Preeklamsia Berat Dengan Edema Paru IUFD [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PREEKLAMSIA BERAT DENGAN EDEMA PARU DAN INTRAUTERINE FETAL DEATH



Oleh: Aslamatul Hayati Karim Debi Yulia Sandra Jessieca Liusen Mellia Fitrina Sofi Sumarlin Sri Rahayu Wanly Syahrizal Pembimbing : dr. FRANSISKUS HAMIDO H, Sp.OG



KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU 2012



1



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengalami hipertensi.1 Biasanya sindroma ini muncul pada akhir trimester kedua sampai ketiga kehamilan. Gejalanya berkurang atau menghilang setelah melahirkan sehingga terapi definitifnya mengakhiri kehamilan.2 Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD).2 Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5 – 15% dari seluruh kehamilan di seluruh dunia. Preeklampsia bersama dengan penyakit hipertensi kehamilan lainnya merupakan merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian dan kesakitan terbanyak pada ibu hamil dan melahirkan di samping infeksi dan perdarahan.2 Sampai saat ini etiologi preeklampsia belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa hipotesis mengenai etiologi preeklampsia antara lain iskemik plasenta, maladaptasi imun dan factor genetik. Akhir-akhir ini disfungsi endotel dianggap berperan dalam patogenesis preeclampsia.3,5 Di Indonesia, preeklampsia dan eklampsia masih merupakan salah satu penyebab utama mortalitas maternal dan perinatal. Sebagian besar mortalitas tersebut disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan penanganan dini preeklampsia dan eklampsia, sehingga pasien tidak sempat mendapat penanganan yang adekuat sebelum sampai ke rumah sakit rujukan, atau sampai ke rumah sakit rujukan dalam kondisi yang sudah buruk. Belum semua rumah sakit rujukan memiliki fasilitas perawatan intensif yang memadai untuk menangani kasus eklampsia pada khususnya, sehingga pengetahuan mengenai pengenalan faktor resiko untuk dapat mendeteksi secara dini preeklampsia sangat diperlukan agar tidak terjadi keterlambatan penanganan pertama dan rujukan.6 2



BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Preeklampsia Berat 3.1.1 Defenisi Preeklamsia/eklamsia merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan.



Definisi preeklamsia adalah



hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat



kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik.2 Preeklamsia merupakan suatu sindrom spesifik kehamilan dengan penurunan perfusi pada organ-organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Proteinuria adalah tanda yang penting dari preeklamsia. 3 Preeklamsia adalah keadaan dimana hipertensi disertai dengan proteinuria, edema atau keduanya, yang terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20, atau kadang-kadang timbul lebih awal bila terdapat perubahan hidatidiformis yang luas pada vili khorialis.4 Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam atau kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia.2 Penggolongan preeclampsia menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia berat dapat menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat dapat berkembang menjadi preeclampsia berat.3 Preeklampsia berat dibagi menjadi: a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa : •



Muntah-muntah







Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak







Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema, atau sakit karena perubahan pada lambung.



3.1.2 Insidensi Preeklampsia



3



Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain. Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 310% , Sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan (23,6 kasus per 1.000 kelahiran). Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida,



terutama



primigravida



muda. Diabetes melitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia.6 Di samping itu, preklamsia juga dipengaruhi oleh paritas. Surjadi, mendapatkan angka kejadian dari 30 sampel pasien preeklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin. Bandung paling banyak terjadi pada ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga paling banyak terjadi pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus. 4Wanita dengan kehamilan kembar bila dibandingkan dengan kehamilan tunggal, maka memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13 % : 6 %) dan preeklampsia (13 % : 5 %) yang



secara



bermakna



lebih tinggi. Selain itu, wanita dengan kehamilan kembar memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk daripada wanita dengan kehamilan tunggal.4 3.1.3 Etiologi Preeklampsia Penyebab preeklamsia/eklamsia sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Banyak teori yang menerangkan namum belum dapat memberi jawaban yang memuaskan. Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan adalah iskemia plasenta. Namun teori ini tidak dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan kondisi ini. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor yang menyebabkan terjadinya preeklamsia/eklamsia.7 Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut di atas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of theory. 8 Adapun teori-teori tersebut antara lain: 1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan Pada preeklamsia/eklamsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi



prostasiklin (PGI2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi



penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti dengan trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit 4



menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel. 2) Peran Faktor Imunologis Preeklamsia/eklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. Fierlie F.M. (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita preeklamsia/eklamsia: a) Beberapa wanita dengan preeklamsia/eklamsia mempunyai kompleks imun dalam serum. b)



Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada



preeklamsia/eklamsia diikuti dengan proteinuria. 3) Peran Faktor Genetik/familial Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklamsia/eklamsia antara lain: a) Preeklamsia/eklamsia hanya terjadi pada manusia. b) Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada anakanak dari ibu yang menderita preeklamsia/eklamsia. c) Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat preeklamsia/eklamsia dan bukan pada ipar mereka. d) Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS). 3.1.4 Faktor Risiko Preeklamsia/eklamsia Faktor risiko preeklamsia meliputi kondisi medis yang berpotensi menyebabkan kelainan mikrovaskular, seperti diabetes melitus, hipertensi kronis dan kelainan vaskular serta jaringan ikat, sindrom antibodi fosfolipid dan nefropati. Faktor risiko lain berhubungan dengan kehamilan itu sendiri atau dapat spesifik terhadap ibu atau ayah dari janin.9 Berbagai faktor risiko preeklamsia (American Family Physician, 2004)10 : 1) Faktor yang berhubungan dengan kehamilan a) Kelainan kromosom b) Mola hydatidosa 5



c) Hydrops fetalis d) Kehamilan multifetus e) Inseminasi donor atau donor oosit f) Kelainan struktur kongenital 2) Faktor spesifik maternal a) Primigravida b) Usia > 35 tahun c) Usia < 20 tahun d) Ras kulit hitam e) Riwayat preeklamsia pada keluarga f) Nullipara g) Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya h) Kondisi medis khusus : diabetes gestational, diabetes tipe 1, obesitas, hipertensi kronis, penyakit ginjal, trombofilia i) Stress 3) Faktor spesifik paternal a) Primipatemitas b) Patner pria yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan mengalami preeklamsia 3.1.5.Patofisiologi Preeklamsia/eklamsia Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat



terjadi perburukan patologis



pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia. 3 Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin,



terhadap



tromboxan) yang dapat menyebabkan



vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati.



