PPKN PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn) BERMUATAN GENERAL EDUCATION



Tim Penulis: Ria Fitri | Teuku Muttaqin Mansur | Ruslan Hasbi Ali | Basri Effendi, M Adli Abdullah



Penyunting : Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M. Si | Dr. Rusli Yusuf, M.Pd Dr. Dra. Sulastri, M. Si



SYIAH KUALA UNIVERSITY PRESS



Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Bermuatan General Education TIM PENULIS: Ria Fitri, S.H., M.Hum, Dr. Teuku Muttaqin Mansur, M.H, Ruslan, S.Pd, M.Ed, Hasbi Ali, S.Pd, M.Si, Basri Effendi, S.H., MKn



TIM PENYUNTING: Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si, Dr. Rusli Yusuf, M.Pd Dr. Dra. Sulastri, M.Si Penerbitan buku ini dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi melalui Program Hibah General Education Universitas Syiah Kuala2018 Cetakan pertama, Desember 2018 Desain cover, Muhammad Rifki, S.Pd ISBN : 978-623-7086-01-7



Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang: Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan dengan cara apa pun juga, baik secara mekanis maupun elektronis, termasuk fotocopy, rekaman, dan lain-lain tanpa izin tertulis dari Penerbit.



Diterbitkan oleh: Syiah Kuala University Press Darussalam-Banda Aceh, 23111 Email: [email protected] Telp. (0651) 801222 v, 324 hlm.; 16x23 cm



KATA SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS SYIAH KUALA Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt. karena dengan izin-Nya buku ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan (PPKn) Bermuatan General Education mampu diselesaikan oleh tim dosen Mata Kuliah Pendidikan dan Kewarganegaraan pada Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Umum (UPT MKU) Universitas Syiah Kuala. Shalawat teriring salam turut kita sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. beserta sahabat dan keluarga beliau sekalian. Perubahan sosial masyarakat, arus globalisasi dan revolusi industri 4.0 mendorong Univesitas Syiah Kuala terus melakukan inovasi-inovasi



pembelajaran



guna



menyesuaikan



diri



dengan



perkembangan zaman. Namun demikian, perkembangan zaman tidak boleh merusak tatanan hidup masyarakat Indonesia yang menganut nilai-nilai Pancasilais. Nilai-nilai Pancasila harus mampu diwujudkan dalam setiap gerak dan langkah masyarakatnya, termasuk bagi mahasiswa yang mengambil Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) di Universitas Syiah Kuala. Oleh karena itu, upaya pengembangan buku ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang inovatif dengan memasukkan nilai-nilai General Education (GE) ke dalam setiap materi pembelajaran patut diberikan apresiasi yang tinggi, utamanya dalam menopang pengaruh negatif dan terdegradasinya nilai-nilai pancasilais bagi generasi muda akibat arus globalisasi. iii



Akhirnya, saya mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Ketua UPT MKU Universitas Syiah Kuala, Koordinator GE MKWU Unsyiah, Tim Penulis buku ajar MKWU Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan semua pihak yang telah berpartisipasi terlaksananya buku ajar ini. Semoga bermanfaat. Wassalamu’alaikum warahmatullahiwabarakatuh, Darusslam, November 2018 Rektor,



Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal,M.Eng NIP. 196208081988031003



KATA PENGANTAR Pancasila dan Kewarganegaraan dewasa ini menjadi sorotan banyak pihak karena sering mengalami fluktuasi dalam pemahamannya sesuai dengan kondisi politik negara kekinian. Namun demikian, referensi tentang Pancasila dan Kewarganegaraan ini walaupun telah banyak ditulis oleh para pakar di bidangnya, akan tetapi masih terasa kurang. Oleh karena itu, penulisan buku ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bermuatan General Education (GE) ini merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk menunjang proses pembelajaran pada Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Umum (UPTMKU) Universitas Syiah Kuala dan memperkaya khasanah keilmuan baik di kalangan pengampu maupun mahasiswa. Dalam hal ini, menulis sebuah buku ajar yang berkualitas bukanlah pekerjaan yang mudah, karena bukan saja memerlukan waktu dan tenaga serta ketekunan, akan tetapi juga keahlian dari tim penulis. Buku ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bermuatan GE yang baik sekurang- kurangnya memerlukan dua kepakaran, yaitu ahli Pancasila dan Ilmu Kewarganegaraan. Namun demikian, Tim Penulis memberanikan diri dalam rangka melengkapi dan menambah referensi kepustakaan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Adapun maksud dan tujuan dari penulisan buku ajar ini untuk memfasilitasi mahasiswa sekaligus menjadi pegangan bagi pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada UPT-MKU Universitas Syiah Kuala. Dalam buku ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bermuatan GE ini terdapat beberapa pembahasan yang terbagi atas beberapa bab. Bab Pertama berjudul Ideologi Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara berisi Hakekat Ideologi dan Proses v



Perumusan Pancasila sebagai Ideologi Negara sebagaimana diuraikan pada bab pertamanya. Bab kedua dikemukakan Negara dan Sistem Pemerintahan berisi Hakekat Negara dan Sistem Pemerintahan. Bab ketiga membahas tentang Identitas Nasional berisi Hakekat Identitas Nasional dan Unsur-Unsur Pembentuk Identitas Nasional. Bab keempat berisi tentang Kewarganegaraan membahas Hakekat Warga Negara dan Proses Pewargaan Negara. Bab kelima menguraikan tentang Ketahanan Nasional Dan Bela Negara berisi Ketahanan Nasional dan Bela Negara. Bab keenam membahas Demokrasi berisi tentang Hakekat Demokrasi dan Demokrasi Indonesia. Bab ketujuh membahas tentang Negara Hukum berisi Hakekat Negara Hukum dan Ciri Ciri Negara Hukum. Bab kedelapan membahas Politik dan Strategi Nasional berisi Politik Nasional dan Strategi Nasional. Bab sembilan mengkaji Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh berisi Hakekat Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta penyelesaian HAM melalui mekanisme adat di Aceh . Buku ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bermuatan GE ini dilengkapi dengan latihan, penugasan, rangkuman, kunci jawaban, penilaian, kriteria pindah/lulus buku ajar, saran referensi, dan sumber belajar. Semoga buku ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bermuatan GE ini akan dapat dijadikan sebagai sumbangan teoritis dari penulis dan besar harapan bermanfaat dalam proses perkuliahan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada UPT-MKU Universitas Syiah Kuala. Pada kesempatan ini, Tim Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besar kepada semua pihak, terutama Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Mahasiswa (BELMAWA) dan Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Umum (UPT-MKU) Universitas Syiah Kuala, serta Tim Penyunting yang telah memotivasi dan mambantu Tim Penulis,sehingga



buku ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bermuatan GE ini dapat diselesaikan dengan baikdan diterbitkan untuk khalayak. Akhirnya, disadari bahwa buku ajar ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat diperlukan demi kesempurnaan buku ajar ini. Wallahu'alam. Darussalam, November 2018 Tim Penulis



DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS SYIAH KUALA. ............................................................................ iii KATA PENGANTAR ............................................................................ v DAFTAR ISI ................................................................................... ix PENDAHULUAN ........................................................................... xi PENGANTAR BUKU .................................................................. xiv BAB



I IDEOLOGI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSADAN BERNEGARA .................................... 3 A. Hakekat Ideologi. ...............................................................3 B. Proses Perumusan Pancasila Sebagai Ideologi Negara ......16 C. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka..................................... 45



BAB II NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN.................. 55 A. Pengertian, unsur, prinsip dan konsep negara.................... 55 B. Pengertian, kekuaasaan, macam jabatan, dan wewenang Pemerintah ...................................................................... 61 C. Penyelenggaran otonomi daerah ...................................... 76 D. Sistem Pemerintahan Aceh. ............................................. 78 BAB III IDENTITAS NASIONAL ................................................ 89 A. Pengertian Identitas Nasional. .......................................... 89 B. Karakteristik, Hakikat dan Fungsi Identitas Nasional. ....... 92 C. Unsur-Unsur Pembentuk Identitas Nasional...................... 95 D. Penerapan Identitas Nasional di Indonesia. ..................... 103 BAB IV KEWARGANEGARAAN. ............................................. 111 A. Pengertian Kewarganegaraan ......................................... 111 B. Penentuan Kewarganegaraan. ......................................... 114 C. Persoalan Kewarganegaraan. .......................................... 115 D. Hak Dan Kewajiban Warga Negara ................................ 116 E. Ketentuan Undang-Undang Mengenai Warga Negara Indonesia ...................................................................... 120 ix BAB V KETAHANAN NASIONAL DAN BELA NEGARA ...... 136 A. Ketahanan Nasional ....................................................... 136



B. Bela Negara ................................................................... 161



BAB VI DEMOKRASI ............................................................... 173 A. Pengertian dan Sejarah Demokrasi ................................. 179 B. Macam-Macam Demokrasi ............................................ 207 C. Ciri, Prinsip dan Nilai Demokrasi ................................... 208 D. Membangun Demokrasi yang Religius. .......................... 211 BAB VII KONSTITUSI DAN RULE OF LAW ............................... 225 A. Konsepsi Konstitusi Negara .......................................... 225 B. Konsep Rule Of Law ......................................................234 C. Konsep Negara Hukum Pancasila .................................. 239 BAB VIII POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL ................. 248 A. Politik Nasional............................................................. 248 B. Strategi Nasional ............................................................ 252 C. Politik dan Strategi Nasional ......................................... 254 BAB IX HUKUM, HAK ASASI MANUSIA DAN KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH ...........................263 A. Pengertian Hak Asasi Manusia ...................................... 263 B. Sejarah Dan Perkembangan Hak Asasi Manusia ............ 265 C. Instrumen Hukum Dan Hak Asasi Manusia..................... 276 D. Bentuk Pelanggaran Dan Pengadilan Hak Asasi Manusia ......................................................... 298 E. Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh ..................... 302 F. Rekonsiliasi Berbasis Kearifan Lokal............................. 304 DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 311 KUNCI JAWABAN ..................................................................................316



PENDAHULUAN



A. Petunjuk Penggunaan Buku Ajar Buku ajar mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bermuatan General Education (GE) dapat digunakan secara bersamaan atau terpisah antara buku ajar satu dengan buku ajar lainnya. Buku ajar mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) terdiri dari sembilan bab, yaitu: (Bab 1) Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Bab 2) Negara dan Sistem Pemerintahan, (Bab 3) Identitas Nasional, (Bab 4) Kewargaan Negara, (Bab 5) Ketahanan Nasional dan Bela Negara, (Bab 6) Demokrasi, (Bab 7) Konstitusi dan Rule Of Law, (Bab 8) Politik dan Strategi Nasional, dan (Bab 9) Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKRA). Petunjuk penggunaan Buku ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) adalah: 1. Bacalah buku ajar secara keseluruhan dengan cermat, sehingga anda memahami materi yang akan disajikan pada masing- masing Unit. 2. Untuk dapat lebih menguasai dan memahami materi secara keseluruhan, maka kerjakan setiap tugas yang tersedia pada setiap unit. 3. Gunakanlah sumber daya, kearifan lokal, dan nilai- nilai setempat untuk memperkaya pengetahuan anda tentang materi Buku ajar. 4. Gunakan instrumen yang sesuai dalam menyelesaikan tugas- tugas pada setiap unit buku ajar. 5. Gunakan berbagai referensi yang relevan untuk mendukung penguasaan materi pembelajaran pada Buku ajar. 6. Mintalah bimbingan dari dosen jika anda mengalami kesulitan dalam memahami setiap materi dari Buku ajar. xi



7. Apabila anda telah mampu menguasai 75% dari semua materi dan penugasan dalam buku ajar, maka saudara dapat dikategorikan telah tuntas belajar. B.



TujuanYang diharapkan Setelah mempelajari Buku ajar Pendidikan Pancasila dan



Kewarganegaraan (PPKn) Bermuatan General Education, mahasiswa diharapkan mampu: 1. Memahami fungsi pancasila sebagai ideologi negara, hakekat idiologi, proses perumusan pancasila sebagai ideologi negara, hakekat ideologi, proses perumusan pancasila sebagai ideologi negara dan pancasila sebagai ideologi terbuka sehingga mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 2. Memahami hakekat negara dan sistem pemerintahan indonesia, pengertian, unsur, prinsip dan konsep negara, pengertian, kekuaasaan, macam jabatan, dan wewenang pemerintah, penyelenggaran otonomi daerah dan sistem pemerintahan aceh sehingga mampu berpartisipasi aktif di dalamnya. 3. Memahami identitas nasional Indonesia, pengertian identitas nasional, karakteristik, hakikat dan fungsi identitas nasional, unsurunsur pembentuk identitas nasional dan penerapan identitas nasional di indonesia sehingga mampu mempertahankannya di era global. 4. Memahami hakekat kewargaan negara, pengertian kewarganegaraan, penentuan kewarganegaraan, persoalan kewarganegaraan, hak dan kewajiban warga negara serta ketentuan undang-undang mengenai warga negara indonesia sehingga merasa bangga menjadi warga negara indonesia. 5. Memahami hakekat ketahanan nasional dan bela negara, sehingga melahirkan patriotisme pada mahasiswa.engertian dan sejarah demokrasi, macam-macam demokrasi, ciri serta prinsip dan nilai



demokrasi membangun demokrasi yang religius sehingga mampu bersikap demokratis dalam setiap pengambilan keputusan. 6. Memahami hakekat konstitusi, Rule Of Law konsep negara hukum pancasila, sehingga mampu menjadika. 7. Memahami hakekat demokrasi, pn hukum sebagai panglima dalam setiap tindakannya. 8.



Memahami hakekat politik nasional, strategi nasional serta politik dan strategi nasional, sehingga mampu menyikapi setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah demi kepentingan bangsa dan negara.



9. Memahami korelasi antara hukum dengan hak asasi manusia, pengertian hak asasi manusia, sejarah dan perkembangan hak asasi manusia, instrumen hukum dan hak asasi manusia, bentuk pelanggaran dan Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran Rekonsiliasi Aceh (KKRA) dan rekonsiliasi berbasis kearifan lokal sehingga mampu melindunginya dari setiap pelanggaran yang terjadi.



xiii



PENGANTAR BUKU AJAR Pancasila sebagai Dasar Negara dilambangkan oleh Burung Garuda dengan lima perisai didadanya sebagai simbol-simbol dari Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika pada pita di kakinya. Pancasila bukanlah hasil ciptaan para pendiri bangsa, melainkan lahir dari budaya bangsa Indonesia itu sendiri. Simbol-simbol dalam Pancasila sebagai cerminan sikap hidup masyarakat Indonesia sejak dulu kala sebelum Indonesia merdeka yang memiliki makna tersendiri (Bab 1) sesuai dengan perannya masingmasing. Sistem pemerintahan dari suatu negara tidak terlepas dari bentuk negaranya. Sistem pemerintahan terdiri dari banyak bentuk sesuai dengan bentuk negaranya yang diatur lebih lanjut dalam konstitusi negara. Indonesia dengan bentuk negara kesatuan, maka memilih sistem pemerintahan presidensiil. Sistem pemerintahan presidensiil dianggap lebih sesuai dengan kondisi negara dan bangsa Indonesia yang majemuk (Bab 2) dibandingkan dengan sistem pemerintahan parlementer. Setiap bangsa memiliki karakteristik sendiri yang membedakannya dengan bangsa lainnya. Karakteristik tersebut terbentuk melalui sejarah bangsa yang panjang. Karakteristik dikenal juga sebagai ciri khas dari suatu bangsa. Ciri khas ini dikenal sebagai Identitas Nasional seperti yang dimiliki oleh bangsa Indonesia (Bab 3) yang berdasarkan Pancasila. Status kewargaan negara seseorang sangat perlu dalam rangka menjamin hak dan kewajiban warrganegara sebagaimana yang diatur dalam konstitusi. Setiap negara memiliki sistem tersendiri dalam menetapkan kewargaan negara warga negaranya (Bab 4) baik berdasarkan keturunan maupun tempat tinggalnya. Kondisi suatu bangsa akan menjadi indikator penentu kemampuan dari bangsa tersebut untuk bertahan. x



Namun demikian, kondisi suatu bangsa tersebut cenderung berubahrubah sesuai dengan perkembangan baik lokal, nasional, regional, maupun internasional. Kondisi dinamis suatu bangsa ini dikenal sebagai Ketahanan Nasional. Oleh karena itu, untuk mencapai Ketahanan Nasional yang stabil diperlukan adanya sikap bangsa Indonesia dalam mempertahankan negaranya. Sikap rela berkorban dari warganegara ini (Bab 5) dinamakan sebagai Bela Negara. Pemerintahan dari suatu negara terbentuk melalui pemilihan rakyat yang diwakilinya. Dalam hal ini, rakyat memilih wakil-wakilnya melalui suatu pemilihan yang bersifat kesemestaan dengan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Kebebasan rakyat menentukan wakilwakilnya tersebut dikenal sebagai sistem demokrasi. Antara negara yang satu dengan lainnya akan berbeda sistem demokrasinya (Bab 6) sesuai dengan ideologi dan konstitusi negara yang dianutnya. Eksistensi negara bertujuan untuk melindungi warganegaranya dalam wujud sistem hukum dan sejumlah peraturan yang dibentuk oleh penguasa. Dimana, setiap tindakan baik pemerintah maupun warganegara harus sesuai dengan koridor hukum yang mengaturnya. Dalam hal ini, hukum harus dijadikan panglima dalam setiap tindakan untuk mencapai keadilan. Negara yang menjadikan hukum sebagai pedoman dalam berperilaku ini (Bab 7) dikenal sebagai Negara Hukum (Rechts Staat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Penentuan kebijakan negara ditentutan melalui arah politik dan strategi yang diambil oleh pemerintah. Dalam hal ini, politik nasional akan menentukan arah kebijakan dari suatu negara. Sementara itu, kebijakan nasional diengaruhi oleh strategi nasional negaranya. Oleh karena itu, antara Politik Nasional dengan Strategi Nasional ini (Bab 8) bersifat simultan dalam mewujudkan tujuan nasinal sebagaimana yang dicita-citakan. Setiap manusia dilahirkan melekat padanya sejumlah keistimewaan tertentu sebagai anugerah tuhan. Oleh karena itu, x



sejumlah keistimewaan ini harus dilindungi, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh siapapun tanpa kecuali. Dalam hal ini, eksistensi hukum yang dibuat oleh penguasa negara bertujuan untuk melindungi setiap keistimewaan dari warga negara. Keistimewaan warga negara yang harus dilindungi oleh negara ini (Bab 9) disebut Hak Asasi Manusia.



BAB I IDEOLOGI PANCASILA DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA



KEHIDUPAN



TUJUAN PEMBELAJARAN Memahami fungsi Pancasila sebagai Ideologi Negara, sehingga mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. MATERI PEMBELAJARAN A. Hakekat Ideologi. B. Proses Perumusan Pancasila Sebagai Ideologi Negara. C. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka. URAIAN MATERI A.



HAKEKAT IDEOLOGI Ideologi bagi suatu negara sangat besar peranannya karena



semua kehidupan dalam berbangsa dan bernegara sangat dipengaruhi oleh ideologinya. Dalam hal ini, eksistensi suatu ideologi bersifat permanen selama masih ada pendukungnya. Idealnya, suatu ideologi agar tetap bisa eksis harus berakar dari budaya bangsa tersebut karena akan sangat sesuai dengan cita- citanya. Terkait dengan hal ini, Syafiie (2001:61) ideologi dimaknai sebagai: “Sistem pedoman hidup yang menjadi cita- cita untuk dicapai oleh sebagian besar individu dalam mamsyarakat yang bersifat khusus, disusun secara sadar oleh tokoh pemikir negara, dan kemudian menyebarluaskannya dengan resmi”. Menurut Kaelan (2013:60-61) istilah ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, dan cita- cita. sementara kata logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara etimologis ideologi berarti ilmu tentang ide-ide (the science of ideas) atau ajaran tentang pengertian dasar. Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa 3 3



Indonesia (2008:517) ideologi didefenisikan sebagai (1) Kumpulan konsep bersistem yang dijadikan azas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup dan (2) Cara berpikir seseorang atau suatu golongan. (3) Paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik. Dalam hal ini, terdapat beberapa komponen penting dalam suatu ideologi meliputi sistem, arah, tujuan, cara berpikir, program, soail, dan politik. Secara historis, istilah ideologi berkembang di Prancis pada abad ke-19. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sutrisno (2006:24) bahwa: “Istilah ideologi pertama diciptakan oleh Desstutt de Tracy tahun 1976 di Prancis yang berarti suatu ilmu pengetahuan tentang ide”. Dalam hal ini, menurut Tracy ideologi dapat dipandang sebagai cara pandang yang bersifat komprehensif tentang segala aspek kehidupan oleh masyarakat pendukungnya. Ideologi bertujuan untuk memberikan pedoman normatif dalam penyelenggaraan negara. Ideologi pada hakekatnya bersifat abstrak karena merupakan konsep- konsep yang ada dalam pikiran manusia. Ideologi merupakan cerminan cara berfikir orang Ideologi merupakan cerminan cara berfikir orang atau masyarakat yang sekaligus membentuk orang atau atau masyarakat yang sekaligus membentuk orang atau masyarakat itu menuju cita- cita yang mereka inginkan. Ideologi merupakan sesuatu yang dihayati dan diresapi menjadi suatu keyakinan. Ideologi merupakan suatu pilihan yang jelas membawa komitmen (keterikatan) untuk mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang, maka akan semakin tinggi untuk mewujudkannya. Ideologi mempunyai fungsi penting, yaitu menanamkan keyakinan atau kebenaran perjuangan kelompok atau kesatuan yang berpegang teguh pada ideologi itu. Oleh karena itu, ideologi menjadi sumber inspirasi dan sumber cita-cita hidup bagi para warganya.



Ideologi berupa pedoman, artinya menjadi pola dan norma hidup yang sekaligus menjadi ideal atau cita-cita. Realisasi dari ide-ide dipandang sebagai kebesaran dan kemuliaan manusia. Dengan melaksanakan ideologi, manusia tidak hanya sekedar ingin melakukan apa yang disadari sebagai kewajiban dalam mengejar keluhuran. Oleh karena itu, menurut Setiardja (1993:17) manusia sanggup mengorbankan harta benda, bahkan hidupnya demi ideologi karena ideologi menjadi pola, norma hidup, dan dikejar pelaksanaannya sebagai cita-cita, maka tidak mengherankan lagi jika ideologi menjadi bentuk hidup. Oleh karena itu, urgensi ideologi bagi suatu negara memerlukan pembinaan yang berkesinambungan agar dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan sebagai konklusi dari banyak defenisi yang dikemukakan oleh para ahli bahwa ideologi merupakan seperangkat gagasan, nilai, keyakinan atau aturan yang dianggap sebagai kebenaran universal dalam kesadaran suatu negara atau kelompok sosial politik. Seperangkat gagasan, nilai, keyakinan atau aturan itu juga dipandang sebagai tujuan atau kebaikan bersama yang diharapkan, yang kemudian menjadi rujukan bagi manusia di negara atau kelompok sosial, bahkan gagasan, nilai, keyakinan, atau aturan tersebut lah yang akan mampu membebaskan dari segala penindasan, sehingga perlu untuk diperjuangkan dan disebarluaskan. Namun demikian, ideologi ini tidak sekedar gagasan, melainkan gagasan yang diikuti dan dianut sekelompok besar manusia atau bangsa, sehingga karena itu ideologi bersifat menggerakkan manusia untuk merealisasikan gagasan tersebut. Menurut Sarbini (2005:1) mengatakan bahwa: “Meskipun gagasan seseorang, betapapun ilmiah, rasional atau luhurnya, belum bisa disebut ideologi, apabila belum dianut oleh banyak orang dan diperjuangkan serta diwujudkan, dengan aksi-aksi yang berkesinambungan.Ideologi mempunyai fungsi penting, yaitu menanamkan keyakinan atau kebenaran perjuangan kelompok atau 5



kesatuan yang berpegang teguh pada ideologi itu. Dengan demikian, ideologi menjadi sumber inspirasi dan sumber cita-cita hidup bagi para warganya, khususnya para warganya yang masih muda. Ideologi berupa pedoman artinya menjadi pola dan norma hidup. Akan tetapi, sekaligus menjadi ideal atau cita-cita. Realisasi dari ide-ide dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia. Dengan melaksanakan ideologi, manusia tidak hanya sekedar ingin melakukan apa yang disadari sebagai kewajiban. Dengan ideologi manusia mengejar keluhuran. Oleh karena itu, menurut Setiardja (1993:21) bahwa: “Manusia sanggup mengorbankan harta benda, bahkan hidupnya demi ideologi karena ideologi menjadi pola, norma hidup dan dikejar pelaksanaannya sebagai cita-cita, maka tidak mengherankan lagi jika ideologi menjadi bentuk hidup”. Ideologi bersumber dari kebudayaan, artinya berbagai komponen budaya yang meliputi: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan menurut Koentjaraningrat (2004:2) bahwa: “Memengaruhi dan berperan dalam membentuk ideologi suatu bangsa”. Perlu diketahui bahwa ketika suatu ideologi bertitik tolak dari komponen- komponen budaya yang berasal dari sifat dasar bangsa itu sendiri, maka pelakupelaku ideologi (warga negara) lebih mudah melaksanakannya. Para pelaku ideologi merasa sudah akrab dan tidak asing lagi dengan nilainilai yang terdapat dalam ideologi yang diperkenalkan dan diajukan kepada mereka. Selain itu, perlu diketahui juga bahwa agama dapat menjadi sumber bagi suatu ideologi. Manakala ideologi bersumber dari agama, maka akan ditemukan suatu bentuk negara teokrasi, yakni sistem pemerintahan negara yang berlandaskan pada nilai-nilai agama tertentu. Apabila suatu negara bercorak teokrasi, maka pada umumnya segala



bentuk peraturan hukum yang berlaku di negara tersebutberasal dari doktrin agama tertentu. Demikian pula halnya dengan pemimpinnegara teokrasi pada umumnya adalah pemimpin agama. Dalam hal ini, suatu gagasan pemikiran baru dapat dikatakan sebagai ideologi apabila terdapat karakteristik sebagai berikut: a. Seperangkat prinsip dasar sosial politik yang menjadi pegangan



kehidupan sosial politik yang diinkorporasikan dalam dokumen resmi negara. b. Suatu pandangan hidup yang merupakan cara menafsirkan realitas



serta mengutamakan nilai tertentu yang mempengaruhi baik kehidupan sosial, politik, maupun budaya. c.



Suatu model atau paradigma tentang perubahan sosial yang tidak dinyatakan sebagai ideologi, tetapi berfungsi sebagai ideologi seperti misalnyaideologi pembangunan.



d. Berbagai aliran pemikiran yang menonjolkan nilai tertentu dijadikan



sebagai pedoman gerakan suatu kelompok (Sastrapratedja. 2001:4546). Bagi suatu negara ideologi sangat penting karena memiliki fungsi urgen dalam menjalankan baik kehidupan bermasyrakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, ideologi dijadikan sebagai pedoman dalam menata kehidupan. Adapun fungsi ideologi bagi suatu negara adalah sebagai berikut. a. Struktur kognit if; keseluruhan pengetahuan yang dapat menjadilandasan untuk memahami dan menafsirkan dunia, serta kejadian- kejadian dilingkungan sekitarnya. b. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan



maknaserta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia. c. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang



77



untuk melangkah dan bertindak. d. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya. e. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang



untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan. f. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati serta mempolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasidan norma-norma yang terkandung di dalamnya (Soerjanto, 1991:48). Untuk lebih memperdalam pemahaman, berikut ini beberapa corak ideologi. a. Seperangkat prinsip dasar sosial politik yang menjadi pegangan kehidupan sosial politik yang diinkorporasikan dalam dokumen resmi negara. b. Suatu pandangan hidup yang merupakan cara menafsirkan realitas



serta mengutamakan nilai tertentu yang memengaruhi kehidupan sosial, politik,budaya. c. Suatu model atau paradigma tentang perubahan sosial yang tidak dinyatakan sebagai ideologi, tetapi berfungsi sebagai ideologi, misalnya ideologipembangunan. d. Berbagai aliran pemikiran yang menonjolkan nilai tertentu yang menjadi pedoman gerakan suatu kelompok (Sastrapratedja, 2001: 45-46). Secara historis, ideologi dunia secara garis besar terbagi dua, yaitu Liberalisme dan Komunisme. Kedua ideologi ini berbeda jauh dengan ideologi Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia, dimana: a. Marxisme-Leninisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam



perspektif evolusi sejarah yang didasarkan pada dua prinsip;



pertama, penentu akhir dari perubahan sosial adalah perubahan dari cara produksi dan kedua, proses perubahan sosial bersifat dialektis. b. Liberalisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam perspektif



kebebasan individu.



individual, artinya lebih mengutamakan hak-hak



c. Sosialisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam perspektif



kepentingan masyarakat, artinya negara wajib mensejahterakan seluruh masyarakat atau yang dikenal dengan kosep welfare state. d. Kapitalisme; suatu paham yang memberi kebebasan kepada setiap individu untuk menguasai sistem pereknomian dengan kemampuan modal yang ia miliki (Sastrapratedja, 2001:50–69). e. Ideologi Pancasila merupakan nilai-nilai yang bersumber dari luhur



budaya dan religius bangsa Indonesia. Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi negara. Jadi, Ideologi pancasila adalah kumpulan nilai-nilai atau norma yang berdasarkan sila-sila pancasila. Ideologi Liberalisme Liberalisme berkembang di eropa barat, terutama Amerika Serikat. Bagus (1996:67) bahwa: “Kapitalisme pada dasarnya merupakan sistem perekonomian yang menekankan kepada peran kapital (modal) dengan segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam aktivitas untuk menghasilkan barang lainnya”. Ebenstein dalam Kristeva (2015:13) menyebut kapitalisme sebagai: “Sistem sosial yang menyeluruh dan lebih luas dari sekedar sistem perekonomian. Kapitalisme bergerak sesuai dengan perkembangan nilai-nilai individualisme”. 1.



Sejarah liberalisme dimulai dari zaman Renaissance, sebagai reaksi terhadap Ortodoksi Religius. Saat itu kekuasaan gereja mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia. Semua aturan 9



kehidupan ditentukan dan berada di bawah otonomi gereja. Hasilnya, manusia tidak memiliki kebebasan dalam bertindak, otonomi individu dibatasi dan bahkan ditiadakan. Kondisi ini memicu kritik dari berbagai kalangan, yang menginginkan otonomi individu dalam setiap tindakan dan pilihan hidup. Otonomi individu dipahami sebagai keterbebasan dari determinasi dan intervensi eksternal, berupa p emb a t a s an , pe m ak s aa n a t a u be r b a ga i ben t u k an c a m an danmanipulasi, dalam melakukan tindakan. Menurut liberalisme, individu adalah pencipta dan penentu tindakannya. Melalui konsep seperti ini, maka kesuksesan dan kegagalan seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh tindakantindakannya dan pilihan-pilihan terhadap tindakan tersebut. Intinya, manusia memiliki kebebasan dalam hidupnya, manusia adalah pribadi yang otonom (Aida, 2005:95). Dalam hal ini, kebebasan menurut liberalisme tidak dapat dikorbankan untuk nilai yang lain, untuk nilai ekonomi, sosial dan politik. Kebebasan hanya dapat dibatasi dan dikompromikan ketika ia konflik dengan kebebasan dasar yang lain yang lebih luas. Oleh karena itu, kebebasan menurut liberalisme bukan sesuatu yang absolut, kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu sendiri. Konsep otonomi individu dalam pandangan liberalisme tidak hanya berupa kebebasan individu dalam bertindak dan memilih cara hidup yang baik. Namun, juga untuk mengkritisi, merevisi dan bahkan meninggalkan nilai dan cara hidup yang telah dipilihnya. Menurut liberalisme, siapa pun dapat keliru dalam pilihan hidupnya. Tindakan seperti ini bebas dilakukan oleh siapa pun jika nilai dan pilihan hidupnya semula tidak lagi tampak berharga untuk dikejar dan tidak lagi sesuai dengan nilai yang mereka yakini saat ini. Dengan demikian, otonomi individu tidak harus ditundukkan oleh keanggotaannya pada suatu kelompok, seperti kelompok agama, etnis dan sebagainya.



Mereka bebas untuk tetap berada atau menarik diri dari kelompoknya (Aida, 2005:97). Pengakuan terhadap otonomi atau kebebasan individu dalam bertindak mengindikasikan adanya pengakuan terhadap pluralitas dalam masyarakat. Kebebasan dan kesamaan perlakuan terhadap individu dalam bertindak dan memilih cara hidup akan menghasilkan pluralitas nilai dan pilihan hidup. Setiap orang bebas untuk bertindak dan memilih cara hidup yang baik menurutnya. Pengakuan terhadap pluralitas tindakan dan pilihan hidup mendapat perlakuan yang sama. Untuk menjamin tercapainya kesamaan perlakuan tersebut, maka liberalisme mengemukakan ide netralitas negara. Ide netralitas negara tidak membenarkan adanya tindakan atas dasar superioritas atau inferioritas intrinsik dari berbagai konsep tentang kehidupan yang baik. Tidak boleh ada tindakan yang secara sengaja atau tidak sengaja berusaha mempengaruhi penilaian-penilaian orang tentang nilai dari berbagai konsep yang berbeda ini. Kebebasan sebagai nilai yang esensial dalam kehidupan manusia akan terancam dengan adanya pemaksaan suatu pandangan khusus tentang kehidupan yang baik pada setiap orang. 2. Ideologi Komunisme



Ajaran komunisme mengajarkan mengenai keadaan bagi kemerdekaan proletariat atas penindasan kaum borjuis. Dalam perkembangannya paham komunis terbagi dalam dua aliran, yaitu aliran sosial demokrat yang disebut sosialisme dan aliran komunisme menurut ajaran Karl Marx dan Lenin. aliran sosial demokrat menghendaki suatu bentuk pemerintahan demokratis parlementer dan pemilihan. Sedangkan komunisme Karl Marx (yang menjadi dasar perjuangan Karl Marx, Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung) ialah komunisme diktator proletar yang menolak sistem pemerintahan demokratis parlementer. Apa yang 11



mereka maksudkan diktator proletar ialah diatur yang dijalankan oleh apa yang mereka namakan pelopor- pelopor kaum buruh dan tani guna mengikis habis unsur-unsur kapitalisme. Istilah komunisme sering dicampur adukkan dengan komunis internasional. Komunisme merupakan ideologi dasar yang umumnya digunakan oleh partai komunis di seluruh dunia. Sedangkan komunis internasional merupakanracikan ideologi yang berasal dari pemikiran Lenin, sehingga dapat disebut sebagai "MarxismeLeninisme” (http://id.wikipedia.org/wiki/Komunisme diakses tanggal 15 Agustus 2018). Ideologi komunisme tidak terlepas dari eksistensi kapitalisme di eropa. Walaupun Marxisme-Leninisme dipandang sebagai ideologi komunis klasik,tetapi merupakan sumber pokok pemikiran teoritis bagi pelaksanaan tujuan negara- negara komunis meliputi Uni Soviet, negaranegara Eropa Timur, Republik Rakyat Cina, Vietnam, Korea Utara, Kamboja, dan Kuba (Sosronegoro, 1984: 82). Sedangkan yang dimaksuddengan negara komunis adalah negara yang berdasarkan pada: (a) Ideologi Marxisme–Leninismeartinya bersifat materialis, atheis, dan kolektivis, (b) Merupakan sistem kekuasaan satu partai atau seluruh masyarakat, dan (c) Ekonomikomunis bersifat etatis (Suseno, 1986:30). Kapitalisme berkembang seiring dengan berjalannya revolusi industri. Revolusi industri mengantarkan pada perkembangan yang pesat ekonomi industri yang bersifat kapitalis. Kegiatan industri berubah total, tenaga kerja manusia digeser oleh mesin- mesin. Keadaan sosial semakin memburuk, nilai tenaga buruh jatuh (Sukarna, 1981:31). Rakyat kecil dihisap dan ditindas oleh dua pihak, yang di kota mereka ditindas kaum kapitalis, sedang yang di desa ditindas kaum tuan tanah. Penganguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin merajalela (Darsono, 2007:14-15). Industri-industri besar menelan modal yang besar dan hal ini sama artinya dengan kekuasaan ekonomi di tangan segelintir orang. Karl Marx menunjukkan betapa kaum buruh menjadi 12



semakin miskin (Ramly, 2000:24). Masyarakat kapitalisme kemudian menindas kaum buruh, menghisap darah manusia, mengejar keuntungan uang, menimbun barang dagangan sebesar-besarnya. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya tentang latar belakang lahirnya sosialisme. Dari situasi inilah maka akan terjadi revolusi kaum buruh (proletar) terhadap kaum borjuis. Mereka inilah yang akan mewujudkan masyarakat yang Marx sebut sebagai masyarakat sosialisme. Masyarakat Komunisme ini lebih tinggi dari Masyarakat Sosialisme, kelas-kelas lenyap, perbudakan tidak ada, pembagian pekerjaan adil, produksi melimpah sesuai kebutuhan hidup, tenaga kerja tidak lagi menjadi alat produksi semata, namun tenaga kerja itu akan bekerja sesuai dengan kemampuan tanpa takut tidak terpenuhi kebutuhannya. Tidak akan ada lagi kontradiksi atau konflik, masyarakat akan berjalan tanpa kekuasaan negara dan tanpa pula persenjataan untuk melindungi keamanan (Darsono, 2007:112-113). Terdapat tiga elemen ideologi Marxisme, yaitu: (a) Idealisme filsafat jerman kususnya Hegel darimana Karl Marx mengambil metode dialektika sejarah, (b) Doktrin- doktrinrevolusioner dari utopi Perancis, dimana Karl Marx mengambil doktrin-doktrin revolusioner dan masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara, dan (c) Teori ekonomi David Richardo tentang teori nilai kerja. Sedangkan doktrin-doktrin oleh Lenin adalah mengenai: (a) Revolusi proletar, (b) Teori negara, (c) Teori organisasi partai,(d) Teori revolusi di Rusia, dan (e) Teori imperialisme (Sosronegoro, 1984: 82). Dalam hal ini, dasar-dasar dari teori komunisme adalah marxisme yang didasarkan pada metode dialektika materialisme. Dialektika adalah suatu cabang dari pada logika yang mengajarkan tentang aturan-aturan dan cara-cara berpikir yang sehat, juga merupakan suatu cara untuk menginterpretasikan konsepsi-konsepsi secara 13 13



sistematis agar dapat diterapkan. Dengan demikian, Karl Marx mengartikan sejarah sebagai sesuatu yang bergerak dibawah tekanan dari pada perjuangan kelas yang diakibatkan oleh perkembangan ekonomi dan akhirnya mendatangkan kemenangan bagi golongan proletariat. Oleh karena itu, apabila kita kaitkan dengan teori komunisme maka partai komunis memegang peranan sebagai pemimpin dalam revolusi yang akan datang karena sebagian besar kaum proletar tidak sepenuhnya mampu untuk membentuk suatu tata kehidupan yang baru. Bagi kaum komunis, peranan partai dalam hal ini dapat dibenarkan sebab sebenarnya partai mewakili kehendak yang riil dari pada rakyat. Dan segala sesuatu yang dikehendaki dapat dilaksanakan kalau mereka mampu memahami ide-ide komunis. Marxisme di daratan Eropa memperlihatkan sikap ketidak sabaran terhadap tradisi, terhadap sifat-sifat khas kebudayaan, sikap-sikap akomodatif terhadap alam dan keberagaman. Pandangan-pandangan seperti itu hanya memiliki ruang yang amat sempit dalam kebudayaan Indonesia kususnya kebudayaan Jawa, dimana Marxisme Asia berpandangan bahwa masyarakat industri yang merupakan gagasan utama dalam Marxisme Eropa adalah masyarakat yang penuh dengan pengistimewaan (Privileged Society) dan bahwa dunia politik akan sangat menguasai perekonomian faktor penentu utama dalam perubahan adalah rakyat yangdibangkitkan. Bagi kaum marxis di Asia, masa depan dipahami dalam pengertian. Wilayah pedesaan yang berhasil direvitalisasi dan ditransformasikan dengan cara menyerap kedalam dirinya segala hal yang positif dalam penemuan-penemuan baru dibidang teknologi. Namun pada saat yang sama juga dilakukan pengendalian secara ketat terhadap cakupan dan sifat-sifatnya agar dapat digunakan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang bersifat egalitarian, partisiatoris dan pembebasan (Edman, 2007:11-16). 14



Dengan demikian, Karl Marx dan Frederich Engels dipandang sebagai sumber pokok pemikiran komunis. Sumber lain yang mempunyai pengaruh besar adalah ajaran Lenin. Ajaran ini merupakan perombakan dan penambahan terhadap ajaran Karl Marx dan Frederich Engels. Dalam pelaksanaanya ideologi komunis mempunyai prinsipprinsip dasar yang dianut. Prinsip tersebut berakar dari pemikiran pencetus ideologi komunis ini. Dalam taktik dan strategi yang dikembangkan yaitu menyangkut tiga tingkatan dan masing- masing mempunyai tahapan- tahapan tersendiri. Di lain sisi, untuk penerapan komunisme di Asia kususnya di Indonesia berbeda dengan ideologi komunis yang diterapkan di negara-negara Eropa, namun walaupun begitu tetap mengusung ide revolusioner Marxis. 3. Ideologi Pancasila



Ideologi Pancasila sebagai ideologi dasar nasional tumbuh dan berkembang menjadi way of life (pandangan hidup), sebagai pedoman hidup dalam kehidupan bersama bangsa Indonesia, secara formal dan informal. Oleh karena demikian, setiap warga Negara Indonesia di manapun mereka berada, Pancasila harus menjadi pedoman hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan cita-cita kehidupan bersama. Ideologi Pancasila tidak komunisme dan bukan juga individualisme atau liberalisme. Ideologi Pancasila merupakan ideologi yang lahir dan tumbuh berlandaskan dan bercirikan atas kondisi dan tradisi yang dianut oleh bangsa Indonesia, sehingga mempunyai ciri-ciri khas bangsa Indonesia. (Wirman Burhan, 2016:191). Oleh karena itu, sila-sila dari Pancasila menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang taat beragama dan terdiri dari berbagai suku bangsa yang heterogen dan tidak bersifat egoisme, namun dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, baik kemajuan 15



barat maupun kemajuan timur. Bangsa Indonesia dapat mengikuti dan menyesuaikannya dengan menyeleksi mana saja perkembangan dan kemajuan yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang berdasarkan Ideoologi Pancasila. (Wirman Burhan, 2016: 192). B. PROSES PERUMUSAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI



NEGARA Pancasila sebagai ideologi negara mmerupakan kristalisasi dari nilai- nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara lain dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pertama, Sidang Panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dan di dalamnya memuat Pancasila untuk pertama kali, kemudian dibahas lagi dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kedua, Setelah kemerdekaan Indonesia sebelum sidang resmi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara dibahas serta disempurnakan kembali dan akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia. Kajian pengetahuan proses terjadinya Pancasila dapat ditinjau dari aspek kausalitas dan tinjauan perspektifnya. Dari aspek kausalitasnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: aspek asal mula langsung dan aspek asal mula tidak langsung. Perumusan Pancasila itu pada awalnya dilakukan dalam sidang BPUPKI pertama yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. BPUPKI dibentuk oleh Pemerintah Pendudukan Jepang pada 29 April 1945 dengan jumlah anggota 60 orang. Badan ini diketuai oleh Dr. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi oleh dua orang Ketua Muda 16



(Wakil Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan Ichibangase (orang Jepang). BPUPKI dilantik oleh Letjen Kumakichi Harada, panglima tentara ke-16 Jepang di Jakarta, pada 28 Mei 1945. Sehari setelah dilantik, 29 Mei 1945, dimulailah sidang yang pertama dengan materi pokok pembicaraan calon dasar negara. Menurut catatan sejarah, diketahui bahwa sidang tersebut menampilkan beberapa pembicara, yaitu Mr. Muh Yamin, Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Soepomo. Keempat tokoh tersebut menyampaikan usulan tentang dasar negara menurut pandangannya masing- masing. Meskipun demikian perbedaan pendapat di antara mereka tidak mengurangi semangat persatuan dan kesatuan demi mewujudkan Indonesia merdeka. (Pabottinggi, 2006: 158-159). Pancasila yang dirumuskan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 dengan berbagai rumusan dari para anggota sidang, maka oleh Soekarno ditetapkanlah Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka. Menurut Darmodihardjo (1978:6) bahwa istilah Pancasila sebenarnya telah ada sejak berdirinya kerajaan Majapahit pada abad XIV yang dikenal dengan Pancasila Krama (Berbatu sendi yang lima dan Pelaksanaan kesusilaan yang lima), yaitu: 1) Tidak boleh melakukan kekerasan. 2) Tidak boleh mencuri. 3) Tidak boleh berjiwa dengki. 4) Tidak boleh berbohong. 5) Tidak boleh mabuk- mabukan.



Pancasila yang dijadikan sebagai Dasar Negara Indonesia saat ini dimaknai sebagai Lima Dasar yang diramu dari berbagai aspek sikap hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu kala yang berwujud budaya bangsa. Oleh karena itu, dalam hal ini sebenarnya para founding father (bapak bangsa) bukanlah penemu pancasila, melainkan hanya sebagai 17



penggali dan perumus Pancasila sekarang ini. Oleh karena itu, Pancasila mengandung nilai- nilai filsafat bangsa (philosophische grondslag), jiwa bangsa (volksgeist), jati diri bangsa (innerself of nation), dan menjadi cara hidup bangsa Indonesia yang sesungguhnya (way of life). Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila tersebut pada hakekat n ya mer upakan kar akt er bangsa I ndo nesia yang membedakannya dengan bangsa lain di dunia ini (DirBelmawa, 2013:iv). Pemaparan tentang Pancasila sebagai identitas bangsa atau juga disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai sumber, baik dalam bentuk bahasan sejarah bangsa Indonesia maupun dalam bentuk bahasan tentang pemerintahan di Indonesia. As'ad Ali dalam buku Negara Pancasila; Jalan Kemashlahatan Berbangsa mengatakan bahwa Pancasila sebagai identitas kultural dapat ditelusuri dari kehidupan agama yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Tradisi dan kultur bangsa Indonesia dapat dilihat melalui peran agama- agama besar, seperti: peradaban Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Agama-agama tersebut menyumbang dan menyempurnakan bentuk nilai, norma, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya, tradisi dan kultur masyarakat Melayu, Minangkabau, dan Aceh tidak bisa dilepaskan dari peran peradaban Islam. Sementara budaya Toraja dan Papua tidak terlepas dari peradaban Kristen. Demikian pula halnya dengan budaya masyarakat Bali yang sepenuhnya dibentuk oleh peradaban Hindu (Ali, 2009: 75). Dalam hal ini, Pancasila memiliki sejumlah nilai yang harus diwejantahkan dalam kehidupan sehari- hari masyarakat Indonesia. Nilai- nilai Pancasila dari segi implementasi terdiri atas nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar terdiri atas nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat 18



kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara, nilai instrumental terlihat dalam bentuk konstitusi negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan nilai praksisnya adalah bentuk pengejewantahan Pancasila tersebut dalam kehidupan sehari- hari masyarakat Indonesia (DirBelmawa, 2013:vii). Pancasila disebut juga sebagai kepribadian bangsa Indonesia, artinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diwujudkan dalam sikap mental dan tingkah laku serta amal perbuatan. Sikap mental, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia mempunyai ciri khas, artinya dapat dibedakan dengan bangsa lain. Kepribadian itu mengacu pada sesuatu yang unik dan khas karena tidak ada pribadi yang benar-benar sama. Setiap pribadi mencerminkan keadaan atau halnya sendiri, demikian pula halnya dengan ideologi bangsa (Bakry, 1994:157). Meskipun nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan juga terdapat dalam ideologi bangsa-bangsa lain, tetapi bagi bangsa Indonesia kelima sila tersebut mencerminkan kepribadian bangsa karena diangkat dari nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia sendiri dan dilaksanakan secara simultan. Disamping itu, proses akulturasi dan inkulturasi ikut memengaruhi kepribadian bangsa Indonesia dengan berbagai variasi yang sangat beragam. Kendatipun demikian, kepribadian bangsa Indonesia sendiri sudah terbentuk sejak lama, sehingga sejarah mencatat kejayaan di zaman Majapahit, Sriwijaya, Mataram, dan lain-lain yang memperlihatkan keunggulan peradaban di masa itu. Nilai- nilai spiritual, sistem perekonomian, politik, budaya merupakan contoh keunggulan yang berakar dari kepribadian masyarakat Indonesia sendiri. Pancasila dikatakan sebagai pandangan hidup bangsa, artinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diyakini kebenarannya, kebaikannya, keindahannya, dan kegunaannya 19



oleh bangsa Indonesia yang dijadikan sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan menimbulkan tekad yang kuat untuk mengamalkannya dalam kehidupan nyata (Bakry, 1994: 158). Pancasila sebagai pandangan hidup berarti nilai-nilai Pancasila melekat dalam kehidupan masyarakat dan dijadikan norma dalam bersikap dan bertindak. Pada saat Pancasila difungsikan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, maka seluruh nilai Pancasila dimanifestasi ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sejak Pancasila ditetapkan sebagai Dasar dan Ideologi Negara Indonesia, berarti bahwa Pancasila telah mampu membangunkan dan membangkitkan kembali identitas bangsa Indonesia yang selama ini “tertidur” dan “terbius” oleh kolonialisme (Abdul gani, 1979:22). Perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia merdeka disampaikan dalam pidato pada sidang Pertama BPUPKI sejak tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Dimana, pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengusulkan calon Dasar Negara Indonesia merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan. 2) Peri Kemanusiaan. 3) Peri Ketuhanan. 4) Peri Kerakyatan. 5) Kesejahteraan Rakyat.



Selanjutnya, Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan teori- teori negara sebagai berikut. 1) Teori negara perseorangan (individualis). 2) Paham negara kelas. 3) Paham negara integralistik.



Sementara itu, Seokarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan lima Dasar Negara Indonesia merdeka, yaitu: 20



1) Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia). 2) Internasionalisme (Peri Kemanusiaan). 3) Mufakat (Demokrasi). 4) Kesejajteraan Sosial. 5) Ketuhanan Yang Maha Esa (Berkebudayaan) (Kaelan, 2000:37-40).



Ir. Soekarno Sumber: Belajar Online



Pancasila merupakan jati diri, karakter, dan sikap hidup masyarakat Indonnesia yang dirumuskan secara sederhana menjadi lima sila Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Namun demikian, sebelumnya terjadi perdebatan di antara para pendiri bangsa terkait dengan keluarnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, dimana sila Pertamanya berbunyi: “Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”. Demi persatuan dan kesatuan ketujuh kata yang menjadi pemicu konflik antara kelompok Islam dengan kelompok nasionaliis sepakat untuk dihilangkan, sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa (Risalah Sidang BPUPKI, 1995:).



21



Secara rinci rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Panitia Sembilan ini adalah sebagai berikut: 1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at islam bagi pemeluk- pemeluknya. 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. 3) Persatuan Indonesia. 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam



permusyawaratan/perwakilan. 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



Mr. Muhammad Yamin Sumber: Belajar Online



Rumusan Mukaddimah Piagam Jakarta ini setelah dihapuus tujuh kata pada sila pertama, maka dituangkan dalam Alenia Keempat Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Pancasila yang resmi, yaitu: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. 3) Persatuan Indonesia. 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam



permusyawaratan/perwakilan. 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Abdullah, 1984:71).



22



Pancasila merupakan cita- cita hukum (sumber dari segala sumber hukum) yang menjiwai segala aspek kehidupan bangsa Indonesia, sehingga Pancasila menjadi cerminan dari jiwa dan cita-cita hukum bangsa Indonesia. Dalam hal ini, Pancasila dijadikan sebagai Ideologi Negara Indonesia yang membedakannya dengan ideologi lainnya, seperti liberaalisme dan komunisme. Indonesia tidak menerima liberalisme karena lebih mengutamakan kebebasan individu, sedangkan paham integralistik yang dianut Indonesia memandang manusia sebagai makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial (Alfian dalam Oesman dan Alfian, 1990:201).



