Presus VBAC [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PRESENTASI KASUS PERSALINAN PERVAGINAM SETELAH SEKSIO SESARIA (VBAC) Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Di bagian Ilmu Obstetrik dan Ginekologi di RSUD Panembahan Senopati Bantul



Disusun oleh : HAMMAD FARIED FAHDA 20060310036



Presentan : Anisah 20090310031



1



Diajukan Kepada : dr. Bambang Basuki, Sp.OG (K) Departemen Ilmu Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Rumah Sakit Panembahan Senopati 2013 HALAMAN PENGESAHAN PERSALINAN PERVAGINAM SETELAH SEKSIO SESARIA (VBAC) Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Di bagian Ilmu Obstetrik dan Ginekologi di RSUD Panembahan Senopati Bantul



Disusun oleh: Anisah 20090310031 Telah dipresentasikan pada : 25 November 2013



Disahkan oleh Dokter Pembimbing



1



dr.Bambang Basuki, Sp.OG (K)



KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmatNya serta karuniaNya, sehingga syukur alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan Presentasi Kasus dengan judul “Persalinan Pervaginam Setelah Seksio Caesaria (VBAC)”. Presentasi Kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan stase Ko-Assisten bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Penulis menyadari bahwa presentasi kasus ini dapat selesai berkat bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. dr. I.Wayan Sudana,M.Kes selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari. 2. Dr. dr. HM. Any Ashari, Sp.OG (K) selaku Kepala bagian dan Dosen pembimbing SMF Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSUD Panembahan Senopati Bantul yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan



1



mengarahkan penulis dalam melaksanakan stase Ko-assisten dibagian ilmu kebidanan dan kandungan. 3. dr. Bambang Basuki, Sp.OG (K) selaku Dosen penguji yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dalam menyusun presentasi kasus yang baik dan benar kepada penulis. 4. Bidan dan Perawat VK RSUD Panembahan Senopati Bantul. 5. Teman se-profesi dan se-perjuangan dalam menjalankan Ko-assisten bersama penulis. iii Penulis menyadari bahwa dalam penulisan presentasi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, banyak kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan penulis. Akhirnya semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan setiap pembaca pada umumnya Aamiin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Penulis



1 iv



DAFTAR ISI



1. 2. 3. 4. 5.



6.



7. 8. 9.



Halaman judul Halaman pengesahan Kata Pengantar Daftar Isi BAB I TINJAUAN PUSTAKA A. Pendahuluan B. Definisi C. Epidemiologi D. Patofisiologi Parut E. Ruptur Uterus pada Persalinan Pasca Bedah Caesar F. Keberhasilan VBAC G. Indikasi dan Kontraindikasi VBAC H. Manfaat VBAC BAB II PRESENTASI KASUS I. Identitas Pasien II. Anamnesis III. Pemeriksaan Fisik IV. Pemeriksaan Penunjang V. Diagnosa Kerja VI. Penatalaksanaan VII. Follow up BAB III PEMBAHASAN BAB IV KESIMPULAN BAB V DAFTAR PUSTAKA



1



i ii iii v 1 1 3 4



BAB I TINJAUAN PUSTAKA A. PENDAHULUAN Seorang wanita yang pernah menjalani operasi sesar jika hamil lagi mempunyai 2 pilihan persalinan yaitu operasi sesar lagi atau persalinan pervaginam (vaginal birth after cesarean section atau yang disebut VBAC). Selama bertahun-tahun, uterus yang memiliki jaringan parut dianggap merupakan kontraindikasi untuk melahirkan normal karena kekhawatiran untuk terjadinya ruptura uteri. Menurut panduan yang dikeluarkan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists, wanita yang memiliki riwayat seksio sesarea dua kali atau riwayat operasi rahim sebelumnya dapat diberikan kesempatan memilih persalinan pervaginam. Seksio sesarea merupakan salah satu operasi tertua dan terpenting di bidang obstetri. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah kematian janin maupun ibu sehubungan dengan adanya bahaya atau komplikasi yang akan terjadi bila persalinan dilakukan pervaginam. Kemajuan di bidang kedokteran yang demikian pesat dan semakin baiknya kualitas ahli obstetri menjadikan tindakan seksio sesarea lebih aman dan penggunaannya makin meluas. Perkembangan ini pada akhirnya akan meningkatkan frekuensi seksio sesarea yang pada gilirannya juga akan meningkatkan pula angka bekas seksio sesarea. Cragin pada New York Medical Journal tahun 1916 "once a cesarean always a cesarean", bahwa sekali seksio sesarea maka persalinan berikutnya juga dengan cara seksio sesarea. Kebijakan ini berasal dari kekhawatiran akan terjadinya ruptura uteri pada bekas luka seksio sesarea sebelumnya. Memang risiko ruptura ini akan lebih besar terjadi bila jenis operasi yang digunakan adalah seksio sesarea klasik (irisan vertikal). Tetapi apabila jenis operasi secara seksio sesarea transperitonealis profunda (SCTP), maka kemungkinan ruptura uteri jauh berkurang. Wanita yang sebelumnya telah melakukan seksio sesarea lebih dari satu kali juga memiliki resiko ruptur rahim yang lebih besar. Kemungkinan kejadian ruptura uteri dengan irisan klasik adalah 10 kali dibanding irisan



