Proposal Yayuk Aprilia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HUBUNGAN KEPATUHAN PERAWAT MELAKSANAKAN PROSEDUR TETAP PEMASANGAN INFUS TERHADAP KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RSUD LIMPUNG KABUPATEN BATANG



Untuk memenuhi persyaratan Gelar Sarjana Keperawatan



DISUSUN OLEH YAYUK APRILIA



PRODI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS PEKALONGAN 2017/2018



1



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Pemasangan infus merupakan tindakan invasif memasukan kateter vena pada pembuluh darah atau terapi intravena (IV). Tindakan ini bertujuan untuk mempertahankan cairan tubuh, keseimbangan asam basa, memenuhi kebutuhan nutrisi, alternatif pemberian obat, serta memperbaiki komponen darah (Smeltzer, 2014). Terapi intravena digunakan untuk akses pengobatan berbagai kondisi penderita disemua lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama (Sylvia, 2016). Pasien yang dirawat di rumah sakit 80% menerima terapi intravena selama masa rawat inap (Saji, 2015). Terapi intravena memberikan efek yang cepat, efektif, dan kontinyu terhadap kondisi pasien (Tamsuri, 2015). Perkembangan praktek keperawatan terapi intravena yang komplek memiliki banyak manfaat bagi sebagian besar pasien, namun akibat prosedur pemasangan yang kurang tepat, posisi yang salah, serta kegagalan dalam menembus vena, dapat menimbulkan ketidaknyamanan



pada



pasien.



Pemberian



terapi



infus



juga



dapat



menimbulkan risiko komplikasi, baik lokal maupun sistemik. Komplikasi lokal terdiri dari plebitis, infiltrasi, dan ekstravasasi; sementara komplikasi sistemik antara lain emboli udara, kelebihan cairan, reaksi alergi dan sepsis (Potter & Perry, 2017). Flebitis menduduki peringkat pertama komplikasi pemasangan infus dengan insiden 3% sampai 65% (Hopper, 2017).



1



2



Komplikasi flebitis menjadi indikator infeksi nosokomial rumah sakit yang termasuk dalam kelompok Healthcare associated infections (HAIs). World Health Organisation menyebutkan kejadian HAIs pada 133 Negara Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik berkisar 5,7% sampai 19,1%, dengan prosentase sebesar 7% di Negara-negara maju dan 10% di Negara-negara berkembang. Prosentasi insiden sebesar 31% infeksi saluran kemih, 27% pneumonia, dan 15% untuk flebitis (WHO, 2016). Centers for Disease Control and Prevention (2017) menyebutkan kejadian flebitis menempati urutan keempat sebagai infeksi yang sering ditemukan pada pasien selama menjalani masa perawatan di rumah sakit. Angka kejadian flebitis tertinggi terdapat di negara – negara berkembang seperti India (27,91%) Iran (14,2%), Malaysia (12,7%), Filipina (10,1%), dan Indonesia (9,8%) (CDC, 2017; Akbar, 2018). Insiden flebitis di Indonesia sebenarnya tidak diketahui secara pasti, karena belum adanya data nasional yang relevan, serta angka kejadian yang bervariasi di setiap rumah sakit swasta maupun pemerintah. Hasil survey point dari 11 rumah sakit di Jakarta oleh Persatuan Pengendalian Infeksi Jakarta dan Rumah Sakit Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta menyebutkan angka infeksi Nosokomial untuk ILO 18,9%, ISK 15,1%, flebitis 26,4%, Pneumonia 24,5%, Infeksi saluran nafas lain 15,1%, infeksi lain 32,1% (Akbar, 2018). Penelitian oleh Agustianingsih (2015) di RS Pantiwilasa Semarang menyebutkan kejadian flebitis sebesar 5,2%. Jannah (2016) dalam penelitiannya di RSUD Tugurejo Semarang menyebutkan kejadian flebitis sebesar 3,41%, sedangkan



3



pada penelitian Rizal (2018) di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda bahkan menghasilkan kejadian flebitis yang lebih besar yaitu 26,7%. RSUD Limpung Kabupaten Batang sebagai rumah sakit yang sedang berkembang, berdasarkan laporan Tim Pengendalian dan Pencegahan Infeksi (PPI) menyebutkan infeksi nosokomial memerlukan perhatian. Infeksi nosokomial dengan prosentase tertinggi diduduki oleh kejadian flebitis, yaitu pada bulan Maret 2018 sebesar 0,90%, bulan April sebesar 1,35%, bulan Mei sebesar 1,84%, dan bulan Juni sebesar 1,96%. Kejadian flebitis di Ruang rawat inap selama 4 bulan terakhir menunjukkan prosentase yang semakin meningkat dan melebihi dari standar (Tim PPI RSUD Limpung, 2018). Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Republik Indonesia No. 1691/MENKES/PER/VII/2011 tentang keselamatan pasien (Patient safety) di rumah sakit dan salah satu sasarannya, yaitu pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan yang dijelaskan bab IV pasal 8 adalah flebitis harus 375 mOsm/L, Obat-obatan dan larutan dengan pH 9. Antibiotik dilaporkan dapat meningkatkan kejadian flebitis kimia karena pH-nya yang rendah. Obat-obatan dan larutan yang diklasifikasikan sebagai iritan atau vesicant. Seperti azithromycin, vancomycin, potassium, diazepam, dll. Larutan dengan jumlah partikel yang banyak. Partikel obat yang tidak larut secara sempurna selama pencampuran obat dapat berkontribusi terjadinya flebitis. Kecepatan dan metode pemberian infus. Vena di daerah distal dan ukuran kateter intravena yang tidak sesuai, serta aliran yang terlalu cepat berisiko terhadap terjadinya flebitis. Pemilihan penusukan kateter intravena di daerah proksmial sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas >500 mOsm/L. Hindari penusukan di daerah meta karpal (punggung tangan) 3) Flebitis Bakterial Flebitis bakterial adalah flebitis yang berkembang sebagai akibat langsung dari sepsis atau infeksi. Hal ini sering terjadi karena migrasi bakteri yang ada di kulit ke tempat penusukan kanula, yang akhirnya akan berkolonisasi. Hal-hal yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya flebitis bakterial adalah: teknik cuci tangan yang tidak benar, prosedur / tindakan pemasangan infus tidak aseptic, memalpasi kembali tempat penusukan setelah melakukan



tindakan



aseptik



pada



kulit,



terkontaminasinya



14



peralatan iv kateter yang digunakan, dressing yang tidak steril, pemasangan kateter intravena terlalu lama (lebih dari 96 jam) c. Diagnosis Flebitis Flebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual. Terdapat dua pengukuran yang dapat dipakai untuk menilai flebitis. 1) Visual Infusion Phlebitis Skor Visual Infusion Phlebitis adalah alat yang sangat populer untuk memantau tempat penusukan infus. Skor VIP ini diperkenalkan pertama kali oleh Andrew Jackson pada tahun 1999. Ini adalah alat yang direkomendasikan oleh RCN untuk memantau tempat penusukan infus. Pada tahun 2006 Paulette Gallant dan Alyce Schultz telah menyelesaikan evaluasi Skor VIP sebagai alat yang menentukan penghentian kateter infus perifer. Skala VIP dianggap valid dan reliabel untuk menentukan kapan PIV kateter harus dilepas (Higginson dan Parry, 2011). Higginson dan Parry (2011) mengatakan bahwa untuk mendeteksi adanya plebitis, maka semua pasien yang terpasang infus harus diobservasi terhadap tanda plebitis sedikitnya 1 x 24 jam. Observasi juga dilakukan ketika memberikan obat intravena, mengganti cairan infus, dan terhadap perubahan kecepatan tetesan infus. Skor visual untuk kejadian phlebitis menurut Andrew



Jackson, yaitu:



