Prinsip Uti Possidetis Juris Dalam Penetapan Perbatasan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PRINSIP UTI POSSIDETIS JURIS DALAM PENETAPAN PERBATASAN (KASUS INDONESIA-TIMOR LESTE)



PROPOSAL PENELITIAN



OLEH : LERICK TUHEPARY NIM. 2016 21 570



PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON 2020



LEMBAR PENGESAHAN



PRINSIP UTI POSSIDETIS JURIS DALAM PENETAPAN PERBATASAN (Kasus Indonesia-Timor Leste)



Proposal ini telah disetujui oleh pembimbing, I dan II dan diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan diajukan untuk memenuhi persyaratan Seminar Proposal dalam Program Studi Ilmu Hukum



Disetujui oleh



Pembimbing I



Pembimbing II



Dr. J. A. Y. Wattimena, SH, LL.M, NIP. 19651008 200012 2001



Dr. R. M. Waas. SH. MH. NIP. 19820328 200812 1001



Diketahui oleh Ketua Program Studi



Dr. E. R. M. Toule SH, MS NIP. 19650304 199512 2001 BAB I



A. Latar Belakang Hukum internasional merupakan instrument penting yang sangat dibutuhkan dalam menyikapi berbagai persoalan masyarakat internasional yang marak terjadi dewasa ini. Sekalipun dalam berbagai sudut pandang para ahli dan pengamat, hukum internasional, sering dimaknai dengan pemahaman bahkan fungsi yang berbeda-beda. Memang tidak salah, tetapi hal ini tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Mengingat kerangka hukum internasional dengan konsep dasarnya adalah hukum yang dipergunakan untuk mengatur hubungan antar para subjek hukum internasional, di dalamnya tercakup subjek hukum Negara. Secara umum substansi hukum internasional dideskripsikan oleh Mochtar Kusumaatmadja ke dalam dua bagian yakni yang bersifat hukum internasional public adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata1. Penggambaran yang disampaikan oleh Mochtar Kusumaatmadja ini hendak menegaskan bahwa hubungan internasional bukan hanya sebatas Negara dengan Negara sebagai subjek hukum yang paling utama. Akan tetapi terdapat di dalam hubungan dimaksud ada Negara dengan subjek hukum bukan Negara atau subjek hukum bukan Negara satu sama lain2. Yang kemudian menjadi permasalahan penting untuk dikedepankan adalah dalam membangun hubungan internasional antar para subjek hukum internasional pedoman hukum mana yang dapat dijadikan sebagai norma dasar yang bersifat tegas 1



Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Binacipta, Jakarta, 1982, Cetakan ke empat hal 1 2 Ibid



dan mengikat. Mempersoalkan hukum mana yang akan digunakan adalah sebuah keniscayaan di dalam hukum internasional. Mengingat di dalam hukum internasional public telah tercantum dengan jelas dan pasti sumber hukum yang dapat digunakan untuk mengatur hubungan internasional antar para subjek hukum internasional. Secara yuridis normative hukum internasional selalu bersumber pada pasal 38 ayat (1) Mahkamah Internasional. Di dalamnya tertuang sumber hukum internasional yakni perjanjian hukum internasional, kebiasaan hukum internasional, prinsip-prinsip umum hukum dan keputusan pengadilan serta doktrin dari para ahli hukum terkemuka. Di antara sumber-sumber hukum tersebut, “prinsip-prinsip umum hukum” dianggap merupakan salah atu sumber hukum yang menempati posisi yang sangat penting selain perjanjian internasional dan kebiasaan internasional. Demikian pentingnya sumber hukum prinsip-prinsip umum hukum ini sehingga ditempatkan sebagai “Jus Cogens” dalam hukum internasional. Penempatan prinsip-prinsip umum hukum ini memiliki daya berlaku baik dalam lapangan privat, acara, maupun public dan memiliki sifat yang universal. Dalam pengertian berlaku untuk semua waktu, tempat dan bagi semua bangsa dan Negara. Prinsip-prinsip dasar hukum internasional yang bersifat umum (peremptory norm of general international law) atau jus cogens ini merupakan suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidak boleh dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional yang mempunyai sifat yang sama. Rozakis memberikan pandangannya terkait jus cogens sebagai suatu norma hukum internasional umum



yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan dan telah diterapkan hampir ke semua Negara-negara, karena telah mengikat3. Akehurst dengan bahasa yang berbeda tetapi sesungguhnya memiliki substansi yang tidak jauh berbeda merumuskan bahwa suatu aturan dalam hukum internasional tidak dapat menjadi jus cogens apabila tidak diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Dengan demikian praktek Negaranegara yang bersifat “local custom” dalam hubungannnya dengan jus cogens, derajatnya dapat dinaikkan apabila diterima oleh masyarakat internasional4. Akehurst mengatakan bahwa adanya pengakuan terhadap prinsip-prinsip umum hukum untuk menghindari keadaan yang tak terbatas (open ended) dan samarsamar5. Dibandingkan dengan sumber-sumber hukum lain seperti perjanjian internasional, dan hukum kebiasaan internasional yang bersifat konkrit norma hukumnya, maka prinsip-prinsip umum hukum dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan merupakan pikiran dasar yang berada di di balik peraturan hukum konkrit6. Sesuai dengan namanya prinsip-prinsip umum hukum, maka kedudukannya sebenarnya jauh lebih tinggi dari pada hukum (internasional) positif7. Prinsip-prinsip umum hukum dalam hukum internasional terdapat dua kelompok pengertian yang mengemuka; pertama; prinsip-prinsip umum hukum dimaknai sebagai sekumpulan peraturan hukum. Hukum yang berasal dari berbagai 3



Rozakis, Cheritos, The Concepts of Jus Cogens in the Law of Treaties, terkutip Judha Bakti, Majalah Pajajaran No 1, 1981, hal 55 4 Michael akehurst, A Modern to International Law, George Allen and Unwin, LTD, London 1979, hal 46. 5 Ibid hal 34 6 J.A.Y.Wattimena, Disertasi, Konsepsi Hukum Internasional Mengenai Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar Di Indonesia, Unniversitas Hasanuddin,Makasar, 2014, hal 136 7 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian, Bagian I Mandar Maju, Bandung, 2002, hal 274



bangsa dan Negara yang secara universal mengandung kesamaan. Namun bukan berarti tidak terdapat perbedaan yang khas antara negara-negara tersebut. Kelompok yang kedua memberikan arti prinsip-prinsip umum hukum sebagai suatu kegiatan ditransformasinya prinsip-prinsip hukum alam yang universal yang ditujukan untuk seluruh umat manusia8. Sebenarnya dikotomi yang ada tidak terlalu substantive dan mendasar, mengingat hakikat dari kedua konsep tersebut mengandung atau berakar pada materi nilai-nilai asasi yang diakui secara universal seperti nilai etik, nilai moral yang sudah diakui kebenarannya serta bermanfaat bagi tatanan hidup manusia. Nilai-nilai etik dan moral ini ini kemudian menjiwai dan memancar pada norma-norma hukum secara konkrit berlaku dan memiliki daya mengikat bagi masyarakat internasional. Berkaitan dengan penjelasan di atas, di dalam prinsip-prinsip umum hukum internasional ada dikenal prinsip “uti possidetis juris”. Prinsip ini terkait dengan alokasi batas-batas wilayah antar ke dua Negara yang berbatasan. Dasar atau esensi pengertian prinsip uti possidetis juris ini bahwa semua wilayah bekas koloni penjajah akan diwarisi oleh Negara yang baru (as you possess, you shall continue to possess). Prinsip ini kebanyakan berlaku pada wilayah-wilayah koloni di Asia, Afrika, dan Amerika latin, sebagai akibat terjadinya proses dekolonisasi. Prinsip ini lahir karena perlu adanya suatu pengaturan tentang penetapan batas-batas wilayah negaa yang baru merdeka atau berpisah dari Negara lain atau Negara induknya. Merdeka atau berpisahnya suatu Negara membawa dampak dan



