PPK Bedah Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HERNIA INGUINALIS LATERALIS UNILATERAL TANPA OBSTRUKSI ICD 10 CM : K40.9 1. Pengertian (Definisi) Protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek prosesus vaginalis yang tidak mengalami obliterasi setelah lahir 2. Patofisiologi Hernia indirek (kongenital) muncul karena defek prosesus vaginalis yang tidak menutup setelah lahir. Prosesus vaginalis adalah kantong peritoneum yang memanjang dan mengikuti gubernaculum sampai ke kanalis inguinalis, akan mencapai skrotum usia 7 bulan kehamilan. Obliterasi dari prosesus vaginalis terjadi setelah testis turun dan setelah lahir. 3. Anamnesis 3.1 Benjolan di lipat paha hingga scrotum/labia mayor 3.2 Benjolan hilang timbul, muncul bila ada peningkatan tekanan intraabdomen dan hilang saat anak tenang 3.3 Mual (-), muntah (-), BAB (+), Flatus (+) 4. Pemeriksaan Fisik 4.1 Benjolan di lipat paha hingga scrotum 4.2 Benjolan pada medial vassa epigastrica 4.3 Transiluminasi negatif 4.4 Teraba penebalan struktur di cord spermaticus (silk sign) 4.5 Abdomen : soefl, distended (-), defans muskular (-) 5. Klasifikasi Hernia Indirek (Hernia Inguinalis lateralis) 5.1.1. Hernia inguinalis indirek yang tidak terkomplikasi. 5.1.2. Hernia inguinalis indirek sliding. 6. Kriteria Diagnosis 6.1 Anamnesis 6.2 Pemeriksaan Fisik 6.3 USG Inguinal 7. Diagnosis Banding 7.1 Hidrocele 7.2 Undescended Testis



8. Pemeriksaan Penunjang



Komprehensif (teoritis)



Optimal (yang ada di RSSA/disepakati)



8.1 USG Inguinal : persistent prosesus 8.2 USG Inguinal : persistent prosesus vaginalis vaginalis 9. Terapi Komprehensif (teoritis)



Optimal (yang ada di RSSA/disepakati)



9.1 Herniotomy



9.1 Herniotomy



10. Edukasi Bila didapatkan tanda-tanda strangulata/inkarserata maka operasi bersifat emergency



11. Prognosis 11.1 Ad vitam : dubia ad bonam 11.2 Ad sanationam : dubia ad bonam 11.3 Ad fungsionam : dubia ad bonam



12. Kompetensi Kompetensi penanganan hernia inguinalis lateralis unilateral tanpa obstruksi : -



Dokter Umum Dokter Spesialis yang terkait



:2 :3



13. Indikator Medis Pasien KRS perawatan hari 3



14. Kepustakaan (Vancouver) 14.1 Ashcraft, Keith W; Pediatric Surgery, 4th ed, Elsevier Saunders, 2005 14.2 PP IKABI; Buku Acuan Alur Penanganan Klinis (Clinical Pathway), Dokter Spesialis Bedah Indonesia, 2014



HIRSCHSPRUNG’S DISEASE ICD 10 CM : Q 43.1 1. Pengertian (Definisi) Kelainan bawaan yang ditandai oleh aganglionosis usus dimulai dari sphincter ani interna menuju ke proximal dengan panjang bervariasi (selalu termasuk anus setidak-tidaknya sebagian rektum) 2. Patofisiologi Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hamper selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan ke abnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta sphincter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon 3. Anamnesis 3.1 Neonatus cukup bulan dengan keterlambatan keluarnya mekoneal 3.2 Distensi abdomen 3.3 Muntah 4. PemeriksaanFisik 4.1 Muntah/NGT 4.2 Distensi abdomen 4.3 Pada RT terdapat udara dan feses menyemprot 4.4 Bising usus meningkat 5. Klasifikasi 5.1. Hirschsprung segmen pendek 5.2. Hirschsprung segmen panjang 5.3. Hirschsprung kolon aganglionik total 5.4. Hirschsprung kolon aganglionik universal 6. Kriteria Diagnosis 6.1 Anamnesa 6.2 Pemeriksaan fisik 6.3 Pemeriksaan penunjang 7. Diagnosis Banding 7.1 Atresia ileum 7.2 Meconealpluque syndrome 7.3 Sindroma kolon kiri kecil 7.4 NEC



