Politik Pendidikan Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Politik Pendidikan Indonesia Oleh : Rum Rosyid Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Semua realitas di atas bukannya tanpa sebab, sebab di dunia ini selalu berlaku hukum kausalitas, ada sebab pasti ada akibat. Politik pendidikan nasional sejatinya memberi andil, untuk tidak dikatakan menjadi penyebab utama, karena apa yang terjadi di lapangan adalah manifestasi dari regulasi yang ada. Setiap undang-undang sistem pendidikan nasional pastilah tidak steril dari berbagai kepentingan, utamanya kepentingan pragmatis dan kepentingan ideologis. Kepentingan pragmatis dapat berupa upaya mempertahankan kekuasaan atau mengeruk materi, sedangkan kepentingan ideologis berkaitan dengan upaya menggiring masyarakat pada ideologi atau paham tertentu yang dikehendaki penguasa. Demikianlah pendidikan sejati semakin sulit ditemukan di negeri ini, kebijakan pendidikan terjebak pada pragmatisme. Pendidikan sejati sebagai sebuah pemanusian manusia semakin tidak terdengar gaungnya. Yang tersisa hanyalah pendidikan untuk mengisi job tertentu di industri atau birokrasi. Dunia pendidikan kini ‘bertekuk lutut’ pada market demand, permintaan pasar. Akibatnya sering terjadi booming lulusan dengan spesifikasi atau jurusan yang sama, yang pada akhirnya merugikan jurusan itu sendiri, seperti ditutup atau dihapusnya jurusan tertentu di perguruan tinggi. Penutupan atau penghapusan jurusan sebenarnya adalah sesuatu yang aneh karena kebijakan ini berarti menafikkan kajian ilmu tertentu. Lebih memprihatinkan lagi dari waktu kewaktu pendidikan nasional semakin menunjukkan kegagalannya dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Yang ada hanyalah out put dengan outcome rendah, fragmentasi masyarakat ‘sakit’, utamanya



masyarakat yang menderita schizofrenia yakni masyarakat yang tahu hukum tetapi suka melanggar, tahu larangan tetapi diterjang, dan tahu kewajiban namun senantiasa ditinggalkan. Pemikiran kritis tentang upaya reengineering pendidikan selalu dimentahkan dan hanya dianggap sebagai macan kertas. Yang berartipula dunia pendidikan gagal membangun wawasan kebangsaan. Semenjak kemerdekaan sampai dengan era reformasi perjalanan politik pendidikan nasional telah mengalami tiga kali perubahan. Yang pertama adalah kebijakan pendidikan di era orde lama ditahun 1954. Pada masa ini penekanan kebijakan pendidikan pada isu nasionalisasi dan ideologisasi. Penekanan pada kedua bidang tersebut tidak lain karena masa tersebut masa krusial pasca kemerdekaan dimana banyak konflik yang mengarah pada separatisme dan terjadi interplay (tarik ulur) antara pihak yang sekuler dengan agamis. Implikasi dari kebijakan politik pendidikan pada waktu itu adalah terbentuknya masyarakat yang berjiwa nasionalis dan berpatriot pancasila. Kebijakan politik tersebut sejatinya berupaya menjadi win-win solution dengan mengakomodasi semua kepentingan. Di sini terjadi konfesi (pengakuan) terhadap keanekaragaman baik budaya, seni, maupun agama. Pada dasarnya upaya membangun nasionalisme melalui pendidikan relatif berhasil, hanya saja kurang diimbangi dengan kebijakan yang lain sehingga kemelut bernegara selalu ada di masa tersebut. Kebijakan politik pendidikan nasional yang kedua adalah dimasa orde baru, yakni dengan dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan ditahun 1989. Berbeda dengan kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada sentralisasi dan birokratisasi. Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa sehingga menjadi kader-kader yang ‘yes man’, selalu bertaklid buta terhadap kepentingan pusat. Akibat yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan daya inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang “sendikho dhawuh’. Bahkan sistem pada masa ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis, kritis, dan inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur birokrasi. Di era ini pula terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah, dan kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah mati. Yang tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya mondial. Bahkan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang sejatinya bermakna berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai menjadi sesuatu entitas yang seragam, ya serba seragam. Kebijakan politik pendidikan nasional yang ketiga adalah kebijakan pendidikan di era reformasi. Kebijakan ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional N0 20 tahun 2003. Di era reformasi ini penekanannya terletak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kewenangan yang semula terletak di pusat dan berjalan secara top-down diubah dengan memberi kewenangan daerah yang lebih luas sehingga pola yang berjalan adalah bottom-up. Regulasi yang relatif longgar di era reformasi ini ternyata belum memberi angin segar bagi dunia pendidikan, bahkan banyak potensi untuk diselewengkan dengan mengambil dalih demokratisasi dan desentralisasi.Demokrasi telah menjadi kebebasan dan desentralisasi daerah telah menjadi keangkuhan daerah.



