Proposal Ind [PDF]

  • Author / Uploaded
  • andi
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL



IMPLEMENTASI MODEL TES DIAGNOSTIK THREE-TIER TEST UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI MATERI BILANGAN PADA SISWA KELAS VII SMP ISLAM ATHIRAH



ANDI NUR FATIMAH AHMAD 1411442002



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2018



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Pendidikan adalah salah satu kebutuhan manusia, karena tanpa adanya pendidikan maka manusia tidak dapat berkembang dan bahkan akan menjadi terbelakang. Pendidikan harus diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas, mampu bersaing, memiliki budi pekerti yang luhur serta moral yang baik. Pendidikan yang terarah, terencana, dan berkesinambungan dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya secara optimal, baik itu dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan adalah suatu rangkaian yang kompleks, karena merupakan rangkaian komunikasi antar manusia sehingga manusia tumbuh menjadi pribadi yang utuh. Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas jika dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Karena itu kegiatan belajar dan mengajar Matematika seyogyanya juga tidak disamakan



begitu saja dengan ilmu yang lain. Karena peserta didik yang belajar Matematika itupun berbeda-beda pula kemampuannya, maka kegiatan belajar dan mengajar haruslah diatur sekaligus memperhatikan kemampuan yang belajar dan hakekat Matematika. Secara singkat dikatan Matematika berkenaan dengan ide-ide/ konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif (Hudojo, 1990). Menurut Hudojo (1990) Fator-faktor yang mempengaruhi terjadinya proses mengajar dan belajar Matematika adalah: (1) Peserta didik; (2) Pengajar; (3) Prasarana dan sarana; dan (4) Penilaian. Pengajar memiliki fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Undang-Undang Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Berdasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 53 Tahun 2015 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik adalah proses pengumpulan informasi/data tentang capaian pembelajaran peserta didik dalam aspek sikap, aspek pengetahuan, dan aspek keterampilan yang dilakukan secara terencana



dan sistematis yang dilakukan untuk memantau proses, kemajuan belajar, dan perbaikan hasil belajar melalui penugasan dan evaluasi hasil belajar. Adapun penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai instrumen penilaian berupa tes, pengamatan, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik. Dalam proses evaluasi hasil belajar, seorang pendidik tak lepas dari yang



namanya



penggunaan



instrumen.



Instrumen



digunakan



untuk



memperoleh informasi atau data tentang keadaan obyek atau proses yang diteliti (Santoso, 2005). Instrumen yang digunakan dapat terdiri dari tes maupun non tes. Tes adalah cara (yang dapat dipergunakan) atau prosedur (yang perlu ditempuh) dalam rangka pengukuran dan penilaian di bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian tugas baik berupa pertanyaan-pertanyaan (yang harus dijawab), atau perintah-perintah (yang harus dikerjakan) oleh testee, sehingga (atas dasar data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut) dapat dihasilkan nilai yang melambangkan tingkah laku atau prestasi testee; nilai mana dapat dibandingkan dengan nilai-nilai yang dicapai oleh testee lainnya, atau dibandingkan dengan nilai standar. Ditinjau dari segi fungsi yang dimiliki oleh tes sebagai alat pengukur perkembangan belajar peserta didik, tes dapat dibedakan menjadi enam golongan, yaitu: 1) Tes seleksi, 2)Tes awal, 3) Tes akhir, 4) Tes diagnostik, 5) Tes formatif, dan 6) Tes Sumatif. Evaluasi hasil belajar dengan non tes



dilakukan dengan pengamatan secara sistematis (observation), melakukan wawancara (interview), menyebarkan angket (questionnaire), dan memeriksa atau meneliti dokumen-dokumen (documentary analysis) (Sudijono, 2013). Saat ini pembelajaran yang baik tidak cukup jika hanya ditunjang dengan penilaian yang baik. Suatu pembelajaran akan lebih maksimal jika pendidik mampu mengetahui kesulitan serta miskonsepsi yang dialami oleh siswa sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Miskonsepsi menurut Suparno dalam Suwarto (2013) adalah pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar. Hal ini sejalan dengan pendapat Modell, Michael, dan Wenderoth bahwa miskonsepsi ditinjau dari pemahaman konsep oleh siswa yaitu pemahaman konsep yang atau prinsip yang tidak konsisten dengan pemahaman konsep yang berlaku umum (para ilmuwan) (Suwarto, 2013). Mengenai Miskonsepsi, Rana Ghulam Mohyuddin and Usman Khalil (2016) juga menulis: Misconceptions are a problem for two reasons. First, they interfere with learning when students use them to interpret new experiences. Second, students become emotionally and intellectually attached to their misconceptions, because they have actively constructed them. Hence, they find it difficult to accept new concepts which are unfamiliar and dissimilar to their misconceptions.



(Miskonsepsi adalah masalah karena dua alasan. Pertama, mereka mengganggu pembelajaran saat siswa menggunakannya untuk menafsirkan pengalaman baru. Kedua, siswa secara emosional dan intelektual melekat pada kesalahpahaman mereka, karena mereka telah secara aktif membangunnya. Oleh karena itu, mereka merasa sulit untuk menerima konsep baru yang tidak biasa dan berbeda dengan miskonsepsi mereka.) Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah pemahaman konsep yang berbeda dengan pemahaman konsep para ilmuwan. Pada proses pembelajaran, miskonsepsi merupakan suatu penghambat. Hal tersebut dikarenakan konsep yang telah diperoleh sebelumnya oleh siswa saling berkaitan dengan pengetahuan baru yang akan dihadapi. Miskonsepsi juga terjadi apabila terdapat kesalahan dalam menafsirkan konsep-konsep yang menjadi hal baru bagi siswa. Pada kurikulum, materi bilangan adalah materi yang diajarkan pada siswa SMP kelas VII. Hal tersebut menunjukkan bahwa pentingnya materi tersebut sebagai materi dasar. Jika materi bilangan tidak dikuasai dengan baik serta tidak diremidiasi saat terdapat miskonsepsi, maka akan menghambat siswa dalam mempelajari materi-materi yang berkaitan seperti aljabar dan lain-lain. Pentingnya memperbaiki pemahaman siswa membuat pendidik terlebih dahulu perlu mengetahui miskonsepsi apa saja yang terjadi. Jika miskonsepsi tidak diperbaiki sejak dini, maka siswa akan tertahan pada



