Proposal Penelitian Kepiting Bakau [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL PENELITIAN



KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI KAWASAN HUTAN MANGROVE BENGKALIS PROVINSI RIAU OLEH: REFWINA CAPRICA 1804123902



JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2020



i



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan usulan penelitian yang berjudul “Kelimpahan dan Keanekaragaman Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Kawasan Hutan Mangrove Bengkalis Provinsi Riau”. Penulis telah berupaya membuat proposal penelitian ini sebaik mungkin, namun demikian tidak tertutup kemungkinan kesalahan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dosen Pengampu Dr.,Ir, Eni Sumiarsih, M.Sc yang telah memberikan petunjuk dan bimbingannya dalam menyusun usulan penelitian ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian, serta kepada semua pihak yang ikut membantu dalam penyusunan usulan penelitian ini.. Hal yang sama penulis sampaikan kepada kedua orang tua, saudara dan teman-teman yang telah memberikan dukungan motivasi dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan proposal ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak, semoga usulan penelitian ini dapat berguna bagi penulis, dan dapat berguna untuk rekan-rekan di masa yang akan datang. Pekanbaru, November 2020



Refwina Caprica



ii



DAFTAR ISI



Isi Halaman KATA PENGANTAR..................................................................................................i DAFTAR ISI................................................................................................................ii DAFTAR TABEL..................................................................................................... iii I.



PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah............................................................................................2 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................................3 1.4 Hipotesis Penelitian..........................................................................................3



II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Hutan Mangrove............................................................................4 2.2. Fungsi Hutan Mangrove..................................................................................5 2.3. Zonasi Komunitas Mangrove..........................................................................6 2.4. Peran Mangrove terhadap Kepiting Bakau .....................................................8 2.5. Kepiting Bakau (Scylla spp.)...........................................................................9 2.5.1 Habitat Kepiting Bakau........................................................................9 2.5.2 Perilaku dan Makanan Kepiting Bakau.............................................10 2.5.3 Faktor pengaruh Kelangsungan hidup Kepiting bakau......................10 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat........................................................................................13 3.2. Alat dan bahan...............................................................................................13 3.3. Metode Penelitian..........................................................................................14 3.4. Prosedur Penelitian........................................................................................14 3.4.1. Pengambilan data sampel utama (Kepiting Bakau)..........................14 3.4.2. Pengukuran kualitas air sebagai data pendukung.............................15 3.5. Analisa data...................................................................................................16 3.5.1 Kelimpahan Kepiting Bakau..............................................................16 3.5.2 Keanekaragaman Kepiting Bakau......................................................17 3.5.3 Vegetasi Mangrove............................................................................18 3.5.4 Hubungan kerapatan mangrove dengan kepadatan kepiting bakau...18 DAFTAR PUSTAKA



iii



DAFTAR TABEL



Tabel



Halaman



1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian.....................................



13



2. Kategori indeks kelimpahan relatif............................................................



17



3. Kategori nilai indeks keanekaragaman .....................................................



17



I.



PENDAHULUAN



I.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Provinsi Riau memiliki sekitar 2,25% dari luas mangrove yang ada di Indonesia. Luas mangrove di Provinsi Riau 206.292,642 hektar dan Bengkalis 55.292,937 hektar, (Marhalim et al., 2014). Bengkalis merupakan daerah yang memiliki wilayah pesisir dan laut yang luas, yang di dalamnya terdapat sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui yang dimiliki oleh wilayah laut Bengkalis di antaranya adalah ekosistem mangrove. Ekosistem ini mendukung kehidupan organisme laut, walaupun sudah banyak yang mengalami kerusakan, baik karena alih fungsi menjadi tambak, pemukiman, bangunan sarang walet, jembatan dan bangunan lainnya, maupun karena faktor alam. Tumbuhan mangrove tumbuh di atas dataran lumpur dengan air laut atau payau sewaktu pasang. Secara ekologis tumbuhan mangrove dapat menjamin terpeliharanya lingkungan fisik seperti penahan ombak dan angin. Selain itu wilayah mangrove merupakan tempat perkembang biakan bagi berbagai jenis kehidupan di laut seperti ikan, udang, kepiting, siput dan hewan jenis lainnya (Wijaya, 2010).



