Pneumonia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT PNEUMONIA



Disusun oleh : Futuh M. Perdana 1102013116 Pembimbing : dr. Eva Sridiani Sp.P



KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO FAKULTAS KEDOTERAN UNIVERSITAS YARSI 2018



BAB 1 PENDAHULUAN Data World Health Organization (WHO) 2015 menunjukkan angka kematian balita di dunia sebanyak 43 kematian per 1000 kelahiran hidup (WHO, 2016). . Di Indonesia, angka kematian balita sebanyak 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi tertinggi kedua angka kematian balita di Indonesia yaitu sebanyak 30 per 1000 kematian balita (Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013). Target ke empat dari Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia adalah menurunkan dua per tiga kematian balita antara tahun 1990 sampai 2015 dari 97 menjai 32 kematian per 1000 kelahiran hidup. Namun pada satu tahun belakangan penurunan kematian balita terhenti. Jika tren ini berlanjut, maka Indonesia belum dapat mencapai tujuan MDGs tersebut (Kementerian Kesehatan RI, 2010; Unicef, 2013). Menurut WHO (2008) enam penyebab kematian anak kurang dari lima tahun di dunia yaitu pneumonia (19%), diare (18%), malaria (8%), pneumonia neonatus atau sepsis (10%), kelahiran preterm (10%), dan asfiksia (8%) (Black et al., 2010).Menurut WHO (2016) penyebab utama kematian anak di bawah lima tahun adalah pneumonia (14%), diare (14%), infeksi lain (9%), malaria (8%), dan noncomunicable disease (4%) (WHO, 2016). Pneumonia merupakan suatu radang pada paru karena adanya bakteri yang ditandai dengan panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat dengan frekuensi lebih dari 50 kali permenit, kesulitan bernapas, dan diikuti dengan sakit pada kepala, berkurang keinginan untuk makan, dan gelisah (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Adanya bakteri Pneumococcus, Staphylococcus, Streptococcus, dan virus adalah penyebab penyakit pneumonia. Cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita di Indonesia dari tahun 2008 - 2014 mengalami peningkatan dari 26,26% menjadi 29,47% (Kementerian Kesehatan RI, 2015b).



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI PNEUMONIA Pneumonia adalah bentuk infeksi saluran pernapasan akut yang mempengaruhi paru-paru. Paru-paru terdiri dari kantung-kantung kecil yang disebut alveoli, yang diisi dengan udara ketika orang yang sehat bernafas. Ketika seorang individu memiliki pneumonia, alveoli diisi dengan nanah dan cairan, yang membuat bernapas menyakitkan dan membatasi asupan oksigen. ( WHO, 2016). Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut parenkim paru yang disebakan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur, virus dan parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis tidak termasuk. Peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. (Pneumonia Komunitas, PDPI, 2014). Berdasarkan klinis dan epidemiologis, pneumonia dibedakan atas pneumonia komunitas (Community-Acquired Pneumonia = CAP), Pneumonia didapat dari Rumah sakit (HospitalsAcquired Pneumonia = HAP), Health Care Associated Pneumonia = HCAP dan pneumonia akibat pemakaian ventilator (Ventilator Associated Pneumonia = VAP). Community-acquired pneumonia (CAP) adalah salah satu penyakit menular yang paling umum dan merupakan penyebab penting mortalitas dan morbiditas di seluruh dunia. Bakteri patogen khas yang menyebabkan CAP termasuk Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Patogen virus yang paling umum ditemukan dari pasien yang dirawat di rumah sakit dengan CAP adalah rhinovirus. Health Care Associated Pneumonia (HCAP) didefinisikan sebagai pneumonia pada pasien non-hospitalized yang memiliki pengalaman yang signifikan dengan sistem kesehatan. Kontak tersebut dapat mencakup (1) terapi intravena untuk perawatan luka dalam 30 hari terakhir, (2) tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang, (3) rawat inap di sebuah rumah sakit dengan perawatan akut dalam 90 hari terakhir, dan / atau ( 4) pengobatan rawat jalan di rumah sakit atau klinik hemodialisis dalam 30 hari terakhir.



Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Pneumonia nosokomial ini terjadi 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6-20x pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia ini sekitar 20-50%. 2.2 EPIDEMIOLOGI Gangguan pada sistem pernapasan seringkali merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Umumnya, infeksi pada saluran pernapasan lebih sering terjadi dibandingkan dengan infeksi pada sistem organ tubuh lainnya. Infeksi saluran pernapasan dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA) dan infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA), meliputi faringitis, otitis media, sinusitis, dan epiglotitis akut. Sedangkan infeksi saluran pernapasan bagian bawah, meliputi pneumonia (Gillespie, 2009). Pneumonia merupakan istilah umum yang menandakan terjadinya inflamasi pada daerah pertukaran gas dalam paru, biasanya mengimplikasikan terjadinya infl amasi parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam-macam infeksi (Francis, 2011). Pneumonia adalah suatu proses infeksi akut yang terjadi dan mengenai jaringan paru-paru (alveoli), terjadinya pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (yang biasa disebut broncho pneumonia) (Misnadiarly, 2008). Pengertian lain dari pneumonia atau radang paru adalah suatu peradangan yang terjadi pada parenkim paru dan dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur, parasit, maupun bahan asing (bahan kimia) (Soegijanto, 2004). Gejalanya meliputi: batuk, sputum purulen, demam, nyeri dada pleuritik, dan dispnea, mungkin juga terdapat riwayat infeksi saluran napas atas, namun tidak semua kasus seperti ini (Francis, 2011). Pneumonia merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna di seluruh dunia, di mana sekitar 5 juta anak balita menghadapi kematian sebagai konsekuensi dari pneumonia. Berdasar data UNICEF pada tahun 2012, sebanyak 21.000 balita di Indonesia meninggal karena pneumonia atau 14% kematian anak dan balita disebabkan oleh pneumonia (Francis, 2011). Sedangkan menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga pada



tahun 2001 kematian balita akibat pneumonia sebesar 5 per 1000 balita per tahun. Ini berarti bahwa penyakit pneumonia dapat menyebabkan kematian lebih dari 100.000 balita setiap tahun, atau hampir 300 balita setiap hari, atau 1 balita setiap 5 menit (Misnadiarly, 2008). Hasil pencatatan dan pelaporan pada tahun 2012, target cakupan penemuan penderita pneumonia balita di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2012 sebesar 80% dan tahun 2013 sebesar 90%. Dari 38 kabupaten/kota yang mencapai target tersebut di tahun 2012 hanya 3 (tiga) kabupaten/kota, yakni Kabupaten Bojonegoro, Kota Pasuruan, dan Kabupaten Gresik (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2012). Sedangkan, cakupan penemuan penderita pneumonia balita di kota Surabaya pada tahun 2012 hanya sebesar 17,88% dan pada tahun 2013 sebesar 20,88%. Sehingga cakupan penemuan penderita pneumonia balita di kota Surabaya masih rendah dan masih kurang dari target Provinsi Jawa Timur (Dinkes Kota Surabaya, 2013). Cakupan penemuan penderita pneumonia balita merupakan indikator dari terlaksananya program P2 ISPA dan meningkatnya kualitas petugas puskesmas dalam deteksi dini kasus pneumonia. Rendahnya capaian target penemuan penderita pneumonia tersebut disebabkan karena masih ada petugas puskesmas yang kurang memahami pengklasifi kasian pneumonia pada balita atau masih belum optimalnya tata laksana penderita pneumonia, dan rendahnya kelengkapan laporan dari puskesmas yang ada di kabupaten/kota (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2012). 2.3 ETIOLOGI Beberapa studi tentang etiologi mikroba CAP telah diterbitkan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa dari mereka menunjukkan bahwa penyebab mikroba CAP berbeda sesuai dengan tingkat keparahan presentasi penyakit di klinis. Sebuah studi Spanyol mengenai hubungan etiologi mikroba CAP dan keparahan, menyimpulkan bahwa pneumokokus adalah patogen yang paling sering di semua tempat perawatan. Yang paling kedua kelompok patogen yang sering terjadi adalah mikroorganisme intraseluler, diikuti oleh kasus polimikrobial.



Secara global, Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) secara luas diterima sebagai patogen yang paling umum di CAP, biasanya disajikan dengan gejala akut infeksi saluran pernapasan bawah, secara historis disebut "presentasi khas". Diperkirakan prevalensi 19,3% hingga 34% dilaporkan untuk S. pneumoniae di Eropa. Diagnosis pneumonia pneumokokus telah



meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena pengenalan tes antigen urin pneumokokus (secara rutin tersedia dari 2000 di sebagian besar negara). Sebaliknya, kejadian pneumonia pneumokokus mungkin menurun karena pengenalan vaksin pneumokokus, serta penurunan tingkat merokok di sebagian besar negara. Pneumococcus memiliki beberapa faktor virulensi; yang paling penting adalah kapsul polisakarida. Perbedaan komposisi kimia dan antigenik dari kapsul pneumokokus menghasilkan 93 tipe atau serotipe yang berbeda, kurang lebih hanya 15 di antaranya yang terlibat dalam sebagian besar infeksi invasif. Serotipe 3 adalah serotipe yang paling umum yang terkait dengan infeksi pneumokokus dewasa dan telah dikaitkan dengan syok septik. Serotipe seperti 6A, 6B, 9V, 14, 19A, 19F dan 23F lebih sering terjadi pada anak-anak. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kami telah mengamati perubahan dalam serotipe pneumokokus dan distribusi genotipe yang terkait dengan pengenalan vaksin konjugat pneumokokus pediatrik (PCV7). 2.4 PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia dibagi menjadi dua yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik mencakup paparan terhadap agen kausatif, paparan terhadap iritan, atau cedera paru langsung. Faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan host.7 Faktor ini antara lain adalah kondisi pertahanan pada saluran nafas, yang mencakup pertahanan mekanis dan imunologis. Faktor mekanis sangat penting dalam perlindungan host. Rambut dan concha nasi pada nares dapat menangkap partikel besar yang terinhalasi sebelum partikel-partikel tersebut mencapai traktus respiratorius bagian bawah. Bentuk trakea dan bronkus yang bercabang dapat menangkap partikel pada mukosa, di mana mekanisme pembersihan berupa mucociliary clearance dan faktorfaktor antibakterial dapat mengeluarkan atau membunuh patogen potensial. Refleks muntah dan batuk memberikan perlindungan penting terhadap aspirasi.5, 24 Silia dan mukus mendorong mikroorganisme keluar dengan cara dibatukkan atau ditelan. Bila terjadi disfungsi silia seperti pada Sindroma Kartagener, pemakaian pipa nasogastrik dan pipa nasotrakeal yang lama dapat mengganggu aliran sekret yang telah terkontaminasi dengan bakteri patogen. Gangguan gerakan silia dapat pula disebabkan oleh infeksi akut M. pneumoniae, H. influenzae, dan virus. Selain itu, flora normal yang menempel pada sel-sel mukosa orofaring mencegah bakteri patogen menempel, sehingga menurunkan risiko pneumonia yang disebabkan oleh bakteria virulen