7.5



Sepsis neonatorum



8. Pemeriksaan Penunjang 8.1 Colon in loop teknik hischsprung 8.2 Biopsi rectum 9. Terapi 9.1 Sementara : kolostomi 9.2 Definitif : 9.2.1. Duhamel, potong stump 9.2.2. Soave 9.2.3. Transana lEndorectal Pull Through 10. Edukasi 10.1. 10.2. 10.3. 10.4.



Perut distended Muntah Perubahan pola BAB Bising usus menurun



11. Prognosis 11.1 Advitam : dubia ad bonam 11.2 Ad sanationam : dubia ad bonam 11.3 Adfungsionam : dubia ad bonam 12. Kompetensi Kompetensi penanganan hirschsprung disease : - Dokter Umum :2 - Dokter Spesialis yang terkait :3 13. IndikatorMedis 80% pasien pulang dalam waktu ≤14 hari 14. Kepustakaan(Vancouver) 14.1 Ashcraft 2005 Pediatric Surgery 4th Edition. Elsevier Saunders : 477-496 14.2 Darmawan Kartono 2004 Penyakit Hirschprung. Sagungseto. 14.3 Vademacum 2000 Pediatric Surgery. Landes Bioscience : 272-276 14.4 Keith Oldham 2005 Principles and Practice of Pediatric Surgery 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins : 1348-1366 15. PenelaahKritis 15.1 dr. Lulik Inggarwati, SpBA(K) 15.2 dr. Widanto, SpBA(K)



ACUTE APPENDICITIS ICD 10 : K 35.3



1. Pengertian (Definisi) Appendicitis akut disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen apendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab yang paling sering adalah fecalith. Fecalith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. 2. Patofisiologi 2.1. Proses penyumbatan yang mengakibatkan lendir yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama lendir tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. 2.2. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. 2.3. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. 3. Anamnesis 3.1 Demam 37,5ºC- 38,5ºC (jika didapatkan demam tinggi kemungkinan perforasi) 3.2 Nyeri perut 3.3 Anorexia 3.4 Mual dan muntah 3.5 Nyeri berpindah 3.6 Gejala sisa klasik, nyeri periumbilikal disertai anorexia/mual/muntah, kemudian nyeri berpindah ke RLQ dan demam yang tidak terlalu tinggi 3.7 Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam 4. Pemeriksaan Fisik 4.1 Abdominal swelling  bias juga terjadi distensi perut 4.2 Rovsing’s sign : dikatakan positif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ) menggambarkan iritasi peritonium. Namun tidak spesifik. 4.3 Psoas sign : dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan di ekstensikan. Nyeri pada cara ini



menggambarkan iritasi pada otot psoas sign kanan dan indikasi iritasi rectocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon / abses 4.4 Obturator sign 4.5 Mc Burney’s sign 4.6 Blumberg’s sign : nyeri lepas kontralateral (tekan LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ) 4.7 Wahl’s sign : nyeri perkusi RLQ di segitiga Scherren menurun 4.8 Defance musculare : bersifat lokal. Lokasi bervariasi sesuai letak appendix 4.9 Nyeri pada daerah cavum douglas bila ada abses di rongga abdomen / appendix letak pelvis 4.10 Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher 4.11 Dunphy sign : nyeri ketika batuk 5. Klasifikasi Apendisitis akut, dibagi atas: 5.1. Appendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. 5.2. Appendisitis purulenta difusi yaitu sudah bertumpuk nanah 6. Diagnosis Kerja 6.1 Adanya migrasi nyeri 6.2 Anoreksia 6.3 Mual / muntah 6.4 Nyeri RLQ 6.5 Nyeri lepas 6.6 Febris 6.7 Leukositosis 6.8 Shift to the left 7. Diagnosis Banding 7.1 Intususepsi 7.2 Diverticulitis 7.3 Gastroenteritis akut. 7.4 Konstipasi 7.5 Infark omentum 7.6 Chrohn’s disease 7.7 Colitis ulserative 7.8 Epididimitis 7.9 Pelvic Inflamatory Disease (PID) 7.10 Ovarium Cyst 7.11 Kehamilan Ektopik (KET) 7.12 Infeksi Saluran kencing 7.13 Kolesistitis 8. Pemeriksaan Penunjang 8.1 Laboratorium (DL/diff count) 8.2 USG Abdomen



