16 0 756 KB
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Dalam arti sempit farmakokinetika khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrsi dari obat dan metabolitnya di dalam darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu. Tubuh kita dapat dianggap sebagai suatu ruangan besar, yang terdiri dari beberapa kompartemen yang terpisah oleh membran-membran sel. Sedangkan proses absorpsi, distribusi dan ekskresi obat dari dalam tubuh pada hakekatnya berlangsung dengan mekanisme yang sama, karena proses ini tergantung pada lintasan obat melalui membran tersebut (Tjay dan Rahardjo, 2002). Farmakokinetika obat dapat diilustrasikan dalam model yang dikenal dengan istilah model farmakokinetika atau kompartemen. Model farmakokinetik sendiri dapat memberikan penafsiran yang lebih teliti tentang hubungan kadar obat dalam plasma dan respons farmakologik. Salah satu model kompartemen yang biasa digunakan untuk perhitungan farmakokinetika adalah model kompartemen satu terbuka. Konsep dasar dari farmakokinetika adalah salah satunya memahami parameter-parameter farmakokinetika, yaitu parameter farmakokinetika primer meliputi volume distribusi (Vd), klirens (Cl), dan kecepatan absorpsi (Ka), sedangkan paramater farmakokinetik sekunder meliputi kecepatan eliminasi (Ke) dan T1/2 dan turunan meliputi AUC dan Css. Dengan konsep-konsep tersebut dilakukan simulasi in-vitro dengan menggunakan suatu model farmakokinetika untuk mengukur parameter –parameter farmakokinetika dan lebih memahami setiap parameternya. Oleh sebab itu dilakukan simulasi in vitro dengan menggunakan suatu model farmakokinetika untuk mengukur parameter-parameter farmakokinetika.. Mempelajari ilustrasi model kompartemen secara teoritis perlu didukung dengan
aplikasi untuk lebih memudahkan pemahaman mahasiswa. Pada praktikum ini dilakukan praktikum model farmakokinetika dengan bahan rhodamin B. Rhodamin diibaratkan sebagai obat yang beredar di dalam tubuh. Dengan begitu, mahasiswa dapat lebih jelas memahami bagaimana kinerja obat di dalam tubuh sesuai dengan teori model farmakokinetika.
1.2 Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui perhitungan parameter farmakokinetika berdasarkan simulasi in-vitro model farmakokinetika (kompartemen satu terbuka).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Model Farmakokinetika Model
farmakokinetik
merupakan
model
matematika
yang
menggambarkan hubungan antara dosis dan konsentrasi obat dalam setiap individu. Parameter dari model menggambarkan faktor-faktor yang dipercaya penting dalam penentuan observasi dari konsentrasi atau efek obat. Parameter tersebut antara lain terdiri dari beberapa parameter antara lain parameter primer yang terdiri dari volume distribusi (Vd); klerens (Cl); dan kecepatan absorbsi (Ka), parameter sekunder terdiri dari kecepatan eliminasi (K); dan waktu paruh (T1/2), serta parameter-parameter turunan. Model farmakokinetik tersebut mempunyai aplikasi langsung untuk terapi obat berkenaan dengan menentukan aturan dosis yang sesuai (Aiache, 1993). Kompartemen adalah suatu kesatuan yang dapat digambarkan dengan suatu volume tertentu dan suatu konsentrasi. Perilaku obat dalam sistem biologi dapat digambarkan dengan kompartemen satu atau kompartemen dua. Kadangkadang perlu untuk menggunakan multikompartemen, dimulai dengan determinasi apakah data eksperimen cocok atau pas untuk model kompartemen satu dan jika tidak pas coba dapat mencoba model yang memuaskan. Sebenarnya tubuh manusia