1



transversal rendah. Dengan sepertiga dari ruptura parut sayatan klasik terjadi waktu kehamilan, sedang pada irisan transversal rendah umumnya terjadi saat persalinan. Wanita yang telah melakukan persalinan vagina sebelumnya selain seksio sesarea biasanya memiliki kemungkinan keberhasilan VBAC lebih tinggi. Pengamatan ini mulanya ditemukan secara kebetulan pada pasien-pasien dengan riwayat seksio sesarea yang datang sudah dalam persalinan, yang tadinya direncanakan untuk dilakukan seksio sesarea ulang, namun ternyata dapat melahirkan



pervaginam



sebelum



operasi



dikerjakan.



Kenyataan



juga



menunjukkan bahwa jika ruptura uteri terjadi pada bekas luka seksio sesarea segmen bawah rahim, maka bahaya yang ditimbulkan tidaklah sehebat jika terjadi pada irisan vertikal (seksio sesarea klasik) (Obstetri, William). Sejak tahun 1980-an banyak artikel maupun tulisan yang menyongsong diusahakannya persalinan pervaginam pasca seksio sesarea atau "trial of scar" / (vaginal birth after cesarean). The American College of Obstetrician and Gynecologist secara resmi menganjurkan kebijakan "trial of scar" dalam kondisikondisi yang layak. Pada era akhir abad ke-20 jika tidak ada indikasi yang berulang maka persalinan pada bekas seksio sesarea satu kali tidak lagi harus dikelola dengan seksio sesarea elektif. Perubahan kebijakan ini dipicu oleh keinginan untuk menekan tingginya angka seksio sesarea yang cenderung terus meningkat dan pada awal tahun 1990-an telah mencapai angka 30%. Di Amerika Serikat indikasi dilakukannya seksio sesarea pada multipara terbanyak adalah riwayat seksio sesarea sebelumnya, padahal bukti medis pada waktu ini menunjukkan bahwa lebih dari 70% wanita hamil dengan riwayat seksio sesarea dapat melahirkan pervaginam. Di samping itu beberapa publikasi melaporkan adanya komplikasi yang terjadi selama pelaksanaan upaya partus pervaginam pasca seksio sesarea. Publikasi tersebut mengingatkan bahwa upaya partus pervaginam pada riwayat seksio sesarea sebelumnya merupakan prosedur yang relatif aman, tetapi tidak berarti upaya itu bebas resiko. Seksio sesarea hendaknya tidak dilakukan atas dasar rutinitas belaka akan tetapi harus berdasarkan pertimbangan klinis yang cermat.



1



B. DEFINISI VBAC (Vaginal Birth After Cesarean) ialah proses persalinan per vaginam yang dilakukan terhadap pasien yang pernah mengalami seksio sesaria pada kehamilan sebelumnya atau pernah mengalami operasi pada dinding rahim (misalnya satu ataupun lebih miomektomi intramural). Seksio sesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut.



C. EPIDEMIOLOGI Kejadian persalinan pada pasien pasca sectio caesaria dikemukakan oleh beberapa penulis berbeda-beda. Di Amerika makin lama angka persalinan bedah caesar bertambah yakni dari 1 dalam 20 kelahiran hidup di tahun 1970, menjadi 1 dalam 4 kelahiran hidup sejak tahun 1986. Di Asia sangat bervariasi, berkisar antara 4.8% di India dan 26.6% di daratan Cina. Di Indonesia angka persalinan bedah caesar di 12 rumah sakit pendidikan berkisar antara 2.1%-11.8%. Analisis dari statistik nasional menunjukkan peningkatan 48% tingkat persalinan bedah caesar dari tahun 1980 sampai tahun 1985 yang berhubungan dengan persalinan bedah caesar sebelumnya. Sebagian indikasi yang umum dikerjakan berturut-turut adalah distosia, bekas bedah caesar, presentasi sungsang, dan gawat janin. National Institutes of Health merekomendasikan bila tidak ada komplikasi maka wanita hamil dengan pasca bedah caesar transversal rendah mendapat kesempatan persalinan pervaginam. Pada tahun 1988 ACOG (American College of Obstetricians and Gynecologists) Committe on Obstetrics menyatakan konsep rutin persalinan bedah caesar ulang dilakukan atas indikasi yang rasional dan wanita dengan riwayat 2 kali atau lebih bedah caesar sebelumnya dengan insisi transversal rendah bisa mendapatkan kesempatan persalinan pervaginam asal tidak ada kontraindikasi.