pemahaman yang salah hingga di tingkat menengah atas maupun perguruan tinggi. Oleh sebab itu, dalam mengatasi miskonsepsi pada materi bilangan, maka perlu adanya suatu pola untuk bisa membedakan antara siswa yang paham konsep dengan siswa yang mengalami miskonsepsi. Menurut Suwarto (2013) terdapat teknik dalam mengidentifikasi miskonsepsi yaitu dengan peta konsep, tes uraian tertulis, tes pilihan ganda, wawancara klinis, dan diskusi di dalam kelas. Sejalan dengan hal tersebut Kanli (2015) menyatakan bahwa tes pilihan ganda biasanya digunakan dalam pengukuran konsepsi alternatif dan kesalahpahaman di mata pelajaran. Meskipun ada banyak keuntungan menggunakan tes pilihan ganda seperti dapat diberikan kepada lebih banyak siswa dan hasilnya dapat dievaluasi dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan kuesioner terbuka, namun ada beberapa masalah tentang keefektifan tes pilihan ganda dalam keakuratan mengukur target konsep (Kaltakçı & Eryilmaz dalam Kanli, 2015). Hal ini disebabkan karena jawaban siswa tidak dapat dieksplorasi dan dianalisis secara mendalam, tanggapan terhadap tes pilihan ganda memberi nilai terbatas pada peneliti (Kutluy dalam Kanli, 2015). Jadi, baru-baru ini two-tier and three-tier diagnostic tests telah digunakan dalam penentuan miskonsepsi. Three-tier diagnostic test ini merupakan tes diagnostik yang tersusun dari tiga tingkatan soal. (Chandrasegaran et al, Griffard & Wandersee, Treagust, Haslam & Treagust dalam Kanli, 2015) Sementara first-tier (tingkat pertama) dari two-tier (tingkat kedua) melibatkan pertanyaan pilihan ganda tentang konsep tersebut,



second tier (tingkat kedua) melibatkan pertanyaan tentang alasan jawaban atas pertanyaan first tier (tingkat pertama) (Chandrasegaran et al, Griffard & Wandersee, Treagust, Haslam & Treagust dalam Kanli, 2015). Dalam threetier tests (tes tiga tingkat), di sisi lain, siswa ditanya tentang apakah dia yakin tentang jawaban di third tier (tingkat ketiga) selain pertanyaan dalam two-tier tests (tingkat kedua). Dengan demikian, persentase yang paling akurat untuk mencerminkan kesalahpahaman siswa diberikan oleh three-tier tests (tes tiga tingkat). Jika siswa tersebut menandai jawaban yang salah dengan miskonsepsi pada first-tier (tingkat pertama), dan menjelaskan jawaban yang salah ini dengan alasan seolah-olah benar dan mengatakan bahwa dia yakin tentang jawabannya di tingkat yang terakhir (last tier), maka siswa tersebut dapat menjadi dikatakan memiliki miskonsepsi tentang hal itu (Eryilmaz, Arslan, Cigdemoglu & Moseley, dalam Kanli 2015). Demikian pula, jika di pada first-tier (tingkat pertama), siswa memilih jawaban yang benar, di pada second tier (tingkat kedua), mereka membuat penjelasan yang benar, dan di pada third tier (tingkat ketiga), jika mereka yakin tentang jawaban yang diberikan dalam dua tingkatan pertama, siswa dianggap sebagai sukses. Sedangkan pengertian dari tes diagnostik adalah tes yang bertujuan untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dalam hal memahami konsep-konsep kunci pada topik tertentu (Suwarto, 2013). Berdasarkan alasan ini, penggunaan three-tier test dapat mengukur konsepsi alternatif siswa sekolah menengah dan universitas serta guru matematika dalam mata pelajaran matematika materi bilangan. Selain itu



pula, three-tier test memudahkan dalam pengidentifikasian miskonsepsi yang dialami oleh siswa sehingga dapat segera diremediasi oleh pendidik. Hal tersebut ditunjang dengan adanya tingkatan dalam tiap soal yang mudah diidentifikasi. Di Indonesia ini masih kurang yang menggunakan three-tier test untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa, khususnya pada materi Bilangan. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Model Tes Diagnostik Three-Tier Test untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi Materi Bilangan pada Siswa Kelas VII SMP Islam Athirah”



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah miskonsepsi siswa mengenai materi bilangan pada siswa Kelas VII di SMP Islam Athirah berdasarkan penggunaan three-tier test?



C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini berdasarkan pada rumusan masalah adalah mengetahui miskonsepsi siswa mengenai materi bilangan pada Kelas VII di SMP Islam Athirah berdasarkan penggunaan three-tier test.



D. Manfaat Penelitian Setelah melakukan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.



Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian yang relevan bagi peneliti lainnya, baik berupa penelitian lanjutan mengenai adaptasi, pengembangan, ataupun yang sejenis.



2.



Manfaat Praktis a.



Bagi Guru 1) Penelitian



ini



diharapkan



bermanfaat



untuk



mengetahui



pemahaman konsep siswa pada materi bilangan. 2) Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi pendidik agar mengembangkan instrumen sejenis untuk materi lain.



b.



Bagi Siswa 1) Penelitian ini dapat mengidentifikasi pemahaman siswa tentang konsep dari materi bilangan. 2) Memotivasi siswa agar lebih mempelajari mata pelajaran matematika, terkhusus pada materi bilangan.



c.



Bagi Sekolah



Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi sekolah sebagai salah satu alternatif instrumen dalam mengukur tingkat pemahaman siswa khususnya pada materi bilangan.



E. Batasan Istilah/ Definisi Operasional Variabel 1.



Model tes diagnostik yang dimaksud adalah Three-Tier Test Essay.



2.



Mengidentifikasi miskonsepsi yang dimaksud adalah peneliti mampu mengetahui siswa yang mengerti, tidak mengerti, dan yang mengalammiskonsepsi .



3.



Siswa kelas VII SMP Islam Athirah yang menjadi subjek penelitian berjumlah enam orang.