adalah
model
kompartemen
multimillion
(multikompartemen),
mengingat konsentrasi obat tiap organel berbeda-beda. (Hakim, L., 2014). Model kompartemen yang sering digunakan adalah model kompartemen satu terbuka, model ini menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama dengan berbagai waktu. Di samping itu, obat di dalam tubuh juga tidak ditentukan secara langsung, tetapi dapat ditentukan konsentrasi obatnya dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh (Shargel, 1988). Jika tubuh diasumsikan sebagai satu kompartemen, tidak berarti bahwa kadar obat sama di dalam setiap jaringan atau organ, namun asumsi yang berlaku pada model tersebut ialah bahwa perubahan kadar obat di dalam darah
mencerminkan perubahan kadar obat di jaringan. Lalu eliminasi (metabolism dan ekskresi) obat dari tubuh setiap saat sebanding dengan jumlah atau kadar obat yang tersisa di dalam tubuh pada saat itu (Ritschel, 1992). 2.2 Jalur Intravaskuler dan Ekstravaskuler Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular. Pada pemberian secara intravaskular, obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik tanpa mengalami absorpsi, sedangkan pada pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorpsi (Zunilda,.dkk, 1995). Model farmakokinetika untuk obat yang diberikan dengan injeksi
IV
cepat. D: obat dalam tubuh; Vd: Volume distribusi; K: tetapan laju eliminasi. Setelah ditentukan nilai Cp dan K, berbagai parameter farmakokinetik obat yang berkaitan dengan cara pemberian obat secara bolus intravaskuler dapat dihitung, seperti: (Hakim, L, 2014) Volume distribusi (Vd): volume dalam tubuh di mana obat terlarut. Vd = D/Cp Klirens (Cl) Cl = Vd.Ke Waktu paruh eliminasi (t ½) t ½ = 0,693/K Luas di bawah kurva dalam plasma (AUC) AUC= (C1+C0) x (t1-t0) 2 Bioavalaibilitas (ketersediaan hayati) Absorpsi sistemik suatu obat melalui saluran gastrointestinal atau tempat absorpsi lain tergantung sifat fisiko kimia obat, bentuk sediaan, dan anatomi fisiologi tempat absorpsi. Factor-faktor seperti luas permukaan saluran cerna, kecepatan pengosongan lambung, motilitas gastrointestinal, metabolism oleh mikroflora usus, dana aliran darah di tempat absorpsi, semuanya dapat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi (Shargel dkk, 2005). Pada pemberian ekstravaskuler ini terdapat proses absorpsi obat, pada waktu ke 0 tidak ada obat pada sirkulasi sistemik, dan setelah absorpsi konsentrasi
meningkat dan berkurang setelah eliminasi. Bentuk model yang menerangkan kinetik obat setelah pemberian ekstravaskuler adalah (Hakim, L., 2014):
Persamaan yang merangkan perubahan kadar obat dalam darah, plasma, serum, atau sampel hayati lainnya pada tiap waktu (Ct) adalah: (Hakim, L., 2014)
F
= ketersediaan hayati (bioavailabilitas)
Dev
= dosis obat yang diberikan secara ekstravaskular
Dari persamaan terebut dapat diketahui bahwa semakin cepat atau banyak obat yang diabsorpsi masuk ke dalam sistem sirkulasi atau semakin besar dosis, maka semakin cepat dan tinggi kadar obat di dalam darah. Demikian sebaliknya, semakin banyak obat yang terdistribusi ke dalam jaringan, semakin rendah kadar obat di dalam darah.