1



D. PATOFISIOLOGI PARUT Memberi kesempatan persalinan pervaginam pada pasien hamil pasca bedah caesar telah banyak dianut, dan ini membawa konsekuensi pada keadaan dinding perut dan rahim akibat pembedahan caesar dahulu. Problema utama suatu hasil pembedahan adalah mengenai penyembuhan luka. Sehingga harus pula kita perhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka. Berapa peneliti, seperti Williams (1921) menyatakan bahwa uterus sembuh dengan regenerasi serabut-serabut otot, tidak dengan pembentukan jaringan parut. Pendapat ini didasarkan hasil pemeriksaan histologik pada tempat insisi dan 2 pengamatan penting. Pertama, bahwa pada pemeriksaan pandang sebelum uterus dibuka pada saat bedah caesar ulang biasanya tidak ditemukan bekas irisan pertama, atau paling banyak hanya dijumpai suatu parut berbentuk garis yang hampir tak terlihat. Kedua, bila uterus diangkat setelah melakukan fiksasi seringkali tak dijumpai parut atau hanya terlihat suatu cekungan dangkal vertikal pada permukaan dalam dan luar dinding depan uterus tanpa adanya jaringan parut diantaranya. Schwarz dkk (1938) menyatakan bahwa penyembuhan luka pada uterus hamil terjadi dengan cara pembentukan jaringan ikat. Proses ini berjalan sebagai berikut yaitu setelah dilakukan sayatan maka antara kedua sisi luka timbul eksudat, pembentukan dan deposit fibrin, proliferasi dan infilrasi fibroblast, kemudian terbentuklah jaringan parut. Jaringan parut kemudian menarik kedua sisi otot sehingga hampir tidak tampak lagi jaringan parutnya. Penyembuhan luka pada uterus adalah unik. Sayatan yang dilakukan adalah sayatan pada suatu dinding organ yang terdiri dari otot halus. Atau ada pula sayatan pada tempat yang sebagian besar terdiri atas jaringan ikat. Disini ada faktor mekanik berupa kontraksi dan retraksi yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Badan uterus akan mengecil 1/4- 1/5 dari ukuran semula. Suatu sayatan longitudinal sepanjang 10 cm akan cepat mengecil membentuk parut sepanjang 2 cm. Sayatan pada segmen bawah rahim akan mengecil lebih lambat. Pada kehamilan berikutnya serabut-serabut otot mengalami pemanjangan



1



dan perubahan konsistensi. Daerah jaringan parut relatif statis, konsistensi jaringan parut mengalami perubahan menjadi lebih lunak mirip dengan perubahan yang dialami jaringan fibromuskular servik dikala awal persalinan. Perubahan tampak nyata pada miometrium tidak pada jaringan fibrous parut. Perlu diperhatikan juga resiko terjadinya perlengketan. Ini tampak lebih nyata pada pasien yang dilakukan pengirisan dinding perut secara membujur daripada yang melintang (pfanenstiel). Irion (1996) dari penelitiannya menyatakan bahwa



tidak



ada



perbedaan



bermakna



terjadinya



perlengketan,



lama



penyembuhan, serta resiko ileus pasca bedah antara yang dilakukan penutupan peritoneum viserale-parietale dengan yang tidak. Sedangkan Staek (1994) mendapatkan resiko perlengketan yang bermakna pada yang dilakukan penutupan peritoneum viserale-parietale dibanding yang tidak. Dan umumnya dianjurkan untuk melakukan omentum di dinding depan uterus untuk mengurangi resiko perlengketan dengan dinding perut. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka adalah kebutuhan oksigen jaringan, suhu, adanya proses infeksi, kerusakan jaringan, antiseptik, sirkulasi darah dan limfe, tempat yang bergerak. Tindakan aseptik bukanlah jaminan untuk mencegah timbulnya infeksi, tetapi lebih dari itu persiapan tindakan bedah yang baik, keadaan umum dan imunitas penderita, pencegahan perdarahan dan syok, serta seleksi penderita yang memadai turut memengaruhi keberhasilan. Pemeriksaan jaringan parut oleh sebagian dokter kebidanan dilakukuan secara rutin dengan mencatat integritas jaringan parut lama dengan palpasi setelah persalinan pervaginam, namun menurut sebagian dokter lain eksplorasi uterus semacam ini dirasakan tidak diperlukan. Saat ini, tidak diketahui apa efek dokumentasi suatu jaringan parut asimptomatik pada reproduksi atau rute persalinan selanjutnya. Namun, terdapat kesepakatan umum bahwa harus dilakukan perbaikan bedah terhadap jaringan parut yang terbuka hanya jika dijumpai perdarahan yang signifikan. Pemisahan asimptomatik umumnya tidak memerlukan laparatomi eksplorasi dan perbaikan.