Manifestasi



terhadap



kardiovaskuler



meliputi



penurunan



volume



intravaskular,



meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan 6



obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim.10 Perubahan pada organ-organ : 1) Perubahan kardiovaskuler. Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.3 2) Metabolisme air dan elektrolit Hemokonsentrasi



yang



menyerupai



preeklampsia



dan



eklamsia



tidak



diketahui



penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada penderita preeklampsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal penyerapan kembali



ini



disebabkan



tubulus tidak



oleh



berubah.



filtrasi



glomerulus menurun,



Elektrolit,



kristaloid,



sedangkan



dan protein



tidak



menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam batas normal.3,10-1 3) Mata Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain yang menunjukan tanda preklamsia berat 9yang mengarah pada eklamsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks serebri atau didalam retina.3,10,1 4) Otak Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan.3,10 5) Uterus



7



Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklamsia sering terjadi peningkatan tonus



rahim dan kepekaan terhadap



rangsangan, sehingga terjadi partus prematur. 3,10-1 6) Paru-paru Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena terjadinya aspirasi pneumonia, atau abses paru.3,10-1 3.1.6 Patogenesis Preeklampsia Berat 3.1.6.1 Vasospasme Konsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan pengamatan langsung tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan conjunctivae bulbar. Ia juga menduga dari perubahan histologis terlihat dalam berbagai organ yang terkena. Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi dan hipertensi berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel menyebabkan kebocoran yang interstisial melalui darah konstituen, termasuk platelet dan fibrinogen, yang disimpan pada subendothelial. Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein endothel junctional. Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan resistensi ultrastruktural di wilayah subendothelial arteri pada wanita preeklampsia. Dengan aliran darah yang berkurang karena maldistribusi, iskemia jaringan sekitarnya akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan lain organ akhir gangguan karakteristik sindrom tersebut.3 3.1.6.2 Aktivasi sel endotel Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang dalam pemahaman kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam skema ini, faktor yang tidak diketahui kemungkinan berasal dalam plasenta - juga dikeluarkan ke sirkulasi ibu dan memprovokasi aktivasi dan disfungsi vaskular endotelium. Sindrom klinis preeklampsia diperkirakan merupakan hasil dari perubahan sel endotel yang luas.



8



Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan bahwa sirkulasi sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat dalam darah perifer wanita preeklampsia. Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel menumpulkan respon otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan oksida nitrat. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi dapat memproduksi oksida nitrat dan mengeluarkan zat yang mempromosikan koagulasi dan meningkatkan kepekaan terhadap vasopressors.3 Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel akan terjadi: •



Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat)







Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit ini memproduksi tromboksan (TXA2), suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar prostasklin lebih tinggi daripada kadar tromboksan. Pada preeclampsia, terjadi sebaliknya sehingga berakibat naiknya tekanan darah.







Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit (vasodilator).







Peningkatan faktor koagulasi. Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan karakteristik morfologi



endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler meningkat, dan meningkatnya konsentrasi mediator yang berperan untuk menimbulkan aktivasi endotel. Penelitian menunjukkan bahwa serum dari wanita dengan preeklampsia merangsang sel endotel yang dikultur untuk memproduksi prostasiklin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan serum wanita hamil normal.3 3.1.7 Gejala Preeklamsia/ eklamsia Preeklamsia mempunyai gejala-gejala sebagai berikut:3,10-1 1) Gejala Preeklamsia Biasanya tanda-tanda preeklamsia timbul dalam urutan: pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada preeklamsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada preeklamsia berat gejala-gejalanya adalah: a) Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg b) Tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg 9



c) Peningkatan kadar enzim hati/ ikterus d) Trombosit < 100.000/mm³ e) Oligouria < 500 ml/24 jam f) Proteinuria > 3 g/liter g) Nyeri epigastrium h) Skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat i) Perdarahan retina j) Edema pulmonum k) Koma 2) Gejala eklampsia Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklamsia dan terjadinya gejalagejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri di epigastrium dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenali dan tidak segera diobati, akan timbul kejang terutama pada persalinan. 3.1.8 Klasifikasi Preeklamsia/eklamsia Pembagian preeklamsia sendiri dibagi dalam golongan ringan dan berat. Berikut ini adalah penggolongannya:12 1) Preeklamsia ringan Dikatakan preeklamsia ringan bila : a) Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-110 mmHg b) Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam) c) Tidak disertai gangguan fungsi organ 2) Preeklamsia berat Dikatakan preeklamsia berat bila : a) Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg b) Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif. Bisa disertai dengan : a) Oliguria (urine ≤ 500 mL/24jam) b) Keluhan serebral, gangguan penglihatan c) Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium 10



d) Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia e) Edema pulmonum, sianosis f) Gangguan perkembangan intrauterine g) Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia 3) Jika terjadi tanda-tanda preeklamsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklamsia 3.1.9 Komplikasi Preeklamsia/eklamsia Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada liver dalam bentuk kemungkinan:3,10-2 1) Perdarahan subkapsular 2) Perdarahan periportal sistem dan infark liver 3) Edema parenkim liver 4) Peningkatan pengeluaran enzim liver Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan dari kemampuan sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan menimbulkan berbagai bentuk kelainan patologis sebagai berikut:12 1) Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah 2) Iskemia yang menimbulkan infark serebal 3) Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis 4) Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina 5) Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital medula oblongata. Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklamsia dan eklamsia. Komplikasi dibawah ini yang biasa terjadi pada preeklamsia berat dan eklamsia : 1) Solusio plasenta Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada preeklamsia. 2) Hipofibrinogenemia



