PPK UTK Pku [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PLANTAR FASCIITIS KODE ICD : M72.2



1. Definisi Overuse injury akibat robekan mikro (microtears) yang berulang pada fascia plantaris. Secara klasik digambarkan sebagai reaksi peradangan lokal, meskipun penelitian terbaru telah menunjukkan ketiadaan relatif dari sel-sel inflamasi di jaringan yang terluka, hal ini menunjukkan lebih dari sekedar proses degeneratif, sehingga dianjurkan memakai istilah tendinosis dan fasciosis 2. Anamnesis - Nyeri tajam, nyeri seperti terkena pisau pada daerah plantar tumit di dasar insersi fasia ke calcaneus - Nyeri memburuk saat berdiri atau saat langkah awal, saat bangkit keposisi berdiri atau setelah lama duduk 3. Pemeriksaan Fisik - Palpasi : nyeri (tenderness) pada daerah munculnya fascia di tuberkulum kalkanealis medial, tapi tendernes dapat juga disepanjang plantar fascia - Keterbatasn ROM saat dorsofleksi akibat plantar fascia yang mengalami kekakuan serta kekakuan tendon achilles - Dorsofleksi dapat diuji dengan ekstensi lutut (knee straight) : gastrocnemius meregang dan dengan fleksi lutut (lutut ditekuk) : gastrocnemius rileks, soleus diregangkan/ streched) untuk membedakan ketegangan (tightness) dari otot-otot gastrocnemius dan soleus - Pemeriksaan neurologis harus dapat menggambarkan kekuatan otot normal, sensasi, dan refleks tendon dalam, kecuali jika ada neuropati 4. Kriteria Diagnosis/ Klasifikasi - Anamnesis : adanya nyeri didaerah plantar - Pemeriksaan fisik : nyeri tekan daerah plantar - Pemeriksaan penunjang : foto polos ankle foot 5. Diagnosis Banding - Inflamasi : Juvenile rheumatoid arthritis, rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, reiter’s syndrome, gout (pirai), diffuse idiopathic skeletal hyperostosis, psoriatic arthritis - Metabolik : migratory osteoporosis, osteomalacia - Degeneratif : osteoarthritis, atrophy of the heel fat pad - Nerve entrapment : tarsal tunnel syndrome, entrapment of the medial calcaneal branch of the posterior tibial nerve - Diagnosis lain : tumors, vascular compromise, infection 6. Pemeriksaan Penunjang - Radiologi : foto polos ankle foot, tampak adanya heel spur - Elektrodiagnostic (elektromiografi) : untuk membantu dalam mengesampingkan kemungkinan entrapment saraf



-



MRI dan USG Muskuloskeletal dapat membantu sebelum intervensi bedah dipertimbangkan; dapat menunjukkan pembengkakan didalam fascia 7. Terapi Tujuan : mengurangi nyeri dan memperbaiki biomekanik kaki yang salah Program : - OAINS/ NSAID - Injeksi steroid lokal (kombinasi 10-20mg triamsinolon (kenalog) dan 4 ml lidocain 1% - Kompres es saat ada tanda peradangan - US - Ankle pumping exercise Pembidaian/ splinting pada malam hari pada bagian posterior untuk kasus-kasus resisten : posisi kaki dorsofleksi maksimum setiap malam dan dikenakan sepanjang malam selama 2 sampai 3 minggu 8. Edukasi - Elevasi saat duduk atau tidur : untuk mengurangi peradangan lokal dan pembengkakan - Pemakaian alas kaki yang empuk terutama saat berdiri lama - Latihan peregangan dan penguatan tungkai bawah, paha, pinggul, punggung selama 30 dtk, 10x/hari - Latihan penguatan otot intrinsik kaki - Latihan aerobik untuk meminimalkan efek dekondisi (deconditioning) dengan berjalan atau berenang dikolam renang maupun bersepeda dengan resistensi yang rendah 9. Prognosis Baik dengan penanganan yang baik, meskipun dapat menyebabkan kerusakan dan degeresai fascia yang menetap/ irreversible 10. Kepustakaan - Slovik DM, Sokolof, Plantar Fasciitis. In : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation 2nd ed. Saunders publishing, Philadelphia; 2008 : 469-474 - Hansen PA, Willick SE. Musculoskeletal Disorders of the Lower Limb. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011 : 843-870



FROZEN SHOULDER (ADHESIVE CAPSULITIES) KODE ICD : M75.0



1. Definisi Suatu penyakit yang idiopatik, progresif, yang menyebabkan keterbatasan ROM aktif maupun pasif, onsetnya tiba tiba dan melewati 3 fase (fase sangat nyeri, fase beku atau adhesif, dan fase resolusi. Biasanya berlangsung 1-2 tahun. 2. Anamnesis Adanya keluhan nyeri dan keterbatasan lingkup gerak sendi 3. Pemeriksaan Fisik - Pada fase sangat nyeri terjadi penurunan ROM aktif dan pasif - Nyeri pada setiap gerakan terutama gerakan rotasi eksternal dan abduksi - Test khusus : Apley Scratch test, Yergason test, Mosley test 4. Kriteria Diagnosis/ Klasifikasi Kriteria diagnosis : - Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang Ada 3 fase : - Fase sangat nyeri : nyeri progresif, bertambah berat saat malam hari dan setelah aktivitas leher - Fase adhesif : nyeri berkurang, menurunnya ROM disetiap bidang gerak, terjadi kekakuan pada ROM aktif dan pasif - Fase resolusi : ditandai peningkatan secara bertahap ROM normal tanpa nyeri 5. Diagnosis Banding - Osteoarthritis - Tendinitis bicipitalis - Rotator cuff syndrome - Impingement syndrome of shoulder - Bursitis of shoulder 6. Pemeriksaan Penunjang - X-photo polos - CT Scan - Bone scan - Arthrography - Arthroscopy - MRI - Laboratorium 7. Terapi Tujuan : mengurangi nyeri, inflamasi, dan peningkatan ROM disemua bidang Program : FT : - Pada awal nyeri dan inflamasi : kompres es, TENS, obat-obat anti inflamasi,



