Program Keaksaraan Fungsional Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KONTRIBUSI PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan yang diampu oleh Dr. Puji Yanti Fauziah, M.Pd dan Tristanti, M.Pd



Disusun oleh: Nama



: Jeni Ari Febriyani



Nim : 13102241066 PLS 4 B 2013



PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2015



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tantangan manusia Indonesia memasuki abad millennium ini semakin kompleks, mulai dari kebodohan, keterbelakangan, penindasan, dan kemiskinan yang mulai menjadi fenomena yang mendunia hingga ke Indonesia. Fenomena tersebut tak hanya terjadi di Negara-negara berkembang, tapi juga di Negara maju, dan predikat tersebut sangat dekat dan melekat pada orang-orang buta huruf. Disisi lain banyak yang beranggapan bahwa orang buta hurf itu ibarat nyamuk dan penyakit yang menular yang harus cepat diberantas, sebagaimana tersirat dalam istilah pemberantasan buta aksara. Buta aksara juga diibaratkab seperti bisul yang harus segera diobati. Akibatnya buta aksara menjadi ukuran ketidakberdayaan suatu masyarakat, kebodohan, dan beban yang selalu menghantui dan menggagnggu masyarakat berdaya (melek huruf) lainnya. Upaya pemberantasan buta aksara sudah lebih dari 50 tahun dilaksanakan, namun masih banyak sekali masyarakat yang mengalami buta aksara, terlebih untuk usia 10 tahun ke atas, yang ditambah dengan tingginya angka putus SD yang setiap tahunnya mencapai 2,29%. Semakin banyak anggota dalam suatu masyarakat yang buta aksara, maka semakin pula masyarakat tersebut dikatakan masyarakat tak berdaya. Sampai pada saat ini dalam usaha meningkatkan sumber daya manusia Indonesia , peremerintah menitikberatkan kepada dua hal, yakni menaikkan kualitas keterampilan, dan memperkuat mental ideologis manusianya. Untuk menaikkan kualitas keterampilan, pemerintah menggencarkan dengan program keaksaraan fungsional. Karena pada kenyataannya aksara tersebut memang sangat diperlukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Ia bukan alat komunikasi yang mutlak, melainkan hanya suatu pelengkap. Sedangkan untuk memperkuat mental ideologis manusianya melalui pendidikan karakter yang dicanangkan dalam setiap kurikulum disekolah-sekolah. Untuk itu, secara tidak langsung program keaksaraan yang ada membantu dalam memberdayakan masyarakat yang ada.



B. Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud dengan program keaksaraan fungsional. 2. Apa saja tujuan dari program keaksaran fungsional. 3. Apa yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat. 4. Bagaimana kontribusi pendidikan keaksaraan dalam pemberdayaan masyarakat. C. Tujuan penulisan 1. Menjelaskan pengertian dari program keaksaraan fungsional. 2. Menjelaskan tujuan dari program keaksaran fungsional. 3. Menjelaskan pengertian dari pemberdayaan masyarakat. 4. Menjelaskan kontribusi pendidikan keaksaraan dalam pemberdayaan masyarakat.



BAB II PEMBAHASAN A. Hakekat Dasar Keaksaraan Fungsional



Secara Ideologis, keaksaraan merupakan “jiwa” dari suatu program pendidikan dan budaya yang memberikan serangkaian nilai yang bermanfaat unutuk membuat berbagai pilihan yang bijak. Keaksaraan menurut H.S. Bhola (1982,21) adalah sebagai instrumental yang sangat terkait dengan peradaban menusia berupa kemampuan baca tulis sebagai induk bahasa yang digunakan oleh setiap bangsa di dunia.



Berdasarkan ideologi keaksaraan, keaksaraan menggunakan teks lokal, aksara latin dan huruf arab. Kemudian berkembang menjadi keksaraan ideologis yang menyatakan bahwa pendidikan keaksaraan perlu dipikirkan masak-masak untuk memastikan bahwa program pemberantasan buta aksara harus relevan dan sesuai dengan pandangan hidup dan budaya masyarakatnya. Pendidikan Keaksaraan adalah upaya pembelajaran untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa Indonesia dengan kandungan nilai fungsional, bagi upaya peningkatan kualitas hidup dan penghidupan kaum buta aksara. Keaksaraan fungsional merupakan suatu pendekatan atau cara untuk mengembangkan kemampuan belajar seseorang dalam menguasai dan menggunakan ketrampilan menulis, membaca, berhitung, mengganti, dan menganalisa yang berorientasi pada kehidupan seharihari serta memanfaatkan potensi yang ada dilingkungan sekitarnya (Buku Pedoman Tutor KF, 1998:2). Untuk