2



Kepiting bakau adalah salah satu potensi yang ada di hutan mangrove dan belum banyak diketahui. Kepiting bakau termasuk sumberdaya perikanan pantai



yang



yang mahal



mempunyai



nilai ekonomis penting dan mempunyai harga



(Kholifah, 2014). perairan kawasan hutan mangrove sangat



cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia. Ketersediaan makanan alami berupa serasah sangat dipengaruhi oleh kerapatan mangrove. Pada hutan mangrove yang berada di Bengkalis di dalamnya terdapat banyak jenis kepiting. Berbagai jenis kepiting tersebut belum secara jelas diketahui spesiesnya. Oleh para nelayan kepiting yang ada di Bengkalis dianggap sebagai hasil pendapatan tambah terutama bagi masyarakat pedalaman, namun sebagian para nelayan menganggap kepiting hanya sebagai penyebab kerusakan alat tangkap mereka. Kepiting selain mempunyai fungsi ekonomi yaitu sebagai hasil tangkapan, juga memiliki fungsi lainnya. Pengetahuan terhadap populasi jenis dan keanekaragaman kepiting di Desa Selat Baru belum tersedia, sejauh ini penelitian tentang kepiting di wilayah Bengkalis atau yang berdekatan baru pernah dilakukan oleh Hamidy (2010) di perairan Desa Purnama Dumai.



I.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui kelimpahan kepiting bakau (Scylla spp.) pada tiga lokasi pengamatan berbeda di kawasan mangrove Bengkalis, Mengetahui keanekaragaman kepiting bakau yang ada di kawasan hutan mangrove



3



bengkalis, dan Mengetahui hubungan antara kelimpahan kepiting bakau (Scylla spp.) dengan parameter lingkungan dan kepadatatan mangrove di Bengkalis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah Sebagai sumber belajar untuk menambah pengetahuan dasar tentang kepiting bakau, Sebagai wawasan tambahan mengenai kelimpahan dan keanekaragaman jenis kepiting bakau di hutan mangrove, dan untuk agar kita bisa mengelola sumberdaya alam yang ada di hutan mangrove tersebut.



I.3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat permasalahan yang dapat dikaji, antara lain: 1.



Bagaimana kelimpahan kepiting bakau (Scylla spp.) pada tiga lokasi pengamatan berbeda di kawasan mangrove Bengkalis?



2.



Bagaimana jenis keanekaragaman kepiting bakau yang ada di hutan mangrove?



3.



Bagaimana hubungan antara kelimpahan kepiting bakau (Scylla spp.) dengan lima parameter lingkungan di kawasan mangrove Bengkalis?



4. Bagaimana hubungan kerapatan mangrove dengan kelimpahan kepiting bakau?



I.4. Hipotesis Penelitian H0



:Tidak banyak terdapat kelimpahan dan keanekaragaman jenis kepiting bakau yang ada di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau



4



H1



: Banyak terdapat kelimpahan dan keanekaragaman jenis kepiting bakau yang ada di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau



II.



TINJAUAN PUSTAKA



II.1. Ekosistem Hutan Mangrove Hutan bakau (mangrove) adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di perairan asin (Nybakken, 1992). Komunitas vegetasi pantai tropis pada kawasan hutan mangrove didominasi oleh beberapa spesies pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Hutan mangrove banyak ditemukan dipantai-pantai teluk dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Romimohtarto (2001) menggatakan bahwa ekosistem hutan mangrove Indonesia memiliki biodiversitas yang tinggi di dunia dengan jumlah total kurang dari 89 spesies, yang terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies liana, 9 spesies perdu, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasit. Vegetasi mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia, antara lain : (a) Api-api (Avicennia), Nyrih (Xylocarpus), Bakau (Rhizophora), Pedada (Sonneratia), Tanjang (Brugueira), Tengar (Ceriops) dan Buta-buta (Exoecaria). Faktor-faktor lingkungan seperti jenis tanah, genangan pasang surut dan salinitas akan menentukan komposisi jenis tumbuhan penyusun vegetasi mangrove. Menurut Buwono (2017), ada beberapa parameter lingkungan yang sangat berpengaruh pada



6



tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan vegetasi mangrove, yaitu : (a) pasokan air tawar dan kadar garam; (b) stabilitas substrat; dan (c) pasokan nutrien.