1



E. RUPTUR UTERUS PADA PERSALINAN PASCA BEDAH CAESAR Ruptur uterus secara anatomis dibedakan menjadi ruptura uteri komplit (symptomatic rupture) dan dehisens (asymptomatic rupture). Pada ruptur uteri komplit terjadi diskontinuitas dinding uterus berupa robekan hingga lapisan serosa uterus dan membran khorioamnion. Sedangkan dehisens terjadi robekan jaringan parut uterus tanpa robekan lapisan serosa uterus dan tidak terjadi perdarahan. Ruptur uterus mengacu kepada pemisahan insisi uterus lama disertai ruptur membran janin sehingga rongga uterus dan rongga peritoneum berhubungan. Seluruh atau sebagian dari janin atau plasenta menonjol ke dalam rongga peritoneum. Pada dehisens uterus, membran janin utuh dan janin atau plasenta, atau keduanya, tidak keluar ke dalam rongga peritoneum ibu. Ruptur uterus umumnya bermanifestasi sebagai deselerasi memanjang denyut jantung janin, bradikardi, atau dapat hilang sama sekali. Kurang dari 10 % wanita yang mengalami ruptur uterus mengalami nyeri dan perdarahan sebagai temuan utama. Temuan klinis lain yang berkaitan dengan ruptur uterus adalah iritasi diafragma akibat hemoperitoneum dan tidak diketahuinya tinggi janin yang terdeteksi sewaktu pemeriksaan dalam. Beberapa wanita mengalami penghentian kontraksi setelah ruptur. Penatalaksanaan ruptur uterus antara lain adalah sesar darurat atas indikasi gawat janian, terapi pendarahan ibu, dan perbaikan defek uterus atau histerektomi jika perbaikan dianggap tidak mungkin. Angka ruptur uterus pada wanita dengan riwayat insisi vertikal yang tidak meluas hingga ke fundus masih diperdebatkan. American College of Obstetricians and Gynecologists (1999) menyimpulkan bahwa bukti ilmah masih inkonsisten atau terbatas, wanita dengan insisi vertikal di segmen bawah uterus yang tidak meluas ke fundus dapat menjadi kandidat untuk VBAC. Sebaliknya, riwayat insisi uterus klasik atau berbentuk T dianggap kontraindikasi untuk VBAC. Namun, berdasarkan indikasi insisi vertical saat ini, hanya sedikit insisi yang tidak meluas hingga ke segmen aktif. Dalam mempersiapkan laporan operasi setelah insisi uterus vertical jenis apapun, perlu didokumentasikan secara pasti luas jaringan parut dengan suatu cara yang tidak dapat disalahartikan oleh dokter berikutnya. 1



Tanda-tanda ruptur uteri adalah sebagai berikut (Caughey AB, et al, 2001): 1. Nyeri akut abdomen 2. Sensasi popping (seperti akan pecah) 3. Teraba bagian-bagian janin diluar uterus pada pemeriksaan Leopold 4. Deselerasi dan bradikardi pada denyut jantung bayi 5. Presenting perutnya tinggi pada pemeriksaan pervaginal 6. Perdarahan pervaginal Angka Ruptur Uterus Berdasarkan Jenis dan Lokasi Insisi Uterus Sebelumnya Tipe insisi uterus Perkiraan ruptur (%) Klasik 4-9 Bentuk T 4-9 Vertikal rendah 1-7 Tranversal rendah 0.2-0.5 American College of Obstetricians and Gynecologists : Vaginal birth after previous caesarean delivery. Secara umum, angka terendah kejadian ruptur dilaporkan untuk insisi tranversal rendah dan tertinggi untuk insisi yang meluas hingga ke fundus-insisi klasik. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan baik, sehingga parut lebih kuat. Angka ruptur uterus juga dilaporkan tinggi (sekitar 8%) pada wanita dengan riwayat sesar dan malformasi uterus unikornuata, bikornuata, didelfis, dan septata.



Wanita



yang pernah mangalami ruptur uterus lebih besar kemungkinannya mengalami kekambuhan. Mereka yag rupturnya tebatas di segmen bawah memiliki resiko kekambuhan sekitar 6% pada persalinan selanjutnya, sedangkan mereka yang rupturnya mencakup uterus atas memiliki resiko kekambuhan sekitar 1 dalam 3. Ruptur uteri pada luka bekas seksio sering sukar sekali didiagnosis. Tidak ada 1



gejala-gejala yang khas seperti ruptura pada rahim yang utuh. Mungkin hanya ada perdarahan yang lebih dari perdarahan pembukaan atau ada perasaan nyeri pada daerah bekas luka. Oleh karena itu, ruptura semacam ini disebut “silent rupture” (ruptura yang tenang atau tidak terjadi robekan secara mendadak). Gambaran klinisnya sangat berbeda dengan gambaran klinis ruptura uteri pada uterus yang utuh. Hal ini disebabkan oleh ruptura yang biasanya pada luka bekas seksio terjadi sedikit demi sedikit penipisan jaringan di sekitar bekas luka untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptur uteri, lagi pula perdarahan pada ruptur bekas luka seksio sesarea profunda terjadi retroperitoneal hingga tidak menyebabkan gejala perangsangan peritoneum. Ruptura uteri merupakan komplikasi langsung yang dapat terjadi pada VBAC, meskipun kejadiannya kecil, tapi dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin. Untuk menghindari terjadinya komplikasi ini, kita harus dapat mengenali faktor risiko yang terdapat pada pasien sebelum dilakukannya VBAC. Adapun faktor risiko itu adalah : Riwayat Persalinan , meliputi : a. Jenis parut (tipe insisi operasi sebelumnya)



The incision made in the uterine wall for a cesarean birth may be low transverse, low vertical, or high vertical. The type of incision made in the skin may not be the same type of incision made in the uterus.