15



Tabel 2.1 VIP Score menurut Andrew Jackson (Higginson dan Parry, 2011) Skor 0



1



2



3



4



5



Keadaan Area Penusukan Tempat penusukan tampak sehat



Penilaian Tempat penusukan tampak sehat Salah satu dari tanda berikut jelas Mungkin tanda a. Nyeri area penusukan di dekat area dini phlebitis penusukan b. Sedikit kemerahan di dekat area penusukan Dua dari tanda berikut jelas Stadium dini a. Nyeri area penusukan phlebitis b. Kemerahan c. Pembengkakan di sekitar penusukan Semua dari tanda berikut jelas Stadium moderate a. Nyeri sepanjang kanula phlebitis b. Kemerahan c. Indurasi (pembengkakan) Semua dari tanda berikut jelas dan luas Stadium lanjut a. Nyeri sepanjang kanula phlebitis atau b. Kemerahan stadium awal c. Indurasi (pembengkakan) thrombophlebitis d. Venous cord teraba (pengerasan >1 inc) Semua dari tanda berikut jelas dan luas Stadium lanjut a. Nyeri sepanjang kanula thromboplebitis b. Kemerahan c. Indurasi (pembengkakan) d. Venous cord teraba (pengerasan >1 inc) e. Demam



2) Infusion Nursing Standar of Practice Standar yang bisa digunakan oleh Infusion Nurses Society (2016) untuk mengukur tingkat keparahan flebitis terdiri dari skala 0 sampai dengan 4. skala 0 menunjukkan tidak terjadi plebitis sedangkan skala 4 menunjukkan derajat plebitis yang paling berat. Berikut adalah tabel yang menunjukkan skala plebitis yang direkomendasikan oleh Infusion Nursing Standard of Practice:



16



Tabel 2.2. Skala Flebitis menurut Infusion Nursing Standard 2016 Skor 0 1 2 3



4



Keadaan Area Penusukan Tidak ada gejala Kemerahan di tempat penusukan dengan atau tanpa rasa nyeri Rasa nyeri di tempat penusukan dengan kemerahan dan/atau edema a. Rasa nyeri di tempat penusukan dengan kemerahan b. Streak formation c. Venous cord teraba a. Rasa nyeri di tempat penusukan dengan kemerahan b. Streak formation c. Venous cord teraba dengan panjang >1 inci d. Timbul nanah



d. Faktor Risiko Flebitis Dychter (2012, dalam Rahmadani, 2017) memaparkan faktorfaktor risiko flebitis terkait dengan pemasangan infus perifer yaitu: 1) Faktor risiko spesifik pasien a) Jenis kelamin Pasien berjenis kelamin wanita lebih banyak terkena flebitis daripada pria. Wanita lebih berisiko terjadi flebitis dikarenakan hormon yang dilepaskan pada wanita dapat mempengaruhi elastisitas dinding pembuluh darah. Wanita yang menggunakan kontrasepsi kombinasi (mengandung estrogen dan progesteron, oral atau suntikan) juga mudah mengalami flebitis (Fitriyanti, 2015). b) Kualitas vena perifer yang kurang Kualitas



vena



perifer



yang



kurang



bagus



dapat



menyebabkan terjadinya flebitis. Misalnya kondisi vena yang



17



rapuh dan tidak elastis pada pasien usia lanjut atau pada pasien dengan syndrome steven Johnson (Rahmadani, 2017). c) Usia Umur mempengaruhi kondisi vena seseorang, dimana semakin muda manusia (misal pada usia infant) pembuluh darah masih fragil sehingga mudah pecah apalagi dengan gerakan yang tidak terkontrol meningkatkan risiko plebitis mekanik. Ukuran pembuluh



darah



yang



kecil



akan



menyulitkan



dalam



pemasangannya, sehingga dibutuhkan orang yang benar-benar terampil. Pada usia lanjut (>60 tahun) vena juga akan menjadi



rapuh, tidak elastis, dan mudah hilang atau kolaps yang akan menyebabkan terjadinya flebitis (Fitriyanti, 2015). d) Penyakit medis yang mendasari (diabetes, kanker, penyakit infeksius, imunodefisiensi) Penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya flebitis misalnya pada pasien diabetes melitus yang mengalami aterosklerosis akan mengakibatkan aliran darah ke perifer



berkurang



sehingga



jika



terdapat



luka



mudah



mengalami infeksi (Rahmadani, 2017). e) Status Gizi Flebitis cenderung terjadi pada pasien dengan status gizi kurang. Setelah antigen masuk ke dalam tubuh, antigen tersebut bergerak ke darah atau limfe dan memulai respon imunitas seluler yang berkaitan dengan sel CD4 dan CD8. Sel CD4 dan



18



CD8 akan berkurang pada orang yang kekurangan gizi. Gizi yang kurang akan mengakibatkan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terkena penyakit infeksi. Pasien dengan gizi dibawah batas normal akan kekurangan energi dan berkaitan dengan kelemahan dalam fungsi fagositosit, sekresi antibodi dan produksi sitokin. Selain itu gizi yang berlebih juga menurunkan imunitas (Rimba, 2016). 2) Fakor risiko spesifik kateter a) Durasi pemasangan kateter Lama pemasangan infus dapat mempengaruhi terjadinya infeksi salah satunya adalah flebitis, hal ini dikarenakan pada saat pasien terpasang infus berarti kita seperti memasukkan benda asing ke dalam tubuh pasien, semakin lama terpasang maka dapat menimbulkan infeksi. Infusion Nurses Society (2016) merekomendasikan bahwa kanula perifer harus diganti setiap 72 jam dan segera mungkin jika diduga terkontaminasi, adanya komplikasi, atau ketika terapi telah dihentikan. Center for



Desease



Control



and



Prevention



(CDC)



(2017)



merekomendasikan pemindahan lokasi atau tempat penusukan adalah 72 sampai 96 jam meskipun beberapa literatur memperluas dukungan untuk tidak mengganti sampai dengan 144 jam. Kecuali jika sudah ada gejala infeksi, maka harus



19



segera diganti meskipun belum 72 jam. Untuk itu perawat harus mencatat tanggal dan waktu pemasangan. b) Ukuran kateter Ukuran kateter yang besar mempunyai risiko yang tinggi untuk menyebabkan flebitis. Ukuran kateter yang kecil mempunyai kemungkinan yang kecil untuk menyebabkan flebitis mekanis (iritasi pada dinding vena yang disebabkan oleh kanula) dan mempunyai kemungkinan yang kecil untuk menghalangi aliran darah di dalam vena. Aliran darah yang lancar membantu menyebarkan obat-obatan yang disuntikkan dan mengurangi risiko flebitis kimia (Rahmadani, 2017). c) Jenis kateter yang digunakan. Kanula perifer modern biasanya terbuat dari bahan polyurethane. Kanula yang lebih lama terbuat dari bahan polyvinyl chloride (PVC) atau teflon. Bahan pada kanula lama lebih kaku sedangkan bahan pada kanula modern lebih lembut dan tidak mudah terbelit. Kateter polyurethane 30% lebih rendah resikonya terhadap flebitis dibanding dengan kateter yang berbahan teflon. Sebuah study di USA menunjukkan bahwa kateter teflon atau polyurethane kateter berisiko infeksi dengan rentang 0-5 % (Narmawan, 2018).



20



d) Lokasi insersi Penempatan



kateter



pada



area



fleksi



lebih



sering



menimbulkan kejadian flebitis, oleh karena pada saat ekstremitas digerakkan kateter yang terpasang ikut bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran kateter yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena. Insersi kateter pada ekstremitas bawah juga lebih banyak menimbulkan flebitis (Fitriyanti, 2015). 3) Faktor risiko lainnya a) Karakterisitik infus (pH yang rendah, osmolalitas yang tinggi, adanya mikropartikel) pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko plebitis tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3 – 5, dimana keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam



nutrisi



dibandingkan



parenteral normal



bersifat



saline.