BAB II KAJIAN PUSTAKA



A. Matematika Matematika telah lahir dan berkembang sejak Zaman Kuno yang jauh menjangkau ke masa lampau. Arti penting dan peranannya dalam mendorong peradaban manusia tidak dapat disangsikan lagi, karena sejalan dan seiring dengan perkembangan matematika berlangsung pula secara bersamaan peradaban manusia dan kebudayaan masyarakat (Gie, 1999). Matematika menurut sejarah dan perwujudannya adalah suatu pengetahuan dan berasal dari perkataan matematika itu sendiri. Istilah Mathematics berasal dari kata Latin mathematica yang semula mengambil pula dari kata Yunani mathèmatikè (artinya: relating to learning – bertalian dengan pengetahuan). Kata Yunani itu mempunyai akar mathèma yang berarti ilmu atau pengetahuan (science, knowledge). Perkataan mathèmatikè berhubungan pula sangat erat dengan sebuah kata lainnya yang serumpun, yaitu manthanein yang artinya belajar (to learn). Jadi berdasarkan asalusulnya kata matematika itus sendiri semula berarti pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar. Oleh karena matematika merupakan suatu pengetahuan, ternyata salah satu sasaran pertama yang ditelaahnya ialah konsepsi tentang bilangan. Jadi, hal tentang bilangan merupakan pokok soal yang dipelajari oleh matematika. Berhubung dengan itu dapatlah dibenarkn batasan dari Charles Eckels yang



merumuskan matematika sebagai “the science of numbers and their relationships” (ilmu tentang bilangan-bilangan dan hubungan-hubungannya). Hollis Cooley dalam Gie (1999) menjelaskan “Mathematic of the past has been concerned mainly with the study of two things, number and space, the former being the province of arithmetic and algebra, and the latter belonging to the field of geometry” (Matematika dari masa lampau menyangkut terutama dengan penelaahan terhadap dua hal, bilangan-bilanga dan ruang, yang pertama merupakan lapangan dari aritmetika dan aljabar, dan yang belakangan termasuk dalam bidang geometri). The World University Encyclopedia dalam Gie (1999) “Mathematics, as the word is used today, has outgrown its ancient definition as the science of space and number” (Matematika, sebagaimana kata itu dipakai dewasa ini, telah tumbuh melampaui batasannya yang kuno sebagai ilmu tentang ruang dan bilangan). Tiro (2010) Matematika adalah bahasa yang sangat simbolis, yang melambangkan serangkaian makna yang ingin disampaikan. Simbol (lambang atau notasi) matematika bersifat “artifisial” yang akan mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Matematika adalah bahasa yang berupaya untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk, dan emosional dari bahasa verbal. Simbol yang dibikin secara artifisial dan individual merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang dibahas. Sebuah objek yang sedang ditelaah dapat disimbolkan dengan apa saja sesuai dengan



perjanjian kita. Misalnya, simbol “x” dapat saja diberi arti sebuah bilangan, sebuah titik, atau sejumlah uang. Manusia dengan mudah mendapatkan pengertian melalui simbol, sebab pemikiran manusia memang bekerja lebih baik dengan mempergunakan ekspresi simbolisme.



B. Definisi Konsep, Konsepsi, Prakonsepsi, dan Miskonsepsi 1.



Konsep Konsep merupakan batu pembangun berpikir. Konsep merupakan dasar bagi proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip dan generalisasi. Untuk memecahkan masalah, seorang siswa harus mengetahui aturan-aturan yang relevan dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep-konsep yang diperolehnya (Dahar, 2006). Konsep-konsep yang diajarkan di sekolah pada umumnya memenuhi persyaratan yang dikemukakan oleh Klausmeier. Uraian empat tingkat pencapaian konsep Klausmeier diberikan sebagai berikut: a.



Tingkat konkret Kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang telah mencapai konsep pada tingkat konkret apabila orang itu mengenal suatu benda yang telah dihadapinya.



b.



Tingkat identitas Seorang akan mengenal suatu objek: 1) sesudah selang suatu waktu; 2) bila orang itu mempunyai orientasi ruang (spatial orientation) yang berbeda terhadap objek itu; atau 3) bila objek itu ditentukan



melalui suatu cara indra yang berbeda, misalnya mengenal suatu bola dengan cara menyentuh bola itu bukan dengan melihatnya. c.



Tingkat klasifikasi Siswa mengenal persamaan (equivalence) dari dua contoh yang berbeda dari kelas yang sama.



d.



Tingkat formal Siswa harus dapat menentukan atribut-atribut yang membatasi konsep. Menurut Lidyawati dalam Firman (2016), Konsep adalah



pemikiran seseorang yang diperoleh dari fakta, pengalaman, peristiwa/ kejadian, fenomena alam, generalisasi, atau hasil berpikir abstrak yang menggambarkan ciri-ciri atau karakter. Dari teori-teori tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konsep adalah suatu ide, ilmu pengetahuan dan abstraksi berupa penandaan atau simbolisasi dari suatu ciri khas tertentu dan terwakili dalam setiap budaya yang memungkinkan manusia dapat berkomunikasi satu sama lain dan berfikir. Konsep adalah sebuah abstraksi dari ciri-ciri yang mempermudah komunikasi manusia dan memungkinkan manusia untuk berpikir (Tayubi dalam Septiana, Zulfiani, Noor, 2014). Mengenai konsep, Arends (2012) menulis: Ways of organizing knowledge and experiences in categories within which items have common attributes.



(Cara mengorganisir pengetahuan dan pengalaman dalam kategori di mana item memiliki atribut umum). Mengenai konsep, Skemp (1982) menulis: Though the term “concept is widely used, it’s not easy to define. Nor, for reasons which will appear later, is a direct definition the best way to convey its meaning. So, I shall approach it from several directions, and with a variety of examples. Since mathematical concepts are among the most abstract, we shall reach these last. (Meskipun istilah "konsep banyak digunakan, tidak mudah untuk didefinisikan. Juga, untuk alasan yang akan muncul kemudian, adalah definisi langsung cara terbaik untuk menyampaikan maknanya. Jadi, saya akan mendekatinya dari beberapa arah, dan dengan berbagai contoh. Karena konsep matematika adalah yang paling abstrak, kita harus mencapai yang terakhir ini.) 2.



Konsepsi Konsepsi adalah pemahaman konsep oleh siswa (Tayubi dalam Septiana, Zulfiani, Noor, 2014). Tafsiran perorangan terhadap banyak konsep sangat mungkin berbeda-beda. Tafsiran konsep oleh seseorang disebut konsepsi (Tayubi, 2005). Hal serupa juga diungkapkan oleh Berg dalam Firman (2016) bahwa konsepsi merupakan tafsiran perorangan mengenai konsep ilmu. Suparno dalam Firman (2016) mendefinisikan konsepsi sebagai kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh



melalui interaksi dengan lingkungan maupun konsep yang diperoleh dari pendidikan formal.