Drs. Muhammad Hatta Sumber: Belajar Online



Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa telah memberikan sifat yang khas kepada negara Indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisah- misahkan agama dengan negara (Kaelan, 2000: 220). Hal ini juga menyiratkan bahwa Indonesia bukan negara agama. Selanjutnya, komunisme tidak pernah diterima dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Penolakan terhadap ajaran ini karena negara komunisme lazimnya bersifat Atheis yang menolak agama dalam suatu negara. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Merupakan pilihan kreatif dan merupakan proses elektis inkorporatif. Artinya pilihan negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa adalah khas dan nampaknya sesuai dengan kondisi objektif bangsa Indonesia (Kaelan, 2012: 254-255). 23



Pancasila tidak bertentangan dengan agama karena Tuhan menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tak terbagi, maknanya sejalan dengan agama Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan bahkan juga Animisme (Chaidar, 1998: 36). Menurut Notonegoro dalam Kaelan (2012: 47) asal mula Pancasila secara langsung salah satunya asal mula bahan (Kausa Materialis) yang menyatakan bahwa “bangsa Indonesia adalah sebagai asal dari nilai-nilai Pancasila, yang digali dari bangsa Indonesia yang berupa nilai- nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia”. Dalam hal ini, “prinsip Ketuhanan bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, akan tetapi setiap orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Dimana, Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, Islam menyembah Allah swt menurut petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallama, Budha menyembah Sang Budha dan menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada, Hindu menyembah Hyang Widi, demikian juga Kong Hu Cu. Oleh karena itu, hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap warga negaranya dapat menyembah Tuhannya secara leluasa. dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan” (Zoelva, 2012). Dengan demikian, jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang merupakan causa prima atau penyebab utama itu (meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat karena Tuhan secara terus- menerus melindungi makhluknya). Sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang Tauhidus-Shifat dan Tauhidul-Af'al, dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Ajaran ini juga diterima oleh agama- agama lain di Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999: 63). 24



Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia Indonesia harus mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan mengalahkan ilah-ilah atau Tuhan-Tuhan lain yang dapat mempersekutukannya. Dalam bahasa formal yang telah disepakati bersama sebagai perjanjian bangsa sama maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa”. Dimana, pengertian arti kata Tuhan adalah sesuatu yang kita taati perintahnya dan kehendaknya. Prinsip dasar pengabdian adalah tidak boleh mempunyai dua Tuhan, hanya satu Tuhannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, itulah yang menjadi misi utama tugas para pengemban risalah untuk mengajak manusia mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Kitab Ulangan 6:4-5, Matius 6:24, Lukas 16: 13, Quran surat: Al Mu'minun (23): 23 dan 32) (Mulyantoro, 2012). Sementara itu, dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat berjalan saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya, Kiai Achamd Siddiq menyatakan bahwa salah satu hambatan utama bagi proporsionalisasi ini berwujud hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran yang datang dari dua arah (Zada dan Sjadzili (ed), 2010:79). Pancasila menjamin umat beragama dalam menjalankan ibadahnya. Dalam kalimat Menteri Agama periode 1983-1993 H. Munawir Sjadzali menyatakan bahwa kata-kata “negara menjamin” tidak dapat diartikan sekuler karena apabila demikian, negara atau pemerintah harus hands off dari segala pengaturan kebutuhan hukum bagi para pemeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di negara- negara sekuler, pemerintah tidak akan mendirikan tempattempat ibadah bagi warga negaranya (Ahmad, 1996: 9-10). 25



Hakekatnya, moral Pancasila bersifat rasional, objektif, dan universal dalam arti berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Moral Pancasila juga dapat disebut otonom karena nilai- nilainya tidak mendapat pengaruh dari luar hakikat manusia Indonesia, dan dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis. Tidak dapat pula diletakkan adanya bantuan dari nilai- nilai agama, adat istiadat, dan budaya karena secara de facto nilai- nilai Pancasila berasal dari agama- agama serta budaya manusia Indonesia. Hanya saja nilai-nilai yang hidup tersebut tidak menentukan dasar-dasar Pancasila, akan tetapi memberikan bantuan dan memperkuat (Anshoriy, 2008: 177). Sejalan dengan pendapat Anshory tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan dalam sambutan beliau pada Peringatan Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober 2005 mengatakan bahwa “Bangsa kita adalah bangsa yang religius; juga, bangsa yang menjunjung tinggi, menghormati dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Oleh karena itu, setiap umat beragama hendaknya memahami falsafah Pancasila itu sejalan dengan nilai-nilai ajaran agamanya masing-masing”. Dengan demikian, kita akan menempatkan falsafah negara di posisinya yang wajar. Saya berkeyakinan dengan sedalam- dalamnya bahwa kelima sila di dalam Pancasila itu selaras dengan ajaran agama- agama yang hidup dan berkembang di tanah air. Dengan demikian, kita dapat menghindari adanya perasaan kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaranajaran agama, serta untuk menerima Pancasila sebagai falsafah negara (Yudhoyono dalam Wildan (ed), 2010: 172). Penerimaan Pancasila oleh segenap bangsa Indonesia menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan lagi bagi kita untuk mempertentangkan antara nilai- nilai Pancasila dengan agama mana pun di Indonesia. Apabila dirinci lebih lanjut hubungan antara agama dengan 26



Pancasila menurut Kaelan (2012: 215-216) adalah sebagai berikut: 1) Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan yang



Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masingmasing. 3) Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena hakikatnya



manusia berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan. 4) Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan agama, antar dan inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama. 5) Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketakwaan itu bukan



hasil peksaan bagi siapapun juga. 6) Memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan agama dalam negara. 7)



Segala aspek dalam melaksanakan dan menyelenggatakan negara



harus sesuai dengan nilai- nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, terutama norma- norma hukum positif maupun norma moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara negara. 8) Negara pada hakikatnya adalah merupakan “…berkat rahmat Allah yang Maha Esa”. Selanjutnya,



berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila



(Wahyudi (ed.), 2009:58) dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Religiusitas bangsa Indonesia ini secara filosofis merupakan nilai fundamental yang meneguhkan eksistensi negara Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar kerohanian bangsa dan menjadi penopang utama bagi persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka menjamin keutuhan NKRI. Karena itu, agar terjalin hubungan selaras dan harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara Pancasila wajib memberikan perlindungan



kepada agama- agama di Indonesia. Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan suatu sistem filsafat, dimana lahir dari hasil pemikiran para pendiri bangsa dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Kelima dasar atau prinsip yang terdapat dalam sila- sila Pancasila tersebut merupakan satu kesatuan bagian- bagian yang saling berhubungan dan saling bekerjasama antara sila yang satu dengan sila lainnya untuk satu tujuan tertentu, sehingga dapat disebut sebagai sebuah sistem. Pengertian suatu sistem, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2000:66) dari Shrode dan Don Voich memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Suatu kesatuan bagian-bagian. 2) Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri. 3) Saling berhubungan, saling ketergantungan. 4) Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama



(tujuan sistem). 5) Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks. Berdasarkan pengertian tersebut, Pancasila yang berisi lima sila, yaitu Sila Ketuhanan yang Maha Esa, Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Sila Persatuan Indonesia, Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. dan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia saling berhubungan membentuk satu kesatuan sistem yang dalam proses bekerjanya saling melengkapi dalam mencapai tujuan. Namun demikian, meskipun setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, memiliki fungsi sendiri- sendiri, akan tetapi memiliki tujuan tertentu yang sama, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pancasila sebagai sistem filsafat mengandung pemikiran tentang manusia yang berhubungan denganTuhan, diri sendiri, sesama manusia, dan masyarakat bangsa yang semua itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagai sistem filsafat Pancasila memiliki ciri khas yang 28



berbeda dengan sistem- sistem filsafat lain yang ada di dunia seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme, dan lain sebagainya. Kekhasan nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila berkembang dalam budaya dan peradaban bangsa Indonesia, terutama sebagai jiwa dan asas kerohanian bangsa dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Selanjutnya, nilai filsafat Pancasila, baik sebagai pandangan hidup atau filsafat hidup (Weltanschauung) bangsa maupun sebagai jiwa bangsa atau jati diri (Volksgeist) nasional, memberikan identitas dan integritas serta martabat bangsa dalam menghadapi budaya dan peradaban dunia.



Gambar Memaknai Pancasila Sumber: Blog Prita



Menurut Darmodihardjo (1979:86) Pancasila adalah ideologi yang memiliki kekhasan, yaitu: 1) Kekhasan pertama, Tuhan Yang Maha Esa sebab Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa manusia Indonesia percaya adanya Tuhan.



29



2) Kekhasan kedua, penghargaan kepada sesama umat manusia apapun



suku bangsa dan bahasanya. 3) Kekhasan ketiga, bangsa Indonesia menjunjung tinggi persatuan



bangsa. 4) Kekhasan keempat, kehidupan manusia Indonesia bermasyarakat dan bernegara berdasarkan atas sistem demokrasi. 5) Kekhasan kelima, keadilan sosial bagi hidup bersama. Kelahiran ideologi bersumber dari pandangan hidup yang dianut oleh suatu masyarakat. Pandangan hidup kemudian berbentuk sebagai keyakinan terhadap nilai- nilai tertentu yang diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, ideologi berfungsi sebagai alat membangun solidaritas masyarakat dengan mengangkat berbagai perbedaan ke dalam tata nilai baru. Sebagai ideologi, Pancasila berfungsi membentuk identitas bangsa dan negara Indonesia sehingga bangsa dan negara Indonesia memiliki ciri khas berbeda dari bangsa dan negara lain. Pembedaan ini dimungkinkan karena ideologi memiliki ciri selain sebagai pembeda juga sebagai pembatas dan pemisah dari ideologi lain. Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem (Abdul Gani, 1998). Pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir atau pemikiran yang sedalam- dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang benar, adil, bijaksana, dan paling sesuai dengan 30



kehidupan dan kepribadian bangsa Indonesia. Filsafat Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis, sehingga filsafat Pancasila tidak hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak hanya bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life atau weltanschaung) agar hidup bangsa Indonesia dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat (Salam, 1988:23-24). Kekhasan nilai yang melekat dalam Pancasila sebagai nilai intrinsik terletak pada diakuinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai satu kesatuan. Kekhasan ini yang membedakan Indonesia dari negara lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan memiliki sifat umum universal. Oleh karena sifatnya yang universal tersebut, maka nilai-nilai Pancasila tidak hanya milik manusia Indonesia, melainkan manusia seluruh dunia. Pancasila sebagai nilai instrumental mengandung imperatif dan menjadi arah bahwa dalam proses mewujudkan cita- cita negara bangsa, seharusnya menyesuaikan dengan sifat-sifat yang ada dalam nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebagai nilai instrumental, Pancasila tidak hanya mencerminkan identitas manusia Indonesia, melainkan juga berfungsi sebagai cara (mean) dalam mencapai tujuan, bahwa dalam mewujudkan cita- cita negara bangsa, Indonesia menggunakan cara-cara yang berketuhanan, berketuhanan yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan yang menghargai musyawarah dalam mencapai mufakat, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila juga mencerminkan nilai realitas dan idealitas. Pancasila mencerminkan nilai realitas, karena di dalam sila-sila Pancasila berisi nilai yang sudah dipraktekkan dalam hidup sehari-hari oleh bangsa Indonesia. Disamping mengandung nilai 31



realitas, sila-sila Pancasila berisi nilai-nilai idealitas, yaitu nilai yang diinginkan untuk dicapai. Menurut Kaelan (2002:128) nilai-nilai yang terkandung dalam sila I sampai dengan sila V Pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Namun demikian, Pancasila secara formal menjadi Das Sollen (kenyataan) bangsa Indonesia sebenarnya diangkat dari kenyataan riil yang berupa prinsip- prinsip dasar yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2002:129), Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia Pancasila merupakan Sein in Sollen. Pancasila merupakan harapan, cita-cita, juga sekaligus sebagai kenyataan bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mempunyai tingkatan dan bobot yang berbeda. Meskipun demikian, nilai-nilai itu tidak saling bertentangan, bahkan saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu substansi, dimana Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh atau kesatuan organik (organic whole). Dengan demikian, berarti nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh pula. Nilai-nilai tersebut saling berhubungan secara erat dan antara nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari nilai yang lain. Artinya, nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia akan memberikan pola (patroon) bagi sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia itu sendiri (Kaelan, 2002: 129). Pancasila yang berisi lima sila, menurut Notonagoro (1967:32) merupakan satu kesatuan utuh. Kesatuan sila- sila Pancasila tersebut diuraikan sebagai berikut: 1) Kesatuan sila-sila Pancasila dalam struktur yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal. Susunan secara hirarkis mengandung pengertian 32



bahwa sila- sila Pancasila memiliki tingkatan berjenjang, yaitu sila yang ada di atas menjadi landasan sila yang ada di bawahnya. Sila pertama melandasi sila kedua, sila kedua melandasi sila ketiga, sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila keempat melandasi sila kelima. Pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hirarkis sila-sila Pancasila menurut urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifat- sifatnya (kwalitas). Dengan demikian, diperoleh pengertian bahwa menurut urut-urutannya, setiap sila merupakan pengkhususan dari sila- sila yang ada didepannya.



Garuda Pancasila



Dalam susunan hirarkis dan piramidal, sila Ketuhanan yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila lainnya. Secara ontologis, kesatuan silasila Pancasila sebagai suatu sistem yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, sebagaimana 33



diungkapkan oleh Notonagoro (1984:61 dan 1975:52-57), bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (sila pertama). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (sila kedua). Dengan demikian, negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (sila ketiga). Selanjutnya terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara di samping wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah totalitas individu- individu dalam negara yang bersatu (sila keempat). Adapun keadilan yang pada hakikatnya merupakan tujuan bersama atau keadilan sosial (sila kelima) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara. Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi. Sila- sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau



2)



mengkualifikasi dalam kerangka hubungan hirarkis piramidal seperti di atas. Dalam rumusan ini, tiap-tiap sila mengandung empat sila lainnya atau dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan hubungan kesatuan keseluruhan sila-sila Pancasila yang dipersatukan dengan rumusan hirarkis piramidal tersebut, berikut disampaikan kesatuan sila- sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi. a. Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan 34



Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b.



Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



c. Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-



Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. d.



Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah kera k yat an yan g b e r- K e t uh anan Yan g Maha Es a , berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat



Indonesia. e. Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975: 43-44). Salah satu pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam bentuk musyawarah yang masih hidup dan berkembang di dalam masyarakat Aceh didasarkan pada asas narit maja (ungkapan), meunyoe ka tameupakat lampoh jeurat tapeugala. Artinya, jika sesuatu telah dimusyawarahkan maka semuanya harus dihormati dan dipatuhi, 35



meskipun tanah kuburan (sesuatu yang berharga) tergadaikan.



Gambar: Musyawarah untuk Mufakat dalam Masyarakat Aceh sebagai salah satu Pengamalan dari Nilai Sila Ke-2 dan Sila ke-4 Pancasila. (Sumber Ilustrasi: Majalah Tuhoe, JKMA Aceh, 2018)



Selain itu, nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat dirinci sebagai berikut: 1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan



agama dan kepercayaan masing- masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. b. Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut- penganut kepercayaan yang berbeda- beda, sehingga terbina kerukunan hidup. c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya. 36



d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang



lain. 2) Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan b. c. d. e.



kewajiban antara sesama manusia. Saling mencintai sesama manusia. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo seliro. Tidak semena-mena terhadap orang lain. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.



Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. g. Berani membela kebenaran dan keadilan. h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh f.



umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain. 3) Sila Persatuan Indonesia a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepent ingan dan



keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. c. Cinta tanah air dan bangsa. d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.



e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka TunggalIka. 4) Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam



permusyawaratan/perwakilan. a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. 37



c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk



kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. e. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan d.



melaksanakan hasil keputusan musyawarah. f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati



nurani yang luhur. g.



Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.



5) Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang



mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. b. Bersikap adil. c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. d. Menghormati hak-hak orang lain. e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain. f.



Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.



g. Tidak bersifat boros. h. Tidak bergaya hidup mewah. i.



Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.



Suka bekerja keras. k. Menghargai hasil karya orang lain. l. Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan j.



berkeadilan sosial. (DirBelmawa, 2013:16).



38



Namun demikian, dewasa ini ideologi Pancasila cenderung menghadapi tantangan serius.Salah satu tantangan yang paling dominan dewasa ini adalah globalisasi. Globalisasi merupakan era saling keterhubungan antara masyarakat suatu bangsa dan masyarakat bangsa yang lain, sehingga masyarakat dunia menjadi lebih terbuka. Dengan demikian, kebudayaan global terbentuk dari pertemuan beragam kepentingan yang mendekatkan masyarakat dunia. Sastrapratedja menengarai beberapa karakteristik kebudayaan global sebagai berikut: Berbagai bangsa dan kebudayaan menjadi lebih terbuka terhadap pengaruh timbal balik. 2) Pengakuan akan identitas dan keanekaragaman masyarakat dalam 1)



berbagai kelompok dengan pluralisme etnis dan religius. 3) Masyarakat yang memiliki ideologi dan sistem nilai yang berbeda bekerjasama dan bersaing, sehingga tidak ada satu pun ideologi yang dominan. 4) Kebudayaan global merupakan sesuatu yang khas secara utuh, tetapi



tetap bersifat plural dan heterogen. 5) Nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan, demokrasi menjadi nilai- nilai yang dihayati bersama, tetapi dengan interpretasi yang berbeda-beda (Sastrapratedja, 2001:26--27). Dalam hal ini, perlu diidentifikasikan unsur-unsur mempengaruhi ideologi Pancasila sebagai berikut:



yang



1) Unsur ateisme yang terdapat dalam ideologi Marxisme atau



komunisme bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Unsur individualisme dalam liberalisme tidak sesuai dengan prinsip



nilai gotong royong dalam sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 3) Kapitalisme yang memberikan kebebasan individu untuk menguasai sistem perekonomian negara tidak sesuai dengan prinsip ekonomi 39



kerakyatan. Salah satu dampak yang dirasakan dari kapitalisme ialah munculnya gaya hidup konsumtif (Buku Ajar MKWU Pendidikan Pancasila, 2016:125). Pancasila sebagai ideologi, selain menghadapi tantangan dari ideologi-ideologi besar dunia juga menghadapi tantangan dari sikap dan perilaku kehidupan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat umum.Tantangan itu meliputi, antara lain: teroris medan narkoba. Sebagaimana yang telah diinformasikan oleh berbagai media masa bahwa teroris medan narkoba merupakan ancaman terhadap keberlangsungan hidup bangsa Indonesia dan ideologi negara. Beberapa unsur ancaman yang ditimbulkan oleh aksi terorisme, antara lain: 1) Rasa takut dan cemas yang ditimbulkan oleh bom bunuh diri



mengancam keamanan negara dan masyarakat pada umumnya. 2) Aksi terorisme dengan ideologinya menebarkan ancaman terhadap



kesatuan bangsa, sehingga mengancam disintegrasi bangsa. 3) Aksi terorisme menyebabkan investor asing tidak berani menanamkan modal di Indonesia dan wisatawan asing enggan berkunjung ke Indonesia, sehingga mengganggu pertumbuhan perekonomian negara. Berikut inigambar yang mencerminkan tentang terorisme (Buku Ajar MKWU Pendidikan Pancasila, 2016:126). Beberapa unsur ancaman yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkoba meliputi hal- hal sebagai berikut: 1) Penyalahgunaan narkoba di kalangan generasi muda dapat merusak



masa depan mer eka, sehingga ber imp l ik as i t er hadap keberlangsungan hidup bernegara di Indonesia. 2) Perdagangan dan peredaran narkoba di Indonesia dapat merusak



40



reputasi negara Indonesia sebagai negara yang berlandaskan pada nilai- nilai Pancasila. 3) Perdagangan narkoba sebagai barang terlarang merugikan sistem perekonomian negara Indonesia karena peredaran illegal tidak sesuaidengan peraturan perundang- undangan (Buku Ajar MKWU Pendidikan Pancasila, 2016:127). Pada bagian ini, akan dilihat Pancasila sebagai ideologi negara berakar dalam kehidupan masyarakat. Unsur-unsur sosiologis yang membentuk Pancasilasebagai ideologi negara meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat ditemukan dalam kehidupan



beragama masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk kepercayaan dan keyakinan terhadap adanya kekuatan gaib. 2) Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dapat ditemukan dalam hal



saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain, tidak bersikap sewenang-wenang. 3) Sila Persatuan Indonesia dapat ditemukan dalam bentuk solidaritas,



rasa setia kawan, rasa cinta tanah air yang berwujud pada mencintai produk dalam negeri. 4) Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam



Permusyawaratan/Perwakilan dapat ditemukan dalam bentuk menghargai pendapat orang lain, semangat musyawarah dalammengambil keputusan. 5) Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tercermin dalam



sikap suka menolong, menjalankan gaya hidup sederhana, tidak menyolok atau berlebihan (Buku Ajar MKWU Pendidikan Pancasila, 2016:132).



41



Pancasila yang dirumuskan sebagai dasar negara merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang pernah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia di masa lalu.Hal ini terlihat dari unsurunsur pembentuknya dan tujuan dibentuknya Pancasila atau dengan kata lain dapat diperhatikan dari causa materialis dan causa formalisnya. Unsur-unsur sosiologis yang membentuk Pancasilasebagai ideologi negara meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat ditemukan dalam kehidupan



beragama masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk kepercayaan dan keyakinan terhadap adanya kekuatan gaib. 2) Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dapat ditemukan dalam hal saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain, tidak bersikap sewenang-wenang. 3) Sila Persatuan Indonesia dapat ditemukan dalam bentuk solidaritas,



rasasetia kawan, rasa cinta tanah air yang berwujud pada mencintai produkdalam negeri. 4) Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam



Permusyawaratan/Perwakilan dapat ditemukan dalam bentuk menghargai pendapat orang lain, semangat musyawarah dalam mengambil keputusan. 5) Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tercermin dalam sikapsuka menolong, menjalankan gaya hidup sederhana, tidak menyolok atauberlebihan. (Buku Ajar MKWU Pendidikan Pancasila, 2016:132). Selanjutnya, Pancasila terbentuk tidak terlepas dari kondisi politik negara. Unsur-unsur politik pembentuk Pancasila sebagai ideologi negara dapat dilihat sebagai berikut: 1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa diwujudkan dalam bentuk



semangattoleransi antarumat beragama. 42



2) ) Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab diwujudkan



penghargaanterhadap pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. 3) Sila Persatuan Indonesia diwujudkan dalam mendahulukan



kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan kelompok atau golongan, termasuk partai. 4) Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam



Permusyawaratan/Perwakilan diwujudkan dalam mendahulukan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah daripada voting. 5) Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia diwujudkan dalambentuk tidak menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) untuk memperkaya diri atau kelompok karena penyalahgunaan kekuasaan itulah yang menjadi faktor pemicu terjadinya korupsi. (Buku Ajar MKWU Pendidikan Pancasila, 2016:132-133). Dalam hal ini, suatu ideologi memiliki beberapa dimensi pembentuknya. Demikian halnya dengan Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. Pancasila sebagai ideologi negara memiliki dimensi sebagai berikut: 1) Dimensi realitas mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam dirinya bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup dalam masyarakatnya. Hal ini mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila bersumber dari nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia sekaligus juga berarti bahwa nilai-nilai Pancasila harus dijabarkan dalam kehidupannyata sehari-hari baik dalam kaitannya dengan kehidupan ber masyarakat maupun dalam segala aspek penyelenggaraan negara. 2) Dimensi idealitas mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai dasar Pancasila 43



mengandung adanya tujuan yang dicapai sehingga menimbulkan harapan dan optimisme serta mampu menggugah motivasi untuk mewujudkan cita-cita. 3) Dimensi fleksibilitas mengandung relevansi atau kekuatan yang



merangsang masyarakat untuk mengembangkan pemikiranpemikiran baru tentang nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, Pancasila sebagai ideologi bersifat terbuka karena bersifat demokratis dan mengandung dinamika internal yang mengundang dan merangsang warga negara yang meyakininya untuk mengembangkan pemikiran baru, tanpa khawatir kehilangan hakikat dirinya (Alfian, 1991:192 – 195). Oleh karena itu, Pancasila sebagai ideologi negara harus diwejantahkan dalam kehidupan sehari- hari oleh semua warga negara Indonesia karena bersumber dari budaya bangsa. Pancasila sebagai ideologi negara memiliki peranan nyata dalam kehidupan masyarakat sehari- hari, sebagai berikut: 1) Ideologi negara sebagai penuntun warga negara, artinya setiap perilaku warga negara harus didasarkan pada preskripsi moral. Contohnya, kasus narkoba yang merebak di kalangan generasi muda menunjukkan bahwa preskripsi moral ideologis belum disadari kehadirannya. Oleh karena itu,diperlukan norma-norma penuntun yang lebih jelas, baik dalam bentuk persuasif, imbauan maupun penjabaran nilai-nilai Pancasila ke dalam produk hukum yang memberikan rambu yang jelas dan hukuman yangsetimpal bagi pelanggarnya. 2) Ideologi negara sebagai penolakan terhadap nilai-nilai yang tidak sesuaidengan sila-sila Pancasila. Contohnya, kasus terorisme yang terjadi dalambentuk pemaksaan kehendak melalui kekerasan. Hal ini bertentangan nilaitoleransi berkeyakinan, hak-hak asasi manusia, 44



dan semangat persatuan. (Buku Ajar MKWU Pendidikan Pancasila, 2016:136). C. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA



Nilai-nilai dasar Pancasila dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, nilai-nilai tersebut tetap dapat diterapkan dalam berbagai kehidupan bangsa dari masa ke masa. Hal tersebut dikarenakanPancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka. Sebagai suatu sistem pemikiran, ideologi sangatlah wajar jika mengambil sumber atau berpandangan dari pandangandan falsafah hidup bangsa. Hal tersebut akanmembuat ideologi tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kecerdasan kehidupan bangsa. Artinya, ideologi tersebut bersifat terbuka dengan senantiasa mendorong terjadinya perkembangan-perkembangan pemikiran baru tentang ideologi tersebut, tanpa harus kehilangan jatidirinya. Kondisi ini akan berbeda sama sekali, jika ideologi tersebut berakar pada nilai-nilai yang berasal dari luar bangsanya atau pemikiran perseorangan. Ideologi yang seperti itu akan kaku dan cenderung bersifat dogmatis sempit. Dengan kata lain, ideologi tersebut bersifat tertutup. Ciri khas ideologi terbuka adalah nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat itu sendiri. Dasarnya dari konsensus masyarakat, tidak diciptakan oleh negara, melainkan ditemukan dalam masyarakat sendiri. Oleh sebab itu, ideologi terbuka adalah milik dari semua rakyat, masyarakat dapat menemukan dirinya di dalamnya. (Kemendikbud, 2015:13). Ideologi terbuka mempunyai banyak sekali keunggulan dibandingkan dengan ideologi tertutup. Keunggulan tersebut dapat kita temukan dengan cara membandingkan karakteristik kedua ideologi 45



tersebut. Dalam tabel berikut dipaparkan perbedaan karakteristik kedua ideologi tersebut. Tabel 1. Perbedaan antara Ideologi Terbuka dengan Ideologi Tertutup Perbedaan Ideologi Tertutup No Ideologi Terbuka 1



2



3



4



5



6



7



Sistem pemikiran yang terbuka Nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat itu sendiri Dasar pembentukan ideologi bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dan kesepakatan dari masyarakat itu sendiri Tidak diciptakan oleh negara, melainkan oleh masyarakat itu sendiri, sehingga ideologi tersebut adalah milik seluruh rakyat atau anggota masyarakatnya Tidak hanya dibenarkan, melainkan dibutuhkan oleh seluruh warga masyarakat Isinya bersifat operasional, kecuali apabila sudah dijabarkan ke dalam perangkat yang berupa konstitusi atau peraturan perundang-undangan lainnya Senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan aspirasi, pemikiran, dan akselerasi dari masyarakat dalam mewujudkan cita-citanya untuk hidup untuk hidup berbangsa sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan



Sistem pemikiran yang tertutup Cenderung untuk memaksakan mengambil nilai-nilai ideologi dari luar yang tidak sesuai dengan keyakinan dan pemikiran masyarakatnya Dasar pembentukannya adalah citacita atau keyakinan ideologis perseorangan atau sekelompok orang



Pada dasarnya ideologi tersebut diciptakan oleh negara, dalam hal ini penguasa negara yang mutlak harus diikuti oleh seluruh warga masyarakat Pada hakekatnya ideologi tersebut hanya dibutuhkan oleh penguasa negara untuk melanggengkan kekuasaannya dan cenderung memiliki nilai kebenaran hanya dari sudut pandang penguasa semata Isinya terdiri dari tuntutan-tuntutan konkret dan operasional dengan sifat keras yang wajib oleh seluruh warga masyarakatnya



Tertutup terhadap pemikiranpemikiran baru yang berkembang dalam masyarakatnya



Sumber: Data Olahan dari Berbagai Sumber



46



Dalam hal ini, Pancasila dapat dipandang sebagai ideologi terbuka karena berasal dari budaya bangsa yang digali oleh para pendiri negara. Pancasila berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah bangsa, sehingga memenuhi prasyarat menjadi ideologi yang terbuka. Sekalipun Pancasila bersifat terbuka, tidak berart i bahwa keterbukaannya adalah sebegiturupa sehingga dapat memusnahkan atau meniadakan jati diri Pancasila sendiri. Keterbukaan Pancasila mengandung pengertian bahwa Pancasila senantiasamampu berinteraksi secara dinamis. Nilai-nilai Pancasila tidak berubah, namun pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan nyata yang kita hadapi dalam setiap waktu. Hal ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa ideologi Pancasila bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, keterbukaan ideologi Pancasila mengandung nilai-nilai sebagai berikut: 1) Nilai Dasar, yaitu hakikat kelima sila Pancasila: Ketuhanan,



Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan. Nilai-nilai dasar tersebut bersifat universal, sehingga di dalamnya terkandung citacita, tujuan, serta nilai-nilai yang baik dan benar. Nilai dasar ini bersifat tetap dan terlekat pada kelangsungan hidup negara. Nilai dasar tersebut selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UndangUndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Nilai instrumental, yaitu penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Misalnya program-program pembangunan yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman dan aspirasi masyarakat, undang-undang, dan departemen-departemen sebagai lembaga pelaksana juga dapat berkembang. Pada aspek ini senantiasa dapat dilakukan perubahan. 47



3)



Nilai praksis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam realisasi praksisinilah maka penjabaran nilai-nilai Pancasila senantiasa berkembangdan selalu dapat dilakukan perubahan dan perbaikan (reformasi) sesuai dengan perkembangan zaman dan aspirasi masyarakat. Inilah sebabnya bahwa ideologi Pancasila merupakan ideologi yang terbuka (Kemendikbud, 2015:14). Suatu ideologi selain memiliki aspek-aspek yang bersifat ideal



yang berupa cita-cita, pemikiran-pemikiran serta nilai-nilai yang dianggapbaik, juga harus memiliki norma yang jelas. Hal ini dikarenakan suatuideologi harus mampu direalisasikan dalam kehidupan nyata. Oleh karenaitu, Pancasila sebagai ideologi terbuka secara struktural memiliki tiga dimensi, yaitu: 1) Dimensi Idealisme Dimensi idealisme menekankan bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang bersifat sistematis, rasional dan menyeluruh itu, idealisme yang terkandung dalam Pancasila mampu memberikan harapan dan optimisme serta mampu mendorong motivasi pendukungnya untuk berupaya mewujudkan cita-citanya. 2) Dimensi normatif Dimensi normatif mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem norma sebagaimanaterkandung dalam norma-norma keagamaan. Dalam pengertian iniPancasila terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan tertib hukum tertinggi dalam negara Republik Indonesia serta merupakan staats fundamental norm (pokok kaidah negara yang fundamental). Dengan kata lain, 48



Pancasila agar mampu dijabarkan ke dalam langkah-langkah yang bersifat operasional, perlu memiliki norma atau aturan hukum yang jelas. 3) Dimensi Realitas Dimensi realitas mengandung makna bahwa suatu ideologi harus mampu mencerminkan realitas kehidupan yang berkembang masyarakat. Dengan kata lain, Pancasila memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiranpemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya. Oleh karena itu, Pancasila harus mampu dijabarkan dalam kehidupan masyarakatnya secara nyata baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam penyelenggaraan negara (Kemendikbud, 2015:14). Berdasarkan dimensi yang dimiliki oleh Pancasila sebagai ideologiterbuka, maka ideologi Pancasila: 1) Tidak bersifat utopis, yaitu hanya merupakan sistem ide-ide belaka



yang jauh dari kehidupan sehari-hari secara nyata. 2) Bukan merupakan suatu doktrin belaka yang bersifat tertutup, melainkan suatu norma yang bersifat idealis, nyata dan reformatif yang mamapu melakukan perubahan. 3) Bukan merupakan suatu ideologi yang pragmatis, yang hanya menekankan pada segi praktis-praktis belaka tanpa adanya aspek idealisme. (Kemendikbud, 2015:15). Pancasila dapat dipastikan bukan merupakan ideologi tertutup, tetapiideologi terbuka. Akan tetapi, meskipun demikian keterbukaan Pancasila bukan berarti tanpa batas. Keterbukan ideologi Pancasila harus selalu memperhatikan: 49



1) Stabilitas nasional yang dinamis. 2) Larangan untuk memasukan pemikiran-pemikiran yang mengandung



nilai-nilai ideologi marxisme, leninisme, dan komunisme. 3) Mencegah berkembanganya paham liberal. 4) Larangan terhadap pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan masyarakat. 5) Penciptaan norma yang barus harus melalui konsensus(Kemendikbud, 2015:15-16). RANGKUMAN 1. Ideologi merupakan cerminan cara berfikir orang Ideologi merupakan cerminan cara berfikir orang atau masyarakat yang sekaligus membentuk orang atau atau masyarakat yang sekaligus membentuk orang atau masyarakat itu menuju cita- cita yang mereka inginkan. Ideologi merupakan sesuatu yang dihayati dan diresapi menjadi suatu keyakinan. Ideologi merupakan suatu pilihan yang jelas membawa komitmen ((keterikatan) untuk mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang, maka akan semakin tinggi untuk mewujudkannya. 2. Pancasila sebagai ideologi, selain menghadapi tantangan dari



ideologi- ideologi besar dunia juga menghadapi tantangan dari sikap dan perilaku kehidupan yang menyimpang dari norma- norma masyarakat umum. Tantangan itu meliputi, antara lain: terorisme dan narkoba. Sebagaimana yang telah diinformasikan oleh berbagai media masa bahwa terorisme dan narkoba merupakan ancaman terhadap keberlangsungan hidup bangsa Indonesia dan ideologi negara.



50



SOALLATIHAN Pilihlah jawaban yang saudara anggap paling benar. 1. Jelaskan pengertian ideologi secara gramatikal. a. Ilmu cita- cita c. Ilmu tentang cita- cita b. Pengetahuan tentang ide d. Upaya mencapai tujuan 2. Jelaskan defenisi ideologi secara konseptual. a. Paham tentang keyakinan c. Pedoman bernegara b. Pedoman hidup d. Landasan berpikir 3. Istilah ideologi pertama sekali berkembang di negara. a. Amerika c. Rusia b. Prancis d. Cina 4. Pencetus ideologi pertama adalah. a. Soekarno b. Abraham Lincoln



c. Tracy d. Napoleon



5. Ideologi berfungsi sebagai. a. Pedoman normatif b. Pandangan hidup



c. Pedoman hidup d. Cita- cita hidup



6. Unsur- unsur ideologi, kecuali. a. Pemerintah b. Pendukung



c. Keyakinan d. Mitos



7. Dimensi ideologi, kecuali. a. Realita b. Idealisme



c. Fleksibilitas d. Kontinuitas



8. Ideologi Liberal memandang manusia sebagai. a. Makhluk individu-sosial c. Makhluk individu b. Makhluk bebas d. Makhluk sosial 9. Ideologi Komunis memandang manusia sebagai. a. Makhluk individu-sosial c. Makhluk individu b. Makhluk bebas d. Makhluk sosial



51



10. Ideologi Pancasila memandang manusia sebagai. a. Makhluk individu-sosial c. Makhluk individu b. Makhluk bebas d. Makhluk sosial



52



53



54



BAB II NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengertian, unsur, prinsip, dan konsep Negara, kekuasaan, macam jabatan, dan wewenang pemerintah, penyelenggaraan otonomi daerah, dan sistem pemerintahan Aceh. MATERI PEMBELAJARAN A. Pengertian, unsur, prinsip dan konsep negara. B. Pengertian, kekuaasaan, macam jabatan, dan wewenang pemerintah. C. Penyelenggaran otonomi daerah. D. Sistem Pemerintahan Aceh.



URAIAN MATERI A.



NEGARA 1. Pengertian Negara



Negara merupakan gejala kehidupan umat manusia di sepanjang sejarah umat manusia. Konsep negara berkembang mulai dari bentuknya yang paling sederhana sampai ke yang paling kompleks di zaman sekarang. Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama dalam masyarakat, negara selalu menjadi pusat perhatian dan objek kajian bersama. Pengertian Negara adalah suatu organisasi kekuasaan manusia-manusia (masyarakat) dan merupakan alat yang akan dipergunkan untuk mencapai tujuan bersama. Tiap-tiap negara mempunyai tujuannya, adapun macam-macam tujuan negara, antara lain: 55



a. Untuk memperluas kekuasaan semata-mata. b. Untuk menyelenggarakan ketertiban hukum. c. Untuk mencapai kesejahteraan umum.



Mengenai tujuan negara terdapat berbagai ajaran, yang antara lain adalah: a. Ajaran Plato: Negara bertujuan untuk memajukan kesusilaan



manusia, sebagai perseorangan (individu) dan sebagai makhluk sosial. b. Ajaran Negara Kekuasaan: pengajar ajaran ini antara lain adalah Machiavelli dan Shang Yang. Tujuan negara untuk memperluas kekauasaan semata-mata dan karena itu disebut negara kekuasaan. Menurut ajaran ini. Orang mendirikan negara dengan maksud menjadikan negara itu besar dan jaya. Untuk mencapai kejayaan negara, rakyat harus rela berkorban, ini berarti kepentingan-kepentingan orang-perseorangan diletakan dibawah kepentingan bangsa dan negara. Rakyat hanya menjadi alat belakan. Dikorbankan untuk perluasan kekuasaan. Negara yang demikian merupakan negara diktator militer. c. Ajaran Teokratis (kedaulatan Tuhan); tujuan negara menurut



ajaran ini adalah untuk mencapai kehidupan dan penghidupan yang aman dan tenteram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Pemimpin negara menjalankan kekuasaan hanyalah berdasarkan kekuasaan Tuhan yang diberikan kepadanya (Thomas Aquinus, Agustinus, dan sebagainya). d. Ajaran nagara polisi: negara bertujuan untuk mengatur sematamata keamanan dan ketertiban dalam negara (kant). e. Ajaran Negara Hukum: negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dengan berdasarkan dan berpedoman kepada hukum (Krabbe). Dalam negara hukum segala kekuasaan dan alat-alat pemerintahannya didasarkan atas hukum. Semua orang



56



tanpa kecuali harus taat dan tunduk pada hukum, hanya hukumlah yang berkuasa dalam negara itu. Apapun yang terjadi keadilan hukum harus ditegakkan. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri menurut semau-maunya yang bertentangan dengan hukum (dilarang main hakim sendiri). Di negara hukum hak-hak rakyat dijamin seluruhnya oleh negara. Sebaliknya rakyat berkewajiban pula memetuhi seluruh peraturan yang dikeluarkan oleh negara. f. Negara Kesejahteraan: (Welfare State), Tujuan negara ini adalah



untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Negara dipandang sebagai alat belaka yang dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama, kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara. Berkaitan dengan tujuan negara, dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 dicantumkan tujuan dari Negara Indonesia yaitu: a. Untuk memajukan kesejahteraan umum. b. Mencerdaskan kehidupan bangsa. c. Ikut melaksankan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,



perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Selain itu dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 juga ditetapkan bahwa, Negara Indonesia berdasarkan hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtssstaat), dari penjelasan UUD 1945, jelaslah bahwa negara Indonesia adalah suatu negara yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 2. Unsur-Unsur Negara Pada umumnya, suatu negara harus memenuhi unsur-unsur, yaitu: 57



a) Harus Adanya Wilayah Adapun wilayah suatu negara dapat dibagi atas wilayah darat, wilayah laut (perairan), dan wilayah udara. a. Wilayah Daratan Wilayah daratan dari suatu negara dibatasi oleh wilayah daratan dan/atau wilayah laut (perairan) dari negara lain. Pembatasan wilayah negara yang satu dengan wilayah negara yang lain biasanya ditentukan dalam perjanjian. Perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih disebut perjanjian antar negara (perjanjian internasional). Perjanjian Internasional yang dibuat antar dua negara saja disebut perjanjian bilateral. Sedangkan perjanjian yang dibuat antar banyak negara disebut perjanjian multilateral. Perbatasan antara dua negara dapat berupa: a) Pembatasan alam: sungai, danau, pergunungan atau



lembah. b) Pembatasan buatan: pagar tembok, pagar kawat berduri,



tiang-tiang tembok. c) Pembatasan menurut ilmu pasti: garis lintang atau garis



bujur pada peta bumi, contonya; batas antara Korea Utara dengan Korea Selatan ialah garis Lintang Utara 38*. b. Wilayah Laut (Perairan)



Bagian dari laut (perairan) yang masuk wilayah suatu negara disebut lautan atau perairan teritorial dari negara yang bersangkutan. Adapun batas perairan toritorial ini pada umumnya 3 mil laut (5,5555 KM) dihitung dari pantai ketika iar surut. Laut di luar parairan teritorial disebut dengan Lautan Bebas (Mare Liberum).



58



Disebut Lautan Bebas karena wilayah perairan tersebut tidak termasuk wilayah kekuasaan suatu negara. Setiap orang dapat dengan bebas melakukan sesuatu dilautan tersebut. Misalnya; (a) bebas menangkap ikan; (b) bebas melayarinya; (c) bebas mencari barang-barang disar laut, dan sebagainya. c. Wilayah Udara



Wilayah udara berada diatas wilayah daratan dan wilayah laut (perairan) teritorial suatu negara, termasuk dalam wilayah negara tersebut. Tingginya tidak ada batasnya, asal dapat dipertahankan oleh negara yang bersangkutan. b) Harus Adanya Rakyat Rakyat suatu negara adalah semua orang yang berada di wilayah negara itu dan tunduk pada kekuasaan negara tersebut. c) Adanya Pemerintahan Negara Pemerintahan negara merupakan kekuasaan yang diberikan kepada negara oleh rakyat sebagai pemegang kedautan tertinggi. 3. Prinsip Negara Kesatuan Prinsip negara kesatuan dengan mengingat dan memperhatikan hal-hal berikut: a.



Sistem pemerintahan terdiri dari satuan Pemerintahan Nasional (Pemerintah Pusat) dan satuan Pemerintahan Sub Nasional (Pemerintah Daerah). Kedaulatan yang melekat pada bangsa dan negara Indonesia tidak dibagi-bagi dalam satuan pemerintahan subnasional tersebut, Oleh karena itu, satuan pemerintahan subnasional tidak memiliki kekuasaan untuk membentuk undangundang dasar dan undang-undang serta susunan organisasi pemerintahannya sendiri.



59



b.



Pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan dan pengembangan pemerintah pusat yang bahkan dapat dihapus oleh pemerintah pusat melalui prosese hukum. Keberadaan satuan pemerintah daerah adalah tergantung (dependent) dan dibawah (subordinat) pemerintah pusat. Walaupun demikian, penyelenggaraan pemerint aha n Indonesia tidak akan sepenuhnya didasarkan atas sentralisasi belakang.



c. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk (pluralis)



yang mempunyai aspirasi beragam pula (Bhinneka Tunggal Ika). Aspirasi yang beragam ini perlu diakomodasi secara kelembagaan dengan memberi otonomi daerah melalui desentralisasi sesuai dengan kebutuhan. Dalam rangka desentralisasi di wilayah Indonesia dibentuk provinsi dan di wilayah provinsi dibentuk kabupaten dan kota sebagai daerah otonom. d. Secara yuridis dan politis, otonomi daerah diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat setempat dalam wilayah tertentu guna terselenggarannya pemerintahan sendiri sesuai dengan kondisi dan potensi masyarakat setempat. Dalam daerah otonom itulah terselenggara otonomi daerah. 4. Konsep Negara Indonesia Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang menganut desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. 60



Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku. Sebagai negara yag menganut desentralisasi mengandung arti bahwa urusan pemerintahan itu terdiri atas urusan pemerintah pusat dan urusan pemerintah daerah. Artinya ada perangkat pemerintah pusat dan ada perangkat pemerintah daerah. Dengan merujuk pada rumusan tujuan negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 khususnya pada redaksi “memajukan kesejahteraan rakyat” itu merupakan konsep negara kesejahteraan, maka ada kewajiban pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum. Dengan demikian negara Indonesia tergolong sebagai negara kesejahteraan, karena tugas pemerintah tidak sematamata hanya dibidang pemerintahan saja, melainkan harus juga melaksanakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan negara, yang dijalankan melalui pembangunan nasional (Sjachran Basah, 1985: 2-3). B. PEMERINTAH/PEMERINTAHAN 1. Pengertian Pemerintah/Pemerintahan



Secara teoritik dan praktik, terdapat perbedaan antara pemerintah dengan pemerintahan. Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara (Kamus besar bahasa Indonesia, 1996: 756). Dengan ungkapan lain, pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksanaan tugas pemerintah. Dalam hal ini Aminuddin Ilmar menambahkan bahwa arti kata pemerintahan berkaitan dengan fungsi pemerintahan atau bagaimana pemerintahan itu dijalankan atau dilaksanakan (Aminuddin, 2014: 31). Lebih lanjut, pemerintahan dapat dipahami melalui dua pengertian: dalam arti “fungsi pemerintahan” 61



(kegiatan



memerintah),



dalam



arti



“organisasi



pemerintahan”



(kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan) (M. Hadjon, dkk, 2008: 6). Sedangkan pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan (Nata Saputra, 1988: 4). Pemerintah sebagai organ/alat kelengkapan negara dapat diartikan: a.



Dalam arti luas (in the broad sense), mencakup semua alat kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabangcabang kekuasaan yaitu, kekuasaan eksekutif, kekuasaan legeslatif dan kekuasaan yudikatif. Pemerintah dalam arti luas merupakan semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam negara baik eksekutif, legeslatif maupun yudikatif. Bentuk Pemerintah yang terkenal yaitu: 1) Kerajaan (Monarki) merupakan negara yang dikepalai oleh



seorang raja dan bersifat turun temurun dan menjabat untuk seumur hidup. Selain raja, kepala negara monarki dapat berupa kaisar atau syah (Kaisar Kerajaan Jepang, Syah Iran dan sebagainya). Contoh Monarki: Inggis. Belanda, Norwegia, Swedia, dan Muang Thai. 2) Republik merupakan negara dengan pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh seorang Presiden sebagai Kepala Negara yang dipilih oleh rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu (Amerika Serikat 4 tahun, Indonesia 5 tahun). b. Dalam arti sempit (in the narrow sense), adalah cabang kekuasaan



eksekutif . Pemerintah dalam arti sempit merupakan organ/alat perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerint ahan melaksanakan undang-undang.



62



Contohnya: 1) Menurut UUD 1945, pemerintah ialah Presiden yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri-menteri. 2) Menurut UUD 1950, pemerintah ialah Presiden, Wakil Presiden bersama-sama dengan menteri-menteri. 3) Menurut Konstitusi Ris 1949, pemerintah ialah Presiden bersama menteri-menteri. 2. Kekuasaan Pemerintah Salah satu ciri negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara. Ide pembatasan kekuasaan dianggap mutlah harus ada, karena sebelumnya fungsi kekuasaan negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu orang, yaitu Raja atau Ratu yang memimpin negara secara turun-temurun. Pembatasan kekuasaan (limitation of power) dilakukan dengan mengadakan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu mengadakan pembagian kekuasaan (division of power atau distribution of power) dan pemisahan kekuasaan negara (separation of power) dalam beberapa fungsi yang berbeda-beda. John Locke membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi yaitu, fungsi legislatif, fungsi eksekutif dan fungsi federatif. Selanjutnya Montesquieu dengan teorinya “trias politica” (Hafner, 1949), dalam bukunya “L'Esprit des Lois (1748) yang didasari dari pemikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu membedakan fungsi-fungsi kekuasaan yaitu a). Cabang kekuasaan legeslatif sebagai pembuat undang-undang, b). Cabang kekuasaan eksekutif yang melaksanakan, dan c). Kekuasaan untuk mengahakimi atau yudikatif. Selain itu, Van Vollenhoven, melakukan pembagian fungsi kekuasaan juga, yaitu dalam empat fungsi yang kemudian dikenal dengan sebutan “Catur Praja” yaitu: 63



a) Regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan fungsi



legeslatif menurut Moutesquieu. b) Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif. c) Rechpraak (peradilan); dan d) Politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (sosial order) dan peri kehidupan bernegara. Di Negara Indonesia, pembatasan kekuasaan cenderung mengikuti pola pembatasan fungsi kekuasaan Montesquieu yaitu fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tetapi bukan melakukan pemisahan terhadap fungsi kekuasaan melainkan melakukan pembagian dari fungsi kekuasaan (division of power), artinya fungsi-fungsi kekuasaan tidak dipisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan tetapi dibagi sesuai denganfungsinya. Antara satu fungsi kekuasaan dengan fungsi kekuasaan yang lain dimungkinkan adanya saling kerjasama. Kekuasaan negara di Indonesia menurut UUD 1945 dibagi dalam tiga cabang kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif yang masing-masing mempunyai fungsi dalam penyelenggaraan negara sebagai betikut: Hal ini dapat dilihat dalam bab-bab UUD 1945 yang menyebutkan: a) Bab III tentang kekuasaan Pemerintahan Negara (eksekutif). b) Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif).



c) Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman (yudikatif). a. Kekuasaan Legislatif Menurut UUD 1945, ada tiga fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu: a)



64



Fungsi Legislasi atau Pengaturan



Cabang kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan kenegaraan pertama adalah mengatur kehidupan bersama, karenanya kewenangan untuk menetapkan peraturan itu ada pada lembaga perwakilan rakyat.



Gedung DPR/MPR Sumber foto: Antara



RI



Ada empat hal yang harus dilaksanakan oleh para wakil rakyat melalui parlemen dalam menjalankan fungsi Legislasi atau Pengaturan, yaitu: 1) Prakarsa pembuatan udang-undang (legislative initiation). 2) Pembahasan rancangan undang-undang (law making process). 3) Persetujuan atas rancangan undang-0undang (law enacment



approval). 4) Pemberian persetujuan pengikatan atai ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang 65



mengikat lainnya (Binding decision making of international agreement and treaties or other legal binding ducument). Dalam bentuk konkrit fungsi pengaturan terwujud dalam fungsi pembentukan undang-undang (wetgevende functie atau law making function). Fungsi ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat dan membatasi warga negara dengan normanorma hukum. Kewenangan ini baru dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum. Peraturan tersebut dinamakan dengan Undang-Undang. Undang-Undang yang dibentuk DPR harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Presiden. Untuk menjalankan Undang-Undang dibutuhkan pengaturan yang lebih operasional. b) Fungsi Pengawasan (Control)



Fungsi pengawasan bertujuan agar segala pengaturan yang telah dibuat dalam Undang-Undang dilaksanakan oleh lembaga Eksekutif dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi pengawasan meliputi: 1) Mengawasi proses perumusan dan penentuan kebijakan



pemerintahan, jangan sampai bertentangan dengan undang-undang. 2) Mengawasi terhadap kegiatan penggangaran dan pelaksanaan



anggaran pendapatan dan belanja negara, yang terkait erat dengan kinerja pemerintah. 3) Mengawasi terhadap kinerja pemerintahan yang berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian pejabat-pejabat publik. c) Fungsi Penganggaran (Budgeting)



Penganggaran negara yang merupakan hak eksekutif dalam mengajuan rancangan anggaran dan pendapat belanja negara harus 66



dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh lembaga perwakilan rakyat. Daya serap anggaran dan pelaksanaan anggaran menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku berhubungan erat dengan kinerja pemerintah. Penganggaran harus berdasar pada pencapaian tujuan negara sebagai mana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang direncanakan melalui rencana pembangunan jangka pendek (RPJP), rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) dan rencana pembangunan jangka panjang (RPJPA). b. Kekuasaan Eksekutif Kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang kewengan administrasi pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam hal ini didunia dikenal ada tiga sistem pemerintahan negara yaitu: 1) Sistem Presidentil Sistem pemerintahan bersifat presidentil apabila: (1). Kedudukan kepala negara tidak terpisah dari jabatan kepala pemerintahan; (2). kepala negara tidak bertanggung jawab kepada parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya; (3). Presiden sebaliknya juga tidak berwenang membubarkan parlemen; (4). Kabinet sepenuhnya beratnggung jawab kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara atai sebagai administrator yang tertinggi. Para menteri kabinet kedudukan sepenuhnya tergantung kepada Presiden. Para menteri diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden. 2) Sistem pemerintahan parlementer atau sistem kabinet Sistem pemerintahan dikatakan bersifat parlementer apabila:



67



(1) Kepemimpinan negara dibagi dalam jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan sebagai dua jabatan yang terpisah. (2) Pemerintahan bertanggung jawab kepada parlemen. (3) Kabinat dapat dibubarkan apa bila tidak mendapat dukungan parlemen. (4) Parlemen juga dapat dibubarkan oleh kepala negara apabila dianggap tidak dapat memberi dukungan kepada pemerintah. 3)



Sistem Campuran Terdapat ciri-ciri presidentil dan ciri-ciri perlementer



secara bersamaan dalam sistem pemerintahan yang diterapkan. Kedudukan kepala negara dipegang oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, tetapi juga ada kepala pemerintahan yang dipimpin oleh seorang pedana menteri yang didukung oleh parlemen seperti dalam parlementer yang biasa. b. Kekuasaan Yudikatif Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan kehakiman (judiciary) merupakan cabang kekuasaan tersendiri disamping lembaga legislatif dan eksekutif. Pembagian tersendiri terhadap kekuasaan kehakiman agar kehakiman tetap bersifat independen dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Pengadilan adalah lembaga kehakiman yang menjamin tegaknya keadilan melalui penerapan undang-undang dan kitab undang-undang. Di Indonesia, terdapat empat sistem peradilan yaitu: 1) Peradilan Umum. 2) Peradilan Agama. 3) Peradilan Militer, dan 68



4) Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).



