perubahan iklim di antaranya telah menimbulkan dampak lingkungan berikut ini : (1). Banjir, tanah longsor, kekeringan, dan gagal panen. Indonesia telah mengalami ketidakmenentuan pola curah hujan. Beberapa tempat mengalami peningkatan curah hujan sehingga meningkatkan risiko terjadinya banjir dan longsor yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hingga level yang sangat buruk. Kualitas lingkungan yang buruk sangat berpotensi menjadi media distribusi penyakit menular seperti diare, leptospirosis, dan lain-lain. Sementara di sebagian tempat lain curah hujan menurun, sehingga berdampak pada terjadinya kekeringan. Ketidakmenentuan pola curah hujan ini sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian dan perkebunan berupa keterlambatan musim tanam maupun panen yang akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal panen. Kekeringan juga berdampak pada timbulnya krisis air bersih. Sehingga juga berdampak pada wabah penyakit diare dan juga penyakit kulit. (2). Kenaikan air laut dan berkurangnya suplai air bersih. Berbagai studi IPCC memperlihatkan bahwa telah terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 1-2 meter dalam 100 tahun terakhir. Menurut IPCC, pada tahun 2030, permukaan air laut akan bertambah antara 8-29 cm dari permukaan air laut saat ini. Sebagai dampak naiknya permukaan air laut, banyak pulau-pulau kecil dan daerah landai di Indonesia akan hilang dan setidaknya diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau. Selain 21



KEMAS - Volume 3 / No. 1 / Juli - Desember 2007



itu, kelebihan volume air laut akan menyebabkan air laut masuk ke aliran sungai. Volume sungai akan ikut meningkat sehingga sungai tidak mampu lagi menampung kelebihan air jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi. Hal ini mempertinggi risiko terjadinya banjir. Air bersih akan menjadi sangat langka ketika terjadi banjir sehingga warga tidak dapat terpenuhi kebutuhan higiene-sanitasinya. Kenaikan air laut juga akan memperburuk kualitas air tanah di perkotaan, karena intrusi atau perembesan air laut yang kian meluas. Diperkirakan pada tahun 2070, 50% dari 2,3 juta penduduk Jakarta Utara tidak lagi memiliki sumber air minum. Studi yang dilakukan Bapedal di wilayah Semarang menunjukkan bahwa intrusi air laut akan sangat berdampak pada sekitar 2.890 ha wilayah pemukiman dan perkantoran di Semarang. (3). Berkurangnya jumlah ikan di laut. Perubahan iklim juga berdampak pada sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Pemanasan global menyebabkan meluasnya area es di kutub yang mencair. Mencairnya es kutub akan menambah volume air laut sehingga merubah salinitasnya yang tentu akan berdampak pada kehidupan biota laut. Pemanasan global juga menyebabkan memanasnya air laut sebesar 2-3 0C. Akibatnya, terumbu karang pun akan berubah warna menjadi putih dan mati ( coral bleaching ). Pemutihan karang menyebabkan punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi. Memanasnya air laut juga akan mengganggu kehidupan jenis ikan tertentu yang sensitif terhadap naiknya suhu sehingga mereka akan bermigrasi ke daerah yang lebih dingin. Akibatnya, Indonesia akan kehilangan beberapa jenis ikan sehingga hasil tangkapan ikan 22



nelayan akan menurun dan berpengaruh terhadap ketersediaan pangan sumber protein hewani yang penting untuk masyarakat. Selain itu nelayan juga akan semakin sulit melaut karena kondisi iklim yang tidak menentu. (4). Kebakaran hutan dan penurunan konsentrasi O2 di atmosfer. Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh faktor alam yang umumnya dipicu oleh terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan sekitar hutan. Peningkatan suhu yang terjadi dalam masa yang cukup lama, seperti musim kemarau panjang, mengakibatkan mudah terbakarnya ranting-ranting atau daundaun akibat gesekan yang ditimbulkan. Perubahan iklim yang berdampak pada meningkatnya suhu, dipastikan akan meningkatkan potensi kebakaran hutan. Musim kemarau pada tahun 1994, telah menyebabkan hutan Indonesia seluas 5 juta ha habis terbakar. Tahun 1997-1998, kawasan yang rusak akibat kebakaran hutan hampir seluas 10 juta ha. Kebakaran hutan akan mengakibatkan deforestasi atau mengurangi luas area hutan yang semula ada. Hal ini menyebabkan makin sedikitnya jumlah vegetasi yang sebetulnya dapat menghasilkan O 2 dan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer. Deforestasi menyebabkan konsentrasi O2 di atmosfer berkurang, sementara efek rumah-kaca semakin parah karena meningkatnya konsentrasi CO2. (5). Penurunan kualitas sosialekonomi masyarakat. Penduduk korban kebakaran hutan, banjir, longsor, air pasang, angin topan akibat perubahan iklim akan menjadi kelompok masyarakat yang tidak produktif karena harus kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal di samping harus tetap memikirkan