-



OAINS/ NSAID Injeksi steroid lokal (kombinasi 10-20mg triamsinolon (kenalog) dan 4 ml lidocain 1% - Kompres es saat ada tanda peradangan - aktivitas - Setelah inflamasi mereda bisa diberikan alat modalitas TENS untuk meredakan nyeri - Perbaikan ROM : latihan pendulum, peregangan melewati kepala dan adduksi silang pada sisi yang terkena - Setelah terjadi perbaikan, diajarkan latihan yang lebih rinci dari latihan untuk meningkatkan ROM, latihan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan, serta latihan sesuai fungsi normal secara bertahap OT : - Mempertahankan dan meningkatkan ROM, meningkatkan kekuatan otot, memperbaiki kemampuan ADLdengan alat alat permainan seperti : bola, macramé, menggosok punggung dengan handuk, permainan kerucut OP : Sling, Bidai 8. Edukasi Edukasi yang diberikan pada pasien - Gangguan atau penyakit yang diderita beserta prognosisnya - Program rehabilitasi dilakukan secara teratur sampai fungsional tercapai - Pencegahan komplikasi 9. Prognosis Baik kalau segera ditangani dan melakukan latihan secara teratur Pembedahan : manipulasi dibawah anestesi dilakukan jika konservatif gagal 10. Kepustakaan - Krabak BJ, Banks NL. Adhesive Capsulitis. In : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition. Saunders publishing, Philadelphia; 2008 : 49-54 - Finnoff JT. Musculoskeletal Disorders of Upper Limb. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011 : 817-42



SPONDILITIS ICD :M.45



Definisi Inflamasi pada tulang belakang yang bisa disebabkan oleh beberapa hal, misalnya proses infeksi, imunitas. 2.



Anamnesis Riwayat nyeri punggung (low back pain), nyeri dada, nyeri persendian, penyakit penyerta (TB Paru), faktor resiko, riwayat penyakit keluarga, kelemahan/ kelumpuhan anggota gerak/ gangguan fungsi berkemih dan buang air besar.



3.



Pemeriksaan Fisik - Pemeriksaan fisik umum (sikap/ postur tuubuh, mobilitas tulang belakang, ekspansi dada, enthesitis, sacrolitis) - Tanda – tanda vital - Pemeriksaan khusus Muskuloskleletal : level skeletal (pada tulang belakang), cedera skeletal lain Neurologi : level neurologis, Lain2 : sistem otonomik, kardiorespirasi, gastrointestinal, genitourinaria, integumentum - Pemeriksaan fungsional : SCIM (Spinal Cord Independent Measure) 4.



Kriteria Diagnosis / Klasifikasi Ankylosing Spondilitis Menentukan diagnosis AS menurut Kriteria New York Modifikasi kriteria New York (1984) terdiri dari : 1) Nyeri pinggang paling sedikit berlangsung selama 3 bulan, membaik dengan olah raga dan tidak menghilang dengan istirahat. 2) Keterbatasan gerak vertabra lumbal pada bidang frontal maupun sagital. 3) Penurunan relatif derajat ekspansi dinding dada terhadap umur dan jenis kelamin. 4) Sacroiliitas bilateral grade 2-4. 5) Sacroiliitis unilateral grade 3-4. Diagnosis ankylosing spondylitis definitif apabila terdapat sacroiliitis unilateral grade 3-4 atau sacroiliitis bilateral grade 2-4 disertai dengan salah satu gejaia klinis di atas Menentukan grade nya yaitu : Grade 0 = normal spine; Grade 1 = indicates suspicious changes; Grade 2 = indicates sclerosis with some erosion; Grade 3 = indicates severe erosions, pseudodilatation of the joint space, and partial ankilosis; Grade 4 = denotes complete ankylosis.



Spondilitis Tuberkulosis 5.



Banding Fraktur Kompresi traumatik Tumor tulang



6.



Penunjang Laboratorium darah & urin rutin Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum, creatinin urinalisa), Tes HLA – BR 27, tes tuberkulin Radiologi : foto polos tulang belakanag, CT-Scan, MRI



7.



Terapi Ankylosing Spondilitis - Nonmedikamentosa Mobilitas yang baik dan teratur (olahraga dan latihan) Penerangan/penyuluhan, Radio terapi Operatif - Medikamentosa OAINS Bisa menggunakan Indometacyn, naproxen ataupun ibuprofen. Sulfasaladzin Spondilitis Tuberkulosis 1) Terapi Konservatif Bed rest untuk mencegah paraplegia dan pemberian tuberkulostatik. Dengan memberikan corset untuk mencegah atau membatasi gerak vertebrae. 2) Medikamentosa OAT 3) Terapi Operatif 8.



Edukasi Edukasi yang diberikan pada pasien dan keluarga - Gangguan atau penyakit yang diderita beserta prognosisnya - Tahapan program rehabilitasi yang akan dilakukan - Pencegahan komplikasi Modifikasi lingkungan



9.



Prognosis Sesuai dengan level dan beratnya penyakit



10.