memahami



pengertian



keaksaraan



fungsional



secara



integral



dan



komprehensif, perlu memahami beberapa istilah yang terkait dengan program keaksaraan fungsional, yakni: 1. Buta aksara murni, adalah penduduk yang sama sekali tidak bisa membaca, menulis dan berhitung dengan sistem keaksaraan apapun juga. 2. Buta aksara, dalam konteks Indonesia diasumsikan sebgai buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar. 3. Melek aksara, ditafsirkan sebagai melek aksara latin dan angka arab, melek bahasa Indonesia, dan pengetahuan dasar. 4. Tutor adalah seseorang yang karena keterpanggilannya dan pemikiran kemampuan bertindak sebagai pembimbing dan pendamping kaum buta huruf dalam belajar aksara dan pengetahuan dasar yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan. 5. Warga belajar pendidik keaksaraan adalah seseorang yang belum mampu membaca dan menulis



huruf latin serta belum mampu berhitung sebagai landasan untuk



mengembangkan pendidikan dasar yang bersedia ikut serta dalam program pendidikan keaksaraan.



B. Tujuan Keaksaraan Fungsional



Tujuan dari program keaksaraan fungsional sendiri adalah membantu warga belajar mencari dan menggunakan calistung sendiri untuk membantu mengembangkan kemampuan dan keterampilan membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia yang dilengkapi dengan keterampilan fungsional sesuai dengan kehidupannya sehari-hari. Untuk mewujudkan upaya tersebut, tutor tiak hanya membantu warga belajar membaca, menulis, dan berhitung saja tetapi tutor juga membantu mereka pergi ke TBM mencari buku yang diminatinya dan memberikan bekal keteranpilan fungsional. Selain itu, ada juga beberapa alasan mengapa orang buta aksara perlu belajar keaksaraan, yaitu: 1. Untuk mendapatkan status dan / dihormati oleh orang lain; 2. Untuk mempelajari kemampuan/keterampilan baru yang belum dimiliki; 3. Untuk mendapatkan posisi tertentu sesuai dengan tanggungjawabnya sebagai anggota masyarakat; 4. Untuk mempertahankan statusnya semula; 5. Untuk memulai usaha baru; 6. Untuk menulis dan membaca surat-surat yang sifatnya resmi; 7. Untuk membantu PR anak; 8. Untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan hal tertentu; 9. Untuk membaca aturan pakai berbagai produk barang dan jasa; 10. Untuk membaca media cetak; 11. Untuk mengetahui label di pestisida dan pupuk; 12. Untuk mencatat perkembangan vaksinasi anak; 13. Untuk menghindari penyontekan; 14. Untuk mendapatkan pekerjaan; 15. Untuk membaca buku keagamaan; 16. Untuk memperoleh hiburan, dll. C. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang belakangan. Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain : pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang



menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan (pada titik ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu. Beberapa pandangan tentang pemberdayaan masyarakat, antara lain sebagai berikut: (Ife, 1996:59): 1. Struktural, pemberdayaan merupakan upaya pembebasan, transformasi structural secara fundamental, dan eliminasi struktural atau sistem yang operesif. 2. Pluralis, pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan daya sesorang atau sekelompok orang untuk dapat bersaing dengan kelompok lain dalam suatu ’rule of the game’ tertentu. 3. Elitis, pemberdayaan sebagai upaya mempengaruhi elit, membentuk aliniasi dengan elitelit tersebut, serta berusaha melakukan perubahan terhadap praktek-praktek dan struktur yang elitis. 4. Post-Strukturalis,



pemberdayaan



merupakan



upaya



mengubah



diskursus



serta



menghargai subyektivitas dalam pemahaman realitas sosial. Hakikat dari konseptualisasi empowerment berpusat pada manusia dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai tolok ukur normatif, struktural, dan substansial. Dengan demikian konsep pemberdayaan sebagai upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia di dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang menghendaki ‘inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty”.(Ginanjar K., “Pembangunan Sosial dan Pemberdayaan : Teori, Kebijaksanaan, dan Penerapan”, 1997:55)



Konsep pemberdayaan



masyarakat ini muncul karena adanya kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang



dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ; Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena programprogram umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini.



Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi. Friedman (1992) menyatakan “The empowerment approach, which is fundamental to an altenative development, places the emphasis an autonomy in the decesion marking of territorially organized communities, local self-reliance (but notautachy), direct (participatory) democracy, and experiential social learning”. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. D. Kontribusi Pendidikan Keaksaraan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Secara lebih teknis, dapat ditegaskan mengenai pendidikan keaksaraan merupakan bentuk layanan PNF untuk membelajarkan masyarakat buta aksara, agar memiliki keterampilan calistung, dan kemampuan fungsional untuk meningkatkan “mutu” dan “taraf “ hidupnya. Keaksaraan dapat didefinisikan sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan nonformal bagi bagi masayarakat yang belum memiliki kemampuan keberaksaraan dan setelah mengikuti program ini (hasil belajarnya) mereka memiliki kemampuan membaca menulis dan berhitung, mendengarkan dan berbicara dalam bahasa Indonesia serta menggunakannya/berfungsi bagi kehidupannya. Artinya mereka tidak hanya memiliki



kemampuan keaksaraan dan keterampilan atau bermata pencaharian saja, tetapi juga dapat survive dalam dunia kehidupannya. Definisi keaksaraan mengacu pada hasil deklarasi dari seminar di Toronto tentang literasi di negara-negara industri, seperti yang diungkapkan oleh Gillespie (1990:17), yang merumuskan: 1. Keaksaraan adalah hak asasi manusia untuk memajukan manusia di seluruh dunia 2. Keaksaraan adalah masalah utama yang tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara industri. Hal ini menandai dan mempengaruhi kemiskinan, pengangguran, keterasingan, dan struktur sosial, individu dan masyarakat 3. Keaksaraan lebih dari sekedar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Kebutuhannya tercipta dari kemajuan teknologi yang membutuhkan tingkat pengetahuan, keterampilan,



dan pemahaman



menguasai



keaksaraan dasar.Keaksaraan



berarti



penguasaan pemahaman dan kemampuan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kehidupan dan kondisinya 4. Keaksaraan merupakan cara membangun masyarakat dengan memajukan perubahan sosial dan individu, keaksaraan, kesempatan, dan pemahaman global 5. Kebutuhan keadilan yang merupakan masalah keaksaraan harus dicapai dengan melaksanakan semua cara dan memanfaatkan sumber daya yang ada. Berdasarkan pengertian di atas, keaksaraan merupakan hak asasi manusia untuk kemajuan masyarakat seluruh dunia. Buta aksara merupakan masalah utama, bukan hanya di negara-negara berkembang tetapi juga di negara industri. Hal ini merupakan dampak dari kemiskinan, pengangguran, pertikaian, tekanan, serta struktur sosial. Semua itu akan berdampak pada individu dan pada masyarakatnya. Keaksaraan tidak hanya sekedar kemampuan baca tulis hitung, tetapi juga dalam rangka memenuhi kebutuhan yang diciptakan oleh teknologi maju. Semua itu memerlukan pengetahuan, keahlian dan pemahaman sebagai upaya untuk mencapai keaksaraan dasar. Suatu analisis tentang hasil survey yang dilakukan di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan keaksaraan berdampak langsung terhadap investasi dan kinerja seseorang. Keaksaraan seperti halnya gizi, kesehatan, pendapatan mempunyai korelasi dengan peningkatan umur, harapan hidup, dan penurunan kematian anak dan ibu (Arif dan Napitupulu, 1997:2). Jadi, istilah keaksaraan menekankan pada suatu kemampuan untuk dapat mengatasi suatu kondisi baru yang tercipta oleh lingkungan masyarakat khususnya diperlukan dalam