Perubahan Iklim Dan Pengaruhnya Terhadap Sektor Kesehatan - Arum Siwiendrayanti



bagaimana harus memenuhi kebutuhan pokok seperti air bersih, pakaian, dan makanan. Hal semacam juga dialami oleh penduduk wilayah pantai yang area pemukimannya hilang karena kenaikan air laut, juga para petani yang gagal panen, maupun nelayan yang hasil tangkapan ikannya menurun (Meiviana dkk, 2004). Tingkat ekonomi yang rendah akan menyulitkan penduduk baik untuk hidup layak dan sehat maupun untuk mengakses layanan kesehatan. (b). Dampak terhadap Agent. Suhu udara, kelembaban udara, dan curah hujan merupakan faktor penting perkembangbiakan nyamuk (Gandahusada dkk, 2003). Naiknya suhu udara akibat perubahan iklim menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek. Dampaknya, nyamuk akan berkembangbiak lebih cepat. Meningkatnya populasi vektor nyamuk akan meningkatkan peluang agent-agent penyakit dengan vektor nyamuk (seperti demam berdarah, malaria, filariasis , Chikungunya ) untuk menginfeksi manusia. Perubahan iklim tidak hanya meningkatkan jumlah agent biologis, namun juga akan meningkatkan jumlah agent fisik maupun kimia. Menurut Armely Meiviana dkk (2004), kebakaran hutan menghasilkan paparan asap dan debu sehingga memperburuk kualitas udara dan menurunkan derajat kesehatan penduduk di sekitar lokasi. Penyakit yang dapat timbul adalah asma, bronkhitis dan ISPA. Diduga kebakaran hutan juga menghasilkan racun dioksin yang dapat menyebabkan kanker dan kemandulan bagi wanita. (c). Dampak terhadap Host . Perubahan temperatur dan ketidakmenentuan musim menciptakan kondisi lingkungan yang tidak ideal bagi



host terutama ditinjau dari suhu, kelembaban, dan cuaca harian. Anakanak dan lanjut usia adalah kelompok umur yang paling rentan terhadap kondisi tersebut (Meiviana dkk, 2004). Menurunnya kualitas dan kuantitas air menyebabkan keterbatasan suplai air bersih baik untuk keperluan minum maupun higiene dan sanitasi. Hasil penelitian gabungan dari Stanford University, the University of Washington, dan the University of Wisconsin menyatakan bahwa sektor pertanian di Indonesia telah terpengaruh perubahan iklim sejak tahun 1983. Data-data yang diperoleh dalam penelitian tersebut dipakai untuk memproyeksikan perkiraan kondisi 50 tahun yang akan datang. Diperkirakan Indonesia akan mengalami keterlambatan musim hujan yang terus menerus sehingga menurunkan produksi beras dan dimungkinkan Indonesia akan menjadi wilayah rawan kelaparan (Stanford Report, 2007). Berkurangnya bahan pangan karena gagal panen serta berkurangnya hasil tangkapan ikan nelayan akibat menurunnya jumlah ikan di laut menyebabkan berkurangnya asupan zat gizi bagi host . Kus Irianto (2004) mengemukakan bahwa makanan yang dikonsumsi manusia harus mencukupi kebutuhan zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, air, vitamin, dan mineral) agar dapat menghasilkan energi yang memadai baik untuk aktivitas fisik, pertumbuhan, daya tahan (terhadap penyakit), penyembuhan, maupun metabolisme basal. Berkurangnya asupan zat gizi, yang merupakan akibat dari menurunnya ketersediaan pangan akibat gagal panen dan berkurangnya ikan, menyebabkan turunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit. Manusia akan semakin mudah sakit, apalagi jika hidup pada 23