11



Biasanya terjadi pada preeklamsia berat. Oleh karena itu dianjurkan untuk pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala. 3) Hemolisis Penderita dengan preeklamsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakkan sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklamsia dapat menerangkan ikterus tersebut. 4) Perdarahan otak Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklamsia. 5) Kelainan mata Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini merupakan tanda gawat akan terjadi apopleksia serebri. 6) Edema paru-paru Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru. 7) Nekrosis hati Nekrosis periportal hati pada



preeklamsia/eklamsia merupakan akibat vasospasme arteriole



umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklamsia, tetapi ternyata juga dapat ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya. 8) Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati, hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah, mual, muntah, nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh radikal bebas



asam



lemakjenuh dan tak jenuh. Trombositopenia ( 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.



Penanganan di Puskesmas Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara prinsip pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai berikut : 1.



Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5, berikan SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang ulangan berikan SM 20 % 2 g iv



13



pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan injeksi diazepam 10 mg iv secara pelan-pelan selama 2 menit, bila timbul kejang ulangan ulangi dosis yang sama. 2.



Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial dose di atas dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada glutea kiri dan kanan bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c RD 5 28 tetes per menit.



3.



Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.



4.



Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang sudah diberikan.



5.



Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.



6.



Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan infuse, dan tabung oksigen.



7.



Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.



Penanganan di rumah sakit Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah pengelolaan terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap kehamilannya. Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009): a.



Pencegahan Kejang •



Tirah baring, tidur miring kiri







Infus RL atau RD5







Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu : -



Loading / initial dose



: dosis awal



-



Maintenance dose



: dosis rumatan



• Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB Loading dose SM 20 % 4 g iv pelan-pelan



Maintenance dose -



selama 5 menit



SM 40 % 10 g im, terbagi pada glutea kiri dan kanan



-



SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30 tts/m 1. SM rumatan diberikan sampai 14



24 jam pada perawatan konservatif dan 24 jam setelah persalinan pada perawatan aktif



Syarat pemberian SM : -



Reflex patella harus positif



-



Respiration rate > 16 /m



-



Produksi urine dalam 4 jam 100cc



- Tersedia calcium glukonas 10 % Antidotum : Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut : 1. Sodium thiopental 100 mg iv 2. Diazepam 10 mg iv 3. Sodium amobarbital 250 mg iv 4. Phenytoin dengan dosis :



b.



-



Dosis awal 100 mg iv



-



16,7 mg/menit/1 jam



500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam Antihipertensi •



Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126







Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam







Penurunan darah dilakukan secara bertahap : -



Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik



-



Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105 mmHg atau MAP < 125



c.



Diuretikum Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek : •



Memperberat penurunan perfusi plasenta 15







Memperberat hipovolemia







Meningkatkan hemokonsentrasi



Indikasi pemberian diuretikum : 1.



Edema paru



2.



Payah jantung kongestif



3.



Edema anasarka



Krepitasi merupakan tanda edema paru. Jika terjadi edema paru, stop pemberian cairan dan berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg intravena Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif. a.



Perawatan konservatif 1.



Tujuan : •



Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahim







Meningkatkan



kesejahteraan



bayi



baru



lahir



tanpa



mempengaruhi



keselamatan ibu 2.



Indikasi : Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eklampsia



3.



Pemberian anti kejang : Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose ( loading dose tidak diberikan )



4.



Antihipertensi Diberikan sesuai protokol untuk PER.



5.



Induksi Maturasi Paru Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat deksametason 2 x 16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason 24 mg im/24 jam sekali pemberian.



6.



Cara perawatan : •



Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia







Menimbang berat badan tiap hari







Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya 16







Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur







Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase, Albumin serum dan faktor koagulasi







Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk kriteria PER, pasien tetap dirawat selama 2 – 3 hari baru diperbolehkan rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali setelah KRS.



7.



b.



Terminasi kehamilan •



Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm







Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan indikasi obstetrik



Perawatan aktif 1.



Tujuan : Terminasi kehamilan



2.



Indikasi : (i). Indikasi Ibu : • Kegagalan terapi medikamentosa : -



Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi kenaikan tekanan darah persisten



-



Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi kenaikan tekanan darah yang progresif



• Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia • Didapatkan gangguan fungsi hepar • Didapatkan gangguan fungsi ginjal • Terjadi solusio plasenta • Timbul onset persalinan atau ketuban pecah (ii). Indikasi Janin • Usia kehamilan ≥ 37 minggu • PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial • NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8 • Terjadi oligohidramnion (iii). Indikasi Laboratorium • Timbulnya HELLP syndrome 3.



Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1. 17



4.