BAB III METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Adapun alat-alat yang dibutuhkan pada praktikum ini antara lain:
Neraca analitik
Gelas arloji
Spatula
Beaker glass 100 ml
Beaker glass 1 liter
Labu ukur 100 ml
Labu ukur 250 ml
Pipet tetes
Batang pengaduk
Pipet ukur 1 ml
Pipet volume 1,2,3,5 ml
Bola hisap
Spektrofotometer
Tabung reaksi
Rak tabung reaksi
3.2.2 Bahan Adapun bahan- bahan yang digunakan yaitu:
Rhodamin B
Aquades
3.2 Cara Kerja 3.2.1 Pembuatan Larutan Baku Kerja 1. Pembuatan Larutan Baku Induk Rhodamin B Rhodamin B 25 mg
Dimasukkan dalam beaker glass 100 ml
Ditambah sedikit aquades ad larut
Dimasukkan ke labu ukur 250 ml
Ditambah aquades ad tanda batas, dihomogenkan
Hasil
2. Pembuatan Larutan Baku Kerja 0,25 ppm, 100 ml Larutan baku induk 0,25 ml
Diambil 1 mldengan pipet ukur
Dimasukkan ke labu ukur 100 ml
Ditambah aquades ad tanda batas, dihomogenkan
Hasil
3. Pembuatan Larutan Baku Kerja 0,5 ppm, 100 ml Larutan baku induk 0,5 ml
Diambil 1 mldengan pipet ukur
Dimasukkan ke labu ukur 100 ml
Ditambah aquades ad tanda batas, dihomogenkan
Hasil
4. Pembuatan Larutan Baku Kerja 1 ppm, 100 ml Larutan baku induk 1 ml
Diambil 1 mldengan pipet ukur
Dimasukkan ke labu ukur 100 ml
Ditambah aquades ad tanda batas, dihomogenkan
Hasil
5. Pembuatan Larutan Baku Kerja 2ppm, 100 ml Larutan baku induk 2 ml
Diambil 1 mldengan pipet ukur
Dimasukkan ke labu ukur 100 ml
Ditambah aquades ad tanda batas, dihomogenkan
Hasil
6. Pembuatan Larutan Baku Kerja 3 ppm, 100 ml Larutan baku induk 3 ml
Diambil 1 mldengan pipet ukur
Dimasukkan ke labu ukur 100 ml
Ditambah aquades ad tanda batas, dihomogenkan
Hasil
7. Pembuatan Larutan Baku Kerja 5 ppm, 100 ml Larutan baku induk 5 ml
Diambil 1 mldengan pipet ukur
Dimasukkan ke labu ukur 100 ml
Ditambah aquades ad tanda batas, dihomogenkan
Hasil
3.2.2 Rute Intravaskuler Gelas beaker diisi air suling secara kuantitatif untuk nilai Vd
Ditambah dosis obat dengan pipet volume dengan dosis yang ditentukan (diambil dari larutan baku induk)
Diambil sampel dari beaker gelas larutan rhodamin (15 x)
Volume di ad kan lagi dengan air suling
Diukur serapan sampel pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh
Air suling digunakan sebagai blanko
Hitung parameter farmakokinetika
3.2.3 Rute Ekstravaskuler Pada percobaan ini dianggap kadar puncak dicapai pada perembesan ke 45 sehingga percobaan dilakukan dengan pemasukan 4-5, tiap kali 1/3 – ¼ dosis yang digunakan. Gelas beaker diisi air suling secara kuantitatif untuk nilai Vd
Ditambah rhodamin B 1/5 – ¼ ke beaker glass sesuai dengan dosis yang telah ditentukan, dihomogenkan
Diambil sampel larutan rhodamin sebesar nilai cl nya dan segera ganti volume tersebut dengan air suling
Dilakukan prosedur tersebut secara berulang sampai rhodamin masuk
Diukur serapan sampel pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh
Diukur serapan sampel pada panjang gelombang maksimal yang telah diperoleh
Hitung parameter farmakokinetika
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Hasil Spektrofotometri 4.1.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimal
Penentuan panjang gelombang maksimal ( max) dilakukan pada konsentrasi 3 ppm, hasilnya panjang gelombang maksimal dicapai pada nilai panjang gelombang sebesar 554,0 nm. 4.1.2 Tabel Larutan Baku KONSENTRASI
ABSORBANSI
0,25 ppm
0,0329
0,5 ppm
0,0799
1 ppm
0,1759
2 ppm
0,3758
3 ppm
0,5462
5 ppm
0,8978
4.1.3 Kurva Larutan Baku
4.1.4 Data Rute Intravaskular WAKTU (Menit)
ABSORBANSI