Insisi transversal rendah risikonya, 0,2-1,5% , insisi vertikal rendah resikonya 1-7% dapat dipertimbangkan untuk VBAC, sedangkan insisi klasik (vertikal tinggi) resikonya sebesa 4-9% dan tidak direkomendasikan untuk VBAC, T-shaped resikonya 4-8% tidak direkomendasikan untuk VBAC. b. Cara penjahitan uterus pada operasi sebelumnya



1



Memang masih menjadi kontroversi tersendiri, beberapa penelitian mengatakan tidak ada perbedaan risiko ruptur uteri pada penjahitan secara single atau double layer, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa penjahitan single layer berisiko 4 kali lipat mengalami ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dibandingkan double layer. c. Jumlah SC sebelumnya Risiko ruptur uterus meningkat seiring dengan jumlah insisi sebelumnya. Secara spesifik, terjadi peningkatan sekitar tiga kali lipat resiko ruptur uterus pada wanita yang mencoba melahirkan per vaginam dengan riwayat dua kali sesar dibandingkan dengan riwayat satu kali sesar. American College of Obstetricians and Gynecologists mengambil posisi bahwa wanita dengan riwayat dua kali sesar transversal-rendah dapat dijadikan kandidat untuk VBAC. d. Riwayat persalinan pervaginam Suatu penelitian yang sangat besar menunjukkan efek protektif yang signifikan dari riwayat persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea satu kali, dan mungkin merupakan faktor protektif juga pada bekas seksio sesarea dua kali. Penelitian kohort yang besar oleh Zelop dkk. menemukan bahwa riwayat persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea menurunkan resiko terjadinya ruptur uterus. Ruptur 1,1% terjadi pada wanita tanpa riwayat persalinan pervaginam dan hanya 0,2% pada wanita yang pernah mengalami persalinan pervaginam setelah seksio sesarea. e. Interval persalinan Shipp dkk. menyatakan bahwa waktu yang pendek antara seksio sesarea dan percobaan persalinan pervaginam berikutnya dapat meningkatkan resiko 1



terjadinya ruptur uterus karena tidak tersedia waktu yang adekuat untuk penyembuhan luka. Wanita dengan interval persalinan kurang dari 18 bulan, mempunyai resiko 2,3% dibandingkan dengan yang intervalnya lebih dari 18 bulan yaitu 1%. f. Indikasi Sesar Sebelumnya Angka keberhasilan untuk percobaan persalinan sedikit banyak bergantung pada indikasi sesar sebelumnya. Angka keberhasilan agak meningkat jika sesar sebelumnya dilakukan atas indikasi presentasi bokong atau distress janin dibandingkan jika indikasinya adalah distosia. Faktor prognostik yang paling mendukung adalah riwayat pelahiran pervaginam. g. Ukuran Janin Belum dibuktikan bahwa peningkatan ukuran janin meningkatkan resiko ruptur uterus pada VBAC. Zelop dkk., (2001) membandingkan prognosis pada hampir 2.750 wanita yang menjalani percobaan persalinan dan 1,1 persennya mengalami ruptur uterus. Meskipun tidak bermakna, angk tersebut meningkat seiring dengan peningkatan berat janin-1,0 persen untuk berat < 4000 g, 1,6 persen untuk berat >4000 g, dan 2,4 persen untuk berat >4250 g. Elkousy dkk. (2003) juga melaporkan bahwa pada wanita yang menjalani VBAC tanpa riwayat pelahiran per vagina, risiko relatif rupturnya uterus menjadi dua kali lipat jika berat lahir > 4000 g. Yang terakhir, wanita yang mencoba persalinan dengan janin kurang bulan memiliki angka kejadian ruptur uterus yang lebih rendah dengan angka keberhasilan pelahiran per vagina yang sama atau lebih tinggi dari kondisikondisi lain yang telah dibahas (Durnwald dkk,. 2006; Quinones dkk., 2005). Faktor Ibu a. Umur Suatu studi oleh Shipp dkk menyatakan bahwa usia diatas 30 tahun mungkin berhubungan dengan kejadian ruptur yang lebih tinggi.