KEMAS - Volume 3 / No. 1 / Juli - Desember 2007



lingkungan yang kurang menguntungkan. WHO (dalam Patz, 2005) menerangkan bahwa prevalensi penyakit pada manusia dalam 30 tahun terakhir ini dapat dikaitkan dengan perubahan iklim, mulai dari penyakit kardiovaskuler, penyakit pernafasan, hingga kasus malnutrisi dan meningkatnya penularan penyakit infeksi. PENANGGULANGAN DAN PENANGANAN Meningkatnya bukti-bukti ilmiah akan adanya pengaruh aktivitas manusia terhadap sistem iklim serta meningkatnya kepedulian internasional akan isu lingkungan global, pada akhirnya menyebabkan isu perubahan iklim ini menjadi salah satu isu penting di dalam agenda politik internasional. Tahun 1989 dibentuklah Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) oleh UNEP ( United Nations Environment Programme) dan WMO (World Meteorological Organization). IPCC merupakan sebuah lembaga yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia yang bertugas untuk meneliti fenomena perubahan iklim secara ilmiah serta kemungkinan solusinya. IPCC kemudian menyerukan perlunya penanganan masalah perubahan iklim melalui jalur politis internasional sehingga pada Desember 1990 secara resmi PBB membentuk sebuah badan antar pemerintah, yaitu Intergovernmental Negotiating Comittee (INC) untuk melakukan negosiasi ke arah konvensi perubahan iklim (Meiviana dkk, 2004). Mei 1992, INC menyepakati secara konsensus sebuah Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change - UNFCCC). Konvensi Perubahan Iklim tersebut kemudian disahkan pada Juni 1992 saat 24



diselenggarakannya KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil. Konvensi Perubahan Iklim ini merupakan kerangka kerja yang menyerukan pengurangan emisi secara sukarela. Konvensi Perubahan Iklim ini telah ditandatangani oleh 189 negara, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang No. 6 tahun 1994 (Meiviana dkk, 2004). Selanjutnya dari 189 negara di atas, 84 di antaranya lalu menandatangani Protokol Kyoto tahun 1997 (Kompas, 19 Februari 2005). Protokol Kyoto mengamanatkan agar negara-negara maju menurunkan emisi gas rumah-kaca rata-rata sebesar 5 % dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode 2008-2012 (Murdiyarso (b), 2003). Untuk mencapai target penurunan emisi tersebut, dikenal mekanisme fleksibel (flexibility mechanism) atau mekanisme Kyoto yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu Joint Implementation (JI), Clean Development Mecanism (CDM), dan Emission Trading (ET). CDM merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat dilakukan oleh negara maju bersama-sama dengan negara berkembang. Sedangkan JI dan ET hanya dapat dilakukan oleh antarnegara maju (Murdiyarso (c), 2003). Perubahan iklim memang masalah global, namun penanggulangannya harus dibarengi dengan tindakan lokal. Upaya yang dapat dilakukan di tingkat lokal pada intinya berupa upaya mitigasi dan adaptasi (Meiviana dkk, 2004). Mitigasi difokuskan pada tindakan penurunan emisi gas rumah-kaca. CO2 banyak berasal dari transportasi dan industri. N 2 O banyak berasal dari pertanian (penggunaan pupuk), industri, dan transportasi. CFC banyak berasal dari kegiatan dan produk industri. CH4 benyak



Perubahan Iklim Dan Pengaruhnya Terhadap Sektor Kesehatan - Arum Siwiendrayanti



berasal dari sisa dekomposisi meteri organik secara anaerobik seperti pembusukan sisa hasil panen dan pembusukan tinja (Gillenwater, 2002). Dengan melihat sumbernya, dapat dilakukan upaya penurunan emisi yang sesuai seperti mengganti bahan bakar dengan yang lebih bersih dan ramah lingkungan, menghemat penggunaan bahan bakar, menggunakan peralatan atau mesin yang lebih hemat energi, pemanfaatan biogas (CH4) sebagai bahan bakar alternatif, penggunaan pupuk ramah lingkungan, penggantian penggunaan pupuk urea tabur dengan pupuk urea tablet, reforestasi, sosialisasi gerakan sadar hemat energi, dan lain sebagainya (Meiviana dkk, 2004). Adaptasi difokuskan pada upaya antisipasi terhadap berbagai kemungkinan buruk yang dapat timbul akibat perubahan iklim. Seperti telah diketahui, perubahan iklim dapat menimbulkan berbagai dampak seperti banjir, longsor, kekeringan, krisis pangan dan air bersih, kondisi laut yang tidak bersahabat bagi nelayan, dan lain sebagainya. Early warning system atau sistem peringatan dini sangat perlu diterapkan guna meminimalkan kerugian dan korban akibat banjir dan longsor. Peringatan dini juga dapat berupa informasi prakiraan kondisi cuaca dan kondisi gelombang laut bagi nelayan agar dapat memperkirakan tingkat keamanan melaut. Sistem peringatan dini perlu pula dilengkapi dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan penduduk daerah potensi bencana akan tindakan keselamatan dan penyelamatan saat terjadi bencana. Perlu pula memberdayakan masyarakat nelayan untuk mencoba jenis usaha lain tanpa harus merantau ke wilayah lain, misalkan