Bahkan di era ini semakin jelas keterpurukan masyarakat miskin karena semakin sulit mengakses pendidikan tinggi. Lebih dari itu implementasi kebijakan pendidikan yang demokratis dan mengedepankan potensi daerah semakin dinafikkan. Sistem evaluasi yang masih terpusat, kekerasan dalam pendidikan, dan banyaknya penyimpangan dalam proses pendidikan semakin memberi catatan buram bagi pendidikan di era reformasi ini. Dalam konteks pembangunan demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia, peran politik eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan begitu besar. Ranah politik dan kekuasaan harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan peradaban bangsa ini. Pendidikan Sebagai Soft Power Istilah soft power telah dipopulerkan sejak penghujung 1980 oleh Joseph S Nye, guru besar Kennedy School of Government Universitas Harvard, AS. Dalam dua karyanya: Bound to Lead (1990) dan The Paradox of American Power (2002), Nye lalu mengembangkan ide soft power ini dan merelevankannya dengan AS. Adalah Joseph Nye, pemikir yang sangat teguh mengkritik berbagai kebijakan Amerika Serikat yang selalu melawan gerakan garis keras Islam dengan cara-cara kekerasan seperti serangan bom ke Irak dan Afgnanistan beberapa tahun lalu. Tokoh intelektual yang juga menjadi rektor Harvard’s Kennedy School of Government ini sejak awal telah mewanti-wanti bahwa serangan fisik untuk melawan kaum teroris tidak akan cukup efektif dalam mencapai tujuan. Ia mengungkapkan soft power sebagai kemampuan mencapai tujuan dengan tindakan atraktif dan menjauhi tindakan koersif. Di tataran hubungan internasional, soft power diawali dengan membangun hubungan kepentingan, asistensi ekonomi, sampai tukar-menukar budaya dengan negara lainnya. Penjelasan Nye yang lebih terperinci mengenai soft power ditulisnya secara komprehensif dalam karyanya: Soft Power: The Means to Success in World Politics (2004). Dalam buku tersebut Nye mendefinisikan dimensi ketiga kuasa ini sebagai "kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yakni kemampuan memikat dan mengooptasi pihak lain agar rela memilih melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya." (Nye, 2004: 5). Nye menyebutkan bahwa soft power suatu negara terdapat terutama dalam tiga sumber: kebudayaan, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negerinya. Perbedaan antara soft power dan hard power dapat dilihat dalam tiga hal: ciri, instrumen, dan implikasinya. Soft power berciri mengooptasi dan dilakukan secara tidak langsung, sedangkan hard power bersifat memaksa atau memerintah dan dilakukan secara langsung. Instrumen soft power berupa nilai, institusi, kebudayaan, kebijakan, sementara hard power antara lain militer, sanksi, uang, suap, bayaran. Karenanya tidak seperti soft power yang berimplikasi mengooptasi, hard power kerap mengundang munculnya perlawanan. Ramalannya terbukti. Irak yang telah ditaklukkan pemerintahannya justru menjadi ladang aktivitas kaum teroris yang beraksi tiap hari (daily terrorism). Teror yang bagi mereka dimaksudkan untuk menandai perlawanan terhadap kaum “kafir” yang disimbolkan dengan Amerika dan pemerintahan anteknya. Ini membuktikan bahwa kekerasan yang telah mengawali setiap tindakan untuk meraih tujuan akan berujung pada kekerasan yang tidak kunjung selesai.



Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama dibangun di atas pondasi pendidikan. Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah hayalan. Hayalan yang berkembang dalam diri dan memiliki gap yang besar akan membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang kurang memadai jika dibarengi dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan oleh sinetron dan iklan di media cetak dan elektronik akan membuat sebagian masyarakat menjadi benar-benar gila. Gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya. Bukan hanya rakyat jelata yang terserang penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa, pengusaha, guru, dosen, dan kyai. Trend kegilaan ini bisa ditemukan dalam kehidupan nyata. Mereka yang mestinya digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan publik. Pertikaian karena rebutan “roti” kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah meraih kejayaan itu. Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat mata, tetapi semua orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh politis yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik dan sehat ia akan mampu mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media berpolitik adiluhung dan sekaligus mampu mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan politik pendidikan bisa berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa bermusuhan. "Soft power" ialah hegemoni Paparan di atas menunjukkan bahwa soft power sebetulnya leksikon lain dari apa yang telah dipopulerkan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) tentang hegemoni. Seperti hegemoni, soft power merupakan upaya halus suatu mekanisme ajakan yang dilakukan secara simpatik. Baik soft power maupun hegemoni merupakan bentuk mengooptasi melalui instrumen-instrumen seperti kebudayaan, kebijakan, nilai, dan institusi. Perbedaan kontras antara soft power dan hegemoni ialah latar belakang pemikirnya: hegemoni merupakan konsep yang dipopulerkan seorang Marxis Italia dengan upaya melakukan perlawanan kelas, soft power muncul dari akademisi AS dengan intensi memberikan strategi-strategi jitu pada AS agar tetap melestarikan hegemoni dan dominasinya selama ini. Dengan istilah soft power,Nye ingin menunjukkan kenetralan konsepnya itu dan berupaya membebaskan stigma menghegemoni yang sejak Gramsci telah dipandang peyoratif. AS memang kerap menghegemoni masyarakat dunia dengan jargon membela hak-hak asasi manusia, demokrasi, kebebasan, dan keterbukaan. Sebagian besar masyarakat dunia pun tampak terpikat oleh nilai-nilai yang kerap diklaim AS sebagai nilai mereka itu. Layaknya Alexis de Tocqueville di abad ke-19 yang terpesona oleh "demokrasi di Amerika", sebagian besar mereka yang pernah studi di AS pun cenderung akan 'terseduksi' AS. Mantan sekretaris negara AS, Colin Powell, pernah mengakui kenyataan ini. Menurutnya proses pertukaran budaya lewat program beasiswa belajar merupakan aset yang besar bagi negerinya, terutama sebagai sarana menjadikan para 'alumni AS' itu sebagai 'diplomat AS' kelak (Nye, 2004: 44). Tokoh politik Perancis, Hubert Vérdin dan Dominique Moisi, dalam France in an Age of Globalization (2001) juga mengakui 'efek Tocqueville' dalam program beasiswa ini, yang