Terminasi kehamilan : Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam, mode of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut : (i) Pasien belum inpartu • Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik ≥ 8. Bila skor pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan menggunakan misoprostol 25 μg intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II sejak dimulainya induksi, bila tidak maka dianggap induksi persalinan gagal dan terminasi kehamilan dilakukan dengan operasi sesar. • Indikasi operasi sesar : - Indikasi obstetrik untuk operasi sesar - Induksi persalinan gagal - Terjadi maternal distress - Terjadi fetal compromised - Usia kehamilan < 33 minggu (ii) Pasien sudah inpartu • Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf • Kala II diperingan • Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised, persalinan dilakukan dengan operasi sesar • Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi sesar



3.1.11 Edema paru pada preeklampsia berat14 Pathogenesis edema paru pada preeclampsia berat  Disfungsi endotel ditandai peningkatan kadar sVCAM-1, vWF dan fibrin monomer sebagai petanda aktivasi koagulasi  Peningkatan permeabilitas kapiler akibat timbulnya mediator inflamasi (tromboksan dan endothelin)  Ketidakseimbangan “Starling Force” akibat hipertensi dan hemodilusi, menyebabkan : -



Peningkatan tekanan vena pulmonalis



-



Penurunan tekanan onkotik plasma 18



-



Peningkatan negativitas tekanan interstisial



 Akibat hal tersebut menyebabkan tertumpuknya cairan pada ruang interstisial paru-paru akibat ekstravasasi cairan ke jaringan ekstraseluler menyebabkan edema paru 7



Gejala dan tanda  Sesak nafas  Rasa tidak nyaman di dada  Takipnea  Takikardi  Batuk-batuk  Sianosis  Ronkhi basah basal  Gambaran edema paru pada foto toraks 3.2 IUFD ( Intra Uterine Fetal Death ) 3.2.1 Definisi Intra Uterine Fetal Death (IUFD) atau kematian janin dalam kandungan adalah terjadinya kematian janin ketika masih berada dalam rahim yang beratnya 500 gram dan atau usia kehamilan 20 minggu atau lebih.1-3



19



Ada juga pendapat lain yang mengatakan kematian janin dalam kehamilan adalah kematian janin dalam kehamilan sebelum proses persalinan berlangsung pada usia kehamilan 28 minggu ke atas atau berat janin 1000 gram ke atas.4 3.2.2 Penyebab Kematian Penyebab dari kematian janin intra uterine yang tidak dapat diketahui sekitar 25-60%, insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Pada beberapa kasus yang penyebabnya teridentifikasi dengan jelas, dapat dibedakan berdasarkan penyebab dari faktor janin, maternal dan patologi dari plasenta.2-4 a. Faktor Ibu 1) Ketidakcocokan Rh darah Ibu dengan janin Akan timbul masalah bila ibu memiliki Rh negatif, sementara ayah Rh positif, sehingga janin akan mengikuti yang lebih dominan yaitu Rh positif, yang berakibat antara ibu dan janin akan mengalami ketidakcocokan Rhesus. Ketidakcocokan ini akan mempengaruhi kondisi janin tersebut. Misalnya dapat terjadi kondisi Hidrops fetalis, yaitu suatu reaksi imunologis yang menimbulkan gambaran klinis pada janin antara lain berupa pembengkakan pada perut akibat terbentuknya cairan yang berlebihan pada rongga perut (asites), pembengkakan kulit janin penumpukan cairan di rongga dada atau rongga jantung, dan lain-lain. Akibat dari penimbunan cairan-cairan yang berlebihan tersebut, tubuh janin akan membengkak yang dapat berakibat pula darahnya bercampur dengan air. Jika kondisi demikian terjadi, biasanya janin tidak akan tertolong lagi. 2) Ketidakcocokan golongan darah Ibu dengan janin Terutama pada golongan darah A, B, dan O yang sering terjadi adalah antara golongan darah anak A atau B dengan ibu bergolongan darah O atau sebaliknya. Hal ini disebabkan karena pada saat masih dalam kandungan, darah janin tidak cocok dengan darah ibunya, sehingga ibu akan membentuk zat antibodi. 3) Berbagai penyakit pada ibu hamil Salah satu contohnya adalah diabetes dan preeklampsia. Hipertensi juga sangat berbahaya pada ibu hamil, baik yang memang memiliki riwayat hipertensi maupun yang tidak 20



(hipertensi gravidarum). Hipertensi dapat menyebabkan kekurangan O 2 pada janin yang disebabkan oleh berkurangnya suplai darah dari ibu ke plasenta yang disebabkan oleh spasme dan kadang-kadang trombosis dari pembuluh darah ibu. 4) Trauma saat hamil Trauma bisa mengakibatkan terjadinya solusio plasenta atau plasenta terlepas. Trauma terjadi misalnya karena benturan pada perut, baik karena kecelakaan atau pemukulan. Trauma bisa saja mengenai pembuluh darah di plasenta, sehingga menimbulkan perdarahan pada plasenta atau plasenta terlepas sebagian, yang pada akhirnya aliran darah ke janin pun terhambat. 5) Infeksi pada ibu hamil Ibu hamil sebaiknya menghindari berbagai infeksi seperti bakteri maupun virus. Bahkan demam tinggi pada ibu hamil (lebih dari 103º F) dapat menyebabkan janin tidak tahan dengan tubuh ibunya. 6) Prolonged Pregnancy (kehamilan diatas 42 minggu) Kehamilan lebih dari 42 minggu.Jika kehamilan telah lewat waktu, plasenta akan mengalami penuaan sehingga fungsinya akan berkurang. Janin akan kekurangan asupan nutrisi dan oksigen. Cairan ketuban bisa berubah menjadi sangat kental dan hijau, akibatnya cairan dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru janin. Hal ini bisa dievaluasi melalui USG dengan color doppler sehingga bisa dilihat arus arteri umbilikalis jantung ke janin. Jika demikian, maka kehamilan harus segera dihentikan dengan cara diinduksi. Itulah perlunya taksiran kehamilan pada awal kehamilan dan akhir kehamilan melalui



7) Hamil pada usia lanjut Hamil pada usia lanjut adalah kehamilan pada usia >35 tahun. Kehamilan ini rentan dikarenakan beberapa hal, yaitu:



21







Selepas usia menjangkau 35 tahun ke atas setiap wanita akan mengalami penurunan dalam kualitas telur yang dihasilkan oleh ovarium.