8.3 Laparotomi diagnostik 9. Terapi 9.1 Observasi di Rumah Sakit 9.2 Analgetik 9.3 Antibiotika IV 9.4 Simptomatis 10. Edukasi 10.1 Tirah baring. 10.2 Makan yang kaya serat 10.3 Kontrol rutin ke dokter spesialis bedah terdekat 11. Prognosis 11.1 Ad vitam : dubia ad bonam / malam 11.2 Ad sanationam : dubia ad bonam / malam 11.3 Ad fungsionam : dubia ad bonam / malam 12. Kompetensi Kompetensi penanganan appendicitis akut : - Dokter Umum : 3b - Dokter Spesialis yang terkait :4 13. Indikator Medis 80% pasien pulang dalam waktu 5 hari 14. Kepustakaan Ashcraft, Keith W; Pediatric Surgery, 4th ed, Elsevier Saunders, 2005



15. Penelaah Kritis 30.1 dr. Lulik Inggarwati, SpBA(K) 30.2 dr. Widanto, SpBA(K)



HYPERTROPIC PYLORIC STENOSIS ICD 10 : Q.40.0



1. Pengertian (Definisi) Penyempitan lumen pylorus yang disebabkanolehhipertropiotot-ototsirkulerdan longitudinal pylorus



2. Patofisiologi Sampai saat ini patofisiologi yang mendasari belum diketahui secara pasti,namun berdasarkan hasil penelitian 10 tahun terakhir ditemukan hubungan antara lapisan otot yang mengalami hipertrofi dengan jumlah saraf terminal,marker untuk sel schwan perifer,peptide,aktivitas sintesis nitrat oksida,produksi RNA mesenger untuk mensintesis nitrat oksida. Munculnya sebuah postulat/dalil bahwa inervasi yang abnormal dari lapisan otot menimbulkan kegagalan relaksasi otot pylorus,meningkatkan sintesis faktor pertumbuhan dan akibatnya terjadi hipertrofi,hiperplasia dan obstruksi Kurangnya sintesis neuronal oksida nitrat sintase pada pleksus myenterikus adalah faktor penentu yang penting dalam patogenesis terjadinya hipertrofi stenosis pylorus seperti halnya patogenesis pada akalasia,gastroparesis diabetik dan penyakit hirschsprung.



3. Anamnesis 3.1. Muntahproyektil, non bilous, setelahmakan 3.2. Kadang didapatkan bahan muntahan bercampur darah yang dapat terjadi karena gastritis atau esophageal trauma 4. PemeriksaanFisik 4.1 Tampak peristaltik lambung tepat sebelum muntah (gastric wave)padabagiantengahsampaikiri abdomen 4.2 Pada palpasi dapat ditemukan massa di kanan atas umbilikus, padat, mobile dg ukuran ± 2 cm (olive mass) 5. Klasifikasi (-)



6. Kriteria Diagnosis 6.1 Muntahproyektil, non bilous, setelahmakan 6.2 Tampakperistaltik waves setelahmakan, sebelummuntah 6.3 Terabamassa “olive mass” padakananatas abdomen



7. Diagnosis Banding 7.1 Gastroesophageal reflux 7.2 Peningkatan Tekanan Intrakranial 7.3 Antral web 7.4 Stenosis Pylorus 7.5 Malrotasi Gaster 8. Pemeriksaan Penunjang 8.1 USG 8.2 Upper GI Study 9. Terapi 9.1 Operative : Pyloromyotomy 10. Edukasi 10.1 Mengenal gejala hipertropi stenosis pylorus 10.2 Mengenal tanda-tandahipertropi stenosis pylorus 11. Prognosis 11.1 Advitam : dubia ad bonam 11.2 Ad sanationam : dubia ad bonam 11.3 Adfumgsionam : dubia ad bonam 12. Kompetensi Kompetensi penanganan HPS : - Dokter Umum - Dokter Spesialis yang terkait