menjadikan AS mudah menciptakan hasrat-hasrat masyarakat dunia melalui citra globalnya. Penyebaran hasrat dan upaya penciptaan citra juga dilakukan pusat-pusat kebudayaan asing di negeri kita, seperti CCF (Prancis), Goethe Institut (Jerman), British Council (Inggris), Erasmus Huis (Belanda), dan lain-lain. Pusat- pusat kebudayaan ini berkepentingan mensosialisasikan budaya, seni, citra, nilai, dan kebijakan negerinya kepada masyarakat kita. Dengan berbagai cara lembaga-lembaga tersebut melakukan 'seduksi budaya': kursus bahasa, pemutaran film, pertunjukan seni, pemberian beasiswa, dsb. Selain itu, media-media mereka memainkan peran penting dalam 'menggiring opini publik', seperti dilakukan CNN, BBC, VOA, DW, dan lainnya. Meskipun belakangan soft power menjadi arus global, jauh hari Jepang telah menerapkannya untuk membangun kembali hubungan baik dengan negara-negara bekas jajahan termasuk Indonesia. Jepang menggunakan soft power berupa bantuan ekonomi atau pinjaman lunak untuk memikat hati negara-negara sahabat, lalu dilanjutkan dengan perjanjian bilateral yang mengikat sehingga ketergantungan kepada Jepang meningkat. Misal, di bidang pendidikan Jepang memberikan beasiswa untuk belajar di universitasuniversitas di Jepang. Juga, pembuatan pusat kebudayaan Jepang sebagai sarana infiltrasi budaya. Ini berbeda dengan Amerika yang menerapkan soft power berupa tindakantindakan responsif, rhetorical support untuk demokrasi dan HAM, penguasaan opini publik dan kredibilitasnya untuk menguasai percaturan politik dunia. Berbeda dengan revolusi industri di Eropa, peristiwa demonstrasi mahasiswa memanfaatkan kunjungan PM Kakuei Tanaka dan kerusuhan sosial anti-modal asing yang berubah menjadi Malari 1974 bisa dikatakan awal investasi Jepang ke Indonesia dalam kontek IGGI, CGI, dan pinjaman bilateral. Indonesia banyak memetik manfaat selama 50 tahun hubungan bilateral meskipun Indonesia menjadi objek soft power Jepang. Bantuan Jepang untuk pembangunan semasa Repelita tidak bisa dipungkiri, meskipun melahirkan konsekuensi pemasokan LNG sampai sekarang. Penandatangan EPA beberapa waktu lalu merupakan perspektif baru hubungan Indonesia-Jepang. EPA merupakan perjanjian ekonomi yang konprehensif yang memuat kesepakatan pengurangan atau penghapusan tarif impor, meningkatkan kapasitas investasi Jepang di Indonesia, dan program-program capacity-building untuk indusri dan SDM. Proses perdamaian di Nangroe Aceh Darusalam membuktikan bahwa kekuatan soft power bisa lebih efektif menanggulangi konflik. "Keseluruhan proses perdamaian di Aceh memerlukan biaya yang jauh lebih kecil daripada yang dikeluarkan Amerika Serikat di Irak perjamnya," kata Ketua Misi Pemantau Pemilu Uni Eropa Glyn Ford saat konferensi pers tentang Pilkada Aceh di Hotel Mandarin Jakarta, Rabu (13/12). Pernyataan Ford yang sebelumnya diklaim sebagai pernyataan pribadi ini mendapat dukungan dari Jurgen Schroder, salah satu anggota parlemen Uni Eropa yang juga hadir dalam kesempatan ini. "Itu bukan hanya pernyataan Glyn, tapi juga pernyataan kami," ucap Schroder mewakili parlemen Uni Eropa. Proses perdamaian di Aceh menurut Uni Eropa telah berjalan dengan sukses dan lancar. "Pilkada telah berjalan lancar, pemimpin daerah telah terpilih dengan damai, ini berarti proses perdamaian sedikit lagi mencapai puncaknya," ucap Schroder. Semua itu



menurutnya merupakan bukti dari komitmen masyarakat Aceh akan integrasi dan konsolidasi. Oleh karena itu, walaupun AMM akan segera dibubarkan, Uni Eropa akan tetap bekerjasama dengan Aceh. Selama ini masyarakat Aceh memiliki pendapat yang baik terhadap AMM dan Peter Feith, oleh karena itu apapun yang terjadi ke depan mereka akan tetap berkomitmen untuk membantu Aceh. "Ada ataupun tidak AMM, Peter Feith dan orang-orang yang terlibat akan selalu bersedia membantu jika Aceh membutuhkan," ucap Glyn. Dia juga menyampaikan hal yang sama tentang komitmen Uni Eropa di Aceh. Indonesia dan "soft power" Setelah perang di Afganistan dan Irak, dan berlangsung ketegangan strategis di berbagai penjuru dunia termasuk Semenanjung Korea, Presiden SBY memandang perlu mengingatkan masyarakat dunia tentang pentingnya elemen power yang lain, selain kekuatan militer dan diplomasi koersif (apa yang disebut hard power). Berbeda dari hard power yang mengandalkan kekuatan, konsep soft power mengandalkan pendekatan persuasif dengan menggunakan aset