budidaya tanaman pantai. Kekeringan harus ditangani dengan serius. Para petani perlu mendapat informasi tentang prakiraan pola cuaca dan musim untuk memperkirakan waktu tanam. Pengelolaan penyediaan dan cadangan air dapat diupayakan dengan sistem water reservoir, penangkapan air hujan, pengelolaan irigasi, penerapan teknologi tepat guna untuk pengolahan air, dan lain-lain. Krisis pangan dapat dikurangi dengan menggalakkan diversifikasi pangan sehingga penduduk tidak sepenuhnya bergantung pada beras (Meiviana dkk, 2004). Untuk sektor kesehatan tentunya harus bersiap terhadap terjadinya peningkatan angka kesakitan dan terjadinya wabah penyakit-penyakit terkait dampak perubahan iklim. Perlu disadari bahwa masalah yang sedang dihadapi merupakan imbas dari keteledoran masyarakat global sehingga tindakan penanganan dan pencegahan perlu dirancang secara terpadu dan terintegrasi dengan sektor lain yang berkaitan. PENUTUP Perubahan iklim merupakan permasalahan global dan dampaknya telah dirasakan oleh penduduk dunia. Sektor kesehatan tidak luput dari pengaruh perubahan iklim. Meningkatnya morbiditas dan bahkan mortalitas tidak dapat dihindari akibat ketidakseimbangan host, agent, dan environment . Tindakan mitigasi dan adaptasi dapat dijadikan jalan keluar, tentunya dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada. Keberhasilan sektor kesehatan dalam mengatasi tantangan ini tidak bisa lepas dari dukungan sektor lain. Perlu adanya tindakan terpadu dan terintegrasi yang didukung pemerintah, swasta/industri, dan masyarakat dalam mengatasi masalah ini. 25



KEMAS - Volume 3 / No. 1 / Juli - Desember 2007



DAFTAR PUSTAKA Anonim (a). “Protokol Kyoto Kelak Harus Libatkan AS dan Negara Berkembang ” dalam Kompas, 19 Februari 2005 Anomim (b). “Laporan Ilmiah Terbaru Menunjukkan Manusia Penyebab dalam Perubahan Iklim ” w w w . p e l a n g i . o r. i d / press.php?persid=79 , 6 Februari 2007 Gandahusada, Srisasi; dkk (ed). 2003. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Gillenwater, Michael; dkk. 2002. Greenhouse Gases and Global Warming Potential Values—Excerpt from The Inventory of U.S. Greenhouse Emissions and Sinks: 1990-2000. U.S. Greenhouse Gas Inventory Program, Office of Atmospheric Programs, U.S. Environmental Protection Agency IPCC. “Climate Change 2007 : Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability” Working Group II Contribution to the Intergovernmental Panel on Climate Change Forth Assessment Report, 6 April 2007 Irianto, Kus. 2004. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. Bandung : CV. Yrama Widya Kristanto, Philip. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta : Penerbit ANDI



26



Meiviana, Armely; dkk. 2004. Bumi Makin Panas—Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta : Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Pelangi (Yayasan Pelangi Indonesia) Mukono, H. J. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya : Airlangga University Press Murdiyarso, Daniel (a). 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Kompas (b). 2003. Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang . Jakarta : Penerbit Kompas (c). 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih . Jakarta : Penerbit Kompas Patz, Jonathan A; dkk. “Impact of Regional Climate Change on Human Health” dalam Nature Vol. 438 page 310-317, doi:10.1038/nature04188, 17 November 2005 Stanford Report. “Climate change a threat to Indonesian agriculture, study dalam http://newssays ” service.stanford.edu/news/2007/ may2/indonesia-050207.html, 1 Mei 2007