3.



Prakonsepsi Prakonsepsi menurut Berg dalam Firman (2016) adalah konsepsi awal yang diterima seseorang melalui pengalaman. Soedjaji dalam Ardya R.S dan Fitriyani (2016) prakonsepsi adalah konsep awal yang dimiliki seseorang tentang suatu objek.



4.



Miskonsepsi Miskonsepsi menurut Suparno dalam Suwarto (2013) adalah pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar. Hal ini sejalan dengan pendapat Modell, Michael, dan Wenderoth bahwa miskonsepsi ditinjau dari pemahaman konsep oleh siswa yaitu pemahaman konsep yang atau prinsip yang tidak konsisten dengan pemahaman konsep yang berlaku umum (para ilmuwan) (Suwarto, 2013). Miskonsepsi adalah konsepsi yang dimiliki seseorang yang jelasjelas berbeda bahkan sering bertentangan dengan konsep ilmiah (Ibrahim dalam Sholehah dan Suyono, 2014). David Hammer dalam Tayubi (2005) mendefinisikan miskonsepsi sebagai “strongly held cognitive structures that are different from the



accepted understanding in a field and that are presumed to interfere with the acquisition of new knowledge,” yang berarti bahwa miskonsepsi dapat dipandang sebagai suatu konsepsi atau struktur kognitif yang melekat dengan kuat dan stabil dibenak siswa yang sebenarnya menyimpang dari konsepsi yang dikemukakan para ahli, yang dapat menyesatkan para siswa dalam memahami fenomena alamiah dan melakukan eksplanasi ilmiah. Mengenai Miskonsepsi, Rana Ghulam Mohyuddin and Usman Khalil (2016) juga menulis: Misconceptions are a problem for two reasons. First, they interfere with learning when students use them to interpret new experiences.



Second,



students



become



emotionally



and



intellectually attached to their misconceptions, because they have actively constructed them. Hence, they find it difficult to accept new concepts which are unfamiliar and dissimilar to their misconceptions. (Miskonsepsi adalah masalah karena dua alasan. Pertama, mereka mengganggu



pembelajaran



saat



siswa



menggunakannya



untuk



menafsirkan pengalaman baru. Kedua, siswa secara emosional dan intelektual melekat pada kesalahpahaman mereka, karena mereka telah secara aktif membangunnya. Oleh karena itu, mereka merasa sulit untuk menerima konsep baru yang tidak biasa dan berbeda dengan miskonsepsi mereka.)



Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah pemahaman konsep yang berbeda dengan pemahaman konsep para ilmuwan. Pada proses pembelajaran, miskonsepsi merupakan suatu penghambat. Hal tersebut dikarenakan konsep yang telah diperoleh sebelumnya oleh siswa saling berkaitan dengan pengetahuan baru yang akan



dihadapi. Miskonsepsi juga terjadi apabila terdapat kesalahan



dalam menafsirkan konsep-konsep yang menjadi hal baru bagi siswa.



C. Penyebab Terjadinya Miskonsepsi Menurut Soedjaji dalam Ardya R.S dan Fitriyani (2016) miskonsepsi yang dijumpai dalam pengajaran matematika disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah: a.



Kesalahan makna kata, yaitu penyebab kesalahan dalam memaknai kalimat secara tekstual.



b.



Tekanan aspek praktis, yaitu penyebab kesalahan dari pemikiran dasar.



c.



Simplifikasi, yaitu penyederhanaan suatu konsep dalam pendidikan.



d.



Gambar, yaitu pemahaman ilustrasi gambar yang salah. Menurut Gabel dalam Suwarto (2013), terdapat dua penyebab



terjadinya miskonsepsi, yaitu: a.



Hasil pengamatan terhadap fenomena alam yang ada di sekitar siswa, kadang-kadang perasaan dapat menipu mereka dalam memahami fenomena tersebut.



b.



Konsep yang diajarkan tidak terjangkau oleh perkembangan mental siswa. Hal tersebut berarti bahwa informasi yang berasal dari luar dan dalam kelas berpotensi sebagai sumber miskonsepsi jika informasi yang dicandra siswa tidak menjadikan gambaran mental siswa yang benar. Menurut Suparno dalam Respatiningrum dkk (2015) menerangkan



bahwa: “secara garis besar, penyebab miskonsepsi terdiri dari lima kelompok, yaitu: siswa, guru, buku teks, konteks dan metode mengajar. a.



Siswa



b.



Guru



c.



Buku teks



d.



Konteks



e.



Metode mengajar



Berdasarkan dari beberapa pandangan maka dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya miskonsepsi adalah kesalahan yang dilakukan oleh seseorang dalam membangun konsepsi yang diperoleh dari lingkungan maupun teori sebelumnya.



D. Three-Tier Test Three-tier diagnostic test ini merupakan tes diagnostik yang tersusun dari tiga tingkatan soal. Sementara first-tier (tingkat pertama) dari two-tier (tingkat kedua) melibatkan pertanyaan pilihan ganda tentang konsep tersebut, second tier (tingkat kedua) melibatkan pertanyaan tentang alasan jawaban



atas pertanyaan first tier (tingkat pertama) (Chandrasegaran et al, Griffard & Wandersee, Treagust, Haslam & Treagust dalam Kanli, 2015). Dalam three-tier tests (tes tiga tingkat), di sisi lain, siswa ditanya tentang apakah dia yakin tentang jawaban di third tier (tingkat ketiga) selain pertanyaan dalam two-tier tests (tingkat kedua). Dengan demikian, persentase yang paling akurat untuk mencerminkan kesalahpahaman siswa diberikan oleh three-tier tests (tes tiga tingkat). Jika siswa tersebut menandai jawaban yang salah dengan miskonsepsi pada first-tier (tingkat pertama), dan menjelaskan jawaban yang salah ini dengan alasan seolah-olah benar dan mengatakan bahwa dia yakin tentang jawabannya di tingkat yang terakhir (last tier), maka siswa tersebut dapat menjadi dikatakan memiliki miskonsepsi tentang hal itu (Eryilmaz, Arslan, Cigdemoglu & Moseley, dalam Kanli 2015). Demikian pula, jika di pada first-tier (tingkat pertama), siswa memilih jawaban yang benar, di pada second tier (tingkat kedua), mereka membuat penjelasan yang benar, dan di pada third tier (tingkat ketiga), jika mereka yakin tentang jawaban yang diberikan dalam dua tingkatan pertama, siswa dianggap sebagai sukses. Sedangkan pengertian dari tes diagnostik adalah tes yang bertujuan untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dalam hal memahami konsepkonsep kunci pada topik tertentu (Suwarto, 2013). Sejalan dengan pendapat tersebut, Arikunto (2013) mengungkapkan bahwa tes diagnostik merupakan tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga dapat dilakukan penanganan terhadap hal tersebut. Tes diagnostik berguna



untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik, termasuk kesalahan pemahaman konsep untuk mata pelajaran tertentu. Tes diagnostik ini dilakukan apabila diperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta didik gagal dalam mengikuti proses pembelajaran untuk pelajaran tertentu. Hasil tes ini memberikan informasi tentang konsep-konsep yang belum dipahami dan yang telah dipahami, termasuk kesalahan konsep. Oleh karena itu, tes ini mengandung materi yang dirasa sulit oleh peserta didik, namun tingkat kesulitan tes ini cenderung rendah (Marpadi, 2012). Tes diagnostik (diagnostic test) adalah yang dilaksanakan untuk menentukan secara tepat, jenis kesukaran yang dihadapi oleh para peserta didik dalam suatu mata pelajaran tertentu. Dengan diketahuinya jenis-jenis kesukaran yang dihadapi oleh peserta didik itu maka lebih lanjut akan dapat dicarikan upaya berupa pengobatan (theraphy) yang tepat. Tes jenis ini dapat dilaksanakan dengan secara lisan, tertulis, perbuatan atau kombinasi dari ketiganya. Sesuai dengan nama tes itu sendiri (diagnose=pemeriksaan), maka jika hasil “pemeriksaan” itu menunjukkan bahwa tingkat penguasaan peserta didik yang sedang “diperiksa” itu termasuk rendah, harus diberi bimbingan secara khusus agar mereka dapat memperbaiki tingkat penguasaannya terhadap mata pelajaran tertentu (Sudijono, 2013). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tes diagnostik merupakan suatu jenis tes yang digunakan untuk mengidentifikasi kesalahan konsep yang dialami oleh siswa.



Penggunaan tes diagnostik dalam mengetahui pengetahuan awal siswa sebelum memasuki lingkungan belajar sangat penting untuk dilakukan. Ketika studi mengenai kesalahpahaman mulai muncul dalam literatur, pendidik dalam dunia sains telah berfokus pada pengembangan metode yang valid dan dapat diandalkan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa.



E. Kriteria Tes Arikunto (2013) mengungkapkan bahwa tes yang baik adalah alat pengukur yang memenuhi kriteria berikut: 1.



Validitas Validitas berarti ketepatan sehingga sebuah tes yang baik adalah tes yang dapat mengukur secara tepat apa yang hendak diukur.



2.



Reliabilitas Reliabilitas dapat dikatakan sebagai ketetapan. Hal tersebut brarti bahwa tes yang baik adalah tes yang jika diteskan berkali-kali maka akan memberikan hasil yang tetap. Ketetapan yang dimaksud bukan berarti nilai yang tetap, akan tetapi pada saat siswa diberikan tes yang sama pada waktu yang berlainan maka siswa tersebut tetap berada pada urutan yang sama dalam kelompoknya.



3.



Objektivitas Sebuah tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam pelaksanaan tes tidak terdapat faktor subjektif yang mempengaruhinya terutama dalam hal sistem skoringnya.



4.



Praktikabilitas Sebuah tes dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis dan mudah dalam pengadministrasiannya. Adapun makna dari praktis pada tes ini adalah mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya, dan dilengkapi dengan petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan oleh orang lain.



5.



Ekonomis Makna dari ekonomis dalam tes adalah pelaksanaan tes tidak membutuhkan biaya yang mahal tenaga yang banyak serta waktu yang lama



F. Tinjauan Materi Bilangan Materi Bilangan merupakan salah satu materi yang diajarkan pada siswa kelas VII semester satu Sekolah Menengah Pertama. Menurut Utami (2016)



Materi



tersebut



adalah



materi



yang



fundamental



dan



berkesinambungan karena konsep yang satu dengan konsep yang lain saling berhubungan dan merupakan dasar dan prasyarat bagi pemahaman konsep selanjutnya yang lebih tinggi. Misalnya siswa memahami penjumlahan merupakan prasyarat bagi pemahaman konsep perkalian, konsep bilangan berpangkat dan bentuk akar begitu seterusnya. Jika pada materi prasyarat, pemahaman konsep siswa kurang dan mengalami miskonsepsi, maka siswa mungkin akan kesulitan dalam menyelesaikan soal – soal matematika dan kesulitan pada materi – materi pengembangan selanjutnya.



Adapun pembahasan materi bilangan sebagai berikut: 1.



Kompetensi Inti a.



Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.



b.



Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.



c.



Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural)



berdasarkan



rasa



ingin



tahunya



tentang



ilmu



pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata. d.



Mengolah,



menyaji,



dan



menalar



dalam



ranah



konkret



(menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori. 2.



Kompetensi Dasar 3.1 Menjelaskan dan menentukan urutan pada bilangan bulat (positif dan negatif) dan pecahan (biasa, campuran, desimal, persen). 3.2 Menjelaskan dan melakukan operasi hitung bilangan bulat dan pecahan dengan memanfaatkan berbagai sifat operasi. 3.3 Menjelaskan dan menentukan representasi bilangan bulat besar sebagai bilangan berpangkat bulat positif.



4.1 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan urutan beberapa bilangan bulat dan pecahan (biasa, campuran, desimal, persen). 4.2 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan operasi hitung bilangan bulat dan pecahan. 4.3 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan bilangan bulat besar sebagai bilangan berpangkat bulat positif.



3.



Bilangan Bulat a.



Definisi Bilangan Bulat Bilangan bulat dibedakan menjadi tiga bagian, yakni bilangan bulat negatif, nol, dan bilangan bulat positif. Pada garis bilangan dengan arah mendatar, bilangan bulat positif terletak di sebelah kanan nol. Sedangkan bilangan bulat negatif di sebelah kiri nol. Istilah lain dari bilangan bulat positif adalah bilangan asli. Sedangkan, gabungan dari bilangan bulat positif dan nol disebut bilangan cacah.



