Psikologi Anak Berbakat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Dosen Pengampu: Eva Meizara Puspita Dewi, S.Psi., M.Si., Psikolog Novita Maulidya Djalal, S.Psi., M.Psi., Psikolog



PSIKOLOGI ANAK BERBAKAT KONDISI EMOSIONAL DAN SOSIAL ANAK BERBAKAT



KELOMPOK 4 Andri Muhammad Fikran



(1571040030)



Nurul Khairat



(1571040031)



Ira Novia Fridayanti



(1571040036)



Siti Afifah S Waris



(1571040044)



FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2019



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan sebuah karunia dari Tuhan yang diberikan kepada setiap orang tua. Tuhan memberikan sebuah karunia tanpa ada maksud yang buruk kepada setiap umatnya. Setiap kekurangan ataupun kelebihan, manusia harus tetap mensyukuri itu. Anak adalah seseorang yang belum mencapai masa pubertas atau orang yang belum dewasa. Namun, ada beberapa anak yang terlahir di dunia yang memiliki kekurangan maupun kelebihan, salah satunya adalah anak berbakat. Anak berbakat dapat juga disebut dengan gifted. Anak berbakat (gifted) adalah anak yang memiliki IQ 140 atau lebih, serta memiliki potensi pada bidang kemampuan umum, akademik dan banyak lagi yang berada di atas rata-rata. Anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik yang tidak selalu menunjukkan ketidakmampuan mental, fisik, dan emosi, berbeda dengan anak normal lainnya. Kondisi emosi anak berbakat tentunya beda dengan anak normal lainnya, yaitu seperti kemampuan perbaikan, kepribadian yang menyenangkan, menampilkan karakter kepribadian anak yang jauh lebih tua darinya, memilkiki tingkat kekhwatiran sekolah yang rendah, nilai konsep diri yang tinggi, dan menampilkan motivasi intrinsik dan otonomi yang tinggi. Namun, ada pula sisi negatif kondisi emosi pada anak berkebutuhan khusus, seperti mudah tersinggung dan egois. Anak berbakat memiliki kendala dalam kondisi



sosialnya, seperti sulit menyesuaikan diri, menyembunyikan masalah yang dihadapi, merasa kesepian dan terisolasi.



B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dapat turunkan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi emosional anak berbakat? 2. Bagaimana kondisi sosial anak berbakat? 3. Bagaimana cara mengatasi permasalahan sosial emosional anak berbakat?



C. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini, antara lain sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan kondisi emosional anak berbakat 2. Untuk menjelaskan kondisi sosial anak berbakat 3. Untuk menjelaskan cara mengatasi permasalahan sosial emosional anak berbakat



D. Manfaat Tujuan penulisan makalah ini, antara lain sebagai berikut: 1. Memahami kondisi emosional anak berbakat 2. Memahami kondisi sosial anak berbakat 3. Mengetahui cara mengatasi permasalahan sosial emosional anak berbakat



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kondisi Emosional Anak Berbakat 1. Definisi Emosi Berikut ini beberapa definisi emosi para tokoh psikologi. Grasha & Krischenbaum (Dewi & Djalal, 2017:54) megemukakan bahwa emosi merupakan sebuah label afeksi yang identik dengan pola-pola respon yang muncul sebagai reaksi atas berbagai stimulus internal maupun eksternal yang mampu membangkitkan perilaku individu terhadap suatu tujuan. Tichener (Reber & Reber: 2016:20) memberikan penjelasan tamabahan bahwa efeksi dapat dimaknai sebagai label bagi dimensi menyeangkan atau tidak menyenangkan (pleasanthness-un pleasanthness). Tokoh psikologi lainnya ada Atwater (Dewi & Djalal, 2017:55) yang berpandangan bahwa emosi merupakan kesadaran kompleks yang mencakup sensasi internal yang diekspresikan ke arah tingkah laku. Goleman (Dewi & Djalal, 2017:55) mengartikan emosi sebagai perasaan-perasaan dan pikiranpikiran yang khas yang merujuk pada keadaan biologis, psikologis, dan kecenderungan untuk bertindak. Demikianlah beberapa pegertian emosi menurut beberapa ahli psikologi. Meski demikian, perlu dipahami bahwa emosi merupakan suatu konsep yang sangat majemuk, sehingga tidak ada satupun definisi yang dapat diterima secara universal. Bahkan, studi terkait emosi, bayak pula dilakukan oleh