KONSENTRASI
LOG KONSENTRASI
OBAT (ppm)
OBAT
0
0,4627
2,569078947
0,40977745
5
0,4805
2,666666667
0,425968732
10
0,4535
2,518640351
0,401166157
15
0,3999
2,224780702
0,347287209
20
0,4383
2,435307018
0,38655372
25
0,4252
2,363486842
0,373553189
30
0,4229
2,350877193
0,371229943
35
0,4061
2,25877193
0,353872382
40
0,3981
2,214912281
0,345356531
45
0,3887
2,163377193
0,335132247
50
0,3634
2,024671053
0,306354474
55
0,3505
1,953947368
0,290912861
60
0,3628
2,021381579
0,305648304
65
0,3401
1,896929825
0,278051265
70
0,3405
1,899122807
0,278553049
4.1.5 Data Rute Ekstravaskular WAKTU (Menit)
ABSORBANSI
KONSENTRASI OBAT
LOG KONSENTRASI
(ppm)
OBAT
0
0,4059
2,257675439
0,353661508
5
0,4383
2,435307018
0,38655372
10
0,4239
2,356359649
0,372241577
15
0,4082
2,270285088
0,356080397
20
0,412
2,291118421
0,360047537
25
0,399
2,219846491
0,346322943
30
0,3886
2,162828947
0,335022174
35
0,3853
2,144736842
0,331374012
40
0,3742
2,083881579
0,318873036
45
0,3608
2,010416667
0,303286076
4.2 Pembahasan Dalam memahami permodelan farmakokinetika, dapat dilakukan simulasi in-vitro. Model kompartemen satu terbuka merupakan model yang umumnya digunakan untuk permodelan farmakokinetika. Pada praktikum kali ini dilakukan simulasi in-vitro model kompartemen satu terbuka dengan reaksi orde kesatu. Simulasi dilakukan baik dalam rute intravaskuler maupun rute ekstravaskuler. Rute intravaskuler dimodelkan untuk obat-obat IV dan rute ekstravaskuler
dimodelkan untuk obat-obat yang biasanya melalui fase absorpsi, seperti obat oral. Sampel yang digunakan adalah rhodamine B. Rhodamine B dianggap sebagai obat yang diberikan melalui rute IV maupun ekstravaskuler. Warnanya yang merah akan mempermudah dalam pengamatan. 4.2.1 Pembuatan Larutan Kurva Baku Langkah pertama yaitu membuatan larutan standar atau baku Rhodamin B dengan konsentrasi bertingkat 0,25; 0,5; 1; 2; 3; 5 ppm dengan pelarut akuades. Larutan standar tersebut kemudian di uji spektroskopi untuk menentukan data absorbansinya dan didapatkan persamaan linier. Selanjutnya yaitu sampel Rhodamin B dimasukkan dalam beaker gelas 100 ml. Rhodamin B dianggap sebagai zat obat dengan pemberian secara injeksi bolus intravena. Proses pembuatan dilakukan dengan cara penimbangan serbuk Rhodamin B sebanyak 25 mg yang dilarutkan dengan aquades pada suatu wadah beaker glass. Larutan dalam beaker glass diilustrasikan sebagai volume distribusi obat dalam tubuh. Volume distribusi (Vd) menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum (Setiawati, 2005). Volume distribusi yang diperoleh mencerminkan suatu keseimbangan antara ikatan pada jaringan, yang mengurangi konsentrasi plasma dan membuat nilai distribusi lebih besar, dengan ikatan pada protein plasma, yang meningkatkan konsentrasi plasma dan membuat volume distribusi menjadi lebih kecil. Perubahan-perubahan dalam ikatan dengan jaringan ataupun dengan plasma dapat mengubah volume distribusi yang ditentukan dari pengukuran-pengukuran konsentrasi plasma (Holford, 1998). Setelah zat Rhodamin B terlarut dalam larutan, dilakukan pengadukan secara terus menerus yang menggambarkan seperti aliran darah yang mengalir dalam tubuh dengan kecepatan konstan. Berdasarkan analisis spektrofotometri dari larutan baku rhodamine B, diketahui panjang gelombang maksimal yakni 554 nm. Selanjutnya analisis dilakukan dalam panjang gelombang 554 nm. Panjang gelombang ini termasuk dalam panjang gelombang visible merah, sesuai dengan penampakan rhodamine B yang berwarna merah keunguan.