Kepustakaan Louis Solomon. Apley’s system of Orthopaedics and Fractures. 9 th Ed. 2010



HERNIA NUCLEUS PULPOSUS LUMBAL KODE ICD -10 : M54.1



1. Definisi Lumbar radikulopathy merujuk kepada suatu proses patologis ( diskus intervertebralis yang mengalami degenerasi) yang mengenai akar saraf 2. Anamnesis Nyeri punggung yang menjalar ke ekstremitas bawah, kelemahan otot, riwayat inkontinensia, riwayat disfungsi ereksi 3. Pemeriksaan Fisik - Pemeriksaan fisik umum - Tanda-tanda vital - Pemeriksaan khusus : - Muskuloskeletal & saraf perifer, asimetri pinggang atau pelvis, evalusi gerakan punggung dan gejala radikular, MMT, Laseque test, pemeriksaan rectal dan perianal,uji sensorik inguinal 4. Kriteria Diagnosis/ Klasifikasi HNP dibagi : - Herniated disk - Herniated disk pulposus - Disk protrusion - Disk bulge - Ruptured disk - Prolapsed disk 5. Diagnosis Banding Radiculopathy karena sebab yang lain 6. Pemeriksaan Penunjang Radiologi : foto polos untuk menyingkirkan kemungkinan bony injury atau metastatik MRI EMG 7. Terapi Fase awal : Tirah baring 2x 24 jam Medikamentosa : NSAIDs Terapi modalitas untuk fase akut Pemakaian ortosis Proper body mechanics



Fase lanjutan :



-



Terapi modalitas Back exercise Proper body mechanics



8. Edukasi Edukasi untuk pasien dan keluarga - Melakukan exercise secara rutin - Menjaga postur yang baik - Melakukan proper body mechanic 9. Prognosis Dubia ad bonam 10. Kepustakaan Barr KP, Harrast MA, Low Back Pain In Physical Medicine and Rehabilitation, Third Ed, Saunders, 2011.



LOW BACK PAIN KODE ICD 10 : M54.5



1. Definisi Nyeri yang dirasakan didaerah punggung bagian bawah yaitu diantara iga terbawah sampai lipatan gluteal 2. Anamnesis - Menanyakan lokasi nyeri - Karakter nyeri - Tingkat keparahan nyeri - Waktu : onset, durasi, frekuensi - Faktor pemicu - Pekerjaan - Aktivitas sehari-hari 3. Pemeriksaan Fisik Observasi - Postur : anterior, posterior, lateral - Deformitas tulang belakang - Kulit : psoriasis, atau penyakit vaskuler yang menimbulkan nyeri - Pola jalan Palpasi - Tulang - Otot : trigger point, spasme, tonus Gerakan - ROM Spine : forward flexion, extension, side bending, rotasi - Ekstremitas Test Neurologis - MMT : miotom L1-S1 - Sensibilitas; dermatom L1-S1 - Reflex - Keseimbangan dan koordinasi Low Back Maneuver - SLR - Kernig test - Pelvic rock test - Gaenslen sign Patrick-Contra Patrick 4. Kriteria Diagnosis/ Klasifikasi Kriteria diagnosis : Anamnesis; Pemeriksaan fisik; Pemeriksaan penunjang Klasifikasi :



1.



Mekanikal (strain dan sprain lumbal, proses degeneratif diskus dan facet, herniasi diskus,



stenosis spinal, fraktur kompresi osteoporotik, spondilolistesis, fraktur traumatik, penyakit kongenital 2. Non Mekanikal (neoplasia, infeksi, osteomyelitis, abses epidural, abses paraspinal, penyakit pott, arthritis inflamatorik, ankylosing spondilytis, psoriatic spondilitis, sindroma reiter, penyakit paget tulang Penyakit organ visceral (Penyakit organ-organ pelvis : prostatitis, endometriosis; Penyakit ginjal : nefrolitiasis, pielonefritis, abses perineprik; Aneurisma aorta; Penyakit gastro intestinal : pankreatitis, kolelitiasis 5. Diagnosis Banding - Viserogenik - Vaskulogenik - Psychogenik - Neurogenik - Spondilogenik 6. Pemeriksaan Penunjang Radiologik - Foto polos - Mielografi, Mielo-CT, CT-Scan, MRI - Diskografi Laboratorium LED, DL, UL 7. Terapi Tujuan : mengurangi nyeri, meningkatkan kekuatan otot-otot trunkus dan panggul, meningkatkan stabilitas lumbal, mengurangi spasme otot lumbal Program Manajemen Konservatif LBP : - Edukasi, konseling (fisik, okupasi, vokasional, psikososial) - Terapi obat : parasetamol, OAINS, muscle relaxan, anti depresan - Terapi suntikan : 1% xylocaine, kortikosteroid  trigger point injection - Modalitas fisik : - Orthosis : LSO bila perlu - Terapi latihan : Peregangan otot-otot lumbal dan panggul + ROM exercise Penguatan otot ekstensor trunkus + panggul Latihan stabilisasi lumbal - Okupasi : body mechanics dan posture training 8. Edukasi Edukasi yang diberikan pada pasien dan keluarga - Gangguan atau penyakit yang diderita beserta prognosisnya - Tahapan program rehabilitasi yang akan dilakukan - Pencegahan komplikasi - Modifikasi lingkungan 9. Prognosis Dengan menghindari faktor resiko, melakukan latihan penguatan otot-otot trunkus dan abdomen,



proper activities dan mencegah kondisi akut menjadi kronis pada umumnya baik



10. Kepustakaan - Abd OE. Low Back Sprain or Strain. In : frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Essentials of Physival Medicine and Rehabilitation, second edition. Saunders publishing, Philadelphia; 2008: 247-52 - Barr KP, Harrast MA. Low Back Pain. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011: 871-912



KNEE LIGAMENT INJURY Lateral Collateral Ligament Injury ICD : S83.4



1. Definisi Trauma pada ligament collateral lateral dari lutut yang dapat disebabkan oleh varus stress, rotasi lateral dari lutut ketika menopang tubuh atau ketika LCL kehilangan elastisitasnya karena tekanan yang berulang. 2



Anamnesis Nyeri di lutut terutama di bagian luar atau dalam lutut, Instabilitas lutut.( perasaan lutut bergeser saat untuk jalan.)