Obat



lebih



flebitogenik



suntik



yang



bisa



menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida,



vancomycin,



amphotrecin



B,



cephalosporins,



diazepam, midazolam dan banyak obat khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas > 900 mOsm/L harus diberikan



21



melalui vena sentral. Semakit tinggi osmolalitas cairan maka risiko untuk terjadinya plebitis akan semakin meningkat, karena terjadi iritasi pembuluh darah akibat gesekan (Infusion Nurses Society, 2016). b) Ketrampilan orang yang melakukan pemasangan infus Keterlibatan perawat dalam pemasangan infus memiliki implikasi komplikasi



tanggung plebitis



jawab



dalam



mencegah



dan ketidaknyamanan



terjadinya



pada pasien,



terutama dalam hal keterampilan pemasangan kanula secara aseptik dan tepat, sehingga mengurangi risiko terjadinya kegagalan pemasangan (Rizky, 2014). Upaya yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah terjadinya plebitis adalah kepatuhan perawat melakukan standar operasional prosedur pemasangan infus, sesuai dengan teknik aseptik. Teknik aseptik mengacu pada praktek yang digunakan untuk menghindari kontaminasi organisme patogen. Hal ini dapat dicapai dengan memastikan bahwa hanya peralatan steril (Potter & Perry, 2017) c) Insersi kateter yang dilakukan di ruang emergensi Insersi kateter yang dilakukan di ruang emergensi seringkali dalam keadaan yang gawat darurat sehingga pada prosedur pemasangannya sering tidak sesuai dengan SOP dan juga tanpa memperhatikan teknik asepsis yang baik sehingga



22



dapat mengakibatkan masuknya bakteri dan menimbulkan flebitis (Fitriyanti, 2015). e. Pengobatan Flebitis Pengobatan flebitis akan tergantung pada tingkat tertentu yaitu pada tingkat keparahan peradangan dan adanya trombus. Flebitis sedang biasanya akan sembuh sendiri. Pasien flebitis dengan skor VIP 2 atau lebih akan dilakukan pelepasan kanula atau di rotasi. Pengobatan awal untuk segala bentuk flebitis adalah menghentikan infus dan melepaskan kateter. Hal ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan



kebutuhan



pasien,



jika



misalnya,



kondisi



hemodinamik pasien tidak stabil, kateter hanya akan dilepaskan jika kateter baru telah terpasang. Penanganan yang dilakukan jika ditemukan adanya tanda flebitis adalah sebagai berikut: (CDC, 2017; Hopper, 2017; INS, 2016) 1) Hentikan infus 2) Lepaskan kanula intravena dan pasang kembali perangkat akses vena yang sesuai di lokasi baru 3) Anggota badan yang terkena harus ditinggikan. 4) Berikan kompres hangat pada tempat penusukan selama 20 menit 5) Berikan obat anti-inflamasi 6) Dokumentasikan dan diskusikan dengan dokter



23



f. Pencegahan Flebitis Menurut penelitian kejadian flebitis merupakan komplikasi paling umum pada terapi intravena. Pengetahuan tentang faktor-faktor yang berperan dalam kejadian flebitis dan pemantauan yang ketat untuk mencegah dan mengatasi kejadian flebitis sangat diperlukan. Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah flebitis: (CDC, 2017; Hopper, 2017; INS, 2016). 1) Mencuci tangan dengan teliti sebelum kontak dengan bagian apapun dari sistem infus atau dengan pasien 2) Menggunakan teknik aseptik yang ketat pada pemasangan kateter IV 3) Hindari memasang kanula pada ekstremitas bawah 4) Gunakan ukuran kateter terkecil yang memungkinkan 5) Pastikan dressing kuat untuk mencegah flebitis mekanis 6) Turunkan kecepatan pemberian cairan infus 7) Mengencerkan obat-obat yang mengiritasi jika memungkinkan 8) Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda infeksi 9) Rotasi sisi intravena setiap 48-72 jam untuk membatasi iritasi dinding vena oleh kanula atau obat-obatan 10) Melepaskan kateter IV pada adanya tanda pertama peradangan lokal, kontaminasi atau komplikasi



24



11) Mengganti kanula IV yang dipasang saat keadaan gawat (dengan asepsis yang dipertanyakan) sesegera mungkin 12) Lakukan pemantauan tempat penusukan secara reguler 2. Pemasangan Infus a. Pengertian Pemasangan infus merupakan tindakan invasif yang dilakukan dengan menggunakan metode yang efektif untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi dan obat melalui pembuluh darah (intravascular) (Potter & Perry, 2017). Terapi kateter intravena telah digunakan selama lebih dari 300 tahun, dan telah memainkan peran sentral dalam perawatan pasien (Smeltzer & Bare, 2014). Terapi intravena dalam lingkungan perawatan rumah sakit merupakan salah satu terapi utama karena pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit yang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia secara fisiologis (Sylvia, 2016). Pemberian cairan parenteral diberikan melalui terapi intravena dengan pemasangan kateter intravena. Tindakan terapi intravena bertujuan untuk menyuplai cairan melalui vena ketika pasien tidak mampu mendapatkan makanan, cairan elektrolit lewat mulut, untuk menyediakan kebutuhan garam untuk menjaga keseimbangan cairan, untuk menyediakan kebutuhan gula sebagai bahan bakar untuk metabolisme, dan untuk menyediakan beberapa jenis vitamin yang mudah larut melalui intravena serta untuk menyediakan medium untuk pemberian obat secara intravena (Rahmadani, 2017).



25



b. Indikasi Pemasangan Infus Indikasi untuk menggunakan terapi IV terbagi dalam tiga kategori yaitu, terapi pemeliharaan, terapi penggantian dan terapi restoratif. Terapi pemeliharaan meliputi memberikan nutrisi yang diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari seperti air, elektrolit, dan nutrisi untuk pasien yang tidak bisa mendapat asupan melalui rute oral. Terapi penggantian ditunjukkan ketika pasien telah mengalami defisit dalam asupan cairan dan makanan, biasanya selama 48 jam atau lebih. Muntah, diare, perdarahan, berkeringat banyak, dan paparan panas yang berlebihan dapat menyebabkan kehilangan cairan berlebihan dan dehidrasi serta berkurangnya elektrolit. Terapi restoratif merupakan pemulihan harian cairan dan elektrolit (Rahmadani, 2017). Smeltzer



&



Bare



(2014)



menyebutkan



pilihan



untuk



memberikan terapi intravena tergantung pada tujuan spesifik, untuk apa hal tersebut dilakukan. Umumnya cairan intravena diberikan untuk mencapai satu atau lebih tujuan yaitu untuk menyediakan air dan elektrolit, untuk menggantikan air dan memperbaiki kekurangan elektrolit, menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara intravena, dan untuk pemberian nutrisi parenteral dan tranfusi. c. Keuntungan Pemasangan Infus Pemberian terapi intravena memberikan keuntungan seperti efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat, absorbs total memungkinkan dosis obat lebih



26



tepat dan terapi lebih dapat diandalkan, kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi, rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari, sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi



atau



ketidakstabilan



dalam



traktus



gastrointestinalis



(Ignatavicius, 2017). d. Kerugian Pemasangan Infus Pemberian terapi intravena dalam jangka waktu tertentu meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi, yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan (kesakitan) pada pasien, bahkan kematian. Beberapa komplikasi terkait infus (Rahmadani, 2017) yaitu: 1) Flebitis: adalah peradangan pada tunika intima vena. Reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah vena ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi (pengerasan) pada daerah tusukan, dan pengerasan sepanjang pembuluh darah vena. Terdapat 3 tipe dari flebitis yaitu mekanik, kimia dan bakterial 2) Infiltrasi: adalah pergeseran jarum dan larutan ke dalamjaringan subkutan. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya edema di tempat penusukan, ketidaknyamanan, dan rasa dingin di area infiltrasi, dan penurunan kecepatan aliran yang nyata. Jika cairan yang digunakan bersifat mengiritasi, maka kerusakan jaringan dapat terjadi



27



3) Ekstravasasi: adalah keluarnya cairan dari pembuluh darah vena kedalam jaringan sekitarnya. Penyebabnya sama dengan infiltrasi yaitu ujung kateter menembus vena sehingga cairan keluar dari vena. Ditandai nyeri, bengkak, kaku, teraba dingin, aliran melambat atau terhenti, dan balutan basah. 4) Hematoma: adalah perdarahan yang tidak terkontrol di lokasi tusuk, biasanya membuat pembengkakan yang menyakitkan dan keras yang penuh dengan darah 5) Oklusi: adalah pembentukan fibrin di ujung kanula atau sekitar ujung kanula. Dapat disebabkan oleh penekukan dari kanula dan aliran atau arus yang terganggu. 6) Emboli udara: yaitu penyumbatan yang tiba-tiba dari pembuluh darah vena oleh bekuan darah atau benda asing lain seperti udara ke dalam aliran darah. Ditandai dengan palpitasi, kelemahan, dyspneu, tachipneu, cyanosis, wheezing, batuk, edema paru distensi vena jugularis, hipotensi, perubahan status mental, cemas, sampai dengan koma. 7) Kelebihan cairan: adalah tekanan vena yang meningkat karena terjadi kelebihan cairan di sirkulasi. Disebabkan oleh volume cairan yang besar yang dimasukkan terlalu cepat. Ditandai dengan sakit kepala, gelisah, tachycardia, berat badan meningkat, batuk, edema, sesak, distensi vena jugularis.