berbagai pakar selain bidang studi psikologi (Sarwono, 2014:124). Namun, untuk keperluan makalah ini, penyusun menggunakan definisi emosi yang dikemukakan oleh Grasha dan Krischenbaum dengan tambahan dari Tichener untuk menggambarkan emosi anak berbakat yang dimaksud. Sehingga, emosi pada makalah ini diartikan sebagai sebuah label afeksi (menyenangkan/tidak menyenangkan) yang identik dengan pola-pola respon sebagai reaksi atas berbagai stimulus internal maupun eksternal dan mampu membangkitkan perilaku terhadap suatu tujuan. 2. Kecerdasan Emosi Golema (Dewi & Djalal, 2017:55) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali perasaannya dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan tersusun atas lima komponen, antara lain pengenalan diri, pengendalian diri, memotivasi, empati, dan keterampialan social (Dewi & Djalal, 2017: 55). Goleman (Dewi & Djalal, 2017:55) mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat memengaruhi perkembangan kecerdasan emosional siswa, yaitu: pertama, faktor bawaan yakni faktor yang bersifat genetik (temperaman) faktor bawaan dapat berupa kebiasaan turun menurun/sifat-sifat yang diwariskan secara turun temurun yang diajarkan oleh orangtua atau leluhur.



Kedua, faktor yang berasal dari ligkungan keluarga/dampak dari pola asuh orang tua, sebab keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Individu dapat mempelajari bagaimana merasakan perasaan sediri, bagaimana



cara



orang



lain



menanggapi



perasaan



kita,



bagaimana



mengungkapkan perasaan. Sehingga, tingkat kecerdasan emosional orangtua, sangat berpengaruh bagi pembetukan kecerdasan emosi anak (Dewi & Djalal, 2017:56). Ketiga, faktor pendidikan emosi yang diperoleh individu di sekolah dan pegalaman hidup bermasyarakat. Sekolah pada dasarnya berperan dalam memberikan pedidikan emosi kepada para siswanya, baik melalui kurikulum maupun cara pengajaran guru. 3. Kondisi Emosi Anak Bebrakat a. Kecenderungan positif Secara umum, anak berbakat memiliki beberapa perbedaan emosional jika dibandingkan dengan anak normal pada umumnhya, diantaranya (1) memiliki kemampuan memperbaikan yang cukup baik, (2) dianggap memiliki kepribadian yang menyenangkan, (3) menampilkan karakter kepribadian anak yang jauh lebih tua darinya, (4) memiliki tingkat kekhawatiran sekolah yang rendah, (5) nilai konsep diri yang tinggi, (6) menampilkan motivasi intrinsic dan otonomi yang tinggi, terutama dalam hal membaca, berfikir, dan menyendiri (Dewi & Djalal, 2017:59). Secara khusus, anak berbakat memiliki stabilitas emosi yang matap sehingga mereka mampu mengendalikan masalah-masalah personal.



b. Kecenderungan negatif Clark (Dewi & Djalal, 2017:60) mengemukakan bahwa kecenderungan negative anak berbakat adalah mudah tersinggug, sikap egois, dan kesulitan dalam menyesuaikan diri. Kecenderungan emosi negatif ini lebih disebabkan karena karakteristik yang meningkat pesat namun tidak disertai dengan perkembangan emosi yang pesat pula. Menurut French dan Gearheart (Dewi & Djalal, 2017:58) anak dengan IQ yang sangat tinggi memungkinkan memiliki masalah sosial dan kesulitan emosional yang lebih banyak daripada siswa berbakat yang memiliki tingkat IQ pada rentang 130-150. Adapun anak dengan IQ 180 atau lebih, cenderung merasa diri mereka terisolasi dari temanteman sebaya dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik saat dewasa (Hallahan & Kauffman, dalam Dewi & Djalal, 2017:59). Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa siswa yang sangat berbakat dalam bidang akademis mengalami kesulitan sosial dan emosional dua kali lebih banyak dari pada siswa yang tidak berbakat (Winner, dalam Dewi & Djalal 2017:59). Dari segi coping emosional (terikut segi sosial didalamnya) pada anak berbakat, McDowell (Dewi & Djalal, 2017:61) menemukan bahwa anak berbakat sering melaporkan bahwa diri mereka berbeda dengan anak-anak normal lainnya, menganggap diri mereka kurang percaya diri dalam berinteraksi dan memahami kesulitan dalam menemuka teman sebaya, serta mengalami frustasi akibat pekerjaaan sekolah yang terasa berulang-ulang, termasuk guru yang dianggap tidak membantu dan pertanyaan-pertanyaan