3. Pemeriksaan Fisik l : bengkak, memar, stiffnes, eritema (setelah beberapa hari) atau deformitas dari knee. F : tenderness, hangat dan bengkak. untuk menentukan beratnya dan laxity dari lutut , dapat dilakukan dengan varus test. Untuk menentukan apakah derajat 2 atau 3, dapat dilakukan dengan melakukan test pada posisi ekstensi. Pada grade 3 , lutut akan tampak laxity, sementara grade 2 tidak. Pada grade 3 tidak akan dapat melakukan fleksi 30 derajat. Ketika varus test dilakukan juga dapat dilakukan evaluasi dari struktur sisi posterolateral dan ligament cucriatum. Trauma pada ligament collateral lateral dapat dibagi menjadi grade I, II dan III. Grade I: - tenderness ringan dan nyeri ringan pada ligamentum collateral lateral Biasanya tidak bengkak. Varus test pada 30 derajat biasanya nyeri tetapi tidak menunjukkan kelenturan (laxity < 5mm) Grade II: - tenderness signifikan dan nyeri pada collateral ligament lateral dan pada sisi media lutut. Bengkak pada area ligament. varus test sangat nyeri dan kelenturan pada sendi . ( 5-10 mm) Grade III: Nyeri dapat bervariasi dan dapat kurang dari grade 2. Tenderness dan nyeri pada sisi medial dari lutut dan pada trauma. Varus test menunjukkan kelenturan sendi signifikan ( >10mm) Merasa lutut sangat tidak stabil. Bengkak. 4. Diagnosis Banding Injury at the posterolateral corner - PCL tear - MCL tear - ACL tear - Meniscus tear/ injuries



- Chondral injury - Tibial Plateau Fractures - Patellar/ knee dislocation - Popliteus avulsion - Iliotibial Band Syndrome - Biceps femoris tendinitis



5. Pemeriksaan Penunjang Foto radiologi lutut MRI 6. Terapi Terapi Non Surgical Ice. diberikan es penting untuk proses penyembuhan luka. Diberikan selama 15 – 20 menit. Bracing Brace direkomendasikan untuk melindungi ligament yang putus dari tekanan. Lutut harus diproteksi dari gaya dari sisi yang lain dari trauma. Pasien harus merubah activitas sehari –hari untuk menghindari gerakan yang berisiko. Fisioterapi. Strengthening exercize . untuk mengembalikan kekuatan lutut dan kekeuatan otot-otot kaki yang mensupportnya. Terapi Bedah Sebagian besar cedera ligament collateral dapat diterapi tanpa pembedahan. Jika ligament collateral putus maka direkomendasikan untuk dilakukan pembedahan. 7. Edukasi Pasien harus merubah activitas sehari –hari untuk menghindari gerakan yang berisiko memperparah cedera ligament yang sudah terjadi. 8. Prognosis Baik 9. Kepustakaan



 



Thomas M DeBerardino, MD; Chief Editor: Craig C Young, MD . “Medial Collateral Knee Ligament Injury”. http://emedicine.medscape.com. Steven L. Haddad, MD. “Collateral Ligament Injuries”. http://orthoinfo.aaos.org.



KNEE LIGAMENT INJURY Medial Collateral Ligament Injury ICD : S83



1.



Definisi Cedera pada Ligament Collateral Medial yang biasanya terjadi ketika lutut memutar tajam atau membungkuk ke dalam di luar kisaran l gerakan normal.



2



Anamnesis  Nyeri di lutut terutama di bagian luar atau dalam lutut,  Instabilitas lutut.( perasaan lutut bergeser saat untuk jalan.)  Ter dengar bunyi “pop” pada saat cedera (biasanya saat memotong, melompat, atau memutar). Ketidakmampuan untuk melakukan olahraga atau kegiatan di mana cedera terjadi. Pembengkakan dan memar (setelah 24 jam) di daerah cedera dengan pembengkakan dan memar sering memanjang samapi kaki di bawah lutut.  Pincang dengan lutut ditekuk sedikit.



3.



Pemeriksaan Fisik  Memar focal atau nyeri yang terlokalisir setelah mengalami trauma rotasi eksternal atau gaya valgus pada lutut  Pemeriksaan valgus stress test dengan posisi lutut fleksi 30˚



4.



Kriteria Diagnosis / Klasifikasi Trauma pada ligament collateral medial dapat dibagi menjadi grade I, II dan III. Grade I Trauma ligamen relatif kecil. Beberapa serat yang meregang. Hal ini dianggap sebagai "keseleo". Grade II Trauma ligamen lebih parah. Beberapa serat yang robek. Ini disebut "air mata parsial". Grade III ini adalah cedera MCL yang paling parah. Serat ligamen-benar robek. Hal ini disebut sebagai "air mata lengkap".



5.



Diagnosis Banding Injury at the posterolateral corner - PCL tear - MCL tear - ACL tear - Meniscus tear/ injuries - Chondral injury - Tibial Plateau Fractures - Patellar/ knee dislocation



- Popliteus avulsion - Iliotibial Band Syndrome - Biceps femoris tendinitis



6.