II.2. Fungsi Hutan Mangrove Ekosistem mangrove sebagai sumberdaya alam wilayah pesisir di daerah tropis memiliki pengaruh yang sangat besar pada aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek ekologi. Pengaruhnya terhadap kehidupan dapat dilihat dari keanekaragaman hayati, baik yang hidup diperairan serta ketergantungan manusia secara langsung terhadap ekosistem tersebut (Naamin, 1991). Jacob et al (2019) mengatakan bahwa fungsi hutan mangrove antara lain adalah : (a) sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin; (b) sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan merupakan daerah asuhan berbagai jenis biota; (c) sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif; dan (d) sebagai bahan baku industri. Harahap dan Subhilhar (1998) mengatakan bahwa sedikitnya ada tiga fungsi hutan mangrove bagi kehidupan, yaitu : 1. Fungsi Fisik Hutan Mangrove : a. Menyerap gas CO2 melalui proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan b. Mencegah intrusi air laut kedaratan yang dapat merusak areal pertanianan dan persediaan air tanah c. Melindungi pantai dari penggerusan ombak d. Menyaring dan menguraikan bahan-bahan organik 2. Fungsi Biologi Hutan Mangrove :



7



a. Sumber makanan bagi hewan-hewan seperti zooplankton, ikan, udang, kepiting dan lainnya b. Tempat berpijah berbagai jenis biota laut; dan habitat alami berbagai jenis hewan seperti burung, ular dan lainnya 3. Fungsi Ekonomi Hutan Mangrove : a. Dapat dijadikan kosmetik pada spesies tertentu dan buahnya dapat diolah sebagai bahan makanan b. Tempat pembudidayaan udang dan ikan, tempat pembuatan garam dan sebagai tempat rekreasi Pemanfaatan hutan mangrove menurut Perrine (1979) dikelompokan menjadi pemanfaatan secara langsung dan pemanfaatan secara tidak langsung. Nilai pemanfaatan secara langsung antara lain yaitu berbagai organisme akuatik yang memilih hutan mangrove sebagai tempat habitatnya. Daun-daun yang berjatuhan sebagai leaf litter karena berakumulasi dengan sedimen akan diurai oleh mikro organisme menjadi energi yang dimanfaatkan oleh sejumlah spesies, seperti berbagai jenis udang, kepiting, ikan, tiram, reptilia dan juga mamalia. Nilai pemanfaatan secara tidak langsung dari ekosistem mangrove yaitu dalam bentuk fungsi-fungsi ekologi yang cukup penting, seperti pengendali terhadap erosi pantai, stabilisasi sedimen, perlindungan bagi terumbu karang dan lahan diwilayah pantai, suplai detritus dan bahan hara untuk perairan pantai didekatnya, pemeliharaan larva dan perkembangbiakan ikan, crustacea serta kehidupan liar (wildlives) yang bernilai ekonomi (Bengen, 1999).