yang mereka ajukan biasanya memicu konflik karena tujuan mereka disalah pahami. Gross dan Smutty (Dewi & Djalal, 2017:60) mengemukakan bahwa perjalaan hidup anak berbakat sering mengalami dilemma excellence versus intimacy, yakni kebimbangan dalam memuaskan keinginan untuk unggul, namun dengan menanggung resiko tidak terpenuhinya keakraban dengan teman sebaya. Maka tidak dipugkiri, berbagai permasalahan menyertai anak berbakat. Schmitz dan Galbraith (Dewi & Djalal, 2017:60) megemukakan bahwa setidaknya terdapat lima karakteristik permasalahan emosional anak berbakat yang cenderung dimunculkan, yaitu (1) persepsi yang cukup mendalam, sehingga sangat sensitif pada perbedaan kecil yang tidak dirasakan oleh kebanyakan individu, (2) memiliki keterikatan pada tujuan yang tinggi, sehingga mereka tampak selalu berusaha keras untuk memecahkan permasalahan yang ada, (3) sensitifitas yang tinggi secara moral dan emosional, (4) perfeksionis, (5) dan kemampuan yang tinggi pada satu aspek yang belum tentu didukung oleh kemampuan yang lain.



B. Kondisi Penyesuaian Sosial Anak Berbakat 1. Definisi Penyesuaian Sosial Schneimer (Dewi & Djalal, 2017:60) mengemukakan bahwa penyesuaian pada setiap individu terjadi ketika terdapat suatu tuntutan yang harus dipenuhi, atau pada saat ada kesulitan, konflik, atau frustasi yang menuntut



penyelesaian. Kondisi tersebut menjadi dasar terjadinya penyesuan pada individu. Dengan demikian, penyesuaian mengandung sebuah dinamika yang meliputi respon mental dan perilaku ketika berusaha membangun keselarasan antara tuntutan internal dan lingkungan. Merujuk pada pejelasan tersebut, maka kami mengungkapkan bahwa penyesuaian yang dimaksud disini ialah adjustment bukan adaptation, meskipun makna adaptasi ikut dalam pembahasan ini. Reber & Reber (2016:17) mengemukakan bahwa adjustment merupakan hubungan yang dibangun oleh individu terhadap lingkungan berupa pen-sesuai-an, pencocokan, penyetelan, atau penempatan dirinya secara sosial dan psikologis. Schneider (Dewi & Djalal, 2017:62) mengemukakan bahwa penyesuaian pada manusia memiliki beberapa jenis, salah satunya penyesuaian sosial. Hurlock (Dewi & Djalal, 2017:62) mengemukakan bahwa penyesuaian social merujuk pada keberhasilan individu dalam menyesuaikan diri dengan orang lain dan dengan kelompoknya yang dilihat dari kemampuan individu dalam membangun relasi yang sehat dari hubungan tersebut, sehingga mendorong respon positif dari orang lain. Dengan demikian, makna penyesuaian sosial yang digunakan dalam pembahasan ini ialah keberhasilan individu dalam membangun hubungan yag sehat terhadap lingkungan berupa pencocokan, penyetelan, atau penempatan diri dengan dasar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang dimiliki. Keberhasilan tersebut diukur dari ketercapaian kebutuhan individu dan respon positif orang lain.