rangka agar warga belajar dapat memiliki kemampuan yang bermanfaat bagi diri dan masyarakat disekitarnya. Asumsi ini menekankankan pada peningkatan kualitas hidup dan pemberdayaan masyarakat, disertai harapan bahwa melalui pendidikan keaksaraan akan dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan warga belajar, selanjutnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah kehidupannya sendiri dan kehidupan masyarakat di sekitarnya, membuka jalan untuk mendapatkan sumber-sumber kehidupannya, melaksanakan kehidupan sehari-hari secara efektif dan efisien, mengunjungi dan belajar pada lembaga yang dibutuhkan, dan menggali, mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap pembaharuan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Konsep baru tentang keaksaraan juga dikemukakan oleh David Archer dan Sara Cottingham (1996: 15) dalam bukunya “Reflect Mother Manual” menyatakan bahwa metode pendekatan ideologi sebaiknya: lebih menitikberatkan pada penulisan dibandingkan membaca teks yang ada secara pasif; menitikberatkan keterlibatan kreatif dan aktif para peserta; membangun pengetahuan para peserta yang sudah ada, menghargai tradisi lisan dan keaksaraan lainnya; berfokus pada bahan belajar yang dihasilkan warga belajar (bukan teks yang telah disiapkan) menjamin adanya proses yang responsif dan relevan dengan konteks lokal; melaksanakan, kegiatan keaksaraan ‟dalam lingkungan yang lebih luas daripada sekedar menganggap keaksaraan sebagai kegiatan di kelas semata.” Berdasarkan pengertian di atas, memberikan kejelasan kepada kita bahwa konsep baru tentang keaksaraan terus berkembang dan harus memiliki pendekatan sebagai berikut: (a) menekankan menulis daripada membaca pasif dari teks yang sudah ada, (b) menekankan pada keterlibatan warga belajar secara aktif dan kreatif, (c) membangun pengetahuan, pengalaman, dan memperhatikan tradisi lisan warga belajar, dan keaksaraan lain, (d) memusatkan pada bahan belajar yang dihasilkan warga belajar sendiri bukan pada buku paket, (e) menjamin bahwa proses belajar berwawasan dan relevan dengan konteks sosial, dan (f) tempat belajar, akan lebih baik jika ada di lingkungan warga belajar daripada aktivitas di dalam kelas.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Keaksaraan fungsional merupakan suatu pendekatan untuk mengembangkan kemampuan belajar seseorang dalam menguasai dan menggunakan ketrampilan menulis, membaca, berhitung, mengganti, dan menganalisa yang berorientasi pada kehidupan seharihari serta memanfaatkan potensi yang ada dilingkungan sekitarnya. Beberapa istilah yang terkait dengan program keaksaraan fungsional, yakni: buta aksara murni, buta aksara, melek aksara, tutor, dan warga belajar pendidik. Tujuan dari program keaksaraan fungsional sendiri adalah membantu warga belajar mencari dan menggunakan calistung sendiri untuk membantu mengembangkan kemampuan dan keterampilan membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia yang dilengkapi dengan keterampilan fungsional. Pemberdayaan diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang. Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain: kecenderungan primer, dan kecenderungan sekunder. Beberapa pandangan tentang pemberdayaan masyarakat, antara lain sebagai berikut: Struktural, Pluralis, Elitis, dan Post-Strukturalis. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ; Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering), dan ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi.



Pendidikan keaksaraan merupakan bentuk layanan PNF untuk membelajarkan masyarakat buta aksara, agar memiliki keterampilan calistung, dan kemampuan fungsional untuk meningkatkan “mutu” dan “taraf “ hidupnya. Jadi, istilah keaksaraan menekankan pada suatu kemampuan untuk dapat mengatasi suatu kondisi baru yang tercipta oleh lingkungan masyarakat khususnya diperlukan dalam rangka agar warga belajar dapat memiliki kemampuan yang bermanfaat bagi diri dan masyarakat disekitarnya. Asumsi ini menekankankan pada peningkatan kualitas hidup dan pemberdayaan masyarakat, disertai harapan bahwa melalui pendidikan keaksaraan akan dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan warga belajar, yang digunakan untuk memecahkan masalah kehidupannya sendiri dan kehidupan di sekitarnya, membuka jalan untuk mendapatkan sumber-sumber kehidupannya, melaksanakan kehidupan sehari-hari secara efektif dan efisien, mengunjungi dan belajar pada lembaga yang dibutuhkan, dan menggali, mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap pembaharuan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Konsep baru tentang keaksaraan terus berkembang dan harus memiliki pendekatan sebagai berikut: menekankan menulis daripada membaca pasif; menekankan pada keterlibatan warga belaja; membangun pengetahuan, pengalaman, dan memperhatikan tradisi lisan warga belajar, dan keaksaraan lain; memusatkan pada bahan belajar yang dihasilkan warga belajar sendiri; menjamin bahwa proses belajar yang berwawasan, relevan dan kontekstual; tempat belajar di lingkungan warga belajar. B. Saran Untuk menunjang proses pemberdayaan masyarakat sebaiknya pemerintah lebih gencar untuk menambah atau memaksimalkan program keaksaraan fungsional. Karena program keaksaraan fungsional sudah jelas sangat membantu dalam proses pemberdayaan masyarakat. Bukan hanya dari segi pendidikan, namun juga sosial, ekonomi, dan religi.