Sedangkan tingkatan pengadilan terdiri dari: 1) Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negreri. 2) Pengadilan tingkat banding yaitu Pengadilan Tinggi; dan 3) Pengadilan tingkat kasasi yaitu Mahkamah Agung.



1)



Prinsip Poko Kehakiman yaitu: Indepedensi Indefedensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian



dan kemerdekaan hakim dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar hakim berupa intervensi yang mempengaruhi putusan hakim. 2)



Ketidakberpihakan



Ketidak berpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak, menjaga keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. 3)



Integritas Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan



keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Kepribadinan mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesional, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk-rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan rohani dan jasmani atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam melaksanakan tugas. 69



4) Kepantasan dan Kesopanan Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antarpribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim. 5) Kesetaraan Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, fisik, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, status sosial-ekonomi, umur, pandangan politik, maupun alasan-alasan serupa lainnya. 6) Kecakapan dan Kesaksamaan Kecakapan dan kesaksamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari peradilan pendidikan, pelatihan atau pengalaman pelaksanaan tugas. Keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang cermat, hati-hati, teliti, tekun dan sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas. 3. Susunan Pemerintah Negara Indonesia. Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang disertai dengan sistem desentralisasi, sebagai konsekwensi sistem desentrlisasi, tidak semua urusan pemerintahan diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. Berbagai urusan pemerintahan dapat diserahkan atau dilaksanakan atas bantuan satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah dalam bentuk otonomi atau tugas pembantuan (medebewind). Susunan organisasi Republik Indonesia terdiri dari dua susunan utama, yaitu:



70



a. Susunan organisasi tingkat pusat diatur dalam UUD dan dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Ketetapan MPR, UU atau Keputusan. Badan-badan kenegaraan yang diatur dalam UUD 1945 yaitu: Lembaga-lembaga Tinggi Negara 1) Majelis Permusawaratan Rakyat (MPR). 2) 3) 4) 5)



Presiden. Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Badan Pemeriksana Keuangan (BPK).



6) Mahkamah Agung (MA). 7) Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga Tertinggi Negara Majelis Permusyawarat rakyat (MPR). b. Susunan organisasi negara tingkat daerah, sebagai satuan pemerintahan yang lebih rendah menyelenggarakan sebagai urusan pemerintahan yang diserahkan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan yang diserahkan pada daerah menjadi urusan daerah. Pemerintah daerah mempunyai kebebasan (vrijheid) untuk mengatur dan mengurus sendiri dengan pengawasan dari Pemerintah Pusat atau satuan Pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya dari daerah yang bersangkutan.Terbatas hanya pada susunan penyelenggaran pemerintahan (eksekutif) dan unsur-unsur pengaturan (regelen) dalam rangka penyelenggaraan negara. 4. Macam-Macam Jabatan Pemerintahan Sesuai dengan keberadaan negara yang menganut konsep welfare state, ruang lingkup kegiatan administrasi negara atau pemerintahan menjadi sangat luas dan beragam. Keluasan dan 71



keragaman ini sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat yang menuntut pengaturan dan keterlibatan administrasi negara. Karenanya jabatan-jabatan pemerintahan selaku penyelenggara kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan juga banyak dan beragam, bahkan tugas-tugas pemerintahan tidak semata-mata dijalankan oleh jabatan pemerintahan yang telah dikenal secara konvensional seperti instansiinstansi pemerintah, tetapi juga badan-badan swasta. Menurut Indroharto organ pemerintahan atau tata usaha negara dapat dikelompokan: a. Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai eksekutif. b. Instansi-instansi dalam lingkungan negara di luar lingkungan



kekuasan eksekutif yang berdasarkan peraturan perundangundangan melaksanakan urusan pemerintah. c. Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pihak pemerintah



dengan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan sistem perizinan melaksanakan tugas pemerintahan (Indroharto, 1992: 137). Pengelompokan yang lebih lengkap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menyelenggarakan urusan, fungsi atau tugas pemerintahan, yakni sebagai berikut: a.



Mereka yang termasuk dalam lingkungan eksekutif mulai dari Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (termasuk pembantupembantunya di pusat seperti Wakil Presiden, para menteri dan lemabaga-lembaga non-departemen). 72



b. Mereka yang menyelenggarakan urusan desentralisasi, yaitu Kepala



Daerah Tingkat I (termasuk Sekretariat Daerah Tingkat I dan DinasDinas daerah Tingkat I), Kepala Daerah Tingkat II (termasuk Sekretariat Daerah Tingkat II dan Dinas-Dinas Tingkat II dan Pemerintahan Desa. c. Mereka yang menyelenggarakan pemerintahan dekonsentrasi, seperti



Gubernur (termasuk Sekretariat Wilayah dan Kanwil-Kanwil), Bupati (termasuk Sekretariat Wilayah dan Kandep-Kandep). Walikiotamadya, Walikota Administratif, camat, serta Lurah. d. Pihak ketiga atau pihak swasta yang mempunyai hubungan istimewa



atau hubungan biasa dengan pihak pemerintah, abai yang diatau atas dasar hukum publik maupun hukum privat. e. Pihak ketiga atau swasta yang memperoleh konsensi atau izin dari



pemerintah, Pihak ketiga atau swasta yang diberi subsidi oleh pemerintah, misalanya sekolah-sekolah swata;yayasan-yayasan yang didirikan dan diawasi oleh pemerintah. f.



Pihak ketiga atau koperasi yang didirikan dan diawasi oleh pemerintah.



g.



Pihak ketiga atau bank-bank yang didirikan dan diawasai oleh pemerintah.



h.



Pihak ketiga atau swasta yang bertindak bersama-sama dengan pemerintah (Persero), seperti BUMN yang memperoleh atribusi wewenang, PLN, Pos dan Giro, PAM, Telkom, Garuda dan lain-lain.



i.



Ketua Pengadilan Negari, Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Mahkamah agung serta Panitera dalam lingkungan peradilan.



j. Sekretariat pada Lembaga-Lembaga Tertinggi Negara (MPR) dan



Lembaga-Lembaga Tinggi Negara serta Sekretariat pada DPRD.



73



5. Wewenang Pemerintah



Wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan, berkaitan erat dengan asas legalitas. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan pijakan dasar dalam set iap penyelenggaraan negara yang menganut konsepsi negara hukum. Istilah asas legalitas juga dikenal dalam Hukum Pidana yaitu: nullum delictum sine praevia lege poenali, artinya tidak ada hukuman tanpa undangundang. Didalam Hukum Islam asas legalitas dapat lihat dalam ayat: ma kaana mu'adzibiina hatta nab'atsa rasuula, yang artinya “Kami tidak menjatuhkan siksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul”, yang selanjutnya dari ayat ini melahirkan kaidah hukum Islam “la hukma li af'al al'uqola-i qobla wurud al-nash” (tidak ada hukuman bagi orang berakal sebelum ada ketentuan nash). Dalam Peneyelenggraan pemerintahan asas legalitas terdapat dalam hukum administrasi negara yang bermakna, “Dat het betuur aan de wet is onder worpen” (pemerintahan tunduk kepada undang-undang). Dengan demikian asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang. Asas legalitas menjadi acuan dasar bagi pemerintah dalam menjalankan kewenagan untuk bertindak dan berbuat. Kewenangan pemerintahangan untuk bertindak dan berbuat oleh pemerintah disebut juga dengan wewenang. Secara hukum, tidak ada satu tindakan atas perbuatan pemerintah yang tidak didasarkan atas wewenng yang sah. Kewengan menjadi dasar pijakan bagi pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. a. Istilah Wewenang



Dalam literatur hukum administrasi negara dijelaskan, bahwa istilah wewenang sering kali disepadankan dengan kekuasaan. Padahal, istilah kekuasaan tidaklah identik dengan istilah wewenang. Kata 74



wewenang berasal dari kata “authority” (Inggris). Sedangkan istilah kekuasan berasal dari kata “power” (Inggris). Dari kedua istilah terbut jelas terdapat perbedaan makna dan pengertian. Setiap pejabat administrasi negara dalam menjalankan tindakan (menjalankan tugas-tugasnya) harus dilandasi wewenang yang sah, yang diberikan peraturan perundang undangan. Penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan oleh hukum. Oleh karenanya, setiap pejabat administrasi negara sebelum menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan dengan suatu kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menurut P. Nicola, (1994:4), wewenang pemerintahan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu, yakni tindakan atau perbuatan yang dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum dan lengapnya akibat hukum. Dalam wewenang pemerintahan tersimpul adanya hak dan kewajiban dari pemerintah dalam melakukan perbuatan atau tindakan pemerintah. Secara umum wewenang merupakan kekuasaan untuk melakukan semua tindakan hukum publik (Prajudi Admosudirdjo, 1988:76). a. Cara Memperoleh Wewenang



Setiap perbuatan para pejabat administrasi negara harus mempunyai landasan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan sumber wewenang pemerintah terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Parlemen. Untuk memperoleh wewenang pemerintah tersebut, dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu: 1) Atribusi, yatitu pememberian wewenang pemerintah yang baru oleh peraturan-perundang-undangan (produk hukum legislatif) untuk melaksanakan pemerintahan secara penuh. Dengan demikian bararti pelekatan secara atribusi merupakan pembentukan kewenangan baru yang sebelumnya tidak ada dan khusus di bidang pemerintahan yang 75



diberikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan. 2) Delegasi, yaitu suatu pelimpahan wewenang yang telah ada yang berasal dari wewnang atribusi, kepada pejabat administrasi negara, tidak secara penuh, artinya tidak termasuk wewenanga untuk pembentukan kebijakan, kerana wewenang pembentukan kebijakan berada di tanggan pejabat yang mendat wewenang secara atribusi. 3) Mandat, yaitu pemberian tugas dari mandans (pemberi mandat=menteri) kepada mandataris (penerima mandat=direktur jenderal/sekretaris jenderal), untuk atas anam menteri membuat keputusan administrasi negara. Sedangkan wewenang tetap berada pada pemberi mandat, mandataris hanya melaksanakan perintah secara atas nama saja dan tangggung jawab tetap berada di tangan menteri. C.



PENYELENGGARAOTONOMI DAERAH 1. Pengertian Otonomi Penyerahan penyelenggaraan pemerintahan



dari



sistem



dekonsentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah dengan otonomi. Dengan demikian otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan pemberian otonomi pada daerah adalah: a) Mencapai efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada



masyarakat. b) Menumbuh kembangkan daerah dalam berbagai bidang. c) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. d) Menumbuhkan kemandirian daerah, dan e) Meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan (HAW.



Widjaja, 2005 : 17).



76



Dampak dari pemberian otonomi pada daerah tidak hanya pada organisasi/adminitratif pemerintahan daerah, tetapi berlaku pula pada masyarakat (publik) dan badan atau lembaga swata dalam berbagai bidang. Dengan pemberian otonomi kepada daerfah terbuka kesempatan bagi pemerintah daerah secara langsung membangun kemitraan dengan publik dan pihak swasta daerah yang bersangkutan. 2. Asas Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desentralisasi adalah penyerahan wewenangan pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Otonomi daerah adalah keweangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (bersifat lokalitas), Pendelegasian kewenangan ditinjau dari visi implementasi praktis daerah yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu: 1) pendelegasian kewenagan politik, pendelegasian kewenangan urusan daerah dan pendelegasian kewengan pengelolaan keuangan negara”. Dengan demikan sebagai konsekwensi dari penyelenggaraan otonomi daerah dalam rangka desentralisasi merupakan pekerjaan yang komleks (rumit) dan berkesinambungan karena setelah melalui tahap awal desentralisasi yang dilakukan melalui pelimpahan berbagai jenis kewengan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Secara desentralisasi kewenangan daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, mencakup seluruh bidang pemerintahan kecuali: a) Kewenangan dalam bidang politik luar negeri. b) c) d) e) f)



Kewenangan pertahanan-keamanan. Kewenangan peradilan. Kewenangan moneter dan fiskal. Kewenangan agama serta, dan Kewenangan lainnya. 77



Kewenangan bidang lainnya tersebut di atas meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pemeberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang trategis, kensevasi dan standarisasi nasional. D. SISTEM PEMERINTAHAN ACEH



Jimly Asshiddiqie (1996:59; 2007:311) menyatakan, biasanya pembicaraan sistem pemerintahan ada hubungannya dengan bentuk dan struktur organisasi Negara dengan penekanan membicarakan fungsifungsi badan eksekutif dalam hubungannya dengan badan legislatif. Mahfud MD (2000) menyebutkan, sistem pemerintahan dapat dipahami sebagai suatu sistem hubungan tata kerja antar lembaga-lembaga. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil empat (4) kali amandemen (perubahan) mempertegas bahwa, sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Hal ini dapat dilihat dari pemisahan kekuasaan di antara lembaga-lembaga kekuasaan dalam Negara terutama pemisahan antara lembaga legislatif dan eksekutif. Menurut Fitra Arsil (2017: 231), pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif merupakan ciri utama sistem pemerintahan presidensial. Sistem presidensial lebih menjamin stabilitas pemerintahan dengan tetap menerapkan sistem multipartai yang mengakomodasikan konfigurasi kekuatan politik dan masyarakat. (JimlyAsshiddiqie, 2006: 75). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2). Pasal 18B ayat (1) menyatakan: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang 78



bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang. Pasal 18B ayat (2) menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan undang-undang khusus dan meletakkan Aceh sebagai Daerah Istimewa dan Daerah Khusus. Keberadaan Undang-undang tersebut tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005. Nota kesepahaman merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.



Penandatanganan perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM (Mou Helsinki), 15 Agustus 2005. Sumber foto: Harian Serambi Indonesia



79



Pasca Undang-undang Pemerintahan Aceh urusan pemerintahan dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Pemerintahan Aceh setingkat dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia dan merupakan kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan Provinsi Aceh. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif. Selain itu, terdapat lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Majelis Pendidikan Daerah (MPD), Majelis Adat Aceh (MAA), Lembaga Wali Nanggroe (LWN) Selain itu, dalam pelaksanaan keistimewaan, Aceh juga menerapkan Syariat Islam melalui Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat, WH) dan Mahkamah Syari'iyah. Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Wali Nanggroe berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang kriteria dan tata caranya diatur dengan Qanun Aceh. Ketentuan mengenai Lembaga Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.



80



RANGKUMAN Negara adalah suatu organisasi kekuasaan manusia (masyarakat) dan merupakan alat yang diperugunakan untuk menjapai tujuan bersama. Terdapat beberapa tujuan dari negara diantaranya adalah sebagai berikut: a. Untuk memperluas kekuasaan semata-mata b. Untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, dan c. Untuk mencapai kesejahteraan umum.



Sedangkan dari segi unsurnya, suatu negara harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Harus adanya wilayah b. Harus adanya wilayah, dan c. Adanya pemerintah negara



Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan yang bersifat disentralisasi sebagaimana dikemukan di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahab daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang”. Makna lain dari pemerintahan adalah bestuurvoering atau Pelaksanaan tugas pemerintah. Dalam arti yang luas mencakup seluruh (semua)alat kelengkapan negara yang terdiri dari cabang-cabang kekuasaan baik itu kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit pemerintah merupakan organ atau perlengkapan negara yang diserahkan tugas oleh pemerintah untuk melaksanakan tugas.



81



Terdapat



beberapa



tujuan



pemberian



otonomi



daerah



diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Mencapai efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada



masyarakat. 2. Menumbuh kembangkan daerah dalam berbagai bidang. 3. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat 4. Menumbuhkan kemandirian daerah



5. Meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan.



82



SOAL LATIHAN 1. Sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat,



dan untuk rakyat adalah sistem ... A. Demokrasi B. otoriter C. parlementer D. Presidensil 2. Sistem pemerintahan di Indonesia adalah sistem ... A. Demokrasi B. Otoriter C. Parlementer D. Presidensil 3. Unsur-unsur yang harus dipenuhi pada suatu negara adalah ... A. Harus adanya wilayah B. Harus adanya Rakyat C. Adanya pemerintah negara D. A, B dan C Benar 4.



Ketentuan yang menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum” terdapat di dalam pasal ... A. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 B. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 C. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 D. Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945



5. Dalam sistem presidensial, yang menyelenggarakan pemerintahan



dalam arti yang sebernarnya..... A. Presiden dan menteri-menterinya B. Presiden bersama dengan DPR



83



C. Presiden dan wakil presiden D. Presiden dengan perdana menteri 6. Di dalam sistem pemerintahan presidensial, seorang presiden adalah



... A. Kepala Negara B. Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan C. Kepala Pemerintah D. Kepala Panglima Tertinggi Angkatan Laut, Darat, dan Udara7.



Bentuk pemerintahan pada saat ini ada dua, yaitu ... A. Oligarki dan Monarki B. Demokrasi dan Republik C. Republik dan Monarki D. Oligarki dan Republik 8. Pemerintah dalam arti luas adalah.... A. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif dalam suatu negara B. Pelaksana kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam suatun



negara C. Pelaksana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam



suatu negara D. Pelaksana kekuasaan legislatif dan yudikatif dalam suatu negara 9. Sistem pemerintahan dengan kekuasan legislatif lebih kuat dari



kekuasaan eksekutif disebut ... A. Demokrasi B. Monarki C. Presidensial D. Parlementer



84



10. Penandatangan nota kesepahamam antara perintan dan Gerakan



Aceh Merdeka (GAM) dilakukan pada ... A. 4 Desember 2006 B. 15 Agustus 2006 C. 4 Agustus 2006 D. 15 Desember 2006



85



86



87



88



BAB III IDENTITAS NASIONAL TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Identitas Nasional yang bertujuan agar mahasiswa dapat berpikir, bersikap rasional dan dinamis serta berpandangan luas sebagai manusia intelektual yang memiliki kesadaran tentang pentingnya Identitas Nasional dalam kontek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. MATERI PEMBELAJARAN A. Pengertian Identitas Nasional B. Karakteristik, Hakikat dan Fungsi Identitas Nasional C. Unsur-Unsur Pembentuk Identitas Nasional D.



Penerapan Identitas Nasional di Indonesia



URAIAN MATERI PENGERTIAN IDENTITAS NASIONAL Kata Identitas berasal dari kata Identitu, yang memiliki arti tanda-tanda, ciri-ciri, atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Sementara itu kata A.



"nasional" merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama dan bahasa maupun nonfisik seperti cita-cita, keinginan dan tujuan. Himpunan kelompok inilah yang kemudian disebut dengan identitas bangsa atau identitas nasional yang pada akhirnya melahirkan tindakan kelompok (collective action) yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau pergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional. 89



Identitas nasional adalah suatu ciri yang dimiliki suatu bangsa, secara fisiologi yang membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Demikian pula dengan hal ini sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis. Pengertian lain dari Identitas Nasional adalah bentuk-bentuk yang unik dari suatu bangsa. Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri yang sesuai dengan keunikan, ciri-ciri, bagaimana bangsa tersebut terbetuk secara historis. Identitas nasional tersebut pada dasarnya menunjuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional. Identitas nasional bersifat buatan dan sekunder. Bersifat buatan karena identitas nasional itu dibuat, dibentuk dan disepakati oleh warga bangsa sebagai identitasnya setelah mereka bernegara. Bersifat sekunder karena identitas nasional lahir belakangan bila dibandingkan dengan identitas kesukubangsaan yang memang telah dimiliki warga bangsa itu secara askriptif. Sebelum memiliki identitas nasional, warga bangsa telah memiliki identitas primer yaitu identitas kesukubangsaan. Salah satu cara untuk memahami identitas suatu bangsa adalah dengan cara membandingkan bangsa satu dengan bangsa yang lain dengan cara mencari sisi-sisi umum yang ada pada bangsa itu. Pendekatan demikian dapat menghindarkan dari sikap kabalisme, yaitu penekanan yang terlampau berlebihan pada keunikan serta ekslusivitas yang esoterik, karena tidak ada satu bangsapun di dunia ini yang mutlak berbeda dengan bangsa lain (Darmaputra, 1988: 1). Bangsa Indonesia memiliki karakter khas dibanding bangsa lain yaitu keramahan dan 90



sopan santun. Keramahan tersebut tercermin dalam sikap mudah menerima kehadiran orang lain. Orang yang datang dianggap sebagai tamu yang harus dihormati. Sehingga banyak kalangan bangsa lain yang datang ke Indonesia merasakan kenyamanan dan kehangatan tinggal di Indonesia. Identitas Nasional dalam konteks bangsa (masyarakat Indonesia) cenderung mengacu pada kebudayaan atau kharakter khas. Sedangkan identitas nasional dalam konteks negara tercermin dalam simbol-simbol



kenegaraan. Kedua unsur identitas ini secara nyata terangkum dalam Pancasila. Pancasila dengan demikian merupakan identitas nasional kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang religius,humanis, menyukai persatuan/kekeluargaan, suka bermusyawarah dan lebih mementingkan kepentingan bersama. Itulah watak dasar bangsa Indonesia. Adapun apabila terjadi konflik sosial dan tawuran dikalangan masyarakat, itu sesungguhnya tidak menggambarkan keseluruhan watak bangsa Indonesia. Bagi Bangsa Indonesia, identitas nasional adalah sebagai karakter bangsa. Identitas bangsa Indonesia yang sebenarnya adalah Pancasila itu sendiri, sehingga dapat pula dikatakan bahwa Pancasila adalah karakter bangsa. Nilai-nilai tersebut bersifat esoterik (substansial), ketika terjadi proses komunikasi, relasi dan interaksi dengan bangsa-bangsa lain realitas eksoterik juga mengalami perkembangan. Pemahaman dan keyakinan agama berkembang sehingga terdapat paham baru di luar keyakinan yang sebelumnya dianut. Pemahaman kemanusiaan juga berkembang karena berkembangnya wacana tentang hak asasi manusia. Kecintaan pada tanah air kerajaannya dileburkan dalam kecintaan pada Indonesia. Pemerintahan yang monarkhi berubah menjadi demokrasi. Konsep keadilan juga melintasi tembok etnik. Pancasila dirumuskan melalui musyawarah bersama anggota BPUPKI yang diwakili oleh berbagai wilayah dan penganut agama, bukan dipaksakan



91



oleh suatu kekuatan/rezim tertentu. Dengan demikian Pancasila betul-betul merupakan nilai dasar sekaligus ideal untuk bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang merupakan identitas sekaligus karakter bangsa (Kaelan, 2007:52). Lima nilai dasar yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan adalah realitas yang hidup di Indonesia. Apabila kita tinggal di luar negeri amatlah jarang kita mendengar suara lonceng gereja, adzan magrib atau suara panggilan dari tempat ibadah agama. Suara itu di Indonesia sudah amat biasa. Ada kesan nuansa religiusitas yang kental yang dalam kehidupan bangsa kita, sebagai contoh masyarakat Bali setiap saat orang melakukan upacara sebagai bentuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, suasana sakralitas religius amatlah terasa karena gotong-royong sebagai bentuk



perwujudan dari kemanusiaan dan persatuan juga tampak kental di Indonesia yang tidak ditemukan di negara lain. Kerjabakti bersama dan ronda, misalnya, adalah salah satu contoh nyata karakter yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain, bangsa yang komunal tanpa kehilangan hak individualnya. B. KARAKTERISTIK, HAKIKAT DAN FUNGSI IDENTITAS



NASIONAL Karakteristik dapat diartikan sebagai sifat yang tercipta secara alami dari suatu kebiasaan dan pola hidup masyarakat yang mendiami suatu bangsa. Adapun karakteristik Identitas Nasional dari Bangsa Indonesia adalah sebagai berikut: 1.



Persamaan nasib.Kenyataan sejarah menegaskan bahwa negara Indonesia dijajah dalam tempo ratusan tahun lamanya. Kondisi tidak mengenakkan tersebut tentu dirasakan oleh banyak orang Indonesia pada masa penjajahan dulu. Dan hal tersebut tercermin dalam bentuk Identitas Nasional kita nantinya. Salah satunya dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala bentuk 92



penjajahan di muka bumi ini harus dihapuskan. 2. Sama-sama berkeinginan untuk merdeka, bebas dari segala bentuk belenggu penjajahan dalam bentuk apapun itu. 3.



Kesatuan Indonesia. Kita tinggal di tempat dan wilayah nusantara yang berbentuk kepulauan. Membentang dari ujung Aceh sampai ujung Papua. Ini juga salah satu karakteristik Identitas Nasional Bangsa Indonesia yang begitu kaya dan berharga.



Hakikat Identitas Nasional kita sebagai bangsa di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah pancasila yang sebenarnya merupakan kebersamaan dalam penataan kehidupan dalam arti yang luas, misalnya di dalam aturan-aturan atau moral yang secara normatif diterapkan dalam lingkungan atau interaksi, baik itu di dalam tataran nasional atau internasional. Dapat dikatakan bahwa hakikat identitas nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normative diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Perlu dikemukakan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai Identitas Nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan implikasinya adalah identitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat. 93



Hakikat identitas nasional Indonesia adalah pancasila yg diaktualisasikan dalam berbagai kehidupan berbangsa. Aktualisasi ini untuk menegakkan Pancasila dan UUD NKRI 1945 sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 terutama alinea ke 4. Krisis multidimensi yang kini sedang melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komit men konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu: “Pemerintah memajukan Kebudayan Nasional Indonesia” yang diberi penjelasan: “Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”. Kemudian dalam Pasal 32 UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah disebutkan sebagai berikut: 1. Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya. 2. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas dari apa dan bagaimana 94



kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952. Nilai-nilai budaya yang tersimpan di dalam Identitas Nasional yang telah selesai dalam kebekuan normatif dan domatis, ada sesuatu yang terbuka yang terus-menerus bersemi karena adanya hasrat ke arah kemajuan yang dikeluarkan oleh masyarakat. Konsekuensi dan implikasinya identitas nasional yang terbuka untuk ditafsir dengan pemberian makna baru agar tetap relevan dan fungsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat. Selain sudah jelas tentang pengertian Identitas Nasional dan juga sudah disebutkan hakikat identitas nasional diatas, ada beberapa fungsi identitas nasional sebagai berikut: 1. Sebagai pemersatu bangsa. 2. Sebagai ciri khas yang membedakan sebuah bangsa dari bangsa yang lain. 3. Sebagai pegangan atau landasan bagi sebuah negara untuk berkembang atau mewujudkan potensi yang dimiliki. C. UNSUR-UNSUR PEMBENTUK IDENTITAS NASIONAL



Dalam pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia, ada beberapa unsur yang menunjang pembentukannya; 1. Suku bangsa adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang 300 suku bangsa yang masih eksis dan mempertahankan nilai-nilai budaya yang dianut. 2. Agama bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yan tumbuh dan berkembang di nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha 95



dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara. Namun sejak pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.Pada masa pemerintahan orde baru ada sebuah istilah bernama “Agama Resmi”. Dan yang termasuk ke dalamnya yaitu terdiri dari 5 agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Antara lain: Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Hindu. Namun kemudian pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), istilah agama resmi tersebut telah dihilangkan. Indonesia merupakan negera dengan penduduk beragama islam terbesar di dunia. Dan prinsip hidup warga Indonesia yang religius/agamis tersebut juga bisa digolongkan sebagai unsur pembentuk Identitas Nasional Indoenesia. 3. Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat atau modelmodel pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagi rujukan dan pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan bendabenda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Dalam perkembangannya, kata “culture” ini juga kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kita sering menyebutnya dengan kata “kultur”. Dan tidak jarang pula kata tersebut digunakan sebagai substitusi dari kata 'budaya'. Jadi, jelas bahwa budaya merupakan salah satu unsur terpenting dalam pembentukan Identitas Nasional. Beragam kebudayaan yang ada di Indonesia itu sangatlah unik dan bernilai sejarah yang tinggi sebagai warisan dari nenek moyang kita. Dan itu adalah Identitas Nasional Indonesia yang harus kita banggakan dan 96



dengungkan pada dunia.



Tari Saman, salah satu Indentitas Nasional yang ditetapkan dan diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda sejak 24 November 2011. Sumber foto: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan



4. Bahasa merupakan unsur pendukung Identitas Nasonal yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbiter dientuk atas unsur-unsur ucapan manusia dan yang digunakan sebgai sarana berinteraksi antar manusia. Dalam hal ini kita membahas tentang keanekaragaman bahasa di Indonesia berdasarkan suku bangsanya. Di setiap suku bangsa biasanya memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa daerah. Misal bahasa Sunda, Jawa, Bali, Minang, Batak dan lain sebagainya. Dan tentu tak bisa dipungkiri bahwa bahasa adalah salah satu unsur penting pembentuk Identitas Nasional, khususnya di Indonesia. Bagaimana keberagaman bahasa di Indonesia ini tidak sampai membuat kita terpecah belah. Tidak lain karena 97



kita juga dipersatukan dengan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Orang-orang dari bergbagai daerah dengan harmonis dipersatukan dengan bahasa Indonesia. 5. Wilayah Geografis, Wilayah geografi Indonesia secara historis adalah wilayah yang semula menjadi wilayah kekuasaan dua kerajaan yakni Sriwijaya dan Majapahit, meliputi seluruh wilayah nusantara sebagian thailand, Malaysia, Singapura, sampai ke Filipina. Ketika bangsa Indonesia menyatakan diri menjadi bangsa yang merdeka, bersatu berdaulat, secara politik para pendiri negara menetapkan bahwa wilayah geografi yang menjadi identitas negara Indonesia adalah seluruh wilayah nusantara yang meliputi seluruh bekas jajahan Belanda. Dari unsur-unsur Identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut: 1.



Identitas Fundamental, Istilah fundamental sering diartikan sebagai sesuatu hal yang pokok dan pokok. Ibarat rumah, fundamental itu adalah pondasinya. Yang tentu berperan dalam menunjang berdirinya sebuah bangunan yang kokoh. Sejalan dengan hal tersebut, identitas fundamental ini berarti bersifat sangat penting dalam keberlangsungan negara Indonesia. Adapun yang termasuk dalam kategori identitas fundamental adalah berupa falsafah negara, dasar negara dan juga ideologi negara. Yang kesemuanya tersebut bermuara pada Pancasila. 5 sila yang telah memuat hal-hal penting dan fundamental dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara kita di Indonesia.



2. Identitas Instrumental Instrumental adalah istilah lain dari alat atau media. Dalam kajian Identitas Nasional Indonesia, maka yang menjadi identitas Instrumental adalah Undang-undang Dasar 98



Negara Republik Indonesia 1945. Yang mana di dalamnya juga telah mengatur banyak instrumental lain sebagai identitas nasional. Seperti bendera negara merah putih, lambang negara (Garuda Pancasila). Tidak lupa juga ada semboyan negara, yaitu Bhineka Tunggal Ika dan juga lagu kebangsaan bangsa Indonesia (Indonesia Raya). Sebisa mungkin kita sebagai warga negara yang baik juga harus memahami dan menghayati tentang identitas instrumental yang disebutkan tadi. 3.



Identitas Alamiah, Berbeda dengan kedua jenis Identitas Nasional di atas, yang satu ini bersifat alami. Dengan kata lain tercipta dengan sendirinya dengan kuasa Tuhan tentunya. Beberapa hal yang termasuk ke dalam Identitas Nasional alamiah ini adalah berupa kepulauan yang berjumlah ribuan pulau. Kemudian dilengkapi d engan k er a ga man suku, buda ya dan ba has a ju ga agama/kepercayaan di dalamnya.



Di atas kita telah membahas secara detail tentang Identitas Nasional, unsur-unsur pembentuknya dan juga jenisnya. Adapun di bagian ini sifatnya lebih merangkum secara lebih jelas tentang apa saja unsur-unsur Identitas Nasional negara Indonesia. Seperti dijelaskan di atas, Identitas Nasional juga bisa diartikan sebagai ciri khas suatu negara yang membedakannya dengan negara lain. Para pendiri negara (Founding Father) telah membuat dan menyepakati kelahiran sebuah Identitas Nasional. Khususnya yang terkait dengan identitas instrumental yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adapun tentang unsur-unsur Identitas Nasional ini juga telah dimuat secara resmi dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 45). Dalam pasal 35 sampai dengan 36 C, yang termasuk ke dalam Identitas Nasional Indonesia adalah sebagai berikut: 99



1. Dari pasal 35 UUD NRI 1945 dijelaskan bahwa Bendera Negara Indonesia adalah Sang Merah Putih 2. Pasal 36 menegaskan bahwa Bahasa Negera adalah Bahasa Indonesia. Bahasa yang mempersatukan semua orang dari beragam suku dan daerah berbeda di Indonesia 3. Pasal 36 A menjelaskan bahwa lambang negara kita adalah Garuda Pancasila. Sebuah Identitas Nasional yang sangat gagah dengan semboyannya yaitu Bhineka tunggal Ika. Walaupun berbeda-beda tapi tetap satu jua. 4. Pasal 36 B menegaskan bahwa lagu kebangsaan Indonesia adalah Indonesia Raya. 5. Dan di dalam pasal 36 C memuat beberapa ketentuan pasal. Setidaknya ada 5 ketentuan terkait Identitas Nasional yang telah disebukan di pasal 35-36 B. Lebih lanjut bisa lihat di bawah ini. Identitas nasional Indonesia merupakan ciri-ciri yang dapat membedakan negara Indonesia dengan negara lain. Identitas nasional Indonesia dibuat dan disepakati oleh para pendiri negara Indonesia. Identitas nasional Indonesia tercantum dalam konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam pasal 35-36 C. Identitas nasional yang menunjukkan jati diri Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia 2. Bendera negara yaitu Sang Merah Putih 3. Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya 4. Lambang Negara yaitu Pancasila 5. Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika 6. Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila 7. Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD NRI 1945



100



8. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat 9. Konsepsi Wawasan Nusantara. 10. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai Kebudayaan Nasional. Selain unsur-unsur pembentuk identitas nasional tersebut, adapun proses dari berbangsa dan bernegara kita di Indonesia adalah; Keberadaan bangsa Indonesia tidak lahir begitu saja, namun lewat proses panjang dengan berbagai hambatan dan rintangan. Kepribadian, jati diri serta identitas nasioanl Indonesia dapat dilacak dari sejarah terbentuknya bangsa Indonesia dari zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya serta kerajaan-kerajaan lain sebelum kolonialisme dan imperialisme masuk ke Indonesia. Nilai-nilai Pancasila sudah ada pada zaman itu, tidak hanya pada era kolonial atau pasca kolonial. Proses terbentuknya nasionalisme yang berakar pada budaya ini menurut Mohammad Yamin diistilahkan sebagai fase nasionalisme lama (Kaelan, 2007:52). Salah satu perkataan Soekarno yang sangat terkenal adalah ”jas merah‟ yang maknanya jangan sampai melupakan sejarah. Sejarah akan membuat seseorang hati-hati dan bijaksana. Orang berati-hati untuk tidak melakukan kesalahan yang dilakukan pada masa lalu. Orang menjadi bijaksana karena mampu membuat perencanaan ke depan dengan seksama. Dengan belajar sejarah kita juga mengerti posisi kita saat ini bahwa ada perjalanan panjang sebelum keberadaan kita sekarang dan mengerti sebenarnya siapa kita sebenarnya, siapa nenek moyang kita, bagaimana karakter mereka, apa yang mereka cita-citakan selama ini. Sejarah adalah ibarat spion kendaraan yang digunakan untuk mengerti keadaan di belakang kita, namun demikian kita tidak boleh terpaku dalam melihat ke belakang. Masa lalu yang tragis bisa jadi mengurangi semangat kita untuk maju. Peristiwa tragis yang pernah dialami oleh bangsa ini adalah penjajahan yang terjadi berabad-abad, 101



sehingga menciptakan watak bangsa yang minder wardeh (kehilangan kepercayaan diri). Peristiwa tersebut hendaknya menjadi pemicu untuk mengejar ketertinggalan dan berusaha lebih maju dari negara yang dulu pernah menjajah kita. Proses berbangsa dapat dilihat dari rangkaian peristiwa berikut: 1. Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa, bertuliskan “marvuat vanua Sriwijaya siddhayatra subhiksa, yang artinya kurang lebih adalah membentuk negara Sriwijaya yang jaya, adil, makmur, sejahtera dan sentosa. 2. Kerajaan Majapahit (1293-1525). Kalau Sriwijaya sistem pemerintahnnya dikenal dengan sistem kesatuan, maka Majapahit dikenal dengan sistem keprabuan. Kerajaan ini berpusat di Jawa Timur di bawah pimpinan dinasti Rajasa, dan raja yang paling terkenal adalah Brawijaya. Majapahit mencapai keemasan pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gadjah Mada yang tekenal dengan sumpah Palapa. 3. Berdirinya organisasi massa bernama Budi Utomo oleh Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang menjadi pelopor berdirinya organisasi-organisasi pergerakan nasional yang lain di belakang hari. Di belakang Sutomo ada dr. Wahidin Sudirohusodo yang selalu membangkitkan motivasi dan kesadaran berbangsa terutama kepada para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). 4. Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh para pemuda pelopor persatuan bangsa Indonesia dalam Kongres Pemuda di Jakarta pada 28 Oktober 1928. Proses bernegara merupakan kehendak untuk melepaskan diri dari penjajahan, mengandung upaya memiliki kemerdekaan untuk 102



mengatur negaranya sendiri secara berdaulat tidak dibawah cengkeraman dan kendali bangsa lain. Dua peristiwa penting dalam proses bernegara adalah sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). D. PENERAPAN IDENTITAS NASIONAL DI INDONESIA



Di atas kita telah mengetahui segala hal tentang definisi, contoh dan unsur-unsur Identitas Nasional bangsa Indonesia. Yang mana secara fundamental itu bermuara pada Pancasila dan UUD NRI 1945. Meliputi bahasa nasional, lambang negara dan semboyannya, bendera negara, lagu kebangsaan, dll. Adapun dalam kehidupan keseharian, salah satu contoh bentuk implementasi atau penerapan Identitas Nasional adalah upacara bendera tiap hari senin. Ya seperti kita tahu setiap hari senin, di sekolah atau lembaga-lembaga negeri itu diwajibkan untuk melakukan Upacara Bendera. Dilakukan pagi hari sebelum memulai aktivitas belajar atau bekerja. Dalam upacara bendera secara keseluruhan telah mencakup banyak unsur pembentuk Identitas Nasional. 1. Dimulai dari pengibaran bendera merah putih oleh Paskibra. Pembacaan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 3. Pembacaan Pancasila oleh Pembina dan diikuti oleh seluruh 2.



peserta upacara. 4. Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh Tim Aubade 5. Dan biasanya diakhiri dengan pembacaan doa Barangkali masih banyak contoh lainnya. Tapi di kegiatan upacara bendera tersebut dirasa sudah cukup mewakili. 103



RANGKUMAN Pengertian Identitas Nasional Menurut terminologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi, golongan sendiri, kelompok sendiri atau negara sendiri. Sedangkan nasional merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan baik fisik seperti budaya, agama dan budaya, maupun nonfisik seperti keinginan, cita-cita dan tujuan. Jadi, identitas nasional merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. A.



B.



Karakteristik, Hakikat dan Fungsi Identitas Nasional 1. Persamaan nasib.. 2. Sama-sama berkeinginan untuk merdeka, bebas dari segala bentuk belenggu penjajahan dalam bentuk apapun itu. 3. Kesatuan Indonesia.



C.



Unsur-Unsur Terbentuknya Identitas Nasional 1. Suku bangsa 2. Agama 3. Kebudayaan 4. Bahasa



5. Wilayah Geografis



104



SOAL LATIHAN 1. Howard Wrigggins dalam Yahya Muhamin & Collin McAndrew (1982) menyebutkan ada lima pendekatan atau cara bagaimana bangsa dapat mengembangkan integrasinya, salah satunya yaitu: a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia b. Proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial kedalam



satu kesatuan wilayah dan pada pembentukan identitas nasional c. Penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari suatu masyarakat



menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa d. Integrasi nasional sangat kompleks dan multidimensional, untuk mewujudkannya diperlukan keadilan,kebijakan dan diterapkan oleh pemerintah dan tidak membedakan ras,suku, agama, bahasa dan sebagainya e. Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional itu perlu karena pada hakikatnya. 2. Sangat disayangkan ternyata pada saat ini bangsa Indonesia sangat



cenderung kehilangan jati dirinya.Banyak permasalahan yang berkaitan dengan identitas nasional yang dialami oleh bangsa ini, diantaranya: a. Pencampuradukan bahasa indonesia dengan bahasa asing dan bahasa daerah b. Adanya ancaman dari luar c. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar d. Meningkatnya jumlah pengangguran e. Perkembangan ekonomi menurun terhadap kebutuhan



masyrakat 3.



Dibawah ini yang merupakan bentuk identitas nasional yang berfungsi menyatukan keanekaragaman adalah.... 105



a. Konsep wawasan nusantara b. Lambang negara garuda pancasila c. Lagu kebangsaan d. Kebudayaan daerah e. Sosial 4. Apa yang membedakan suatu bangsa atau negara dari negara lain..... a. Masyarakat b. Wilayah c. Pemerintah d. Integrasi nasional e. Identitas nasional 5. Suatu usaha atau proses persatuan untuk menyatukan perbedaaan-



perbedaan yang ada pada suatu negara agar terciptanya keberanian dan keselarasan nasional yang merupakan komunikasi dan interaksi suatu bangsa disebut.... a. Masyarakat b. Wilayah c.



Pemerintah



d.



Integrasi nasional Identitas nasional



e. 6.



Menurut Rahayu (2007) pemebentukan jati diri bangsa Indonesia meliputi dari suku, agama, budaya nasional, budaya nusantara dan ideologi pancasila. Identitas fundamental merupakan salah satu unsur-unsur pembentukan jatidiri suatu bangsa agar terbentuknya ... a. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara . b. Undang-Undang 1945 dan perundangannya c. Bahasa indonesia, lambang negara, bendera negara, dan lagu



indonesia raya



106



d. Ruang hidup bangsa sebagai kepulauan yang pluralis dalam



7.



suku, bahasa, agama, dan kepercayaan serta adat budaya. e. Nilai ideologi dan filsafat alam proses berbangsa dan bernegara. Identitas internasional merupakan salah satu unsur-unsur pembentukan jatidiri suatu bangsa agar terbentuknya .... a. Undang-Undang 1945 dan perundangannya b. Bahasa indonesia lambang negara, bendera negara, dan lagu



indonesia raya c. Ruang hidup bangsa sebagai kepulauan yang pluralis dalam



suku, bahasa, agama, dan kepercayaan serta adat budaya. d. Nilai ideologi dan filsafat alam proses berbangsa dan bernegara. e. Pancasila sebagai kesatuan bangsa dan negara danideologi



negara 8. “Negara mempunyai wewenang untuk mengatur atau mengendalikan



persoalan bersama atas nama masyarakat”. Pernyataan ini dikemukakan oleh.... a. George Jellintk b. Kranen Burg c. Roger F Soultra d. Soenarkoe e. Jean Bodin 9.



Proses pembentukan bangsa negara berawal dari adanya negara terlebih dahulu yang terbentuk melalui proses sendiri, sedangkan penduduk negeri merupakan perkumpulan suku bangsa dan ras, merupakan proses.... a. Model ortodoks b. Model mutakhir c. Identitas nasional d. Integrasi nasional e. Identitas fundamental



107



10. Negara adalah sesuatu yang alamiah, bahwa segala sesuatu berjalan



menurut hukum alam, yaitu mulai dari lahir, berkembang, menempati puncaknya, layu dan akhirnya mati merupakan .... a. Teori ketuhanan b. Teori kebijakan c. Teori hukum alam d. Tori perjanjian



e. Teori barat



108



109



110



BAB KEWARGANEGARAAN



IV



TUJUAN PEMBELAJARAN Mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang konsep kewarganegaraan, urgensi, termasuk pemahaman mengenai hak dan kewajiban selaku warga Negara, serta persoalan-persoalan di seputaran kewarganegaraan. RUANG LINGKUPMATERI A. Pengertian Kewarganegaraan. B. Penentuan Kewarganegaraan. C. Persoalan Kewarganegaraan. D. Hak Dan Kewajiban Warga Negara E.



Ketentuan Undang-Undang Mengenai Warga Negara Indonesia



URAIAN MATERI A. PENGERTIAN KEWARGANEGARAAN Kewar ganegar aan memilik i art i keanggot aan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dengan warga negara. Warganegara sebagai terjemahan dari citizen artinya adalah anggota dari komunitas yang membentuk negara itu sendiri . Warga Negara adalah yang menjadi bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara, dahulu disebut kawula negara, sekarang lazim disebut warganegara. Sesuai dengan kedudukannya sebagai orang yang merdeka. Dia bukan lagi hamba, melainkan peserta, anggota atau warga dari suatu negara. Peserta dari suatu persekutuan yang didirikan melalui kekuatan bersama, tanggung jawab bersama, untuk kepentingan bersama. (A. Ubaidillah, dkk, 2000:58) 111



lain: Dala m AlQur an Sura t Al Anf al Ayat 72: “S esu ng gu hn ya ora



ng-orang beriman, berhijrah meninggalkan negerinya, berjuang dengan mengorbankan harta dan jiwa raganya di jalan Allah, dan orng-orng yng memberikan suaka dan pertolongan kepada orang-orang yang berhijrah tersebut, mereka ini satu sama lain telah terikat dalam ikatan setia kawan. Dan terhadap orangorang yang beriman tetapi tidak berhijrah, kamu tidak terikat apa-apa dengan mereka dalam ikatan setia kawan sampai mereka berhijrah (ke Negara Islam). Tetapi seandainya mereka meminta pertolongan kepadamu dalam urusan agama dar iserangan kaum kafir, kamu wajib menolong mereka, kecuali jika antara kamu dengan kaum kafir itu terikat oleh perjanjian tidak saling menyerang. Dan Allah maha melihat apa yang kamu lakukan”. Dari Ayat di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan antara 1. 2.



Adanya status kewarga negaraan dalam Islam Negara Islam melindungi segenap warga Negara Islam.



Al-Maududi, ada dua jenis kewarganegaraan yang dianut Negara Islam, yaitu: 1.



Kaum Muslim Semua warga negara muslim di Negara Islam terdapat beban tugas untuk menyelenggarakan kehidupan sejalan dengan tradisi Islam. Kepada mereka sajalah negara menegakkan hukumhukumnya secara keseluruhan dan memerintahkan mereka untuk melaksanakan semua kewajiban agama, moral, budaya dan politik. Negara mewajibkan kewajiban bela negara kepada mereka.



2.



Kaum Dzimmy Yaitu kaum non muslim yang bersedia tetap setia dan taat kepada Negara Islam. Islam memberi jaminan perlindungan kehidupan, nafkah, dan kekayaaan, serta jaminan kebudayaan, keimanan dan martabat kepada mereka. (Abul A'la Al Maududi, 1990 : 208) Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:



a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologis 1. Kewarganegraan dalam arti yuridis



Kewarganegaraan yang ditandai dengan adanya ikatan hokum antara orang-orang dan Negara. Misalnya melalui akte kelahiran, bukti kewarganegraaan dll 2. Kewarganegaraan dalam arti sosiologis Kewarganegaraan yang diikat oleh ikatan emosional, seperti ikatan keturunan, primordial, sejarah dll. b. Kewarganegaraan dalam arti Formil dan materiil 1. Kewarganegaraan dalam arti formil, menunjuk pada tempat kewarganegaraan. 2. Kewaarganegaran dalam arti materiil, menunjuk pada akibat hokum dari status kewarganegaraan, yaitu adanya hak dan kewajiban warga Negara. (Winarno, 2009:49) Penduduk Negara dapat dibagi atas warganegara dan bukan warganegara. Keduanya memiliki perbedaan, yaitu: a. Setiap warganegara memiliki hubungan yang tidak terputus dengan



tanah airnya, dengan UUD negaranya, walupun yang bersangkutan berada diluar negeri, selama yang bersangkutan tidak memutuskan hubungannya. 113



b. Penduduk yang bukan warganegara, hubungannya adalah selama



yang bersangkutan bertempat tinggal dalam wilayah Negara tersebut. (A. Ubaidillah 2000:59) B. PENENTUAN KEWARGANEGARAAN



Setiap Negara berwenang menentukan siapa-siapa yang menjadi warga Negaranya. Dalam penentuan kewarganegaraan seseorang, dikenal ada 3 unsur yang menentukan kewarganegaraannya, yaitu: a. Asas Ius Soli Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sesseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan. b. Asas Ius Sanguinis Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan keturunan dari orang tersebut. c. Asas Naturalisasi (pewarganegaraan) Meskipun orang tidak dapat memenuhi dua prinsip di atas,namun dapat juga memperoleh kewarganegaraan dengan jalan pewarganegaraan atau naturalisasi. Setiap Negara memiliki mekanisme tersendiri terkait dengan naturalisasi ini. Selain dari sisi kelahiran, penentuan asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. a. Asas persamaan hokum didasarkan pandangan bahwa suami istri



adalah suatu ikatan yang tidak terpecah sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan status kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan satu. b. Asas persamaan derajat berasumsi bahwa suatu perkawinan tidak



menyebabkan perubahan status kewarganegaraan suami dan istri. 114



Keduanya memiliki hak yang sama untuk menentukan sendiri kewarganegaraan. Jadi, mereka dapat berbeda kewarganegaraan seperti halnya ketika belum berkeluarga. ( A.Ubaidillah 2000: 60) Negara memiliki wewenang untuk menentukan warga negara sesuai asas yang dianut negara tersebut. Dengan adanya kedaulatan ini, pada dasarnya suatu negara tidak terikat oleh negara lain dalam menentukan kewarganegaraan. Negara lain juga tidak boleh menentukan siapa saja yang menjadi warga negara dari suatu negara. Negara Indonesia telah menentukan siapa-siapa yang menjadi warga negaranya. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 26 UndangUndang Dasar 1945 sebagai berikut: (1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli



dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara. (2) Penduduk ialah warganegara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. (3) Hal-hal mengenai warga Negara dan penduduk diatur dengan



undang-undang. C. PERSOALAN KEWARGANEGARAAN



Penentuan kewarganegaraan dengan cara berbeda-beda oleh setiap Negara dapat menciptakan persoalan kewarganegaraan bagi seorang warga negara. Persoalan kewarganegaraan yang dapat terjadi ialah munculnya apatride dan bipatride. Apatride adalah sebutan untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride adalah sebutan untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan rangkap (dua). Bahkan, dapat muncul multipatride yaitu sebutan untuk orangorang yang memiliki kewarganegaraan banyak (lebih dari dua). (A.Ubaidillah,dkk 2007:61) 115



Bipatride sering terjadi pada daerah perbatasan dua negara, oleh karena itu butuh aturan yang ketat terkait perbatasan sehingga ada kejelasan status warganegara di daerah tersebut (Kartasapoetra. 1993: 217) D. HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA



Hubungan warganegara dengan negara pada umumnya berupa peranan. Peranan hakikatnya adalah tugas yang dilakukan sesuai dengan status yang dimiliki, dalam hal ini sebagai warga negara. Secara teori, status warga negara bisa berupa status aktif, pasif, negative dan positif. Begitu pula dengan peranan warga negara bisa berupa, aktif, pasif, negative dan positif. (Cholisin, 2000:46) Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya. Hak dan Kewajiban merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, keduanya harus seiring sejalan. Jika salah satunya yang diutamakan tanpa memperhatikan yang lain, maka tidak ada kaseimbangan antara hak dan kewajiban. Jika keseimbangan antara hak dan kewajiban tidak ada akan terjadi kesenjangan sosial yang berkepanjangan. Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, kita harus mengetahui posisi diri kita sendiri. Selaku warga negara harus tahu hak dan kewajibannya. Pejabat atau pemerintah pun harus tahu akan hak dan kewajibannya, sesuai kewenangan yang dimiliki olehnya. Sebagaimana yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan kewajiban berlaku seimbang, maka kehidupan masyarakat akan aman sejahtera. Hak dan kewajiban warga negara dalam UUD mencakup berbagai bidang. Bidang bidang tersebut antara lain mencakup bidang 116



pemerintahan, social,keagamaan, pendidikan, ekonomi dan pertahanan.



117



Hak dan kewajiban warga negara tercantum dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 UUD 1945. Beberapa hak dan kewajiban tersebut antara lain sebagai berikut: (Winarno, 2007:58) 1. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pasal 27 ayat (2)



UUD 1945 berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.Pasal ini menunjukkan adanya asas keadilan sosial dan kerakyatan. 2. Hak membela Negara. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara”. 3. Hak mengemukakan pendapat. Pasal 28 UUD 1945, yaitu “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang”. 4. Hak kemerdekaan untuk memeluk agama. Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Ayat (1) berbunyi bahwa: “Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ayat (2) berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan umtuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” 5. Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 yaitu hak dan kewajiban bela Negara. Dinyatakan “bahwa Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamamnan Negara”. 6. Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945 Hak untuk mendapatkan



pengajaran. Ayat (1) menerangkan bahwa “tiap-tiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pengajaran. Adapun ayat (2) dijelaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan meyelenggarakan satu system pengajaran nasional yang diatur dengan UUD 1945”. 117



7.