2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Sosial Melanjutkan penjelasan Schneider (Dewi & Djalal, 2017:62) sebelumnya, bahwa individu didorong oleh tuntutan kebutuhan dalam melakukan penyesuaian. Pemenuhan kebutuhan ini, dapat dihambat oleh beberapa faktor, terutama penolakan orangtua maupun keyakinan masyarakat. Kemudian, frustasi, konflik, dan stress yang dihasilkan akan menimbulkan emosi negatif tertentu, dimana perasaan individu menstimulasi reaksi-reaksi penyesuaian yang tidak tepat, karakteristik kepribadian yang kaku, dan ketidakstabilan psikologis. Namun, jika individu mampu mengatasi frustasi, konflik, dan stress dengan baik, maka hal tersebut tidaklah terjadi, melainkan perilaku mental yang sehat menjadi hasil akhir. Berdasarkan faktor tersebut, Schneider menguraikan pola dasar penyesuaian kedalam tida elemen tahapan pemenuhan, yaitu (1) motivasi, frustasi,, atau konflik, (2) kemunculan respon yang bervariasi, dan (3) reduksi ketegangan. Elemen pertama mendorong individu untuk mengembangkan sejumlah respon berupa reaksi pertahanan, perilaku menghindar dan menarik diri, hingga perilaku agresi. Kemudian ragam respon tersebut dipilih individu berdasarkan sejauh mana respon tersebut dianggap paling memuaskan, sebagai sebuah solusi/sesuatu yang dapat mereduksi ketegangan. Solusi yang sehat memunkinkan individu untuk mengekspresikan kebutuhan sehingga frustasi dapat diminimalisir dengan cara yang diterima secara pribadi, sosial, dan moral. Faktor yang menjadi pertimbangan lainnya adalah nilai ekonomi dalam artian individu tidak menghabiskan energi sampai pada titik yang



membahayakan kepribadian, perilaku dan kesehatan mental. Kesehatan mental dan ekspresi kepribadian yang utuh sendiri, akan dicapai ketika pemenuhan tuntutan internal dan eksternal tercapai dengan baik. 3. Kondisi Sosial Anak Berbakat Janos, Robinson, dan Roedell (Dewi & Djalal, 2017:64) mengemukakan bahwa anak berbakat ada yang memiliki kesulitan dalam penyesuaian social dan ada pula yang memiliki penyesuaian social yang baik. Semakin tinggi tingkat intelegensi anak berbakat, maka semakin besar pula kesulitan menjalin peyesuaian social yang kurang optimal. Hal tersebut penting untuk diingat. Wandasari (Dewi & Djalal, 2017:64) menemukan bahwa anak dengan IQ 130-144 terbukti peyesuaian sosialnya lebih kondusif dibadingkan dengan anak berbakat dengan IQ 145-159. Demikian pula penelitian yang dilakukan Leta Holligworth menunjukkan bahwa anak dengan IQ 180 atau lebih merasa terisolasi dari teman sebayanya dan tidak dapat menyesuaikan diri (Dewi & Djalal, 2017:63). a. Kecenderungan Positif Gunarsa (Dewi & Djalal, 2017:63) mengemukakan bahwa kondisi social anak berbakat pada beberapa kelompok menunjukkan kecenderugan lebih dapat menjadi pemimpin social disekolahnya, sehigga disenangi oleh temantemannya. Clark (Dewi & Djalal, 2017:63) menambahkan bahwa anak berbakat cenderung lebih madiri, dominan, kompetitif, dan mampu mengendalikan lingkungan, sekalipun kurang berkonformitas terhadap pendapat teman sebaya. Itulah mengapa anak berbakat cenderug menunjukkan