8



G. Von Glahn, law among nations, hal 224, dikutip dari buku Jawawir Thontowi dan Parnoto Iskandar , Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama , Jakarta, hal 65



masalah dalam hal menentukan batas-batas wilayah Negara tersebut. Prinsip ini muncul



sebagai



problem



solving



untuk



menentukan



batas-batas



wilayah



mereka.Walaupun dalam kenyataannya batas-batas wilayah suatu Negara dapat saja berubah. Perubahan tersebut dapat terjadi karena adanya putusan pengadilan yang memutuskan sengketa atau adanya suatu perjanjian perbatasan antar kedua Negara. Di pihak lain penggunaan prinsip uti possidetis juris ini dapat memunculkan persoalan baru untuk menetapkan perbatasan antar ke dua Negara. Artinya bahwa penggunaan prinsip ini berbanding terbalik dalam kasus penetapan perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Pulau Timor wilayahnya dibagi dua. Bagian sebelah barat pulau Timor dikuasai oleh Republik Indonesia yang menguasai secara administrative batas wilayah kolonial Belanda sebagai aplikasi prinsip uti possidetis juris. Sementara wilayah timur dari pulau Timor adalah kepunyaan Portugis. Tapal batas antara wilayah Indonesia dan wilayah Portugis berupa garis yang melintangi pinggang pulau Timor dengan sosok yang lebih besar ke arah Timur, yang kemudian berakhir di muara sungai Biku dan sungai Talas9. Selain itu ada fakta lain dari penetapan batas dengan prinsip uti possidetis juris ini adalah adanya sebuah distrik yang terletak di dalam wilayah Nusa Tenggara Timur –Indonesia. Distrik Oekusi merupakan daerah enclave Timor Leste yang terletak di bagian barat Pulau Timor terpisah dari Negara Timor Leste oleh kawasan Timor barat milik Indonesia. Distrik Oekusi ini merupakan daerah perbatasan yang berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu-Mota ain. 9



Sobar Sutisna, Sara Lokita dan Sumaryo, Boundary making Theory dan pengelolaan Perbatasan Negara Indonesia, Dalam mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa batas, Isu, Permasalahan Dan pilihanKebijakan Graha Ilmu, Jakarta, 2010, hal 12



Distrik ini tepatnya telah berada di dalam wilayah Indonesia tetapi merupakan bagian wilayah Timor Leste akibat adanya penggunaan prinsip Uti Possidetis Juris ini. Banyak akibat yang kemudian bermunculan di daerah perbatasan ini baik dalam aspek social kemasyarakatan, ekonomi, hukum dan lainnya. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengkaji isu hukum pada perbatasan ke dua Negara dengan focus kajian prinsip uti possidetis juris . Olehnya penulis mengangkat judul yaitu : “Prinsip Uti Possidetis juris dalam penetapan perbatasan (kasus Indonesia-Timr Leste)



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah yang akan dikaji adalah : Apakah prinsip uti possidetis juris masih relevan dipertahankan dalam penetapan perbatasan (kasus batas Negara Timor Leste dan Indonesia)



C. Tujuan Penelitian 1.



Untuk mengkaji dan mengetahui relevansi prinsip uti possidetis juris dalam penetapan perbatasan dengan kasus pada batas Negara Timor Leste dengan Indonesia



2.



Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan Dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon



D. Manfaat Penelitian



1.



Secara teoritis manfaat penelitian ini sebagai refernsi untuk meningkatkan pengetahuan dan pendalaman dalam bidang ilmu hukum internasional terkhusus mengenai prinsip uti possidetis juris dan relevansinya dalam penetapan perbatasan



2.