Pemeriksaan Penunjang Foto radiologi lutut MRI



7.



Terapi  Terapi pada cedera MCL terisolasi sebagian besar bersifat non operatif dan terdiri dari proteksi terhadap gaya valgus dan early motion.  Cedera grade I dan II dapat diterapi dengan penggunaan gips atau brace dan pembebanan secara bertahap sesuai kemampuan. Umumnya gerakan lutut dimulai dalam minggu pertama atau kedua, dan penyembuhan akan berjalan lebih cepat bila dilakukan early mobilization  Sebagian besar penanganan cedera MCL grade III bersifat non operatif, namun pada keadaan tertentu dimana terdapat cedera multiligamen, atau terdapat fraktur avulsi tibia akibat tarikan MCL, maka tindakan operatif lebih disarankan



8.



Edukasi Pasien harus merubah activitas sehari –hari untuk menghindari gerakan yang berisiko memperparah cedera ligament yang sudah terjadi.



9.



Prognosis Baik



10 .



Kepustakaan  Thomas M DeBerardino, MD; Chief Editor: Craig C Young, MD . “Medial Collateral Knee Ligament Injury”. http://emedicine.medscape.com  Steven L. Haddad, MD. “Collateral Ligament Injuries”. http://orthoinfo.aaos.org.



OSTEOMYELITIS CLINICAL PATWAY ICD : M86.9



1.



Definisi Osteomyelitis adalah infeksi pada tulang, di mana organsime etiologinya paling banyak adalah Staphylococcus aureus



2.



Anamnesis Pasien mengeluhkan dengan nyeri yang terlokalisir, bengkak, disertai dengan demam, menggigil, malaise



3.



Pemeriksaan Fisik Didapatkan takikardia, peningkatan suhu, terdapat perih di dekat salah satu sendi besar, pada manipulasi didapatkan nyeri dan pergerakan sendi menjadi terbatas. Kemerahan, oedema juga didapatkan



4.



Kriteria diagnostik/klasifikasi - Acute Osteomyelitis - Sub acute Osteomyelitis - Chronic Osteomyelitis



5.



Diagnosis Banding Cellulitis; Acute Supurative Arthritis; Acute Rheumatism; Sickle-cell Crisis; Gaucher’s disease



6.



Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium; Foto Ro Plain; Ultrasonography; Radionuclide scanning; Magnetic Resonance Imaging



7.



Terapi 1. Eneral Supportive treatment Diberikan analgesic untuk mengurangi nyeri; diberikan cairan infus untuk mengatasi dehidrasi akibat septikemia/demam yang terjadi pada pasien 2. Splintage - Diberikan untuk mencegah kontraktur pada sendi 3. Antibiotik Diberikan Antibiotik berdasarkan hasil kultur dari darah atau materi yang diaspirasikan dari pus 4. Surgical Drainage - Dilakukan drainase pembedahan, apabila tidak ada perbaikan pada kondisi pasien dalam waktu 36 jam, atau ada tanda-tanda pus yang dalam



8.



Edukasi Menjelaskan ke keluarga pasien mengenai keadaan pasien, sakit yang diderita pasien, terapi



yang hendak diberikan, dan menjelaskan prognosis dari penyakit yang diderita pasien 9.



Prognosis Prognosis dari osteomyelitis ini adalah baik bila dari awal diagnosis ditegakkan, terapi dengan antibiotik sudah dilakukan



10 .



Kepustakaan Apley’s: System of Orthopaedics and Fr



KELAINAN DISKUS INTERVERTEBRAL LUMBAL (Lumbal Intervertebral Disc Disorder), KODE  ICD M. 51.9



  1.            Pengertian   Kelainan diskus intervertebral lumbal atau lumbal intervertebral disc disorder adalah suatu bulging, protrusi, ekstrusi atau sekuestrasi dari diskus lumbal yang sering menyebabkan nyeri pinggang. Material dari diskus tersebut dapat berupa elemen dari nukleus pulposus, annulus fibrosis atau keduanya.   Gejala yang ditimbulkan dari penekanan diskus tersebut lebih sering pada bagian posterolateral diskus tetapi bagian tengah juga dapat terjadi. Herniasi dari diskus tidak secara langsung menyebabkan nyeri atau asimtomatik. Proses nyeri yang terjadi akibat kelainan diskus melibatkan proses secara biokimia dan mekanikal.   2.              Anamnesis   Perjalanan penyakit akibat kelainan diskus intervertebral lumbal tersebut sangat bervariasi, tetapi pasien dengan kondisi tersebut memiliki waktu penyembuhan lebih lambat dibandingkan dengan kondisi nyeri punggung bawah yang tidak spesifik. Pada sebuah studi dikatakan bahwa pasien dengan kondisi ini tidak memerlukan operasi segera, 87% diantaranya hanya mendapatkan obat analgesik oral dan nyeri berkurang dalam 3 bulan terakhir.   Kondisi klinis yang sering dikeluhkan oleh sebagian besar penderita adalah nyeri pada punggung, kemudian dapat diikuti dengan parastesia pada penjalaran saraf skiatika yang nyerinya dirasakan sampai dibawah lutut. Oleh karena itu gejala sensorik yang dirasakan tipikal sesuai dermatom terhadap distrubusi saraf yang terkena. Kadang nyeri tersebut mengalami peningkatan intensitas pada saat batuk, bersin dan ketegangan.   Kondisi yang dapat terjadi walaupun jarang ketika terjadinya penekanan diskus pada kauda equina yang menyebabkan gangguan satu sisi atau kedua penjalaran saraf skiatika, kelemahan anggota gerak dan inkontinensia atau retensi urin.