Gambar 1. Pembagian bilangan bulat pada garis bilangan b.



Operasi Hitung pada Bilangan Bulat Dalam menghitung seseorang dapat melakukan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan, hal ini kemudian



disebut dengan suatu operasi. Pada dasarnya suatu operasi adalah mengambil sepasang bilangan untuk memperoleh bilangan tunggal.



1) Penjumlahan dan Pengurangan Mengajarkan operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat kepada siswa dapat ditunjukkan dengan menggunakan garis bilangan. Contoh 1: −2+5=… Dari titik 0 bergerak dua satuan ke kiri, kemudian dilanjutkan 5 satuan ke kanan shingga diperoleh titik akhir, yaitu 3 yang merupakan hasil dari −2+5 . Jadi −2+5=3 .



Contoh 2: 8+ (−3 )=…



Dari titik 0 bergerak 8 satuan ke kanan, kemudian dilanjutkan 3 satuan ke kiri sehingga diperoleh titik akhir, yaitu 5 yang merupakan hasil dari 8+(−3) . Jadi 8+ (−3 )=5 .



Contoh 3: −4+ (−3 ) =… Dari titik 0 bergerak 4 satuan ke kiri, kemudian dilanjutkan 3 satuan ke kiri lagi sehingga diperoleh titik akhir, yaitu -7 yang merupakan hasil dari −4+(−3) . Jadi −4+ (−3 ) =−7 .



Berdasarkan uraian di atas, jika pemahaman tentang konsep penjumlahan bilangan bulat melalui garis bilangan telah dikuasai, maka hasil penjumlahan bilangan bulat dapat ditentukan dengan menggunakan aturan berikut ini.



Untuk sebarang bilangan bulat a dan b berlaku: a)



a+ (−b )=a−b , jika a lebih dari b



b)



a+ (−b )=−( b−a ) , jika b lebih dari a



c)



−a+ (−b )=−( a+ b )



Contoh 4: 4−(−2 )=…



Dari titik 0 bergerak 4 satuan ke kanan, kemudian dilanjutkan 2 satuan ke kanan sehingga diperoleh titik akhir, yaitu 6 yang merupakan hasil dari 4−(−2 ) . Jadi 4−(−2 )=6 .



Dari uraian di atas diperoleh hubungan bahwa mengurangi dengan suatu bilangan sama artinya menambah dengan lawan pengurangnya.



2) Perkalian dan Pembagian Operasi dasar kedua dari bilangan asli adalah perkalian (Tiro et al, 2008). Dalam perkalian bilangan cacah



2× 3



2× 3=3+ 3(bukan 2+2+2) . Jadi



berarti ada dua tigaan, yaitu:



2× 3=6 . Arti perkalian seperti di atas dapat digunakan untuk menentukan perkalian bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif berikut ini: 1× (−3 )=−3 2× (−3 )=(−3 ) + (−3 )=−6



3 × (−3 )=(−3 ) + (−3 ) +(−3) 4 × (−3 )=(−3 ) + (−3 ) + (−3 ) + (−3 )=−12



Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil perkalian bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif adalah bilangan bulat negatif. Untuk setiap bilangan berlaku a × (−b )=−ab .



Contoh 5: Menggunakan Tabel Perkalian × 3



-3 -9



-2 -6



-1 -3



0 0



1 3



2 6



3 9



a



dan



b



2 -6 -4 -2 0 2 4 6 1 -3 -2 -1 0 1 2 3 0 0 0 0 0 0 0 0 -1 3 2 1 0 -1 -2 -3 -2 6 4 2 0 -2 -4 -6 -3 9 6 3 0 -3 -6 -9 Dari tabel perkalian di atas, menunjukkan hasil operasi perkalian dari setiap pasang bilangan bulat



−3,−2,−1, 0, 1,2, dan 3 .



Jadi dapat disimpulkan bahwa : a)



Bilangan bulat negatif



×



bilangan bulat positif =



bilangan bulat negatif. Untuk setiap bilangan



a dan b



berlaku (−a ) ×b=−ab . b) Bilangan bulat negatif



×



bilangan bulat negatif =



bilangan bulat positif. Untuk setiap bilangan



a



dan



b



berlaku (−a ) ×(−b)=ab . c)



Bilangan bulat negatif ataupun positif × 0 = 0.



Pembagian adalah operasi kebalikan dari perkalian. p: q=r ⇔r ×q= p . Contoh 6: −6 :2=a ⇔ a× 2=−6 . Pengganti



a



yang benar adalah



−3, sebab −3 × 2=−6 . Jadi, −6 :2=−3 . Untuk menentukan hasil dari pembagian, digunakan sifat berikut ini: a)



Bilangan bulat negatif bilangan bulat negatif.



÷



bilangan bulat positif =



b) Bilangan bulat positif



÷



bilangan bulat negatif =



÷



bilangan bulat negatif =



bilangan bulat negatif. c)



Bilangan bulat negatif bilangan bulat positif.



d) Untuk



sembarang



bilangan



bulat



a ,



maka



a :0 tidak didefinisikan. e)



Untuk sembarang bilangan bulat



a



dengan



a≠0 ,



maka 0 :a=0 .



4.



Pecahan a.



Definisi Pecahan Pecahan adalah bilangan yang dapat dinyatakan sebagai



perbandingan dua bilangan cacah dengan syarat



a



dan



b , ditulis



a b



b ≠ 0 . Dengan demikian secara simbolik pecahan



dapat dinyatakan sebagai salah satu: a) pecahan biasa, b) pecahan desimal, c) pecahan persen, dan d) pecahan campuran (Sa’dijah dalam Darwan, 2015). Dalam pecahan terdapat pembilang dan



penyebut. Misalnya



1 , angka 1 disebut pembilang dan angka 2 2



disebut penyebut.



b.