28



8) Thrombosis: adalah pembentukan bekuan darah di dalam pembuluh



darah.



Hal



ini



disebabkan



oleh



trauma



yang



menyebabkan kerusakan lapisan endotel pembuluh darah sehingga platelet dan fibrin serta sel darah merah dapat menempel yang mengakibatkan terjadinya sumbatan aliran darah. 9) Tromboplebitis: merupakan proses inflamasi lanjut pada pembuluh vena disertai dengan terbentuknya trombus dan inflamasi lanjut. Sering disebut sebagai gejala sisa plebitis. Edema, nyeri pada tempat tusukan dan sepanjang vena, tempat insersi teraba hangat, dan sianosis pada ekstremitas merupakan tanda yang biasanya muncul. e. Standar Operasional Prosedur Pemasangan Infus Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja berdasarkan indikator- indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja



yang bersangkutan (Nursalam, 2016). SOP



menggambarkan langkah-langkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja internal) yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai



tujuan



(Bustami,



2016).



SOP



sebagai



suatu



dokumen/instrumen memuat tentang proses dan prosedur suatu kegiatan yang bersifat efektif dan efisisen berdasarkan suatu standar yang



sudah



baku.



Pengembangan



instrumen



manajemen



29



tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses di seluruh unit kerja dapat terkendali dan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Sumijatun, 2017). Teori-teori yang mendasari tersebut, maka dapat disimpulkan standar operasional prosedur pemasangan infus adalah pedoman atau acuan pemberian terapi intravena sesuai dengan langkah-langkah kerja yang telah ditetapkan oleh sebuah instansi rumah sakit. Implementasi SOP yang baik, akan menunjukkan konsistensi hasil kinerja, hasil produk dan proses pelayanan yang kesemuanya mengacu pada kemudahan karyawan dan kepuasan pelanggan. Pemasangan infus yang sesuai dengan standar operasional diharapkan dapat menciptakan kenyamanan pasien selama mendapatkan terapi intravena. Penerapan standar operasional prosedur bertujuan agar tidak terjadi kesalahan dalam pengerjaan suatu proses kerja yang dirancang dari SOP. Dari setiap teori telah dikemukakan, diketahui bahwa tujuan dari SOP adalah untuk memudahkan dan menyamakan persepsi semua orang yang memanfaatkannya dan untuk lebih memahami setiap langkah kegiatan yang harus dilaksanakannya. Adapun tujuan – tujuan dari standard operating procedure antara lain sebagai berikut : (Sumijatun, 2017). 1) Agar pekerja dapat menjaga konsistensi dalam menjalankan suatu prosedur kerja.



30



2) Agar pekerja dapat mengetahui dengan jelas peran dan posisi mereka dalam perusahaan. 3) Memberikan keterangan atau kejelasan tentang alur proses kerja, tanggung jawab, dan staff terkait dalam proses tersebut. 4) Memberikan keterangan tentang dokumen – dokumen yang dibutuhkan dalam suatu proses kerja. 5) Memepermudah



perusahaan



dalam



mengetahui



terjadinya



inefisiensi proses dalam suatu prosedur kerja. Rumah sakit akan mendapat banyak manfaat dari penerapan SOP jika dijalankan dengan benar, adapun manfaat dari SOP adalah sebagai berikut : 1) Memberikan penjelasan tentang prosedur kegiatan secara detail dan terinci dengan jelas dan sebagai dokumentasi aktivitas tindakan keperawatan. 2) Meminimalisasi variasi dan kesalahan dalam suatu prosedur operasional kerja. 3) Memepermudah dan menghemat waktu dan tenaga dalam program training perawat. 4) Menyamaratakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh semua pihak. 5) Membantu dalam melakukan evaluasi dan penilaian terhadap setiap proses operasional dalam perusahaan.



31



6) Membantu mengendalikan dan mengantisipasi apabila terdapat suatu perubahan kebijakan. 7) Mempertahankan kualitas perusahaan melalui konsistensi kerja karena perusahaan telah memilki sistem kerja yang sudah jelas dan terstruktur secara sistematis f. Posedur Pemasangan Infus Pelaksanaan dalam pemasangan infus harus dilaksanakan sebaik-baiknya untuk menghindari terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan. Berikut adalah prosedur dalam pemasangan infus: (Bustami, 2016): 1) Persiapkan alat dan bahan seperti tiga buah potongan plester sepanjang 2,5 cm. Belah dua salah satu plester sampai ke bagian tengah, jarum atau kateter, kapas alkohol atau antiseptik 2) Sambungkan cairan infus dengan infus set terlebih dahulu dan periksa tidak ada udara pada infus set 3) Pasang torniket pada daerah proksimal vena yang akan di kateterisasi 60-80 mmHg 4) Cuci tangan dan gunakan sarung tangan 5) Pilih vena yang akan dilakukan pemasangan, untuk anak-anak lakukan teknik transiluminasi untuk mendapatkan vena 6) Dengan kapas alkohol atau antiseptik yang tepat, bersihkan tempat insersi dan biarkan hingga mengering



32



7) Dorong pasien untuk tarik nafas dalam agar pasien relaksasi dan nyaman 8) Masukkan kateter ke vena sejajar dengan bagian terlurus vena, tusuk kulit dengan sudut 30-45 derajat, setelah keluar darah pada ujung kateter, tarik sedikit jarum pada kateter, dorong kateter sampai ujung, dan ditekan ujung kateter dengan 1 jari 9) Lepaskan torniket 10) Sambungkan kateter dengan cairan infus 11) Lakukan fiksasi dengan plester atau ikat pita 12) Lakukan monitoring kelancaran infus (tetesan, bengkak atau tidaknya tempat insersi) 13) Mencatat waktu dan pemasangan ukuran kateter 3. Kepatuhan Perawat pada Standar Operasional Prosedur a. Pengertian Kepatuhan merupakan bagian dari perilaku individu yang bersangkutan untuk mentaati atau mematuhi sesuatu. Kepatuhan adalah sifat patuh, suka menurut, taat pada perintah, aturan, berdisiplin (Notoatmodjo, 2016).



Kepatuhan



adalah



sebuah istilah



yang



menjelaskan ketaatan pada tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan adalah ketaatan menerima instruksi, koreksi, penyediaan dan perlindungan dari pimpinan, tindakan yang sesuai dengan standar operasional prosedur merupakan perilaku yang taat dan patuh dalam



33



peraturan yang diberikan oleh professional kesehatan



(Nursalam,



2016). Kepatuhan perawat dalam pelaksanaan standar operasional tindakan



pemasangan



infus



dapat



diartikan



sebagai



perilaku



professional perawat yang taat dan patuh dalam tindakan pemasangan infus sesuai dengan prosedur tetap dari kebijakan yang telah ditetapkan rumah sakit. kepatuhan (adherence) juga merupaka suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana dengan segala konsekuensinya



dan



menyetujui



rencana



tersebut



serta



melaksanakannya (Nursalam, 2016). b. Unsur-unsur pada kepatuhan 1) Pihak yang memiliki otoritas yang menuntut kepatuhan Kepatuhan didasarkan pada keyakinan bahwa otoritas memiliki hal untuk meminta. Dalam sosialisasi sosial, kita memandang orang atau kelompok sebagai pemilik otoritas yang sah untuk mempengaruhi perilaku kita. Menurut Carole, seseorang yang patuh terhadap perintah karena mereka percaya dengan apa yang diucapkan oleh penguasa, mereka patuh bukan hanya berharap mendapatkan manfaat tetapi juga karena mereka menghormati dan menyukai sosok penguasa tersebut serta menghargai hubungan dengannya (Azwar, 2014).