kecakapan



kepemimpinan



dan



keterlibatan



dalam



kegiatan



maupun



kepedulian. Terdapat sebuah pandangan yang mengemukakan bahwa anak berbakat tidak memiliki masalah dalam hal penyesuaian social, bahkan cenderung populer dan memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara psikologis yang lebih baik diantara teman-temanya (Dewi & Djalal, 2017:64). Hallan dan Kauffman (Dewi & Djalal, 2017:65) mengemukakan bahwa anak berbakat memiliki minat yang cukup luas dan beragam serta mempersepsikan dirinya sendiri secara positif. Pada sebagian kelompok, anak berbakat mampu mempersepsikan suatu kebenaran dengan cepat dengan memerhatikan masalah-masalah interpersonal dan intrapersonal. b. Kecenderungan Negatif Secara social, anak berbakat tampak matang, namun secara internal mereka cenderung menginternalisasi setiap masalah yang dihadapi, merasa kesepian dan terisolasi, menilai diri mereka terhambat dalam relasi teman sebaya, mereasa kurang diterima orang lain, dan mengalami kesulitan dalam kerampilan social (Lovecky dalam Dewi & Djalal, 2017:65). Winner (Dewi & Djalal, 2017:63) kemudian menganggap bahwa anak berbakat cenderung introvert (tertutup). Perasaan terisolasi dan ketidak mampuan menyesuaikan diri ini, seringkali dialami oleh anak dengan IQ 180 ke atas (Holllingworth dalam Dewi & Djalal, 2017:65). Clark (Dewi & Djalal, 2017:63) mengemukakan bahwa perkembangan sosial anak berbakat cenderung lebih menyendiri dan kurang konformitas



terhadap pendapat sebaya, lebih dominan, lebih mampu mengendalikan lingkungan, lebih kompetitif, dan lebih cenderung memilih kawan yang memiliki kesebayaan usia intelektual daripada memilih kawan dengan kesamaan usia kronologis. Kondisi tersebut diperparah dengan kecenderungan anak berbakat untuk bergaul dengan anak yang jauh lebih tua darinya (Hawadi dalam Dewi & Djalal, 2017:65). Gross (Dewi & Djalal, 2017:64) mengemukakan bahwa anak berbakat tidak hanya berbeda secara intelektualitas, namun juga berbeda dalam aspek social dan emosional. Sehingga perbedaan tersebut mengakibatkan terciptanya kesenjangan antara anak berbakat dan teman sebaya. Belum lagi hambatan dalam relasi social dan perasaan terisolir dari teman otoritas, membuat mereka rentan mengalami masalah penyesuaian social dengan teman seusianya (Kesner dalam Dewi & Djalal, 2017:64). Pengalaman negative lain yang dialami oleh anak berbakat selama sekolah adalah tantangan akademik dan relasi dengan teman sebaya (Dewi & Djalal, 2017:64). Semakin tiggi tingkat intelektualitas anak berbakat, semakin besar pula tekanan social yang dialami dan berdampak besar pada penurunan prestasi (Gross dalam Dewi & Djalal, 2017:65). Mereka cenderung “ngotot”, berfikir bebas, dan introvert, sehingga mereka menghabiskan banyak waktuya untuk menyendiri. Tidak jarang mereka mengungkapkan bahwa dirinya merasa kesepian, sekalipun mendapat energi dan kesenangan dalam kesendiriannya. Anak perempuan yang berbakat secara akademik, seringkali



mengalami depresi, merasa memiliki harga diri yang rendah, dan berbgai keluhan-keluhan psikosomatis (Susilowati, dalam Dewi & Djalal, 2017:65). Perlu dipahami bahwa anak berbakat memiliki kemampuan untuk memutuskan perasaan mereka dengan kuat, sehingga apa yang mereka anggap benar dan salah dapat menyebabkan munculnya amarah dan ketidakmampuan utuk melihat pandangan orang lain (Mudrock-Smith dalam Dewi & Djalal, 2017:66). Kembali lagi, bahwa anak berbakat sering mengalami dilema excellence versus intimacy. Kondisi tersebut juga berimbas pada aspek social anak, dimana dilema tersebut tampak jika anak berfokus pada keunggulan maka ia akan menanggung resiko hilagnya kedekatan dengan teman sebaya. Namun, jika ia memilih konfomis dengan kelompok maka ia akan terdesak pada underachievement untuk memertahankan keanggotaan dalam kelompok (Gross dalam Dewi & Djalal, 2017:66). Demikianlah kondisi sosial anak berbakat.