8



II.3. Zonasi Komunitas mangrove Komunitas mangrove hidup dilingkungan yang rawan (stressed ecosystem). Kerawanan lingkungan tersebut menurut Logo (1990) antara lain, berupa : 1. Salinitas tanah tinggi, sehingga memerlukan suplai air tawar yang banyak; 2. Arus pasang surut, menyebabkan banyak terkumpulnya sampah dan bahan organik; 3. Melintasi daratan, runn off, badai pasang, dan gelombang yang menyebabkan siltasi dan erosi; 4. Badai menghancurkan sistem di daerah mangrove. Semua faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap organisme yang hidup dihutan mangrove. Organisme yang tahan terhadap faktor-faktor tersebut akan survive, sedangkan yang tidak tahan akan mati. Berdasarkan ketahanannya terhadap genangan pasang air laut, Supriharyono (2000) mengelompokan tumbuhan mangrove menjadi lima yaitu : 1. Spesies tumbuhan yang selamanya tumbuh di daerah genangan pasang-naik yang tinggi; pada umumnya tidak semua spasies dapat hidup pada kondisi ini, kecuali Rhizophora mucronata; 2. Spesies tumbuhan yang tumbuh didaerah genangan pasang-naik medium; Adalah genera Avicennia, yaitu A. alba, A. marina, A. intermedia, dan Sonneratia serta Rhizophora mucronata, yang tumbuh di tepi sungai. 3. Spesies tumbuhan yang tumbuh di daerah genangan asang-naik dengan tinggi pasang normal; umumnya mangrove dapat hidup di daerah ini, namun yang paling dominan adalah spesies dari genus Rhizophora,



9



4. Spesies tumbuhan yang hanya tumbuh di daerah genangan pasang-naik yang tinggi (spring tide); daerah ini sedikit kering untuk Rhizophora dan cocok untuk genera Bruguiera gymnorhiza. 5. Spesies tumbuhan yang hanya tumbuh di daerah genangan pasang pada saat lain; Bruguiera gymnorhiza dominan, akan tetapi Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatus dapat tahan di daerah ini. Keberadaan masing-masing spesies pada kondisi atau zonasi di atas, disebabkan karena perbedaan salinitas tanah. Klasifikasi zonasi untuk komunitas mangrove adalah zona air payau ke arah laut, dengan kisaran salinitas 10-30o /oo dan zona air tawar ke air payau dengan salinitas antara 010o /oo pada waktu air pasang.



II.4. Peran Ekosistem Mangrove Terhadap Kepiting Bakau Struktur fisik vegetasi mangrove dengan akar-akar tunjang yang saling membelit dan padat serta cabang yang memanjang ke bawah mengakibatkan mangrove menjadi habitat yang baik bagi kehidupan kepiting bakau. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai daerah perbesaran (nursery ground), pemijahan (spawning ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi kepiting bakau terutama kepiting muda, karena ketersediaan makanan alam yang melimpah pada ekosistem tersebut. Keberadaan kepiting bakau juga sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik-kimia air dan substrat ekosistem mangrovenya antara lain: salinitas air, pH air, suhu air, kedalaman air, kejernihan air dan tekstur substrat dasar perairan. Faktor-faktor



10



tersebut dapat berpengaruh terhadap kelimpahan maupun distribusi kepiting bakau yang terdapat di ekosistem hutan mangrove.



11



II.5. Kepiting Bakau (Scylla sp.) II.5.1.Habitat Kepiting Bakau Kepiting bakau dapat hidup pada berbagai ekosistem. Sebagian besar siklus hidupnya berada di perairan pantai meliputi muara atau estuaria, perairan bakau dan sebagian kecil di laut untuk memijah. Jenis Scylla spp. ini biasanya lebih menyukai tempat berlumpur dan berlubang-lubang di daerah ekosistem mangrove (Pratiwi, 2011). Beberapa jenis kepiting yang dapat dimakan ini juga ditemukan hidup melimpah di perairan estuaria dan kadang-kadang terlihat hidup bersama dengan portunidae (kepiting perenang) lainnya dalam satu kawasan. Distribusi kepiting menurut kedalaman air hanya terbatas pada daerah litoral dengan kisaran kedalaman 0 – 32 meter dan sebagian kecil hidup di laut dalam (Miswar, 2000). Menurut Keenan et al., (1998) ada empat jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla transquabarica, Scylla paramamosin, dan Scylla olivacea. Keempat jenis genus Scylla tersebut dapat dibedakan melalui warna sebagai salah satu faktor pembeda utama. Kepiting bakau jantan lebih banyak menjalani hidupnya di perairan ekosistem mangrove. Alasannya, di perairan ini terdapat suplai makanan yang lebih melimpah dibandingkan perairan laut terbuka. Selain itu, vegetasi mangrove menjadi tempat perlindungan yang aman dari berbagai faktor lingkungan seperti gelombang laut, sedangkan kepiting betina tidak hanya menjalani hidupnya di wilayah ekosistem mangrove (Adnan, 1991).