1



b. Anomali uterus Terdapat kejadian ruptur yang lebih tinggi pada wanita dengan anomali uterus. Karakteristik kehamilan saat ini a. Makrosomia Risiko ruptura uteri akan meningkat dengan meningkatnya berat badan janin karena terjadinya distensi uterus. b. Kehamilan ganda Hanya satu penelitian mengenai hal ini dan ternyata dari 92 wanita, tidak terjadi ruptura uteri. c. Ketebalan segmen bawah uterus (SBU) Ketebalan SBU dapat diperiksa dengan USG. Risiko terjadinya ruptur 0% bila ketebalan SBU > 4,5 mm; 0,6% bila 2,6-3,5 mm dan 9,8% bila tebalnya < 2,5 mm d. Malpresentasi Flamm dkk. melaporkan tidak terjadi ruptur pada 56 pasien yang dilakukan versi luar pada presentasi bokong saat hamil aterm, namun karena tidak ada data yang definitif, prosedur ini mungkin bisa berhubungan dengan terjadinya ruptur uterus. F. KEBERHASILAN VBAC Angka keberhasilan partus pervaginam sekitar 60 – 80 %, dengan komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptura uteri (rahim robek) sekitar 0,5 – 1,5 %, histerektomi (operasi pengangkatan rahim), cedera operasi, dan infeksi sehingga dapat menyebabkan meningkatnya angka kesakitan dan kematian ibu dan janin. Angka keberhasilan VBAC bergantung pada indikasi seksio sesarea sebelumnya. Jika indikasi operasi sebelumnya karena faktor menetap seperti panggul sempit, jelas tidak boleh melakukan VBAC. Tetapi VBAC sering berhasil 1



jika indikasi operasi sebelumnya adalah presentasi bokong, fetal distress, partus tak maju atau partus macet. Pada partus tak maju, VBAC akan mempunyai keberhasilan lebih tinggi jika operasi sebelumnya dilakukan pada pembukaan lebih dari 5 cm. Hoskins dan Gomez (1997) menganalisis angka kejadian VBAC pada 1917 wanita dalam kaitannya dengan besar pembukaan serviks yang dicapai sebelum dilakukan seksio sesarea sebelumnya atas indikasi distosia. Angka keberhasilan VBAC adalah 67% untuk yang seksio sesarea pada pembukaan servik 5 cm atau kurang, dan 73% untuk pembukaan 6-9 cm. Angka keberhasilan VBAC turun menjadi 13% apabila distosia didiagnosis pada kala dua persalinan. No. Kriteria Nilai 1 Usia dibawah 40 tahun 2 2 Riwayat persalinan pervaginam: - sebelum dan setelah seksio sesarea 4 - setelah seksio sesarea pertama 2 - sebelum seksio pertama 1 - Belum pernah 0 Indikasi seksio sesarea pertama bukan kegagalan kemajuan 3 1 persalinan 4 Pendataran serviks pada saat masuk rumah sakit - > 75% 2 - 25 – 75 % 1 - < 25% 0 5 Pembukaan serviks pada saat masuk rumah sakit ≥ 4 cm 1 Total 6 Skor VBAC menurut Flamm dan Geiger



Angka keberhasilan VBAC menurut Flamm dan Geiger



1



Keterangan √ √ √ √



√ -



Skor VBAC menurut Weinstein



Angka keberhasilan VBAC menurut Weinstein



1



G. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI VBAC Rekomendasi American College of Obstetricians and Gynecologists (1999) untuk Pemilihan Kandidat Persalinan per Vaginam Setelah Sesar (VBAC) Kriteria seleksi 1. Riwayat satu atau dua seksio sesarea dengan insisi transversal rendah 2. Panggul secara klinis lapang 3. Tidak ada jaringan parut uterus lain atau riwayat ruptur 4. Tersedia dokter selama persalinan aktif yang mampu memantau persalinan dan melakukan sesar darurat (dalam waktu 30 menit) 5. Ketersediaan anestesi dan petugasnya untuk sesar darurat Beberapa persyaratan lainnya antara lain : 1. Tidak ada indikasi seksio sesarea pada kehamilan saat ini seperti janin lintang, sungsang, bayi besar, plasenta previa. 2. Terdapat catatan medik yang lengkap mengenai riwayat seksio sesarea sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama perawatan). 3. Pasien sesegera mungkin untuk dirawat di RS setelah terdapat tanda-tanda persalinan.



1



4. Tersedia darah untuk transfusi. 5. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya 6. Usia kehamilan cukup bulan ( 37 minggu – 41 minggu ). 7. Presentasi belakang kepala ( verteks ) dan tunggal 8. Ketuban masih utuh atau sudah pecah tak lebih dari enam jam 9. Tidak ada tanda-tanda infeksi 10. Janin dalam keadaan sejahtera dengan pemeriksaan Doppler atau NST. Kontraindikasi Mutlak 1. Seksio sesarea terdahulu adalah seksio korporal ( klasik ). 2. Adanya APB ( Ante Partum Bleeding ) oleh sebab apapun. 3. Terbukti bahwa seksio sebelumnya adalah karena CPD ( Cephalo Pelvic Dysproportion). 4. Malpresentasi atau malposisi. 5. Bayi besar ( makrosomia ). 6. Seksio sesaria lebih dari satu kali. 7. Kehamilan post term ( > 42 minggu ) dengan pelvic score rendah. 8. Terdapat tanda-tanda hipoksia intrauterin ( dari frekuensi bunyi jantung janin, NST ataupun CST ).