Operasi Hitung Pecahan



Jika pecahan yang akan dijumlahkan memiliki penyebut yang berbeda,



terlebih



menentukan



dahulu



Kelipatan



disamakan



Persekutuan



penyebutnya Terkecil



dengan



(KPK)



dari



penyebutnya. Contoh 7: 1 2 3+ 4 7 + = = 2 3 6 6



Contoh 8: 3 1 9−2 7 − = = 4 6 12 12



Untuk sebarang bilangan pecahan



dan d ≠0



selalu berlaku



a b



dan



c d



dengan



b≠0



a c a× c × = . b d b ×d



Contoh 9: 3 4 3× 4 12 3 × = = = 8 7 8 ×7 56 14



Contoh 10: 5 3 10 :9 10 : = = 6 4 12 9 Membagi dengan suatu pecahan sama artinya dengan mengalikan dengan kebalikan pecahan itu. Dengan demikian dapat disimpulkan



untuk sebarang pecahan



d ≠0



berlaku



a b



dan



c d



dengan



b≠0



dan



a a d a×d × a c b b c b ×c a d : = = = = × . Pecahan b d c c d 1 b c × d d c



d adalah kebalikan c



c . d



BAB III METODE PENELITIAN



A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian Kualitatif dengan pendekatan Deskriptif. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan miskonsepsi siswa tentang bilangan. Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif, dimana siswa akan diberikan tes uraian terlebih dahulu untuk mendeteksi siswa mana yang mengalami miskonsepsi, kemudian beberapa orang siswa yang terdeteksi mengalami miskonsepsi pada materi bilangan tersebut akan diberikan tes wawancara semi terstruktur.



B. Lokasi dan Subjek Penelitian 1.



Lokasi



Penelitian ini dilaksanakan di SMP Islam Athirah. Calon subjeknya adalah siswa kelas VII SMP Islam Athirah dengan jumlah siswa 23 orang. Guru pengampu siswa kelas VII adalah Mubasriani Rushadi, S.Si., S.Pd., M.Pd. 2.



Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah individu yang menjadi sasaran untuk diteliti. Subjek yang dipilih adalah enam orang siswa kelas VII SMP Islam Athirah. Adapun, alasan peneliti mengambil subjek dari kelas VII yakni, a) karakteristik siswa kelas VII dapat memberikan kontribusi dalam perolehan data, b) siswa kelas VII telah mempelajari materi Bilangan. Pemilihan subjek dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan subjek sebagai sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan pemilihan subjek adalah tingkat pemahaman konsep siswa yaitu mengerti, tidak mengerti, dan mengalami miskonsepsi. Sedangkan kriteria subjek adalah mereka yang bersedia diwawancarai dan mampu mengomunikasikan pikirannya secara jelas.



C. Fokus Penelitian Tujuan dari penetapan fokus penelitian adalah untuk mengarahkan peneliti sehingga dapat mencurahkan perhatian secara jelas terhadap hal yang diteliti. Untuk menjawab rumusan masalah penelitian dengan baik, maka fokus penelitian ini diarahkan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa SMP Islam Athirah dengan pengimplementasian three-tier test essay.



D. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian terdiri dari: berupa soal tes diagnostik Three-Tier Test dan tes wawancara. 1.



Peneliti Dalam hal ini, peneliti merupakan perencana, pelaksana, pengumpul data, penganalisis, penafsir data dan akhirnya menjadi pelopor hasil penelitian. Peneliti sebagai instrumen akan mempermudah menggali informasi yang menarik meliputi informasi: lain dari yang lain, yang tidak direncanakan sebelumnya, yang tidak diduga terlebih dahulu atau tidak lazim terjadi.



2.



Tes Diagnostik Tes diagnostik dalam hal ini adalah tes diagnostik three-tier test essay yang berisi soal-soal tentang materi Bilangan. Tes ini diberikan kepada siswa kelas VII Islam Athirah yang menjadi subjek penelitian. Tes ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Tes ini berbentuk uraian tes.



3.



Pedoman Wawancara Penggalian data melalui wawancara dilakukan dengan wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur adalah proses wawancara yang menggunakan panduan wawancara yang berasal dari pengembangan topik dan mengajukan pertanyaan dan penggunaan lebih fleksibel daripada wawancara. Wawancara dilakukan dengan bertanya langsung



kepada informan untuk menggali dan mendapatkan informasi yang berkaitan dengan data yang dibutuhkan. Metode wawancara yang dilakukan adalah wawancara klinis semi terstruktur dengan ketentuan: a.



Pertanyaan wawancara yang diajukan disesuaikan dengan kondisi jawaban terhadap soal yang diberikan kepada siswa (tulisan maupun penjelasan).



b.



Pertanyaan yang diajukan tidak harus sama dengan yang tertulis pada pedoman wawancara tetapi memuat inti permasalahan yang sama.



c.



Apabila siswa mengalami kesulitan dengan pertanyaan tertentu, mereka akan didorong merefleksi atau diberikan pertanyaan lebih sederhana tanpa menghilangkan inti permasalahan.



E. Teknik Pengumpulan Data 1.



Metode Tes Pengumpulan data dalam penelitian ini diawali dengan pemberian tes diagnostik, three-tier test essay dengan materi Bilangan pada siswa kelas VII. Three-tier test essay seperti yang telah dijelaskan pada instrumen bertujuan untuk memperoleh subjek yang mampu menghasilkan data konsisten.



2.



Metode Wawancara Wawancara



dilakukan



untuk



mempelajari/



menelusuri



kemampuan siswa dalam memahami konsep materi Bilangan. Beberapa hal yang diperhatikan dalam wawancara pada penelitian ini adalah



objektivitas. Objektivitas merujuk pada hubungan pewawancara dengan responden. Pewawancara memberi kebebasan pada responden tentang apa saja yang berkaitan dengan permasalahan yang diberikan. Tujuannya adalah untuk meminimalkan pengaruh pewawancara terhadap subjek. Pewawancara juga berusaha untuk memberi motivasi kepada subjek agar bisa mengungkapkan masalah-masalahnya berkaitan dengan jawabannya terhadap soal yang diberikan. Keabsahan data merupakan hal penting dalam penelitian kualitatif. Pemeriksaan terhadap keabsahan data bertujuan untuk mengurangi bias yang terjadi pada saat pengumpulan data. Uji keabsahan akan ditekankan pada uji validitas dan reliabilitas.



F. Teknik dan Prosedur Penelitian 1.



Kegiatan Awal a.



Observasi sekolah Observasi lokasi penelitian dilakukan untuk memperoleh informasi dari pihak sekolah mengenai guru pengampu Matematika kelas VII, jumlah siswa dan kemampuan siswa.



b.



Merancang instrumen penelitian Sebagai alat pengumpul data, peneliti merancang instrumen penelitian yang terdiri dari tes diagnostik three-tier test essay dan pedoman wawancara



c.