3.              Pemeriksaan Fisik   Setelah didapatkan data dari anamnesa, pemeriksaan fisik yang dilakukan memiliki akurasi sedang dalam menegakan diagnosis. Tes Laseque atau straight leg raising test untuk melihat kompresi radiks saraf secara luas digunakan. Dikatakan tes tersebut positif apabila timbul nyeri akibat iritasi skiatika pada sudut antara 30-70 derajat. Ipsilateral tes laseque adalah sensitif tetapi tidak spesifik, sedangkan  positif kontralateral tes laseque  memiliki hasil spesifik tetapi tidak sensitif.   Pada sebuah data studi operasi saraf skiatika, didapatkan 95% kelainan diskus terdapat antara saraf L4-L5 atau L5-S1 sehingga pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat difokuskan pada penjalaran saraf L5 dan S1. Temuan pemeriksaan yang didapatkan seperti adanya kelemahan motorik, terdapat atrofi otot atau penurunan refleks.  



4.              Kriteria diagnosis



  Diagnosis ditegakkan berdasarkan data yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Perjalanan penyakit yang didapatkan dari anamnesis biasanya sudah cukup untuk mengarahkan terhadap diagnosis diatas. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) diperlukan jika kondisi pasien tidak mengalami perbaikan dalam 4 sampai 6 minggu dengan pengobatan konservatif, adanya defisit yang progresif dan berat atau menyingkirkan kemungkinan lain seperti infeksi atau tumor.  



5.              Diagnosis Banding



  ·         Lumbar spinal stenosis ·         Lumbosacral strain ·         Myofascial syndrome ·         Spondylolysis, spondylolisthesis ·         Tumor medula spinal



6.              Pemeriksaan Penunjang  



Foto ronsen polos tidak dapat menunjukkan adanya kelainan diskus, tetapi membantu menyingkirkan adanya tumor, fraktur infeksi dan spondilolistesis. Sebagian besar guideline menyarankan foto ronsen polos lumbal hanya pada pasien dengan risiko tinggi penyakit sistemik seperti riwayat tumor atau pasien dengan menggunakan obat glukokortikoid.   Penggunaan CT dan MRI dapat mengukung diagnosis kelainan diskus. Tidak disarankan penggunaan rutin CT dan MRI pada pasien dengan nyeri punggung bawah. Adanya bulging diskus sebesar 60% ditemukan pada asimtomatik pasien dan didapatkan protrusi diskus 36%  pada usia diatas 50 tahun.   Pemeriksaan electromyography biasanya tidak perlu dilakukan, walaupun pemeriksaan ini dapat membantu penegakan diagnosis pada pasien yang ambigus atau tidak jelas gejala dan temuan pemeriksaan CT atau MRI.   7.              Tatalaksana   Pencegahan :   ·         Posisi duduk yang baik ·         Memperbaiki posisi tubuh saat mengangkat barang ·         Tidur di alas yang datar ·         Olahraga



Algoritma Tatalaksana Kelainan diskus Intervertebral Lumbal  



Obat-‐obatan :   Obat Analgesik Ibuprofen



Rentang            Dosi s mg/hari Dewasa:    200-400    mg,



 



Frekuensi dosis 3-4 kali sehari



Keterangan Ibu hamil dan



 



 



 



 



menyusui tidak dianjurkan. Hati-hati untuk



 



 



 



 



usia > 65



 



 



maksimal 2400 mg/hari



 



 



Dewasa:  maksimal 4000 mg/hari



Parasetamol  



 



 



 



 



tahun. Aman untuk ibu hamil dan



3-4 kali sehari



 



 



 



 



menyusui



 



 



 



 



Hati-hati pada



 



 



 



 



pasien



 



 



 



 



gangguan



 



 



 



 



fungsi hati



 



   



8.             Edukasi ·         Kondisi istirahat total tidak secara terus menurus dianjurkan kecuali dalam kondisi nyeri hebat ·         Posisi tidur telentang untuk mengurangi gejala nyeri ·         Jika nyeri menetap dalam 6 bulan dan ditemukan adanya kelainan  pada MRI yang berhubungan, operasi dapat merupakan sebuah pilihan terapi



 



9.             Prognosis Ad Vitam    : Bonam Ad Sanationam      : Bonam Ad Fungsionam     : Dubia ad bonam  



10.                            Kewenangan berdasar Tingkat Pelayanan Kesehatan  



·         Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer -        Tatalaksana oleh dokter di layanan primer -        Rujukan ke Spesialis Saraf sesuai algoritma tatalaksana



·         PPK 2 (RS tipe B dan C) : Talaksana medis dan intervensi invasif minimal sesuai dengan ketersediaan fasilitas ·      PPK 3 (RS tipe A) : Talaksana medis komprehensif, intervensi invasif minimal, dan operatif



  11.     Kepustakaan 1.                Deyo RA, Mirza SK. Herniated lumbal intervertebral disk. N ENGL J MED. 2016 2.                Baldwin JF. Lumbar (Intervertebral) Disk Disorders. Emedicine. 2016