lain. Setelah barier-barier tersebut diruntuhkan, atau ketika mikroorganisme cukup kecil untuk diinhalasi hingga ke alveolus, dimulailah pertahanan imunologis. Pertahanan imunologis salah satunya dilakukan oleh makrofag alveolar yang efisien dalam mengeluarkan dan membunuh patogen. Makrofag dibantu oleh protein lokal yang memiliki sifat opsonisasi intrinsik atau aktivitas antibakterial atau antiviral. Setelah makrofag menelan patogen, patogen tersebut akan dieliminasi dengan mucociliary elevator atau sistem limfatik dan tidak lagi berpotensi menimbulkan infeksi. Hal inilah yang menyebabkan kebanyakan pneumonia terjadi pada orang-orang dengan satu atau lebih defisiensi pada perlindungan mekanis atau imunologis mereka. Aspirasi dari isi orofaring atau gaster adalah mekanisme paling sering pada pneumonia nosokomial, dengan beberapa faktor yang berkontribusi. Menelan dan penutupan epiglotis dapat terganggu oleh penyakit neuromuskular, stroke, perubahan tingkat kesadaran, atau kejang. Pemasangan pipa endotrakeal dan nasogastrik dapat mengganggu perlindungan anatomis/mekanis dan memberikan rute masuk yang langsung bagi patogen. Terganggunya fungsi spinkter esofagus bawah dan pemasangan pipa nasogastrik dan gastrostomi meningkatkan risiko aspirasi isi gaster.



2.5 DIAGNOSIS Diagnosis pneumonia didapatkan dari anamnesa, pemeriksaan fisis, foto thoraks dan laboratorium. A. Anamnesis Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. B. Gejala Klinis Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub. C. Pemeriksaan Fisis Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. D. Pemeriksaan Penunjang  Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air bronchogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran



bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.



 Pemeriksaan labolatorium Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul, kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. 2.6 DIAGNOSIS BANDING Ada beberapa kondisi penyakit yang sering menjadi diagnosa banding dari pneumonia, antara lain : 1. Bronkitis akut, dimana tanda dan gejalanya ringan, tidak ditemukan ronkhi dan paling sering disebabkan oleh virus pada saluran pernapasan bagian atas. 2. PPOK eksaserbasi, dimana tanda dan gejalanya ada peningkatan batuk dan perubahan sputum purulen, sesak napas tambah berat. Umumnya perokok. Tampak hiperinflasi pada Ro thorax. 3. Asma Eksaserbasi, dimana tanda dan gejala dari bronkospasme dengan diperberat oleh penyakit paru yang mendasarinya.



4. Bronkiektasis Terinfeksi, dimana tanda dan gejalanya peningkatan batuk dan perubahan sputum purulen, sesak napas tambah berat dengan penyakit dasar penyakit paru. Umumnya infeksi yang berulang. Tampak gambaran “honeycomb” pada Ro thorax. 5. TB paru, riwayat perjalanan penyakit yang lama dan biasanya pasien hidup di daerah endemik, serta tampak cavitas pada Ro thorax. 6. Tumor, gejalanya tidak terlalu khas, pada Ro thorax terdapat multiple konsolidasi yang disertai dengan efusi pleura. 7. Empyema, gejalanya umum dan disertai dengan infeksi yang berulang. Efusi pleura terlihat pada Ro thorax dan mikrobiologi cairan pleura dapat mengetahui mikroorganisme infeksi. Banyak pasien yang memiliki kriteria klinis pneumonia, dan sulit dibedakan dengan penyakit paru lain, dan menjadi sebab penggunaan antibiotik yang berlebihan. Selanjutnya, demam pada Pneumonia kadang tidak khas, bahkan beberapa pasien tidak didapatkan gejala klinis demam (Johnson et.al. 2002). 2.7 TATALAKSANA