: 2 : 3



13. IndikatorMedis 13.1 Intake baik 13.2 BAB baik 14. Kepustakaan Ashcraft, Keith W; Pediatric Surgery, 4thed, Elsevier Saunders, 2005



15. PenelaahKritis 15.1 dr. Lulik Inggarwati, SpBA(K) 15.2 dr. Widanto, SpBA(K) 15.3 dr. Gatot Waluyo, SpBA(K)



ATRESIA ANI (CONGENITAL ABSENCE, ATRESIA AND STENOSIS OF ANUS = ICD 10 : Q42)



1. 1. Pengertian (Definisi) Suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak terbentuk dengan sempurna. Termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum 2. Patofisiologi Abnormalitas perkembangan embriologi abus, rektum dan traktus urogenital, dimana septum tidak membagi membran kloaka secara sempurna. Terdapat beberapa faktor prognostik yang mempengaruhi terjadinya malformasi anorektal seperti abnormalitas pada sakrum, gangguan persarafan pelvis, sistem otot perineal yang tidak sempurna, dan gangguan motilitas kolon. 3. Anamnesis Anamnesa meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Bersifat heteroanamnesa kepada orang tua pasien. Prenatal : Status sosial ibu, riwayat paritas ibu, riwayat antenatal, dan sakit saat kehamilan yang berhubungan dengan gangguan organogenesis saat hamil Natal : anamnesa mengenai saat kelahiran. Usia saat bayi dilahirkan, tatacara persalinan, apgar score Post Natal, anamnesa saat ini yang ditemukan pada pasien. Tidak didapatkan lubang anus sejak lahir 4. Pemeriksaan Fisik Tidak didapatkan lubang anus sejak lahir namun masih memungkinkan didapatkan fistula 5. Kriteria Diagnosis 



Meconeum pada traktus gastrointestinal biasanya akan keluar saat 24 jam atau lebih sejak bayi dilahirkan







Jika tidak didapatkan meconium yang keluar dari lubang yang ada pada neonatus selama 24 jam. Selanjutnya bayi seharusnya diperiksakan X-ray Crosstable lateral untuk melihat distribusi udara yang menumpuk pada rectum







Tes Diagnostik ini memudahkan kita untuk mendiagnosis secara pasti tipe malformasi dan memberikan informasi untuk kelanjutan management pada atresia ani



Algoritma atresia ani pada Laki-laki :



Algoritma atresia ani pada perempuan :



6. Diagnosis Kerja : Atresia ani Tanpa Fistel/ dengan fistel 7. Diagnosis Banding 7.1



Persistent Kloaka



7.2



Stenosis Ani



8. Pemeriksaan Penunjang Komprehensif (teoritis)



Optimal (yang ada di RSSA/disepakati)



8.1 Pemeriksaan radiologis



8.1 Pemeriksaan radiologis



8.1.1



Cross Lateral Table



8.1.1 Cross Lateral Table (bila tanpa fistel



8.1.2



Babygram X-Ray



8.1.2 Babygram X-ray



8.1.3



Echocardiografi



9. Terapi 9.1. Sementara : Kolostomi 9.2. Definitif : Postero Sagital Anorectoplasty 10. Edukasi 10.1. Tidak adanya anus 10.2. Perut distensi 10.3. Perencanaan tindakan 11. Prognosis 11.1. Ad vitam 11.2. Ad sanationam 11.3. Ad fungsionam



: dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam



12. Kompetensi Kompetensi penanganan Atresia Ani : - Dokter Umum - Dokter Spesialis yang terkait



:2 :3



13. Indikator Medis 80% pasien pulang dalam waktu ≤ 6 hari 14. Kepustakaan (Vancouver) 44.1 Ashcraft 2005 Pediatric Surgery 4th Edition. Elsevier Saunders : 477-496 44.2 Darmawan Kartono 2004 Penyakit Hirschprung. Sagung seto. 44.3 Vademacum 2000 Pediatric Surgery. Landes Bioscience : 272-276 44.4 Keith Oldham 2005 Principles and Practice of Pediatric Surgery 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins : 1348-1366 45. Penelaah Kritis 45.1 dr. Lulik Inggarwati, SpBA(K) 45.2 dr. Widanto, SpBA(K)