34



2) Pihak yang dituntut untuk melakukan kepatuhan Peraturan yang telah disepakati dan ditetapka oleh sebuah kelompok harus dipatuhi oleh setiap individu yang tergabung dalam kelompok sosial tersebut. Jadi, dalam hal ini setiap individu yang menjadi bagian dari sebuah organisasi akan dituntut untuk mematuhi setiap aturan atau kebijakan yang telah disepakati dan ditetapkan oleh suatu organisasi (Azwar, 2014). 3) Obyek atau isi tuntutan tertentu dari pihak yang memiliki otoritas untuk dilaksanakan oleh pihak lain Kelompok sosial yang dibentuk oleh beberapa individu tentu memiliki peraturan atau kebijakan baik berupa organisasi atau lembaga. Hal ini bertujuan agar indivdiu yang menjalankan peran dan tanggungjawabnya dapat terstruktur serta seluruh kegiatan yang dibentuk dapat berjalan dengan baik dan lancar. Selian itu aturan atau kebijakan yang telah disepakati dan ditetapkan oleh sebuah kelompok harus dipatuhi oleh setiap individu yang tergabung dalam kelompok sosial tersebut. Peraturan atau kebijakan sebuah organisasi ini merupakan salah satu bentuk objek atau isi tuntutan (Robbin, 2014). 4) Adanya konsekuensi dari perilaku yang dilakukan Kepatuhan dapat diartikan kesediaan seseorang atau kelompok untuk melakukan perilaku tertentu yang merupakan permintaan langsung dari pihak yang memiliki otoritas. Menurut



35



teori O’Sears menyatakan bahwa penghargaan merupakan salah satu cara efektif untuk menekan agar seseorang bersedia melakukan sesuatu yaitu dengan menunjukkan pada mereka bahwa kita memperhatikan mereka dan berharap mereka melakukan hal yang kita inginkan. Sedangkan penekanan (hukuman dan ancaman) merupakan cara untuk menimbulkan ketaatan yaitu dengan meningkatkan tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan melalui hukuman dan ancaman yang merupakan cara insentif untuk mengubah perilaku seseorang (Robbin, 2014). c. Bentuk-bentuk dari Kepatuhan Perawat 1) Konformitas Konformitas adalah bentuk dari reaksi dimana perawat berperilaku terhadap pasien sesuai dengan harapan instansi yang terkait, penyesuaian diri dengan berbagai tindakan keperawatan dengan mematuhi standar operasional yang telah ditetapkan. Konformitas ini biasanya melahirkan kepatuhan atau ketaatan dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku (Sylvia, 2016) 2) Penerimaan Penerimaan



merupakan



bersedia dipengaruhi pimpinan



kecenderungan



melalui



yang berpengetahuan



komunikasi luas.



perawat



yang



persuasive dari



Tindakan



ini



juga



36



merupakan tindakan yang dilakukan dengan tidak terpaksa karena percaya terhadap tekanan atau peraturan instansi yang telah dibuat untuk kepentingan instansi dan karyawan (Sumijatun, 2017). 3) Ketaatan Ketaatan merupakan suatu bentuk perilaku dengan bersedia mengikuti dan melakukan segala hal yang telah disepakati dan ditetapkan oleh instansi. Ketaatan seorang perawat dalam hal ini adalah bersedia mengikuti dan melakukan tindakan-tindakan keperawatan sesuai dengan standar operasional yang merupakan kesepakatan dari manajemen (Sumijatun, 2017). d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan Perubahan sikap dan perilaku di mulai dari kepatuhan, identifikasi, kemudian internalisasi. Menurut Gibson (2002 dalam Natasia 2014) ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi seseorang dalam perilaku kepatuhan kerja dan kinerja yaitu faktor individu, faktor organisasi, dan faktor psikologi. 4) Faktor Individu Faktor individu merupakan faktor yang memiliki dampak secara langsung pada kinerja seseorang. Variabel individu merupakan



sub



variabel



yang termasuk



kemampuan



dan



keterampilan, latar belakang, dan demografi. Salah satu sub variabel yang tidak memiliki efek secara langsung terhadap kinerja



37



sesorang yaitu demografi. Karakteristik pada demografi meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja, dan status perkawinan. a) Usia Usia berkaitan dengan kematangan, kedewasaan, dan kemampuan bertambah



seseorang usia,



pengambilan



dalam



akan



bekerja.



semakin



keputusan



dengan



Seseorang



terlihat



yang



berpengalaman,



penuh



pertimbangan,



bijaksana, mampu mengendalikan emosi dan mempunyai etika kerja yang kuat dan komitemn terhadap sesuatu yang telah ditetapkan



(Notoatmodjo,



2016).



Penelitian



yang telah



dilakukan oleh Pagala (2017) bahwa usia mempengaruhi tingkat kepatuhan dengan usia dewasa muda pada responden yang memiliki tingkat kepatuhan rendah sebanyak 61,1% b) Jenis kelamin Jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara umum tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dalam melaksanakan pekerjaan. Namun, pada teori psikologi ditemukan bahwa perempuan



lebih



bersedia



sedangkan



laki-laki



lebih



untuk



mematuhi



kemungkinan



wewenang



untuk



tidak



melakukannya sesuai wewenang (Notoatmodjo, 2016). c) Pendidikan Tingkat pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam bekerja. Tingkat pendidikan yang tinggi di asumsikan memiliki



38



pengetahuan dan wawasan yang luas sehingga memiliki keterampilan dan kemampuan yang baik dalam melaksanakan pekerjaan



(Notoatmodjo,



dilakukan



Natasia



2016).



(2014)



Hasil



menyatakan



penelitian bahwa



yang tingkat



pendidikan kurang patuh terletak pada vokasional dengan jenjang pendidikan SPK, D3, dan D4 sebanyak 57,9%. d) Masa Kerja Masa kerja berkaitan dengan lama seseorang dalam bekerja. Seseorang yang telah lama dalam bekerja diharapkan lebih berpengalaman dalam melakukan pekerjaan sesuai ketetapan dan semakin rendah untuk melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan ketetapan (Kurniadi, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Pagala (2017) menyatakan bahwa masa kerja mempengaruhi tingkat kepatuhan dengan masa kerja yang lama mengalami kepatuhan rendah sebanyak 44,8% e) Status Pernikahan Status pernikahan merupakan salah satu faktor seseorang yang mempengaruhi kinerja. Pernikahan membuat seseorang menjadi memiliki rasa tanggung jawab. Seseorang yang telah menikah akan menilai bahwa pekerjaan sangat penting karena telah



memiliki



sejumlah



diselesaikan (Kurniadi, 2013).



tanggung



jawab



yang



harus



39



5) Faktor Organisasi Organisasi adalah suatu sistem perserikatan formal dari dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam bekerja yaitu sumber daya manusia, kepemimpinan, dan imbalan atau reward (Robbin, 2014). a) Sumber Daya Manusia Sistem di sebuah organisasi rumah sakit, sumber daya manusia



yang



dimaksudkan



adalah



tenaga



kesehatan



professional yang meliputi dokter, peerawat, ahli gizi, farmasi, tenaga kerja laboratorium, dan lain-lain (Robbin, 2014). b) Kepemimpinan Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi oranglain. Kepemimpinan dapat dilihat pada kemampuan untuk mempengaruhi kegiatan atau aktivitas oranglain atau kelompok melalui komunikasi atau tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan dari organisasi tersebut (Robbin, 2014). Penelitian oleh Pagala (2017) menyatakan bahwa dukungan dari



supervisior



berkontribusi



sebesar



52,2%



terhadap



kepatuhan dalam melaksanakan SOP. c) Imbalan atau Reward Imbalan atau reward mengandung makna keuntungan atau feedback yang diberikan kepada seseorang apabila



40



melakukan pekerjaan secara baik dan benar sesuai yang diharapkan (Robbin, 2014). 6) Faktor Psikologi a) Sikap Sikap adalah determine perilaku yang berkaitan dengan persepsi, kepribadian, dan motivasi. Sikap merupakan keadaan siap



mental



yang



dipelajari



dari



pengalaman



dan



mempengaruhi reaksi seseorang dalam berinteraksi. Sikap memiliki peran yang penting karena dapat berubah dan dibentuk sehingga dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam menjalankan pekerjaan (Azwar, 2014). Penelitian oleh Pagala (2017) menyatakan bahwa sikap yang positif terhadap pekerjaan berkontribusi sebesar 44,7% terhadap kepatuhan dalam melaksanakan SOP. b) Motivasi Salah satu faktor seseorang berkeinginan atau mau dalam melakukan pekerjaan adalah motivasi. Motivasi berasal dari aneka kebutuhan manusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut Maslow bila suatu kebutuhan telah tercapai oleh individu, maka kebutuhan yang tinggi akan segera menjadi kebutuhan baru yang harus dicapai (Azwar, 2014). Hasil penelitian dilakukan oleh Natasia (2014) bahwa motivasi