Umur berkaitan pula dengan perubahan hormon. Jadi kemungkinan pengeluaran telur lebih dari satu. Seterusnya boleh menyebabkan berlaku kehamilan kembar dua atau lebih.







Wanita yang hamil pada usia lanjut juga mudah mengalami masalah diabetes. Ini dapat dikarenakan ibu dengan gaya hidup yang tidak sehat, terlalu banyak konsumsi gula, dan jarang olah raga.







Kehamilan pada usia lanjut juga mungkin sukar untuk bersalin secara normal.







Memiliki resiko tinggi janin mengalami syndrome Down karena kelainan kromosom.







Resiko tinggi keguguran.



8) Ruptur uteri Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan pembekuan darah. Batasan perdarahan pada kehamilan lanjut berarti perdarahan pada kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan, sedangkan perdarahan pada persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran. 9) Kematian Ibu Jika terjadi kematian ibu, sudah jelas janin juga akan mengalami kematian, dikarenakan fungsi tubuh yang seharusnya menopang pertumbuhan janin, tidak lagi ada. b. Faktor Janin 1) Gerakan Sangat Berlebihan Gerakan bayi dalam rahim yang sangat berlebihan, terutama jika terjadi gerakan satu arah saja dapat membahayakan kondisi janin. Hal ini dikarenakan gerakan yang berlebihan ini akan menyebabkan tali pusar terpelintir. Jika tali pusar terpelintir, maka pembuluh darah yang mengalirkan darah dari ibu ke janin akan tersumbat. Gerakan janin yang sangat liar menandakan bahwa kebutuhan janin tidak terpenuhi. 22



2) Kelainan kromosom Bisa juga disebut penyakit bawaan, misalnya kelainan genetik berat (trisomi). Kematian janin akibat kelainan genetik biasanya baru terdeteksi pada saat kematian sudah terjadi, yaitu dari hasil otopsi janin. Hal ini disebabkan karena pemeriksaan kromosom saat janin masih dalam kandungan beresiko tinggi dan memakan biaya banyak. 3) Kelainan bawaan bayi Yang bisa mengakibatkan kematian janin adalah hidrops fetalis, yakni akumulasi cairan dalam tubuh janin. Jika akumulasi cairan terjadi dalam rongga dada bisa menyebabkan hambatan nafas bayi. Kerja jantung menjadi sangat berat akibat dari banyaknya cairan dalam jantung sehingga tubuh bayi mengalami pembengkakan atau terjadi kelainan pada paru-parunya. 4) Malformasi janin Pada janin yang mengalami malformasi, berarti pembentukan organ janin tidak berlangsung dengan sempurna. Karena ketidaksempurnaan inilah suplai yang dibutuhkan janin tidak terpenuhi, sehingga kesejahteraan janin menjadi buruk dan bahkan akan menyebabkan kematian pada janin. 5) Kehamilan multiple Pada kehamilan multiple ini resiko kematian maternal maupun perinatal meningkat. Berat badan janin lebih rendah dibanding janin pada kehamilan tunggal pada usia kehamilan yang sama (bahkan perbedaannya bisa sampai 1000-1500 g). Hal ini bisa disebabkan regangan uterus yang berlebihan sehingga sirkulasi plasenta juga tidak lancar. Jika ketidaklancaran ini berlangsung hingga keadaan yang parah, suplai janin tidak terpenuhi dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian janin. 6) Intra Uterine Growth Restriction Kegagalan janin untuk mencapai berat badan normal pada masa kehamilan. Pertumbuhan janin terhambat dan bahkan menyebabkan kematian, yang tersering disebabkan oleh asfiksia saat lahir, aspirasi mekonium, perdarahan paru, hipotermia dan hipoglikemi. 7) Infeksi (parvovirus B19, CMV, listeria)



23



Infeksi ini terjadi dikarenakan oleh virus, dan jika virus ini telah menyerang maka akan menyebabkan janin mengalami gangguan seperti, pembesaran hati, kuning, ekapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain. Dan gangguan ini akan membuat kesejahteraan janin memburuk dan jika dibiarkan terus-menerus janin akan mati. 8) Insufisiensi plasenta yang idiopatik Merupakan bagian dari kasus hipertensi dan penyakit ginjal yang sudah disebutkan diatas. Pada beberapa kasus, insufisiensi plasenta ini terjadi pada kehamilan yang berturut-turut. Janin tidak mengalami pertumbuhan secara normal. c. Faktor Palsenta 1) Perlukaan cord 2) Pecah secara mendadak (abruption) 3) Premature Rupture of Membrane 4) Vasa Previa d.