INVAGINASI



(INTUSSUSCEPTION = ICD 10 : K56)



1. 1. Pengertian (Definisi) Invaginasi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen lainnya, yang pada umumnya berakibat dengan terjadinya obstruksi ataupun strangulasi. Invaginasi sering disebut juga sebagai intussusepsi 2. Patofisiologi Pada invaginasi dapat berakibat terjadinya obstruksi ataupun strangulasi dari usus. Obstruksi yang terjadi secara mendadak ini, akan menyebabkan bagian apex invaginasi menjadi udem dan kaku, jika hal ini telah terjadi maka tidak mungkin bagian usus yang tidak viabel tersebut dapat kembali normal secara spontan 3. Anamnesis Anamnesa meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Bersifat heteroanamnesa kepada orang tua pasien. Prenatal : Status sosial ibu, riwayat paritas ibu, riwayat antenatal, dan sakit saat kehamilan yang berhubungan dengan gangguan organogenesis saat hamil Natal : anamnesa mengenai saat kelahiran. Usia saat bayi dilahirkan, tatacara persalinan, apgar score Post Natal, anamnesa saat ini yang ditemukan pada pasien. Tidak didapatkan lubang anus sejak lahir 4. Pemeriksaan Fisik Karena sumbatan belum total, perut belum kembung dan tidak tegang, dengan demikian mudah teraba gumpalan usus yang terlibat invaginasi sebagai suatu massa tumor berbentuk sosis di dalam perut di bagian kanan atas, kanan bawah, atas tengah atau kiri bawah. Tumor lebih mudah teraba pada waktu terdapat peristaltik, sedangkan pada perut bagian kanan bawah teraba kosong yang disebut “dance’s sign” ini akibat caecum dan kolon terdorong ke distal, ikut proses invaginasi 5. Kriteria Diagnosis 



Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat serang serangan, nyeri menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi serangan (colicky abdominal pain).







Teraba massa tumor di perut bentuk bujur pada bagian kanan atas, kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri atas (palpebra abdominal mass).







Buang air besar campur darah dan lendir ataupun terjadi diare (red currant jelly stools)



Algoritma Invaginasi :



6. Diagnosis Kerja : Invaginasi 7. Diagnosis Banding 



Gastro – enteritis, bila diikuti dengan invaginasi dapat ditandai jika dijumpai perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.







Diverticulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.







Disentri amoeba, pada keadaan ini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam.







Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.







Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali. Pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada invaginasi didapati adanya celah



8. Pemeriksaan Penunjang Komprehensif (teoritis)



Optimal (yang ada di RSSA/disepakati)



8.1 Pemeriksaan radiologis



8.1 Pemeriksaan radiologis



8.1.1



USG abdomen



8.1.2



Barium Enema



8.1.1 USG Abdomen 8.1.2 Barium Enema



9. Terapi 9.1. Resusitasi 9.2. Reduksi Barium Enema 9.3. Eksplorasi Laparotomi 9.4. Milking Procedure 9.5. Reseksi Usus 10. Edukasi 10.1.



Perubahan diet



10.2.



Menghindari trauma pada perut



10.3.



Perawatan Stoma jika pasien dengan post reseksi usus dan stoma



11. Prognosis 11.1. Ad vitam 11.2. Ad sanationam 11.3. Ad fungsionam



: dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam



12. Kompetensi Kompetensi penanganan Invaginasi : - Dokter Umum - Dokter Spesialis yang terkait



:2 :4



13. Indikator Medis 80% pasien pulang dalam waktu ≤ 6 hari 14. Kepustakaan (Vancouver) 14.1 Ashcraft 2005 Pediatric Surgery 4th Edition. Elsevier Saunders : 477-496 14.2 Darmawan Kartono 2004 Penyakit Hirschprung. Sagung seto. 14.3 Vademacum 2000 Pediatric Surgery. Landes Bioscience : 272-276 14.4 Keith Oldham 2005 Principles and Practice of Pediatric Surgery 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins : 1348-1366 15. Penelaah Kritis 15.1 dr. Lulik Inggarwati, SpBA(K) 15.2 dr. Widanto, SpBA(K)