41



perawat rendah dalam perilaku kepatuhan pelaksanaan SOP Asuhan Keperawatan sebanyak 42,1%. c) Persepsi Persepsi merupakan proses pemberian arti atau makna terhadap sesuatu. Oleh karena itu setiap individu akan memiliki arti atau makna yang berbeda meskipun objeknya sama (Azwar, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Natasia (2014) menyatakan bahwa persepsi yang kurang baik dalam perilaku kepatuhan pelaksanaan SOP Asuhan Keperawatan sebanyak 36,8%. e. Karakteristik kepatuhan Menurut Niven (2002 dalam Rahman, 2018) jenis-jenis kepatuhan ada 2 yaitu 7) Kepatuhan penuh (total compliance) Kepatuhan total yang dimaksud yaitu mematuhi dan menjalankan segala tindakan atau kegiatan berdasarkan peraturan yang ada atau ditetapkan. 8) Tidak patuh (non compliance) Tidak patuh yang dimaksud yaitu tidak melaksanakan tindakan atau kegiatan sesuai dengan peraturan yang ada atau telah ditetapkan.



42



B. Kerangka Teori



Faktor-faktor kepatuhan 1) Faktor Individu 1) Usia 2) Jenis kelamin 3) Pendidikan 4) Masa Kerja 5) Status Pernikahan 2) Faktor Organisasi 1) Sumber Daya Manusia



Faktor Risiko Flebitis 1) Faktor risiko spesifik pasien a) Jenis kelamin b) Kualitas vena perifer yang kurang c) Usia d) Penyakit medis yang mendasari e) Status Gizi 2) Fakor risiko spesifik kateter a) Durasi pemasangan kateter b) Ukuran kateter c) Jenis kateter yang digunakan. d) Lokasi insersi 3) Faktor risiko lainnya a) Karakterisitik infus b) Ketrampilan Kepatuhan Perawat Terhadap SOP



Perawat 2) Kepemimpinan 3) Imbalan atau Reward 3) Faktor Psikologi 1) Sikap 2) Motivasi 3) Persepsi



c) Insersi emergensi



Dampak Resiko: 1) Flebitis



Pemasangan Infus



2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)



Keterangan:



Infiltrasi Ekstravasasi Hematoma Oklusi Emboli udara Kelebihan cairan Thrombosis Tromboplebitis



Di teliti Tidak Di teliti



Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber Teori Modifikasi: Dycter (2012 dalam Rahmadani, 2017), Gibson (2002 dalam Natasia, 2014)



43



C. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian merupakan kerangka hubungan antara konsep-konsep yang diukur atau diamati melalui penelitian yang dilakukan, terdiri dari variabel – variabel serta hubungan variabel yang satu dengan yang lain (Riyanto, 2017). Kerangka konsep yang akan diamati atau diukur melalui penelitian yaitu sebagai berikut: Variabel Independen Kepatuhan Perawat pada SOP



Variabel Dependen Kejadian Flebitis



Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian D. Hipotesa Hipotesa adalah pernyataan suatu dalil atau kaidah yang kebenaranya belum terujikan. Pernyataan dari hipotesa masih lemah dan perlu dibuktikan untuk dapat menjawab apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak (Hidayat, 2016). Peneliti menduga variabel dalam penelitian ini memiliki ketertarikan atau hubungan, sehingga hipotesa dalam penelitian ini yaitu: Ha : Ada hubungan antara kepatuhan perawat dalam melaksanakan prosedur tetap pemasangan infus terhadap kejadian flebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Limpung Kabupaten Batang Ho : Tidak ada hubungan antara kepatuhan perawat dalam melaksanakan prosedur tetap pemasangan infus terhadap kejadian flebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Limpung Kabupaten Batang



44



BAB III METODOLOGI PENELITIAN



A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain korelasional yaitu penelitian yang mencari hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subyek (Hidayat, 2012). Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional, yaitu suatu penelitian yang variabel sebab atau risiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara simultan atau dalam waktu yang bersamaan dan hanya satu kali pada suatu saat (Notoatmodjo, 2016). Penilaian variabel kasus yaitu kejadian flebitis dalam penelitian ini diukur setelah 3 hari pemasangan infus. Sesuai dengan pendapat Alexander (2017) yang menyatakan bahwa waktu terjadinya phlebitis dapat terjadi sebelum 72 jam, yang artinya setelah waktu tersebut memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap insiden flebitis.



B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Ruang Rawat Inap RSUD Limpung Kabupaten Batang, yang rencana akan dilakukan pada bulan Desember 2018, yang dimulai dari pengambilan data awal sampai dengan penyusunan hasil penelitian.



45



C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/ subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan



oleh



peneliti



untuk



dipelajari



dan



kemudian



ditarik



kesimpulannya (Notoatmodjo, 2016). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat rawat inap di RSUD Limpung Kabupaten Batang sejumlah 45 perawat yang terdiri dari Ruang VK sejumlah 16 orang, Ruang HCU sejumlah 10 orang, dan Ruang Ranap sejumlah 19 orang. 2. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Pengambilan sampel harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel (contoh) yang benar-benar dapat berfungsi sebagai contoh, atau dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya (Arikunto, 2016). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling yaitu dengan mengambil semua populasi (Hidayat, 2016). Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 45 perawat, dan 45 pasien sebagai objek pemasangan infus. 3. Kriteria Sampel a. Kriteria Inklusi Inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili sebagai sampel penelitian karena memenuhi syarat menjadi sampel (Hidayat, 2016). Kriteria inklusi sebagai responden:



46



a) Perawat dan pasien yang bersedia menjadi responden b) Perawat merupakan tenaga perawat pelaksana c) Pasien usia dewasa (>18 Tahun) b. Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak dapat memenuhi syarat sebagai sampel penelitian. Misal adanya hambatan etis, menolak, menjadi responden, atau suatu keadaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penelitian (Hidayat, 2016). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: a) Perawat yang sedang cuti saat penelitian b) Pasien perawatan lebih dari 3 hari c) Pasien dengan diagnosa sekunder ada gangguan jiwa d) Pasien dengan kondisi delirium e) Pasien diperbolehkan pulang (rawat jalan) atau PAPS (pulang atas permintaan sendiri) sebelum selesainya penelitian f) Pasien dengan diagnosa combustio, syndrome steven jhonson, morbus hensen, oedem ekstermitas, oedem anasarka g) Pasien yang mendapatkan terapi intravena dengan osmolaritas larutan > 900 mOsm/L (NaCl 3%, D10%, Kabiven, Aminofusin hepar, Aminoleban, Albumin, Darah)



47



D. Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah suatu obyek yang mempunyaivariasi tertentu, yang ditetapkan oleh peneliti dengan tujuan untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Notoatmodjo, 2016). Penelitian ini terdapat 2 variabel khusus, yaitu: 1. Variabel Independen (Variabel Bebas) Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain. Variabel ini merupakan variabel yang mempengaruhi variabel lainatau menciptakan suatu dampak pada variabel lain (Nursalam, 2016). Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepatuhan perawat dalam pemasangan infus sesuai SOP. 2. Variabel Dependen (Variabel Terikat) Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain atau dipengaruhi oleh variabel lain. Variabel respon iniakan muncul sebagai akibat dari manipulasi variabel-variabel lain (Nursalam, 2016). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian flebitis



48



E. Definisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian Variabel Kepatuhan



Kejadian Flebitis



Definisi Operasional Perilaku perawat dalam pemasangan infus intravena sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh rumah sakit



Peradangan yang terjadi disekitar area penusukan kateter intravena dengan jarak 3 cm pada area penusukan



Cara Ukur



Hasil Ukur



Skala



Menggunakan lembar penilaian pemasangan infus, yang disusun berdasarkan standar operasional pemasangan infus intravena di RSUD Limpung Batang



Kategori: Ordinal 1. Patuh : bila semua dilakukan sesuai SOP, kode 1 2. Tidak Patuh: bila ada salah satu tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan SOP, kode 2