12



Kepiting bakau betina juga berpindah ke perairan laut yang lebih dalam untuk memijah/ bertelur. Setelah melakukan perkawinan dengan kepiting jantan di wilayah ekosistem mangrove, kepiting betina akan mulai pergi menuju perairan laut yang lebih dalam untuk bertelur. Kepiting betina kembali ke ekosistem mangrove untuk berlindung setelah selesai bertelur hingga waktu bertelur berikutnya (Adnan, 1991)..



II.5.2.Perilaku Dan Makanan Kepiting Bakau (Scylla spp.) Kepiting bakau merupakan spesies yang khas ekosistem mangrove yang sebagian besar aktivitasnya dilakukan pada ekosistem ini. Kepiting bakau keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan. Ketika matahari akan terbit kepiting bakau kembali membenamkan diri, sehingga kepiting bakau digolongkan hewan malam (nocturnal). Kepiting bakau lebih suka bergerak dengan cara merangkak daripada berenang untuk berpindah dan mencari makanan. Kepiting bakau lebih menyukai makanan alami berupa algae, bangkai hewan dan udang-udangan. Kepiting dewasa dapat dikatakan pemakan segala (omnivorous) dan pemakan bangkai (scavanger). Sedangkan larva kepiting pada masa awal hanya memakan plankton (Kordi, 1997).



II.5.3.Faktor Pengaruh Kelangsungan Hidup Kepiting Bakau Air merupakan hal yang penting bagi kehidupan kepiting bakau karena secara langsung menjadi kebutuhan kepiting bakau, yaitu sebagai habitat hidup. Air merupakan komponen abiotik yang memiliki berbagai kondisi kualitas. Kondisi kualitas air yang berbeda dapat mengakibatkan dampak yang



13



berbeda pada pertumbuhan dan perkembangan kepiting bakau. Berbagai kondisi kualitas air tersebut merupakan parameter yang dapat diukur. Parameter kualitas air yang dapat diukur serta dapat menjadi penentu pertumbuhan dan perkembangan kepiting bakau terdiri dari: suhu, salinitas, derajat keasaman (pH) dan kedalaman air (Kordi, 1997). a) Suhu Suhu air mempengaruhi pertumbuhan, aktivitas molting (ganti kulit) dan nafsu makan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20°C dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan turun drastis. Suhu terlalu tinggi juga tidak dapat ditoleransi kepiting bakau.



Suhu di atas 42,1°C dapat



menyebabkan kematian pada kepiting. Suhu yang baik untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah 23°C - 32°C. b) Salinitas Tinggi rendahnya salinitas berpengaruh terhadap kepiting bakau. Salinitas berpengaruh pada setiap fase pertumbuhan kepiting bakau terutama pada saat molting (ganti kulit). Kepiting bakau dapat hidup dan berkembang baik pada kisaran salinitas 15‰ – 35‰. Banyak kepiting bakau dewasa yang mampu hidup dengan berhasil pada salinitas rendah karena kemampuannya melakukan pengaturan osmosis yang baik. c) Derajat keasaman (pH)



14



Kepiting bakau dapat tumbuh dan berkembang baik pada derajat keasaman yang relatif lebih basa. Derajat keasaman yang sesuai untuk kepiting bakau adalah antara 7,2-7,8, namun dalam kondisi yang sedikit asam kepiting bakau masih dapat bertahan hidup dengan kemampuan toleransi pH yang cukup baik.