1



Kontraindikasi Relatif 1. Kehamilan kembar / gemeli 2. Hipertensi dalam kehamilan, termasuk preeklamsia. 3. Seksio terdahulu pasien dirawat lebih dari kewajaran ( > 7 hari ) 4. Terdahulu adalah operasi miomektomi multipel. H. MANFAAT VBAC 1.



Menghindari bekas luka lain pada rahim, mengingat jika ibu ingin hamil lagi maka resiko masalah pada kehamilan berikutnya lebih sedikit.



2.



Lebih sedikit kehilangan darah dan lebih sedikit memerlukan tranfusi darah.



3.



Resiko infeksi pada ibu dan bayi lebih kecil.



4.



Biaya yang dibutuhkan lebih sedikit sedikit.



5.



Waktu pemulihan pasca melahirkan lebih cepat pada ibu.



BAB II KASUS I. IDENTITAS Nama



: Ny. AA



Umur



: 30 Tahun



1



Paritas



: G3P1A1



Agama



: Islam



Pendidikan



: SD



Pekerjaan



: Ibu Rumah Tangga



Alamat



: Semail, Bangunharjo, Sewon, Bantul



Tanggal masuk



: 23 November 2013, pukul : 08.00



No.RM



: 517780



II. ANAMNESIS a. Keluhan utama : Kenceng-kenceng teratur sejak 23-11-2013 pukul 00.00, keluar lendir darah 23-11-2013 03.00. b. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien kiriman dari bidan masuk lewat IGD dengan keterangan G3P1A1 hamil 38 minggu, riwayat SC 7 tahun yang lalu dengan kenceng-kenceng. Pasien merasa hamil 9 bulan dan mengeluh kenceng-kenceng sering dan teratur, keluar lendir darah, air kawah belum pecah. Riwayat SC 7 tahun yang lalu atas indikasi oligohidramnion. c. Riwayat Penyakit Dahulu : Penyakit Asthma, Jantung, Hipertensi, Diabetes Melitus disangkal pasien. d. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit Asthma, Jantung, Hipertensi, dan Diabetes Mellitus e. Riwayat Haid : Hari Pertama Haid Terakhir



: 27-02-2013



Hari Perkiraan Lahir



: 04-12-2013



Umur Kehamilan



: 38+3 minggu



f. Riwayat Obstetri : Hamil I



: Abortus, 3 bulan, kuretase.



Hamil II



: Wanita, 7 tahun, BBL 3800 gr, SC a/i oligohidramnion, di RSPS.



Hamil III : hamil ini.



1



g. Riwayat Keluarga Berencana ( KB ) : belum pernah. III. PEMERIKSAAN FISIK a. Keadaan Umum Baik, compos mentis, tidak anemis. Tinggi badan



: 155 cm



Berat badan



: 59 kg



b. Vital Sign Tekanan Darah



: 120/70 mmHg



Nadi



: 92 x/menit



Suhu



: 36,30 C



Respirasi



: 20 x/menit



c. Status Generalis Kepala



: conjunctiva anemis (-/-), pupil isokor, lidah kering (-).



Leher



: tidak ada pembesaran kelenjar limfonodi dan kelenjar tiroid.



Thorax



: pernapasan kanan dan kiri simetris, retraksi (-)



Abdomen



Jantung



: S1-S2 reguler, bising (-)



Paru



: vesikuler +/+, wheezing (-), ronkhi (-)



: terdapat luka bekas operasi, perut membesar sesuai umur kehamilan.



Ekstremitas : Tidak ada gangguan gerak dan oedema. d. Status Obstetrik Pemeriksaan Luar: Inspeksi



: abdomen membuncit sesuai umur kehamilan, tampak luka bekas operasi SC irisan pfaneinsteil.



Palpasi



: janin tunggal, memanjang, preskep. Leopold I



: bokong di fundus uteri. TFU : 27 cm.



Leopold II



: memanjang, punggung di kiri.



Leopold III : teraba kepala tidak bisa digerakkan, sudah ada engagement. Leopold IV : Divergen



1



Auskultasi



: DJJ (+) 155x/menit



Lain-lain



: HIS (+) 3-4’/25-30”/s



Pemeriksaan Dalam : Vaginal Toucher / VT : Vulva / Urethrae tenang, Dinding vagina licin, Servik tebal lunak ditengah terbuka 4 cm, selket (+), STLD (+), AK(-), preskep, kepala di H2-3 IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Golongan Darah : O HB



: 13.0 g%



AL



: 8.12 ribu/ul



AT



: 175 ribu/ul



HMT



: 36,9 %



PPT



: 12,7 detik



APTT



: 31,6 detik



Control PTT



: 13,6 detik



Control APTT



: 31.8 detik



HbsAg



: negatif



USG : janin tunggal, memanjang, preskep, gerakan (+), DJJ (+), Plasenta di fundus gr III, AK cukup. V. DIAGNOSA Multigravida hamil aterm dalam persalinan kala I fase laten dengan riwayat SC 7 tahun yang lalu VI. TERAPI -