ATRESIA DUODENAL



ICD 10 : Q.41.0



16. Pengertian (Definisi) Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang dan mengalami penyempitan secara komplit sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus 17. Patofisiologi Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8Kegagalan rekanalisasi ini yang menyebabkan atresia duodenum. Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur tetangga, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular



18. Anamnesis 3.3. Muntah berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu (biliosa) 3.4. Perut kembung 4. Pemeriksaan Fisik 4.1. Distensi abdomen 4.2. Terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran kanan ata 4.3.Klasifikasi a. tipe I tidak ada fibrous cord dan duodenum masih kontinu b. tipe II dikarakteristikan dengan dilatasi proksimal dan kolaps pada segmen area distal yand terhubung oleh fibrous cord. c. Atresia tipe III memiliki gap pemisah yang nyata antara duodenal segmen distal dan segmen proksimal.7



19. Kriteria Diagnosis 19.1 Muntah bilous 19.2 Terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati epigastrium 20. Diagnosis Banding 20.1 Atresia esophagus 20.2 Malrotasi dengan volvulus midgut 20.3 Stenosis pylorus 20.4 Pankreas anular 20.5 Vena portal preduodenal 20.6 Atresia usus 20.7 Duplikasi duodenal 20.8 Obstruksi benda asing 20.9  Penyakit Hirschsprung 20.10Refluks gastroesofageal 21. Pemeriksaan Penunjang 21.1 Abdominal X-ray (double bubble appearance) 21.2 Upper GI Study 22. Terapi 22.1 Operative : duodenoduodenostomi (diamond shape anastomosis) 23. Edukasi 23.1 Mengenal gejala atresia duodenum 23.2 Mengenal tanda-tanda atresia duodenum 24. Prognosis 24.1 Advitam : dubia ad bonam 24.2 Ad sanationam : dubia ad bonam 24.3 Adfumgsionam : dubia ad bonam 25. Kompetensi Kompetensi penanganan HPS : - Dokter Umum - Dokter Spesialis yang terkait



: 2 : 3



26. Indikator Medis 26.1 Intake baik 26.2 BAB baik 27. Kepustakaan Felicitas EW, Afu AJ, Sanjay K. Duidenal Atresia and Stenosis. 2009;p 936-938



28. Penelaah Kritis 28.1 dr. Lulik Inggarwati, SpBA(K) 28.2 dr. Widanto, SpBA(K) 28.3 dr. Gatot Waluyo, SpBA(K)



ATRESIA ILEUM ICD 10 : Q.41.2



29. Pengertian (Definisi) Obstruksi kongenital yang disebabkan oklusi total dari lumen usus



30. Patofisiologi Penyebab terjadinya atresia ileum pada awalnya diperkirakan berkaitan dengan tidak sempurnanya proses revakuolisasi pada tahap pembentukan usus. Terdapat banyak teori mengenai penyebab terjadinya atresia ileum. Akan tetapi, teori yang banyak digunakan adalah terjadinya kondisi iskemik sampai dengan nekrosis pada pembuluh darah usus yang berakibat terjadinya proses reasorbsi dari bagian usus yang mengalami kondisi nekrosis tersebut. Pendapat lain mengatakan bahwa atresia ileum terjadi karena ketidaksempurnaan pembentukan pembuluh darah mesenterika selama intrauterin. Ketidaksempurnaan ini dapat diakibatkan karena terjadinya volvulus, intususepsi, hernia interna, dan konstriksi dari arteri mesenterika 31. Anamnesis 4.1. Polihidramnion pada kehamilan 4.2. Muntah hijau 4.3. Pembesaran perut 4.4. Kuning 4.5. Tidak keluarnya mekoneum dalam 24 jam pertama setelah lahir



32. PemeriksaanFisik 32.1 Distensi abdomen bagian atas 33. Klasifikasi 5.1



Atresia ileum tipe I Pada atresia ileum tipe I ditandai dengan terdapatnya membran atau jaringan yang dibentuk dari lapisan mukosa dan submukosa. Bagian proksimal dari usus mengalami dilatasi dan bagian distalnya kolaps. Kondisi usus tersambung utuh tanpa defek dari bagian mesenterium.



