Perusahaan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Perusahaan ‘Maatschappij Singer’ yang menjual mesin jahit merek singer asli asli merasa disaingi oleh toko lain yang menjual mesin jahit merek lain yang berada di seberang jalan, dengan cara memasang reklame di depan tokonya berbunyi ‘Verbete Singernaaimachine Mij’. Akibat reklame itu, orang menyangka bahwa took tersebut adalah penjual mesin jahit singer yang asli sehingga toko singer yang asli menjadi sepi. Selanjutnya, toko singer yang asli menajukan tuntutan perdata ke pengadilan terhadap toko penjual mesin jahit yang palsu tersebut. Dasar hukum gugatan mengacu pada ketentuan pasal 401 NBW / pasal 1365 KUHPerdata. Namun, Hoog Raad yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara menolak gugatan Maatschapoij Singer, Hoog Raad berpendirian bahwa toko singer palsu tersebut tidak melanggar undang-undang maupun hak subjekatif orang lain. Berdasarkan sejarah, perbuatan melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, pada awalnya memiliki pengertian secara sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme yakni perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Ajaran legisme ini berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum (onrecthmatige daad) sama dengan perbuatan melawan udang-undang (onwetmatige daad). Ajaran ini ditandai dengan adanya perkara ‘Singer Naimachine’. Perkara tersebut terjadi ketika nama ‘Singer’ digunakan oleh toko yang brasad diseberang toko ‘Singer’ yang menjual mesin jahit, kata ‘Singer’ digunakan oleh kedua toko walun berbeda cara penulisannya, satu toko menggunakan huruf besar sedangkan toko yang lain menggunakan huruf kecil sehingga yang terlihat secara sepintas hanya kata ‘Singer’ saja. Berdasarkan putusan HR 6 Januari 1905, perbuatan toko yang berada diseberang toko ‘Singer’ dengan menggunakan nama yang sama bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha yang betentangan dengan tata karma dalam masyarakat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum..



Tahun 1910 terjadi kasus yang terkenal yakni Arrest 10 juni 1910 mengenai De Zutphense Juffrouw Arrest yang mana Hoge Raad Belanda mengartikan perbuatan melanggar hukum dalam arti sempit. Melanggar hukum diartikan sebagai perbuatan yang melanggar Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan. De Zutphense Juffrouw Arrest bermula pada suatu malam dalam bulan Januari 1910 di suatu rumah yang terletak di kota Zutphen, Belanda. Saluran air rumah tersebut pecah sehingga air mengalir ke bagian bawah dan mengalir ke gudang milik Nijhof. Di gudang tersebut telah tersimpan sejumlah kulit milik Nijhof. Kran induk untuk menghentikan aliran air tersebut terdapat di ruang atas yang disewa dan ditempati oleh nona de Vries. Meskipun sudah diminta berkali-kali oleh Nijhof, nona tersebut menolak untuk menutup induk kran. Akibatnya gudang tersebut tergenang air dan kulit milik Nijhof rusak. Sebuah perusahaan asuransi menutup kerugian yang dialami Nijhof, akan tetapi perusahaan asuransi tersebut juga menuntut nona de Vries untuk mengganti seluruh kerugian yang telah dibayarkan kepada Nijhof. Perusahaan asuransi tersebut menggugat nona de Vries atas dasar perbuatan melanggar hukum. Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan tersebut atas dasar pendirian bahwa tidak melakukan sesuatu sehingga oleh karenanya melalaikan kepentingan orang lain atau barang milik orang lain termasuk juga dalam pengertian perbuatan melanggar hukum. Namun putusan Pengadilan Negeri tersebut dibatalkan oleh Hoge Raad dengan pendirian bahwa sikap pasif nona de Vries tidak merupakan pelanggaran terhadap hak subyektif Nijhof, demikian juga tidak merupakan pelanggaran terhadap kewajiban menurut UndangUndang yang ada pada nona de Vries. Keharusan memberikan pertolongan hanyalah diwajibkan dalam hal-hal yang ditentukan menurut Undang-Undang. Dalam kasus tersebut, kewajiban menurut Undang-Undang tidak ada maka kelalaian nona de Vries untuk memberikan pertolongan tidak merupakan perbuatan melanggar hukum. Sedangkan pergeseran arti yang luas, terlihat dalam Drucker Arrest HR tanggal 31 Januari 1919 yaitu Lindenbaum Cohen Arrest. Peristiwa yang menjadi perkara Lindenbaum vs Cohen adalah sebagai berikut: Dua kantor percetakan masing-masing milik