Larutan standar rhodamine B dibuat dalam konsentrasi 0,25; 0,5; 1; 2; 3; 5 ppm yang selanjutnya dianalisis dengan spektrofotometer. Hasil dari absorbansi larutan kemudian dibuat kurva konsentrasi vs absorbansi sehingga didapatkan persamaan garis y = 0,1824x – 0,0059. Dari kurva tersebut dapat diketahui kadar rhodamine B dalam cuplikan-cuplikan rute intravaskuler dan ekstravaskuler. 4.2.2 Rute Intravaskuler Rute intravaskuler merupakan rute yang diibaratkan tubuh sebagai satu ruang. Jadi, ketika obat diinjeksikan ke dalam tubuh, maka secara perlahan-lahan obat akan menyebar hingga merata dan terjadi kesetimbangan. Sedangkan rute intravaskuler mengumpamakan tubuh sebagai satu bagian, yang meliputi jalur absorpsi dan ekskresi. Sehingga, ketika obat dimasukkan dalam tubuh, obat tersebut akan melalui proses absorpsi terlebih dahulu hingga mencapai kesetimbangan baru diekskresikan secara bertahap. Masing-masing rute memiliki perhitungan parameter farmakokinetika yang berbeda. Rute intravaskuler ini dilakukan dengan cara melarutkan larutan baku ke dalam beaker gelas, kemudian di ad kan dalam labu ukur 1000 ml. Selanjutnya cairan dalam labu ukur diambil sebanyak 25 ml setiap 10 menit (yang dianggap sebagai proses ekskresi renal). Proses ini disimulasikan sebagai klirens (Cl). Klirens suatu obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Setiap pengambilan cuplikan pada wadah ditambahkan kembali aquades sebanyak 25 ml untuk menggambarkan proses ekskresi obat dari dalam tubuh. Tahap selanjutnya yaitu pengukuran konsentrasi setiap cuplikan dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS untuk menentukan kadar rhodamin B yang diekskresikan per satuan waktu .Cuplikan diukur panjang gelombangnya untuk didapatkan absorbansinya sehingga dapat diketahui konsentrasinya dengan menggunakan data kalibrasi Rhodamin B standar yang telah diketahui sebelumnya. Cuplikan-cuplikan dalam masing-masing rute berjumlah 15 yang diibaratkan proses obat dalam tubuh sejak T0-T70 dengan interval 5. Pada rute intravaskuler, dicari regresi linier dari data dengan plot waktu vs log konsentrasi sehingga didapatkan persamaan garis y = 0,002x + 0,4186. Dari persamaan garis
tersebut dapat ditentukan K, T1/2, Vd, Cl, dan AUC. Hasil perhitungan parameter farmakokinetika adalah sebagai berikut: K = 0,004606 menit-1
Vd = 0,97 L
t ½ = 150,455927 menit
AUC = 156,6393 mgL/menit
Cl = 0,00446782 L/menit Secara teoritis juga dihitung parameter farmakokinetikanya, yakni K, waktu paruh, konsentrasi plasma, dan AUC. Hasil perhitungan secara teoritis adalah sebagai berikut: K = 0,025 menit-1
CO = 2,5 ppm
t ½ = 27,72 menit
AUC = 100 mgL/menit
Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil perhitungan teroritis dan hasil praktik. Hal ini kemungkinan disebabkan dari perlakuan selama simulasi invitro yang kurang maksimal. Sehingga diperoleh nilai absorbansi yang tidak linier. Dari kurva dapat dilihat bahwa kurva rute intravaskuler yang harusnya linier menurun, justru tidak linier sempurna. Menyebabkan perhitungan farmakokinetika tidak sesuai dengan perhitungan secara teoritis. Selama proses pengambilan cuplikan dari beaker glass larutan dimungkinkan tidak berada dalam kondisi homogen. Maka