Hak mengembangkan dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pasal 32 UUD 1945 ayat (1) menyatakan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembngkan nilai-nilai budayanya”.



8. Hak ekonomi atau hak mendapatkan kesejahteran sosial. Pasal 33



ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUD 1945 berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bgi Negara dan yang



menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk bgi kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas



demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjut an, berwawasn lingkungan, kamandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. 9. Hak untuk mendapatkan jaminan keadilan social. Dalam pasal 34



UUD 1945 dijelaskan bahwa: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Kewajiban warga negara Indonesia terhadap negara antara lain: a. Kewajiban untuk menaati hokum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1)



UUD 1945 berbunyi: “segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dn wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. 118



b. Kewajiban bela Negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 yang



menyatakan “Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara”. c. Kewajiban pertahanan Negara. Pasal 30 ayat (1) UUD 1945



menyatakan: “Tiap-tiap warga Negara berhk dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara”. Di samping adanya hak dan kewajibaan warga negara terhadap negara, dalam UUD 1945 perubahan pertama dicantumkan adanya hak asasi manusia. Ketentuan mengenai hak asasi manusia adalah langkah maju dari bangsa Indonesia menuju kehidupan konstitusional yang demokratis. Ketentuan mengenai hak asasi manusia termaktub pada Pasal 28 A sampai J UUD 1945. Dalam ketentuan tersebut juga dinyatakan adanya Kewajiban Asasi Manusia. Selanjutnya hak-hak warga negara yang tertuang dalam UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara disebut Hak Konstitusional. Setiap warga negara memiliki hak konstitusional sebagaimana yang ada dalam UUD 1945. Warga negara berhak menggugat bila ada pihak-pihak lain yang berupaya membatasi atau menghilangkan hak konstitusionalnya. Selain itu diatur pula hak dan kewajiban yang dimiliki negara terhadap warga negara. Hak dan kewajiban yang dimiliki negara terhadap warga negara merupakan kewajiban dan hak warga negara terhadap negara. Beberapa ketentuan itu antara lain sebagai berikut: a. Hak negara untuk ditaati dalam hukum dan pemerintahan. b. Hak negara untuk mendapatkan pembelaan dari warga negara. c. Hak negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan untuk diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. d. Kewajiban negara untuk menjamin adanya sistem hukum yang adil. e. Kewajiban negara untuk menjamin hak asasi manusia bagi warga



negara Negara.



f. Kewajiban negara untuk mengembangkan sistem pendidikan nasional



untuk kepentingan rakyat. g. Kewajiban Negara memberi jaminan sosial bagi rakyat. h. Kewajiban Negara memberi kebebasan beribadah bagi rakyat. E. KETENTUAN UNDANG-UNDANG MENGENAI WARGA



NEGARAINDONESIA Mengenai warga negara Indonesia diatur dengan undangundang. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini, undang-undang tentang perihal kewarganegaraan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang No.3 Tahun 1946 tentang warga Negara dan penduduk Negara. b. Undang-Undang No.6 Tahun 1947 tentang perubahan atas Undang-



Undang No.3 Tahun 1946 tentang warga Negara dan penduduk Negara. c. Undang-Undang No.8 Tahun 1947 tentang memperpanjang waktu untuk mengajukan pernyataan berhubung dengan kewargaan Negara Indonesia. d. Undang-Undang No.11 Tahun 1948 tentang memperpanjang waktu



lagi untuk mengajukan pernyataan berhubung dengan kewargaan Negara Indonesia. e. Undang-Undang No.62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia. f. Undang-Undang No.3 Tahun 1976 tentang perubahan atas pasal 18 Undang-Undang No.62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia. g. Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia.



120



Undang-Undang yang mengatur tentang kewarganegaraan Indonesia sebagai pelaksanaan dari pasal 26 UUD 1945 yang berlaku sekarang ini adalah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia yang diundangkan pada 1 Agustus 2006 . Undang- Undang ini menggant ikan undang- undang kewarganegaraan lama, yaitu Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia. Beberapa ketentuan yang terdapat didalam Undang-undang No. 12 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut: a. Tentang siapa yang berhak menjadi warga negara Indonesia, dinyatakan bahwa warga negara Indonesia adalah: 1) Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan



dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia. 2) Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara Indonesia. 3) Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing. 4) Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah dari seorang



ayah warga negara asing dan ibu warga negara Indonesia. 5) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dari seorang



ibu warga negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewrganegaraan kepada anak tersebut. 6) Anak yang dilahirkan dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari



setelah ayahnya meninggal dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia. 7) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dari seorang



ibu warga negara Indonesia. 121



8) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 19 (delapan belas) tahun dan/atau belum kawin. Anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya. 10) Anak yang baru dilahirkan yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui. 11) Anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia apabila 9)



ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya. 12) Anak yang dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia



dari seorang ayah dan ibu warga Negara Indonesia oleh karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan. 13) Anak warga Negara Indonesia yang belum genap berusia 5 (lim) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia. b. Tentang pewarganegaraan.



Pewarganeraan adalah tata cara bagi warga Negara asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui per mo ho n an. D a l a m undan g- un dan g din yat ak an bah w a kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan. (Winarno, 2007:54) Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: 122



1) Telah berusia 19 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. 2) Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di



wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturutturut. 3) Sehat jasmani dan rohani.



4) Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 5) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih. 6) Jika dengan memperoleh kewarganegraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda. 7) Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap 8) Membayar uang pewarganegaraan ke kas Negara Permohonan Pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon dengan cara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada Presiden melalui Menteri. Menteri yang dimaksud adalah menteri yang bertanggungjawabn di bidang kewarganegaraan Republik Indonesia dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM. Menteri meneruskan permohonan tersebut disetai dengan pertimbangan kepada Presiden dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak permohonan diterima. Selanjutnya Presiden berwenang mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan tersebut. Pengabulan permohonan pewarganegaraan ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres). Warga Negara asing yang kawin secara sah dengan warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga Negara 123



7.



Asas kewarganegaraan suatu negara yang ditentukan menurut keturunan darah orang tuanya disebut asas.... A. Ius soli B. Ius melius C. Ius naturalisasi D. Ius nelius E. Ius sanguinis



8.



Hak untuk memilih sesuatu status kewarganegaraan tertentu disebut... A. Stelsel aktif B. Stelsel pasif C. Apatride D. Hak opsi E. Hak repudiasi



9. Seseorang dianggap menjadi warga negara dengan sendirinya tanpa melakukan tindakan hukum tertentu disebut.... A. Naturalisasi B. Repudiasi C. Stelsel pasif D. Opsi E. Stelsel aktif 10. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, yang menjadi warga negara Indonesia adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi... A. Warga negara Belanda B. Kaula negara Belanda C. Warga negara asing



124



Indonesia di hadapan pejabat berwenang. Pernyataan tersebut dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia minimal 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda. Orang asing yang telah berjasa kepada Negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan Negara dapat juga diberi kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda. c. Tentang kehilangan kewarganegaraan, dinyatakan bahwa



kewarganegaraan Republik Indonesia hilang oleh karena: 1) Memperoleh kewarganegaraan lain dengan kemauannya sendiri. 2) Tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang tersebut mendapat kesempatan untuk itu. 3) Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas



permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi orang tersebut tanpa kewarganegaraan. 4) Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin sebelumnya dari Presiden. 5) Dengan sukarela masuk dalam dinas Negara asing, yang dalam



jabatan dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia. 125



6) Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji untuk



setia kepada Negara asing atau bagian dari Negara asing tersebut. 7) Tidak diwajibkan akan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu



yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu Negara asing. 8) Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari Negara



asing atau surat yang dapat diterjemahkan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari Negara lain atas namanya. 9) Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus menerus bukan dalam rangka dinas Negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak manyatakan keinginannya untuk tetap menjadi warga negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersaangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi warga negara Indonesia kepada perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkut an t idak menjadi t anpa kewarganegaraan. 10) Perempuan warga Negara Indonesia yang kawin dengan lakilaki warga Negara asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut ketentuan hokum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewrganeganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. 11) Laki-laki warga Negara Indonesia yang kawin dengan



perempuan warga Negara asing kehilangan kewarganegraan Republik Indonesia jika menurut ketentuan hokum asal istrinya, 126



kewarganegraan suami mengikuti kewarganegraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Atau jika ingin tetap menjadi warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki- laki t ersebut , kecuali pengajuan t ersebut mengakibatkan kewarganegraan ganda. Surat pernyataan dapat diajukan oleh perempuan setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya. 12) Setiap orang yang mempunyai kewarganegraan Republik Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau tejadi kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya. Menteri mengumumkan nama orang tersebut kehilangan kewarganegraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia. Asas-asas kewarganegaraan yang digunakan dalam UndangUndang No.12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia meliputi: a. Asas ius sanguinis, adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan pada keturunan bukan negara tempat kelahiran. b. Asas ius soli secara terbatas, adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan pada negara tempat kelahiran, yang diperuntukkan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. c. Asas kewarganegaraan tunggal, adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap seorang. 127



d. Asas kewarganegaraan ganda terbatas, adalah asas yang menentukan



kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Undang-Undang No.12 Tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal adanya kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak-anak merupakan suatu pengecualian.



RANGKUMAN Negara adalah integrasi dari kekuasaan politik, yang merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara ialah alat kekuasaan dalam masyarakat untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Teori-teori terbentuknya Negara dapat digolongkan dalam beberapa teori, antara lain, teori alamiah,toeri ketuhanan, teori kekuatan, teori kontrak social, dan teori patriakal dan matriakal. Unsur-unsur terbentunya negra antara lain, penduduk, wilayah, pemerintahan dan pengakuan. Setiap Negara memiliki fungsi yang mutlak dilakukan antara lain: melaksanakan ketertiban, mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, pertahanan, dan menegakkan keadilan. Bentuk Negara terdiri dari Negara republic dan Negara serikat, sedangkan bentuk pemerintahan terdiri dari Republic dan Monarki. Kewar ganegar aan memilik i art i keanggot aan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara Negara dengan warga Negara. Tiga unsur yang menentukan kewarganegaraannya, yaitu: Asas Ius Soli, Asas Ius Sanguinis, Asas Naturalisasi (pewarganegaraan). Persoalan kewarganegaraan yang dapat terjadi ialah munculnya apatride dan bipatride. Apatride adalah sebutan untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride adalah sebutan untuk 128



orang-orang yang memiliki kewarganegaraan rangkap (dua). Bahkan, dapat muncul multipatride yaitu sebutan untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan banyak (lebih dari dua).



SOAL 1. Kewarganegaraan yang diperoleh dengan cara melakukan tindakantindakan hukum tertentu disebut? A. Naturalisasi B. Repudiasi C. Opsi D. Apatridee. E. Bipatride 2. Perbedaan pokok warga negara Indonesia dengan warga negara asing



di Indonesia terletak pada... A. Pekerjaan tetapnya B. Lamanya berdomisili C. Hak dan kewajibannya D. Strata sosialnya E. Tempat kelahirannya 3. Pengaturan mengenai Kewarganegaraan Republik Indonesia yang



baru diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang... A. Pewarganegaraan Republik Indonesia B. Berkebangsaan Republik Indonesia C. Tata Cara Menjadi Warga Negara Republik Indonesia D. Kewarganegaraan Republik Indonesia E. Warga Negara Republik Indonesia



129



4. Mereka yang berdiam di dalam suatu negara atau menjadi penghuni



sebuah negara disebut.... A. Rakyat B. Penduduk C. Warga Negara D. Bangsa E. Bukan penduduk 5. Hak untuk menolak status kewarganegaraan tertentu disebut... A. Hak opsi B. Stelsel pasif C. Apatride D. Stelsel aktif E. Hak repudiasi 6.



Apabila warga negara dari suatu negara yang menganut asas ius sanguinis melahirkan anak di negara yang menganut asas ius soli, maka anak tersebut memiliki kewarganegaraan rangkap yang disebut.... A. Apartheid B.



Bipatride



C. Apartride D. Stelsel aktif E. Stelsel pasif 7. Asas kewarganegaraan suatu negara yang ditentukan menurut



keturunan darah orang tuanya disebut asas.... A. Ius soli B. Ius melius C. Ius naturalisasi



130



Ius nelius D. Ius sanguinis 8. Hak untuk memilih sesuatu status kewarganegaraan tertentu disebut... A. Stelsel aktif B. Stelsel pasif C. Apatride D. Hak opsi E. Hak repudiasi 9. Seseorang dianggap menjadi warga negara dengan sendirinya tanpa



melakukan tindakan hukum tertentu disebut.... A. Naturalisasi B. Repudiasi C. Stelsel pasif D. Opsi E. Stelsel aktif 10. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, yang menjadi warga negara



Indonesia adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi... A. Warga negara Belanda B. Kaula negara Belanda C. Warga negara asing D. Warga negara Indonesia E. Kaula timur asing



11. Seorang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan disebut



dengan ... A. Opsi B. Naturalisasi C. Apatride D. Repudiasi



E. Bipatride



132



KETAHANAN NASIONAL '



DAN



BELA NEGARA



BAB V KETAHANAN NASIONAL DAN BELA NEGARA TUJUAN PEMBELAJARAN Memahami hakekat Ketahanan Nasional dan Bela Negara, sehingga melahirkan patriotisme pada mahasiswa. MATERI PEMBELAJARAN A. Ketahanan Nasional B. Bela Negara URAIAN MATERI A.



KETAHANAN NASIONAL



Gambar IX.11 Butet Manurung, sedang mengajari membaca Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi. Ia mendirikan Sokola Rimba sejak tahun 1999. Sumber: http://orangefloat.wordpress.com/2010/04/08/butetmanurung-dan-sukuanakdalam/



Setiap negara bangsa telah menetapkan cita dan tujuan negaranya dalam upaya mewujudkan kesejahteraan warganegara. Demikian halnya Indonesia yang



telah menetapkan cita negara sebagaimana termaktub dalam Alenia II Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia, dimana bahwa “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Sementara itu, Indonesia telah menetapkan tujuan negaranya seperti terlihat pada Alenia IV Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia bahwa “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial”. Namun demikian, untuk mewujudkan cita dan tujuan negara tersebut tidaklah mudah, akan tetapi memerlukan perjuangan dari semua komponen bangsa. Dimana, dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada baik materil maupun immateril. Sikap yang demikian dikenal sebagai Ketahanan Nasional. Ketahanan Nasional ini harus terus dipupuk dan dibina, terutama kepada generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet pembangunan. Ketahanan Nasional dimaknai sebagai Kondisi dinamis bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan dalammenghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatandan tantangan baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri langsung atau tidak langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara. Ketahanan sebuah bangsa (persekutuan hidup manusia) sangatlah penting bagi kelangsungan kehidupan manusia yang bersangkutan. Ketahanan bangsa merupakan kemampuan suatu bangsa



untuk mempertahankan persatuan dan kesatuannya serta memperkuat daya dukung kehidupannya. Dengan kata lain kemampuan menghadapi segala bentuk ancaman yang dihadapinya, sehingga memiliki kemampuan melangsungkan kehidupannya dalam mencapai kesejahteraan bangsa tersebut. Konsepsi ketahanan bangsa untuk konteks Indonesia dikenal dengan nama Ketahanan Nasional yang dikembangkan oleh Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) pada tahun 1970-an. Secara konsepsional, ketahanan nasional diartikan sebagai Kondisi dinamis suatu bangsa, yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi. Isinya berupa keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun luar. Tujuannya untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya. Adapun inti dari Ketahanan Nasional Indonesia adalah kemampuan yang dimiliki bangsa dan negara dalam menghadapi segala bentuk ancaman yang dewasa ini spektrumnya semakin luas dan kompleks. (Dirjen Belmawa, 2012:152). Ketahanan Nasional mmerupakan konsep pembangunan, sehingga dimasukkan dalam program pembangunan baik jangka pendek, menengah, maupun panjang. Dengan dimasukkannya Ketahanan Nasional ke dalam GBHN (dalam hal ini sebagai modal dasar pembangunan nasional) maka konsepsi Ketahanan Nasional telah menjadi doktrin pelaksanaan pembangunan. Artinya, Ketahanan Nasional memberikan tuntunan dalam penerapan program-program pembangunan serta bagaimana memadukannya menjadi satu kesatuan yang bulat pada benang merah yang ditunjukkan oleh konsepsi Wawasan Nusantara. Di lain pihak, dipandang dari segi kepentingan pemeliharaan stabilitas maka Ketahanan Nasional berfungsi sebagai kekuatan



penangkalan. Sebagai daya tangkal Ketahanan Nasional tetap relevan untuk masa sekarang maupun nanti, karena setelah berakhirnya Perang Dingin hakekat ancaman lebih banyak bergeser kearah non fisik, antara lain; budaya dan kebangsaan (Edi Sudradjat, 1996: 1-2). Inti dari ketahanan Indonesia pada dasarnya berada pada tataran “mentalitas” bangsa Indonesia dalam menghadapi dinamika masyarakat yang menuntut kompetisi di segala bidang. Oleh sebab itu kita diharapkan agar memiliki ketahanan yang benar-benar ulet dan tangguh, mengingat Ketahanan Nasional dewasa ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ketidakadilan sebagai “musuh bersama”. (Armaidy Armawi, 2002:90). Konsep ketahanan juga bukan hanya Ketahanan Nasional semata- mata, tetapi juga merupakan suatu konsepsi yang berlapis atau Ketahanan Berlapis. Artinya, juga sebagai ketahanan individu, ketahanan keluarga, ketahanan daerah, ketahanan regional, dan ketahanan nasional (Chaidir Basrie, 2002:59). Selain itu “ketahanan” juga mencakup berbagai ragam aspek kehidupan atau bidang dalam pembangunan, misalnya ketahanan pangan, ketahanan energi dan lainlain. Perlu diketahui bahwa saat ini Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai dokumen perencanaan pembangunaan nasional tidak lagi digunakan. Sebagai penggantinya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang pada hekekatnya merupakan penjabaran dari visi, misi dan program presiden terpilih. Misalnya dokumen RPJMN 2010-2014 yang tertuang dalam Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010. Pada dokumen tersebut tidak lagi ditemukan konsepsi Ketahanan Nasional. Kalau demikian, muncul pertanyaan apakah konsepsi Ketahanan Nasional tidak lagi relevan untuk masa sekarang atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa



konsepsi Ketahanan Nasional tidak lagi dijadikan doktrin pembangunan nasional. Namun demikian, jika merujuk pada pendapat-pendapat sebelumnya dapat disimpulkan bahwa konsepsi Ketahanan Nasional sebagai kondisi dinamik bangsa yang ulet dan tangguh dalam menghadapi berbagai ancaman masih tetap relevan untuk dijadikan kajian ilmiah. Hal ini dikarenakan bentuk ancaman di era modern semakin luas dan kompleks. Ancaman yang sifatnya non fisik dan non militer, cenderung meningkat dan secara masif amat mempengaruhi kondisi Ketahanan Nasional. Contohnya: musim kemarau yang panjang di suatu daerah akan mempengaruhi kondisi “ketahanan pangan” di daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengetahui: dalam kondisi yang bagaimana suatu wilayah negara atau daerah memiliki tingkat ketahanan tertentu. Tinggi rendahnya Ketahanan Nasional amat dipengaruhi oleh unsur-unsur Ketahanan Nasional itu sendiri. Ketahanan nasional (national resilience) merupakan salah satu konsepsi kenegaraan Indonesia. Ketahanan sebuah bangsa pada dasarnya dibutuhkan guna menjamin serta memperkuat kemampuan bangsa yang bersangkutan baik dalam rangka mempertahankan kesat uannya, menghadapi ancaman yang dat ang maupu n mengupayakan sumber daya guna memenuhi kebutuhan hidup. Dengan demikian, ketahanan bangsa merupakan kemampuan suatu bangsa untuk mempertahankan persatuan dan kesatuannya, memperkuat daya dukung kehidupannya, menghadapi segala bentuk ancaman yang dihadapinya, sehingga mampu melangsungkan kehidupannya dalam mencapai kesejahteraan bangsa tersebut. (Dirjen Belmawa Dikti, 2016: 239). Istilah Ketahanan Nasional memang memiliki pengertian dan cakupan yang luas. Sejak konsep ini diperkenalkan oleh Lembaga



Pertahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhanas RI) pada sekitar tahun 1960-an, terjadi perkembangan dan dinamika konsepsi ketahanan nasional sampai sekarang ini. Secara etimologi, ketahanan berasal dari kata “tahan” yang berarti tabah, kuat, dapat menguasai diri, gigih, dan tidak mengenal menyerah. Ketahanan memiliki makna mampu, tahan, dan kuat menghadapi segala bentuk tantangan dan ancaman yang ada guna menjamin kelangsungan hidupnya. Sedangkan kata “nasional” berasal dari kata nation yang berarti bangsa sebagai pengertian politik. Bangsa dalam pengertian politik adalah persekutuan hidup dari orang–orang yang telah menegara. Ketahanan nasional secara etimologi dapat diartikan sebagai mampu, kuat, dan tangguh dari sebuahbangsa dalam pengertian politik. (Dirjen Belmawa Dikti, 2016:243). Dalam hal ini, GPHS. Suryomataraman, definisi ketahanan nasional mungkin berbeda-beda karena penyusun definisi melihatnya dari sudut yang berbeda pula. Oleh karena itu, ketahanan nasional memiliki lebih dari satu wajah, dengan perkataan lain ketahanan nasional berwajah ganda, yakni ketahanan nasional sebagai konsepsi, ketahanan nasional sebagai kondisi dan ketahanan nasional sebagai strategi (Himpunan Lemhanas, 1980). Dewasa ini, Indonesia menghadapi berbagai permasalahan bangsa yang memerlukan adanya sikap tangguh dan jiwa juang dari segenap komponen bangsa baik dalam bentuk nyata maupun laten. Berbagai permasalahan bangsa ini dikenal sebagai Ancaman, Gangguan, Hambatan, dan Tantangan (AGHT) yang pada gilirannya dapat mengancam keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, Ketahanan Nasional harus terus dikembangkan dan dibina sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Menurut Sigit Dwi Kusrahmadi dalam Sumarsono (2001:1) bahwa Ketahanan Nasional dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu:



1) Ketahanan nasional sebagai “kondisi dinamis” yang mengacu pada



keadaan rill dalam masyarakat yang dapat diamati secara langsung. 2) Ketahanan nasional sebagai “konsepsi pengat uran dan



penyelenggaraan negara” dengan mensinergiskan antara keamanan dan kesejahteraan. 3) Ketahanan nasional sebagai “metode berpikir”, dimana gatra alamiah



dan gatra sosial dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam hal ini, ketahanan suatu bangsa sangat diperlukan dalam rangka kelangsungan hidup bangsa dan negara bersangkutan. Ketahanan bangsa merupakan kemampuan suatu bangsa untuk mempertahankan persatuan dan kesatuannya serta memperkuat daya dukung kehidupannya. Dengan kata lain, kemampuan menghadapi segala bentuk ancaman yang dihadapinya, sehingga memiliki kemampuan melangsungkan kehidupannya dalam mencapai kesejahteraan bangsa tersebut (Kemendikbud Dirjendikti Belmawa, 2013:152). Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1998 merumuskan konsep Ketahanan Nasional sebagai berikut: 1) Untuk tetap memungkinkan berjalannya pembangunan nasional



yangselalu harus menuju ke tujuan yang ingin dicapai dan agar dapat secara efektif dielakkan dari hambatan, tantangan, ancaman dangangguan yang timbul baik dari luar maupun dari dalam, makapembangunan nasional diselenggarakan melalui pendekatan Ketahanan Nasional yang mencerminkan keterpaduan antara segala aspek kehidupan nasional bangsa secara utuh dan menyeluruh. 2)



Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis yang merupakan integrasi dari kondisi tiap aspek kehidupan bangsa dan negara. Pada hakekatnya Ketahanan Nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan



hidup menuju kejayaan bangsa dan negara. Berhasilnya pembangunan nasional akan meningkatkan Ketahanan Nasional Selanjutnya, Ketahanan nasional yang tangguh akan mendorong pembangunan nasional. 3) Ketahanan nasional meliputi ketahanan ideologi, ketahanan



politik,ketahanan ekonomi, ketahanan sosial budaya dan ketahanan pertahanan keamanan. a. Ketahanan ideologi adalah kondisi mental bangsa Indonesia



yang berlandaskan keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila yang mengandung kemampuan untuk menggalang dan memelihara persatuan dan kesatuan nasional dan kemampuan menangkal penetrasi ideologi asing serta nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. b. Ketahanan politik adalah kondisi kehidupan politik bangsa Indonesia yang berlandaskan demokrasi politik berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang mengandung kemampuan memelihara sistem politik yang sehat dan dinamis serta kemampuan menerapkan politik luar negeri yang bebas dan aktif. c. Ketahanan ekonomi adalah kondisi kehidupan perekonomian bangsa yang berlandaskan demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila yang mengandung kemampuan memelihara stabilitasekonomi yang sehat dan dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi nasional dengan daya saing yang tinggi dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan merata. d. Ketahanan sosial budaya adalah kondisi kehidupan sosial budaya bangsa yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila yang mengandung kemampuan membentuk dan



mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rukun,bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi seimbang serta kemampuan menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional. e. Ketahanan pertahanan keamanan adalah kondisi daya tangkal bangsa yang dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas pertahanan keamanan negara yang dinamis, mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya serta kemampuan mempertahankan kedaulatan negara dan menangkal segala bentuk ancaman. Oleh karena itu, dari rumusan di atas terlihat bahwa Ketahanan nasional dapat dilihat dalam tiga wujud, yaitu: 1) Ketahanan nasional sebagai metode, dimana penerapan metode



berpikir induktif dan deduktif dengan tetap memperhatikan asta gatra secara komprehensif dan integral yang dikenal dengan berpikir sistem. Ketahanan nasional dipandang sebagai cara atau pendekataan dengan menggunakan ajaran Asta Gatra yang berarti mengikutsertakan segala aspek alamiah dan sosial guna diperhitungkan dalam menanggulangi ancaman yang ada. 2) Ketahanan nasional sebagai kondisi, dimana perwujudannya



didasarkan pada fakta empiris dalam masyarakat terkait dengan Ancaman, Gangguan, Hambatan, dan Tantangan (AGHT) di satu sisi dan adanya keuletan dan ketangguhan untuk mengembangkan kekuatan dan kemampuan di sisi lainnya. Namun demikian, kondisi ini sangat tergantung pada unsur-unsur pendukungnya. Ketahanan nasional nasional dirumuskansebagai kondisi yang dinamis karena kondisi itu memang senantiasaberubah dalam arti dapat meningkat



atau menurun. Dalam hal ini kondisi itu tidak bersifat statis. 3) Ketahanan nasional sebagai doktrin dasar nasional, dimana adanya pengaturan dan penyelenggaraan keamanan dan kesejahteraan secara seimbang untuk melahirkan bangsa yang kuat dan tangguh. Ketahanan nasional adalah suatu konsepsi khas bangsa Indonesia yang digunakan untuk dapat menanggulangi segala bentuk dan macam ancaman yang ada. Konsepsi ini dibuat dengan menggunakan ajaran “Asta Gatra”. Oleh karena itu, konsepsi ini dapat dinamakan “Ketahanan nasional Indonesia berlandaskan pada ajaran Asta Gatra”. Bahwa kehidupan nasional ini dipengaruhi oleh duaaspek yakni aspek alamiah yang berjumlah tiga unsur (Tri Gatra) dan aspeksosial yang berjumlah lima unsur (Panca Gatra). Tri Gatra dan Panca Gatra digabung menjadi Asta Gatra, yang berarti delapan aspek atau unsur. ketahanan nasional tidak hanya dipandang sebagai konsepsi tetapi sudah merupakan suatu kebenaran yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menentukan kebijakan, maka ketahanan nasional telah dianggap sebagai doktrin. (Kemendikbud Dirjendikti Belmawa, 2013:157-158). Dalam hal ini, inti dari Ketahanan nasional Indonesia pada dasarnya berada pada tataran “mentalitas” bangsa Indonesia dalam menghadapi dinamika masyarakat yang menuntut kompetensi di segala bidang. Oleh karena itu, kita diharapkan agar memiliki ketahanan yang benar-benar ulet dan tangguh, mengingat ketahanan nasional dewasa ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ketidakadilan sebagai musuh bersama (Armawi, 2002: 90). Oleh karena itu, sifat ketahanan nasional berlapis mulai dari individu, keluarga, masyarakat, nasional, dan regoinal (Chaidir Basrie, 2002: 59). Ketahanan nasional suatu negara sangat dipengaruhi oleh banyak unsur, di Indonia unsur-unsur yang mempengaruhi ketahanan



nasional ini dinamakan dengan gatra. Dari analisis gatra terebut, maka dirangkum menjadi delapan gatra (asta gatra) yang terdiri dari tiga gatra (tri gatra) dan lima gatra (panca gatra). Masing- masing gatra tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Tiga gatra (Tri gatra), terdiri dari: (1) Gatra letak dan kedudukan geografis. (2) Gatra keadaan dan kekayaan alam. (3) Gatra keadaan dan kemampuan penduduk. 2) Lima gatra (Panca gatra), terdiri dari: (1) Gatra ideologi. (2) Gatra politik. (3) Gatra ekonomi. (4) Gatra sosial budaya. Gatra pertahanan dan keamanan (Kemendikbud Dirjendikti Belmawa, 2013:161-162). Mengukur kondisi ketahanan secara holistik tentu saja tidak mudah, karena perlu membaca, menganalisis dan mengukur setiap gatra yang ada. Unsur dalam setiap gatrapun memiliki banyak aspek dan



dinamika. Oleh karena itu, kita dapat memulainya dengan mengukur salah satu aspek dalam gatra ketahanan. Misal mengukur kondisi geografi suatu daerah dalam rangka mengetahu ketahanan regional daerah yang bersangkutan terkait dengan gatra wilayah. Adapun aspek dari geografi yang perlu dilihat, dianalisis dan diukur, misalnya batas dan luas wilayah, daratan atau kepulauan, kondisi cuaca, potensi bencana alam dan lain sebagainya. Dari hasil tersebut kita dapat menggambarkan ketahanan daerah yang bersangkutan (Sunardi, 1997). Untuk melakukan pengukuran kondisi Ketahanan Nasional tersebut, saat ini Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) telah mengembangkan Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional (Labkurtannas) yang bertugas mengkaji, menganalisis dan



menggambarkan kondisi ketahanan yang nantinya bisa digunakan sebagai Early Warning System dan Policy Advice bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Namun demikian, upaya mengkaji ketahanan sebagai kondisi bukan semata-mata tanggung jawab Lemhanas. Kita sebagai warga negara terutama kaum cendekiawan dapat pula memberi analisis dan gambaran mengenai kondisi ketahanan suatu wilayah demi kepentingan kelangsungan hidup bangsa Indonesia (Kemendikbud Dirjendikti Belmawa, 2013:165-166). Selain tiga wajah atau pengertian ketahanan nasional, ketahanan nasional Indonesia juga memiliki banyak dimensi dan konsep ketahanan berlapis. Oleh karena aspek-aspek baik alamiah dan sosial (asta gatra) mempengaruhi kondisi ketahanan nasional, maka dimensi aspek atau bidang dari ketahanan Indonesia juga berkembang. Dalam skala nasional dan sebagai konsepsi kenegaraan, ada istilah ketahanan nasional. Selanjutnya berdasar aspek-aspeknya, ada ketahanan nasional bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan keamanan. Dari situ kita mengenal istilah ketahanan politik, ketahanan budaya, ketahanan sosial, ketahanan ekonomi dan ketahanan keamanan. Jika diperinci lagi pada bidang-bidang kehidupan yang lebih kecil, kita mengenalistilah ketahanan energi, ketahanan pangan, ketahanan industri, dan sebagainya. (Dirjen Belmawa Dikti, 2016: 243). Konsep ketahanan nasional berlapis, artinya ketahanan nasional sebagai kondisi yang kokoh dan tangguh dari sebuah bangsa tentu tidak terwujud jika tidak dimulai dari ketahanan pada lapisan-lapisan di bawahnya. Terwujudnya ketahanan pada tingkat nasional (ketahanan nasional) bermula dari adanya ketahanan diri/individu, berlanjut pada ketahanan keluarga, ketahanan wilayah, ketahanan regional lalu berpuncak pada ketahanan nasional (Chaidir Basrie, 2002). Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace melakukan observasi atas tata



kehidupan nasional secara makro dilihat dari luar, sehingga ketahanan masyarakat bangsa tertampilkan sebagai kekuatan nasional. Menurut Morgenthau (1989:107-219) bahwa ada 2 (dua) faktor yang memberikan kekuatan bagi suatu negara, yaitu: pertama, faktor-faktor yang relatif stabil (stable factors), terdiri atas geografi dan sumber daya alam; dan kedua, faktor-faktor yang relatif berubah (dinamic factors), terdiri atas kemampuan industri, militer, demografi, karakter nasional, moral nasional, kualitas diplomasi dan kualitas pemerintah. Selanjutnya, Alfred Thayer Mahan dalam bukunya The Influence Sea Power on History, mengatakan bahwa kekuatan nasional suatu bangsa dapat dipenuhi apabila bangsa tersebut memenuhi unsur-unsur: letak geografi, bentuk atau wujud bumi, luas wilayah, jumlah penduduk, watak nasional, dan sifat pemerintahan. Menurut Mahan kekuatan suatu negara tidak hanya tergantung pada luas wilayah daratan, tetapi juga pada faktor luasnya akses ke laut dan bentuk pantai dari wilayah negara. Sebagaimana diketahui Alferd T Mahan termasuk pengembang teori geopolitik tentang penguasaan laut sebagai dasar bagi penguasaan dunia. “Barang siapa menguasai lautan akan menguasai kekayaan dunia” (ArmaidyArmawi. 2012:9). Cline dalam bukunya World Power Assesment, A Calculus of Strategic Drift, melihat suatu negara sebagaimana dipersepsikan oleh negara lain. Baginya hubungan antar negara amat dipengaruhi oleh persepsi suatu negara terhadap negara lainnya, termasuk di dalamnya persepsi atas sistem penangkalan dari negara tersebut. Kekuatan sebuah negara (sebagaimana dipersepsikan oleh negara lain) merupakan akumulasi dari faktor-faktor sebagai berikut: sinergi antara potensi demografi dengan geografi, kemampuan militer, kemampuan ekonomi, strategi nasional, dan kemauan nasional atau tekad rakyat untuk mewujudkan strategi nasional.



Potensi demografi dan geografi, kemampuan militer dan kemampuan ekonomi merupakan faktor yang tangible, sedangkan strategi nasional dan kemauan nasional merupakan intangible factors. Menurut Cline, suatu negara akan muncul sebagai kekuatan besar apabila ia memiliki potensi geografi besar atau negara yang secara fisik wilayahnya luas dan memiliki sumber daya manusia yang besar (ArmaidyArmawi. 2012:10). Para ahli lain, yang berpendapat tentang unsur-unsur yang mempengaruhi ketahanan atau kekuatan nasional sebuah bangsa, ialah: 1) James Lee Ray Unsur kekuatan nasional negara terbagi menjadi dua faktor, yaitu: a. Tangible factors terdiri atas: penduduk, kemampuan industri dan militer. b. Intangible factors terdiri atas: karakter nasional, moral nasional dan kualitas kepemimpinan. 2) Palmer dan Perkins Unsur-unsur kekuatan nasional terdiri atas: tanah, sumber daya, penduduk, teknologi, ideologi, moral, dan kepemimpinan. 3) Parakhas Chandra Unsur-unsur kekuatan nasional terdiri atas tiga, yaitu: a. Alamiah, terdiri atas: geografi, sumber daya dan penduduk. b. Sosial terdiri atas: perkembangan ekonomi, struktur politik, dan



budaya dan moral nasional. c. Lain-lain: ide, intelegensi, diplomasi dan kebijaksanaan kepemimpinan (Winarno, 2007:176-177). Akan halnya konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia, dikemukakan adanya sejumlah unsur atau faktor yang selanjutnya diistilahkan sebagai Gatra Ketahanan Nasional Indonesia disebut Asta Gatra (delapan gatra), yang terdiri atas Tri Gatra (tiga gatra) dan Panca Gatra (lima gatra). Unsur atau gatra dalam Ketahanan Nasional



Indonesia tersebut adalah sebagai berikut: Tiga aspek kehidupan alamiah (tri gatra), yaitu: 1) Gatra letak dan kedudukan geografi. 2) Gatra keadaan dan kekayaan alam. 3) Gatra keadaan dan kemampuan penduduk.



Lima aspek kehidupan sosial (panca gatra) yaitu: 1) Gatra ideologi. 2) Gatra politik. 3) Gatra ekonomi. 4) Gatra sosial budaya (sosbud). 5) Gatra pertahanan dan keamanan (hankam).(Dirjen Belmawa,



2012:161) Model Asta Gatra tersebut merupakan perangkat hubungan bidang-bidang kehidupan manusia dan budaya yang berlangsung di atas bumi ini dengan memanfaatkan segala kekayaan alam yang dapat dicapai dengan menggunakan kemampuannya. Model ini merupakan hasil kajian Lembaga Pertahana Nasional.Adapun penjelasan dari masing-masing gatra adalah: 1) Gatra letak geografi atau wilayah menentukan kekuatan nasional



negara. Hal yang terkait dengan wilayah negara meliputi: a. Bentuk wilayah negara: dapat berupa negara pantai, negara



kepulauan atau negara kontinental. b. Luas wilayah negara : ada negara dengan wilayah yang luas dan



negara dengan wilayah yang sempit (kecil). c. Posisi geografis, ast ronomis, dan geologis negara.



d. Daya dukung wilayah negara: ada wilayah yang habittable dan ada wilayah yang unhabittable. (Dirjen Belmawa, 2012:162)



Dalam kaitannya dengan wilayah negara, pada masa sekarang perlu dipertimbangankan adanya kemajuan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi. Suatu wilayah yang pada awalnya sama sekali tidak mendukung kekuatan nasional, karena penggunaan teknologi bisa kemungkinan menjadi unsur kekuatan nasional negara. Sumber kekayaan alam dalam suatu wilayah, baik kualitas maupun kuantitasnya sangat diperlukan bagi kehidupan nasional. Oleh karena itu, keberadaannya perlu dijaga kelestariannya. Kedaulatan wilayah nasional,merupakan sarana bagi tersedianya sumber kekayaan alam dan menjadi modal dasar pembangunan. Selanjutnya, pengelolaan dan pengembangan sumber kekayaan alam merupakan salah satu indikator ketahanan nasional. Hal-hal yang berkaitan dengan unsur sumber daya alam sebagai elemen Ketahanan Nasional adalah meliputi: a. Potensi sumber daya alam wilayah yang bersangkutan, mencakup



sumber daya alam hewani, nabati, dan tambang. b. Kemampuan mengeksplorasi sumber daya alam. c. Pemanfaatan sumber daya alam dengan memperhit ungkan masa depan dan lingkungan hidup. d. Kontrol atas Sumber Daya Alam (Dirjen Belmawa, 2012: 162163). Gatra penduduk sangat besar pengaruhnya terhadap upaya membina dan mengembangkan ketahanan nasional. Penduduk yang produktif atau yang sering disebut sebagai Sumber Daya Manusia yang berkualitas, mempunyai korelasi positif dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam sertamenjaga kelestarian lingkungan hidup (Geografi), baik fisik maupun sosial. Gatra ideologi menunjuk pada perangkat ideologis untuk mempersatukan persepsi dan mempersatukan bangsa, yaitu Pancasila. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki



keanekaragaman yang tinggi. Keadaan ini mempunyai dua peluang, yakni disatu sisi berpotensi perpecahan, dan di sisi lain sebagai kekayaan bangsa dan menumbuhkan rasa kebanggaan. Unsur ideologi diperlukan untuk mempersatukan bangsa yang beragam ini. Gatra politik berkaitan dengan kemampuan mengelola nilai dan sumber daya bersama agar tidak menimbulkan perpecahan, tetapi stabil dankonstruktif untuk pembangunan. Politik yang stabil akan memberikan rasa aman serta memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, sehingga padagilirannya akan memantapkan Ketahanan Nasional suatu bangsa. Gatra ekonomi yang dijalankan oleh suatu negara merupakan kekuatannasional negara yang bersangkutan terlebih di era global sekarang ini. Bidang ekonomi berperan langsung dalam upaya pemberian dan distribusi kebutuhan warga negara. Kemajuan pesat di bidang ekonomi tentu saja menjadikan negara yang bersangkutan tumbuh sebagai kekuatan dunia. Contoh Jepangdan Cina. Setiap negara memiliki sistem ekonomi tersendiri dalam rangka mendukung kekuatan ekonomi bangsanya. Dalam aspek gatra sosial budaya, nilai-nilai sosial budaya hanya dapat berkembang di dalam situasi aman dan damai. Tingginya nilai sosial budaya biasanya mencerminkan tingkat kesejahteraan bangsa, baik fisik maupun jiwanya. Sebaliknya, keadaan sosial yang timpang dengan segala kontradiksi didalamnya, memudahkan timbulnya ketegangan sosial. Kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia disokong dengan baik oleh seloka Bhinneka Tunggal Ika. Selama seloka Bhinneka Tuggal Ika ini dijunjung tinggi, maka ketahanan sosialbudaya masyarakata relatif terjaga. Unsur pertahanan keamanan negara merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara. Negara dapat melibatkan rakyatnya dalam upaya pertahanan negara sebagai bentuk dari hak dan kewajiban warga negara



dalam membela negara. Bangsa Indonesia dewasa ini menetapkan politik pertahanan sesuai dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pertahanan negara Indonesia bersifat semesta (SISHANKAMRATA) dengan menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama pertahanan, didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung, terutama dalam hal menghadapi bentuk ancaman militer. Sedangkan dalam menghadapi ancaman non militer, sistem pertahanan menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi. Berdasarkan pada unsur Ketahanan Nasional di atas, kita dapat membuat rumusan kuantitatif tentang kondisi ketahanan suatu wilayah. Model Ketahanan Nasional dengan delapan gatra (Asta Gatra) ini secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut (Sunardi, 1997): K(t) = f (Tri Gatra, Panca Gatra)t atau = f ( G,D,A), (I,P,E,S,H)t Keterangan: K(t) = kondisi ketahanan nasional yang dinamis G = kondisi geografi D = kondisi demografi A= kondisi kekayaan alam I = kondisi sistem ideologi P = kondisi sistem politik E = kondisi sistem ekonomi S = kondisi sistem sosial budaya H = kondisi sistem hankam f = fungsi, dalam pengertian matematis t = dimensi waktu



Mengukur kondisi ketahanan secara holistik tentu saja tidak mudah, karena perlu membaca, menganalisis dan mengukur setiap gatra yang ada. Unsur dalam setiap gatra pun memiliki banyak aspek dan dinamika. Oleh karena itu, kita dapat memulainya dengan mengukur salah satu aspek dalam gatra ketahanan. Misal, mengukur kondisi geografi suatu daerah dalam rangka mengetahui ketahanan regional daerah yang bersangkutan terkait dengan gatra wilayah. Adapun aspek dari geografi yang perlu dilihat, dianalisis dan diukur, misalnya batas dan luas wilayah, daratan atau kepulauan, kondisi cuaca, potensi bencana alam dan lain sebagainya. Dari hasil tersebut kita dapat menggambarkan ketahanan daerah yang bersangkutan. Untuk melakukan pengukuran kondisi Ketahanan Nasional tersebut, saat ini Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) telah mengembangkan Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional (Labkurtannas) yang bertugas mengkaji, menganalisis dan menggambarkan kondisi ketahanan yang nantinya bisa digunakan sebagai Early Warning System dan Policy Advice bagi pemerintah pusat maupunpemerintah daerah. Namun demikian, upaya mengkaji ketahanan sebagai kondisi bukan semata-mata tanggung jawab Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Kita sebagai warganegara terutama kaum cendekiawan dapat pula memberi analisis dan gambaran mengenai kondisi ketahanan suatu wilayah demi kepentingan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Sebagai kajian akademik, kita tidak menggunakan konsepsi ketahanan sebagai doktrin, tetapi sebagai kondisi. Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis yang merupakan integrasi dari kondisi tiap aspek kehidupan bangsadan negara. Aspek kehidupan tersebut telah dielaborasi dalam wujud Asta Gatra yang meliputi Tri Gatra (aspek alamiah) dan Panca Gatra (aspek sosial). Ketahanan nasional juga merupakan pendekatan yang utuh menyeluruh, yakni mencerminkan



keterpaduan antara segala aspek kehidupan nasional bangsa. Aspek tersebut juga telah terangkum dalam Asta Gatra Ketahanan Nasional. Dengan demikian, Ketahanan Nasional Indonesia akan semakin kuat dan kokoh, jika dilakukan upaya pembinaan dan pengembangan terhadap setiap aspek (gatra) secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan.Pembinaan Ketahanan Nasional dilakukan dengan menggunakanpendekatan Asta Gatra (delapan aspek), yang merupakan keseluruhan dari aspek-aspek kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pembinaan terhadap aspek sosial penting dilakukan sebab aspek inibersifat dinamis, lebih mudah berubah dan termasuk dalam intagible factor. Pembinaan terhadap aspek ideologi, yakni ideologi Pancasila adalah berkaitan dengan 5 (lima) nilai dasar yang dikandungnya, yang terjabarkan dalam nilai instrumental dalam UUD 1945. Amandemen atas UUD 1945 serta adanya rencana perubahan yang akan datang harus terus dapat dikembalikan pada nilai dasar Pancasila. Dalam hal ini Pancasila tetap ditempatkan sebagai kaidah penuntun hukum, termasuk Undang Undang Dasar 1945. Sebagai cita hukum, Pancasila harus tetap diletakkan sebagai fungsi konstitutif dan regulatif bagi norma hukum Indonesia. Di sisi lain, pendidikan mengenai ideologi Pancasila perlu terus dijalankan dalam sistem pendidikan nasional. Pembinaan kehidupan politik dewasa ini mengarah pada sistem politik demokrasi dan budaya demokrasi. Pengembangan sistem politik diarahkan pada penyempurnaan struktur politik yang dititikberatkan pada proses pelembagaan demokrasi dengan menata hubungan antara kelembagaan politikdan kelembagaan pertahanan keamanan dalam kehidupan bernegara. Di sisi lain, pengembangan budaya politik yang dititikberatkan pada penanaman nilai-nilai demokratis terus diupayakan melalui penciptaan kesadaran budaya dan penanaman nilai-nilai politik demokratis, terutama penghormatan nilai-nilai Hak Asasi Manusia



(HAM), nilai-nilai persamaan, anti-kekerasan, serta nilai-nilai toleransi,melalui berbagai wacana dan media serta upaya mewujudkan berbagai wacana dialog bagi peningkatan kesadaran mengenai pentingnya memeliharapersatuan bangsa. Jika kehidupan politik berlangsung demokratis dan stabil maka ketahanan polit ik bangsa akan terjaga. Gatra ekonomi diarahkan pada landasan yang bertumpu pada kekuatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan stabilit as ekonomi. Pertumbuhanekonomi yang tinggi, jika hanya dinikmati oleh sebagian masyarakat justrudapat melemahkan ketahanan bangsa. Oleh karena itu, pengembangan ekonomi harus dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh danseimbang, konsisten dan adil. Kemiskinan terjadi bukan sekadar karena belum terpenuhinya kebutuhan pokok, tetapi karena tidak adanya hak dan akses untuk memenuhi kebutuhan pokok. Akses tidak hanya mencakup ketersediaan pasokan kebutuhan pokok yang berkualitas sesuai dengan lokasi kebutuhan, tetapi juga keterjangkauan harganya dan keamanan pasokan sepanjang waktu. Rakyat Indonesia akan menjadi sejahtera bila hak dan aksesnya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya terjamin. Dalam gatra sosial budaya, ancaman yang muncul adalah mudahnya infiltrasi nilai-nilai budaya barat yang sekuler, liberal, dan materialistik kemasyarakat Indonesia. Pembinaan yang dilakukan terutama dengan meningkatkan pemahaman, kesadaran dan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Salah satunya adalah nilai luhur budaya Pancasila yang selalu menjaga keseimbangan yang harmonis antara hubungan manusia dengan dirinya, dengan masyarakat , dengan Tuhan, serta keseimbangan antara kemajuan fisik material dengan kesejahteraan mental spiritul dan keseimbangan antara kepentingan dunia dengan akhirat.



Dalam hal gatra pertahanan dan keamanan, kepentingan nasional Indonesia yang vital dan permanen adalah tetap tegak dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dalam mewujudkan kepentingan nasional tersebut, pertahanan negara Indonesia diselenggarakan untuk menangkal dan mencegah segala bentuk ancaman dan gangguan, baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam negeri. Sementara itu, dalam mewujudkan komitmen bangsa Indonesia yang anti penjajahan dan penindasan suatu bangsa terhadap bangsa yang lain, orientasi penyelenggaraan pertahanan negara diarahkan untuk sebesar-besarnya mewujudkan daya tangkal bangsa yang handal. Menurut Buku Putih Pertahanan Tahun 2008, ancaman yang membahayakan keamanan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara itu ada dua, yaitu: 1. Ancaman militer. Ancaman militer adalah ancaman menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan laut dan udara, serta konflik komunal. 2. Ancaman nir militer. Ancaman nir militer adalah ancaman yang menggunakan faktorfaktor nirmiliter dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman nirmiliter dapat berupa bentuk ancaman berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial



budaya, teknologi dan informasi, serta ancaman yang berdimensi keselamatan umum, seperti: 1. Ancaman berdimensi ideologi, contohnya ialah gerakan kelompok radikal sebagai salah satu ancaman nyata. Motif yang melatar belakangi gerakan-gerakan tersebut dapat berupa dalih agama, etnik, atau kepentingan rakyat. Pada saat ini masih terdapat anasir-anasir radikalisme yang menggunakan atribut keagamaan yang berusaha mendirikan negara dengan ideologi lain, seperti yang dilakukan oleh kelompok NII (Negara Islam Indonesia). Bagi Indonesia keberadaan kelompok tersebut merupakan ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mengancam kewibawaan pemerintah sehingga harus ditindak. 2. Ancaman berdimensi politik dapat bersumber dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Dari luar negeri, ancaman dilakukan oleh suatu negara dengan melakukan tekanan politik terhadap Indonesia. Intimidasi, provokasi, atau blokade politik merupakan bentuk-bentuk ancaman nirmiliter berdimensi politik yang seringkali digunakan oleh pihak-pihak lain untuk menekan negara lain. Ancaman berdimensi politik yang bersumber dari dalam negeri dapat berupa penggunaan kekuatan berupa mobilisasi massa untuk menumbangkan suatu pemerintahan yang berkuasa, atau menggalang kekuatan politik untuk melemahkan kekuasaan pemerintah. Ancaman separatisme merupakan bentuk ancaman politik yang timbul di dalam negeri. 3. Ancaman berdimensi ekonomi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Dalam konteks Indonesia, ancaman dari internal dapat berupa inflasi dan pengangguran yang tinggi, infrastruktur yang tidak memadai, penetapan



sistem ekonomi yang belum jelas, ketimpangan distribusi pendapatan dan ekonomi biaya tinggi, sedangkan secara eksternal, dapat berbentuk indikator kinerja ekonomi yang buruk, daya saing rendah, ketidaksiapan menghadapi era globalisasi, dan tingkat dependensi yang cukup tinggi terhadap asing. 4. Ancaman yang berdimensi sosial budaya dibedakan antara ancaman dari dalam dan ancaman dari luar. Ancaman dari dalam didorong oleh isu-isu kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakadilan. Isu tersebut menjadi titik pangkal timbulnya permasalahan, seperti separatisme, terorisme, kekerasan yang berakar, dan bencana akibat perbuatan manusia. Isu tersebut lama kelamaan menjadi “kuman penyakit” yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, nasionalisme, dan patriotisme. Ancaman dari luar timbul bersamaan dengan dinamika yang terjadi dalam format globalisasi. Hal ini ditindai dengan penetrasi nilai-nilai budaya dari luar negeri yang sulit dibendung, yang mempengaruhi nilai-nilai di Indonesia. Kemajuan teknologi informasi mengakibatkan dunia menjadi kampung global yang interaksi antar masyarakat berlangsung dalam waktu yang aktual. Dalam hal ini, tidak hanya transfer informasi, tetapi juga transformasi dan sublimasi nilai-nilai luar secara serta merta dan sulit dikontrol. Akibatnya, terjadi benturan peradaban yang lambat laun nilai- nilai persatuan dan kesatuan bangsa semakin terdesak oleh nilai-nilai individualisme. Fenomena lain yang juga terjadi adalah konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, disamping konflik horizontal yang berdimensi etnoreligius, yang keduanya masih menunjukkan potensi yang patut diperhitungkan.