Faktor Resiko Berikut ini beberapa faktor resiko terjadinya kematian janin intra uteri : 1,14







Ibu usia lanjut







Riwayat kematian janin intra uterine







Infertilitas Ibu







Hemokonsentrasi pada ibu







Usia Ayah







Obesitas



3.2.3



Patologi Anatomi16,18 Janin yang meninggal intra uterin biasanya lahir dalam kondisi maserasi. Kulitnya



mengelupas dan terdapat bintik-bintik merah kecoklatan oleh karena absorbsi pigmen darah. Seluruh tubuhnya lemah atau lunak dan tidak bertekstur. Tulang kranialnya sudah longgar dan dapat digerakkan dengan sangat mudah satu dengn yang lainnya. Cairan amnion dan cairan yang ada dalam rongga mengandung pigmen darah. Maserasi dapat terjadi cepat dan meningkat dalam



24



waktu 24 jam dari kematian janin. Dengan kata lain, patologi yang terjadi pada IUFD dapat terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut:2,3,4 a) Rigor mortis (tegang mati) Berlangsung 2 ½ jam setelah mati, kemudian janin menjadi lemas sekali. b) Stadium maserasi I Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh-lepuh ini mula-mula berisi cairan jernih kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah janin mati. c) Stadium maserasi II Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat. Terjadi setelah 48 jam janin mati. d) Stadium maserasi III Terjadi kira-kira 3 minggu setelah janin mati. Badan janin sangat lemas dan hubungan antar tulang sangat longgar. Terdapat edema di bawah kulit. 3.2.4 Tanda dan Gejala Pada wanita yang diketahui mengalami kematian janin intra uterine (IUFD), pada beberpa hari berikutnya mengalami penurunan ukuran payudara. Tanda-tanda lain yang juga dapat ditemukan adalah sebagai berikut:1,2,3,4, 15 1) Tidak ada gerakan janin. Pada umumnya, ibu merasakan gerakan janin pertama pada usia kehamilan 18 minggu (pada multipara) atau 20 minggu (pada primipara). Gerakan janin normalnya minimal 10 kali sehari. 2) Gerakan janin yang sangat hebat atau sebaliknya, gerakan janin yng semakin pelan atau melemah. 3) Ukuran abdomen menjadi lebih kecil dibandingkan dengan ukuran pada saat kehamilan normal dan tinggi fundus uteri menurun atau kehamilan yang tidak kunjung besar, dicurigai bila pertumbuhan kehamilan tidak sesuai bulan. 4) Bunyi jantung anak tidak terdengar 5) Palpasi janin menjadi tidak jelas 6) Pergerakan janin tidak teraba oleh tangan pemeriksa 7) Pada foto roentgen dapat terlihat: •



Tulang-tulang cranial saling menutupi (tanda spalding) 25







Tulang punggung janin sangat melengkung (tanda naujokes)







Ada gelembung-gelembung gas pada badan janin.



3.2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding 1,2,3,4 ,18 Tabel 1. Diagnosis dan Diagnosis Banding IUFD Gejala dan Tanda Selalu Gejala Ada • Gerakan



dan



Tanda



Kadang-Kadang Ada janin • Syok



Diagnosa Kemungkinan Solusio plasenta



berkurang atau hilang •



Nyeri



hilang •



perut



Uterus tegang/kaku



timbul atau menetap •







Perdarahan pervaginam •



Gawat janin atau DJJ



sesudah



tidak terdengar



hamil



22



minggu Gerakan janin dan DJJ •



Syok



tidak ada



Perut kembung/ cairan











Perdarahan







Nyeri perut hebat



Ruptura uteri



bebas intra abdominal •



Kontur uterus abnormal







Abdomen nyeri







Bagian-bagian



janin



teraba •



• janin •



Gerakan



berkurang atau hilang •







DJJ



Denyut nadi ibu cepat Cairan ketuban Gawat janin bercampur mekonium



abnormal



(180/menit) Gerakan janin/



DJJ •



hilang



Tanda-tanda kehamilan Kematian janin berhenti







Tinggi



fundus



berkurang 26



uteri







Pembesaran



uteri



berkurang 3.2.6



Penatalaksanaan Kematian Janin Intrauterin 2,13,16 Kelahiran harus segera diinduksi secepatnya setelah diagnosa dapat ditegakkan. Pada satu



penelitian, penundaan kelahiran lebih dari 24 jam setelah terdiagnosis dihubungkan dengan peningkatan terjadinya masa anxietas dibandingkan dengan wanita yang kelahirannya diinduksi dalam waktu 6 jam. Ketika janin berada di dalam uterus selama 3-4 minggu, level fibrinogen bisa turun yang dapat menyebabkan koagulopati. Hal ini sangat jarang terjadi pada kehamilan tunggal karena penegakan diagnosa dan induksi yang dilakukan lebih awal. Pada beberapa kasus kehamilan kembar, tergantung dari tipe plasentasi, induksi setelah kematian kedua janin mungkin dapat menghambat perkembangan janin menjadi matur. Pada kasus ini beberapa spesialis anak tidak merekomendasikan untuk memeriksakan koagulasi darah. Secara umum, resiko berkembangnya disseminated intravascular coagulopathy sangat jarang. Kematian janin awal dapat ditangani dengan pemberian laminaria diikuti oleh dilatasi dan ekstraksi. Pada wanita dengan kematian janin sebelum usia kehamilan kurang dari 28 minggu, induksi dapat dilakukan dengan menggunakan prostaglandin E2 vaginal suppositoria (10-20 mg tiap 4-6 jam), misoprostol pervaginal atau per oral (400 mcg tiap 4-6 jam), dan/atau oxytocin (terutama bagi wanita dengan sectio caessaria). Pada wanita dengan kematian janin pada usia kehamilan setelah 28 minggu, harus menggunakan dosis yang lebih rendah. The American College of Obstetricians and Gynaecologists mengatakan bahwa untuk induksi kelahiran prostaglandin E2 dan misoprostol hendaknya tidak digunakan pada wanita denga riwayat sectio caessaria karena resiko terjadinya ruptur uteri. Penanganan rasa nyeri pada pasien dengan induksi kelahiran untuk kasus kematian janin lebih mudah ditangani dibandingkan dengan pasien dengan janin yang masih hidup. Narkotik dengan dosis yang lebih tinggi bermanfaat untuk pasien, dan pemberian morfin biasanya cukup efektif untuk pengendalian rasa nyeri. Berikut tahapan-tahapan penanganan pada ibu yang didiagnosa mengalami IUFD:1,2,3,4 1.