dari itu didapatkan nilai konsentrasi yang tidak linier menurun sesuai dengan kurva yang dimiliki obat-obat IV. 4.2.3 Rute Ekstravakular Tahapan pengambilan cuplikan pada rute ekstravaskuler berbeda dengan rute intravaskuler. Pada rute ekstravaskuler, dosis rhodamine B dibagi menjadi 5 dan ditambahkan satu persatu hingga seluruh dosis digunakan. Baru kemudian penambahan larutan dilakukan dengan aquades. Proses pengambilan cuplikan yang masing ditambah rhodamine B diibaratkan sebagai proses absorpsi dan selanjutnya diibaratkan proses eliminasi Langkah pertama yang dilakukan yaitu beaker gelas diisi dengan air suling secara kuantitatif secara Vd. Larutan dalam beaker glass diilustrasikan sebagai volume distribusi obat dalam tubuh. Kemudian rhodamin B ditambahkan 1/5 – ¼ dosis ke beaker gelas sesuai dengan dosis yang telah ditentukan, lalu dihomogenkan. Sampel rhodamin diambil sebanyak 25 ml kemudian diletakkan di
tabung reaksi. Sampel yang telah diambil, kemudian ditambah dengan aquades sebanyak 25 ml juga. Dilakukan terus sampai 15 kali. Selanjutnya yaitu pengukuran konsentrasi setiap cuplikan dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS untuk menentukan kadar rhodamin B yang diekskresikan per satuan waktu .Cuplikan diukur panjang gelombangnya untuk didapatkan absorbansinya sehingga dapat diketahui konsentrasinya dengan menggunakan data kalibrasi Rhodamin B standar yang telah diketahui sebelumnya. Hasil dari perhitungan parameter farmakokinetika rute ekstravaskular adalah sebagai berikut: Ka = 0,0057575 menit-1
t ½ = 200,6079027 menit
Ke = 0,0034545 menit-1
Vd = 0,97 L
Ktotal = 0,009212 ppm
AUC = 161,7859 mgL/menit
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Simulasi model in vitro farmakokinetika digunakan untuk menguji profil farmakokinetika obat dalam suatu wadah yang digambaran seperti kompartemen darah dalam tubuh sebagai tempat didistribusikan dan dieliminasikannya obat. 2. Nilai-nilai parameter farmakokinetika rhodamine B untuk rute intravaskuler adalah sebagai berikut: K = 0,004606 menit-1 t ½ = 150,455927 menit Cl = 0,00446782 L/menit Vd = 0,97 L AUC = 156,6393 mgL/menit 3. Nilai-nilai parameter farmakokinetika rhodamine B untuk rute ekstravaskuler adalah sebagai berikut: Ka = 0,0057575 menit-1 Ke = 0,0034545 menit-1 Ktotal = 0,009212 ppm t ½ = 200,6079027 menit Vd = 0,97 L AUC = 161,7859 mgL/menit
5.2 Saran Sebaiknya dalam melakukan praktikum, praktikan diberikan buku panduan praktikum agar pada saat melakukan praktikum, praktikan sudah mengetahui dan memahami dengan jelas apa yang akan di praktikumkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aiache, J.M, 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi Edisi ke-2. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. Hakim, L., 2014. Farmakokinetik. Yogyakarta: Bursa Ilmu. Ritschel, W.A. dan Kearns, G.L. 1992. Handbook of Basic PharmacokineticsIncluding Clinical Aplications, 6th ed., Washington: AphA. Shargel, Leon., Yu, Andrew B. C., 2005. Applied Biopharmaceutical and Pharmacokinetics fifth edition. New York: the McGraw-Hill companies. Zunilda, S.B, dan F.D. Suyatna. 1995. Pengantar Farmakologi. Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press.