Rencana VBAC



-



observasi HIS dan DJJ



-



observasi kemajuan persalinan



-



evaluasi 4 jam



VII. FOLLOW UP Jam 16.05



1



Ibu ingin mengejan, HIS meningkat teratur 4-5’/ 40-45”/, DJJ (+) 145x/menit PD : v/u tenang, dinding vagina licin, servik tak teraba, pembukaan lengkap, selket(-), STLD(+), AK(-), preskep, kepala turun di H3-4. Dx : Sekundigravida hamil aterm persiapan VBAC Tx :



- pimpin persalinan -persiapan VBAC - siapkan resusitasi bayi



Jam 16.15 Telah lahir bayi secara spontan jenis kelamin perempuan, BB=1900gr, PB=42 cm, LK=29 cm, LD=27 cm, Lila=8 cm, A/S = 5/7. Injeksi oxytocin 10 IU secara IM Jam 16.20 Plasenta lahir spontan lengkap. Perineum ruptur, dilakukan jahit dalam secara jelujur terkunci, jahit luar intrakutan catgut. Injeksi MethylErgometrin 10 IU secara IM Dx : VBAC pada P3A1 Ho dg riwayat SC 7 tahun yang lalu. Tx :



- Observasi KU/VS - Amoxicillin tab 3x500mg - Asam Mefenamat tab 3x500mg - SF/ B.Comp/ Vit C tab 1x1



BAB III PEMBAHASAN Pada kasus ini pasien datang dengan G3P1A1 hamil 38 minggu, janin tunggal, presentasi kepala, TBJ : 2480 gr, DJJ 139x/menit sedang dalam persalinan kala 1 fase laten. Nilai keberhasilan VBAC menurut Flamming :



1



No. Kriteria Nilai 1 Usia dibawah 40 tahun 2 2 Riwayat persalinan pervaginam: - sebelum dan setelah seksio sesarea 4 - setelah seksio sesarea pertama 2 - sebelum seksio pertama 1 - Belum pernah 0 Indikasi seksio sesarea pertama bukan kegagalan kemajuan 3 1 persalinan 4 Pendataran serviks pada saat masuk rumah sakit - > 75% 2 - 25 – 75 % 1 - < 25% 0 5 Pembukaan serviks pada saat masuk rumah sakit ≥ 4 cm 1 Total 6



Keterangan √ √ √ √



√ -



Intrepretasi : Perkiraan angka keberhasilan VBAC pada pasien ini adalah 50-94%, sehingga dianjurkan untuk melakukan persalinan secara pervaginam. Jika dilihat dari taksiran berat janin yaitu 2480 gr dapat diartikan sebagai janin kecil sehingga diusulkan dilakukan persalinan pervaginam. Pasien dan keluarga sebelumnya dijelaskan terlebih dahulu tentang resiko kemungkinan yang dapat terjadi, kemudian diberikan pilihan keputusan untuk memilih persalinan normal atau re sc. Sehingga pilihan dilakukan VBAC pada pasien ini sudah tepat.



1



BAB IV KESIMPULAN Pengambilan keputusan cara persalinan pada pasien ini dengan riwayat seksio sesarea 7 tahun yang lalu, apakah pervaginam atau perabdominam harus memperhatikan



riwayat



persalinan



sebelumnya,



jumlah



seksio



sesarea



sebelumnya, indikasi seksio sesarea, jenis sayatan uterus, jahitan segmen bawah uterus, riwayat melahirkan pervaginam, jarak antar kelahiran, riwayat demam atau penyembuhan luka operasi seksio sesarea pada ibu, ketebalan segmen bawah uterus, taksiran berat janin, kapasitas panggul, presentasi janin dan kesejahteraan



1



janin sebelum keputusan untuk persalinan pervaginam diambil. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan resiko terjadinya ruptura uteri pada persalinan pervaginam dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya (VBAC).



DAFTAR PUSTAKA 1. ACOG Practice Bulletin #54: vaginal birth after previous cesarean. Obstet Gynecol 2004; 104:203. 2. American College of Obstetricians and Gynecologists.1999. Vaginal birth after previous cesaean delivery. ACOG Practice Bulletin #5, American College of Obstetricians and Gynecologists, Washington DC 3. Cunningham, Mcdonald, Gant, 2005. Obstetry Williams. EGC : Jakarta. 4. Flamm BL, Geiger AM. 1997. Vaginal Birth After Cesarean Delivery : an admission scoring system. Obstet Gynecol 90 : 907-10.



1



5. Macones, GA, Peipert, J, Nelson, DB, et al. Maternal complications with vaginal birth after cesarean delivery: a multicenter study. Am J Obstet Gynecol 2005;193:1656. 6. Rustam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi dan Patologi. EGC : Jakarta. 7. Winknjosastro, H. 1999. Ilmu Kebidanan : Ruptura Uteri pada Parut Uterus. 670-672. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.



1