d) Kedalaman air Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau. Beberapa hal yang terpengaruh oleh kedalaman air adalah aktivitas berpindah perkawinan kepiting bakau. Kepiting bakau menyukai lokasi dengan kedalaman 50 cm -200 cm. e) Tingkat kecerahan air Kecerahan



air



merupakan



ukuran



kejernihan



suatu



perairan



berdasarkan kemampuan penetrasi cahaya pada air. Semakin tinggi suatu kecerahan perairan semakin dalam cahaya menembus ke dalam air. Kecerahan air menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh partikel-partikel padat tersuspensi yang terdapat di dalam air. (Gufran, 2007). Berkurangnya kecerahan pada suatu perairan dapat mengurangi kemampuan fotosintesis tumbuhan air dan kegiatan fisiologi biota air atau dengan kata lain partikel-partikel padat di dalam suatu perairan terutama yang



15



berupa suspensi dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan berbagai biota perairan, salah satunya adalah kepiting bakau (Effendi, 2000).



III.



METODOLOGI PENELITIAN



3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau berlangsung selama bulan November dan Desember 2020. Dan untuk melakukan analisis data dilakukan di Laboratorium Ekologi Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Riau. 3.2. Alat dan Bahan Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian No



Alat dan bahan



1 2 3 4 5 6



Bubu Buku Identifikasi Kepiting Ember Alat tulis Kamera Salinometer



7



GPS



8 9



Termometer Batang pH meter



10



Ikan



Kegunaan Menangkap sampel kepiting bakau Mengetahui jenis kepiting bakau Wadah sampel kepiting bakau Sebagai pencatatan Dokumentasi kegiatan Mengukur salinitas air Mengetahui titik koordinat Mengukur suhu air Mengukur pH air Sebagai umpan yang diletakkan dalam bubu



3.3. Metode Penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode survey, yaitu peneliti melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Data dan informasi yang diperlukan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kajian pustaka. Pengumpulan data sekunder



17



dilakukan melalui data-data yang diperoleh dari instansi terkait penelitian ini, kemudian laporan dari hasil survei atau penelitian, dan dari hasil wawancara dari beberapa warga desa yang dapat memberikan sumber pengetahuan mengenai kondisi lapangan. 3.4. Prosedur Penelitian 3.4.1. Pengambilan data sampel utama (kepiting bakau) Sebelum dilakukannya pengambilan sampel, maka dilakukannya survei pemilihan lokasi dan pengamatan kondisi sekitar hutan mangrove. Kemudian menetapkan 3 stasiun sampel yang dirasa cukup bagus untuk dijadikan lokasi. Selanjutnya, Pengambilan data sampel utama (kepiting bakau) dilakukan dengan menggunakan transek dengan jenis transek garis (line transect). Transek garis dibuat pada setiap stasiun sesuai dengan lebar perairan. Subtransek/ plot dibuat sebanyak 3 buah pada setiap transek garis. Masing-masing plot berukuran 5 m x 5 m dengan jarak antar plot 1 m. Perangkap kepiting diletakkan sebanyak 1 buah pada setiap plot. Pemasangan perangkap dilakukan 3 kali dalam 1 hari (24 jam), yaitu 2 kali pada waktu pagi hari hingga sore hari antara jam 06.00 WIB – 08.00 WIB, diambil jam 16.00 WIB – 17.00 WIB. Pengambilan pertama sekitar jam 12.00 WIB, kemudian dipasang lagi dan diambil pukul 16.00 WIB. Pengambilan pada waktu sore hari ini bisa lebih awal tergantung pada waktu kedatangan