Menggunakan lembar observasi kejadian flebitis dari Visual Infusion Phlebitis



Kategori Ordinal 1. Tidak Flebitis : bila skor 0, kode 1 2. Flebitis: bila skor 1-5, kode 2



F. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian merupakan lembar pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian, berupa lembar kuesioner/ observasi yang dinilai dengan mencantumkan tanda tertentu (Notoadmodjo, 2016). Alat penelitian ini menggunakan lembar observasi yang terbagi dalam 2 bagian: a. Lembar Penilaian Kepatuhan Pemasangan Infus Sesuai SOP Lembar observasi ini digunakan untuk mengetahui kepatuhan perawat dalam pemasangan infus sesuai dengan SOP rumah sakit. Lembar penilaian ini dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada SOP Pemasangan Infus Intravena di RSUD Limpung Batang. Prosedur terdiri dari 25 item



49



penilaian, kemudian hasil dikategorikan menjadi “Patuh” bila semua dilakukan sesuai SOP dan “Tidak Patuh” bila ada salah satu tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan SOP. b. Lembar Observasi Kejadian Flebitis Lembar observasi ini digunakan untuk mengetahui kejadian flebitis pada pasien. Lembar observasi ini dibuat dengan mengacu pada teori Andrew Jackson tentang skor Visual Infusion Phlebitis. Lembar observasi terdiri dari identifikasi tanggal pemasangan, perawat yang memasang, ukuran kateter vena, lokasi pemasangan, jenis cairan infus, dan skala flebitis dari skala 0 sampai skala 5. Hasil dikategorikan menjadi “Tidak Flebitis” bila didapatkan skala flebitis skor 0, dan “Flebitis” bila didapatkan skala flebitis skor 1-5.



G. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin melakukan penelitian kepada Universitas Pekalongan. 2. Setelah mendapatkan ijin dari Universitas Pekalongan kemudian peneliti mengajukan ke RSUD Limpung Batang. 3. Setelah mendapatkan ijin dari RSUD Limpung Batang kemudian peneliti segera melakukan penelitian tepatnya di Ruang Rawat Inap untuk mendapatkan responden.



50



4. Sebelum peneliti melakukan penelitian, terlebih dahulu peneliti akan memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian kepada perawat dan pasien, serta meminta persetujuan dari perawat dan pasien sebagai responden dan yang bersedia diminta untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. 5. Peneliti melakukan observasi pada perawat setiap ada pemasangan infus, dan observasi pada pasien untuk melihat kejadian flebitis setelah 3 hari terpasang infus. 6. Setelah semua data didapatkan kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data penelitian



H. Metode Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data Data yang telah terkumpul pada tahap pengumpulan data kemudian diolah dengan tujuan untuk menyederhanakan seluruh data dan menyajikannya dalam susunan yang baik dan rapi (Hidayat, 2016). Pengolahan data dalam penelitian dalam ini dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Pemeriksaan data (Editing) Proses editing merupakan suatu upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Data yang terkumpul kemudian diperiksa kembali satu persatu, hal ini bertujuan untuk mengecek apakah terjadi kekurangan dan kesalahan pengisian



51



blangko atau kerusakan data dari kuesioner. Editing dilakukan di lapangan sehingga apabila ada kekeliruan segera cepat dilengkapi. b. Scoring Menghitung skor atau nilai dari masing-masing item. Pada tahap scoring peneliti memberi nilai pada data sesuai dengan skor yang telah ditentukan berdasarkan kuesioner yang telah diisi oleh responden. Pemberian skor pada masing-masing variabel akan dilakukan sesuai dengan definisi operasional. c. Pemberian kode (Coding) Merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri dari beberapa kategori. Pemberian kode pada setiap variabel digunakan untuk mempermudah peneliti dalam melakukan tabulasi dan analisa data. Pemberian kode pada masing-masing variabel dilakukan sesuai dengan kategori masing-masing. d. Memasukkan data (Data Entry) Entry merupakan kegiatan memasukkan data ke komputer untuk kemudian dapat dilakukan processing (memproses data) agar data yang sudah di entry dapat dianalisis. Memasukkan data ke komputer dengan program pengolah angka yang sudah umum digunakan yaitu program windows SPSS. e. Cleaning Cleaning merupakan kegiatan mengecek kembali semua data yang telah dimasukkan, untuk melihat kemungkinan–kemungkinan



52



adanya kesalahan penulisan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya, sehingga dapat dilakukan pembetulan dan koreksi. 2. Analisa Data Analisa data bertujuan untuk mengambil kesimpulan dari masalah yang diteliti, dan menganalisa data yang diperoleh selama penelitian sehingga mengintrepentasikan hasil penelitian (Sugiyono, 2014). Data yang diperoleh dianalisis dengan 2 langkah yaitu sebagai berikut: a. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui kepatuhan perawat dan kejadian flebitis. Hasil analisa univariat ditampilkan dengan menggunakan statistic deskriptif untuk memperoleh distribusi dan frekuensi masing-masing variabel sehingga mempermudah pada tahap analisis selanjutnya. b. Analisis Bivariat Analisa ini digunakan untuk mencari hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dalam penelitian ini. uji statistik Chi Square Test. Asumsi peggunaan uji statistik Chi Square Test ini digunakan karena penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan menghubungkan skala kategorik dengan skala kategorik. Uji statistik akan dilakukan dengan menggunakan program olah angka dikomputer yaitu program SPSS. Rumus dasar yang digunakan adalah sebagai berikut: k



 fo  fh 



i 0



fh



X2 



2



53



Keterangan : X2



: Chi Kuadrat



fo



: Frekuensi yang diobservasi



fh



: Frekuensi yang diharapkan



Keputusan uji hipotesis sebagai berikut: a. Ha diterima apabila diperoleh nilai p ≤ 0,05. Artinya terdapat hubungan antara kepatuhan perawat dalam melaksanakan prosedur tetap pemasangan infus terhadap kejadian flebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Limpung Kabupaten Batang. b. Ha ditolak apabila diperoleh nilai p > 0,05. Artinya tidak terdapat hubungan antara kepatuhan perawat dalam melaksanakan prosedur tetap pemasangan infus terhadap kejadian flebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Limpung Kabupaten Batang.



I. Etika Penelitian Peneliti dalam melakukan penelitian, harus memperhatikan masalah etika yang meliputi: 1. Respect for Autonomy Prinsip otonomi adalah peneliti memberikan kebebasan bagi klien menentukan keputusan sendiri apakah bersedia ikut dalam penelitian atau tidak, tanpa adanya paksaan atau pengaruh dari peneliti. Hal yang dilakukan pertama kali adalah peneliti mendatangi calon responden. Selanjutnya peneliti memberikan penjelasan dengan seksama kepada calon



54



responden. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian ini, serta menyampaikan bahwa penelitian ini tidak membahayakan atau merugikan responden. Peneliti menanyakan kesediaan calon responden untu ikut dalam penelitian ini. Peneliti menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada klien, dengan prinsip peneliti akan menghormati dan menghargai apapun yang telah diputuskan oleh klien. Setelah responden setuju dan menandatangani surat persetujuan, peneliti menyerahkan lembar kuesioner untuk diisi oleh responden. 2. Beneficence Prinsip ini adalah bahwa penelitian yang dilakukan harus mempunyai keuntungan baik bagi peneliti maupun responden penelitian. Sebelum pengisian kuesioner dilakukan, peneliti memberikan penjelasan tentang manfaat penelitian serta keuntungannya bagi responden dan peneliti. Peneliti menyampaikan bahwa keuntungan penelitian ini adalah sebagai upaya bagi peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian sehingga dengan demikian dapat menjadi dasar untuk pencegahan flebitis. Keuntungan penelitian bagi responden adalah responden dapat mengetahui kepatuhan dan kejadian flebitis. 3. Non Maleficence Penelitian ini menggunakan prosedur yang tidak menimbulkan bahaya bagi responden. Peneliti memperhatikan dan menghindari kondisikondisi yang akan menimbulkan bahaya bagi responden misalnya



55



responden merasakan kelelahan sewaktu penilaian. Peneliti menanyakan kepada responden apakah ada masalah yang dirasakan saat penilaian. 4. Anonymity Peneliti tidak mencantumkan nama responden dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data. Peneliti juga menjamin kerahasiaan semua informasi hasil penelitian yang telah dikumpulkan dari responden. Peneliti menyampaikan kepada responden bahwa data yang didapatkan dijaga kerahasiaannya, dan semua data akan dimusnahkan ketika datanya sudah selesai diambil dan dianalisa. Hanya karya ilmiah yang akan dijadikan untuk pengembangan ilmu keperawatan. 5. Justice Peneliti tidak melakukan diskriminasi saat memilih responden penelitian. Responden dipilih berdasarkan kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Saat pemilihan responden, peneliti tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap responden yang memenuhi kriteria tersebut. Peneliti memahami bahwa responden yang masuk ke dalam kriteria mempunyai hak yang sama untuk diikutkan pada penelitian. Peneliti tidak membedakan antara yang kaya maupun miskin, laki-laki maupun perempuan.