Jika kematian janin intra uterine telah jelas ditemukan, pasien harus diberitahukan secara berhati-hati dan dihibur. Pertimbangkan untuk menunda prosedur evakuasi janin untuk 27



membiarkan pasien menyesuaikan secara psikologis terhadap kematian janin tersebut. Penundaan tersebut juga mempunyai keuntungan tambahan dengan memberikan kesempatan pada serviks untuk lebih siap. Jika persalinan tidak terjadi segera setelah kematian janin, terutama pada kehamilan lanjut, koagulopati maternal dapat terjadi, walaupun keadaan ini jarang terjadi sebelum 4-6 minggu setelah kematian janin. Setelah 3 minggu, lakukan pemeriksaan koagulasi yang termasuk hitung trombosit, kadar fibrinogen, waktu protrombin, partial tromboplastin time (PTT), dan analisis produk degradasi fibrinogenserta lakukan secara serial. Berikan immunoglobulin rhesus pada semua gravida rhesus negatif kacuali ayah janin diketahui pasti dengan rhesus negatif. Berikan dosis kecil (30μg) pada trimester I dan dosis penuh pada kehamilan akhir. 2.



Penggunaan USG pada kehamilan dini telah menunjukkan bahwa kematian janin terjadi pada gestasi kembar lebih sering daripada yang diperkirakan sebelumnya. Keadaan ini biasanya asimtomatik, walaupun mungkin terjadi bercak pada vagina. Tidak diperlukan intervensi,



dan



dapat



diharapkan



terjadinya



resorpsi



pada



janin



yang



mati.



Hipofibrinogenemia maternal adalah komplikasi yang jarang dan harus diamati pada kasus tersebut. Koagulopati konsumtif juga dapat timbul pada janin yang hidup. Keadaan ini mengarahkan pada perlunya persalinan segera jika kematian salah satu janin terjadi pada kehamilan yang lanjut dan maturitas janin yang lainnya telah diyakini dengan pemeriksaan unsur-unsur pulmonal dalam cairan amnion. 3.



Prostaglandin E2 dalam bentuk supositoria vagina (20 mg tiap tiga sampai lima jam) adalah efektif untuk evakuasi janin yang telah mati pada midtrimester. Walaupun insidensi keberhasilan adalah tinggi, terjadinya retensi plasenta memerlukan kuretase. Dokter dapat menggunakan dosis 15-methylprostaglandin F2 intramuskuler (250 μg pada interval satu dan satu sampai satu setengah dan seengah jam) jika selaput amnion telah pecah. Sesuaikan jadwal dosis untuk menghindari stimulasi yang berlebihan. Adanya kegagalan mengarahkan pada anomali rahim. Persiapkan aminophylline dan terbualine untuk menghindari bronkospasme jika prostaglandin diberikan pada pasien asmatik. Penggunaan oksitosin secara bersamaan harus dihindari karena resiko rupture uterin.



4.



Jika janin telah mati dalam waktu yang cukup lama, ukuran rahim menurun cukup banyak untuk memungkinkan evakuasi dengan penyedotan dapat dilakukan dengan aman. Pemeriksaan keadaan koagulasi, seperti yang telah disebutkan, harus dilakukan. Jika keadaan 28



tersebut ditemukan, atasilah koagulopati dan lanjutkan dengan evakuasi. Kira-kira 80% akan memasuki persalinan dalam dua atau tiga minggu. Jika timbul koagulopati, heparin dapat dipakai untuk memperbaikinya sebelum melakukan evakuasi rahim, tetapi penggunaan heparin pada keadaan tersebut tidak sepenuhnya bebas dari bahaya. Histerotomi hampir tidak pernah diindikasikan kecuali terdapat persalinan dengan seksio secaria sebelumnya atau operasi miomektomi. Evakuasi instrumental transervikal dan kehamilan trimester ketiga yang telah lanjut memerlukan keahlian dan pengalaman khusus untuk menghindari perforasi dan perdarahan. Laminaria mungkin berguna dalam kasus tersebut. 5.



Semua gravida dengan rhesus negatif harus diberikan immunoglobulin rhesus. Jika diperkirakan terdapat interval lebih dari 72 jam antara kematian janin dan persalinan, berikan dosis immunoglobulin yang sesuai dengan segera. Penjelasan pasca persalinan adalah bagian yang penting dalam perawatan total pasien. Tiap usaha harus dilakukan untuk mendapatkan ijin otopsi janin, karyotiping dan pemeriksaan lain yang dindikasikan



Penanganan Umum •



Berikan dukungan emosional pada ibu.







Nilai denyut jantung janin (DJJ) : -



bila ibu mendapat sedatif, tunggu hilangnya pengaruh obat, kemudian nilai ulang;



-



bila DJJ tak terdengar minta beberapa orang mendengarkan menggunakan stetoskop Doppler.



Penanganan Khusus Kematian janin dapat terjadi akibat gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau kelainan bawaan atau akibat infeksi yang tidak terdiagnosis sebelumnya sehingga tidak diobati. •



Jika pemeriksaan radiologik tersedia, konfirmasi kematian janin setelah 5 hari. Tandatandanya berupa overlapping tulang tengkorak, hiperfleksi kolumna vertebralis, gelembung udara di dalam jantung dan edema scalp.







USG: merupakan sarana penunjang diagnostik yang baik untuk memastikan kematian janin di mana gambarannya menunjukkan janin tanpa tanda kehidupan: tidak ada denyut jantung janin, ukuran kepala janin, dan cairan ketuban berkurang.