18



gelombang laut dan angin yang tidak memungkinkan untuk menuju lokasi penelitian. Perangkap dipasang kembali setelah pengambilan pada sore hari, namun diambil pagi berikutnya. Pengangkatan perangkap pada malam hari tidak dilakukan karena kondisi lapangan yang tidak memungkinkan, sehingga perangkap dipasang hingga keesokan harinya. Pemasangan perangkap diusahakan selama 24 jam karena kepiting bakau termasuk hewan yang lebih aktif di malam hari (nocturnal), sehingga dengan memasang perangkap selama 1 hari diharapkan data sampel kepiting bakau yang didapatkan lebih valid, sedangkan pemasangan perangkap sebanyak 3 kali sehari bertujuan mengambil kepiting yang sudah tertangkap dan mengganti umpan apabila sudah habis. Pengambilan data sampel dilakukan sebanyak 1 kali seminggu serta dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Alasan pengambilan pengambilan data kepiting bakau dengan memberi jeda waktu adalah untuk menghindari kekosongan area sampel, karena jika pengambilan sampel dilakukan secara berturut-turut dikhawatirkan saat pengulangan kedua dan ketiga tidak terdapat kepiting bakau pada area penelitian 3.4.2. Pengukuran Kualitas Air sebagai Data Pendukung Data pendukung adalah berupa parameter lingkungan. Parameter yang diukur untuk pengambilan data sampel kualitas air, yaitu : suhu air, pH air, salinitas air, kecerahan air dan kedalaman air. Seluruh pengambilan sampel dilakukan pada setiap stasiun penelitian dan dilakukan ulangan sebanyak 3



19



kali mengikuti pengambilan data sampel kepiting bakau. Pengambilan data kualitas air bertujuan mengetahui kondisi perairan tempat hidup kepiting bakau. 3.5. Analisa data Hasil penangkapan kepiting bakau diamati jenisnya dan dianalisis terkait kelimpahan dan keanekaragamannya 3.5.1. Kelimpahan Kepiting Bakau Penghitungan kelimpahan kepiting bakau dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan perhitungan total terhadap semua individu kepiting bakau yang tertangkap. Setelah diketahui jumlah totalnya, kemudian dilakukan perhitungan kelimpahannya dengan rumus berikut : Rumus Perhitungan Kelimpahan Jenis Kepiting menurut Kusmana (1997) : N=



∑n A



Keterangan : N = Kelimpahan kepiting bakau (ind/ha) ∑n = Jumlah individu A = Luas daerah pengambilan contoh Rumus Perhitungan Kelimpahan Relatif Jenis Kepiting Kelimpahan Relatif (KR) :



Kelimpahan Jenis i x 100 % KelimpahanTotal semua Jenis



Penilaian kategori nilai IKR didasarkan kepada (Ismawan et al., 2015) seperti tertera pada Tabel 2.



20



Tabel 2. Kategori indeks kelimpahan relatif Nilai kelimpahan relatif Kategori/category No 1 2 3



(KR)/relatif abundance value H’ < 15% 15 % < H’ < 20% KR > 20 %



Rendah Sedang Tinggi



3.5.2. Keanekaragaman Kepiting Bakau Keanekaragaman kepiting bakau dihitung berdasarkan indeks keanekaragaman (H’) menggunakan rumus dari Shannon-Winner (Buwono et al., 2015; Gita, 2016; Jacobs et al., 2019; Lose et al., 2015):dimana H’ adalah Indeks keanekaragaman ShannonWiener, ni adalah jumlah tiap jenis dan N adalah jumlah total. Penilaian tingkat keanekaragaman didasarkan pada Gita, (2016) sebagai berikut: ¿ ¿ H'=−∑ N ∈ N Tabel 3. Kategori nilai indeks keanekaragaman



No 1 2 3



Nilai Indeks Keanekaragaman



Kategori/category



H’ < 3,32 3,32 < H’ < 9,97 H’ > 9,97



Rendah Sedang Tinggi



3.5.3. Vegetasi Mangrove Menurut Bengen (1999), Adapun perhitungan besarnya nilai kuantitif parameter vegetasi dilakukan dengan formula berikut ini :



21



Kerapatan Jenis :



Jumlah Individu Jenis i Luasan Total Petak



Kelimpahan Relatif (KR) : Frekuens Jenis :



Kelimpahan Jenis i x 100 % KelimpahanTotal semua Jenis



Jumlah petak ditempati individu jenis i Luasan total petak



Frekuensi Relatif (FR) :