4. Ancaman berdimensi teknologi informasi adalah munculnya kejahatan yang memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut, antara lain kejahatan siber, dan kejahatan perbankan. Kondisi lain yang berimplikasi menjadi ancaman adalah lambatnya perkembangan kemajuan teknologi diIndonesia, sehingga ketergantungan teknologi terhadap negara-negara maju semakin tinggi. Ketergantungan terhadap negara lain tidak saja menyebabkan Indonesia menjadi pasar produk-produk negara lain, akan tetapisulit bagi Indonesia untuk mengendalikan ancaman berpotensi teknologi yang dilakukan oleh pihakpihak tertentu untuk melemahkan Indonesia. 5. Ancaman berdimensi keselamatan umum ialah adanya bencana alam, seperti gempa bumi, meletusnya gunung berapi, dan tsunami. Bencana lain ialah yang disebabkan oleh ulah manusia, antara lain: tidak terkontrolnya penggunaan obat-obatan dan bahan kimia lain yang dapat meracuni masyarakat, baik secara langsung maupun kronis (menahun), misalnya pembuangan limbah industri atau limbah pertambangan lainnya. Sebaliknya, bencana alam yang disebabkan oleh faktor alam yang dipicu oleh ulah manusia, antara lain bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, dan bencana lainnya. Bencana alam baik langsung maupun tidak langsung mengancam keselamatan masyarakat. Selain itu, keamanan transportasi juga merupakan salah satu dimensi ancaman keselamatan umum yang cukup serius di Indonesia. (Dirjen Belmawa, 2012:74).



B. BELA NEGARA



Gambar IX.8 Tentara siap digunakan dalam pembelaan negara secara fisik. Apakah warga negara lain juga demikian? Sumber:http://ilmupengetahuan-dunia.blogspot.com/2013/02/pengertian-bela-negara.html



Terdapat hubungan antara ketahanan nasional dengan pembelaan negara atau bela negara. Bela negara merupakan perwujudan warga negara dalamupaya mempertahankan dan meningkatkan ketahanan nasional bangsa Indonesia. Keikutsertaan warga negara dalam upaya menghadapi atau menanggulagi ancaman. Hakekat ketahanan nasional, dilakukan dalam wujud upaya belanegara. Pada uraian sebelumnya telah dikatakan bahwa bela negaramencakup pengertian bela negara secara fisik dan nonfisik. Bela negarasecara fisik adalah memanggul senjata dalam menghadapi musuh (secara militer). Bela negara secara fisik pengertiannya lebih sempit daripada belanegara secara nonfisik. a. Bela Negara Secara Fisik



Menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, keikutsertaan warga negara dalam bela negara secara fisik dapat dilakukan dengan menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Pelatihan Dasar Kemiliteran. Sekarang ini pelatihan dasar



kemiliteran diselenggarakan melalui program Rakyat Terlatih (Ratih), meskipun konsep Rakyat Terlatih (Ratih) adalah amanat dari Undangundang Nomor 20 Tahun 1982. Rakyat Terlatih (Ratih) terdiri dari berbagai unsur, seperti ResimenMahasiswa (Menwa), Perlawanan Rakyat (Wanra), Pertahanan Sipil (Hansip),Mitra Babinsa, dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang telahmengikuti Pendidikan Dasar Militer, dan lain-lain. Rakyat Terlatihmempunyai empat fungsi yaitu Ketertiban Umum, PerlindunganMasyarakat, Keamanan Rakyat, dan Perlawanan Rakyat. Tiga fungsi yangdisebut pertama umumnya dilakukan pada masa damai atau pada saat terjadinya bencana alam atau darurat sipil, di mana unsur-unsur Rakyat Terlatih membantu pemerintah daerah dalam menangani Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Sementara fungsi Perlawanan Rakyat dilakukan dalam keadaan darurat perang di mana Rakyat Terlatih merupakan unsur bantuan tempur. Bila keadaan ekonomi dan keuangan negara memungkinkan, maka dapat pula dipertimbangkan kemungkinan untuk mengadakan Wajib Militer bagi warga negara yang memenuhi syarat seperti yang dilakukan di banyak negara maju di Barat. Mereka yang telah mengikuti pendidikan dasar militer akan dijadikan Cadangan Tentara Nasional Indonesia selama waktu tertentu, dengan masa dinas misalnya sebulan dalam setahun untuk mengikuti latihan atau kursus-kursus penyegaran. Dalam keadaan daruratperang, mereka dapat dimobilisasi dalam waktu singkat untuk tugas-tugas tempur maupun tugas-tugas teritorial. Rekrutmen dilakukan secara selektif, teratur dan berkesinambungan. Penempatan tugas dapat disesuaikan dengan latar belakang pendidikan atau profesi mereka dalam kehidupan sipil misalnya dokter ditempatkan di Rumah Sakit Tentara, pengacara di Dinas Hukum, akuntan di Bagian Keuangan, penerbang di Skuadron Angkatan, dan sebagainya. Gagasan ini bukanlah dimaksudkan sebagai upaya militerisasi masyarakat sipil,



tapi memperkenalkan “dwi fungsi sipil”. Maksudnya sebagai upaya sosialisasi “konsep bela negara”, dimana tugas pertahanan keamanan negara bukanlah semata-mata tanggung jawab Tentara Nasional Indonesia (TNI), melainkan merupakan hak dan kewajiban seluruh warga negara Republik Indonesia. b. Bela Negara Secara Nonfisik



Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa bela negara tidak selalu harus berarti “memanggul senjata menghadapi musuh” atau bela negara yang militerisitik. Menurut UndangUndang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara keikutsertaan warga negara dalam bela negara secara nonfisik dapat diselenggarakan melalui Pendidikan Kewarganegaraan dan pengabdian sesuai dengan profesi. Pendidikan kewarganegaraan diberikan dengan maksud menanamkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Pendidikan Kewarganegaraan dapat dilaksanakan melalui jalur formal (sekolah dan perguruan tinggi) dan jalur non formal (sosial kemasyarakatan). Berdasarkan hal tersebut, maka keterlibatan warga negara dalam bela negara secara non fisik dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, sepanjang masa, dandalam segala situasi, misalnya dengan cara: 1) Mengikuti Pendidikan Kewarganegaraan baik melalui jalur formal dan non formal. 2)



Melaksanakan kehidupan berdemokrasi dengan menghargai



perbbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak dalam memecahkan masalah bersama. 3) Pengabdian yang tulus kepada lingkungan sekitar dengan menanam, memelihara, dan melestarikan.



4) Berkarya nyata untuk kemanusiaan demi memajukan bangsa dan



negara. 5) Berperan aktif dalam ikut menanggulangi ancaman terutama



ancaman nirmiliter, misal menjadi sukarelawan bencana banjir. 6) Mengikuti kegiatan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal pengaruh-pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan bangsa Indonesia. 7) Membayar pajak dan retribusi yang berfungsi sebagai sumber pembiayaan negara untuk melaksanakan pembangunan. Dewasa ini, membayar pajak sebagai sumber pembiayaan negara merupakan bentuk nyata bela negara non fisik dari warga negara terutama dalam hal ketahanan nasional bidang ekonomi. (Belmawa, 2016:269). Bela negara sebagaimana diatur dalam rumusan Pasal 27 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Selanjutnya, bukuPemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2012 dijelaskan bahwa pasal 27 ayat (3) ini dimaksudkan untuk memperteguh konsep yang dianut bangsa dan negara Indonesia di bidang pembelaan negara, yakni upaya bela negara bukan hanya tanggung jawab Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia semata, akan tetapi merupakan hak sekaligus kewajiban setiap warga negara. Oleh karena itu, tidak benar jika ada anggapan bela negara berkaitan dengan militer atau militerisme dan seolah-olah kewajiban dan tanggung jawab untuk membela negara hanya terletak pada Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkanbahwa usaha pembelaan negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa setiap warganegara berhakdan wajib untuk



turut serta dalam menentukan kebijakan tentangpembelaan negara melalui lembaga-lembaga negara termasuk pula aktifitas bela negara. Selain itu, setiap warga negara dapat turut serta dalam setiap usaha pembelaan negara sesuai dengan kemampuan dan profesi masingmasing. Dalam Undang-UndangNomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara”. Pasal 30 UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ayat (1) menyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga negaraberhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Berarti pula setiap warga negara wajib berperan serta dalam upaya ketahanan ekonomi dan berarti pula ada kewajiban membayar pajak yang merupakan sumber pembiayaan penyelenggaraan negara. Dengan sumber pener imaan t ersebut , negara dapat melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak warga negara. Pajak juga berfungsi untuk menjaga kestabilan suatu negara. Contohnya, adalah pengendalian terhadap inflasi (peningkatan harga), Inflasi terjadi karena uang yang beredar sudah terlalu banyak, sehingga pemerintah akan menaikkan tarif pajak, agar peningkataninflasi dapat terkontrol. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa: “Setiap warga negara berhak danwajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalampenyelenggaraan pertahanan negara”. Penjelasan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dinyatakan bahwa upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga Negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar warga negara, juga merupakan



kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Bela negara dapat dibedakan secara fisik maupun nonfisik. Secara fisik, yaitu dengan cara "memanggul senjata" menghadapi serangan atau agresi musuh. Bela negara secara fisik dilakukan untuk menghadapi ancaman dari luar. Pengertian ini dapat disamakan dengan bela negara dalam arti militer. Sedangkan bela negara secara non fisik dapat didefinisikan sebagai "segala upaya untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia dengan cara meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, termasuk penanggulangan ancaman. Bela negara demikian dapat dipersamakan dengan bela negara secara non militer. Bela negara perlu kita pahami dalam arti luas, yaitu secara fisik maupun non fisik (militer ataupun nonmiliter). Pemahaman demikian diperlukan, oleh karena dimensi ancaman terhadap bangsa dan negara dewasa ini tidak hanya ancaman yang bersifat militer tetapi juga ancaman yang sifatnya non militer atau nir militer. Dalam hal ini, ancaman adalah ”setiap usaha dan kegiatan baik dari dalam maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa”. Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman nirmiliter pada hakikatnya adalah ancaman yang menggunakan faktor-faktor nirmiliter, yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dankeselamatan segenap bangsa.Setelah mengenal jenis-jenis ancaman baik militer dan



nirmiliter, diperlukan identifikasi, bentuk-bentuk bela negara apa sajakah yang dapat dilakukan warga negara. Tentu saja bentuk atau wujud bela negara disesuikan dengan jenis ancaman yang terjadi. RANGKUMAN 1. Ketahanan sebuah bangsa (persekutuan hidup manusia) sangatlah penting bagi kelangsungan kehidupan manusia yang bersangkutan. Ketahanan bangsa merupakan kemampuan suatu bangsa untuk mempertahankan persatuan dankesat uannya serta memperkuat daya dukung kehidupannya. Dengan kata lain kemampuan menghadapi segala bentuk ancaman yang dihadapinya, sehingga memiliki kemampuan melangsungkan kehidupannya dalam mencapai kesejahteraan bangsa tersebut. Konsepsi ketahanan bangsa untuk konteks Indonesia dikenal dengan nama Ketahanan Nasional yang dikembangkan oleh Lembaga Pertahanan Nasional. 2. Bela negara mencakup bela negara secara fisik atau militer dan belanegara secara nonfisik atau nirmiliter dari dalam maupun luar negeri. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya belanegara. Bela Negara dapat secara fisik yaitu dengan cara "memanggul senjata" menghadapi serangan atau agresi musuh. Bela Negara secara fisikdilakukan untuk menghadapi ancaman dari luar. Bela negara secara nonfisik adalah segala upaya untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan cara meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air (salah satunya diwujudkan dengan sadardan taat membayar pajak), serta berperan aktif dalam memajukanbangsa dan negara, termasuk penanggulangan ancaman dan lain sebagainya.



SOAL 1. Tujuan nasional Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada alenia ke: a. 1 c. 3 b. 2 d. 4 2. Ketahanan Nasional dapat dimaknai sebagai: a. Kondisi c. Doktrin b. Metode d. a, b, dan c benar 3. Tujuan utama dari Ketahanan Nasional adalah: a. Kekuatan bertahan c. Memperkuat daya dukung nasional b. Kemaampuan mempertahankan d. Memperkuat nasionalisme 4. Ketahanan Nasional meliputi aspek: a. Tri Garta b. Panca Gatra



c. Asta Gatra d. Semua benar



5. Ketahanan Nasional akan kokoh apabila didukung oleh: a. Ketahanan berlapis c. Ketahanan keluarga b. Ketahanan individu d. Ketahanan masyarakat 6. Bela negara sebagai wujud: a. Kemampuan mempertahankan negara c. Wujud ketahanan nasional b. Kemampuan berperang d. Wujud wajib militer 7. Bela negara dapat berwujud: a. Fisik b. Non fisik



c. Fisik dan non fisik d. Laten



8. Upaya bela negara diatur dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal: a. 1 c. 27 b. 24 d. 33



9. Keikutsertaan waarga negara dalam upaya bela negara berwujud fisik melalui: a. Wajib militer



c. Rakyat terlatih



b. Resimen mahasiswa



d. Semua benar



10. Keikutsertaan waarga negara dalam upaya bela negara berwujud non fiisik melalui: a. Pemerintah



c. Pendidikan



Kewarganegaraan b. Pendidikan



d. Pendidikan Pancasila



BAB VI DEMOKRASI TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat mengetahui dan memahami demokrasi yang bertujuan agar mahasiswa dapat berpikir, bersikap rasional dan dinamis serta berpandangan luas sebagai manusia intelektual yang memiliki kesadaran tentang pentingnya demokrasi dalam kontek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. MATERI PEMBELAJARAN A. Pengertian dan Sejarah Demokrasi. B. Macam-Macam Demokrasi. C. Ciri, Prinsip dan Nilai Demokrasi. D. E.



Makna dan Historisasi serta Transisi Demokrasi di Indonesia. Membangun Demokrasi yang Religius.



URAIAN MATERI PENGERTIAN DAN SEJARAH DEMOKRASI Dalam penulisan ini, penulis tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai pengertian demokrasi, baik secara etimologi maupun A.



terminologi, dalam sejarah demokrasi itu sendirilah yang akan menjelaskan tentang kedua pengertian demokrasi tersebut. Menurut Abraham Lincoln, pengertian demokrasi adalah sistem pemerintah yang diselenggaran dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Menurut Charles Costello, pengertian demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi dengan hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.



Pengert ian demokrasi menurut Hans Kelsen adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat.Yang melaksanakan kekuasaan negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan negara. Menurut Merriem, demokrasi didefinisikan sebagai pemerintahanoleh rakyat, khususnya, oleh mayoritas pemerintahan di mana kekuasan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik secara langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan. Menurut Sidney Hook, pengertian demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak didasarkan dari kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Menurut John L. Esposito, demokrasi adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat.Oleh karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.Selain itu, tentu saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Demokrasi menurut definisi C.F. Strong adalah suatu sistem pemerintahan dimana mayoritas anggota dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggung jawabkan tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut. Menurut Hannry B. Mayo, pengertian demokrasi adalah kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan dari prinsip kesamaan politik dan



diselenggaran dalam suasana di mana terjadi kebebasan politik. Menurut Samuel Huntington, demokrasi adalah para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan didalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hamir seluruh penduduk dewasa dapat diberikan suara. Demokrasi lahir di Yunani kuno sekitar tahun 508 SM. Setelah dimulainya reformasi sistem pemerintahan di city state (Negara kota) yang dilakukan oleh Kleithenes. Kleithenes bersama dengan para bangsawawan atas bantuan Sparta menumbangkan Hipias, seorang penguasa tiran yang lalim pada saat itu. Setelah Hipias tumbang dari panggung kekuasaan, Kleithenes atas bantuan rakyat mencoba mengalahkan rival-rival politiknya yang akhirnya membawanya memimipin Yunani. Kleitheneslah yang pertama kali memperkenalkan demokrasi di Dunia, dengan membentuk “Majelis Lima Ratus” yang keangotaannya terbuka bagi warga Negara laki-laki diatas tiga puluh tahun yang jumlahnya dibutuhkan dan dipilih dengan undian. Demokrasi yang dikenalkan oleh Kleithenes, sekalipun masih sangat klasik, tetapi ia mampu melampaui zamannya dengan menerapkan sistem yang baru dan belum dikenal pada zamannya. Kelemahan-kelemahan penerapan demokrasi yang digagas oleh Kleithenes, kemudian disempurnakan oleh pelanjutnya, Pericles (461429 SM). Pericles juga yang menetapkan undang-undang dan sekaligus membentuk “Dewan Sepuluh Jenderal” yang melakukan tugas seperti parlemen di zaman modern. Gagasan inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Plato, dalam tiga karyanya, yaitu Politea (res publika) yang ditulisnya ketika berusia masih muda, kedua, adalah Politicos (the Stateman); dan yang terakhir adalah Nomoi (the Law). Aristoteles mengembangkan lagi gagasan dasar Plato tentang Nomoi dalam karyanya Politica. Gagasan mereka seputar persoalan hukum, politik



dan demokrasi merupakan gagasan yang cemerlang. Karena selain mengajukan tesis itu, mereka justru menganjurkan bagaimana moralitas dan etika juga harus menyatu di dalam menyelenggarakan sistem. Tanpa moralitas, semua sistem, yang sebaik apapun sistem itu akan runtuh dengan sendirinya. Karena etika dan moralitas-lah yang mampu meluruskan segala macam keserakahan termasuk keserakahan di bidang politik. Karena gagasannya yang mengawali gerakan refleksi kebebasan inilah, akhirnya Plato, Aristoteles dan muridnya yang terakhir Sokrates dikenal publik modern dan teori-teorinya di jadikan rujukan, baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan terutama demokrasi (Kamil, 2002: 1-2). Menurut penelitian Robert Dahl (Kamil, 2002: 2-3) dalam pandagan Yunani tentang demokrasi, warga negara adalah pribadi utuh yang baginya politik merupakan kegiatan sosial alami yang bukan terpisah secara tegas dari bidang kehidupan lain. Nilai-nilai tidak terpecah tetapi terpadu. Karena itu mereka aktif dalam kehidupan politik. Bagi mereka tatanan demokrasi sekurang-kurangnya harus memenuhi enam syarat; Pertama, warga negara harus cukup serasi dalam kepentingan mereka, sehingga sama-sama memiliki satu perasaan yang kuat tentang kepemimpinan umum dan bertindak atas dasar itu. Kedua, mereka harus benar-bnar amat padu dan homogen agar tidak menimbulkan konflik. Ketiga, jumlah warga negara harus sangat kecil, yang secara ideal bahkan jauh lebih kecil dari 40.000 sampai 50.000 yang terdapat di Athena dimasa Pericles. Jumlah demos (rakyat) yang kecil itu penting karena tiga alasan; (a) jumlah itu akan menolong menghindari ketidakserasian. (b) agar warga negara mempunyai pengetahuan tentang kota dan saudara mereka sesama warga negara yang akan memungkinkannya mengetahui kebaikan bersama. Dan (c) memudahkan jika harus berkumpul agar berfungsi sebagai penguasa kota yang berdaulat. Keempat, warga Negara harus dapat berkumpul dan



secara langsung memutuskan undang-undang dan ketetapan mengenai kebijakan. Kelima, partisipasi warga Negara tidak hanya terbatas pada pertemuan Majelis. Mereka juga aktif dalam memerintah kota. Caranya dengan pemilihan, tetapi kebanyakan dengan undian, untuk jangka waktu satu tahun dan duduk sekali seumur hidup. Setiap warga Negara hampir pasti menduduki suatu jabatan untuk jangka waktu satu tahun dan sebagian besar menjadi anggota Dewan Lima Ratus. Keenam, Negara harus tetap otonom. Liga konfederasi, dan aliansi terkadang memang penting untuk pertahanan atau perang. Akan tetapi, hal itu tidak boleh mengurangi otonomi mutlak Negara kota dan kedaulatan Majelis dalam Negara. Karena itu, pada prinsipnya, setiap kota harus berswasembada, tidak hanya secara politik, tetapi juga ekonomi dan militer.



Gambar 1. Demokrasi langsung di Yunani Sumber: https://www.google.co.id/search?q=images+demokrasi +lansung



Demokrasi zaman yunani yang masih klasik dan bersifat langsung ini masih banyak menemui kelemahan, Karena yang di libatkan dalam sistem pemerintahan adalah para bangsawan, sementara para budak, wanita dan anak-anak tidak diikutkan di dalamnya. Tetapi yang perlu di banggakan adalah peletakan “batu” pertama demokrasi Yunani telah mampu membawa perubahan bagi masyarakat sehingga menjadi warisan secara turun temurun bagi generasi selanjutnya hingga di zaman modern saat ini.



Para pelanjutnya yang mengawali kebangkitan demokrasi modern adalah seperti Thomas Hobbes, John Lock, Montesquieu, Jean Jacques Rousseau dan lain-lainnya. Thomas Hobbes dan John Lock adalah merupakan generasi pertama yang mengajukan teori perjanjian masyarakat (contrant social). Apa yang diajukan oleh Hobbes sebenarnya adalah merupakan dukungan terhadap rezim “status quo”, karena dalam perjanjian itu Hobbes hanya menganjurkan rakyat untuk menyerahkan hak-haknya kepada penguasa sementara penguasa berkuasa tanpa batas sehingga kecenderungan menjadi absolut itu sangat kuat. Ini diperkuat dalam karya monumental yang ditinggalkannya sebagai warisan intelektual yaitu Leviathan dan De Cive. Berbeda dengan Hobbes yang hanya mengajukkan satu teori perjanjian dan teorinya itu ada kecenderungan mendukung penguasa, John Lock justru mengajukkan dua perjanjian. Dua perjanjian itu adalah Pactum Unionis dan Pactum subjectionis.Perjanjian itu menurut Lock harus seimbang.Dalam pactum Unionis, rakyat membentuk sebuah badan politik yaitu Negara. Kemudian setelah badan politik itu terbentuk, maka rakyat secara bersa ma- sama menyer ahkan haknya unt uk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang berasal dari sumber hukum alam. Perjanjian penyerahan kekuasaan itulah yang disebut dengan Pactum subjectionis. Dalam perjanjian ini tidak semua hak-hak rakyat diserahkan, karena hak-hak dasar kemanusiaan tetap melekat dalam diri kemanusiaan. Oleh karena itu jika raja didaulat oleh rakyat untuk turun, maka raja harus turun, karena itu adalah konsekuensi social contract. John Lock telah mewariskan karya-karya besar yaitu The Essay Concerning Human Undestanding (1689) dan karyanya yang dianggap paling provokatif oleh raja Inggris yaitu Two Treatises on Civil Government (1690). Oleh karena itu kata Sobirin Malian dalam Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945 (2001) John



Lock kemudian mendapatkan penghargaan sebagai Bapak Hak-Hak Asasi Manusia dan pendekar demokrasi modern. Selain diatas Montesqueiu dalam bukunya De I'espirit Des Lois (1748) memberikan sumbangan besar bagi kebangkitan sistem politik modern yang lebih demokratis. Dengan teori Trias politica-nya, Montesquieu membagi sistem kekuasaan itu menjadi tiga piranti yang oleh para ilmu negarawan disebut sebagai pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif merupakan senjata ampuh menurut Montesquieu agar penguasa tidak secara sewenang-wenang menindas rakyat atas kemauannya. Despotisme kekuasaan dapat terhindarkan jika antara lembaga kekuasaan yang satu dengan lembaga kekuasan yang lain tidak saling bertautan apalagi sampai menyatu. Yang hampir sejalan dengan pendapatnya Montesquieu adalah J.J Rousseau. Dalam bukunya Du Contract Social; Ou Principes du Droit Politique (1762) Rousseau mengemukkan teorinya mengenai perjanjian masyarakat.Dalam kalimat pembukanya dalam Contract Social sebagaimana yang dikutip oleh Sobirin Malian (2001), Rousseau mengatakan; “manusia dilahirkan bebas, tetapi dimana-mana dia terbelenggu”. Kajian teoritis-konseptual tentang demokrasi mulai bergaung ketika terjadi transisi ke demokrasi yang mulai marak sejak perang dunia kedua, ketika banyak rezim otoritarian tumbang dari kursi kekuasaannya. Banyak ahli (expert) dan ilmuwan politik beralih perhatian yang semula bersifat eropasentris dan amerikasentris membuka mata terhadap perkembangan di Eropa Selatan kemudian beralih ke Amerika Latin dan Asia. (Sahdan. 2004: 2). Bertumbangnya rezim-rezim politik otoritarian di beberapa Negara Amerika Latin dibawah patung komunis dan Eropa Timur



menandai arus deras perkembangan demokrasi di beberapa Negara di dunia. Itu pula menjadi alasan mengapa demokrasi menjadi virus yang mempengaruhi negara-negara berkembang (dunia ketiga) untuk di terapkan menjadi sistem politik universal. Sekalipun tidak selamanya demokrasi sepakat dengan sistem politik suatu Negara, tetapi hampir bisa dipastikan, bahwa demokrasi berubah “menyihir” Negara-negara yang pernah menerapkan sistem otoritarian tersebut untuk menerapkan demokrasi. Indonesia tidak bisa kita lepaskan dari jeratan sistem demokrasi yang berlaku universal tersebut. Dalam konteks inilah buku seorang “penyihir” intelektual dunia Francis Fukuyama, The End Of History and Last Man (1992) setahun sebelum keluarnya tesis Semuel P. Huntington dalam jurnal Foreign Affairs dengan judul The Clash Civilization (1993). Buku ini merupakan buku yang paling tidak, merupakan bentuk hegemoni intelektual yang bisa “memabukkan” setiap orang yang membacanya. Menurut Fukuyama, suatu ketika demokrasi liberal akan mengalami kemenangan atas sistem pemerintahan di dunia, karena setiap negara akan menjadikan demokrasi liberal sebagai pijakan mereka dalam menjalankan otoritas kepemimpinannya. Pada saat yang sama dia mengatakan The End Of History. Berakhirlah sejarah, katanya dengan nada optimis. Padahal Fukuyama sendiri tidak sadar, dirinya sedang digenggam oleh tesis Daniel Bell yang mengajukan The End of Ideology. Inilah yang dibantah oleh John Naisbitt dalam Global Paradoks (1994) dengan mengajukkan The End of politics. Naisbitt tidak berbicara tentang berakhirnya sejarah peradaban dengan kemenangan liberalisme Barat, tetapi ia membalikkan gagasan Fukuyama dengan mengajukan the Beginning of history, yaitu kelanjutan sejarah peradaban sebagai akibat dari kemenangan liberalisme Barat tersebut. Karena dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal tersebut, akan membentuk sejarah



baru, yaitu terpecah belahnya negara- bangsa menjadi unit-unit kecil. Ia mengatakan bahwa di tengah kampung global (Huseini: 2005) yang tidak kondusif disertai dengan ancaman partikularitas maka yang menguat adalah etnonasionalisme, dan setiap orang cenderung menyempitkan dirinya dalam komunitas-komunitas yang partikular. Dalam kacamata intelektual Naisbitt, semakin hari manusia semakin ingin bersatu secara jauh lebih bebas, namun pada saat yang sama mereka ingin bebas secara politik dan budaya. Maka, lanjut Naisbitt, tribalisme atau sukuisme, yaitu kesetiaan pada etnisitas, bahasa, budaya, agama dan profesi, menemukan lahan yang amat subur dan berkembang biak (Fatah:1999). Buku Fukuyama yang lain yang juga menarik adalah buku terakhirnya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century (2004). Dalam buku ini pula Fukuyama masih sangat yakin dengan kemenangan demokrasi liberalnya. Dalam salah satu isi bukunya, ia mengatakan, “Jika melihat lebih dari 30 tahun kebelakang, tidak jelas apakah kemampuan negara (atau dalam istilah Huntington, pembangunan politik) dapat dipisahkan dari legitimasi sedemikian mudahnya. Pada akhir tahun 1980-an, Uni Soviet mulai runtuh dan kehilangan sejumlah kemampuan negara yang penting, persis karena watak diktatornya mendelegitimasi rezim tersebut di mata para warganya. Dengan kata lain, derajat pembangunan politiknya adalah suatu selubung politik (potemkin village) pada masaHuntington menulis buku Political Order. Meskipun secara historis terdapat banyak bentuk legitimasi, di dunia sekarang ini satu-satunya sumber legitimasi yang serius adalah demokrasi”. Realitas yang diperdebatkan dalam konteks demokrasi global dan terjadinya proses afirmasi masyarakat di dalam memainkan peranperan globalnya, juga pernah diungkapkan oleh sosiolog kondang dunia, Neil J. Smelser, ketika berpidato menutup kongres sosiologi sedunia di



Jerman pada penghujung abad XX yang lalu. Ia mengatakan bahwa semakin sempit Dunia akibat arus informasi dan komunikasi, dan semakin tercitranya tatanan global, maka masyarakat semakin mengecil, primordialisme semakin kental, rasa egoisme semakin kuat, sukuisme semakin menemukan identitasnya dan agama semakin curiga pada realitas global, karena cenderung mereduksi nilai-nilai, membongkar tradisi lokalitas, merobohkan keyakinan, sehingga identitas lokalitas mengalami konsolidasi”. Pada saat yang sama watak demokratis mengalami pereduksian makna dan identitas. Demokrasi berhenti menjadi retorika kekuasaan dan demokrasi berhenti menjadi nafsu yang terpendam. Yang hadir adalah kecurigaan, ketakutan, frustasi dan tidak bisa menimbulkan sikap tasamuh, padahal dalam masyarakat yang multikultural, sikap toleransi (tasamuh) adalah sikap yang mesti menjadi bagian dari hidup bermasyarakat. Ada dua faktor yang mendorong meluasnya demokrasi di era global, yakni sejumlah perkembangan domestik dan global. Faktor pertama bersumber dari tekanan masyarakat yang sudah diabaikan oleh Negara. Faktor kedua dipicu oleh tiga perkembangan penting yang terjadi di tingkat global, yaitu; runtuhnya Tembok Berlin dan hancurnya rezim komunis di Eropa Timur; tekanan diplomatik dan ekonomi dari negara-negara Barat dan lembaga-lembaga internasional (NATO, IMF, Bank Dunia, dsb); dan terciptanya iklim demokrasi yang di dukung oleh revolusi komunikasi (Haynes; 2000, 130-133). Hancurnya rezim-rezim komunis yang ditandai dengan proses awal bagi konsolidasi demokrasi khususnya Negara-negara Eropa Timur tersebut telah banyak membawa berkah bagi geliat demokratisasi. Pada saat yang sama, keruntuhan rezim komunis itu sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari proyek kapitalisme negara-negara raksasa terutama mereka yang ingin menciptakan deregulasi dan menghindari proteksi perusahaan negara



oleh negara-negara yang bersangkutan, sehingga modal-modal kapitalis di Negara maju seenaknya bisa mengendalikan proses-proses ekonomi. Maka untuk bisa melakukan itu, harus diciptakan terlebih dahulu kondisi awal untuk menaklukan Negara, yaitu menerapkan demokratisasi atau paling tidak memberikan keyakinan kepada Negara-negara berkembang agar menciptakan sistem yang demokratis. Dengan sistem yang demokratis itu, mereka bisa memprovokasi rakyat agar diciptakan ruang yang bebas untuk melaksanakan prose-proses ekonomi yang bebas pula. Lahirlah “hukum tangan besi ekonomi”, siapa yang kuat, ialah yang menang. Dari sinilah konsep demokrasi menjadi sebuah narasi penting dalam membangun negara-bangsa modern. Sebagai konsep, demokrasi adalah merupakan diskursus yang telah mampu menyihir manusia dari proses kesejarahan politik. Demokrasi bukan hanya sekedar teori “sihir” tetapi juga telah menjadi bagian dari darah daging dinamika politik yang ada. Menurut David Held dalam Models of Democracy (1987:2) demokrasi sering diartikan sebagai bentuk pemerintahan oleh rakyat (democratial). Oleh karena itu, demokrasi menghendaki rakyat sebagai pemegang otoritas tertinggi dari sebuah proses politik yang berjalan dalam masyarakat, sehingga segala keputusan politik yang ada harus di sandarkan kepada kepentingan rakyat. Rakyat adalah merupakan fakta politik yang harus menjadi pijakan bagi bagi penguasa dalam mengambil kebijakan politik.Tetapi demokrasi adalah merupakan cita ideal, yaitu sebuah teori politik. Maka demokrasi adalah teori yang menjadi cita ideal. Sejalan dengan itu, menurut Jean Francoisn Revel dalam Democracy Against Itself; The Future of The Democracy Impulse (1993:7) bahwa demokrasi sudah menjadi suatu cita-cita dalam pikiran rakyat dan realitas praktis politik.



Tetapi dalam kenyataannya, demokrasi selalu berbeda dengan cita ideal yang merupakan nalar filosofis politik, karena realitas politik adalah merupakan tafsir politik dari cita ideal. Dalam kaitannya dengan pendekatan prosedur dalam demokrasi, Schumpeter dalam Capitalism, Socialism and Democracy (1987: 269) menyatakan bahwa metode demokratis adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Artinya, demokrasi itu adalah merupakan proses, dan dalam proses itu ada mekanisme yang harus dilalui untuk memenuhi pra syarat terbentuknya demokrasi. Yang membuat mekanisme dalam konteks ini adalah lembaga-lembaga politik yang dibentuk secara demokratis dan membuat mekanisme demokrasi dengan cara-cara yang demokratis. Kekuasaan yang merupakan bentuk partisipasi dalam demokrasi adalah kekuasaan yang diperoleh dengan mengikuti proses yang kompetitif dengan mengikuti aturan-aturan yang dibuat secara demokratis tadi. Seorang penguasa yang duduk atau memegang lembaga kenegaraan dalam Negara demokrasi adalah penguasa yang telah terseleksi secara ketat melalui kompetisi demokratis, sehingga keberadaannya sebagai pemegang kekuasaan adalah bentuk representasi demokrasi. Berbeda dengan logika politik yang otoritarian, dimana penguasa politik kebanyakan di tunjuk oleh orang-orang tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Konsep ini memberikan definisi yang jelas tentang demokrasi pada term sebagai kehendak rakyat (the will of the people) (sumber) dan kebaikan bersama (the common good), dengan merujuk pada satu metode demokrasi yaitu prosedur bagi kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan, melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat (Huntington. 2001: 4-5, Sanit dan Hendardi.



2005: 22). Kemudian konsep dan metode ini (definisi-definisi demokrasi) mengakhiri pertentangan antara kaum rasionalis, utopis dan idealistis di satu kubu dan kaum empiris, deskriptif dan institusional di kubu lainnya (Arbi Sanit dan Hendardi. 2005: 22). Terhadap definisi dari Schumpeter, Huntington dalam Gelombang Demokratisasi Ketiga (1995: 4-5)menyatakan: "Perdebatan yang terjadi di kalangan teoritikus demokrasi akhirnya memunculkan definisi Schumpeterian ini sebagai pemenang. Semakin banyak teoritikus menarik garis perbedaan yang tajam antara definisi-definisi demokrasi yang rasionalistis, utopis, idealistis di satu pihak, dengan definisi-definisi demokrasi yang empiris, deskriptif, institusional, dan prosedural di pihak lain, dan yang menyimpulkan bahwa hanya definisi dari tipe yang disebut terakhir yang memberikan ketepatan analisis dan acuan empiris yang membuat konsep itu bermanfaat”. Schumputer (1947:269) memberi makna demokrasi yang relatif lebih realistis. Sebuah sistem politik disebut demokrasi sejauh para pengambil keputusan kolektifnya yang paling kuat dipilih melalui pemilu periodik, dimana para calon bebas bersaing untuk merebut suara dan di mana hampir semua orang dewasa berhak memilih. Dari sini metode demokratis dapat dilakukan dalam arti suatu rencana institutional (pengambilan keputusan) untuk mencapai keputusan politis dilakukan oleh individu yang memperoleh kekuasaan tadi. Dengan demikian maka demokrasi mengandung tiga dimensi makna yang saling terkait yaitu persaingan, partisipasi (Dahl. 1971: 4-9),dan kebebasan. Bagi Indonesia, dimana peran parpol belum berfungsi sepenuhnya maka makna kebebasan, persaingan dan partisipasi belum dapat dilakukan sebagaimana didefinisikan oleh Schumputer. Yang terjadi di pedesaan misalkan adalah suatu demokrasi elitis yang baru menyentuh para elite pemegang kekuasaan baik formal maupun non formal (Suwondo: 1999).



Literatur politik modern (Barat) biasanya menyebut beberapa ciri pokok sebuah sistem yang demokratis. Diantaranya: (1) partisipasi politik yang luas; (2) kompetisi politik yang sehat; (3) sirkulasi kekuasaan yang terjaga, terkelola, dan berkala, terutama melalui proses pemilihan umum; (4) pengawasan terhadap kekuasaan yang efektif; (5) diakuinya kehendak mayoritas; dan (6) adanya tatakrama politik (fatsoen) yang disepakati dalam masyarakat (Eep Saifullah Fattah. 2000: xxxv-xxxvi). Menurut Fattah, secara umum, sistem yang demokratis pada hakikatnya ditandai oleh berjalannya tiga prinsip dasar. Pertama, tegaknya etika dan moralitas politik sebagai landasan kerja system politik, ekonomi dan social. Kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme, yakni tegaknya supremasi hukum dan adanya kepatuhan pada hukum dalam masyarakat. Ketiga, digunakannya mekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban publik, yakni mekanisme yang memosisikan semua pemegang jabatan publik, sebagai pemegang mandat atau amanat dari rakyat. Dalam kaitannya dengan etika, demokrasi menurut Nurtjahjo (2006. 144)., adalah perangkat politik dan etika yang berkembang secara dinamis dalam ruang dan-waktu sejarah. Di samping adanya ragam pendapat dan adaptasi lokal dari demokrasi, konsep demokrasi sendiri diyakini memiliki prinsip-prinsip universal sebagai ciri eksistensinya. Prinsip-prinsip eksistensial dari demokrasi itu adalah adanya: (1) Kebebasan; (2) Kesamaan; (3) Kedaulatan Suara Mayoritas, sebagai penentu suara demokrasi itu. Prinsip kebebasan dan kesamaan beserta derivatifnya dilaksanakan melalui kalkulasi kuantitatif melalui metode demokrasi, yaitu 'majority principle' (voting). Salah satu derivatif penting dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan suara mayoritas (rakyat) adalah dilaksanakannya pemilihan umum (Pemilu). Derivatif lain yang diinginkan dari pelaksanaan demokrasi ini adalah munculnya komitmen untuk suatu proses peralihan kekuasaan yang



damai (tidak berdarah). Namun, komitmen ini tidak selalu hadir dalam praksis demokrasi. Menelusuri kembali gagasan Fattah, bahwa demokrasi bukanlah system mudah dan murah. Salah satu sebabnya, demokrasi merupakan sistem yang dipenuhi oleh banyak paradoks (dua hal bertentangan yang mesti diwujudkan dalam waktu yang bersamaan). Beberapa paradoks yang ada dalam demokrasi adalah (1) kebebasan dan keteraturan atau keleluasaan dan kontrol; (2) kompetisi dan persamaan; (3) pengawasan yang efektif dan pemerintahan yang kuat; (4) dinamika dan stabilitas; serta (5) kesejahteraan dan keadilan. Menurut Wodrow Wilson (Ali. 1978: 258-259) demokrasi akan menghilangkan lembaga-lembaga tiran yang ada dimasa lalu, dan menawarkan di dalamnya kekuatan imperative (keharusan) pemikiran popular (umum/khalayak) dan lembaga-lembaga kongkret suatu perwakilan popular, dan mereka menjanjikan untuk mereduksi (menyederhanakan) politik menjadi suatu bentuk tunggal dengan menggantikan seluruh lembaga dan kekuatan memerintah lainnya dengan sebuah perwakilan yang demokratis. Dalam demokrasi, suara mayoritas adalah merupakan suatu syarat bagi terbentuknya sistem politik yang mencerminkan demokrasi. Oleh karena itu menurut Abu Daud Busroh (1994: 57) bahwa prinsip mayoritas (Majority Principle) paling sedikit terdiri dari tiga tipe: (1) mayoritas absolute (absollut majority), yaitu setengah jumlah anggota ditambah satu atau 50 plus satu; (2) mayoritas biasa (simple majority), yaitu apabila keputusan di setujui oleh sebanyak-banyaknya suara sehingga tampak perbedaan antara mayoritas dan minoritas; (3) mayoritas bersyarat (qualified majority) yang menetapkan keputusan berdasarkan perhitungan tertentu, sehingga ¾ atau 2/3 suara.



Model sistem mayoritasisme ini, menjadi model yang paten dalam sistem demokrasi, karena inti dari sebuah sistem yang demokratis adalah suara mayoritas. Tanpa suara mayoritas sulit dibayangkan sebuah rezim bisa dikatakan demokratis. Karena semua realitas politik yang muncul belakangan ini, memang menghendaki kekuasaan lahir dari suara mayoritas, maka praktis pada saat yang sama juga diterapkan demokratisasi politik. Dalam konteks inilah, minoritas harus menginisiasi perubahan dengan mengikuti kehendak mayoritas. Karena inisiator perubahan dalam sistem yang demokratis adalah mayoritas, maka sudah menjadi keharusan bagi minoritas untuk menginisiasi perubahan yang dikehendaki oleh suara mayoritas. Corry dan Abraham (Ali: 1978) menyusun unsur-unsur tradisi demokrasi sebagai berikut (i) Respect for individual personality, (ii) Individual freedom, (iii) Belief in rationality, (iv) Equality, (v) Justice, (vi) Rule of Law (vii) Constitutinalism. Jack Lively (Perveen Saukat Ali: 1978) menyebut tiga kriteria kadar kedemokratisasian sebuah Negara: (1) sejauh mana semua kelompok utama terlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan, (2) sejauh mana keputusan pemerintah berada dibawah kontrol masyarakat, (3) sejauh mana warga Negara biasa terlibat dalam administrasi umum (Nurtjahjo. 2006: 73). Nurtjahjo (2006: 83) menyebutkan adanya dua klasifikasi dari adanya esensi demokrasi. Klasifikasi pertama yang dapat kita cerna adalah bahwa demokrasi dapat dimasukkan ke dalam konteks Negara maupun yang bukan dalam konteks Negara. Selanjutnya klasifikasi kedua, demokrasi yang dicerna sebagai ide atau semangat (spirit) yang membawa nilai- nilai pandangan hidup, way of l i fe atau weltaunschauung, dan yang bukan hanya sebagai semangat tetapi sebagai proses pelembagaan tatanan kekuasaan yang rasional, dan efektif dikontrol oleh rakyat.



Rumusan lainnya yang selaras dengan definisi Schumpeterian adalah rumusan Robert A. Dahl dalam Poliarchy, Participation and Opposition (1997:2) yang menggunakan istilah poliarki (polyarchy) untuk menyebut demokrasi. Menurut Dahl, ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya. Tatanan politik seperti itu bisa digambarkan dengan memakai dua dimensi teoritik, yaitu (1) seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan; dan (2) seberapa banyak warga negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu. Berdasarkan dua dimensi itu, Dahl membuat tipologi empat sistem politik: "hegemoni tertutup", "oligarki kompetitif", "hegemoni inklusif", dan "poliarki” Dalam menilai model keputusan yang demokratis, diperlukan tahapan-tahapan atau paling tidak diperlukan proses-proses sosial yang muncul. Bahkan Aidul Fitriciada Ashari (2000: 59-77) mengatakan bahwa keputusan yang demokratis mendasarkan diri pada tahap-tahap perkembangan masyarakat, yaitu sebagai berikut; (1) Sistem Konsensus, yaitu setiap orang harus menyetujui suatu keputusan sebelum keputusan itu dilakukan. Jadi, sistem ini menghendaki suatu keputusan secara bulat.Sistem ini berkecenderungan elitis, otoritarian, oligarkis, dan dapat melahirkan bentuk diktator. Umumnya berlaku pada masyarakat fasis dan sosialis. (2) Sistem Ganda atau Bergilir. Sistem ini ditemukan pada bentuk demokrasi-ganda (dual democracy) yang ditandai dengan adanya perwakilan secara bergiliran dari dua kelompok besar keluarga atau klan. Sistem ini menganut sistem dwi partai dan tidak didasarkan atas pemilihan umum melainkan pergiliran kekuasaan belaka. Umumnya berlaku pada masyarakat sederhana/ tradisional. (3) Sistem Mayoritas. Sistem ini mengambil keputusan melalui pemilihan bebas menentukkan suara mayoritas.Sistem ini merupakan konsekuensi logis



dari berlakunya sistem perwakilan dalam demokrasi modern. Dalam pengambilan keputusan ini, rasionalisasi atas suatu kebenaran dan keadilan setelah melalui dialog atau discourse dapat dinyatakan dalam bentuk pemungutan suara (voting) (Nurtjahjo. 2006. 69). Robert A. Dahl juga menyatakan bahwa untuk menjamin agar pemerintah berperilaku demokratis, harus ada kesempatan yang diberikan kepada rakyat untuk: (1) merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri; (2) memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif; dan (3) mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasar isi atau asalusulnya. Kesempatan itu hanya mungkin tersedia kalau lembagalembaga dalam masyarakat bisa menjamin adanya delapan kondisi, yaitu: (1) kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi; (2) kebebasan untuk mengungkapkan pendapat; (3) hak untuk memilih dalam pemilihan umum; (4) hak untuk menduduki jabatan publik; (5) hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan dan suara; (6) tersedianya sumber-sumber informasi alternatif; (7) terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur; dan (8) adanya lembaga-lembaga negara yang menjamin agar kebijaksanaan publik tergantung pada suara dalam pemilihan umum dan pada cara-cara penyampaian preferensi yang lain. Sedangkan selanjutnya Robert Dahl(1971:2) mengatakan bahwa suatu sistem politik demokrasi adalah suatu sistem yang benarbenar atau hampir mutlak bertanggung jawab kepada semua warga negaranya (accountability). Bukan hanya Dahl yang membuat kategorisasi seperti itu, tetapi hampir semua pengamat politik juga memberikan pemaknaan yang sama terhadap peran-peran kelembagaan politik dalam mewujudkan



kepentingan demokrasi. Artinya pemaknaan untuk meneguhkan keberadaan demokrasi menjadi penting ketika syarat-syarat itu terpenuhi. Akuntabilitas publik dalam demokrasi itu diutamakan supaya proses demokratisasi seperti Pemilu bisa lebih terbuka. Keputusankeputusan politik penting harus diketahui oleh rakyat apalagi menyangkut kepentingan rakyat banyak, sehingga rakyat bukan sebagai korban dari kebijakan tersebut.Inilah yang disebut sebagai timbal-balik kepentingan antara arus politik di tingkat bawah dengan arus politik di tingkat yang lebih tinggi yaitu dengan penguasa negara. Frans Magnis Suseno (1995; 58) menyebutkan bahwa ada lima ciri hakiki dari negara demokratis, yaitu; (1) negara hukum, (2) pemerintah dibawah kontrol masyarakat, (3) pemilihan umum yang bebas, (4) Prinsip mayoritas, (5) adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis. Tipe Suseno dalam menempatkan kategorisasi ciri negara demokrasi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh sejumlah parameter politik yang berkembang dalam kontek ke-indonesiaan.Sikap pemerintah yang tidak menghargai hukum dan kompetisi politik yang tidak adil yang selalu memenangkan negara adalah bentuk dari pemasungan politik rezim yang tidak menghendaki adanya pesaing dalam memainkan peran-peran politik mereka yang signifikan. Larry Diamond (1999) menjelaskan tesis ilmiah dari demokrasi liberal, secara gamblang berhasil mendedah dua point pokok; pertama, sangat menolak kehadiran kekuasaan militer maupun aktor-aktor politik lain yang secara langsung maupun tidak langsung tidak memiliki akuntabilitas kepada pemilih. Kedua, selain akuntabilitas vertikal para penguasa kepada rakyat (yang terutama dijamin lewat pemilu), demokrasi liberal menghendaki akuntabilitas secara horizontal diantaranya para pemegang jabatan, yang membatasi kekuasaan eksekutif dan juga melindungi konstitusionalisme dan legalitas dan



proses pertimbangan. Kualitas eksplanatif dari pada akuntabilitas kekuasaan, maupun formal konstitusionalisme bisa di telisik dari konfigurasi rezim; tentang hal ini kita dapat mereduksi dari konstruksi tesis ilmiah (politik demokrasi liberal) Richard L. Skar, konsep akuntabilitas lateral, atau konstitusional itu, dalam sistem developmental democracy (Richard L. Skar. 1987: 686-714, Arbi Sanit dan Hendardi. 2005: 29). Sargent (1986: 44) mengatakan bahwa demokrasi mensyaratkan adanya keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, persamaan hak antara warga negara, kebebasan dan kemerdekaan yang diakui dan di pakai oleh para warga negara, sistem perwakilan rakyat serta sistem pemilihan yang menjamin di hormatinya prinsip mayoritas. Arbi Sanit dan Hendardi (2005: 23) mengatakan, kebangkitan demokrasi sedang memposisikan eksistensi manusia dalam tataran yang cukup manusiawi di bandingkan kondisi, kondisi pra demokrasi atau transisi negara pasca kolonial, bahwa kita telah hidup dalam demokrasi dalam maknanya yang luas. Pemaknaan leksikonnya, “demokrasi” adalah “kekuasaan di tangan rakyat”, maka “demokratisasi” walaupun istilah itu mencakup hal-hal diluar politik mempunyai pengertian bahwa sturktur yang secara hirarkis sedang ambruk, sistem-sistem yang tertutup mulai terbuka dan tekanan massa menjadi mesin utama perubahan sosial. Demokrasi telah berjalan lebih dari sekadar merupakan bentuk pemerintahan, menjadi suatu jalan hidup (a way of life) (Fareed Zakaria. 2004: 1, Arbi Sanit dan Hendardi. 2005: 23). Yang terpenting dari sistem mayoritasisme dalam demokrasi adalah: (1) Kebebasan berkespresi dan menyampaikan pendapat. Publik sudah mafhum bahwa prasyarat terpenting dari sebuah rezim yang demokratis adalah di ukur dari sejauh mana hak-hak politik rakyat tidak dipasung. Jika sebuah negara sudah tidak menghargai lagi pendapat



masyarakat dan mengutuk kritikan yang dilakukan oleh rakyatnya, maka negara itu sudah bisa dipastikan anti demokratis, karena kebebasan itu merupakan upaya terpenting dari pengembangan demokrasi. Sebuah negara demokratis, hanya akan memberikan kebebasan kepada rakyatnya dengan seluas-luasnya selama kebebasan itu masih berada di bawah koridor hukum yang di bangun secara demokratis. Tidak bisa di jadikan patokan bahwa rezim yang demokratis, untuk menegakkan demokratisasi, menggunakan instrumen-instrumen politik yang konservatif/ortodoks. Menurut Nurtjahjo (2006: 78) kebebasan dalam konteks politik dipahami sebagai kemampuan untuk memilih secara bebas. Hak untuk menentukkan pilihan sendiri secara bebas (self determination principle) dan eliminasi terhadap pemaksaan kehendak dari banyak kemungkinan pilihan yang ada menjadi esensial dalam konteks politik yang dianggap demokratis. Disini kedudukan kebebasan individu menjadi signifikan terhadap kondisi politik yang dianggap paling demokratis. Kebebasan yang sama didalam hukum, kebebasan sipil dan politik dan terlepas dari gangguan luar ini menjadi ciri dan prinsip dari teori demokrasi modern. (2) Akuntabilitas publik, yaitu pertanggungjawaban penguasa terhadap sikap-sikap politik yang dijalankannya. Kebijakan-kebijakan politik yang diambil harus mampu diperrtanggungjawabkan kepada publik, karena dengan menekankan tanggung jawab kepada publik tersebut pemerintah yang berkuasa sebagai alat negara mampu meneguhkan keinginan demokrasi. (3) Transparansi. Dalam negara demokrasi, transparansi adalah persoalan yang paling signifikan.Karena menyangkut kebolehan masyarakat untuk mendengar dan melihat arah perjalanan politik bangsanya yang dikendarai oleh pemimpin yang telah mereka pilih. Keterbukaan ini sangat penting untuk menghindari penghkianatan pemerintah terhadap hak-hak rakyat dan rakyat dapat



mengukur sejauh mana perjalanan politik kebangsaan berpihak kepada mereka. (4) Prinsip mayoritas harus tetap di junjung tinggi. Setiap keputusan-keputusan politik yang lahir harus menghargai hak-hak mayoritas. Tuntutan-tuntutan politik masyarakat yang merupakan representasi mayoritas harus di hargai dan di jalankan, karena yang utama dan pertama dalam sebuah negara demokrasi itu adalah mayoritas, yaitu kehendak masyarakat harus menjadi referensi dalam menjalankan roda pemerintahan sebuah negara. (5) Rezim politik yang demokratis itu selalu melakukan Pemilihan Umum (Pemilu) secara rutin dengan tenggang waktu yang telah ditentukkan. Pemilu ini dilakukan adalah untuk menunjukan bahwa rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka secara adil dan bertanggung jawab.Pemimpin yang lahir itu harus disepakati oleh rakyat dan kesepakatan itu tercermin dari pilihan-pilihan politik yang diambil oleh rakyat tersebut. (6) Partisipasi. Kalau Pemilu adalah merupakan sarana untuk memilih pemimpin, maka Pemilu juga adalah parameter dalam sebuah negara demokrasi untuk menilai sejauh mana part isipasi masyarakat menghendak i kepemimpinan seseorang.Selain itu, partisipasi ini juga ditentukkan oleh sejauh mana ruang publik dibuka selebar-lebarnya agar rakyat dapat terlibat secara langsung dalam upaya menumbuhkan demokratisasi. (7) Persamaan. Didalam negara demokrasi, semua warga negara dianggap sama, dan kedudukan sama saja di hadapan hukum. Tidak ada yang membedkan antara rakyat dan penguasa, antara raja dan hamba. Setiap yang melanggar aturan main yang telah dibuat secara demokratis, maka harus sama-sama diseret ke hukum dan masing-masing diberi hak yang sama dan di bebankan kewajiban yang sama pula. (8) Adanya lembaga pengontrol negara yang berdiiri independen diluar dari strukrut negara. Lembaga pengontrol negara ini diharapkan untuk melakukan gebrakangebrakan politik dalam rangka mendidik rakyat disatu sisi dan melawan



hegemoni negara pada sisi yang lain. (9) Elemen civil society bisa tumbuh dengan subur. Yang disebut sebagai elemen civil society dalam kontek ini adalah simpul-simpul demokrasi yang hidup secara independen tanpa ketergantungan dalam negara. Menurut sebagian ahli, bahwa yang dimaksud dengan elemn civil society itu adalah mereka kaum menengah keatas yang memiliki daya kritis dan tidak memiliki kepentingan apa-apa dalam melakukan gerakan penyadaran. (10) Sirkulasi kepemimpinan yang berjalan secara rutin. Negara demokrasi menghendaki lahirnya apa yang kemudian proses regenerasi kepemimpinan. Kepemimpinan di tangan individu tunggal yang di wariskan secara turun-temurun harus dikutuk, karena hanya akan menciptakan korporatisme negara, sehingga bisa menciptakan sebuah negara otoriter. Sirkulasi kepemimpinan dengan pembatasan-pembatasan tertentu dalam negara demokrasi adalah merupakan cara efektif untuk menghindari terbentuknya watak otoriterisme, karena tanpa sirkulasi, kemungkinan resistensi terciptanya rezim otokratik sangat mungkin terbentuk. Karena terbentuknya watak otokratis itu di sebabkan oleh proses demokrasi yang tidak berjalan dan proses terbentuknya formasi kepemimpinan yang tidak ingin diganti. Demokasi sebagai gagasan (ide) dan sebagai pelembagaan kekuasaan politik yang rasional telah nyata menawarkan suatu metode untuk menyingkirkan keragu-raguan dalam pengambilan keputusan politik (Lorens Bagus: 1996; 156, Nurtjahjo: 2006; 67). Dalam ide demokrasi, keputusan politik yang pasti hanya dapat diukur lewat prinsp suara terbanyak (majority principle) (Nurtjahjo: 2006; 67). Robert Dahl dan Larry Diamond dalam Developing Democracy Toward Consolidation (1999:221) menilai demokrasi Shcumpeterian. ia mengatakan bahwa ciri penting dari demokrasi Shcumpeterian adalah penekanannya pada apa yang disebut sebagai electoral democracy.