5.2



Atresia ileum tipe II Pada atresia ileum tipe II bagian proksimal dari usus berakhir pada bagian yang buntu, dan berhubungan dengan bagian distalnya dengan jaringan ikat pendek di atas dari mesenterium yang utuh. Bagian proksimal dari usus akan dilatasi dan mengalami hipertrofi sepanjang beberapa centimeter dan dapat menjadi sianosis diakibatkan proses iskemia akibat peningkatan tekanan intraluminal.



5.3



Atresia ileum tipe IIIa Pada atresia ileum tipe IIIa bagian akhir dari ileum yang mengalami atresia memiliki gambaran seperti pada tipe II baik pada bagian proksimal dan distalnya, akan tetapi tidak terdapat jaringan ikat pendek dan terdapat defek dari mesenterium yang berbentuk huruf V. Bagian yang dilatasi yaitu proksimal sering kali tidak memiliki peristaltik dan sering terjadi torsi atau distensi dengan nekrosis dan perforasi sebagai kejadian sekunder. Panjang keseluruhan dari usus biasanya kurang sedikit dari normal.



5.4



Atresia ileum tipe IV Pada atresia ileum tipe IV terdapat atresia yang multipel, dengan kombinasi dari tipe I sampai dengan tipe III, memiliki gambaran seperti sosis. Terdapat hubungan dengan faktor genetik, dan tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Multipel atresia dapat terjadi karena iskemia dan infark yang terjadi pada banyak tempat, proses inflamasi intrauterin, dan malformasi dari saluran cerna yang terjadi pada tahap awal proses embriogenesis.



34. Kriteria Diagnosis 6.1



Polihidramnion pada kehamilan



6.2



Muntah hijau



6.3



Pembesaran perut



6.4



Kuning



6.5



Tidak keluarnya mekoneum dalam 24 jam pertama setelah lahir



6.6



Distensi Abdomen bagian atas



35. Diagnosis Banding 35.1 Volvulus 35.2 Ileus Meconeal 35.3 Stenosis Intestinal 35.4 Hernia Internalis 35.5 Hernia Inguinalis Strangulata 35.6 Hirschprung Disease 35.7 Ileus karena sepsis 36. Pemeriksaan Penunjang 36.1 Baby Gram 36.2 Upper GI Study 37. Terapi 37.1 Operative : Duodeno-Duodenostomy Duodeno-Jejunostomy 38. Edukasi 38.1 Mengenal gejala atresia ileum 38.2 Mengenal tanda-tanda atresia ileum



39. Prognosis 39.1 Ad vitam : dubia ad bonam 39.2 Ad sanationam : dubia ad bonam 39.3 Ad fungsionam : dubia ad bonam 40. Kompetensi Kompetensi penanganan Atresia Ileum : -



Dokter Umum



: 2



-



Dokter Spesialis yang terkait



: 3



41. Indikator Medis 41.1



Intake baik



41.2



BAB baik



41.3



Tanda vital baik



42. Kepustakaan Delorimier, Alfred A.; Fonkalsrud, Eric W.; Hays, Daniel M. Congenital atresia and stenosis of the jejunum and ileum. Surgery, 1969, 65.5: 819-827. Burjonrappa, Sathyaprasad C.; Crete, Elise; Bouchard, Sarah. Prognostic factors in jejuno-ileal atresia. Pediatric surgery international, 2009, 25.9: 795-798.



43. Penelaah Kritis 43.1 dr. Lulik Inggarwati, SpBA(K) 43.2 dr. Widanto, SpBA(K)



NECROTIZING ENTEROCOLITIS ICD 10 : K.55.30



44. Pengertian (Definisi) Penyakit pada bayi baru lahir yang ditandai dengan kematian jaringan / nekrosis secara luas pada lapisan intestinal terutama ileum terminalis