LAMPIRAN
1. Perhitungan Kadar Rute Intravaskular Y = 0,1824x – 0,0059 a. T0
h. T40
0,4627 = 0,1824x – 0,0059
0,4061 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4686
0,1824x = 0,412
x = 2,569078947 ppm
x = 2,25877193 ppm
b. T5
i. T45
0,4805 = 0,1824x – 0,0059
0,3981 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4864
0,1824x = 0,404
x = 2,666666667 ppm
x = 2,214912281 ppm
c. T10
j. T50
0,4535 = 0,1824x – 0,0059
0,3887 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4594
0,1824x = 0,3946
x = 2,518640351 ppm
x = 2,163377193 ppm
d. T15
k. T55
0,3999 = 0,1824x – 0,0059
0,3634 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4058
0,1824x = 0,3693
x = 2,224780702 ppm
x = 2,024671053 ppm
e. T20
l. T60
0,4383 = 0,1824x – 0,0059
0,3505 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4442
0,1824x = 0,3564
x = 2,435307018 ppm
x = 1,953947368 ppm
f. T25
m. T65
0,4252 = 0,1824x – 0,0059
0,3628 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4311
0,1824x = 0,3687
x = 2,363486842 ppm
x = 2,021381579 ppm
g. T30
n. T70
0,4229 = 0,1824x – 0,0059
0,3401 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4288
0,1824x = 0,346
x = 2,350877193 ppm
x = 1,896929825 ppm
o. T35 0,3405 = 0,1824x – 0,0059 0,1824x = 0,3464 x = 1,899122807 ppm
2. Perhitungan Parameter Farmakokinetika Rute Intravaskular
Teoritis
1. Dosis
4. Konsentrasi Plasma 0 (C0) 𝐶0 =
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑉𝑑
2. Tetapan Laju Eliminasi (K) 5. AUC [𝐴𝑈𝐶]∞ 0 =
𝐷0 𝐾×𝑉𝑑
menit-1 mgL/menit 3. Waktu Paruh
Praktek
1. Tetapan Laju Eliminasi (K) K = 0,2303 x (-slope)
3. Volume Distribusi Vd = D/Cp
= 0,2303 x (0,002)
= 2,5 mg : 2,569078947 mg/L
= 0,004606 menit-1
= 0,973111396 L
2. Waktu Paruh t ½ = 0,693/K = 0,693 : 0,004606 menit-1 = 150,455927 menit
= 0,97 L
4. Klirens Cl = Vd x Ke = 0,97 L x 0,004606 menit-1 = 0,00446782 L/menit
5. AUC AUC = (C0+C5) x (T5-T0) + ….. + 2 (C65+C70) x (T70-T65) 2 = 156,6393 mgL/menit
3. Perhitungan Kadar Rute Ekstravaskular Y = 0,1824x – 0,0059 1. T0
f. T25
0,4627 = 0,1824x – 0,0059
0,4059 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4686
0,1824x = 0,4118
x = 2,569078947 ppm
x = 2,257675439 ppm
2. T5
g. T30
0,4805 = 0,1824x – 0,0059
0,4383 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4864
0,1824x = 0,4442
x = 2,666666667 ppm
x = 2,435307018 ppm
3. T10
h. T35
0,4535 = 0,1824x – 0,0059
0,4239 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4594
0,1824x = 0,4388
x = 2,518640351 ppm
x = 0,372241577 ppm
4. T15
i. T40
0,3999 = 0,1824x – 0,0059
0,4082 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4058
0,1824x = 0,4141
x = 2,224780702 ppm
x = 2,270285088 ppm
5. T20
j. T45
0,4383 = 0,1824x – 0,0059
0,4120 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,4442
0,1824x = 0,4179
x = 2,435307018 ppm
x = 0,360047537 ppm
k. T55
m. T65
0,3886 = 0,1824x – 0,0059
0,3742 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,3945
0,1824x = 0,3801
x = 0,335022174 ppm
x = 0,318873036 ppm
l. T60
n. T70
0,3853 = 0,1824x – 0,0059
0,3608 = 0,1824x – 0,0059
0,1824x = 0,3912
0,1824x = 0,3667
x = 0,331374012 ppm
x = 0,303286076 ppm
4. Perhitungan Parameter Farmakokinetika Rute Ekstravaskular 1. Tetapan Laju Absorpsi (Ka) Ka = 0,2303 x (-slope)
5. Volume Distribusi Vd = D/Cp
= 0,2303 x (0,0025)
= 2,5 mg : 2,569078947 mg/L
= 0,0057575 menit-1
= 0,973111396 L
2. Tetapan Laju Eliminasi (Ke) Ke = 0,2303 x (-slope) = 0,2303 x (0,0015) = 0,0034545 menit-1 3. Tetapan Laju Total (Ktot) Ktotal = Ka + Ke = 0,0057575 + 0,0034545 = 0,009212 ppm 4. Waktu Paruh t ½ = 0,693/Ke = 0,693 : 0,0034545 menit-1 = 200,6079027 menit
= 0,97 L 6. AUC AUC = (C0+C5) x (T5-T0) + ….. + 2 (C65+C70) x (T70-T65) 2 = 161,7859 mgL/menit