Peter Bachrach (1980:24-98) menunjukkan bahwa tujuan tertinggi dari demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang memaksimalkan perkembangan diri setiap individu di mana kebebasan mutlak dijamin. Samuel P. Huntingtondalam The Third Wave: Democratization in The Late Twentieth Century, yang merupakan salah satu karya monumentalnya, membuat peta tentang gelombang demokratisasi di seluruh dunia sampai menjelang akhir abad ke-20. Peta itu memuat tiga gelo mbang besar demokrat isasi dan dua gelombang balik demokrat isasi. Indonesia dipetakan larut dalam gelombang demokratisasi kedua bersama negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka dari penjajahan kolonial. Tapi itu tidak bertahan lama, sebab kemudian Huntington memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang tersapu gelombang balik demokratisasi kedua. Artinya ia menjadi salah satu negara yang tidak demokratis, atau paling tidak menghilang dari pembicaraan tentang negara demokratis. (Saidiman:28/03/2005). Penempatan Huntington terhadap Indonesia sebagai negara yang anti demokratis tersebut lebih di sebabkan karena faksionalisme politik yang di ciptakan oleh rezim yang bekuasa, sehingga pada saat yang sama pemaknaan sebuah rezim politk untuk memainkan peran-peran signifikannya menjadi sesuatu hal yang penting. Hendri B Mayo mengatakan bahwa, “sistem politik yang demokratis adalah sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukkan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik”. Konsekuensinya, pengawasan ini dilakukan oleh lembagalembaga yang di bentuk secara demokratis dan memiliki aturan main. Lembaga-lembaga ini mengeluarkan keputusan-keputusan politik, dan keputusan-keputusan politik tersebut harus mengapresiasi kepentingan



masyarakat. Pemegang kekuasaan dalam lembaga-lembaga yang mengeluarkan keputusan tersebut adalah mereka yang di pilih secara berkala melalui mekanisme politik demokratis seperti Pemilu. Dalam lembaga ini pula, system kesepakatan atau suara mayoritas sangat penting, karena lembaga demokrasi ini merupakan lembaga yang menghendaki di bentuknya sistem politik yang lebih mengedepankan kepentingan rakyat. Demokrasi dalam level pelembagaan pembuatan keputusan menuntut persetujuan bersama oleh mayoritas partisipan yang di tentukkan secara bebas dan sebagai manifestasi dari kesamaan hak dalam menentukkan kehendak (tanpa paksaan dari luar). Variable di tentukkan secara bebas ini penting, walaupun kadangkala kebebasan itu tersamar dan terselimuti oleh istilah musyawarah atau mufakat atau kesepakatan bersama (Nurtjahjo. 2006: 81). Menurut Mayo (1960: 70) demokrasi adalah kebijaksanaan umum yang di tentukkan oleh wakil-wakil yang secara efektif diawasi oleh rakyat dalam pemilihan berkala berdasarkan prinsip kesamaan politik dan dilaksanakan dalam iklim kebebasan politik yang terjamin. Mayo (Mirriam Budiarjo: 1982. 165-191) juga mengatakan bahwa sistem politik yang demokratis mesti memenuhi delapan nilai berikut: (1) menyelesaikan pertikaian secara damai dan sukarela; (2) menjamin perubahan damai dalam suatu masyarakat yang terus berubah; (3) pergantian penguasa dengan teratur; (4) penggunaan paksaan sekecil mungkin; (5) pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman; (6) menegakkan keadilan; (7) memajukkan ilmu pengetahuan; (8) pengakuan dan penghormatan atas kebebasan. kondisi sistem politik yang demokratis, Rakyat adalah pengambil kebijakan tertinggi, sehingga keputusan-keputusan politik yang lahir adalah keputusan politik patisipatif, yaitu hasil partisipasi masyarakat. Kalaupun rakyat tidak bisa secara langsung mengambil



keputusan, tetapi ada mekanisme yang dibuat oleh Negara agar rakyat terlibat melalui wakil-wakilnya yang telah dipilih secara demokratis. Kalau kita mengikuti alur berpikirnya Gould (1993: 94), ada tiga model klasifikasi teori demokrasi, yaitu; (1) model individualisme liberal, (2) model pluralis, dan (3) model sosialisme holistik. Teori demokrasi model individualisme liberal terwakili oleh pemikiran tradisional seperti teori Locke, Jefferson, Bentham, James Mill, dan J.S. Mill, dan analisis masa kini seperti oleh Benn dan Peters, J.R. Pennock, dan C. Cohen (Gould: 1993; 94). Model ini menjelaskan demokrasi sebagai pelindung orang dari kesewenang-wenangan kekuasaan pemerintah, dan mendudukkan pemerintah sebagai pelindung kebebasan seluruh rakyat dari ancaman dan gangguan. Model demokrasi ini menginginkan kesamaan universal bagi seluruh rakyat dan kesamaan hak bagi seluruh rakyat itu dalam proses politik. Pandangan ini ditandai oleh “satu orang satu suara” (one an one vote) (Gould. 1993: 94, Nurtjahjo. 2006 60). Teori demokrasi dari kaum pluralis merupakan model teoritis yang muncul dalam tulisan teoritisi seperti Madison, Dewey, Schumpeter, Dahl, dan Berelson. Teori ini merupakan kebalikan dari individualisme abstrak yang menekankan kepentingan pribadi individuindividu yang saling lepas. Dalam hal ini pluralisme memusatkan perhatian pada kepentingan kelompok sebagai agregasi dari kepentingan individual, dan pemunculannya akan mengakibatkan konflik dalam proses politik. Sehingga, demokrasi politik ditafsirkan sebagai sistem pemerintahan yang menengahi konflik (kompetensi) itu untuk memperoleh keseimbangan sosial (Gould. 1993: 99, Nurtjahjo. 2006: 61). Menurut



teori



ini,



demokrasi



politik



memaksimumkan



terwakilinya individu-individu yang kepentingannya mungkin tidak



akan diwakili secara memadai oleh kekuasaan kelompok tempat ia bergabung (Gould: 1993; 99, Nurtjahjo. 2006: 61). Teori ini juga mengatakan bahwa pluralisme melindungi kebebasan memilih para individu dengan menyediakan alternatifalternatif politik yang mampu mewakili pluralitas kelompok kepentingan (interest group) ataupun partai. Struktur politik yang diciptakannya adalah menutup kemungkinan hegemoni dari suatu kelompok atau partai tunggal (Gould. 1993: 99, Nurtjahjo. 2006: 61). Model pandangan ketiga, sosialisme holistik, merupakan salah satu pendekatan yang menekankan demokrasi ekonomi dan muncul untuk menanggapi di tolaknya kenyataan hubungan sosial dan ekonomi yang dilontarkan oleh individualisme liberal (Gould. 1993: 101, Nurtjahjo. 2006: 62). Pandangan umum ini diwakili oleh dua jenis teori utama. Teori yang pertama cenderung memahami demokrasi ekonomi sebagai cara pendistribusian barang dan kesempatan secara lebih adil dalam konteks bentuk-bentuk demokrasi politik. Ini kiranya lebih merupakan pandangan liberal dari pada sosialis, sebagaimana teori Galbraith dan Rawls. Teori yang kedua menekankan perlunya demokrasi dalam mengendalikan produksi maupun distribusi, secara tradisional itu sosialis yang umum (Gould. 1993: 102, Nurtjahjo. 2006: 62). Sementara Muh. Nursadik (2004) mengatakan, bahwa dalam sebuah Negara demokrasi, pemerintahan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, jadi pemegang saham dari kekuasaan itu adalah rakyat, karena rakyatlah yang berdaulat atau berkuasa. Lebih lanjut Nursadik mengatakan, demokrasi sebagai instrument kebebasan dapat ditinjau dari tiga hal, yaitu; Pertama, Bebas dan jujur dalam pemilihan umum. Menurut Nursadik, sudah menjadi persyaratan umum yang tidak bisa dielakkan sebagai suatu hak utama oleh masyarakat/penduduk untuk



mengekspresikan hak politiknya, berorganisasi dan juga sebagai oposisi. Kedua, Demokrasi adalah memaksimalkan kesempatan kepada keinginan setiap individu, kepada setiap orang/individu harus hidup dibawah suatu aturan hukum yang dipilihnya dan ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah. Ketiga, memfasilitasi otonomi moral. Kemampuan dari setiap individu/masyarakat untuk menentukan pilihan yang sesuai dengan norma yang berlaku dengan tingkat yang sangat dalam, mempunyai rasa memiliki atas suatu pemerintahan, selalu secara konsekuen. Proses demokrasi mempromosikan pengembangan individudalam hal pertumbuhan dan tanggung jawab pribadi dan intelektualitas. Huntington (1995) mencatat beberapa kondisi yang menunjang terjadinya konsolidasi demokrasi. Pertama; Adanya pengalaman berdemokrasi, semakin lama pengalaman itu maka semakin stabil demokrasi yang berlangsung. Kedua, perekonomian yang lebih maju dengan industri modern, sistem masyarakat yang kompleks, penduduk yang lebih berpendidikan. Ketiga, lingkungan internasional (eksternal) yang mendukung eksistensi rezim demokratis. Keempat, faktor internal yang berkecenderungan mendukung rezim demokratis. Kelima, transisi sebagai komitmen bersama dengan tingkat kekerasan yang lebih rendah. Keenam, kemampaun rezim memecahkan masalah-masalah kontekstual. Ketujuh, reaksi kelompok-kelompok elit terhadap kegagalan rezim otoritarian. Kedelapan, sifat lembaga demokratis yang didirikan (parlementer, pemilihan distrik). Pada tingkat yang sederhana, demokratisasi harus mencakup tiga hal sebagai berikut: 1) Berakhirnya sebuah rezim otoriter. 2) Dibangunnya sebuah rezim demokratis. 3) pengkonsolidasian rezim demokrasi itu(Huntington. 1994: 13).



kalau mengacu pada konsep Dahl, demokratisasi berarti proses perubahan rezim otoritarian (hegemoni tertutup) yang biasanya tidak memberikan ruang partisipasi dan liberalisasi politik menuju poliarki yang membuka kesempatan partisipasi dan liberalisasi politik yang besar (Huntington: 1994; 45). Dalam banyak konsep, proses demokratisasi umumnya dibagi dalam empat fase yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu liberalisasi, transisi, instalasi, konsolidasi (Munafrizal Manan: 2005; 31). Reinkarnasi demokrasi pada tataran ideologis dan nilai-nilai tampak jelas bahwa demokrasi itu sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang paling legitim di seluruh dunia. Di Amerika, demokrasi dengan seluruh pengejewantahannya dalam ”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (the goverment from the people, by the people dan for the people), tak akan penah hilang dar muka bumi ini”. Demokrasi merupakan gugusaan nilai-nilai kebaikan yang dimiliki masyarakat, sementara nilai-nilai kebaikan dan keburukan dalam masyarakat hanya dapat diukur dengan satu parameter yang bisa dipahami oleh masyarakat, jikalau demokrasi secara jelas dapat dipisahkan dari karakteristik lainnya dalam sistem politik. Reaksi historis dari tatanan peradaban umat manusia telah menyaksikan tiga rentetan peristiwa besar politik dunia yakni runtuhnya rezim komunisme dan otoritarianisme yang diterpa oleh demokratisasi. (Arbi Sanit dan Hendardi. 2005: 25-26).



gelombang



William Ebenstein (1967: 142-151) menyebutkan ada delapan ciri utama dari konsep demokrasi Barat, yakni: 1. Empirisme rasional. 2. Penekanan pada individu. 3. Negara sebagai alat. 4. kesukarelaan (voluntarism).



6. Hukum diatas hukum. 7. Penekanan pada cara (prosedural) 8. Persetujuan sebagai dasar dalam hubungan antar manusia, dan



9. Persamaan semua manusia Larry Diamond, Linz dan Lipset, (Edi Slamet Irianto & Syarifuddin Jurdi: 2005; 14-15) mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga syarat pokok yaitu: Pertama, kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas diantara anggota masyarakat dan kelompok-kelompok kepentingan di dalam memperebutkan jabatan pemerintahan yang punya kekuasaan dalam jangka waktu yang teratur dan tidak menggunakan daya paksa; Kedua, partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan lewat pemilihan umum yang diselenggarakan secara adil dan teratur sehingga tidak satupun kelompok sosial (warga negara dewasa) tanpa kecuali; Ketiga, tingkat kebebasan sipil dan politik yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi yang cukup untuk menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik. Bingham Powel, Jr. (1982: 3) Mengatakan ”political performance” sebagai parameter demokratisasi politik, yakni sebagai berikut: Pertama, legitimasi pemerintah berdasarkan atas klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Artinya klaim pemerintah untuk patuh kepada aturan hukum di dasarkan kepada penekanan bahwa apa yang dilakukan merupakan kehendak rakyat. Kedua, pengaturan yang mengorganisir bargaining untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pemimpin di pilih dengan interval yang teratur, dan pemilih dapat memilih diantara beberapa alternatif calon.Dalam praktiknya, paling



tidak terdapat dua partai politik yang mempunyai kesempatan untuk menang sehingga pilihan tersebut benar-benar bermakna. Ketiga, sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting. Keempat, penduduk memilih secara rahasia dan tanpa dipaksa. Kelima, masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti misalnya kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi, dan kebebasan pers. Baik partai politik yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk memperoleh dukungan. Benhard Sutor (Frans Magnis Suseno; 1991) menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tanda-tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat, memperoleh infomasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkoalisi, berkumpul dan berdemontrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi, lalu pemilihan yang bebas, sama, rahasia, atas dasar minimal dua alternatif, dimana para wakil dipilih untuk waktu terbatas. Setelah Bertumbangnya rezim-rezim sipil dan militer yang otoriter dan menggeliat tumbuhnya demokratisasi secara global menurut Eep Saefulah Fatah (1999) adalah sebuah musim semi demokratisasi. Fatah juga meminjam ramalan Zbigniew Brzezinski mengenai kedatangan musim semi demokrasi dengan menggambarkan kejatuhan komunisme dalam The Grand failure; The Bitrh and Death Communism in The Twentieth Century (1989). Kemudian Karl Graf Ballestrem juga mencoba merekonstruksi kehadiran musim semi demokrasi dengan menunjukkan kegagalan “totalitarianisme di Eropa Timur”. Ballestrem membedah struktur-struktur paradoksal dan mengundang tanda tanya dalam rezim-rezim totaliter. Tetapi yang paling menarik analisis Fatah adalah mengenai pertautan antara Samuel P. Huntington dengan The Third wave-nya (1991), Robert Dahl dalam Democracy and Its Critics



(1989) dan Francis Fukuyama dalam The End of History and the last Man (1992) serta John Naisbit dalam global Paradoks (1994). Huntington menyebut sejarah dramatis terjadinya episode demokratisasi di Negara-negara berkembang di Argentina, Filipina, Cile, Amerika Tengah, Nigeria, Thailand, Afrika Selatan dan Columbia sebagai “gelombang demokratisasi ketiga”. Dahl menyebut-nya dalam istilah lain, yaitu “transformasi demokrasi ketiga”. Berbagai Negara berdaulat kata Dahl, beriringan menuju “demokrasi yang lebih maju”. Yaitu demokrasi yang lebih menghargai perbedaan dari pada memaksakan persamaan. Sedangkan Fukuyama, lanjut Fatah, menafsirkan secara optimistik perubahan sejarah diatas. Fukuyama menggambarkan menyebarnya virus demokrasi keseluruh pelosok bumi dan berkibarnya tanda-tanda kemenangan demokrasi liberal. Menurut Fukuyama terbentuklah “abad demokrasi”. Sejarah peradaban pun berakhir (the end of history) pada satu titik; kejayaan demokrasi liberal.Dalam kacamata Fukuyama, sosialisme telah menjadi pecundang dan mati.Jika Fukuyama begitu optimis, kata Fatah, tidak demikian halnya dengan John Naisbit.Dalam Global Paradoks-nya, Naisbit memang sependapat tentang terjadinya demokrasi global. Namun berbeda dengan fukuyama yang mengajukan teori The End of History; Naisbit kata Fatah, justru bercerita dan mengajukan teori The End of Politics. The End Politic-nya Naisbit tidak berbicara tentang berakhirnya sejarah peradaban.Naisbit justru berbicara tentang the beginning of histoy. Yaitu bagaimana kelanjutan sejarah peradaban. Definisi transisi yang paling menarik di tulis oleh Eddie Riyadi Terre dalam Keluar Dari Dilema Transisi; Sebuah Pendekatan Paradigmatik Menuju Keadilan Transisional (Dignitas/vol.I No.I Tahun 2003). Menurutnya secara epistemologis, transisi terutama bermain pada tataran nalar ruang dan waktu. Transisi adalah sebuah perjalanan menghidupi kekinian dan menyambut masa depan tetapi dengan



menggendong masa lalu yang sarat beban tak tertanggung. Secara antropologis, transisi adalah sebuah pergulatan kemanusiaan terutama antara kekuatan meracuni dan kehandalan mengobati, antara nafsu jahat dan energi mengampuni, antara keharusan mengngat dan kesediaan melupakan. Secara ontologis-politik, transisi adalah perjuangan menjemput harapan akan tatanan sosial yang lebih demokratis dan humanistik sembari tetap menepis ketakutan akan kembalinya otoritarianisme. Secara etis transisi adalah bagai sebuah diskursus dialektis yang kental watak heuristik antara etika preskriptif etika yang mengedepankan nilai-nilai yang di idealkan dengan etika deskriptif etika yang mengedepankan nilai-nilai yang bersumber pada realitas empiris yang pada gilirannya semoga tertelorkan norma-norma aplicable. Transisi adalah sebuah pergulatan antara cita dan harapan yang saling bergantung para ranah idealitas, tetapi cenderung mengalami ahistoris.Ia menjanjikan masa depan yang ideal tetapi kadang utopis dan mengecewakan. Dikatakan utopis karena tidak ada kepastian apakah transisi itu mampu menuju kepada cita-cita yang telah di rencanakan atau tidak akan sangat bergantung pada konfigurasi realitas dan paradigmatik yang sedang berjalan. Apakah realitas menjanjikan untuk melewati masa transisi tersebut mampu memberikan konstribusi bagi masa depan demokrasi atau tidak itu sangat tergantung pada paradigma para aktor pencetus perubahan. Jika masih banyak bercokol paradigma statu quo maka masa depan transisi akan bisa diramalkan dalam kondisi terancam. Menurut Guiseppe Di Palma (1997: 144) sebagai proses, konsolidasi sama dengan fase transisi, karena tidak pasti dan kurang dapat diprediksi arahnya. Fase konsolidasi terkait erat dengan pencapaian kesepakatan sebelum institusi dan praktek yang ditopang oleh kesepakatan itu dijalankan. Palma (1997: 142) mengatakan bahwa



konsolidasi demokrasi dapat dicapai bila institusi demokrasi yang sah dan kultur politik yang demokratis telah terbentuk. Proses ini hampir selalu dilakukan, namun sangat menentukan sukses atau gagalnya konsolidasi demokrasi. Juan Linz dan Alfred Stephan (1996: 3) menggambarkan demokrasi terkonsolidasi sebagai situasi politik dimana demokrasi menjadi “the only game in town”. Menurutnya ada tiga kondisi yang harus terpenuhi untuk mencapai status ini. Pertama, dari aspek perilaku, hanya sedikit kelompok politik yang serius berniat menjatuhkan rezim demokrasi atau memisahkan diri dari Negara. Kedua, dari aspek sikap, mayoritas rakyat mempercayai prosedur dan institusi demokratis sebagai cara paling handal mengatur kehidupan bermasyarakat. Ketiga, aspek konstitusional, semua aktor politik terbiasa untuk memecahkan konflik dengan mengacu pada resolusi hukum, prosedur dan institusi pemaksa pada proses demokrasi yang baru. Menurut Guillermo O'Donnel dan Philippe Schimitter (1993: 6) fase transisi adalah interval (selang waktu) antara satu rezim politik otoritarian ke rezim yang lain. Mereka mengatakan, transisi adalah fase awal terpenting yang sangat menentukkan proses demokratisasi. Diawali dengan jatuhnya rezim otoriter lama, diakhiri mantapnya konfigurasi institusi politik yang relative stabil dalam rezim demokratis (Richard Gunter, P. Nikiforos Diamandourus, Hans-Jurgen Puhle. 1995: 3). Menurut Semuel P. Huntington (1991), gelombang terakhir, yakni Gelombang Ketiga, terjadi sejak 1974 hingga kini. Secara umum, Huntington menggambarkan ketiga gelombang itu melalui jumlah Negara yang mengalami demokratisasi sepanjang abad ke-20. Di selasela setiap gelombang, terselip arus balik, yakni terjadinya proses penguatan kembali otoritarianisme atau totalitarianisme.



B. MACAM-MACAM DEMOKRASI



Demokrasi banyak dipakai suatu negara dengan banyak macammacamnya. Jadi, mengenai macam-macam demokrasi dapat dikelompokkan dalam beberapa pembagian antara lain sebagai berikut: 1. Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Penyaluran Kehendak Rakyat: a) Demokrasi Langsung (Direct Democracy): Pengertian



demokrasi langsung adalah demokrasi yang secara langsung dalam melibatkan rakyat untuk pengambilan keputusan terhadap suatu negara. Demokrasi langsung, rakyat secara langsung berpart isipasi dalam pemilihan umum dan menyampaikan kehendaknya. b) Demokrasi Tidak Langsung (Indirect Democracy): Pengertian demokrasi tidak langsung adalah demokrasi yang tidak secara langsung melibatkan seluruh rakyat suatu negara pengambilan keputusan. Demokrasi tidak langsung, menggunakan wakil-wakil yang telah dipercaya menyampaikan aspirasi dan kehendaknya. Sehingga



dalam rakyat untuk dalam



demokrasi tidak langsung wakil rakyat terlibat secara langsung dengan menajd perantara seluruh rakyat. 2. Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Fokus Perhatiannya a) Demokrasi Formal: Pengertian demokrasi formal adalah



demokrasi yang berfokus dari bidang politik tanpa mengurangi kesenjangan ekonomi. b) Demokrasi Material: Pengertian demokrasi material adalah demokrasi yang berfokus di bidang ekonomi tanpa mengurangi kesenjangan politik. c) Demokrasi Gabungan: Pengertian demokrasi gabungan adalah



demokrasi yang berfokus sama besar baik di bidang politik dan ekonomi.



3. Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Prinsip Ideologi a)



Demokrasi Liberal: Pengertian demokrasi liberal adalah demokrasi yang didasarkan dari hak individu suatu warga negara. Demokrasi liberal dimana setiap individu dapat mendominasi dalam demokrasi ini. Pemerintah tidak akan banyak ikut campur dalam kehidupan masyarakat dimana pemerintah memiliki kekuasaan terbatas. Demokrasi liberal disebut juga dengan demokrasi konstitusi yang dibatasi oleh konstitusi.



b) Demokrasi Komunis: Pengertian demokrasi komunis adalah



demokrasi yang berdasarkan dari hak pemerintah di negaranya dimana pemerintah mendominasi atau kekuasaan tertinggi dipegang oleh penguasa atau pemerintah. Demokrasi komunis tidak dibatasi dan bersifat totaliter yang membuat hak setiap individu tidak ada pengaruhnya pada pemerintah. c) Demokrasi Pancasila: Pengertian demokrasi pancasila adalah demokrasi yang didasarkan dari ideologi Indonesia, yaitu Pancasila berdasrkan dari tata sosial dan budaya bangsa Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan yang dianut Indonesia. C. CIRI, PRINSIP DAN NILAI DEMOKRASI



Ciri-ciri demokrasi digambarkan dalam suatu pemerintah didasarkan atas sistem demokrasi adalah sebagai berikut: 1) Pemerintah berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat banyak. 2) Ciri Kontitusional, yaitu mengenai kepentingan, kehendak



ataupun kekuasaan rakyat yang dituliskan di konstitusi dan undang-undang negara. 3) Ciri Perwakilan, yaitu dalam mengatur negaranya, kedaulatan



rakyat diwakilkan dari beberapa orang yang sudah dipilih oleh rakyat itu sendiri. 4) Ciri Pemilihan umum, Yaitu suatu kegiatan politik yang dilakukan untuk memilih pihak dalam pemerintahan. 5) Ciri Kepertaian, yaitu partai menjadi sebuah sarana atau media sebagai bagian pelaksanaan sistem demokrasi. 6)



Ciri kekuasaan, yaitu terdapat pembagian dan juga pemisahan kekuasaan.



7)



Ciri Tanggung Jawab, yaitu dengan adanya tanggung jawab baik pihak yang telah terpilih dapat ikut dalam pelaksanaan suatu sistem



demokrasi Sedangkan Menurut Bingham Powl, Jir, ciri-ciri demokrasi adalah sebagai berikut: 1) Legitimasi pemerintah, didasarkan dari keputusan pemerintah yang mewakili keinginan rakyat, artinya apapun yang dilakukan pemerintah baik patuh pada aturan hukum didasarkan untuk menenkankan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah merupakan kehendak rakyat. 2) Pengaturan yang mengorganisasikan musyawarah mufakat atau



perundingan untuk memperoleh legitimasi dengan melalui pemilihan umum yang kompetitif. 3) Pemilihan secara rahasia dan tanpa adanya paksaan.



4) Terdapat hak-hak dasar misalnya kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, kebebasan berorganisasi dan kebebasan pers. Sebagaimana ciri-ciri demokrasi yang dikemukakan diatas, terdapat beberapa Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodosi dalam konstitusi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Prinsip-prinsip demokrasi jika ditinjau



dari pendapat Almadudi yang dikenal dengan "Soko Guru Demokrasi". Menurut Almadudui, prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut: 1) Kedaulatan rakyat 2) Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah. 3) Kekuasaan mayoritas. 4) Hak-hak minoritas. 5) Jaminan hak asasi manusia. 6) Pemilihan yang bebas, adil dan jujur. 7) Persamaan di depan hukum. 8) Proses hukum yang wajar. 9) Pembatasan pemerintah secara konstitusional . 10)Pluralisme sosial, ekonomi dan politik . 11) Nilai-nilai toleransi, pramatisme, kerja sama, dan mufakat.



Selain prinsip demokrasi menurut pendapat para ahli, terdapat beberapa prinsip umum demokrasi antara lain sebagai berikut: 1) Keterlibatan warga Negara mengenai pembuatan keputusan politik. 2) Persamaan diatnara warga Negara. 3) Setiap warga negara memiliki kesamanaa dan kesetaraan dalam



praktik politik. 4) Kebebasan diakui dan diterima oleh warga Negara



Demokrasi memiliki nilai-nilai antara lain sebagai berikut: 1) Menjamin tegaknya keadilan. 2) Menekan adanya penggunaan kebebasan seminimal



mungkin. 3) Adanya pergantian kepemimpinan dengan teratur. 4) Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga.



D.



5) Menjamin terselenggaranya perubahan yang terjadi di



masyarakat dengan damai atau tampa adanya gejolak. 6) Mengakui dan menganggap wajar adanya perbedaan atau keanekaragaman. MEMBANGUN DEMOKRASI YANG RELIGIUS . Demokrasi dalam Piagam Madinah Semua umat beragama di mana pun, termasuk Islam, ketika berhadapan dengan problem-modern kemasyarakatan, biasanya akan mencari akar otentisitas dalam ajaran dan sejarah agamanya. Ketika umat Islam dihadapkan pada persoalan bagaimana membentuk masyarakat yang ideal, maka yang terbayang dalam benak kita, adalah model, gaya dan praktek Rasulullah dalam menciptakan masyarakat masanya.Ketika Rasul merasa tidak mungkin menciptakan tatanan ideal masyarakat pada fase Mekkah, maka Hijrah (pindah) ke Madinah merupakan jalan keluar terbaik untuk membentuk masyarakat yang dicita-citakan. Tindakan pertama, ketika Nabi SAW. sampai di Madinah, adalah mempersaudarakan kaum muslimin sendiri yaitu antara Muhajirin dan Anshar di rumah Anas Ibn Malik. Setelah itu, Nabi melaksanakan langkah keduanya, mengadakan perjanjian dengan Yahudi atas dasar aliansi dan kebebasan beragama. Tercapainya perjanjian ini, kekuatan sosial-politik Madinah, praktis, berada di bawah kekuasaan penuh Rasulullah. Perjanjian Nabi dengan komunitas Madinah yang multi-etnik dan multi-agama secara formal ditulis dalam sebuah naskah yang dikenal dengan "Piagam Madinah," As-Shahifah Al-Madinah, atau Al-Mitsaq Al-Madinah. Di kalangan para sarjana Barat, piagam itu dikenal sebagai "Konstitusi Madinah" (Madjid: 1999. 22). Disebut sebagai konstitusi,



karena di dalamnya berisi konsensus bersama tentang tata-aturan hidup antarkomunitas di dalam negara (Madinah). Karena itu, Muhammad Hamidullah menyebutnya sebagai konstitusi pertama di muka bumi yang diumumkan oleh sebuah negara (Bulac. 2001: 265-66). Piagam Madinah menjadi pijakan hidup bersama dalam satu komunitas. Nuktah dan nilai-nilai yang ada dalam Piagam Madinah dinilai mengandung dasar-dasar demokrasi, antara lain: Pertama, Persamaan (egaliterianisme/al-musawa). Persamaan dan keadilan terkandung dalam pasal 1, 12, 15, 16, 19, 22, 23, 24, 37 dan 40. Pada pasaltersebut mengandung prinsip bahwa seluruh warga Madinah berstatus sama di hadapan hukum, pengadilan dan memperoleh hak sosial sama, pekerjaan umum, penggunaan fasilitas umum, membayar pajak, kesemuanya itu tanpa pandang bulu: tanpa melihat status sosial, agama, suku dan jenis kelamin. Kedua, kebebasan (freedom/al-hurriyyah). Kebebasan beragama (pluralisme) terkandung dalam pasal 25.Bunyi pasalnya "Kaum Yahudi dari Bani Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum mukminin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang berbuat kelaliman dan kejahatan, merusak diri dan keluarga mereka.Komitmen terhadap pluralitas dengan tegas disebutkan "Kaum Yahudi bebas menjalankan agama mereka sebagaimana umat Islam bebas menjalankan agama mereka". Karena kebebasan yang diberikan piagam ini, Munawwir Syadzali (1991: 12) menilai sebagai konstitusi negara (Islam) pertamayang tidak menyebutkan agama negara. Ini berarti negara mengakui semua agama dan tidak memaksakan pada paham satu agama saja. Prinsipnya, penghormatan terhadap praktek ibadah setiap pemeluk agama.



Kebebasan beragama ini benar-benar diterapkan Nabi SAW. Beliau melarang sahabat Hushayn dari Banu Salim Ibn 'Auf yang memaksa kedua anaknya yang Nasrani agar memeluk Islam, karena Nabi melihat bahwa beragama adalah hak setiap manusia. Begitu juga ketika Kabilah Aus memaksa anak-anaknya yang beragama Yahudi untuk masuk agama Islam dan segera bergabung dengan pasukan Rasulullah, beliau melarangnya. Dalam pasal 25 ini agama tidak menjadi pemisah untuk hidup dalam sebuah negara. Kaum Yahudi dan Musyrikin tidak di tempatkan di lokasi yang diperangi (dar al-harb) dan kaum muslimin di lokasi aman (dar al-islam). Tapi mereka hidup di satu tempat sebagai umat, satu dengan yang lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan, hidup dengan penuh kedamaian (musalamah). Tidak ada warga kelas dua, karena perbedaan agama.Kebebasan di sini bukan saja agama tapi juga mencakup kebebasan berfikir, berpendapat dan berkumpul. Kedua, Hak Asasi Manusia (human rights/huquq al-insan). Walaupun dalam piagam ini tidak secara ekplisit menyebutkan HAM, namun semangat poin-poin di dalamnya telah mencakup aspek ini. Alquran secara tegas memperhatikan dan sangat menghormati hak asasi manusia dengan memuliakannya (QS.al-Isra/17:70). Pengenalan konsep ini dilakukan Rasulullah ketika melakukan khutbah perpisahan, (khutbah al-wada)," "Sesungguhnya hidupmu, hartamu dan hargadirimu adalah berharga/suci bagi kalian seperti hari ini, bulan ini" di akhir pidatonya Rasulullah menegaskan "bukankah telah kusampaikan," hingga 3 kali, lalu beliau menyuruh kepada siapa pun yang hadir untuk menyampaikannya kepada yang berhalangan hadir waktu itu (Bukhari. 1994;III/148). Dengan itu, Nabi saw. Ingin menekankan pentingnya hakhak asasi manusia: hidup, harta dan martabat. Selain itu, penegasan yang disampaikan Nabi juga menyangkut pertanggung jawaban, kewajiban



menunaikan amanah, emansipasi wanita, menghapuskan praktek riba dan menegaskan kembali persaudaraan sesama Muslim. Ketiga, musyawarah (consultation/al-syura). Nuktah ini yang menjadi inti utama dari demokrasi. Sekali lagi, secara tekstual, poin-poin yang ada dalam naskah Piagam Madinah tidak ada yang menyebut secara spesifik. Namun jika diperhatikan secara seksama pasal-pasal yang ada dalam naskah itu menyembulkan semangat bermusyawarah. Bahkan, kelahirannya hasil dari musyawarah antar kelompok agama. Sebagai sebuah konsep dan sekaligus prinsip, syura dalam Islam tidak berbeda dengan demokrasi. Baik Syura maupun demokrasi muncul dari anggapan bahwa pertimbangan kolektif lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akal bagi kebaikan bersama daripada pilihan individual. Kedua konsep tersebut juga mengasumsikan bahwa pertimbangan mayoritas cenderung lebih komprehensif dan akurat ketimbang penilaian minoritas. Sebagai prinsip, syura dan demokrasi berasal dari ide atau gagasan utama bahwa semua orang memiliki hak dan tanggung jawab yang sama (Sulaiman. 2001: 128). Dalam praktek sosial di Madinah, Rasul sering menampilkan sikap mendengar pendapat mayoritas seperti dalam peperangan Uhud, Badar, Perjanjian Hudaybiyyah, hingga kehidupan pribadi sekalipun, beliau meminta masukan dari para sahabatnya ketika badai kabar bohong (hadist al-ifki) menimpa rumah tangganya (Ibn Katsir. 1996: 369-370). Sikap meminta dan mendengarkan pendapat orang lain, lalu mengikuti suara terbanyak bagian dari sikap kebesaran Rasul dan menunjukkan partisipasi yang kuat dari masyarakat Madinah. Praktek musyawarah pada masa Nabi saw. masih pada tahap pertama atau embrional, karena itu pelaksanaannya masih terbatas. Pelaksana dari konsep itu dikenal dengan Ahl al-Hilli Wa al-'Aqdi. Mekanisme yang ada pada masa Rasul ini tidak baku, tapi berkembang mengikuti perkembangan zaman (al-Amin: 2000. 207-208).



Praktek syura (demokrasi) itu dalam demokrasi modern kemudian berkembang dan dikenal dengan partisipasi. Maka, Piagam Madinah sangat menjunjung dan menekankan partisipasi bukan dominasi, karena sebuah struktur politik yang unitarian atau totaliterian tidak mengizinkan adanya keberagaman. Karenanya, jika yang dimaksud demokratisasi adalah sistem pemerintahan yang bertolak belakang dengan kediktatoran, maka Islam sesuai dengan demokrasi karena dalam Islam tidak ada tempat bagi pemerintahan semau sendiri oleh satu orang atau kelompok orang (Inayat:1998). Sebab itu Islam sangat cocok dengan paham demokrasi yang berkembang baik di Barat, bahkan nilai-nilai demokrasi sangat sesuai dengan substansi ajaran dan nilai-nilai Islam.Demokrasi adalah sarana yang terbaik untuk menggulirkan cita-cita kemanusiaan dan citacita kemasyarakatan Islam. Islam mendukung demokrasi dan hak asasi manusia melalui argumentasinya sendiri (Uhlin: 1998;73-5). Islam memiliki nilai dan prinsip demokrasi secara ideal (Piagam Madinah) dan telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW dan penerus pertama (khulafa al-rasyidin).Prilaku dan praktek masyarakat di Madinah adalah cermin masyarakat ideal yang dicita-citakan.Ini semakin mengukuhkan Madinah sebagai contoh masyarakat yang inklusif, plural, partisipatif, egaliter dan demokratis.Dengan demikian Islam punya contoh masyarakat di masa silamnya yang bisa dijadikan eksemplar bagi pembentukan masyarakat demokratis di masa kini. Sifat pemimpin yang demokratis, telah dicerminkan oleh sang tauladan kita Rasulullah SAW. Kalau kita melihat kembali konsep kepemimpinan yang dicerminkan oleh Rasulullah. Maka ada beberapa konsep kepemimpinan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para khalifah yang memang menjadi contoh bagi umat sesudahnya; (Fajlurrahman Jurdi, 2007;87-90)



Pertama, Bertakwa kepada Allah SWT.Bertakwa kepada Allah merupakan landasan pokok (prinsip utama) dari kepemimpinan Rasulullah SAW.Mengapa takwa itu menjadi landasan utamanya, karena akan lahir sebuah sistem masyarakat yang tidak mengenal perbedaan antara satu dan yang lainnya. Sebab kepemimpinan itu dijalankan dengan benar-benar berdedikasi kepada masyarakat, juga dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Kedua, siddiq (berkata benar atau jujur) seperti gelar yang diberikan kepada Abu Bakar Khalifah yang pertama. Setiap Muslimdiperintahkan untuk senantiasa berlaku siddiq (jujur) atau berkata benar. Seperti yang dikatakan oleh beliau dalam Haditsnya yang berbunyi: “qulil haqqa walau kanna muran” (berkatalah yang benar meskipun itu pahit atau berteriaklah jika itu benar). Apalagi kalau dia adalah seorang pemimpin, karena setiap kata-katanya mengikat banyak orang. Ketika seorang pemimpin berjanji, maka dia berjanji dengan orang banyak, dan apabila janji (amanah) itu tidak mampu dia jalankan (dia tepati), maka amanah itu ia pertanggung-jawabkan dihadapan sejarah, umat dan lebih-lebih dihadapan Allah SWT. Dia akan disebut-sebut oleh orang sepanjang sejarah sebagai pemimpin yang tidak memiliki tanggungjawab terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Penulis menyarankan:“apabila kita sudah mengetahui diri kita tidak mampu menjalankan hal tersebut atau tidak mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik, maka kita jangan pernah bermimpi untuk menjadi pemimpin sebelum kita mampu memimpin keluarga kita, saya yakin kita mengetahui semua apa tanggungjawab seorang pemimpin, pemimpin itu adalah amanah rakyat banyak yang harus kita perjuangkan dan setiap kita berjanji dengan rakyat harus kita tepati dengan baik, misalnya kita berjanji untuk kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan lain sebagainya, kalau memang



kita tidak mampu menjalankan hal tersebut janganlah kita berjanji yang demikian”. Ketiga,tabligh (menyampaikan). Sebagai seorang pemimpin hendaknya komunikatif, atau terampil dalam menyampaikan hal-hal yang tengah terjadi didalam masyarakat. Seorang pemimpin harus selalu berkomunikasi dengan masyarakat dalam menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapinya, sehingga persoalan-persoalan yang muncul tidak disembunyikan, agar mampu dicarikan akar permasalahannya sehingga dapat dipecahkan secara bersama-sama dan dicarikan solusi yang tepat. Begitu pula dengan posisi yang ditempati oleh politisi Islam. Dan harus dipahami bahwa ia wajib menyampaikan dakwah dan kebenaran Islam dalam posisi dan kedudukannya sebagai penguasa. Dalam berpolitik seorang Muslim harus berdakwah dan bukan berarti menjadikan mesjid sebagai panggung untuk berpolitik. Oleh karena itu, politik memang harus dipandang sebagai salah satu jalur dan media dakwah yang sangat penting dan strategis. Dalam melakukan dakwah untuk mengubah persepsi keliru bahwa, “politik memang kotor” tersebut, bisa dilakukan dengan lisan (Da'wah bil lisan atau da'wah bilisanial-maqal) maupun dengan suri tauladan (Da'wah bil hal atau tepatnya da'wah bil lisani al-hal). (Hajriyanto Y. Tohari. Ibid: 239). Keempat, Fathonah (cerdas dan cakap). Seorang pemimpin jelas dituntut memiliki kecerdasan dan kemampuan yang memadai dalam kepemimpinan-nya, melebihi kecerdasan yang dimiliki oleh masyarakat yang dipimpinnya, sehingga tidak menyebabkan wibawanya turun dihadapan masyarakat. Seorang pemimpin tidak boleh mengandalkan secara terus-menerus kecerdasan orang-orang yang ada disekitarnya (pembantu-pembantunya), karena pada saat tertentu, seorang pemimpin harus menangani masalah yang timbul didalam masyarakat, atau keputusan-keputusan politik dengan cepat.



Kelima, amanah (kepercayaan). Dalam perspektif Islam, kepemimpinan ituhakikatnya adalah melaksanakan Amanah Allah SWT dan kemanusiaan. Maka bukan saja mempertanggung-jawabkannya didunia ini, tetapi juga diakhirat kelak. Keenam, Adil. Seorang pemimpin tidak boleh menunjukkan kepemim-pinannya hanya baik dan menguntungkan atas Diri, Keluarga, maupun suatu kelompok partai semata. Melainkan harus benar adil dan memihak pada siapa yang benar meskipun yang salah itu adalah anaknya sendiri. Seorang pemimpin tidak boleh menempatkan rakyat sebagai obyek kekuasaan, sementara para elit politik ditempatkan sebagai pelaku utama yang akan memerankan segala hal. Ketujuh, Bersahaja. Seorang pemimpin hendaknya berpola hidup sederhana, yaitu menghidari perilaku serakah dan menumpukkan Harta.



A.



RANGKUMAN Pengertian Demokrasi Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos artinya



rakyat dan kratein artinya pemerintah. Secara sederhana, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat, dalam hal ini kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Sebagaimana istilah politik yang lain, istilah demokrasi juga memiliki banyak makna turunannya. Pengertian demokrasi sederhana di atas kemudian berkembang, seiring perkembangan politik dan ilmu politik, sehingga muncul banyak pengertian tentang demokrasi.Diantara beberapa pengertian tentang demokrasi, barangkali pengertian yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln dapat merangkum makna demokrasi dalam sebuah kalimat sederhana. Menurut Abraham Lincoln demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.



B. Macam-Macam Demokrasi



Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Penyaluran Kehendak Rakyat: 1) 2)



Demokrasi Langsung. Demokrasi Tidak Langsung.



Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Fokus Perhatiannya: Demokrasi Formal. 2) Demokrasi Material. 3) Demokrasi Gabungan. Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Prinsip Ideologi: 1)



1. 2.



Demokrasi Liberal. Demokrasi Komunis.



3.



Demokrasi Pancasila.



C. Ciri, Prinsip dan Nilai Demokrasi



Menurut Almadudui, prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut: 1) Kedaulatan rakyat 2)



Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah



3)



Kekuasaan mayoritas



4)



Hak-hak minoritas



5) 6) 7) 8)



Jaminan hak asasi manusia Pemilihan yang bebas, adil dan jujur Persamaan di depan hukum Proses hukum yang wajar



9) Pembatasan pemerintah secara konstitusional 10) Pluralisme sosial, ekonomi dan politik. 11) Nilai-nilai toleransi, pramatisme, kerja sama, dan mufakat



D. Membangun Demokrasi yang Religius .



Demokrasi dalam Piagam Madinah Ketika Rasul merasa tidak mungkin menciptakan tatanan ideal masyarakat pada fase Mekkah, maka Hijrah (pindah) ke Madinah merupakan jalan keluar terbaik untuk membentuk masyarakat yang dicita-citakan. Pertama, ketika Nabi saw. sampai di Madinah, adalah mempersaudarakan kaum muslimin sendiri yaitu antara Muhajirin dan Anshar di rumah Anas Ibn MalikKedua, kebebasan (freedom/alhurriyyah). Kebebasan beragama (pluralisme) terkandung dalam pasal 25. Bunyi pasalnya "Kaum Yahudi dari Banu Auf adalah satu umat dengan mukminin. SOAL 1. Tokoh yang berpendapat bahwa: “Democracy is government of the people, by the people and for the people” yaitu ... a. Robert Dahl b. Abraham Lincoln c. Solly Lubis d. Henry Mayo e. Philipe C. Schmitter 2.



Independensi dan kesejajaran lembaga negara dibutuhkan supaya bisa saling mengawasi dan mengontrol sesuai dengan prinsip ... a. Konsensus b. Trias Politika c. Law enforcement d. Checks and balances e. Demokrasi



3.



Berikut ini yang bukan merupakan ciri-ciri demokrasi dari sejumlah nilai menurut Henry B. Mayo yaitu ... a. Membatasi komunikasi sampai minimum



b. Menjamin tegaknya keadilan c. Menjamin terjadinya perubahan secara damai pada suatu



masyarakat yang sedang berubah d. Menyelesaikan perselisihan secara damai dan berlembaga e. Menyelenggarakan pergantian pimpinan dengan teratur 4.



Berikut ini yang merupakan ciri paling menonjol dari negara berkembang yang masih mencari bentuk demokrasi yang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya yaitu... a. Adanya kesempatan yang sama untuk menikmati hasil



pembangunan b. Adanya kebebasan pers, kebebasan berbicara, kebebasan berorganisasi, dan kebebasan berkumpul, c. Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman di



masyarakat d. Peran eksekutif yang mendominasi dalam perumusan kebijakan e. Adanya jaminan keselamatan dan keamanan untuk seluruh warga negara 5.



Pemerintah dituntut untuk transparan dalam sistem demokrasi. Pernyataan di bawah ini yang sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu ... a. Konstitusionalisme b. Peradilan yang independence c. Hak publik untuk tahu d. Pembuatan hukum e. Perlindungan hak minoritas



6. Kekuasaan tertinggi dalam suatu negara demokrasi ada di tangan... a. Negara b. Penguasa



219



MPR/DPR d. Kehakiman c.



e. Rakyat 7.



Di Yunani pada abad ke 6 – 3 SM demokrasi langsung dapat dilaksanakan karena …. a. Pengawasan negara ketat b. Jumlah penduduk masih sedikit c. Pendidikan masyarakatnya sudah tinggi d. Masyarakatnya sangat maju e. Belum terbentuk Parlemen



8.



Pemilu yang telah sering diselenggarakan di Indonesia merupakan wujud dari… a. Penghargaan politik warga negara b. Partisipasi warga negara c. Pelaksanaan kedaulatan rakyat d. Pesta rakyat sebagai warga negara e. Kewajiban Rakyat Indonesia



9.



Di Indonesia bentuk demokrasi yang dilaksanakan yaitu ... a. Pancasila b. Parelementer c. Kerakyatan d. Berkeadilan e. Liberal



10. Ciri seseorang demokratis yaitu apabila dalam musyawarah selalu



mengembangkan sikap.... a. Memperhatikan kepentingan orang lain b. Mempengaruhi pendapat orang lain c. Mempertahankan pendapatnya sampai rapat selesai d. Membela kawan yang berpendapat sama dengan dirinya



e. Menghargai pendapat orang lain



221



BAB VII KONSTITUSI DAN RULE OF LAW TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konstitusi dan Rule of Law yang bertujuan agar mahasiswa dapat berpikir, bersikap rasional dan dinamis serta berpandangan luas sebagai manusia intelektual yang memiliki kesadaran tentang pentingnya rule of law dalam kontek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.



MATERI PEMBELAJARAN B.



Konsepsi Konstitusi Negara. Konsep Rule Of Law.



C.



Konsep Negara Hukum Pancasila.



A.



URAIAN MATERI 1) KONSEP KONSTITUSI NEGARA 1. Pengertian Konstitusi



Kata konstitusi berasal dari bahasa Prancis (constituer) yang berari membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara (Wirjono Projodikoro. 1989:10). Secara istilah konstitusi berarti peraturan dasar mengenai pembentukan negara.Konstitusi merupakan hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara yang memuat aturan pokok/fundamental mengenai sendi-sendi yang diperlukan untuk berdirinya suatu negara. Dalam konteks institusi negara, konstitusi bermakna permakluman tertinggi negara yang berisikan antara lain pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu negara, srtuktur negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, kekuasaan legistatif, kekuasaan



peradilan dan berbagai lembaga negara serta hak-hak rakyat Materi Sosialisasi (Empat Pilar. 2017:117). Dengan demikian untuk mengetahui bagaimana pemerintahan sebuah negara, pemegang kedaulatan dalam suatu negara, strktur negara, bentuk negara, kekuasaan peradilan suatu negara, kelembagaan negara, hak dan kewajiban negara serta hak dan kewajiban warga negara, dapat dipelajari dari konstitusi suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Konstitusi yang tertulis biasa disebut dengan Undang-Undang Dasar, Bagir Manan, menyamakan pengertian konstitusi dengan Undang-Undang Dasar (Bagir Manan. 2004: 5). Sedangkan konstitusi yang tidak tertulis disebut konvensi yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara. Dari definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisasi dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan: 1) Pengaturan mengenai lembaga-lembaga permanen. 2) Fungsi dari alat-alat perlengkapan. 3) Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan (Dahlan. 2013: 11).