ekonomi, kemasyarakatan, budaya, humaniter, pendidikan, iptek, dan sebagainya. Presiden SBY memilih tempat menarik untuk pertama kali menyampaikan pandangannya mengenai soft power, di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat. Dalam pidato resmi di depan elite politik AS yang diorganisasi US-Indonesia Society (USINDO), Presiden SBY mengimbau AS agar lebih menekankan soft power ketimbang hard power dalam kiprahnya di kancah internasional. Di depan anggota Kongres, pejabat tinggi, pengusaha, dan pakar AS, Presiden SBY menyatakan, meski AS adalah negara adidaya yang kekuatan militernya tidak tertandingi, AS perlu lebih memproyeksikan soft power ketimbang hard power: "The US has no shortage of soft power: in terms of culture, values, sports, entertainment, business, education, science and technology, living standard, media, the US has tremendous appeal to the international community." SBY mengingatkan, "Remember: the use of soft power charms and disarms. Hard power, on the other hand, if it is used incorrectly, provokes resistance and, sometimes, resentment." Presiden SBY juga mengingatkan, governance tidak kalah penting dibanding demokrasi, dan toleransi-bahkan kadang lebih penting-dari freedom. Itulah bentuk-bentuk soft power yang perlu dikembangkan AS di masa depan. Uniknya, pidato SBY itu mendapat apresiasi luar biasa dari elite politik AS. Seusai pidato, Presiden SBY mendapat standing ovation hadirin, termasuk Senator Kitt Bond yang langsung bangkit dari kursi, memberi selamat Presiden SBY yang baru turun panggung. Dalam konferensi internasional komunitas pertahanan (dikenal dengan "The Shangrila Dialogue") di Singapura 3-5 Juni lalu, PM Lee Hsien Loong juga menyerukan agar AS lebih menekankan soft power. PM Lee Hsien Loong menyatakan, AS perlu lebih menggunakan potensi soft power-nya dalam menarik opini internasional, memperbaiki mispersepsi, serta membangun kepercayaan dan kredibilitasnya, khususnya di kalangan dunia Islam. Keesokan harinya Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dalam



konferensi yang sama menyatakan sepenuhnya setuju, AS perlu mengedepankan soft power dalam pergaulan internasionalnya meski tetap bersikeras bahwa opsi militer tetap merupakan opsi terakhir. Diskusi setelahnya dengan Menteri Pertahanan Jepang dan Menteri Pertahanan Korea Selatan juga diselingi tema soft power. Tampak, soft power akan menjadi tema yang kian disorot dalam wacana strategis internasional. Banyak kalangan menilai pesan Presiden Indonesia di Washington DC itu amat strategis dan fundamental, khususnya di tengah situasi dunia yang terus bergolak dan selalu dihantui politik kekerasan. Namun, pesan yang terkandung dalam pidato SBY itu sebenarnya juga berlaku bagi diri kita, yakni Indonesia perlu terus mengembangkan potensi soft power di masa datang. Dalam pemikiran Presiden SBY, stabilitas internasional akan lebih terjamin jika negara-negara dunia berlomba mengembangkan soft power ketimbang bersaing menumbuhkan hard power. Saya pernah menanyakan, mengapa soft power penting dalam pergaulan internasional. Jawab Presiden, "Hard power menimbulkan aneka benturan, namun soft power menimbulkan jaringan-jaringan. Hard power dapat mengakibatkan persaingan negatif, namun soft power dapat menghasilkan sinergi positif." Pengembangan soft power memang cocok bagi politik bebas aktif yang kita anut karena tampaknya di sinilah letak kekuatan diplomasi kita serta daya tarik Indonesia dalam pergaulan internasional. Pengaruh dan reputasi Indonesia di masyarakat internasional lebih banyak ditentukan oleh prestasi, pesona, persuasi kita ketimbang karena faktor kekuatan militer. Reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, misalnya, menempatkan kita sebagai negara panutan dalam pergaulan dunia. Status Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar memberi kita kredibilitas dalam menjembatani antara dunia Islam dan Barat. Keberhasilan kita membantu proses perdamaian untuk konflik Kamboja, Filipina Selatan, dan Laut Cina Selatan meningkatkan reputasi kita sebagai juru damai. Potensi pasar kita dengan jumlah penduduk 220 juta juga banyak diperhitungkan orang. Sementara politik bebas aktif kita mengukuhkan citra Indonesia sebagai negara independent-minded tidak terikat siapa pun. Dan jangan lupa, ketangguhan dan ketabahan rakyat Indonesia yang jatuh bangun setelah krisis moneter, kerusuhan Timor Timur 1999, konflik etnis dan separatis, serangan teror, tsunami dan sebagainya banyak diperhatikan bahkan dikagumi masyarakat internasional. Berbicara ihwal contoh soft power, saya teringat kunjungan Presiden SBY ke Australia beberapa waktu lalu. Presiden SBY datang tidak dengan membusungkan dada atau berteriak lantang, tetapi dengan apa yang dinamakan seorang wartawan Australia membawa charm offensive, menampilkan sosok yang simpatik, rendah hati, bersahabat, dan penuh ide. Dalam berbagai kesempatan-gayanya yang rileks terhadap PM John Howard, kiprahnya menjemput jenazah perwira Australia yang gugur di Nias di bandara Sydney, kunjungan ke makam pahlawan, pidato di Parliament House-Presiden SBY dalam sekejap mengubah citra Indonesia di mata mainstream Australia, dan mengubah suasana dan substansi hubungan RI-Australia. Akibat kunjungan itu, hubungan RI-Australia dapat dikatakan mencapai titik tertinggi, yang ditandai pencanangan Comprehensive Partnership antara kedua negara. Dan Presiden SBY konon dianggap sebagai salah satu negarawan asing



terpopuler di Australia. Saya teringat komentar Presiden saat saya tanyakan apa yang memberi nilai tambah bagi soft power suatu negara. Jawab Presiden, "Yang penting kita menjadi bangsa yang dihormati, bukan ditakuti, bangsa yang disegani, bukan dihindari; bangsa yang didengar suaranya karena kita menyuarakan sesuatu yang bernilai." Melawan Keyakinan Dengan Keyakinan Perang pemikiran (ghaswul fikri) adalah tema kehidupan modern ketika demokrasi yang dibawanya menyediakan ruang-ruang publik (public sphere) yang memungkinkan setiap individu dapat menyalurkan pemikirannya. Kontestasi wacana akan menguji mana ideide yang paling menarik dan mampu menjelaskan persoalan yang ada di masyarakat. Dalam pengertian itu, perang melawan terorisme bukanlah benturan peradaban (clash of civilization)—sebagaimana dikatakan Huntington yang lebih mewakili ketakutan (oknum) penguasa Amerika Serikat sendiri. Perang terhadap terorisme harus dimaknai sebagai perang sipil di dalam peradaban manapun antara kaum ekstrimis yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan visi dan tujuan mereka dengan mayoritas kaum moderat yang menginginkan pekerjaan pendidikan, pelayanan kesehatan dan nasib yang diusahakan sesuai dengan keyakinan yang dipraktekkan. Perang terhadap teror tak akan menang jika pemikiran yang menginginkan keadilan dan demokrasi keyakinan tidak menang. Pemerintah Indonesia terbukti selalu gagap dalam menghadapi kaum teroris karena mereka pada saat yang sama juga tidak mampu memenangkan suatu yang penting, yaitu memberi keyakinan pada rakyatnya bahwa mereka aman bukan hanya secara politik, tetapi juga ekonomi (kesejahteraan). Tambahan lagi, semaraknya pemikiran agama yang menyimpang dengan ideologi kekerasan yang dibawanya juga disebabkan oleh kemiskinan masyarakat yang semakin meluas. Rakyat yang kurang terdidik, karena memang mereka dibatasi dalam akses pendidikan, dan juga karena kurangnya pendidikan demokrasi yang mereka terima, membuat pemikiran anti-objektif semarak di masyarakat. Penjelasan yang sekenanya, tidak objektif, juga dibumbui dengan rasialisme dan sentimen kelompok, membuat ideologi kekerasan mudah merebak di masyarakat. Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah juga lebih menekankan pada aspek politik keamanan (hard power). Pada hal yang paling dibutuhkan adalah pemahaman masyarakat tentang kehidupan keberagamaan. Keberagamaan yang hanya jadi ritualitas dan cuma menjadi kesemarakan dalam media komersial seperti TV ternyata juga tidak mampu membawa pemahaman masyarakat pada hakekat agama sebenarnya. Pada titik inilah, potensi pemikiran fundamentalisme menemukan persemaiannya. Pemerintah terlalu banyak menghabiskan dana bagi pendekatan militeristik dan politik keamanan tersebut, dan tidak memperhatikan pentingnya pembangunan pendidikan dan penyadaran. Minimnya anggaran untuk pendidikan adalah suatu contoh nyata dari kelemahan itu. Hal yang sama juga terjadi secara internasional. Dengan berakhirnya Perang Dingin, sebenarnya Amerika Serikat pernah tertarik dalam mengeluarkan anggarannya bagi pembangunan soft power-nya. Berbagai dana dikeluarkan untuk menarik perhatian masyarakat dunia tentang nilai-nilai demokrasi dan HAM yang menjadi warisan para pendirinya. Tetapi setelah peristiwa 11 September 2001, tindakan militeristik justru



ditingkatkan. Bahkan biaya militer sebesar 400 kali lipat dibanding pengeluaran untuk pendekatan non-militer (Nye, 2004). Tokoh liberalisme pendidikan asal Amerika Latin Paulo Freire pernah menegaskan bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan memiliki nilai penting untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara. Bangsa yang politik pendidikannya buruk, maka kinerja pendidikannya pun pasti buruk. Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga akan bagus. Pertanyaannya kini, bagaimanakah realitas politik pendidikan kita saat ini? Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada, melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya, semenjak negara Indonesia berdiri, founding fathers bangsa ini sudah menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Problema-problema pendidikan kita semakin kompleks dan semakin sarat dengan tantangan. Kebijakan dan program-program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, nampak tidak memberi jawaban solutif terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan yang berkembang. Kebijakan dan perubahan-perubahan pendidikan kita, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Katakan saja, persoalan dana pendidikan, persoalan manajemen pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolah [MBS] dan akreditasi, kebijakan perubahan kurikulum dari KBK menjadi KTSP, persoalan kompetensi dan sertifikasi guru dan dosen, ujian nasional yang menuai protes dari siswa, yang berdampak penyelesaian sekolah di Paket C. Hal yang sangat menyedihkan dalam kebijakan pendidikan di negara yang kita cintai ini. Indikator ini menunjukan kurang terarahnya kebijakan-kebijakan pendidikan. Beberapa “pakar” dan “pemerhati” pendidikan, mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia selalu dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat “utopis” dan kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan prioritas persoalan pendidikan yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Sebenarnya, ada beberapa persoalan kuantitatif pendidikan yang perlu segera ditangani secara bertahap dan tersistem (Suyanto, 2004). Pertama, rendahnya partisipasi pendidikan. Jumlah penduduk usia prasekolah (5 - 6 tahun) adalah 8.259.200 yang baru tertampung 1.845.983 anak (22, 35%). Penduduk usia sekolah dasar (7 - 12 tahun) 25.525.000, baru tertampung 24.041.707 anak (94.19%). Jumlah usia SMP (13-15 tahun) 12.831.200, baru tertampung 7.630.760 anak (59,47%). Penduduk usia SMA (16 - 18 tahun) 12.695.800, baru tertampung 4.818.575 anak (37,95%). Penduduk usia pendidikan tinggi (19 - 24 tahun) 24.738.600, baru tertampung 3.441.429 orang (13,91%).