Spinal  Stenosis Lumbalis M48.0   1.        Pengertian



Spinal stenosis merupakan suatu kondisi penyempitan kanalis spinalis atau foramen intervertebralis disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar dari foramen tersebut. Spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan, yang merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada populasi usia lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun.   2.        Anamnesis ·        Nyeri pada ekstremitas bawah (71%) dapat berupa rasa terbakar yang hilang timbul, kesemutan, dan berat di bagian posterior atau posterolateral tungkai atau kelemahan (33%) yang menjalar ke ekstremitas bawah, memburuk dengan berdiri lama, beraktivitas, atau ekstensi lumbar, gejala tersebut membatasi pasien untuk berjalan (neurogenik klaudikasi 94%, bilateral 69%) ·        Nyeri pada ektemitas bawah biasanya berkurang pada saat duduk, berbaring, dan posisi fleksi lumbar. ·        Pada sentral stenosis, fleksi pada pergelangan kaki dan lutut dapat berkurang atau timbul nyeri, pada lateral stenosis pasien masih bisa berjalan normal dan tidak nyeri hanya saja nyeri timbul pada saat istirahat dan malam hari. ·        Gejala yang dirasakan tiap pasien berbeda tergantung pola dan distribusi stenosis. ·        Gejala bisa berhubungan dengan satu akar saraf pada satu level. Misalnya akar saraf L5 pada level L4-L5, atau beberapa akar saraf pada beberapa level dan sering tidak jelas tipenya dan gejalanya kadang tidak sesuai dengan akar saraf yang terkena.. Gejala dapat asimetris, dan tidak konsisten, bervariasi setiap hari dan tidak sama dari sisi ke sisi, seperti kram, nyeri tumpul, dan  paraestesia difus. Gejala bertambah saat spina ekstensi dan berkurang saat spina fleksi. ·        Gaya berjalan pasien dengan lumbar stenosis cenderung stopped forward, mula- mula pasien bisa berjalan, namun lama kelamaan timbul nyeri dan kelemahan, setelah istirahat (duduk)



pasien bisa berjalan kembali dengan kekuatan normal, namun lama kelamaan timbul kelemahan lagi.



·        Sensoris dapat berkurang pada tes pinprick dan sentuhan ringan mengikuti  pola dermatom,  



3.        Pemeriksaan Fisik Pasien biasanya hadir dengan konstelasi gejala yang termasuk nyeri punggung bawah, nyeri kaki (unilateral atau bilateral), dan gangguan usus serta kandung kemih. Presentasi klasik nyeri kaki yang terkait dengan berjalan dan yang hilang dengan istirahat (klaudikasio neurogenik). Ketika pasien membungkuk ke depan, rasa sakit berkurang. kstensi pada bagian lumbar dapat berkurang Temuan positif lainnya termasuk terjadinya perubahan posisi dari lumbar lordosis dan forward- flexed gait. sendi Charcot dapat terjadi pada jangka lama. hasil positif pada stoop test, hal ini dilakukan dengan pasien berjalan dengan posisi lumbar lordosis sampai gejala klaudikasio neurologi muncul. Pasien kemudian diberitahu untuk bersandar ke depan. Apadabila terjadi pengurangan gejala maka dapat dikatakan hasil positif.  



4.        Kriteria Diagnosis Memenuhi kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang



    5.    Diagnosis Banding ·      Rematologi - Ankylosing spondylitis / spondyloarthropathy ·      Infeksi - Epidural, subdural, intradural abses; diskitis; penyakit Pott ·      Metabolik - Osteomalasia, penyakit paratiroid ·      Trauma - Regangan Lumbar ·      Perkembangan / bawaan - Scoliosis ·      Vascular - penyakit pembuluh darah perifer (dengan klaudikasio vaskular), diseksi aorta abdominal ·      Psikogenik - gangguan Konversi, berpura-pura sakit ·      Lainnya - kanker payudara metastatik, penyakit Paget



  6.    Pemeriksaan Penunjang ·      Foto polos x-ray Lumbosacral



Penemuan radiografi yang mengarahkan kecurigaan kepada lumbal stenosis degeneratif  adalah  pada  keadaan  spondilolistesis  degeneratif  dan     skoliosis



degeneratif. Untuk pasien dengan spondilolistesis degeneratif foto polos posisi lateral dibuat dengan pasien dalam posisi berbaring dan spina dalam keadaan fleksi dan ektensi, bending kanan kiri, bertujuan untuk melihat pergeseran abnormal pada segmen yang terlibat. Untuk skoliosis degenerative foto polos AP/lateral dibuat pada plat yang panjang, pasien dalam posisi berdiri, bertujuan untuk menentukan rentangan kurva S, dan keseimbangan antara bidang coronal dan sagital, karena ketidakseimbangan di tiapsegmen menjadi tujuan terapi operatif.  



·      CT Scan



CT Scan sangat bagus untuk mengevaluasi tulang, khususnya di aspek resesus lateralis. Selain itu dia bisa juga membedakan mana diskus dan mana ligamentum flavum dari kantongan tekal (thecal sac). Memberikan visualisasi abnormalitas facet, abnormalitas diskus lateralis yang mengarahkan kecurigaan kita kepada lumbar stenosis, serta membedakan stenosis sekunder akibat  fraktur.  



·      MRI



MRI adalah pemeriksaan gold standar diagnosis lumbar stenosis dan perencanaan operasi. Kelebihannya adalah bisa mengakses jumlah segmen yang terkena, serta mengevaluasi bila ada tumor, infeksi bila dicurigai. Selain itu bisa membedakan dengan baik kondisi central stenosis dan lateral stenosis. Bisa mendefinisikan flavopathy, penebalan kapsuler, abnormalitas sendi facet, osteofit, herniasi diskus atau protrusi. Ada atau tidaknya lemak epidural, dan kompresi teka dan akar saraf juga bisa dilihat dengan baik. Kombinasi potongan axial dan sagital bisa mengevaluasi secara komplit central canal dan neural foramen.  