45. Patofisiologi Sampai saat ini yang menjadi dasar terjadinya penyakit ini belum dapat diketahui secara pasti. Tapi penyakit ini erat kaitannya dengan terjadinya iskemia intestinalis, faktor kolonisasi bakteri, dan factor makanan. Iskemia menyebabkan rusaknya dinding saluran cerna sehingga rentan pada invasi bakteri. Kasus kejadian cukup jarang pada bayi yang mendapatkan ASI dan sebelum bayi mendapatkan pemberian makanan selain ASI. Sekali pemberian makanan dimulai, hal itu dapat menjadi pemicu yang cukup untuk sebabkan proliferasi bakteri yang dapat menembus dinding saluran cerna yang rusak dan menghasilkan gas hidrogen. Gas hydrogen tersebut bias berkumpul dalam dinding saluran cerna (pneumatosis intestinalis) atau masuk dalam vena porta



46. Anamnesis 4.6.



Muntah berwarna kehijauan



4.7. Lemas 4.8. Tidak mau menyusu 4.9. Demam 4.10. Buang air besar berdarah 47. Pemeriksaan Fisik 47.1 Letargis 47.2 Bradikardia 47.3 Distensi abdomen 47.4 Hilangnya bising usus 47.5 Ditemukan selulitis pada regio abdomen pada stadium Bell II 47.6 Ditemukan tanda peritonitis pada stadium Bell III



48. Klasifikasi



6



48.1



Stadium 1 (suspekNEC)



48.2



Stadium 2 (terbuktiNEC)



48.3



Stadium 3 (NEC lanjut)



Kriteria Diagnosis 6.1 Stadium 1 (suspekNEC) 6.1.1



Kelainan sistemik : tandanya tidak spesifik, termasuk apneu, bradikardia, letargi dan suhu tidak stabil.



6.1.2



Kelainan abdominal : termasuk intoleransi makanan, rekuren residual lambung, dan distensi abdominal.



6.1.3



Kelainan radiologik : gambaran radiologi bisa normal atau tidak spesifik



6.2 Stadium 2 (terbukti NEC) 6.2.1



Kelainan sistemik : seperti stadium 1 ditambah dengan nyeri tekan abdominal dan trombositopenia.



6.2.2



Kelainan abdominal : distensi abdominal yang menetap, nyeri tekan, edema dinding usus, bising usus hilang dan perdarahan per rektal.



6.2.3



Kelainan radiologik : gambaran radiologi yang sering adalah pneumatosis intestinal dengan atau tanpa udara vena porta atau asites.



6.3 Stadium 3 (NEC lanjut) 6.3.1



Kelainan sistemik : termasuk asidosis respiratorik dan asidosis metabolik, gagal nafas, hipotensi, penurunan jumlah urin, neutropenia dan disseminated intravascular coagulation (DIC).



6.3.2



Kelainan abdominal : distensi abdomen dengan edema, indurasi dan diskolorasi.



6.3.3



Kelainan



radiologic



:



gambaran



pneumoperitoneum.



7



Diagnosis Banding 7.1 Penyakit Hirschprung dengan enterocolitis 7.2 Midgut volvulus 7.3 Atresia usus



8



PemeriksaanPenunjang 8.1 Ro Abdomen



yang



sering



dijumpai



adalah



8.2 USG 9



10



Terapi 9.1



Puasa



9.2



Dekompresi lambung



9.3



Monitoring ke tanda - tanda vital dan asupan cairan



9.4



Pemberian antibiotik



9.5



Operatif (stadium II dan III)



Edukasi 10.1 Mengenal gejala necrotizing enterocolitis 10.2 Mengenal tanda – tanda necrotizing enterocolitis 10.3 Mengenal pencegahan necrotizing enterocolitis



11



12



Prognosis 11.1 Ad vitam



: dubia



11.2 Ad sanationam



: dubia



11.3 Ad fungsionam



: dubia



Kompetensi Kompetensi penanganan NEC :



13



-



Dokter Umum



:1



-



Dokter Spesialis yang terkait



:3



Indikator Medis 13.1 Intake baik 13.2 BAB baik 13.3 Tanda vital baik



14



Kepustakaan Ashcraft, Keith W; Pediatric Surgery, 4thed, Elsevier Saunders, 2005



15



PenelaahKritis 15.1 dr. Lulik Inggarwati, SpBA(K) 15.2 dr. Widanto, SpBA(K)