29







Dukungan mental emosional perlu diberikan kepada pasien. Sebaiknya pasien selalu didampingi oleh orang terdekatnya. Yakinkan bahwa besar kemungkinan dapat lahir per vaginam.







Pilihlah cara persalinan dapat secara aktif dengan induksi maupun ekspektatif, perlu dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum keputusan diambil.







Bila pilihan penanganan adalah ekspektatif: -



tunggu persalinan spontan hingga 2 minggu;



-



yakinkan bahwa 90% persalinan spontan akan terjadi tanpa komplikasi.







Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan, lakukan penanganan aktif.







Jika penanganan aktif akan dilakukan, nilai serviks: -



jika serviks matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin atau prosaglandin.



-



jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan prostaglandin atau kateter foley. Catatan: Jangan lakukan amniotomi karena beriiko infeksi.







persalinan dengan seksio sesarea merupakan alternatif terakhir.



Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun, dan serviks belum matang, matangkan serviks dengan misoprostol: -



tempatkan misoprostol 25 mcg di puncak vagina; dapat diulangi sesudah 6 jam.



-



jika tidak ada respon sesudah 2 x 25 mcg misoprostol, naikkan dosis menjadi 50 mcg setiap 6 jam. Catatan: Jangan berikan lebih dari 50 mcg setiap kali dan jangan melebih 4 dosis.







Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika untuk metritis.







Jika tes pembekuan sederhana lebih dari 7 menit atau bekuan mudah pecah, waspada koagulopati.







Berikan kesempatan kepada ibu dan keluarganya untuk melihat dan melakukan berbagai kegiatan ritual bagi janin yang meninggal tersebut.







Pemeriksaan patologi plasenta adalah untuk mengungkapkan adanya patologi plasenta dan infeksi.



30



DUGAAN KEMATIAN JANIN



Hilangnya pergerakan janin Tidak terdapat pertumbuhan janin Tidak terdapat denyut jantung janin



Hitung trombosit Kadar fibrinogen Waktu protrombin (PT) Partial Thromboplastin Time (PTT) Produk Degrdasi Fibrin (FDP) Ultrasonografi



Tegaskan kematian janin dengan ultrasongrafi



Berikan penjelasan dan dukungan dalam keadaan duka cita



3.2.7



Komplikasi yang mungkin Terjadi Komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan IUFD dapat terjadi bila janin



yang sudah meninggal tidak segera dilahirkan lebih dari 2 minggu. Akan tetapi, kasus janin yang meninggal dan tetap berada di rahim ibu lebih dari 2 minggu sangat jarang terjadi. Hal ini dikarenakan biasanya tubuh ibu sendiri akan melakukan penolakan bila janin mati, sehingga timbullah proses persalinan. Adapun komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut: 14,13-7



1) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), yaitu adanya perubahan pada proses pembekuan darah yang dapat menyebabkan perdarahan atau internal bleeding. 2) Infeksi 3) Koagulopati maternal dapat terjadi walaupun ini jarang terjadi sebelum 4-6 minggu setelah kematian janin.



31



Oleh karena adanya komplikasi akibat IUFD, maka janin yang telah meninggal harus segera dilahirkan. Proses kelahiran harus segera dilkukan secara normal, karena bila melalui operasi akan terlalu merugikan ibu. Operasi hanya dilakukan jika ada halangan untuk melahirkan normal. Misalnya janin meninggal dalam posisi melintang atau karena ibu mengalami preeklampsia.



32



DAFTAR PUSTAKA 1. Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia. Pathophysiology 2000; 6: 261-270. 2. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006.



Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu



Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99 3. Cunningham F. G., 2005. Chapter 34. Hypertensive Disorders In Pregnancy. In Williams Obstetri. 22nd Ed. New York :Medical Publishing Division, pp. 762-74 4. Cunningham F.G., 1995. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam Obstetri Williams. Edisi 18. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp. 773-819 5. Surjadi, M.L. dkk, 1999, Perbandingan Rasio Ekskresi Kalsium/Kreatinin Dalam Urin Antara



Penderita



Preeklamsia Dan Kehamilan Normal, Majalah Obstetri Dan



Ginekologi Indonesia, 23, 23-26. 6. Suyono, Y.J., 2002, Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi, edisi 6, Hipokrates, Jakarta Tomasulo,



P.J.



&



Lubetkin,



D.,



(2006, March



15







Preeclamsia,



Review



date),



Availablefrom:



http://www.obgyn.health.ivillage.com/pregnancybacics/preeclamsia.cmf 7. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006.



Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu



Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99 8. Sudhaberata K., 2001. Profil Penderita Preeklampsia-Eklampsia di RSU Tarakan Kaltim. 9. Sunaryo R., 2008. Diagnosis dan Penatalaksanaan Preeklampsia-Eklampsia, in : Holistic and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, pp 14 10. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006.



Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu



Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99 11. Manuaba I. B. G., 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, pp 401-31 12. Rachma N., 2008. Eklampsia : Preventif dan Rehabilitasi Medik Pre dan post Partum, in Holistic and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, pp. 99 13. Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI Cabang Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang



33



14. College Of Obstetricians And Gynaecologists, Singapore. 2006. Consensus Statement On The Management Of Pre-eclampsia 15. Achadiat, C.M., 2004, Prosedur Tetap Obstetri & Ginekologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 16. Cuningham, F.G., Gant, N.F., Leveno K.J., Gilstrap III L.C., Hauth, J.C., Wenstrom, K.D., 2001. Williams Obstetrics (21st edition). The McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America. 17. Mochtar, R., 1998, Sinopsis Obstetri Patologi, Edisi II, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 18. Wiknjosastro, H., Saifuddin, B, A., Rachimhadhi, T. 2002. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.



34