Menyiapkan alat bantu perekaman data penelitian



Alat bantu yang peneliti maksudkan adalah alat perekam. Alat perekam tersebut adalah perekam audio berupa tape recorder atau ponsel yang dilengkapi dengan kamera dan alat perekam. Perekaman data dengan alat ini dilakukan pada saat pengumpulan data baik pada saat tes maupun wawancara 2.



Kegiatan Inti a.



Memberikan three-tier test essay kepada siswa yang akan diseleksi dan memilih enam siswa sebagai subjek yang masing-masing mengerti, tidak mengerti dan mengalami miskonsepsi.



b.



Melakukan wawancara berdasarkan three-tier test essay . Dengan wawancara ini kita dapat mengamati kekonsistenan jawaban pada saat wawancara degan three-tier test essay .



3.



Kegiatan Akhir Setelah melakukan penelitian, data yang dikumpulkan dari hasil pemberian three-tier test essay dan wawancara adalah jawaban atau respon



subjek



yang



menunjukkan



tingkat



pemahaman



mereka.



Selanjutnya, data yang diperoleh dianalisis dengan kualitatif, kemudian membahas hasil penelitian dan mengambil kesimpulan, serta menyusun laporan berdasarkan hasil penelitian.



G. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data Deskriptif dan Kualitatif dengan tahapan sebagai berikut:



1.



Reduksi Data Tahapan reduksi data dalam penelitian ini adalah: a.



Mengelompokkan pekerjaan siswa menjadi 3 bagian, yaitu tidak memahami,



memahami,



dan



miskonsepsi.



Dengan



kriteria



berdasarkan pengelompokkan derajat pemahaman konsep oleh Renner dan Brumby dalam Darwan (2015), yaitu: 1) Siswa dikatakan tidak memahami jika: a)



Tidak ada jawaban/ kosong/ menjawab “saya tidak tahu”.



b) Mengulang pertanyaan/ menjawab tapi tidak berhubungan dengan pertanyaan atau tidak jelas. 2) Siswa dikatakan memahami jika: a)



Jawaban menunjukkan hanya sebagian konsep dikuasai tanpa ada miskonsepsi.



b) Jawaban menunjukkan konsep dipahami dengan semua penjelasan benar. 3) Siswa dikatakan mengalami miskonsepsi jika: a)



Menjawab dengan penjelasan yang tidak logis.



b) Jawaban menunjukkan ada konsep yang dikuasai tetapi ada pernyataan dalam jawaban yang menunjukkan miskonsepsi. b.



2.



Melakukan wawancara dengan enam orang subjek penelitian.



Penyajian Data Tahap penyajian data dalam penelitian ini adalah:



a.



Menyajikan hasil pekerjaan siswa yang telah terpilih sebagai sampel penelitian .



b.



Menyajikan hasil wawancara yang telah direkam dari enam orang subjek penelitian.



Dari hasil pekerjaan siswa dan hasil wawancara dilakukan analisis kemudian disimpulkan yang berupa data temuan sehingga mampu menjawab permasalahan dalam penelitian.



3. Penarikan Kesimpulan Data yang disimpulkan pada penelitian ini adalah temuan baru tentang tahap berpikir siswa



DAFTAR PUSTAKA



Ardya R.S, Dhimas dan Fitriyani, Harina. 2016. Identifikasi Miskonsepsi Siswa Menggunakan Certainty Of Response Index pada Operasi Hitung Bilangan. ISBN : 978-602-61599-6-0. Arends, Richard I. 2012. Learning to Teach, Ninth Edition. New York: McGrawHill Companies, Inc. Arikunto, Suharsimi. 2013. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2. Jakarta: Bumi Aksara. Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Bandung: Erlangga Darwan. 2015. Identifikasi Miskonsepsi Mahasiswa Memahami Konsep Pecahan Sederhana Menggunakan Certainty of Response Index (CRI). Skipsi. Tidak Diterbitkan. Makassar: FMIPA UNM.



Firman, Firdayanti. Pengembangan Three-Tier Test untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi Siswa Kelas VII pada Materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel. Skipsi. Tidak Diterbitkan. Makassar: FMIPA UNM. Gie, The Liang. 1999. Filsafat Matematika. Yogyakarta: PUBIB (Pusat Belajar Ilmu Berguna. Kanli, U. 2015. Using a Two-tier Test to Analyse Students’ and Teachers’ Alternative Concepts in Astronomy. International Council of Association for Science Education. Vol. 26, pp.148-165. Kirbulut, Zubeyde Demet. 2014. Using Three-Tier Diagnostic Test to Assess Students’ Misconceptions of States of Matter. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. Vol. 10, No. 5, pp. 509521. Marpadi, Djemari. 2012. Pengukuran Penilaian & Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta: Nuha Medika. Mohyuddin, Rana Ghulam dan Usman Khalil. 2016. Misconceptions of Students in Learning Mathematics at Primary Level. Bulletin of Education and Research. Vol. 38, No. 1, pp. 133-162. Respatiningrum, Nirmala, Radiyono, Yohanes dan Wiyono, Edy. 2015. Analisis Miskonsepsi Materi Fluida pada Buku Ajar Fisika SMA. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika (SNFPF) Ke-6 2015 313 Volume 6 Nomor 1 2015 ISSN : 2302-7827 Santoso, Gempur. 2005. Metodologi Penelitian: Kuantitaif dan Kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Septiana, Dwi, Zulfiani, Noor, Meiry Fadilah. 2014. Identifikasi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Archaebacteria dan Eubacteria Menggunakan TwoTier Multiple Choice. EDUSAINS. Vol. 6, No. 02, Tahun 2014, pp 196 – 200. Skemp, Richard R. 1982. The Psychology of Learning Mathematics. Penguin Books. Sudijono, Anas. 2013. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada



Sudijono, Anas. 2013. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Suwarto. 2013. Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran. Tayubi, Yuyu Rachmat. 2005. Identifikasi Miskonsepsi Pada Konsep-Konsep Fisika Menggunakan Certainty of Response Index (CRI). Mimbar Pendidikan. Vol. 24, No. 3, pp 4-9. Tiro, Muhammad Arif et.al. 2008. Pengenalan Teori Bilangan. Makassar: Andira Publisher. Tiro, Muhammad Arif. 2010. Cara Efektif Belajar Matematika. Makassar: Andira Publisher. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003