C. Solusi Masalah Sosal dan Emosional Anak Berbakat Wandari (Dewi & Djalal, 2017:67) mengemukakan bahwa terdapat beberapa hal yang penting dilakukan untuk mengatasi permasalahan sosial dan emosional anak berbakat, diantaranya: (1) Mengembangkan pendidikan afektif anak berbakat untuk mengakomodasi kebutuhan



sosial



dan



emosional



anak,



disamping



menciptakan



keseimbagan antara pengembangan potensi dan pemahaman diri secara optimal. (2) Memberikan program yang tepat bagi siswa berbakat pada kelas regular sebagai tanggungjawab guru sebagai pendidik. (3) Melakukan



sosialisasi



mengenai



karakteristik,



kebutuhan,



dan



penanganan anak berbakat oleh berbagai pihak, termasuk orantua, sekolah, dan masyarakat, sehingga dapat mendukung perkembangan potensi anak berbakat secara utuh, baik dari aspek intelektual, social, maupu aspek psikologis lainnya. Dukungan keluarga dan sekolah sangat diharapkan



untuk



mendukug



terciptanya



keseimbangan



antara



penyesuaian akademis, social, da emosionak anak berbakat. (4) Pentingnya kolaborasi antara orantua, sekolah, dan masyarakat/ komunitas. Perlu diingat pula, bahwa anak berbakat memerlukan bimbingan dan petunjuk bagi kebutuhan persoalan sosialnya. Bimbingan yang dimaksud ialah bimbingan yang mengarah pada penguatan kesadaran akan kemampuan yang dimilikinya, perasaan, perilaku, nilai-nilai, interaksi dengan orang lain, motivasi, dan hubungan personal. Kemampuan realisasi anak berbakat, sangat bergantung pada lingkungan sekitarnya. Apabila lingkungan anak tersebut sadar akan keberadaannya dan baik dalam pelayanannya, maka potensi anak berbakat dapat berkembang dengan baik Mulyawati & Hawadi dalam Dewi & Djalal, 2017:66). Scott (Dewi & Djalal, 2017:61) menyarakan bahwa perlu kiranya para pengajar untuk menggunakan teori, strategi,



maupun



strategi



pengembangan,



pemeliharaan,



dan



strategi



untuk



memperkaya pendidikan yang bermakna, mampu memuaskan siswa, dan tersedianya dukungan yang dibutuhkan oleh anak berbakat. Semakin tinggi bakat yang dimiliki oleh anak berbakat, maka semakin besar kebutuhan social dan emosional (Mudrock-Smith, dalam Dewi & Djalal, 2017:61).



BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berbicara tentang anak berbakat setelah ditinjau dari beberapa literatur ditemukan bahwa anak berbakat memiliki kelebihan dan kekurangan secara khusus dilihat dari kondisi emosi dan sosialnya. Kondisi emosi anak berbakat memiliki stabilitas emosi yang sangat baik sehingga mereka mampu megendalikan berbagai masalah pribadinya. Perkembangan emosi anak berbakat juga sangat pesat, sehingga mereka mudah tersinggung, sikap egois dan kesulitan dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan jika mereka tidak ditempatkan dilingkungan yang tepat. Kondisi sosial anak berbakat ada yang memiliki kesulitan dalam penyesuaian sosial dan adapula yang tidak. Semakin bagus inteligensi anak berbakat, maka semakin sulit untuk menjalin penyesuain sosial mereka. Dalam lingkungan, anak berbakat biasanya menjadi pemimpin dalam kelompoknya, sehingga disenangi oleh orang-orang disekitarnya karena anak berbakat tidak



memiliki masalah dalam penyesuaian sosial, bahkan mereka cenderung popular diantara teman-temannya. Secara sosial juga, anak berbakat merasa kesepian dan terisolasi serta menganggap diri mereka cenderung introvert. Kondisi ini terjadi karena anak berbakat cenderung bergaul dengan anak yang jauh lebih tua darinya. Adapun solusi untuk masalah sosial dan emosi pada anak berbakat salah satunya adalah dengan pendampingan yang baik dari orangtua mereka.



B. SARAN Pentingnya sosialisasi bagi orangtua, sekolah dan masyarakat mengenai karakteristik, kebutuhab dan penanganan anak berbakat sehingga dapat mendukung berkembangnya potensi anak berbakat secara utuh, baik dari aspek emosi, sosial dan psikologis lainnya.



DAFTAR PUSTAKA Dewi, E. M., & Djalal, N. M. (2017). Psikologi Anak Berbakat. Makassar: Badan Penerbit UNM Sarwono, S. (2014). Psikologi Umum. Depok: Rajawali Pers Reber, A. S., & Reber, E. S. (2016). Kamus Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.