Pada abad pertengahan (abad ke 7 M), di Timur Tengah tumbuh dan berkembang pesat peradaban baru dilingkungan penganut ajaran Islam. Atas pengaruh Nabi Muhammmad SAW, banyak inovasi-inovasi baru dalam kehidupan umat manusia yang dikembangkan menjadi pendorong kemajuan peradaban. Salah satunya ialah penyusunan dan penandatanganan persetujuan atau perjanjian bersama diantara kelompok-kelompok penduduk Kota Madinah untuk bersama-sama membangun struktur kehidupan bersama yang kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern



sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter). Piagam Madinah dapat disebut sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern (Jimly asshiddiqie. 2015: Hal. 84-85). Sedangkan dalam pengertian modern, negara pertama yang dapat dikatakan menyusun konstitusi dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah Amerika Serikat (United States of America) pada 1787 (Jimlyasshiddiqie, 2015 : 84-85). Pada prinsipnya esensi dari sebuah negara berkonstitusi adalah memberi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Menurut Sri Soematri, negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya (Sri Suemantri, 1987 : 3).Dengan demikian negara hukum identik dengan negara yang berkonstitusi atau negara yang menjadikan konstitusi sebagai aturan main kehidupan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan. Dalam sejarah perkembangannya, konstitusi membawa pengakuan akan keberadaan pemerintah rakyat. Konstitusi merupakan naskah legitimasi paham kedaulatan. Naskah dimaksud merupakan kontrak sosial yang mengikat setiap warga dalam membangun paham kedaulatan rakyat. Hal ini dikarenakan dalam penyusunan UndangUndang Dasar suatu negara berlansankan pada nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktek penyelenggaraan negara. Kebutuhan akan naskah undang-undang dasar merupakan suatu keniscayaan. Seluruh negara memiliki undang-undang dasar walaupun, sampai saat ini Inggris, Israel dan Saudi Arabia dikenal tidak memiliki suatu naskah undang-undang dasar tertulis. Undang-undang dasar di Inggris dan Israel tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam praktek ketatanegaraan.



2. Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Konstitusi



Kedudukan, fungsi dan tujuan konstitusi dalam negara berubah dari zaman-ke zaman. Pada masa peralihan dari negara feodal monarki atau ologarki dengan kekuasaan mutlak penguasa ke negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dengan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah perjuangan dimenangankan oleh rakyat, konstitusi bergesar kedudukan dan perannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman penguasa menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan bari atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi seperti: individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi dan sebagainya. Di negara-negara yang berdasarkan demokrasi konstitusi, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggara kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme. Di negara-negara komunis, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi ganda. Di satu pihak mencerminkan kewenangan-kewenangan yang telah dicapai dalam perjuangan ke arah tercapainya masyarakat komunis dan merupakan pencatatan formal dan legal dari kemajuan yang telah dicapai. Di pihak lain Undang-Undang Dasar memberikan kerangka dan dasar hukum untuk perubahan masyarakat yang dicitacitakan dalam perkembangan berikutnya.Dengan demikan UndangUndang dasar komunis mengikuti perkembangan ke arah terbentuknya



masyarakat komunis dan dapat diganti setiap kali dicapainya suatu tahap yang lebih maju. Pada prinsipnya tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Oleh karenanya, setiap konstitusi senantiasa mempunyai dua tujuan yaitu: 1) Untuk memberi pembatasan dan pengawasan kekuasaan politik. 2) Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa, serta menetapkan bagi para penguasa tersebut batas-batas kekuasaan mereka. 3. Konstitusi Sebagai Hukum Dasar



Konstitusi sebagai hukum dasar dalam negara sangat tergantung pada pemegang kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusinya adalah rakyat. Jika negara menganut pahan kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Konstitusi merupakan hukum yang tertinggi dan paling fundamental sifatnya karena merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundangundangan lainnya. Artinya secara prinsip yang berlaku universal, peraturan-perundang-undangan yang secara hirachi berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dasar. Konstitusi merupakan hukum dasar tertulis tertinggi yanag ada dalam satu negara. Sebagai dokumen hukum, konstitusi yang kemudian dipelajari secara khusus menjadi hukum konstitusi atau hukun tata negara. Hukum konstitusi secara normatif berfungsi sebagai sarana pengendalian terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam



dinamika perkembangan zaman sekaligus sarana pembaharuan masyarakat ke arah cita-cita kolektif bangsa. Dengan demikian konstitusi hanya merupakan salah satu sumber dari huk konstitusi. Di Negara Indonesia, penjabaran lebih lanjut dari hukum konstitusi diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri dari : UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang/Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 3. Konstitusi Negara Indonesia



Konstitusi Negara Republik Indonesia secara resmi bernama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hukum dasar yang mengatur cara bernegara bangsa Indonesia. Bentuk Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan konstitusi tertulis yang dimuat dalam suatu naskah Isi dan subtansinya bersifat fundamental bagi hukum organisasi negara, juga mengenai semua aspek bernegara seperti hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, hubungan luar negeri, hak asasi warga negara dan lain-lain. Artinya, UUD 1945 hanya memuat aturan-aturan pokok saja bagi bergeraknya organisasi negara. UUD 1945 sebagai hukum konstitusi berpegang pada paham konstitusionalisme yang digunakan dalam pelaksanaan rule of law (supremasi hukum) dalam hubungan individu dengan pemerintah. Konstitusionalisme menghadirkan rasa aman, karena adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah yang telah ditentukan terlebih dahulu. Konstitusionalisme mengemban the limited state (negara terbatas), agar penyelenggara negara dan pemerintahan tidak



sewenang-wenang dan hal dimaksud dinyatakan serta diatur secara tegas dalam pasal-pasal UUD 1945. Pengertian paham konstitusionalisme adalah suatu konsep atau gagasan yang berpendapat bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi, agar penyelenggara negara tidak sewenag-wenang atau otoriter (http://id.wikipedia.org/wiki/ konstitusionalisme). Menurut Jimly Asshid iq ie, pada prinsipnya paha m konstitusionalisme adalah menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: pertama, hubungan pemerintah dengan warganya dan yang kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan lain. Karena itu, biasanya isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lainnya, dan mengatur hubun gan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara. (JimlyAsshiddiqie. 2005: 29). Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal tersebut memuat paham konstitusionalisme. Yang dapat diartikan bahwa rakyat pemegang kedaulatan tertinggi terikat pada konstitusi, dimana kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang menjadi pedoman bagi peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya. Untuk menjaga paham konstitusionalisme dibentuk Mahkamah Konstitusi, agar tidak ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Seiring perkembangan sejarah konstitusi Negara Replik Indonesia telah mengalami beberapa penggantian yaitu:



1) Periode Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember



1945) Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, PPKI melaksanakan sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berhasil menetapkan dan mengesahkan rancangan undang-undang dasar hasil rumusan BPUPKI dengan beberapa perubahan dan penambahan, serta memilih Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil presiden. Di samping itu, sejarah rancangan dan pengesahan undangundang dasar telah melahirkan sebuah piagam penting yang dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.Piagam ini dijadikan Pembukaan Undang-Undang dasar 1945. 2) Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 Pada periode ini, terjadi perubahan bentuk Negara Indonesia menjadi Negara Indonesia Serikat. Perubahan ini berdampak pada konstitusi menjadi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat yang dirumuskan oleh Delegasi Republik Indonesia dan delegasi B.F.O dalam Konperensi Meja Bundar. UUD Republik Indonesia Serikat diberlakukan sejak 27 Desember 1949. UUD Republik Indonesia Serikat hanya diberlakukan untuk wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan Perjanjian Renville. 3) Periode Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (17 Agustus 1950 –



5 Juli1959) Keinginan bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945 sebagai Negara Kesatuan, menimbulkan kesepakatan pada tanggal 19 Mei



1950 untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan. Padatanggal 12 Agustus 1950 Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat mengesahkan UUD 1945. Selanjutnya tanggal 14 Agustus 1950 UUD 1945 disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat, maka berlakulah Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 4) Periode Undang-Undang dasar 1945 ( 5 Juli 1959 – 1999)



Melalui Dekrit Presiden Nomor 150 Tanggal 5 Juli Tahun 1959, berlaku kembali Undang-Undang Dasar diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar tersebut disebut dengan Undang-Undang Dasar 1945. Keinginan yang kuat untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen sesuai dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan perpolitikan perlu dilakukan penyesuaian. Pada Tahun 1999 terjadi reformasi, telah membawa perubahan yang cukup mendasar, salah satu tuntutannya adalah melakukan perubahan terhadap UUD 1945. 5) Periode Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Tahun 1999 sampaiSekarang) Pada Tahun 1999 sampai 2002, berdasarkan tuntutan reformasi 1998 MPR melakukan perubahan Undang-Undang dasar 1945 yaitu: a. Perubahan pertama UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum



MPR tahun 1999. b. Perubahan kedua pada Sidang MPR tahun 2000. c. Perubahan ketiga pada Sidang MPR tahun 2001, dan d. Perubahan keempat pada Sidang MPR tahun 2002.



Sebelum perubahan, sistematikan UUD 1945 terdiri atas tiga bagian, yaitu:



a. Pembukaan (Preambule). b. Batang Tubuh. c. Penjelasan.



Setelah perubahan, Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas dua bagian, yaitu: a. Pembukaan. b. Pasal-Pasal (sebagai pengganti istilah Batang Tubuh)



Dari perubahan yang dilakukan dalam kurun waktu 1999-2002, dalam UUD 1945 memuat antara lain: pengaturan prinsip checks and balances system, penegasan otonomi daerah, penyelenggaraan pemilihan umum, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, pegaturan institusi lainnya terkait dengan hal keuangan dan lain-lain dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan ketatanegaraan. C.



KONSEP RULE OF LAW RECHTSTAAT MACHTSTAAT QANUN



PANCASILA UUD UU PP PERPRES QANUN/PERDA/PERDASU Sejalan dengan munculnya negara hukum modern dimana fungsi negara bukan hanya menjaga ketertiban dan keamanan tetapi mensejahterakan rakyat, Aristotoles (384-422 SM) memberi pemahaman bahwa negara harus berdiri di atas hukum yang akan menjamin keadilan bagi warga negara.Karakteristik konsep negara kesejahteraan adalah kewajiban pemerintah untuk mengupayakan



kesejahteraan umum atau bestuurszorg. Menurut E. Utrecht, adanya bestuurszorg ini merupakan suatu tanda yang menyatakan adanya “welfare state”. Bagir Manan menyebutkan bahwa dimensi sosial ekonomi dari negara berdasar atas hukum adalah berupakan kewajiban negara atau pemerintah untuk mewujudkan dan menjamin kesejahteraan sosial (kesejahteraan umum) dalam suasana sebesar-besarnya kemakmuran menurut asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dimensi ini secara spesifik melahirkan paham negara kesejahteraan (Bagir Manan. 1999: 2).



Dengan menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) dalam negara berarti, bahwa penyelengaraan kekuasaan dalam negara khususnya kekuasaan pemerintahan haruslah didasarkan atas hukum dengan tujuannya mewujudkan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai upaya mensejahteraakan rakyat. Berdasarkan tinjauan dalam hukum tata negara, pada dasarnya terdapat dua konsep negara hukum yaitu: Konsep negara hukum rechtsstaat dan konsep negara hukum rule of law. Kedua konsep negara hukum tersebut pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama, yakni ditujukan untuk memberikan pengakuan dan perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap tindakan atau perbuatan pemerintah yang dianggap menyalahgunakan wewenang (detournament de pouvoir), berbuat sewenang-wenang (willekeur, onredelijkheid) dan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa atau pemerintah (onrechtmatige overhaidsdaad). Istilah rule of law mulai populer dengan terbitnya buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dari Ingris. Konsep negara hukum rule of law berkembang di negaranegara Anglo-Saxon dengan sistem hukum “common law” yang memberi penekanan pada tiga tolak ukur yaitu: a. Supremasi hukum atau suppremacy of law, untuk menentang



pengaruh dari kesewenang-wenangan yang luas dari pemerintah. b. Persamaan di hadapan hukum atau equality before the law, yang berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban mentaati hukum yang sama. Negara-negara dengan sistem hukum Common Law tidak mengenal adanya Peradilan Administrasi Negara. c.



Konstitusi yang didasari atas hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights. Artinya konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak



dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. Konsep rule of law yang lebih tegas, dikembangkan oleh Wade dan Phillips yaitu: a. Rule of law mendahului hukum dan ketertiban dalam masyarakat daripada anarki. b. The rule of law menunjukan suatu dokrin hukum bahwa pemerintahan



harus dilaksanakan sesuai dengan hukum. c. The rule of law menunjukan suatu kerangka pikir politik yang harus dirincikan dalam peraturan hukum, baik hukum substantif maupun hukum acara, misalnya apakah pemerintah mempunyai kekuasaan untuk menahan warganegara tanpa melalui proses peradilan dan mengenai proses misalnya adanya “presumption of innocence” (praduga tak bersalah). 1. Pengertian Rule of Law



Friedman (1959) membedakan pengertian rule of law menjadi 2 (dua), yaitu: a. Pengertian formal, dalam pengertian ini rule of law diartikan sebagai



kekuasaan umum yang terorganisir (organized public power). Misalnya negara. b. Pengertian secara hakiki, rule of law berkaitan dengan penegakan hukum, dalam rangka memberi rasa keadilan bagi masyarakat dalam menerapkan hukum yang baik dan hukum yang buruk. Dalam kontek ini, rule of law merupakan suatu legalisme sehingga gagasan bahwa keadilan dapat diwujudkan melalui pembuatan sistem peraturan dan prosesdur yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal dan otomon.



2. Prinsip-Prinsip Rule Of Law



Di Indonesia prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam: a. Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan: 1) Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,. .. karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan. 2) Kemerdekan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil



dan makmur. 3) Untuk memajukan kesejahteraan umum,....... dan keadilan



sosial. 4) ..... disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam



suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. 5) Kemanusiaan yang adil dan beradab, serta 6) ..... dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh



rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan jaminan zecara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia, juga “keadilan sosial”, sehingga Pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggara negara. Dengan demikian prinsip-prinsip rule of law merupakan dasar pengambil kebijakan bagi penyelenggaraan negara atau pemerintahan, baik ditingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan terutama keadilan sosial. b. Pasal-pasal UUD 1945, yaitu: 1) Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3)). 2)



Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk penyelenggaraan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (3)).



4) Segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum



dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat(1)). 5) Pasal 10, antara lain bahwa setiap orang berahk atas perlakuan,



jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28 D ayat(1). 6) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan



perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 D ayat (2)). 3. Rule Of Law Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan



Penyelenggaraan pemerintahan sangat erat laitannya dengan penggunaan rule of law (the enformcement of rules of law), terutama dalam melaksanakan penegakan hukum. Dalam hal ini Wade dan Philips mengetengahkan rule of law yaitu: a. Rule of law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat



dari pada anarki, dalam pandangan ini konsep the rule of law merupkan suatu pandangan filosofis terhadap masyarakat yang dalam tradisi barat berkenaan dengan konsep demokrasi. b. The rule of law menunjukan suatu dokrin hukum bahwa pemerintah



harus melaksanakan sesuai dengan hukum. c. The rule of law menunjukan suatu kerangka pikir politik yang harus diperincikan dalam peraturan hukum, baik hukum subtantif maupun hukum acara, misalnya apakah pemerintah mempunyai kekuasaan untuk menahan warganagara tanpa melalui proses peradilan dan mengenai proses misalnya adanya “presumption of innocence” (Amiruddin Umar. 2014: 60-61).



3) KONSEPNEGARAHUKUM PANCASILA



Konsep negara hukum apa yang dianut oleh Negara Republik Indonesia. Pertanyaan ini sampai saat ini belum ada suatu rujukan yang jelas dan tegas. Negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia, Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dikatakan Negara Hukum Pancasila, Salah satu ciri pokok Negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama. Tetapi kebebasan beragaman di Negara Hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tidak ada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di bumi Indonesia. Dalam Negara Hukum Pancasila tidak boleh terjadi pemisahan antara agama dan negara baik secara mutlak maupun secara nisbi. Karena hal itu bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945. Negara Hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan, Kepentingan rakyat lebih diutamakan, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai. Menurut M. Tahir Azhary, meskipun dalam penjelasan UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat, tetapi bukan kensep hukum rechtsstaat atau rule of law melainkan konsep Negara Hukum Pancasila. Menurt Philipus M. Hadjon menggunkan istilah Negara Hukum Pancasila tidak dapat dengan begitu saja dipersamakan dengan rechtsstaat atau rule of law karena, dengan ciri-ciri: a. Ada hubungan yang erat antara agama dengan negara. b. Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa. c. Kebebasan beragama dalam arti positif. d. Ateisme tidak dibenarkan dan komunis dilarang. e. Asas kekeluargaan dan kerukunan.



RANGKUMAN Konstitusi merupakan hukun dasar suatu negara. Untuk mengetahui bagaimana pemerintahan sebuah negara, pemegang kedaulatan dalam suatu negara, strktur negara, bentuk negara, kekuasaan peradilan suatu negara, kelembagaan negara, hak dan kewajiban negara serta hak dan kewajiban warga negara, dapat dipelajari dari konstitusi suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Konstitusi yang tertulis biasa disebut dengan Undang-Undang Dasar. Sedangkan konstitusi yang tidak tertulis disebut konvensi yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara. Konstitusi Negara Republik Indonesia secara resmi bernama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hukum dasar yang mengatur cara bernegara bangsa Indonesia. Pada prinsipnya tujuan konstitusi adalah untk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Setelah terjadi perubahan fungsi negara bukan saja menjaga ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat tetapi juga mewujudkan kesejahteraan, maka terjadi perkembangan negara hukum dari nachtwachtresstaat kepada negara hukum Welfare state (negara hukum kesejahteraan).Salah satu konsep negara hukum adalah rule of law. Pada prinsipnya rule of law ditujukan untuk memberikan pengakuan dan perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap tindakan atau perbuatan pemerintah yang dianggap menyalahgunakan wewenang (detournament de pouvoir), berbuat sewenang-wenang (willekeur, onredelijkheid) dan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa atau pemerintah (onrechtmatige overhaidsdaad).



Salah satu ciri pokok Negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama. Tetapi kebebasan beragaman di Negara Hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tidak ada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di bumi Indonesia.



SOAL 1. Secara istilah konstitusi diartikan a. Pandangan hidup bangsa b. Peraturan Dasar mengenai pembentukan negara c. Dasar negara d. Bhinneka Tunggal Ika 2.



Dalam konstek institusi pemerintah, konstitusi bermakna pemaklumatan tertinggi yang berisikan, kecuali. a. Pemegang kedaulatn tertinggi suatu negara b. Bentuk Negara c. Bentuk Pemerintahan d. Hubungan antar negara-negara



3.



Konstitusi dapat tertulis dan dapat tidak tertulis, yang tertulis lazimnya disebut dengan: a. Undang-Undang Dasar b. Peraturan Utama c. Konvensi Dalam Tata Kenegaraan d. Pokok-Pokok Kenegaraan



4.



Pada abad pertengahan Nabi Muhammad SAW berhasil membuat naskah persetujuan dan perjanjian bersama diantara kelompok penduduk dalam ketatanegaran di Madinah, naskah tersebut dikenal dengan:



a. Piagam Jakarta b. Piagam Magnacatra c. Piagam persetujuan dan Perjanjian d. Piagam madinah 5. Esensi dari suatu negara berkonstitusi adalah



konstitusionalisme, artinya: a. Memberi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia b. Membatasi hak-hak asasi manusia c. Membebaskan hak-hak asasi manusia d. Memberi dukungan terhadap hak-hak asasi manusia 6. Pada prinsipnya tujuan konstitusi adalah, kecuali: a. Untuk membatasi kesewenang-wenangan tindakan



pemerintah b. Untuk memberi batasan dan pengawasan kekuatan politik c. Untuk membebasan kekuasaan dari kontrol mutlak penguasa d. Untuk mempertahankan kekuasaan negara 7. Konstitusi merupakan hukum tertinggi yang fundamental,



artinya: a. Undang-Undang Dasar tidak boleh diamandemen atau



dirubah b. Undang-Undang dasar selalu berubah sesuai dengan kepentingan politik c. Secara hirachi peraturan perundang-undangan yang ada



tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar d. Semua benar



8. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang



Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia secara hirachi adalah: a. UUD



1945,



Undang-Undang/Peraturan



Pemerintah



Pengganti Undang-Undang (Perpu), TAP MPR, Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/kota b. UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang/ Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. c. Pancasila, UUD 1945, TAP MPR, Peraturan Pemerintah (PP), Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/kota d. Pancasila, UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang/ Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 9. Pada Tahun 1999 terjadi reformasi, telah membawa perubahan



yang cukup mendasar, salah satu tuntutannya adalah melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Ini terjadi pada masa priode: a. Periode Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1945) b. Priode Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember



1945 – 17 Agustus 1950



c. Priode Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (17 Agustus



1950 – 5 Juli 1959) d. Priode Undang-Undang dasar 1945 ( 5 Juli 1959 – 1999) 10. Berdasarkan tinjauan dalam hukum tata negara, pada dasarnya



terdapat dua konsep negara hukum yaitu: a. Negara Hukum Pancasila dan Negara Hukum Kedaulatan



rakyat b. Negara Hukum Rechstaat dan Negara Hukum Rule Of Law c. Negara Hukum Pancasila dan Negara Hukum Rechstaat d. Negara Hukum Kedaulatan dan Negara Hukum Rule of



Law 11. Pada prinsipnya tujuan negara hukum untuk memberi pengakuan dan perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap tindakan atau perbuatan pemerintah yang dianggap, kecuali” a. Menyalahgunakan wewenang (detournament de pouvoir) b. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governent) c. Berbuat sewenang-wenang (willekeur, onredelijkheid) d. Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa atau



pemerintah(onrechtmatige overhaidsdaad). 12. Konsep negara hukum rule of law dalam buku Albert Venn



Dicey tahun 1885 memberi penekanan pada tiga tolak ukur yaitu, kecuali: a. Supremasi hukum atau suppremacy of law b. Persamaan di hadapan hukum atau equality before the law c. Penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap



perempuan d. Konstitusi yang didasari atas hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights.



13 Pengertian secara hakiki, rule of law berkaitan dengan,



kecuali: a. Penegakan hukum b. Pengawasan hukum c. Memberi rasa keadilan bagi masyarakat dalam menerapkan hukum yang baik d. Perlindungan hukum dari negara. 14. Salah satu ciri pokok Negara Hukum Pancasila ialah adanya



jaminan terhadap: a. Bebas tanpa agama b. Sebebas-bebasnya dalam beragama c. freedom of religion atau kebebasan beragama d. Tidak ada pembatasan dalam agama



BAB VIII POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL TUJUAN PEMBELAJARAN Memahami politik dan strategi nasional, sehingga mampu mengambil kebijakan dalam rangka mencapai tujuan nasional. RUANG LINGKUPMATERI A. Politik Nasional. B. Strategi Nasional C. Politik dan Strategi Nasional



URAIAN MATERI A. POLITIK NASIONAL Politik dalam sejarah perkembangannya di Athena Yunani, dimana negara kota (polis) telah menerapkannnya melalui pemilihan langsung. Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya telah melahirkaan berbagai konsep tentang politik itu sendiri sesuai dengan pemikiran para politikus pada waktu itu. Politik berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan, dimana politik membahas soalsoalyang berkaitan dengan masalah bagaimana pemerintahan itu dijalankan agardapat terwujud sebuah kelompok masyarakat politik atau suatu organisasinegara yang baik. Dalam hal ini, Andrew Heywood dalam Miriam Budiarjo (2007:16) mendefenisikan politik sebagai kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama. Selanjutnya, Marsudi Iriawan Beddy (2016:20-21) mengatakan bahwa sistem politik



menunjukkan adanya unsur: (1) Pola yang tetap antara hubungan manusia yang dilembagakan dalam bermacam-macam badan politik, (2) Kebijakan yang mencakup pembagian atau pendistribusian barangbarang materiil dan immateril untuk menjadi kesejahteraan atau membagikan dan mengalokasikan nilai-nilai negara secara mengikat, (3) Penggunaan kekuasaan atau kewenangan untuk menjalankan paksaan fisik secara legal, dan (4) Fungsi integrasi dan adaptasi terhadap masyarakat baik ke dalam maupun ke luar. Menurut David Easton dalam Marsudi Iriawan Beddy (2016:21-22) untuk memahami sistem politik perlu memahami empat hal berikut: 1. Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik



Di dalam kerangka kerja suatu sistem politik, terdapat unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk menggerakkan roda sistem politik. Unit-unit ini adalah lembagalembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sebagainya. 2. Input dan output



Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang masuk dari masyarakat ke dalam sistem politik berupa tuntutan dan dukungan. Tuntutan secara sederhana dijelaskan sebagai seperangkat kepentingan yang belum dialokasikan secara merata oleh sistem politik kepada sekelompok masyarakat yang ada di dalam cakupan sistem politik. Di sisi lain, dukungan merupakan upaya dari masyarakat untuk mendukung keberadaan sistem politik agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari



tuntutan maupun dukungan masyarakat. Output terbagi menjadi dua, yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan pemerintah. Keputusan adalah pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan dan dukungan yang masuk. Sementara itu, tindakan adalah implementasi konkret pemerintah atas keputusan yang dibuat. 3. Diferensiasi dalam sistem



Sistem yang baik haruslah memiliki diferensiasi (pembedaan atau pemisahan) kerja. Di masa modern adalah tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam pembuatan undang-undang pemilihan umum di Indonesia, tidak bisa cukup Komisi Pemilihan Umum saja yang merancang kemudian mengesahkan DPR. Namun demikian, KPU. lembaga kepresidenan, partai politik dan masyarakat umum dibatkan dalam pembuatan undangundangnya. Meskipun bertujuan sama, yaitu memproduksi undangundang, lembaga-lembaga tersebut memiliki perbedaan di dalam dan fungsi pekerjaannya. 4. Integrasi dalam sistem



Mekipun dikehendaki agar memiliki diferensiasi (pembedaan atau pemisahan), suatu sistem tetap harus memerhatikan aspek integrasi. Integrasi adalah keterpaduan kerja antarunit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Sementara itu, menurut Almond dalam Marsudi Iriawan Beddy (2016:300-305) ada enam kategori kapabilitas sistem politik yang didasarkan pada klasifikasi input dan output sistem politik, yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik sebagai berikut: 1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu ukuran kinerja sistem politik dalam mengumpulkan SDA dan SDM dari lingkungan domestik maupun internasional.



2. Kapabilitas Distributif, distribusi ini ditujukan kepada individu



maupun semua kelompok dalam masyarakat, seolah-olah sistem politik itu pengelola dan merupakan pembagi segala kesempatan, keuntungan, dan manfaat bagi masyarakat. 3. Kapabilitas regulatif, yaitu ukuran kinerja sistem politik dalam



menyelenggarakan pengawasan tingkah laku individu dan kelompok yang berada di dalamnya, maka dibutuhkan pengaturan. 4. Kapabilitas simbolik, yaitu ukuran kinerja sistem politik dalam kemampuan mengalirkan simbol dari sistem politik kepada lingkungan intra-masyarakat maupun ekstra-masyarakat. Petunjuk tentang tingginya kapabilitas simbolik ditentukanoleh atau bergantung pada kreasi selektif pihak pemimpin dan pada penimbaan yang penuh olehnya terhadap seperangkat penerimaan atau daya reseptif masyarakat. 5. Kapabilitas responsif, yaitu ukuran kinerja sistem politik yang



merujuk seberapa besar daya tanggap suatu sistem politik terhadap setiap tekanan yang berupa tuntutan baik dari lingkungan intramasyarakat (domestik) maupun ekstra-masyarakat (internasional). 6. Kapabilitas Dalam Negeri dan Luar Negeri, yaitu ukuran kinerja sistem politik yang merujuk bahwa sejauh mana kapabilitas suatu sistem politik dapat berinteraksi dengan lingkungan domestik dan lingkungan internasional. Aktivitas politik tidak terlepas dari proses politik yang sedang berlangsung. Dimana, menurut Irianto Maladi Agus (2015:7) bahwa proses politik mengacu kepada suatu keadaan, dimana ketika orang berusaha mempero leh akses pada kekuasaan po lit ik dan menggunakannya untuk kepentingan mereka atau kelompok mereka sendiri. Dalam hal ini, proses politik dapat dimaknai sebagai perjuangan



memperoleh akses atau jalur politik demi mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Selain itu, proses politik sarat dengan kepentingan sehingga berimplikasi terhadap struktur masyarakat yang saling beroposisi. Harus disadari bahwa kesepakatan dan kendali sosial tidak pernah lengkap, konflik antara individu dengan kelompok, serta antara kelompok dengan kelompok adalah sesuatu yang selalu menyatu dalam kehidupan manusia sehari-hari. Gabriel A. Almond dalam Hijri S. Yana (2016:21) mengatakan bahwa proses politik dimulai dengan masuknya tuntutan yang diartikulasikan dan diagregasikan oleh partai politik, sehingga kepentingan-kepentingan khusus itu menjadi suatu usulan kebijakan yang lebih umum, dan selanjutnya dimasukkan ke dalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, proses politik erat kaitannya dengan aktivitas infrastruktur politik seperti kelompok penekan dan partai politik maupun suprastruktur politik seperti eksekutif dan legislatif. Dari berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa politik nasional merupakan suatu azas, haluan, usaha, dan kebijakan negara tentang perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian, serta penggunaan secara total potensi nasional untuk mencapai tujuan nasional yang dicita- citakan dalam konstitusi negara. B. STRATEGI NASIONAL



Berdasarkan catatan sejarah, istilah strategi pada awalnya digunakan dalam dunia militer untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki agar dapat mencapai kemenangan dalam peperangan. Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya istilah strategi ini dapat dimaknai secara berbeda secara terminologinya.



Setiawan Hari Purnomo (1996:8) mengatakan bahwa sebenarnya berasal dari bahasa Yunani “strategos” diambil dari kata stratos yang berarti militer dan Ag yang berarti memimpin. Oleh karena itu, strategi dalam konteks awalnya ini diartikan sebagai general ship yang artinya sesuatu yang dikerjakan oleh para jenderal dalam membuat rencana untuk menaklukkan musuh dan memenangkan perang. Menurut David Hunger dan Thomas L. Wheelen (2003) mengatakan bahwa strategi adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Manajemen strategi meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi (perencanaan strategis atau perencanaan jangka panjang). Implementasi strategi dan evaluasi serta pengendalian. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa strategi adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui menuju target yang diinginkan. Strategi yang baik akan memberikan gambaran tindakan utama dan pola keputusan yang akan dipilih untuk mewujudkan tujuan. Istilah strategi juga digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Istilah strategi sudah menjadi istilah yang sering digunakan oleh masyarakat untuk menggambarkan berbagai makna seperti suatu rencana, taktik atau cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah saja, melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya. (Effendy, 2007:32). Taktik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari strategi perlu melakukan analisis yang lebih mendalam, baik secara internal maupun eksternal.Analisis lingkungan internal organisasi dimaksudkan kegiatan untuk menilai apakah organisasi dalam posisi yang kuat (Strength)



ataukah lemah (Weaknesses), penilaian tersebut didasarkan pada kemampuan internal (aset, modal, teknologi) yang dimiliki oleh organisasi dalam upaya untuk mencapai misi yang telah ditetapkan. Sedangkan analisis eksternal organisasimenunjukkan kegiatan organisasi untuk menilai tantangan (Treath) yang dihadapidan peluang (Opportunity) yang dimiliki oleh organisasi dalam upaya mencapaimisi organisasi berdasar atas lingkungan ekstenalnya. Analisis lingkungan internaldan eksternal organisasi dalam manajemen strategik disebut dengan SWOTanalysis. Dari hasil analisis SWOT tersebut organisasi akan menentukan tujuanjangka panjang yang akan dicapai dengan strategi korporasi (corporate strategy), atau grand strategy, atau business strategy, serta menentukan tujuan jangkapendek atau tujuan tahunan (annual objective) yang akan dicapai dengan strategifungsi atau strategi yang ditetapkan pada departemen. (Thoyib, 2005). Oleh karena itu, dari berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi nasional merupakan cara mengimplementasikan politik nasional dalam rangka upaya mencapai cita- cita dan tujuan nasional. C. POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL



Politik dan strategi nasional pada hakekatnya merupakan upaya yang dilakukan oleh penyelenggara negara untuk mencapai tujuan nasional tertuang dalam rencana pembangunan yang berkelanjutan. Politik dan strategi nasional ini pada masa Orde baru dituangkan dalam rencana pembangunan baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang yang dikenal dengan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun



demikian,



sejak



bergulirnya



reformasi



konsep



pembangunan ini disesuaikan dengan visi dan misi para penyelenggara negara yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka



Menengah (RPJM). Oleh karena itu,sejak tahun 2004 Politik dan Strategi Nasional merupakan kewenangan Presiden dan Wakil Presiden, dijabarkan melaluiVisi dan Misi Presiden dan Wakil Presiden untuk jangka waktu lima tahun. Namun demikian, Politik dan Strategi Naional merupakan pencerminan masalah kesejahteraan,dan pertahanan keamanan sebagai wujud politik pembangunan yang dilaksanakanmelalui visi dan misi pemerintah. Untuk melaksanakan pembangunan tersebutdiperlukan telaahan strategis, perkiraan strategis dan batas waktu perkiraan strategis. Oleh karena itu, politik dan stategi nasional sangat bermanfaat untuk mengantisipasi perkembangan globalisasi kehidupan dan perdagangan bebas yang akan dihadapi bangsa kita. Adapun implementasi politik dan strategi nasional dapat ditinjau dari berbagai bidang kehidupan negara, seperti: 1. Bidang Ekonomi a. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpuh pada mekanisme pasar yang adil berdasarkan prinsip persingan sehat. Mengembangkan persingan yang sehat dan adil serta menghindari terjadinya struktur pasar monopilistik dan berbagai pasar distortif. c. Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan kemanusian b.



yang adil bagi masyarakat. d. Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global. e. Melakukan berbagai upaya terpadu untuk mempercepat proses



kemiskinan dan mengurangi pengganguran. 2. Bidang sosial budaya a. Meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung. b. Mengembangkan dan membina kebudayaan nasioanal.



c. Mengembangkan apresiasi seni dan budaya tradisional 3. Bidang politik a. Mempertahankan dan menciptakan kondisi politik dalam negeri



yang kondusif dan menegaskan arah politik luar negeri Indonesia Yang bebas aktif. b. Meningkatkan pemanfaatan dan kualitas komunikasi di berbagai



bidang. c. Memantapkan fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai



landasan moral, spritual dan etika. d. Mengupayakan perluasan dan pemerataan pendidikan serta peningkatan kualitas clembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat maupun pemerintah. 4. Bidang pertahanan keamanan a. Menata kembali Tentara Nasional Indonesia sesuai paradigma baru yang konsisten sekaligus peningkatan kulitasnya. b. Mengembangkan kemampuan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta. Secara hirarkis, struktur Politik dan Strategi Nasional mencakup banyak hal terkait dengan kehidupan nasional dari suatu negara. Kebijakan tertinggi yang menyeluruh secara nasional meliputi penentuan Undang Undang Dasar dan menggariskan masalah makro politik bangsa dan negara untuk merumuskan tujuan nasional yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam hal ini, ada beberapa tingkatan kebijakan nasional sebagai implementasi dari Politik dan Strategi nasional, yaitu: 1. Kebijakan Umum Kebijakan Umum ini dilakukan oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan di bidang eksekutif, baik dalam kapasitasnya sebagai kepala negara mapun kepla pemerintahan bersama- sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam penyusunan peraturan



perunndang- undangan. 2. Kebijakan Khusus Kebijakan Khusus ini dilakukan oleh para menteri untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan umum dari pemerintah sesuai dengan bidangnya masing-masing dalam bentuk peraturanperaturan di tingkat kementerian. 3. Kebijakan Teknis



Kebijakan teknis ini dilakukan oleh berbagai Direktorat Jenderal dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang bersifat teknis sebagai bentuk penjabaran dari peraturan menteri- menteri negara. Politik dan Strategi Nasional tidak terlepas dari eksistensi Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Oleh karena itu, sering dinamakan Wawasan Nasional, dimana Politik dan Strategi Nasional dikembangkan dan dirumuskan berdasarkan falsafah bangsa, kondisi wilayah, rakyat negara bangsa, dan lingkungan strategis yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, menurut Budisantoso (1997:41) bahwa dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan penilaian pembangunan nasional harus memperhatikan kaidah- kaidah sebagai berikut: 1. Mampu menjawab tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan serta peluang dan kendala baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, termasuk globalisasi. Perencanaan pembanunan nasional hendaknya mempertimbangkan kecenderungan situasi dari dalam dan luar negeri, sehingga perencanaan pembangunan nasional tersebut mampu memadukan antara kepentingan nasional di luar negeri dengan kepentingan nasional di dalam negeri. 2. Mampu memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta



kelestarian lingkungan hidup. 3. Mampu pada setiap tahap pembangunan bertolak dari kondisi yang



nyata (riil).



4. Mampu memadukan antara perencanaan pembangunan nasional secara vertikaal dengan horizontal. Pembangunan nasional dilaksanakan secara komprehensif dn integral dalam segenap aspek kehidupan nasional dengan tetap memperhatikan nilai- nilai Pancasila, Undang Undang Dasar Republik Indonesia, dan Wawasan Nusntara. Dimana, pembangunan dilaksanakan baik secara vertikal maupun hoirizontal dengan prinsip: 1. Secara vertical Pembangunan nasional hendaknya mampu memadukan antara kepentingan dan aspirasi masyarakat dengan arahan dari atas (bottom up dan top down planning). 2. Secara horizontal Perencanaan pembangunan nasional hendaknya mampu memadukan antar bidang dan sektor pembangunan dengan menentukan sasaran pembangunan yang harus dicapai oleh segenap sektor terkait dengan menentukan departemen/;embaga sebagai penanggungjawab utamanya (primary responsible). Perencanaan pembangunan nasional hendaknya juga mempu memadukan pembanunan antar daerah/wilayah serta memanfaatkan peluang kerjasama regional dengan negara-negara jiran.



RANGKUMAN 1) Politik berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan, dimana



politik membahas soal-soalyang berkaitan dengan masalah bagaimana pemerintahan itu dijalankan agardapat terwujud sebuah kelompok masyarakat politik atau suatu organisasinegara yang baik. 2) Manajemen strategi meliputi pengamatan lingkungan, perumusan



strategi (perencanaan strategis atau perencanaan jangka panjang). Implementasi strategi dan evaluasi serta pengendalian.



3) Politik dan stategi nasional sangat bermanfaat untuk mengantisipasi perkembangan globalisasi kehidupan dan perdagangan bebas yang akan dihadapi bangsa kita.



SOAL 1. Politik dan Strategi Nasional bertujuan untuk: A. Perencanaan Pembangunan B. Pengambilan Kebijakan C. Mencapai Tujuan Nasional D. Mewujudkan Cita-Cita Nasional 2. Politik pertama berkembang di negara: A. Amerika B. Inggris C. Yunani D. Prancis 3. Upaya untuk mencapai tujuan negara dikatakan sebagai: A. Sistem politik B. Proses Politik C. Tujuan Politik D. Rekrutmen politik 4. Istilah strategi pada awalnya digunakan dalam: A.



Politik



Sosial C. Militer D. Budaya B.



5. Strategi dimaknai sebagai:



A. Taktik memenangkan B. Teknik Bertarung C. Teknik Berperang D. Upaya Mencapai Tujuan 6. Dalam strategi perlu memperhatikan, kecuali: A. Kekuatan B. Kelemahan C. Peluang D. Keberuntungan 7. Politik dan Strategi Nasional dituangkan dalam: A. Rencana pembangunan B. Tujuan Pembangunan C. Polotik Nasional D. Strategi Nasional 8. Pada masa Orde Baru Politik dan Strategi Nasional dituangkan dalam: A. Pancasila B. UUD 1945 C. GBHN D. VISI-MISI 9.



Pada masa Reformasi Politik dan Strategi Nasional dituangkan dalam: A. Pancasila B. UUD 1945 C. GBHN D. VISI-MISI



10. Politik dan Strategi Nasional dimulai pada tahun: A. 1945 B. 1965 C. 1971 D. 2000



BAB IX HUKUM, HAK ASASI MANUSIA DAN KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH (KKRA) TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengertian hak asasi manusia, sejarah dan perkembangan hak asasi manusia, instrument hak asasi manusia internasional dan nasional, bentuk pelanggaran hak asasi manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh, serta penyelesaian hak asasi manusia berbasis kearifan lokal. MATERI PEMBELAJARAN A. Pengertian Hak Asasi Manusia B. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia C. Instrumen Hukum dan Hak Asasi Manusia D. Bentuk Pelanggaran dan Pengadilan Hak Asasi Manusia E. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh F. Hak Asasi Manunia Berbasis Kearifan Lokal.



URAIAN MATERI A. PENGERTIAN HAKASASI MANUSIA Hak asasi manusia adalah hak yang lahir serta melekat pada setiap insan manusia yang harus dijunjung tinggi, dihargai, dihormati demi tercapainya hak tertinggi dari harkat dan martabat, kesejahteraan kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Menurut John Locke (29 Agustus 1632 –28 Oktober 1704, umur 72 tahun) dalam Wirman Burhan (2016: 46) menyatakan, hak asasi manusia merupakan hak dasar yang bersifat kodrati dan diberikan langsung oleh Tuhan selaku maha pencipta kepada setiap manusia.



Mariam Budihardjo dalam Wirman Burhan (2016: 46), menjelaskan pengertian hak asasi manusia merupakan hak yang diperoleh dan dibawa oleh tiap manusia secara kodrati, dan hak asasi manusia tersebut diperoleh tanpa adanya perbedaan bangsa, ras, agama serta jenis kelamin seseorang yang bersifat asasi dan universal sehingga dengan adanya hak asasi manusia tiap orang berhak untuk memperoleh kesempatan untuk terus berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. Sementara menurut Muladi (2002: 56), hak asasi manusia sejatinya merupakan hak yang melekat secara alami pada tiap jiwa manusia yang dibawa semenjak lahir, serta tanpa adanya hak asasi manusia tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang secara utuh yang dikarenakan dengan keberadaan hak asasi manusia merupakan sangatlah penting dan tanpa adanya hak tersebut manusia tidak dapat berkembang dalam mendapatkan kebutuhan dan bakatnya. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekatpada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak tersebut secara hakiki melekat dalam diri manusia yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan tujuan akhir melindungi harkat dan martabat setiap manusia itu sendiri. Oleh karena itu, hak asasi manusia merupakan suatu upaya untuk melindungi serta menjaga keselamatan serta eksistensi manusia secara utuh agar terciptanya keseimbangan baik itu antara individu manusia dengan kepentingan umum yang lainnya.Begitu pula dengan adanya upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama antara individu



(perorangan) aparatur pemerintahan dan negara. A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HAKASASI MANUSIA 1) Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia Internasional



Awal mula adanya hak asasi manusia ditandai dengan timbulnya kesadaran masyarakat atas kesewenangan pemerintahan pada masa lampau yang sudah tidak dapat di apertahankan lagi, timbulnya rasa kesengsaraan, kepedihan serta kesewenang-wenangan atas akibat dari tindakan-tindakan pemerintah yang berada diluar batas kemanusiaan. Atas dasar ketidakmanusiaan tersebut, masyarakat mulai sadar bahwa setiap manusia yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa mempunyai hak dan kewajiban yang sama, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun pengaturan atau yang mengatur hidup sendiri. Kesadaran terhadap pengakuan pada hak-hak asasi manusia sudah mulai tumbuh semenjak 600 tahun sebelum Masehi (zaman Mesir kuno). Saat itu, Socrates dan Plato selaku peletak dan pelopor atas hak dasar pengakuan hak asasi manusia mulai mengajarkan bagaimana cara untuk mengkritik pemerintah/penguasa yang tidak berdasarkan perikemanusiaan, keadilan serta kesejahteraan bagi masyarakat. Di dalam peradaban Islam juga dikenal dengan hadirnya Piagam Madinah yang dibentuk serta disepakati oleh Nabi Muhammad SAW dengan para penduduk Kota Madinah. Pada Piagam Madinah tersebut berisi perjanjian serta kesepakatan yang berisi pengakuan bahwa setiap orang/manusia yang tinggal di kota Madinah adalah sama dan memiliki hak serta kewajiban yang sama antara Nabi Muhammad, Kaum Muhajirin, Kaum Anshar, Komunitas Yahudi serta suku-suku lain seperti Suku Auz dan Suku Khazraj yang berada di kota Madinah sehingga mereka yang membuat perjanjian dan kesepakatan tersebut bersepakat untuk saling memberikan perlindungan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Anti diskriminasi yang menjadi isu HAM,



sebenarnya telah ditunjukkan dalam ajaran Islam, sebagaimana wahyu Allah dalam Surat Al-Hujurat ayat 13:



Artinya: hai orang-orang yang beriman sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulai diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Perkembangan penting pada perumusan ide pokok dari hak asasi manusia di dunia adalah sebagai berikut.Pertama, pada 15 Juni 1215 munculnya perjanjian Magna Charta, dalam perjanjian ini merupakan bagian dari pemberontakan para baron terhadap para raja. Adapun isi dari pada dokumen adalah hendaknya raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorang pun dari rakyatnya. Kedua,di tahun 1628 terbitnya Bill of Right pada dokumen tersebut memuat tentang penegasan serta pembatasan terhadap kekuasaan raja serta dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapa pun, atau untuk memenjarakan, menyiksa dan mengirimkan tentara kepada siapa pun tanda adanya dasar hukum. Ketiga, lahirnya The Declaration of Independence atau dikenal dengan istilah Deklarasi Kemerdekaan pada tanggal 6 Juli 1776. Dalam dokumen deklarasi kemerdekaan ini memuat tentang penegasan bagi setiap orang yang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan mendapatkan hak untuk hidup, mengejar kebahagiaan dan mendapatkan keharusan mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan



ketentuan-ketentuan dasar tersebut. Ketiga, lahirnya The Declaration of Independence atau dikenal dengan istilah Deklarasi Kemerdekaan pada tanggal 6 Juli 1776. Dalam dokumen deklarasi kemerdekaan ini memuat tentang penegasan bagi setiap orang yang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan mendapatkan hak untuk hidup, mengejar kebahagiaan dan mendapatkan keharusan mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut. Keempat, munculnya Declaration of The Right of Man and The Citizen (Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia dan Warga Negara) di Perancis pada tanggal 4 Agustus 1978 yang menitikberatkan lima hak asasi, yaitu: hak atas kepemilikan harta, hak atas kebebasan, hak atas persamaan, hak atas keamanan dan hak atas perlawanan dan penindasan. Sejarah perkembangan hak asasi manunia zaman modern, selalu dikaitkan dengan perang dunia pertama pertama ataupun kedua.Pada zaman perang dunia yang pertama. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a) Sebelum perang dunia II



Sebelum perang dunia ke II, beberapa perkembangan dalam hukum internasional yang patut di catat sebagai tonggak penting dalam perkembangan hak asasi manusia internasional diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional Tradisional Pada awal pertumbuhannya, hukum internasional hanya merupakan hukum yang mewadahi pengaturan tentang hubungan antara negara- negara belaka. Subyeknya sangateksklusif, yakni hanya mencakup negara. Entitas-entitas yang lain, termasuk individu,hanya menjadi objek dari sistem itu,atau penerima manfaat (beneficiary) dari sistemtersebut.



Individu, sebagai warga negara, tunduk sepenuhnya kepada kewenangannegaranya. Dalam arti ini, negara tentu dapat saja membuat ketentuan-ketentuan demikepentingan warga negaranya (individu), namun ketentuan-ketentuan semacam itu tidakmemberikan hak-hak substantif kepada individu yang dapat mereka paksakan melaluiprosedur pengadilan. Negara-lah yang membela hak atau kepentingan warga negaranyaapabila mendapat perlakuan yang bertentangan dengan aturan atau perlakuan semenamena dari negara lainnya. Apa yang dikatakan di atas dikenal dengan doktrin perlindungan negara terhadap orang asing atau disebut dengan istilah state responsibility for injury to alliens, yang dikenal dalam hukum internasional ketika itu. Berdasarkan doktrin hukum internasional itu, orang-orang asing berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan rumah yang melanggar aturan.Biasanya, hal ini terjadi ketika seorang asing mengalami perlakuan sewenang-wenang di tangan aparat pemerintah, dan negara tersebut tidak mengambil tindakan apapun atas pelanggaran itu. Doktrin perlindungan negara terhadap orang asing tersebut, khususnya mengenai standar minimal dan kesamaan perlakuan, kemudian diambil alih oleh perkembanganperkembangan dalam hukum hak asasi manusia internasional. Meskipun tujuan utama klaim negara semacam itu bukanlah untuk mendapatkankompensasi bagi warga negaranya yang dirugikan, melainkan untuk membela hak-hak negara itu sendiri yang secara tidak langsung telah dilanggar melalui perlakuan yang buruk terhadap warga negaranya. 2)



Doktrin Intervensi Kemanusiaan Doktrin intervensi kemanusiaan merujuk pada doktrin



yang menegaskan bahwa suatu negara dapat mengintervensi secara militer untuk melindungi penduduk atau sebagian penduduknya yang berada di negara lain jika penguasa negara tersebut memperlakukan mereka secara semena-mena. 3) Penghapusan perbudakan



Gerakan penghapusan perbudakan itu juga dilandasi oleh motif kepedulian kemanusiaan yangbesar. Praktek perbudakan mula-mula dikutuk dalam Traktat Perdamaian Paris (1814) antara Inggris dan Perancis, namum selang 50 tahun kemudian, Akta Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi Eropa di Afrika menyatakan bahwa perdaganganbudak dilarang berdasarkan asas-asas hukum internasional. Aksi internasional menentang perbudakan dan perdagangan budak itu terusberlanjut sepanjang abad 20. Liga Bangsa-Bangsa mengesahkan Konvensi PenghapusanPerbudakan dan Perdagangan Budak pada tahun 1926, dan melarang praktekperbudakan di wilayah-wilayah bekas koloni Jerman dan Turki yang berada di bawah Sistem Mandat (Mandates System)Liga Bangsa-Bangsa pada akhir Perang Dunia I.Konvensi 1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional utama yang melarangpraktek perbudakan, meskipun konvensi ini telah diamandemen dengan suatu Protokolpada tahun 1953, dan pada tahun 1956 ditambah dengan suplemen mengenai definisi tindakan-tindakan yang termasuk dalam perbudakan di zaman modern. 4)



Pembentukan Palang Merah Internasional Kemajuan besar yang lain dalam hukum kemanusiaan



internasional pada paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan



Komite Palang Merah Internasional (1863), danikhtiar organisasi itu dalam memprakarsai dua konvensi internasional untuk melindungikorban perang dan perlakuan terhadap tawanan perang, yang dikenal dengan Konvensi Jenewa. Prakarsa dan usaha-usaha Palang Merah Internasional ini berlanjut melewatidua perang dunia dan sesudahnya. Organisasi internasional ini telah mensponsori sejumlah konvensi yang tidak semata-mata menangani status dan perlakuan terhadappara prajurit yang berperang, tetapi juga perlakuan terhadap penduduk sipil pada masa perang dan pembatasan terhadap caracara berperang (conducts of war). Singkatnya organisasi internasional ini telah berjasa melahirkan apa yang sekarang kita kenal dengan hukum humaniter internasional (international humanitarian law). 5) Pembentukan Liga Bangsa-Bangsa.