Secara praktis dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait sebagai refernsi dalam menyikapi dan mengambil kebijakan terkait permasalahan perbatasan antar ke dua Negara dengan menggunakan hukum internasional



E. Kerangka Konseptual 1.



Konsep Prinsip- Prinsip Umum Hukum Internasinonal Mengupas tentang hukum internasional tidak dapat dilepaspisahkan dari



sumber-sumber hukum internasional baik dari aspek formil maupun materil. Pemahaman akan sumber hukum materiil ini penekanannya kepada hakikat mengikatnya hukum internasional bagi masyarakat internasional dalam pergaulan satu sama lain. Sementara dalam arti formal sumber hukum internasional mengarah kepada pertanyaan dimana dapat ditemukannya ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam penyelesaian persoalan yang bersifat konkrit10. Dengan landasan konsep berpikir yang demikian, ketika berbicara tentang prinsip-prinsip umum hukum internasional sebagai sumber hukum, maka telah ternyata dan jelas tertuang di dalam pasal 38 ayat (1) Mahkaman Internasional yang juga terdapat sumber-sumber hukum yang lain. Di dalam hukum internasional dikenal



10



Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung, 2003, hal 113



begitu banyakprinsip-prinsip umum hukum yang merupakan pedoman berperilaku bagi anggota–anggota masyarakat internasional. Prinsip-prinsip ini merupakan instrumen untuk tatanan hidup dalam pergaulan masyarakat internasional dan olehnya di dalam hukum internasional dikenal begitu banyak prinsip-prinsip umum hukum internasional. Prinsip-prinsip umum hukum ini secara konsep diartikan sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan merupakan pikiran dasar yang berada di di balik peraturan hukum konkrit11. Sesuai dengan namanya prinsip-prinsip umum hukum, maka kedudukannya sebenarnya jauh lebih tinggi dari pada hukum (internasional) positif12. Prinsip-prinsip umum hukum internasional ini juga berasal dari hukum nasional. Kendati hukum nasional berbeda antara satu Negara dengan Negara yang lain namun prinsip-prinsip pokoknya tetap sama. Prinsip-prinsip umum hukum internasional ini diambil dari sistem-sistem hukum nasional yang dapat mengisi kekosongan yang terjadi dalam hukum internasional. Dalam konteks ini hukum internasional dan hukum nasional memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi dalam kesatuan sistem hukum13. Di Dalam Hukum Internasional Prinsip-prinsip umum hukum ini oleh Scwarzenberger dimaknai sebagai jus cogens dengan mengatakan untuk terbentknya suatu jus cogens maka suatu aturan hukum internasional harus memiliki sifat-sifat yang universal atau asas –asas yang fundamental. Misalnya asas-asas yang bersangkutan harus mempunyai arti penting 11



J.A.Y.Wattimena, Disertasi, Op Cit, hal 136 I Wayan Parthiana, Op Cit, , hal 274 13 J. Leatemia, Disertasi, Pengaturan Hukum Terhadap Kewenangan daerah Di wilayah Laut (Kajian Dari Perspektif Prinsip Negara kepulauan Dalam Konferensi Hukum Laut 1982, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2010, hal 55 12



yang luar biasa (exceptionaly significant) dalam hukum internasional. Disamping itu itu harus mempunyai arti penting istimewa dibandingkan dengan asas-asas yang lainnya. Ditambahkan pula olehnya asas-asas ini merupakan bagian yang esensial daripada sistem huku internasional yang ada atau yang mempunyai karakteristik yang merupakan refeksi dari hukum internasional yang berlaku. Jika sifat-sifat ini diterapkan maka akan muncul tujuh prinsip fundamental dalam tubuh hukum internasional yakni ;



a) kedaulatan, b) pengakuan, c)



pemufakatan, d) itikad baik, e) hak membela diri, f) tanggung jawab internasional, g) kebebasan di laut lepas14. Verdross mengemukakan ada tiga (3) ciri utama aturan-aturan yang dapat menjadi jus cogens hukum internasional yakni aturan-aturan yang timbul karena kepentingan bersama dalam masyarakat internasional, timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan dan harus sesuai dengan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selanjutnya prinsip jus cogens ini dapat lahir dari hukum kebiasaan internasional yang bermaksud melindungi kepentingan umum masyarakat internasional15.



2.