Frekuensi Jenisi x 100 % Frekuensi Total semua Jenis



INP = KR + FR 3.5.4. Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Kepadatan Kepiting Bakau Dari data kerapatan mangrove dan kepadatan kepiting bakau dapat diketahui korelasi antara vegetasi mangrove dengan kepiting bakau menggunakan model regresi sederhana. Rumus yang digunakan adalah : Y=a+bX Keterangan : Y : Kepadatan Kepiting Bakau (ind/ha) X : Kerapatan Mangrove (ind/ha) a : konstanta b : slop Keeratan hubungan antara kerapatan mangrove dengan kepadatan kepiting bakau dapat dilihat dari besarnya koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2). Koefisien determinasi menggambarkan besarnya variasi indeks tetap (Y) dapat diterangkan oleh indeks bebas (X). Sedangkan



22



Koefisien korelasi menggambarkan besarnya hubungan antara indeks bebas dengan indeks tetap.



DAFTAR PUSTAKA



Buwono, Y. R. (2017). Identifikasi Dan Kerapatan Ekosistem Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi Jurnal Ilmu Perikanan, 8(1), 32 - 37. doi: 10.5281/jsapi.v8i1.271. Gita, R. S. D. (2016). Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp.) Di Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 1(2), 148 - 161. doi: 10.32528/bioma.v1i2.443 Gufran, M., dkk., Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007. H., Effendi, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Bogor: Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, 2000. Harahap dan Subhilhar, 1998. Pengembangan Model Analisis Biaya Manfaat dengan proses Analisis Hirarki dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir. Jurnal Ekonomi Lingkungan Kedua. Ismawan,A., Rahayu, S. E., & Dharmawan,A. (2015). Kelimpahan dan Keanekaragaman Burung Di Prevab Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur. Ilmu Hayati Universitas Negeri Malang, 1(1), 1-9. Jacobs, R., Kusen, J. D., Sondak, C. F. A., Boneka, F. B., Warouw, V., & Mingkid, W. M. (2019). Struktur Komunitas Ekosistem Mangrove dan Kepiting Bakau Di Desa Lamanggo dan Desa Tope, Kecamatan Biaro, Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, Biaro Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 1(1), 20 - 28. doi: 10.35800/ jplt.7.1.2019.22817. K., Kordi, Budidaya Kepiting & Ikan Bandeng, Semarang: Dahara Prize, 1997. Kasry, Adnan, Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas, Jakarta: Bhratara, 1991. Keenan, Clive P., dkk., The Raffles Bulletin Of Zoology 1998 46(1): 217-245: A Revision Of The Genus Scylla De Haan, 1833 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae), Singapore: National University of Singapore, 1998



24



Kholifah, S., Raza’i, T. S., & Zulfikar, A. (2014). Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla sp) Di Kampung Gisi Desa Tembeling Kabupaten Bintan. (1). (1). Logo, A.E. 1990. Mangrove Ecosystem. Successional or Stredy State. Biotropica. Marhalim, Zulfan. S. U, dan M. Tang. 2014. Strategi Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Pengawas Upaya Pelestarian Mangrove di Kabupaten Bengkalis. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau M., Miswar Budi,” Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Serta Keterkaitnnya dengan Karakter Biofisik Hutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Provinsi Sumatera Utara”, Tesis,Bogor: Program Pascasarjana IPB, 2000 Naamin, N, 1991. Penggunaan Hutan Mangrove Untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan Kerugian. Prosiding Seminar IV Ekosistem Hutan Mangrove. MAB Indonesia-LIPI, Bandar Lampung Nybakken, J. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. Perrine, D. 1979. The Mangrove Crab on Ponape. Report of the Marine Resource Dinison, Ponape. Easthern Caroline Island. Trust Territory of the Pacific Island, 66 pp. Pratiwi, R. (2011). Biologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Di Perairan Indonesia. Oseana, XXXVI(1), 1 - 11. Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin. Romimohtarto, K. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang Biologi Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wijaya, N.I, F. Yulianda, M. Boer, and S. Juwana. 2010. Biologi populasi kepiting bakau (scylla serrata) Di habitat mangrove taman nasional kutai kabupaten kutai timur. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. LIPI. 36(3): 443-461.