7.    Tatalaksana A.  Konservatif ·       Edukasi ·       Analgetik dan OAINS ( Obat Anti Inflamasi Non Steroid)



Obat-obatan ini diberikan dengan tujuan mengurangi nyeri inflamasi sehingga mempercepat kesembuhan. Terdapat bukti-bukti klinis yang kuat bahwa analgetik dan OAINS bermanfaat untuk NPB akut  OAINS



yang banyak dipakai adalah : natrium/kalium diklofenak, ibuprofen, etodolak, deksketoprofen dan celecoxib. OAINS terbukti lebih unggul daripada analgetik dalam menghilangkan nyeri tetapi kemungkinan timbulnya efek samping lebih banyak terutama efek samping pada sistem gastro-intestinal. Tidak ada perbedaan yang bermakna efikasi antara OAINS yang satu dengan yang lain. ·       Obat pelemas otot ( muscle relaxant )



Eperison, tizanidin, karisoprodol,  diazepam dan siklobenzaprin ·       Opioid



Obat ini cukup efektif untuk mengurangi nyeri, tetapi seringkali menimbulkan efek samping mual dan mengantuk disamping pemakaian jangka panjang bisa menimbulkan toleransi dan ketergantungan obat. Disarankan pemakaiannya hanya pada kasus  yang berat ·       Kortikosteroid oral



Pemakaian kortikosteroid oral terbukti tidak efektif, pada pemakaian jangka panjang banyak efek sampingnya ·       Analgetik Ajuvan



Pada nyeri campuran dapat dipertimbangkan pemberian analgesik ajuvan seperti : anti konvulsan ( pregabalin, gabapentin, karbamasepin, okskarbasepin, fenitoin), anti depresan (amitriptilin, duloxetin, venlafaxin), penyekat alfa (klonidin, prazosin), opioid ( kalau sangat diperlukan), kortikosteroid (masih kontroversial). Kombinasi pregabalin dan celecoxib lebih efektif menurunkan skor nyeri ·       Suntikan pada titik picu



Cara pengobatan ini dengan memberikan suntikan campuran anestesi lokal dan kortikosteroid ke dalam jaringan lunak/otot pada titik picu disekitar tulang punggung, B.  Operatif ·    Indikasi operasi adalah gejala neurologis yang bertambah berat, defisit neurologis yang progresif, ketidakamampuan melakukan aktivitas sehari-hari dan menyebabkan penurunan kualitas hidup, serta terapi konservatif yang gagal. Prosedur yang paling standar dilakukan adalah laminektomi dekompresi



8.             Edukasi Berperan aktif dalam pengobatan, modifikasi aktivitas termasuk mengangkat beban dan  hiperekstensi  tulang belakang  



9.             Prognosis Ad vitam                                              : ad bonam Ad sanam                      : ad bonam Ad fucntionam    : ad bonam  bila dekompresi adekuat



  10.         Kewenangan berdasar Tingkat Pelayanan Kesehatan ·      Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer -          Skrining diagnostik -          Terapi pendahuluan dan merujuk ke dokter spesialis saraf



·      PPK 2 (RS tipe B dan C) : Talaksana medis dan intervensi invasif minimal sesuai dengan ketersediaan fasilitas ·      PPK 3 (RS tipe A) : Talaksana medis komprehensif, intervensi invasif minimal, dan operatif   11.         Kepustakaan 1.      Adam RD, Victor M, Ropper AH. Principles of neurology. 7th ed. McGraw Hill co. New York. 2005: 194-212. 2.      Amundsen T, Weber H, Lilleås F, Nordal HJ, Abdelnoor M, Magnaes B. Lumbar spinal stenosis. Clinical and radiologic features. Spine (Phila Pa 1976). May 15 1995;20(10):117886. 3.      Bernhardt M, Hynes RA, Blume HW, White AA 3rd. Cervical spondylotic myelopathy. J Bone Joint Surg Am. Jan 1993;75(1):119-28.Caputy AJ, Luessenhop AJ. Long-term evaluation of decompressive surgery for degenerative lumbar stenosis. J Neurosurg. Nov 1992;77(5):669-76 4.      Greenberg MS. Spinal stenosis. In: Handbook of Neurosurgery. Vol 1. Lakeland, Fla: Greenburg Graphics, Inc; 1997:207-217. 5.      Harkey HL, al-Mefty O, Marawi I, Peeler DF, Haines DE, Alexander LF. Experimental chronic compressive cervical myelopathy: effects of decompression. J Neurosurg. Aug 1995;83(2):336-41. 6.      Heller  JG.  The  syndromes  of  degenerative  cervical  disease.  Orthop  Clin North Am. Jul 1992;23(3):381-94.



7.      Kalichman L, Cole R, Kim DH, Li L, Suri P, Guermazi A, et al. Spinal stenosis prevalence and association with symptoms: the Framingham  Study. Spine J. Jul 2009;9(7):545-50. 8.      Keith L. Moore, Anne M R. Agur. Anatomi Klinis Dasar. 2002. Jakarta:Hipokrates. 9.      Luke A, Ma C. Chapter 41. Sports Medicine & Outpatient Orthopedics. In: Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW, eds. CURRENT Medical Diagnosis & Treatment 2013. New York: McGraw-Hill; 10.  McRae, Ronald. Clinical Orthopaedic examination. 2004. Fifth Edition: 151-152. 11.  Steven R. Garfin, Harry N. Herkowitz and Srdjan Mirkovic. Spinal Stenosis. Journal Bone Joint Surg Am. 1999; 81:572-86. 12.  White AA III, Panjabi MM. Clinical Biomechanics of the Spine. 2nd ed. Philadelphia, Pa: JB Lippincott; 1990:342-378