Konsep Penetapan Perbatasan Suatu kelompok masyarakat dapat disebut Negara apabila memiliki wilayah,



yang merupakan elemen yang paling penting. Disamping elemen rakyat, dan pemerintah yang berdaulat. Wilayah sering dimaknai sebagai ruang dimana orang



14



Scwarzenberger, G.A. Manual Of International law, Vol 4 thed Seven &Sons, London 1960, terkutip Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, Armico, Bandung 1985 hal 180 15 Agrawalla, S.K.Essays on theLaw of Treaties, Orient Longmans Bombay India, 1972, hal 155



yang menjadi warga Negara atau penduduk Negara yang bersangkutan hidup serta menjalankan segala aktifitasnnya.16 Antara wilayah Negara yang satu dengan wilayah Negara yang lain, tidaklah dapat dipungkiri selalu akan berbatasan bahkan ada kecenderungan tumpang tindih. Olehnya itu batas-batas antar Negara haruslah dipertegas. Penegasan



batas



demikianlah penting, karena dalam sejarah umat manusia dan Negara-negara pernah terjadi konflik antar Negara yang bersumberkan pada persoalan batas wilayah. Konflik ini dapat disebabakan oleh keinginan untuk melakukan ekspansi wilayah maupun ketidakjelasan batas-batas wilayah antara Negara yang satu dengan Negara yang lain. Bahkan konflik antar Negara karena ketidakjelasan batas-batas wilayah masih tetap ada, dan jika tidak diupayakan penyelesaiannnya secara tepat, maka tidak mustahil hal ini dapat berkembang menjadi konflik bersenjata17. Di dalam literature penggunaan istilah perbatasan sendiri ada terdiri dari beberapa istilah yakni “frontier” dan “boundary”. Ke dua istilah yang disebutkan ini sesungguhnya memiliki pemaknaan yang berbeda. Frontier adalah perbatasan yang posisinya terletak di bagian depan (front) dari suatu Negara. Sementara istilah boundary digunakan karena fungsinya yang mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah Negara. Istilah boundary ini lebih merujuk kepada suatu unit spasial yang berdaulat, dan merupakan



16



Marnixon Willa, Konsepsi Hukum Dalam Pengaturan Dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan Antar Negara, Alumni Bandung,2006, hal 127 17 Simela Victor Muhamad, Batas Wilayah Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional, Dalam Batas Wilayah Dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman Terhadap Integritas Teritorial, Editor Poltak Partogi Nainggolan, Tiga Putra Utama, Jakarta, 2004, hal 19



suatu kesatuan yang bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu dengan yang lainnya18. Pengertian boundary yang dikemukakan oleh para ahli hukum internasional ini, apabila wilayahnya dalam konteks yang secara geografis yang saling bersambung atau berdampingan dengan kedaulatan atau yurisdiksi yang berbeda.



Fakta



menunjukan bahwa batas wilayah suatu Negara tidak hanya bersambung atau berdampingan dengan Negara lain, tetapi ada juga suatu Negara atau bagian wilayah suatu Negara berda dalam atau dikelilingi oleh wilayah satu Negara. Hal ini seperti yang terjadi pada bagian wilayah Negara Timor Leste, yaitu Distrik Oekusi berada atau dikelilingi oleh wilayah NKRI, sebagai akibat penggunaan penetapan wilayah dengan menggunakan prinsip uti possidetis yuris.



F. Metode Penelitian 1.



Jenis Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka dalam penelitian



menggunakan teknik dan metode penelitian yang didasarkan pada kajian ilmu hukum melalui studi literatur dan kepustakaan dengan penelitian secara yuridis normative. Penelitian ini mengkaji kaedah-kaedah atau norma hukum positif. 19 Juga terkait di dalamnya berbagai prinsip-prinsip di dalam hukum internasional, ketentuanketentuan dan konvensi-konvensi internasional yang mengatur mengenai perbatasan.



18



Suryo Sakti Hdiwijoyo,Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2004, hal 63-64 19 Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2005,hal 240.



Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal yaitu objek penelitiannya adalah dokumen perundang-undangan dan bahan pustaka.20 2.



Tipe Penelitian Tipe yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu



penelitian yang sifatnya mendeskripsikan atau menjelaskan peraturan-peraturan, doktrin-doktrin yang ada dan saat ini berlaku sebagai hukum internasional



3.