seseorang bernama Cohen dan seseorang lagi bernama Lindenbaum bersaing hebat satu sama lain. Cohen membujuk pegawai dari perusahaan Lindenbaum agar memberikan data-data penting mengenai perusahaan Lindenbaum. Tujuan Cohen adalah mempergunakan data-data tersebut untuk menetapkan suatu siasat agar masyarakat lebih memilih perusahaannya dibanding perusahaan Lindenbaum. Kemudian tindakan Cohen diketahui oleh Lindenbaum. Karena merasa dirugikan oleh tindakan Cohen, Lindenbaum menggugat Cohen di muka Pengadilan. Lindenbaum menggugat atas dasar Pasal 1401 BW Belanda (sama dengan Pasal 1365 BW Indonesia). Dalam pemeriksaan di tingkat Pengadilan Negeri gugatan Lindenbaum dikabulkan. Cohen mengajukan Banding dan putusan Pengadilan Negeri dibatalkan berdasar atas yurisprudensi sebelumnya bahwa tindakan Cohen tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum karena tidak ada suatu pasal yang dilanggar oleh Cohen. Lindenbaum mengajukan pemeriksaan kasasi dan pada akhirnya Hoge Raad memenangkan Lindenbaum. Hoge Raad menyatakan bahwa dalam perbuatan melanggar hukum dari Pasal 1401 BW Belanda itu termasuk suatu perbuatan yang melanggar hak hukum orang lain, yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan kesusilaan atau dengan suatu kepantasan dalam masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain. Maka dengan adanya putusan Hoge Raad tersebut arti perbuatan melanggar hukum menjadi lebih luas. Sejak adanya putusan Hoge Raad tersebut, perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai: 1. Perbuatan yang melanggar Undang-Undang; 2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 3. Melanggar hak subyektif orang lain; 4. Melanggar kaidah tata susila; 5. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hatihati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta orang lain. Sejak adanya Lindenbaum Cohen Arrest tersebut, Onrechtmatige daad diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum dalam arti yang luas. Perbuatan melanggar hukum dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 1365 buku III BW pada bagian tentang perikatan-



perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang. Dari perikatan yang lahir karena Undang-Undang inilah terdapat adanya perbuatan melanggar hukum. Bunyi lengkap Pasal 1365 BW adalah sebagai berikut: "Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut" Beberapa ahli hukum mengartikan Onrechtmatige daad sebagai perbuatan melanggar hukum dan ada juga yang mengartikan sebagai perbuatan melawan hukum. R. Wirjono Prodjodikoro mengartikan Onrechtmatige daad sebagai perbuatan melanggar hukum dalam arti luas. Kata perbuatan dalam rangkaian kata-kata perbuatan melanggar hukum tidak hanya berarti positif tetapi juga berarti negatif, yaitu orang yang dengan berdiam saja dapat dikatakan melanggar hukum, karena dalam hal seseorang harus bertindak menurut hukum. Perbuatan dalam arti negatif yang dimaksudkan bersifat aktif yaitu orang yang diam saja, baru dapat dikatakan melakukan perbuatan hukum, kalau ia sadar, bahwa ia dengan diam saja adalah melanggar hukum. Maka yang bergerak bukan tubuhnya melainkan pikiran dan perasaannya. Jadi unsur bergerak dari pengertian perbuatan kini pun ada. Perkataan melanggar dalam rangkaian kata-kata perbuatan melanggar hukum yang dimaksud bersifat aktif, maka perkataan yang paling tepat untuk menerjemahkan onrechtmatige daad ialah perbuatan melanggar hukum. Karena istilah perbuatan melanggar hukum menurut R. Wirjono Prodjodikoro ditujukan kepada hukum yang pada umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan hukum adat.



Dalam literatur-literatur perbuatan melawan hukum, kasus Lindenbaum-Cohen menjadi salah satu rujukan yang paling sering disinggung. Putusan perkara ini dirujuk ketika hendak menentukan kriteria atau cakupan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Kasus ini diputus Hoge Raad Belanda pada 1919. Samuel Cohen, seorang pemilik perusahaan percetakan, berusaha memata-matai dan mencuri rahasia perusahaan saingannya milik Max Lindenbaum. Untuk memudahkan upayanya, Cohen ‘menyuap’ pegawai Lindenbaum agar si pegawai mau membuka rahasia dapur. Ketika tahu upaya tersebut, Lindenbaum menggugat Cohen membayar ganti rugi berdasarkan pasal 1401 Burgerlijk Wetboek (atau 1365 KUH Perdata). Di persidangan, Cohen berdalih apa yang dia lakukan tidak melanggar hukum karena undang-undang tidak mengaturnya. Sempat lolos di tingkat banding, Cohen akhirnya dihukum di Hoge Raad. Majelis hakim Hoge Raad menyatakan termasuk perbuatan melawan hukum setiap perbuatan (atau tidak berbuat) yang melanggar hak subjektif orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan tata susila, kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati, yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian bagi orang lain wajib mengganti kerugian itu. Putusan ini menjadi tonggak perubahan pandangan pengadilan terhadap onrechtmatige raad sebagaimana kini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.