56



DAFTAR PUSTAKA Abolfotouh, M.A., Salam, M., Bani-Mustafa, A. (2014). Prospective study of incidence and predictors of peripheral intravenous catheter-induced complications. Ther Clin Risk Manag. 2014 Dec 8;10:993-1001. doi: 10.2147/TCRM.S74685. eCollection 2014. Agustianingsih, D., Suryani, M., Astuti, R. (2015). Hubungan Ukuran Kateter Intravena dengan Kejadian Flebitis Pasien Rawat Inap di RS Pantiwilasa Citarum Semarang. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK) 2015. Akbar, N.M & Isfandiari, M.A. (2018). The Influence of Patients’ Characteristics with Intravena Catheter in Phlebitis Incidence. Jurnal Berkala Epidemiologi Volume 6 Nomor 1 (2018) 1-8 DOI: 10.20473/jbe.v6i1.2018. 1-8 Alexander, J & Hillary, C. (2017). Critical Care Nursing Certification: Preparation, Review, and Practice Exams 7th Edition. Harvard Medical School: McGraw Hill Professional. Arikunto. (2016). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik edisi Revisi VI. Jakarta: Rineka Cipta Azwar, S. (2014). Sikap Manusia, Teori, dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Bustami. (2016). Penjamin Mutu Pelayanan Kesehatan & Akseptabilitasnya. Jakarta: Erlangga Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2017). Guidelines for the Prevention of Intravascular Catheter-Related Infections. Department of Health and Human Services. Washington DC Fitriyanti, S. (2015). Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Phlebitis di Rumah Sakit Bhayangkara TK II. H.S. Samsoeri Mertojoso Surabaya', Jurnal Berkala Epidemiologi, vol. 3, no. 2, pp. 217–229. Hidayat. A. (2016). Metode Penelitian Keperawatan & Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Higginson, R. and Parry, A. (2011). 'Phlebitis: Treatment, Care and Prevention', Nursing Times, vol. 107, no. 36, pp. 18–21. Available at: www.nursingtimes.net. Hopper, B. (2017). Peripheral IV Cannulae (PIVC): Saving a line might just save a life. Nursing Review Professional Development Journal. From http://nursingreview.co.nz/wp-content/uploads/2017/07/NR-Issue-12017-PD.pdf Ignatavicius, D.D., Workman, M.L., Heimgartner, N.M. (2017). Clinical Companion for Medical-Surgical Nursing: Concept for



57



Interprofessional Collaborative Care. 9th Edition. St. Louis: Saunders Elsevier Inc. Infusion Nurses Society (INS). (2016). Infusion Therapy Standards of Practice: The Official Publication Journal of Infusion Nursing. Norwood Park South: BD Medical. Jannah, I.N., Suhartono., Adi, M.S. (2016). Prevalensi Phlebitis pada Pasien Rawat Inap dengan Infus di RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) Volume 4, Nomor 4, Oktober 2016 (ISSN: 2356-3346) Kemenkes RI. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Republik Indonesia No. 1691/MENKES/PER/VII/2011 tentang Keselamatan Pasien (Patient Safety) di Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes RI. (2015). Standar Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit. Permenkes RI No. 10 Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kurniadi, A. (2013). Manajemen Keperawatan dan Prospektifnya. Jakarta: FIKUI. Kurniavip, A.L & Damayanti, N.A. (2017). Hubungan Karakteristik Individu Perawat dengan Insiden Keselamatan Pasien Tipe Administrasi Klinik di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya. JAKI Volume 5 Nomor 2 JuliDesember 2017. Narmawan & Djafar. (2018). Replacement Peripheral Intravenous Catheters with Clinical Indication for Patient Convenience, Cost Efficiency And Reducing Nurses Workload. Indonesian Contemporary Nursing Journal Volume 3 No. 1 Agustus 2018 - Januari 2019. Natasia, N., Loekqijana, A., Kurniawati, J. (2014). Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pelaksanaan SOP Asuhan Keperawatan di ICU-ICCU RSUD Gambiran Kota Kediri. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28, Suplemen No. 1, 2014 Notoatmodjo, S. (2016). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2016). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2016). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam. (2016). Manajemen Keperawatan: Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan Profesional. 3rd edition. Jakarta: Salemba Medika. Osei-Tutu, E., Tuoyire, D.A., Debrah, S. (2015). Peripheral Intravenous Cannulation and Phlebitis Risk at Cape Coast Teaching Hospital. Postgraduate Medical Journal of Ghana. March 2015 Vol.4, No.1.



58



Pagala, I., Shaluhiyah, Z., Widjasena, B. (2017). Perilaku Kepatuhan Perawat Melaksanakan SOP Terhadap Kejadian Keselamatan Pasien di Rumah Sakit X Kendari. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 12 / No. 1 / Januari 2017 Potter, P.A & Perry, A.G. (2017). Mosby's Pocket Guide to Nursing Skills and Procedures 9th Edition. St. Louis Missouri: Elsevier. Rahmadani, F. (2017). Karakteristik Flebitis pada Pasien Rawat Inap di RSUP Haji Adam Malik Medan. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Rahman, M., Haryanto, T., Ardiyani, V.M. (2018). Hubungan antara Pelaksanaan Prosedur Pencegahan Infeksi pada Pasien Post Operasi dengan Proses Penyembuhan Luka di Rumah Sakit Islam Unisma Malang. Nursing News Jurnal Ilmiah Keperawatan, Volume 3, Nomor 1, 2018 Rimba Putri, I. R. (2016). Pengaruh Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian Flebitis pada Pasien Rawat Inap di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul', Journal Ners and Midwifery Indonesia, vol. 4, no. 2, pp. 90–94. Riyanto, A. (2017). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika. Rizal, A.A & Khotimah, H. (2018). Hubungan antara Lokasi Penusukan dengan Kejadian Plebitis pada Pasien di Ruang Flamboyan RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 6 No. 1 Juni 2018 Rizky, W. & Supriyatiningsih. (2014). Surveillance Kejadian Phlebitis pada Pemasangan Kateter Intravena pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Ar. Bunda Prabumulih. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Vol. 2, No. 1. ISSN2354-7642. Robbin, S.P & Judge, T. (2014). Perilaku Organisasi. Penerjemah Diana Angelica, dkk. Edisi 14. Jakarta: Salemba Empat. Saji, J., Korula, S.V., Mathew, A. (2015). The Incidence of Thrombophlebitis Following the Use of Peripheral Intravenous Cannula in Post-Operative Patients A Prospective Observational Study. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS). e-ISSN: 2279-0853, p-ISSN: 22790861.Volume 14, Issue 6 Ver. I (Jun. 2015), PP 01-04 Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth 12th Edition, Vol. 1, 2. Alih bahasa Agung Waluyo. Jakarta: EGC. Sugiyono, A. (2014). Statistik Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Sumijatun. (2017). Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. Jakarta: TIM



59



Sylvia, C.M., John, J.R., Daniel, D.D. (2016). Principles and Practice of Hospital Medicine, 2nd Edition. Harvard Medical School: McGraw Hill Professional. Tamsuri, A. (2015). Seri Asuhan Keperawatan: Klien Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Jakarta: EGC Urbanetto, J.S., Peixoto, C.G., May, T.A. (2016). Incidence of phlebitis associated with the use of peripheral IV catheter and following catheter removal. Rev. Latino-Am. Enfermagem 2016; 24:e2746. WHO. (2016). Guidelines on Core Components of Infection Prevention and Control Programmes at the National and Acute Health Care Facility Level. World Health Organization: Geneva.