Pendekatan Penelitian Peter Mahmud Marzuki menegaskan ada 5 pendekatan dalam penelitian



hukum meliputi; a) pendekatan perundang-undangan (statue approach); b) pendekatan kasus (case approach); c) pendekatan historis (historical approach); d) pendekatan perbandingan (comparatif approach); dan e) pendekatan konseptual (conceptual approach)21.



Terkait dengan penelitian ini maka pendekatan yang



digunakan adalah; pendekatan konseptual (conceptual approach) yang merujuk kepada prinsip-prinsip hukum, yang dikemukakan oleh para sarjana baik berupa doktrin ataupun pernyataan –pernyataan tentang hukum humaniter internasional. Yang berikutnya adalah Pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional seperti prinsip-prinsip dalam hukum internasional, konvensi, yang mengatur tentang perbatasan. Juga



20



21



Soejono dan H Abduhrahman, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal 56 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal 56



pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus atau (cases approach) 4.



Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersumber dari



berbagai ketentuan- hukum internasional seperti prinsip-prinsip, konvensi-konvensi, piagam, doktrin dan pendapat dari berbagai para pakar hukum internasional.



5.



Pengumpulan Dan analisa Bahan Hukum



a.



Bahan hukum yang dikumpulkan : akan dipilah-pilah berdasarkan keterkaitan terhadap persoalan yang akan dibahas, kemudian dikaji dan dianalisis secara sistematis keseluruhan bahan-bahan hukum dimaksud; seperti bahan hukum primer, sekunder dan tertier.



b.



Analisis Bahan Hukum : Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara kualitatif dengan cara menghubung-hubungkan satu dengan yang lain dan kemudian dikaitkan dengan prinsip-prinsip hukum internasional, ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang perbatasan Negara.



Penggambaran ini merupakan metode “deskriptif analitis”. Dalam



Pengertian berbagai bahan hukum yang dikumpulkan akan dianalisis dalam suatu sistem, yang daripadanya akan dapat ditarik kesimpulan dan saran.22



22



Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. 1986, hal 10.



G. Sistematika Penelitian Bab I Merupakan Bab Pendahuluan terdiri dari: A. latar Belakang, B, Rumusan Masalah, C. Tujuan Penelitian, D. Manfaat Penelitian, E, Kerangka Konseptual, F, Metode Penelitian, Bab II merupakan bab Tinjauan Pustaka yang mengkaji tentang berbagai variable terkait dengan permaslahan yang diangkat. Bab III Merupakan Bab Pembahasan; yang membahas dan menganalisis permasalahan yang diangkat dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum internasional, ketentuan-ketentuan hukum dan konvensi-konvensi terkait. Bab IV merupakan Bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran



DAFTAR PUSTAKA Agrawalla, S. K 1972, Essays on theLaw of Treaties, Orient Longmans Bombay India. I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian, Bagian I Mandar Maju, Bandung. J.A.Y.Wattimena, 2014, Disertasi, Konsepsi Hukum Internasional Mengenai Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar Di Indonesia, Unniversitas Hasanuddin,Makasar, J. Leatemia, Disertasi, 2010, Pengaturan Hukum Terhadap Kewenangan daerah Di wilayah Laut (Kajian Dari Perspektif Prinsip Negara kepulauan Dalam Konferensi Hukum Laut 1982, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2010, hal 55 Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang. Marnixon Willa, 2006, Konsepsi Hukum Dalam Pengaturan Dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan Antar Negara, Alumni Bandung. Michael Akehurst, 1976, A Modern to International Law, George Allen and Unwin, LTD, London. Mochtar Kusumaatmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Binacipta, Jakarta. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung. Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Rozakis, Cheritos, 1981, The Concepts of Jus Cogens in the Law of Treaties, terkutip Judha Bakti, Majalah Pajajaran No 1, Scwarzenberger, 1960, G.A. Manual Of International law, Vol 4thed Seven &Sons, London.



Simela Victor Muhamad, 2004, Batas Wilayah Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional, Dalam Batas Wilayah Dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman Terhadap Integritas Teritorial, Editor Poltak Partogi Nainggolan, Tiga Putra Utama, Jakarta. Soejono dan H Abduhrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2004, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta. Syahmin AK, 1980, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, Armico, Bandung.