Kedua, banyaknya guru/dosen yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi. Guru TK sebanyak 137.069, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 12.929 orang (9,43%). Sebanyak 1.234.927 guru SD yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 625.710 orang (50,67%), sedangkan 466.748 guru SMP, yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 299.105 orang (64,08). Guru sekolah menengah (377. 673), yang terbilang layak baru 238.028 orang (63,02%), sedangkan dosen perguruan tinggi (210.210), yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 101.875 orang (48,46%). Ketiga, tingginya angka putus sekolah. Angka putus sekolah SD 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%. Keempat, banyak ruang kelas yang tidak layak untuk proses belajar. Ruang kelas TK yang jumlahnya 93.629, yang kondisinya masih baik 77.399 (82,67%), kelas SD (865.258), yang masih baik hanya 364.440 (42,12%). Ruang kelas SMP (187.480), yang masih baik 154.283 (82,29 %). Ruang kelas SMA (124.417) yang kondisinya masih baik 115.794 (93,07%). Kelima, tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf. Dari penduduk total 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas 23.199.823 (10,99%). Terlepas dari persoalan kuantitatif tersebut, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral dalam proses pendidikan. Karena itu, upaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan para pendidik adalah suatu keniscayaan. Guru harus mendapatkan program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan adopsi inovasi. Guru juga harus mendapatkan penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya. Sehingga, setiap inovasi dan pembaruan dalam bidang pendidikan dapat diterima dan dijalaninya dengan baik. Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu : Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. Akibatnya, upaya-upaya perbaikan pendidikan yang dilaksanakan selama ini, seakan-akan berada di antara “mitos” dan “realitas”. Di satu sisi, perbaikan pendidikan dinyatakan sebagai sub-sistem pembangunan nasional [sebagai entitas sistem secara keseluruhan], tetapi di sisi lain program-programnya tidak memiliki konsep yang cukup jelas untuk menjawab paradigma pembangunan yang berorientasi pada pola dan permasalahan kehidupan global yang menuntut kontribusi pendidikan yang dinamis dan bervariasi [Ade Cahyana, Ibid.http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/.] Untuk itu, arah kebijakan pendidikan kedepan, seharusnya ditujukan untuk merubah “mitos” menjadi “realitas” perubahan pendidikan di Indonesia. Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan sebagainya. Tidak adanya "national assessment" untuk



menggambarkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang didasarkan pada suatu ukuran kemajuan tertentu [benchmark] secara terbuka [accountable], sehingga publik dengan mudah mengikuti dan “mengevaluasi” kemajuan pendidikan yang ada. Kedua, program-program pendidikan yang dilaksanakan tidak diturunkan dari tujuan-tujuan yang mengacu pada hasil-hasil yang memiliki kriteria pencapaian yang jelas dan dapat terukur realisasinya [Ade Cahyana, From: http://www. depdiknas. go. id/Jurnal/.] Walhasil, jika pendidikan kita diumpamakan mobil, mobil itu berada di jalan yang salah yang sampai kapan pun tidak akan pernah menghantarkan kita ke tempat tujuan (masalah mendasar/paradigma). Di samping salah jalan, mobil itu mengalami kerusakan dan gangguan teknis di sana-sini : bannya kempes, mesinnya bobrok, AC-nya mati, lampu mati, dan jendelanya rusak (masalah cabang/praktis). Gambaran di atas, menunjukkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia memang begitu dilematis. Artinya, di satu sisi, tuntutan kualitas pendidikan perlu dikatrol setinggitingginya untuk mengejar ketertinggalan begitu jauh dengan negara-negara lain. Sementara disisi lain, dana operasional yang tersedia untuk bidang pendidikan begitu terbatas. Perlu diakui bahwa pemerintah, sebenarnya telah mengalokasikan sejumlah jenis bantuan untuk dana operasional pendidikan [sekolah]. Tetapi bantuan tersebut hanya cukup untuk menutup biaya minimal bagi kegiatan-kegiatan pendidikan. Sementara kegiatan yang sifatnya penunjang atau pengembangan, dirasakan belum optimal dan hal ini berakibat pada terhambatnya upaya peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. (Wallahu’alam Bishawab).