Peristiwa lainnya yang memberikan pengaruh besar bagi perkembangan hak asasi manusia internasional adalah dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) melalui Perjanjian Versailles segera setelah berakhirnya Perang Dunia ke 1. Adapun tujuan utama Liga tersebut adalah untuk memajukan kerjasama serta tercapainya dan keamanan internasional. b) Setelah perang dunia ke-II



Doktrin dan kelembagaan hukum internasional yang dipaparkan di atas telah ikut mendorong perubahan yang radikal dalam hukum internasional, yaitu berubahnya status individu sebagai subyek dalam hukum internasional.Individu tidak lagi dipandang sebagai obyek hukum internasional, melainkan dipandang sebagai pemegang hak dan



kewajiban. Dengan status ini, maka individu dapat berhadapan dengan negaranya sendiri di hadapan Lembaga-Lembaga Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Perubahan ini dipercepat dengan meledaknya Perang Dunia II yang memberikan pengalaman buruk bagi dunia internasional. Agar tidak mengulangi pengalaman yang sama, masyarakat internasional membangun konsensus baru yang lahir dalam bentuk norma, doktrin, dan kelembagaan baru dalam hukum internasional. Berikut ini akan dibahas norma, doktrin, dan kelembagaan hukum internasional yang lahir pada periode pasca Perang Dunia II yang melahirkan hukum hak asasi manusia internasional. 1) Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa



Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan pada tahun 1945 sebagai pengganti dari Liga Bangsa-Bangsa. Terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa dikarenakan oleh situasi kekejaman dari Perang Dunia ke 2 dan korban Sosialisme Nasional (Manfred Nowak. 2003: 73). Adapun tujuan utama dari pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah agar tercapainya tujuan dari menjaga perdamaian keamanan internasion, serta kerja sama internasional, mempromosikan dan memajukan penghormatan hak asasi manusia serta kebebasan fundamental. 2)



The International Bill of Human Rights



International Bill of Human Rights adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada tiga instrumen pokok hak asasi manusia internasional beserta optional protocol-nya yang dirancang oleh PBB. Ketiga instrumen itu adalah: Pertama, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Kedua, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Dan Ketiga, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial danBudaya (International



Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Sedangkan optional protocol yang masuk dalam kategori ini adalah, The Optional Protocol to the Covenant on Civil and Political Rights (Protokol Pilihan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik) disebut sebagai instrumen pokok karena kedudukannya yang sentral dalam corpus hukum hak asasi manusia internasional. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini boleh dikatakan merupakan interpretasi resmi terhadap Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, yang memuat lebih rinci sejumlah hak yang didaftar sebagai Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini berfungsi sebagai standar pencapaian bersama. Karena itu ia dirumuskan dalam bentuk deklarasi, bukan perjanjian yang akan ditandatangani dan diratifikasi. Meskipun demikian, deklarasi itu telah terbukti menjadi langkah raksasa dalam proses internasionalisasi hak asasi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu, status legal deklarasi itu terus mendapat pengakuan yang kuat. Selain dipandang sebagai interpretasi otentik terhadap muatan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, deklarasi ini jugaberkembang menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat secara hukum bagi semua Negara (Eko riyadi, 2018: 17). Dengan demikian pelanggaran terhadap deklarasi ini merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Dua kovenan yang menyusul, yakni Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1966. Tetapi kedua Kovenan itu baru berlaku mengikat secara hukum pada tahun 1976. Dua instrumen pokok hak asasi manusia internasional itu menunjukkan dua bidang yang luas dari hak asasi manusia, yakni hak sipil dan politik di satu pihak, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di pihak lain. Kedua instrumen ini disusun



berdasarkan hak-hak yang tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tetapi dengan penjabaran yang lebih spesifik. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, misalnya, menjabarkan secara lebih spesifik hak-hak mana yang bersifat non-derogable dan hakhak mana yang bersifat permissible. Begitu pula dengan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang memuat secara lengkap hak-hak ekonomi dan sosial, merumuskan tanggung jawab negara yang berbeda dibandingkan dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Jadi sebetulnya dua Kovenan ini dibuat untuk menjawab masalah-masalah praktis berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia. 1. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia Nasional



Perumusan Hak Asasi Manusia di Indonesia sudah dimulai dari awal terbentuknya Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dipimpin langsung oleh KRT Rajiman Widodiningrat dan beranggotakan Soekarno, Muhammad Hatta, Soepomo, Muhammad Yamin dan Abi Koesno. Dari hasil keputusan atas pemikiran perumusan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hak asasi manusia dianggap perlu untuk dicantumkan di dalam Undang-Undang Dasar dengan pertimbangan dengan adanya pencantuan hak asasi manusia nantinya Indonesia tidak menjadi negara kekuasaan dan berdampak pada penindasan kepada masyarakat. Pencantuman atas hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut: 1) Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang memuat Hak atas kesamaan kedudukan pada hukum dan pemerintahan. 2) Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 memuat Hak atas memperoleh



pekerjaan dan penghidupan yang layak.



3) Pasal 28 UUD 1945 memuat hak berserikat dan berkumpul. 4) Pasal 29 UUD 1945 memuat kebebasan beragama. 5) Pasal 30 UUD 1945 memuat kewajiban bela negara. 6) Pasal 31 UUD 1945 memuat hak mendapatkan pendidikan 7) Pasal 33 dan 34 Uud 1945 memuat hak atas kesejahteraan sosial



8) Selain itu pemuatan tentang hak asasi manusia juga terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945. Perkembangan pemikiran hak asasi manusia di Indonesia terdiri dari beberapa periode diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Periode 1908-1945 a)



Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 memdirikan Perjuangan hak berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui Goeroe Desa.



b) Perhimpunan Indonesia mendir ikan Perjuangan hak



menentukan nasib sendiri. c) Serikat islam pada tahun 1911 menggagas perjuangan hyak



memperoleh kehidupan yang layak. d) Partai Komunis Indonesia membentuk perjuangan hak-hak yang



bersifat sosial. e) Indische Partij membentuk perjuangan hak untuk mendapatkan kemerdekaan. f) Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927 membentuk



perjuangan hak untuk memperoleh kemerdekaan dalam negara yang mencakup demokrasi, ekonomi dan politik. g) Pendidikan Nasional Indonesia melakukan perjuangan hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berpendapat dan hak berserikat. 2) Periode 1945-1950 a) Maklumat Politik Pemerintah 1 November 1945 tentang



Pengumuman Akan Dilaksanakan Pemilu. b) Maklumat Pemerintahan 3 November 1945 tentang Memberi Keleluasaan Untuk Mendirikan Partai Politik. c) Maklumat Pemerintah 14 November 1945 tentang Mengubah Sistem Presidensial Menjadi Sistem Parlementer. 3) Periode 1950-1959 a) Partai politik tumbuh dengan pesat dengan berbagai ideologi. b) Adanya kebebasan Pers. c) Pemilu mulai pada tanggal 17 Oktober 1955 berlangsung secara



demokratis, bebas dan fair. d) Parlemen mulai menunjukkan kelasnya sebagai wakil rakyat



serta mengontrol pemerintah dimana terjadinya kabinet jatuh bangun. 4) Periode 1959-1966 a) Hak asasi manusia direstriksi di mana Soekarno kembali ke



sistem presidensial dan demokrasi terpimpin. b) Soekarno menata kembali sistem politik, sesuai dengan



demokrasi terpimpin. c)



Melalui Peraturan Presiden No 7 Tahun 1959 Soekarno menyederhanakan Partai Politik.



d) Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 Soekarno mengawasi



dan membubarkan Partai Politik. 5) Periode 1966-1998 a) Tahapan Represi dan pembentukan jaringan 1966-1998, karena



represi orde baru, korban meminta bantuan masyarakat internasional. b) Tahapan penyangkalan menghadapi tekanan internasional oleh Soeharto. Beliau menyangkal dengan alasan hak asasi manusia produk barat yang tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa yang disusun oleh Universitas dan Partikularitas.



c) Tahapan konsesi orde baru kian mendesak ketika bantuan luar dipersyaratkan dengan kondisi hak asasi manusia. Orde baru diberi konsesi taktis dengan pembatasan Undang-Undang Sobversi, Komnas HAM didirikan, pemantauan Pemilu diizinkan dan mulai dikenal dengan era keterbukaan. 1) Periode 1988 sampai dengan sekarang a) Tahapan status penentuan.



Pemerintah menerima norma internasional HAM baik melalui ratifikasi dan institusional HAM ditandai dengan adanya perubahan UUD 1945, rativikasi Konvensi Anti Penyiksaan (1998), terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang pencabutan Undang-Undang Subversi, terbitnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi, terbitnya Undang-Undang nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia, terbitnya Undang-undang Nomor 26 tentang Pengadilan HAM, terbitnya Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, adanya ratifikasi konvensi hak sipil dan politik dan adanya rativikasi konvensi hak ekonomi, sosial dan budaya. b) Tahap penataan aturan secara konsisten



Pada tahapan ini HAM dijadikan sebagai dasar instrumen baik dari aspek tatanan sosial ataupun demokrasi dalam bernegara. C. INSTRUMEN HUKUM DAN HAKASASI MANUSIA 1. Instrumen Internasional HAM



Setidaknya, terdapat sepuluh instrumen internasional hak asasi manusia, yaitu: a. Universal Declaration on Human Right (UDHR), atau Deklarasi



Hak Asasi Manusia (DUHAM).



b. International Convenant on Civil and Political Rights (ICRP),



atau Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). c. International Convenant on Economic Social and Culture Rights



(ICESCR), atau Konvenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB). d.



International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Descrimination (CERD), atau Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial .



e. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women(CEDAW), atau Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. f.



onvention Againts Torture and Other Cruel, In Human or Degrading Treatment of Punishment(CAT), atau Konvensi



Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia. g. Convention on the Rights of the Child (CRC), atau Konvensi tentang Hak Anak. Konvensi tentang Hak anak disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 yang bertujuan agar adanya standar universal bagi hak-hak anak, adanya perlindungan terhadap anak-anak dari tindakan penyianyiaan, eksploitasi dan penyalahgunaan. h. Convention on the Protection for Migrant Workers and Their Families(CMW), atau Konvensi tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarga Mereka. i. Convention on the Rights of Persons with Dissabilities (CRPD), atau Konvensi tentang Penyandang Disabilitas. Dalam konvensi ini bertujuan untuk merubah paradigma masyarakat terhadap kaum disabilitas dari pendekatan pelayanan berdasarkan belas



kasihan (charity) menjadi pemenuhan HAM dengan pemberian perlindungan secara menyeluruh dan tidak adanya tindakan diskriminatif serta memberikan kesempatan bagi kaum disabilitas untuk ikut berpartisipasi dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. j. International Convention for Protection of All Persons from Enforced Disappearence(CEO), atau Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa. Buku ajar ini akan memaparkan 2 (dua) konvensi hak asasi manusia internasional yang dianggap sangat penting untuk diketahui mahasiswa, yaitu terkait dengan UDHR/DUHAM, CEDAW, dan CRPD. a. UDHR-Universal Declaration on Human Right



Instrumen UDHR diterjemahkan di Indonesia dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM merupakan dokumen pengakuan internasional terhadap hak asasi manusia. DUHAM dideklarasikan melalui Resolusi Majelis Umum PBB (A/RES/217 (III) pada tanggal 10 Desember 1948.Atas tercapainya deklarasi tersebut, maka selanjunya tanggal dan bulan tersebut ditetapkan sebagai hari Hak Asasi Manusia Internasional.DUHAM juga menjadi instrumen payung bagi instrumen hak asasi manusia lainnya. Artinya keseluruhan instrumen HAM lain merujuk pada DUHAM tersebut. DUHAM memiliki 30 Pasal, sebagai berikut: DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)



Mukadimah Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia, Menimbang, bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap nikmat kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat biasa, Menimbang, bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang tidak terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan, Menimbang, bahwa pembinaan hubungan bersahabat di antara negara-negara perlu ditingkatkan, Menimbang, bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam Piagam Perserikatan BangsaBangsa telah menegaskan kembali kepercayaan mereka pada hak-hak dasar dari manusia, dan pada hak-hak yang sama dari laki-laki maupun perempuan, dan telah memutuskan akan mendorong kemajuan sosial dan tingkat hidup yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas,Menimbang, bahwa Negara-negara Anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan dalam penghargaan dan penghormatan umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebesan yang asasi, dengan perbaikan penghargaan umum terhadap dan pelaksanaan hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan ini hakiki, dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menimbang, bahwa pemahaman yang sama mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut sangat penting untuk pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari janji tersebut, maka dengan ini :



Majelis Umum, Memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap oarng dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakantindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannnya yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari Negara-negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka. Pasal 1 Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan. Pasal 2 Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasankebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada kekecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain. Pasal 3 Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan



keselamatan sebagai induvidu. Pasal 4 Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang. Pasal 5 Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina. Pasal 6 Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada. Pasal 7 Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini. Pasal 8 Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakantindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum. Pasal 9 Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang. Pasal 10 Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajibankewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.



Pasal 11 (1) Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang perlukan untuk pembelaannya. (2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana menurut undangundang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukum yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan. Pasal 12 Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah-tangganya atau hubungan suartmenyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini. Pasal 13 (1) Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara. (2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya. Pasal 14 (1) Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran. (2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benarbenar timbul karena kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa.



Pasal 15 (1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan. (2) Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya. Pasal 16 (1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian. (2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai. (3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara. Pasal 17 (1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. (2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena. Pasal 18 Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri. Pasal 19 Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk



mencari, menerima dan menyampaikan keteranganketerangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas. Pasal 20 (1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan. (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan. Pasal 21 (1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas. (2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negeranya. (3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara. Pasal 22 Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usahausaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara. Pasal 23 (1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan



bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran.



(2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama. (3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya. (4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikatserikat pekerja untuk melindungi kepentingannya. Pasal 24 Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan-pembatasan jam kerja yang layak dan hari liburan berkala, dengan tetap menerima upah. Pasal 25 (1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya. (2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama. Pasal 26 (1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar.Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan.



(2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk mempertebal penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian. (3) Orang tua mempunyai hak utama dalam memilih jenis pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka. Pasal 27 (1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap k e m a j u a n d a n ma n f aa t i l m u p e n ge t a h ua n . ( 2 ) Set iap orang ber hak unt uk me mper o leh perlindungan atas keuntungan-keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya i lm i a h , k e s us a s t e r a an a t a u ke s e n i a n yan g diciptakannya. Pasal 28 Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Deklarasi ini dapat dilaksanakan sepenuhnya. Pasal 29 (1) Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satu-satunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan bebas dan penuh. (2)



Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasankebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undangundang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin



pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. (3) Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 30 Tidak sesuatu pun di dalam Deklarasi ini boleh ditafsirkan memberikan sesuatu Negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun, atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini. Deklarasi ini menjadi dokumen hak asasi manusia yang berlaku umum untuk seluruh rakyat dan semua Negara.Deklarasi ini menjadi dokumen hak asasi manusia paling pokok. Walaupun deklarasi tidak mengikat secara hukum, namun ia dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional. b. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination



Againts Women-CEDAW International Convention on Elimination of All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW)atau (ICEDAW)konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah suatu instrument standar intenaional yang diadopsi pleh PBB pada tahun 1979. Pemerintah telah meratifikasi Konvensi ini dengan UndangUndang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada 24 Juli 1984.



Konvensi memberi penekanan pada pengakuan atas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (gender), semua orang dilahirkan secara bebas dan tidak dapat diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan kelamin, dan kesepakatan bahwa Negara-negara PBB akan memajukan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Konvensi ini memperkenalkan 3 (tiga) prinsip penting yaitu: a. Prinsip non-diskriminasi.



Prinsip ini dimaknai sebagai larangan dalam melakukan pembedaan, pengucilan atau pembatasn yang dibuat berdasarkan status jenis kelamin untuk menikmati seluruh kategori hak asasi manusia. b. Prinsip tanggung jawab Negara Prinsip ini dimaknai bahwa penanggung jawab utama dalam pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap hakhak perempuan adalah tangung jawab Negara. c. Prinsip diskriminasi positif Prinsip diskriminasi positif dimaknai sebagai memberikan peluang dan fasilitas kepada perempuan agar mereka secara cepat dapat menukmati kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 2. Instrumen Nasional



Pasca reformasi merupakan tahapan dari penentuan danpenataan aturan secara konsisten yang bersesuaian dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) universal. Pada periode ini ditandai dengan tumbuhnya pemahaman dan kesadaran semua elemen masyarakat bahwa eksistensi HAM merupakan hak dasar yang melekat pada setiap manusia tanpa diskriminasi, yang keberadaanya harus dihormati, dijunjung tinggi dan dipenuhi oleh siapapun. Konsepsi umum ini



terumuskan dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Terdapat beberapa instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) yang terproduksi pasca reformasi, adalah sebagai berikut: 1. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Ketetapan MPR ini merupakan instrumen HAM yang tercipta sebagai akibat kuatnya tuntutan reformasi terhadap penyelesaian pelanggaran HAM. Muatannya bukannya hanya tentang Piagam HAM, tetapi juga memuat amanat kepada Presiden dan lembagalembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan HAM, termasuk mengamanatkan kepada mereka untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan HAM. 2. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 setelah amandemen.



Undang-Undang Dasar 1945 pasca reformasi mengalami amandemen sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001 dan tahun 2002.Instrumentasi Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen ini mengalami perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pasal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) terletak pada bab tersendiri UUD 1945, yaitu Bab XA, di dalamnya terdapat 26 butir ketentuan yang menjamin terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain pasal 28 UUD, pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 lainnya masih banyak yang berdimensi perlindungan dan pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia.Ini menunjukkan dari sisi instrumen perundang-undangan, Negara sudah berpihak kepada Hak Asasi Manusia. Namun demikian, dari sudut implementasi perlu terus dikawal dan dijaga.



Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen, jika dibaca secara komprehensif telah menampung perlindungan dan pemenuhan HAM dari generasi HAM pertama yang berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik, generasi HAM kedua yang berkaitan dengan hak-hak sosial dan ekonomi dan generasi HAM ketiga berkaitan dengan hak-hak kategori kolektif. Namun, demikian amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 masih menuai protes salah satunya pemuatan asas non retroaktif, yaitu asas tidak dapat dituntut atas hukum yang tidak berlaku surut, padahal Indonesia saat itu menghadapi tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu (Sri Astuti, 2005: 21-23). 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.



Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini merupakan instrumen yang pokok yang menjamin semua hak yang tercantum di berbagai instrumen internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM).Undang-undang ini memuat pengakuan dan perlindungan hak-hak yang sangat luas karena banyak ketentuannya yang merujuk pada katagorisasi hak yang ada dalam UDHR, ICCPR, ICESCR, CRC, dan beberapa Lainnya.Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur soal kelembagaan Komnas HAM. Namun demikian, UndangUndang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memiliki kelemahan mendasar, yaitu biasnya pendefinisian hak asasi manusia dan masih meletakkan kewajiban asasi manusia yang semestinya menjadi area hukum pidana. Konsepsi hak asasi manusia dalam undang-undang ini belum membedakan secara tegas antara konsepsi hak asasi manusia dan hukum pidana pada umumnya, sehingga berdampak pada pengkaburan pertanggungjawaban hukumnya.



4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Secara umum, di dalam undang-undang ini mengatur dua hal. Pertama, pengaturan soal perbuatan pidana yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat atas hak asasi manusia danyang kedua, pengaturan soal hukum acara proses pengadilan HAM. Pengaturan soal kategorisasi pelanggaran berat HAM diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 9 yang secara umum rumusannya diambil dari Statuta Roma, sedangkan hukum acara yang diatur meliputi penangkapan, penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, syarat-syarat pengangkatan hakim sampai pada ketentuan eksekusi hukuman pelanggaran. Undang-undang ini juga memiliki kelemahan mendasar, dikarenakan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kategori kejahatan pidana internasional yang ditangani secara langsung oleh Mahkamah Pidana Internasional, dan bukan merupakan yurisdiksi pengadilan HAM (Enny Soeprpato, 2011: 6). Pengadilan HAM berbeda secara konsepsional dengan Mahkamah Pidana Internasional, sama halnya konsepsi HAM berbeda dengan konsepsi pidana. 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.



Pengesahan undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan sebagai bentuk reaksi atas pelanggaran yang dilakukan banyak oknum terhadap anak-anak. Dalam undang-undang salah satunya diatur soal larangan pelibatan anak dalam berbagai kegiatan orang dewasa. Anak harus dilindungi untuk tidak dilibatkan dalam kegiatan politik seperti kampanye, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial dan beberapa lainnya. 6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan



Nasional.



Pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini mengatur soal fungsi dari pendidikan, prinsip-prinsip penyelenggaran pendidikan, tanggung jawab negara terhadap pendidikan dan lainnya. Didalam pasal 11 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemda wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga tanpa diskriminasi. Selanjutnya Pada ayat (2) ditegaskan bahwa pemerintah dan Pemda wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima tahun, dan lain-lainnya. 5. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah



Konstitusi. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi mengatur perihal kedududukan, susunan organisasi, kewenangan Mahkamah Konst it usi, pengangkat an dan pemberhentian hakim Mahkamah Konstitusi dan lainnya. Pada Pasal 10 ditegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final terkait dengan pengujian perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil Pemilu. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sangatlah penting bagi eksistensi perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM, karena banyak hak-hak masyarakat yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 ternyata dilanggar oleh berbagai ketentuan undang-undang.



8. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan



Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang



ini disahkan karena desakan aktifis



perempuan yang selama ini meneriakkan soal diskriminasi dan subordinasi hak-hak kaum perempuan atas kaum laki-laki. Kelebihan dari Undang-Undang ini ialah bahwa perlindungan terhadap korban kekerasan rumah tangga tidak hanya dibebankan kepada polisi tetapi juga diperbolehkannya pertolongan oleh masyarakat. Korban kekerasan berhak untuk mendapatkan perlindungan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan, pendamping dan atau pembimbing rohani (Pasal 39). 9. Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan



Korban. Undang-Undang menjadi jaminan perlindungan keamanan daripada saksi dan korban. Saksi dan korban dalam sejaranya seringkali menjadi terancam hak-hak yang melekat pada dirinya, terutama hak hidupnya. Pengesahan Undang-Undang ini menjadi penegas bahwa negara mempunyai tanggung jawab untuk menjamin terhadap hak-hak saksi dan korban. 10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan



Diskriminasi Ras dan Etnis. Undang-Undang ini memberi penegasan bahwa diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan. Diskriminasi ras dan etnis merupakan satu bentuk pelanggaran HAM sehingga harus dihapuskan.



11. Undang-Undang Nomor19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.



Undang-Undang ini menjawab tentang pentingnya pengaturan hak cipta dari karya setiap manusia. Undang-Undang ini mengatakan bahwa negara memiliki keanekaragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak Cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut. Pengaturan ini menegaskan soal penjiplakan dan berbagai pembalakan satu karya. 12. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan



Informasi Publik. Undang-Undang menjadi landasan tentang jaminan daripada hak kebebasan informasi dan hak akses atas informasi publik. Undang-Undang ini menjadi penguat bahwa tidak saatnya lagi informasi-informasi yang ada di badan-badan publik ditutup-tutupi. Masyarakat mempunyai akses untuk mengetahui terhadap informasi yang dibangun untuk kepentingan publik. 13. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.



Instrumen ini menjadi penegasan bahwa negara mempunyai tanggung jawab terhadap pelayanan setiap warga negara dalam rangka pemenuhan hak-hak kebutuhan dasar mereka tanpa diskriminasi. Undang-Undang-Undang ini sekaligus menegaskan keberadaaan dan eksistensi Ombudsman (UU No. 39 tahun 2008 tentang Ombudsman RI) yang ditetapkan sebaga lembaga negara yang ditugaskan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.



14. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja



atau Buruh. Undang-Undang ini mengatur perihal kebebasan berpedapat, berserikat, berkumpul dari serikat ataupun buruh. Berkaitan dengan ini juga diatur berkaitan dengan ketenagakerjaan (UU No. 13 tahun 2003), tentang penempatan tenaga kerja di luar negeri (UU No. 39 tahun 2004), dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial (UU No. 2 tahun 2004). Secara umum, Undang-Undang ketenagakerjaan di atas mendapatkan kritik yang substansial dari serikat pekerja. 15. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan



Konsumen. Undang-Undang ini menegaskan bahwa terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan atau jasa yang diperolehnya di pasar. Undang-Undang menjamin dengan jelas soal hak dan kewajiban daripada konsumen, termasuk tata cara penyelesaian sengketa konsumen yang bisa dilalui lewat jalur litigasi dan atau jalur non litigasi sesuai dengan kesepakatan antar pihak bersengketa. Selain berbagai instrumen hukum HAM di atas, masih banyak peraturan hukum HAM lainnya yang menjadi media tanggung jawab pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan HAM, sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Perdagangan



Orang. 2. Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. 3. Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi



Pemberantasan Korupsi.



4. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, 5. Undang-Undang Nomor48 tahun 2009 tentang Kekuasaan



Kehakiman, 6. Dan hampir semua undang-undang yang dibentuk di Indonesia mengandung unsur-unsur penghormatan terhadap HAM. Dalam konteks ini instrumen hukum HAM berarti sangat banyak tergantung pada kategorisasi, pertama, ada atau tidaknya dimensi perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM dalam instrumen hukum tersebut.Pasca jatuhnya rezim Orde Baru, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi beberapa hukum internasional yang berarti bahwa pemerintah Indonesia telahmenyatakan kesediaannya untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional tersebut.Ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak penandatangananratifikasi dilakukan oleh negara bersangkutan (pasal 2 Konvensi Wina 1969). Berikut ini adalah tabel konvensi int ernasional yang telah dirat ifikasi olehpemerintah Indonesia pasca reformasi (Eko Prasetyo, 2008: 127135):



4.



5.



6.



7.



8.



9.



10.



International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966/23 Maret 1976) ILO Convention No. 87 Concerning Freedom of Association and Protection of the Right to Organize (9 Juli 1948/4 Juli 1950) ILO Convention No. 105 Concerning the Abolition of Forced Labor (25 Juni 1957/17 Januari 1959) ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age For Admission to Employment (26 Juni 1973/19 Juni 1976) ILO Convention No. 111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Accupation (25 Juni 1958/15Juni 1960) ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labor (17 Juni 1999/ 19 November 2000) ILO Convention No. 81 Concerning Labor Inspection in Industry and Commerce (11 Juli 1947/7 April



(Aksesi) 23 Februari 2006



Undang-Undang Nomor 12 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak HakSipil dan Politik (28 Oktober2005)



(Ratifikasi) 9 Juni 1998



Keppres Nomor 83 Tahun 1998tentang Pengesahan Konvensi Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikatdan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi (22 Juni 1998)



(Ratifikasi) 7 Juni 1999



Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentangPengesahan Konvensi ILO MengenaiPenghapusan Kerja Paksa (7 Mei1999)



(Ratifikasi) 7 Juni 1999



Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentangPengesahan Konvensi ILO MengenaiUsia Minimum Untuk DiperbolehkanBekerja (Ratifikasi) Undang-Undang Nomor21 7 Juni 1999 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan danJabatan (7 Mei 1999) (Ratifikasi) Undang-Undang Nomor 1 28 Maret 2000 Tahun 2000 tentang Pengesahan II Konvensi No. 183Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-BentukPekerjaan Terburuk Untuk Anak (8Maret 2000)



(Ratifikasi) 29 Januari 2004



Undang-Undang Nomor 21 tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan (25 Juli 2003)



12.



Disahkan Protocol Against The Smuggling Of Migrants 16 Maret2009 By Land, Sea And Air, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime



13.



Instrument For The Amendment Of The Constitution Of The International Labour Organisation, 1997



14.



Convention on the Rights of Person with Disabilities



Ditetapkan 18 Maret 2010



Ratifikasi



Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran MelaluiDarat, Laut, Dan Udara, MelengkapiKonvensi Perserikatan BangsaBangsaMenentang Tindak PidanaTransnasional Yang Terorganisasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengesahan Instrumen Perubahan Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional, 1997. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas



D. BENTUK PELANGGARAN DAN PENGADILAN HAK



ASASIMANUSIA 1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia



Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan pengertian dari Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.



Kejahatan genosida sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, adalah kejahatan yang dilakukan dengan cara: a) Membunuh anggota kelompok. b) Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok. c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan



mengekibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya. d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke



kolompok lain. Kejahatan terhadap manusia adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap masyarakat sipil. Penggolongan kejahatan terhadap manusia terdapat di dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Adapun penggolongannya adalah sebagai berikut: a) Pembunuhan. Pemusnahan. c) Perbudakan. d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. b)



e) Peampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain



secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas pokok hukum internasional. f) Penyiksaan. g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa



dalam bentuk –bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. i) Penghilangan orang secara paksa, dan j)



Kejahatan apartheid.



2. Pengadilan Hak Asasi Manusia



Pengadilan Hak Asasi Manusia di bentuk berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa Pengadilan HAM adalah salah satu sarana untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia.



Ilustrasi: Instrumen hukum sudah lengkap. Perlu upaya lebih dari pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Sumber foto: Antara



Pada bagian pertimbangan dan penjelasan dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia memberikan landasan pembentukan pengadilan HAM. Beberapa pertimbangan yang tercantum di dalam undang-undang tersebut secara eksplisitdisebutkan sebagai berikut: a) Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati



melekat pada dirimanusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. b) Bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hakasasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan amankepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan HakAsasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuaidengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dinyatakan beberapa pokok pikiran yang berkaitan dengan pembentukan pengadilan Ham, Yaitu: a) Pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilanm HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. b) Bertitik tolak dari perkembangan hukum, ditinjau dari kepentingan nasional maupun kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusai yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuknya Pengadilan HAM yang merupakan Pengadilan Khusus bagi pelanggaran HAM yang berat.



Pengadilan Ham dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. E. KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILISIACEH



Komisi Kebenaran dan Rekonsilisi Aceh yang disingkat KKR Aceh, merupakan perwujudan Pasal 228 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang menyebutkan bahwa untuk memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah UndangUndang ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka KKR Aceh adalah sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran, pola motif atas pelanggaran HAM ringan dalam konflik bersenjata di Aceh selama dua masa tahapan, tahapan pertama dimulai dari tanggal 4 Desember 1976 sampai dengan tanggal 15 Agustus 2005 dan, tahapan



Salah satu upaya KKRA mengungkapkan kasus pelanggaran HAM di Aceh adalah dengan menggelar rapat dengar kesaksian dugaan pelanggaran HAM.



kedua sebelum tanggal 4 Desember 1976. Jika adanya pelaporan selama perihal motif pelanggaran HAM oleh masyarakat selama dua periode tersebut Pihak KKR berhak untuk merekomendasikan, menindaklanjuti, merekomendasikan reparasi dan melaksanakan rekonsiliasi. Dalam melaksanakan kerja KKR Aceh berasaskan keislaman, Ke-Acehan, Independensi, Imprasi, non diskriminasi, demokratisasi, berkeadilan dan kesetaraan, serta adanya kepastian hukum. Adapun maksud dari pada azas-azas sebagaimana disebutkan adalah sebagai berikut: 1) Asas keislaman adalah Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi dalam



proses penungkapan kebenaran haruslah sesuai dengan tuntunan agama Islam. 2) Asas keacehan merupakan proses pengungkapan kebenaran harus memperhatikan kearifan lokal dan menjunjung tinggi adat-istiadat Aceh. 3) Asas Imparsial adalah kemampuan KKR dalam menyelesaikan perkara HAM di Aceh untuk bertindak secara utuh tanpa melakukan satu pemihakan padasatu atau lain pihak. 4) Asas Non-diskriminasi adalah KKR Acehbekerja dengan tidak



melakukan pembedaan atau pengecualianatas dasar gender, ras, keyakinan, agama, etnis dan pembedaanlainnya; 5) Asas Demokratisasi dalam menyelesaikan perkara HAM di Aceh harus melindungi hak-hak dari para pihak demi kepentingan bersama. 6) Asas keadilan dan kesetaraan proses pengungkapan kebenaran yang



ada haruslahmemperhatikan keadilan dan kesetaraan semua pihak. 7) Asas kepastian hukum, dalampengungkapan kebenaran berdasarkan landasan PeraturanPerundang-undangan, kepatutan, dan keadilan.



Terdapat beberapa tujuan dari pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilisi adlah sebagai berikut: 1) Memperkuat perdamaian dengan mengungkapkan kebenaran



terhadappelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. 2) Membantu tercapainya rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM baik itu perorangan maupun lembaga dengan para korban, dan 3) Merekomendasikan raparasi menyeluruh bagi korban pelanggaran HAM, sesuai dengan standar universal yang berkaitan dengan hakhak korban. Tujuan Rekonsiliasi yang di muat pada Pasal 33 Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh adalah sebagai berikut: 1) Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan menghilangkan



dendam antara korban/keluarga korban danpelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa. 2) Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian. 3) Mencegah berulangnya konflik, dan 4) Menjaga keutuhan wilayah Aceh. F. REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH



Rekonsiliasi berasal dari kata reconciliation yang artinya perdamaian, perukunan kembali.Menurut Bristol dan Carol (1999: 159), berdamai kembali berarti menyelaraskan atau menyelesaikan suatu ketidakcocokan.Menurut Teuku Muttaqin Mansur (2017: 147) perdamaian adat merupakan suatu proses suatu peristiwa atau perbuatan yang memberikan dampak terhadap ganguan keseimbangan (reaksi) di dalam kehidupan bermasyarakat dan dipulihkan kembali dengan cara merukunkan kembali kedua belah pihak yang bersengketa melalui upacara adat.



Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Aceh, adalah: a) Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan menghilangkan



dendam antara korban, keluarga korban dan pelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa. b) Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian. c) Mencegah berulangnya konflik, dan



d) Menjaga keutuhan Wilayah Aceh. Pasal 34 Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Aceh menyebutkan mekanisme rekonsiliasi pada tingkat Gampong atau Kecamatan dalam rangka mengungkapkan kebenaran, pengakuan dan pengampunan yang berbasis kearifan lokal di Aceh adalah sebagai berikut: 1)



Proses rekonsiliasi harus diperlihatkan dan disaksikan Keuchik,



Teungku Imum, Imum Mukim, Tuha Peut, Tuha Lapan, Aparatur Gampong, Lembaga Adat setingkat Gampong atau Setingkat Mukim. 2) Mempertemukan dan Melakukan mediasi antara pelaku dan korban. 3) Jika para pihak sudah sepakat untuk berdamai, maka pelaku pelanggaran HAM memohon maaf kepada korban terbuka. Dalam permohonan maaf pelaku juga diharuskan utukk berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya dan pelaku diharuskan untuk membayar biaya restitusi sebagaimana telah diperjanjiakan oleh kedua belah pihak. 4) Penerimaan penyataan maaf oleh korban secara terbuka. Pada umumnya metode penyelesaian sengketa yang dilakukan secara turun-temurun dalam kearifan lokal masyarakat Aceh dilakukan melalui (1). Di'iet atau diyat dalam istilah syariat Islam bermakna pengganti jiwa atau anggota tubuh yang hilang atau rusak dengan harta,



baik harta bergerak atau harta tidak bergerak. (2). Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban atau ahli waris korban. (3). Suloh berasal dari kata Al-Shulhu atau Ishlah adalah upaya perdamaian antar pihak yang bersengketa atau konflik. (4). Peusijuk adalah Tradisi ini biasanya dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan. Dan (5). Peumat Jaroe merupakan suatu kegiatan berjabat tangan antara para pihak yang bersengketa. Peumat Jaroe biasanya dilakukan pada tahap akhir yang menandakan para pihak sudah saling memaafkan.



RANGKUMAN Hak Asasi Manusia adalah hak yang bersifat kodrati yang diberikan oleh tuhan kepada manusia yang harus dijunjung tinggi, dihargai, dihormati demi tercapainya hak tertinggi dari harkat dan martabat, kesejahteraan kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan bagi seluruh masyarakat di dunia. Perkembangan penting pada perumusan ide pokok dari hak asasi manusia di dunia adalah sebagai berikut. Pertama, pada 15 Juni 1215 munculnya perjanjian Magna Charta, Kedua, di tahun 1628 terbitnya Bill of Right. Ketiga, lahirnya The Declaration of Independence. Keempat,munculnya Declaration of The Right of Man and The Citizen (Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia dan Warga Negara). Terdapat 10 dokumen penting di dunia internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia yaitu: (1). Universal Declaration on Human Right (UDHR). (2). International Convenant on Civil and Political Rights (ICRP). (3). International Convenant on Economic Social and Culture Rights (ICESCR). (4). International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Descrimination (CERD). (5). Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts



Women(CEDAW. (6). Convention Againts Torture and Other Cruel, In Human or Degrading Treatment of Punishment (CAT). (7). Convention on the Rights of the Child (CRC). (8). Convention on the Protection for Migrant Workers and Their Families(CMW). (9). Convention on the Rights of Persons with Dissabilities(CRPD). (10). International Convention for Protection of All Persons from Enforced Disappearence (CEO). Sedangkan instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) pada tingkat nasional terdiri atas: (1). TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. (2). UUD 1945. (3). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (4). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. (5). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (6). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (7). Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. (8). Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (9). Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. (10). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. (11). Undang-Undang Nomor19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. (12). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. (13). UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. (14). UndangUndang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Buruh. (15). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penggolongan atas pelanggaran dari hak asasi manusia terdiri atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadapa kemanusiaan. Kejahatan genosida merupakan perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian bangsa, ras, kelompok



dan etnis dengan cara membunuh yang mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota kelompok. Sedangkan kejahatan terhadap manusia meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perbudakan seksual, penghilangan orang secara terpaksa dan kejahatan apartheid. Hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh merupakan amanat dari Pasal 228 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. KKR Aceh memiliki kewenangan untuk melakukan rekonsiliasi, perkara pelanggaran yang bersifat ringan di Aceh. Adapun tujuan dari rekonsiliasi tersebut adalah sebagai berikut: 1) Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan menghilangkan



dendam antara korban, keluarga korban dan pelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa. 2) Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian. 3) Mencegah berulangnya konflik, dan 4) Menjaga keutuhan wilayah Aceh.



SOAL 1. Munculnya perjanjian Magna Charta pada tahun A. 1214 B. 1215 C. 1224 D. 1225 4. Bill Of Right lahir pada tahun ... A. 1628 B. 1623 C. 1658 D. 1653



3.



Berikut ini yang tidak termasuk ciri ciri kasus yang tergolong pelanggaran HAM adalah ... A. Kejahatan kejahatan perang B. Perusakan kulitas lingkungan C. Pembunuhan besar besaran D. Penipuan



4. Kejahatan genosida diatur dalam Pasal ... A. 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 B. 8 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 C. 8 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2001 D. 8 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2001 5. Pengadilan HAM diatur dalam Undang Undang Nomor … A. 25 tahun 2000 B. 26 tahun 2001 C. 26 tahun 2000 D. 25 tahun 2001 6.



Hak-hak dasar yang dimiliki manusia semenjak lahir sebagai anugerah dari Tuhan dinamakan ... A. Hak alami B. Hak asasi C. Kewajiban asasi D. Hak kodrati



3. Pengakuan HAM yang dikenal dengan sebutan universal declaration



of human right mendapat persetujuan dari PBB pada tanggal… A. 10 desember 1945 B. 24 oktober 1945 C. 15 agustus 1945 D. 10 nopember 1945 4. Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan



yang sistematis dan meluas yang diketahuinya bahwa serangan tersebut diperlihatkan secara langsung terhadap masyarakat sipil merupakan kejahatan … A. Perdata B. Genosida



A. Kemanusiaan B. Criminal 3. Dalam melaksanakan kerja KKR Aceh berasaskan ... A. Keislaman, Ke-Acehan, Independensi, Imprasi. B. Non Diskriminasi, Demokratisasi, Berkeadilan. C. Kesetaraan, Serta Adanya Kepastian Hukum. D. A, B dan C Benar. 4. Tujuan Rekonsiliasi pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh



di atur pada ... A. Pasal 3 Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 B. Pasal 13 Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 C. Pasal 23 Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 D. Pasal 33 Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013



DAFTAR PUSTAKA A. Ubaidillah,dkk. 2000,Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta, IAIN Jakarta Press. Abdulgani, Ruslan. 1979. Pengembangan Pancasila di Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu. Abdullah, Rozali. 1984. Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa. Jakarta: CV. Rajawali. Abul A'la Al Maududi, 1990.Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam, Bandung, Mizan. Agus, Irianto Maladi. 2015.Interaksinisme Simbolik: Pendekatan Antropologis Merespon Fenomena Keseharian. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri. Ahmad, Amrullah, dkk. 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Depok: Gema Insani. Aida. 2005. Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang Individu dan Komunitas. Jurnal Demokrasi Volume IV Nomor 2. Ali, As'ad Said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES. Ali, Perveen Saukat. 1978.The Political Philosophy of Iqbal. Lahore: Anorkali. Aminuddin Ilmar, 2014.Hukum Tata Pemerintahan, Prenadamedia Group, Jakarta. Anshory, HM. Nasruddin. 2008. Bangsa Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan. Yogyakarta: LkiS. Bagir Manan, 2004.Perkembangan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta. --------------, Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia, Makalah pada Temu Ilmiah Nasional, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 6 April 1999. Bagus, Lorens, 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bagus. 1996.Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. Bakry, Noor Ms, 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Beddy, Marsudi Iriawan. 2016.Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara teoritik dan Empirik. Jakarta: Rajawali Press. Budiardjo, Miriam. 2007. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Budisantoso, H. 1997.Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dalam Kehidupan Nasional dan Perencanaan Pembangunan. Jurnal Ketahanan Nasional Nomor II (3), Desember 1997. Yogyakarta: Gadjahmada University Press. Busroh, Abu Daud, 1994. Kapita Selekta Hukum Tata Negara. Jakarta: Rineka Cipta. ----------------------, 2001. Ilmu Negara. Jakarta: PT. Bumi Aksara. . Chaidar, Al. 1998. Reformasi Prematur: Jawaban Islam terhadap Reformasi Total. Jakarta: Darul Falah. Cholisin, 2000, IKA-PKN. Buku ajar Universitas Terbuka, Jakarta. Dahl, Robert A. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition.New Haven: Yale University Press. Dahlan Thaid, dkk, 2013, Teori Dan Hukum Konstitusi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Darmodihardjo. 1979. Pancasila suatu Orientasi Singkat: Dilengkapi dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978). Jakarta: Balai Pustaka. Darsono. 2007. Karl Marx: Ekonomi Politik dan Aksi Revulosi. Jakarta: Diadit Media. Depdikbud. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dir Belmawa Dirjen dikti Depdiknas Kemendikbud. 2013. Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Jakarta: Dir Belmawa Dirjendikti Depdiknas Kemendikbud. Dirjen Belmawa. 2016. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Cet.1. Jakarta: Kemenristekdikti. Edman. 2007. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung: Alfabeta. Effendy, Onong Uchjana. 2007.Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Fatah, Eep Saefulah. 1999. Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.



Fitra Arsil, 2017. Teori Sistem Pemerintahan, Raja Grafindo Persada: Jakarta. Haynes, Jeff, 2000. Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga: Gerakan Politik Baru Kaum Terpinggir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hunger, David dan Thomas L. Wheelen. 2003.Manajemen Strategi. Yogyakarta: Andi Offset. Huntington, Samuel P, 1994. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Grafiti. -------------------------, 1995. Gelombang Demokratisasi Ketiga, Terjemahan oleh Asril Marjohan dengan judul asli The Third Wave: Democratization In The Late Twentieth Century. Jakarta: Grafiti, -------------------------, 2001. Benturan Antara Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam. Jimly Asshiddiqie, 1996. Pergumulan Peran dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI Press. Jakarta. ---------------------, 2005.Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005. ---------------------, 2005.Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta. ---------------------, 2006.Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press: Jakarta. ---------------------, 2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu. Jakarta. ---------------------, 2015.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Jurdi, Fatahullah, 2014. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. -------------------, 2016. Sejarah Politik Indonesia Modern; Kajian Politik, Politik Islam, Pemerintahan, Demokrasi dan Civil Society di Indonesia. Yogyakarta: Calpulis. Kaelan, 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma. --------, 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma. --------, 2012. Problem Epistimologis Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Yogyakarta: Paradigma. --------, 2013. Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma.



--------,2002. Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Paradigma. Kamil, Sukron, 2002. Islamdan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis. Jakarta: Gaya Media. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama Edisi III, Jakarta, Balai Pustaka. Kemendikbud, 2015. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMP/Mts Kelas IX. Jakarta: Kemendikbud. Khairon, dkk., 1999, Pendidikan Politik bagi Warganegara, Yogyakarta, LKIS. Koentjaraningrat, 2004. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kristeva, Nur Sayyid Santoso, 2015. Sejarah Ideologi Dunia. Yogyakarta: Lentera Kreasindo. Moh. Mahfud MD, 2000. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta. Mulyantoro, Heru. 2012. “Quantum Lead Pancasila,Membangun Peradaban Bangsa dengan Karakter Tuhan Yang Maha Esa”. Makalah pada Kongres Pancsila IV di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 31 Mei-1 Juni 2012. Notonagoro, 1975. Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjoran Tudjuh. -------------, 1967. Beberapa Hal mengenai Falsafah Pancasila: Pengertian Inti-Isi Mutlak daripada Pancasila Dasar Falsafah Negara, Pokok Pangkal Pelaksanaan secara Murni dan Konsekuen. Cetakan kedua. Jakarta: Pancuran Tudjuh. Nurtjahjo, Hendra. 2006. Filsafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara. Oesman dan Alfian. (ed). 1990. Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat. Pabotinggi, Mochtar. 2006. Pancasila sebagai Modal Rasionalitas Politik. Disampaikan dalam Simposium dan Sarasehan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa tanggal 14-15 Agustus 2006. Yogyakarta: Kerjasama UGM, KAGAMA, LIPI, dan LEMHANNAS. Purnomo, Setiawan Hari. 1996.Manajemen Strategi: Sebuah Konsep Pengantar. Jakarta: FEUI.



Ramly, Andi Muawiyah. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx(Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis). Yogyakarta: Lkis. Sahdan, Gregorius. 2004. Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto. Yogyakarta: Pondok Edukasi. Salam, Burhanuddin. 1988. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Bina Aksara. Sarbini. 2005. Islam di Tepian Revolusi: Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta: Media. Schumpeter, 1987. Capitalism, Socialism and Democracy. Harper: Harpercollin Publisher Ltd. Sekretariat Negara. 1995. Risalah Sidang BPUPKI. Jakarta: Sekneg. Setiardja, Gunawan. 1993. Hak Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Kanisius. Sosronegoro, Herkutanto. 1984 . Beberapa Ideologi dan Implementasinya dalam Kehidupan Kenegaraan. Yogyakarta: Liberty. Sri Suemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, Alumni. Suseno. 1986. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia. Sutrisno. Slamet. 2006. Pancasila Sebagai Ideologi Sebuah Bidang Ilmu atau Terbuka. Yogyakarta: ANDI. Thoyib, Armanu. 2005.Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi, dan Kinerja: Pendekatan Konsep. Malang: Jurnal Staf Pengajar FE Unibraw. Tim ACCE UIN Jakarta, 2003, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta, Prenada Media Grup.Varma, S.P., 2003, Teori Politik Modern, Jakarta, Rajawali Press. Winarno, 2009, Paradigma Baru, Pendidikan Kewarganegaraan, Panduan Kuliah Di Perguruan Tinggi,Edisi Kedua, Jakarta, Bumi Aksara. Wirjono Projodikoro, 1989, Asas-Asas Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Dian Rakyat. Yana, Hijri S. 2016.Politik Pemekaran di Indonesia. Malang: UMM Press.



KUNCI JAWABAN 1. 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 2.



KUNCI JAWABAN BAB I B A B C A A D C D A KUNCI JAWABAN BAB II



1) A 2) D 3) D 4) C 5) A 6) B 7) C. 8) C 9) D 10) B 3.



KUNCI JAWABAN BAB III 1) B 2) A 3) D 4) E 5) D 6) A 7) E 8) C 9) B 10) C



4. KUNCI JAWABAN BAB IV 1) A 2) C 3) D 4) B 5) E 6) B 7) E 8) D 9) C 10) D 11) C 1. KUNCI JAWABAN BAB V



1. D 2. D 3. C 4. D 5. A 6. C 7. C 8. C 9. D 10. C 2. KUNCI JAWABAN BAB VI 1) B 2) D 3) A 4) D 5) C



6) E 7) B 8) C 9) A 10) E 3.



KUNCI JAWABAN BAB VII 1) B 2) D 3) A 4) D 5) A 6) A 7) C 8) B 9) D 10) B 11) B 12) C 13) B 14) C



4. KUNCI JAWABAN BAB VIII 1) B 2) C 3) B 4) C 5) A 6) D 7) A



8) C 9) D 10)C 1. KUNCI JAWABAN BAB IX 1) B 2) A 3) D 4) A 5) C 6) B 7) A 8) C 9) D 10) D



PROFILSINGKATTIM PENULIS DAN PENYUNTING TIM PENULIS:



RIA FITRI, S.H., M.Hum, lahir di Banda Aceh pada 21 Januari 1966. Pendidikan Sarjana Strata satu (S1) di Fakultas Hukum Univer s it as S yiah Kuala t ahun 1990 . Melanjutkan Pendidikan S2 Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan bidang Hukum Agraria, tamat pada tahun 2000. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi program doktor (S3) spesialis Hukum Agraria pada Universitas Syiah Kuala. Pengalaman pekerjaan, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala sejak tahun 1992. Koordinator Mata Kuliah MKU- PPKN pada Universitas Syiah Kuala tahun 2016 sampai sekarang. Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Aceh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI tahun 2014 sampai sekarang. Majelis Pemeriksa Daerah Notaris tahun 2016 sampai sekarang. Organisasi, Sekretaris Umum Himpunan Pengajar HTN- H AN Se Aceh, t ahun 2016 sampai sekarang. Email: riafi[email protected]. DR. TEUKU MUTTAQIN MANSUR, M.H., lahir di Meunasah Mulieng, Kemukiman Beuracan, Meureudu, Pidie Jaya pada 5 September 1979. Sejak tahun 2008, telah mengabdikan diri pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Ia menamatkan Program Doktoral (S3) pada Fakulti Undang-Undang Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 2015. Selain dosen tetap Fakultas Hukum, ia juga mengampu Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) Pendidikan



Pancasilan Kewarganegaraan (PPKn) pada UPT MKU Universitas Syiah Kuala. Email: [email protected]



RUSLAN, lahir di Tanjung Balai, Asahan 03 Februari 1976 adalah dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, mengajar di jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Alumnus FKIP Universitas Syiah Kuala (2001) ini meraih gelar Magister of Education (2009) dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Mengampu beberapa mata kuliah, diantaranya Strategi Pembelajaran dan Media PPKn, Perencanaan Pembelajaran PPKn, Evaluasi Pembelajaran PPKn, Statistika, Psikologi Pendidikan, Psikologi Kepribadian, dan pengampu Mata Ku l i a h Wa j i b U mu m ( MK W U ) Pe n d i d i k a n Pa n c a s i l a Kewarganegaraan (PPKn) pada UPT MKU Unsyiah. Ia juga aktif mengikuti seminar workshop, diskusi baik lokal, nasional maupun internasional serta menjadi narasumber untuk pelatihan-pelatihan guru. Email: [email protected].



HASBIALI, lahir di Sinabang, Aceh pada 22 November 1970. Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas telah selesai di Sinabang. Setelah lulus SMA, ia lulus dari Program Sarjana di Jurusan Ilmu Sosial dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Banda 1990 dan menyelesaikan studinya pada tahun 1997. Selanjutnya, pada tahun 1999 ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Gadjah



Mada dengan konsentrasi pada Pengkajian Ketahanan Nasional dan selesai pada tahun 2002. Sejak tahun 2005 hingga sekarang, ia telah menjadi dosen tetap di Program Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan mengasuh berbagai mata kuliah yang terkait dengan pengetahuan kewarganegaraan. Selain itu, juga aktif mengajar di UPT MKU Universitas Syiah Kuala. Email: [email protected]



BASRI EFFENDI, lahir di Lamreung Aceh Besar, 21 April 1983. Ia lulus dengan gelar Sarjana di Departemen Hukum di Universitas Syiah Kuala pada tahun 2008. Ia meraih gelar master di Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala pada tahun 2008. Pada tahun 2012, ia menyelesaikan program magisternya di F akult as Hukum Sumat era Ut ara dan menyelesaikannya pada tahun 2014. Dari tahun 2015 hingga saat ini, ia bekerja sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala yang kepentingannya ada di Notaris program. Sekarang dia adalah dosen di Program Hukum Administrasi Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala. Email: basrief



PENYUNTING: PROF. DR. DASIM BUDIMANSYAH, M.SI, lahir di Sumedang pada 16 Maret 1962. Ia adalah Profesor bidang Sosiologi Kewarganegaraan pada Departemen Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Sosiologi, Fakultas Pendidikan Ilmu Penget ahuan Sosial, Univer sit as Pendidikan Indonesia. Pengalaman yang luas dalam pengembangan kurikulum, pembelajaran, dan perbukuan utamanya untuk bidang pendidikan kewarganegaraan, pendidikan karakter, ilmu sosial dan humaniora. Selama dua dekade terakhir, ia mengembangkan model pembelajaran bebasis portofolio yang digunakan sebagai suatu pendekatan untuk mengembangkan karakter. Selain itu, saat ini, ia menjabat sebagai Deputy Direktur Pusat Kajian Australia (PSA) dan Pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila d an Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI). Ema il: [email protected].



DR. RUSLI YUSUF, M.PD, lahir pada 10 Februari 1957 di Pidie, Aceh. Pendidikan Strata Satu (S1) di FKIP Universitas Syiah Kuala lulus pada tahun 1983, gelar Master Pendidikan (M.PD) ia peroleh pada tahun 1991 di IKIP Jakarta. Melanjutkan Program Doktoral (S3) pada tempat yang sama dan lulus pada tahun 2001. Saat ini, ia tercatat sebagai dosen FKIP Unsyiah sejak tahun 1985. Pernah menduduki jabatan Wakil Rektor Bidang Akademik selama 2 periode secara berturut-turut, yaitu periode 2007-2010 dan periode 2010-2014. Sejak



2014, ia dipercayakan sebagai Ketua Asosiasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI) Indonesia Wilayah Aceh. Email: [email protected].



DR. Dra. SULASTRI, M.Si, lahir pada 11 Agustus 1968 di Kabupaten Bireuen, Aceh. Anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H. M. Syah Tgk. Abdur Rauf (alm) dan Ibu Hj. Yusnidar Ahmad (almh). Dosen pada FKIP Unsyiah sejak 1992. Pendidikan Strata Dua (S2) ia tempuh pada Jurusan Kimia FMIPA USU Medan tahun 1997-1999 dengan konsentrasi bidang Kimia Organik dengan predikat cumlaude. Meraih gelar Doktor dalam bidang General Education (GE) pada Sekolah Pascasarjana UPI Bandung pada tahun 2016. Buku ber-ISBN yang telah dituliskan adalah Kimia Dasar 1 (2017) dan Nilai dalam Pembelajaran Kimia (2018). Dalam 3 tahun terakhir, aktif mengintegrasikan nilai-nilai GE ke dalam kegiatan perkuliahan di Universitas Syiah Kuala. Email: [email protected].