Puisi Pembebasan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DANIEL SIHOMBING YASUO T HUANG



PUISI



PUISI PEMBEBASAN



Daniel Sihombing Yasuo T. Huang



Puisi Pembebasan Daniel Sihombing Yasuo T. Huang --------Judul Buku: Puisi Pembebasan Editor: Daniel Sihombing & Yasuo T. Huang Desain Sampul: NN Desain Buku: NN Rilis: Mei 2020



Berteologi lewat Puisi ....................................................................... v Untuk Kepentingan Siapa Kita Berpuisi? ..................................... xi Angka ............................................................................................. 1 Asin................................................................................................. 2 Bara Bikin Terjaga ........................................................................ 3 Bendera .......................................................................................... 4 Bright and Beautiful ..................................................................... 5 Buruh .............................................................................................. 6 Cerita Anak ................................................................................... 7 Eksklusi .......................................................................................... 8 Galat ............................................................................................... 9 Gereja ........................................................................................... 10 Golput .......................................................................................... 11 Guru dari Jauh ............................................................................ 12 Habakuk ...................................................................................... 13 Hantu Gentayangan ................................................................... 14 Industri Akademi ....................................................................... 15 Jauh ............................................................................................... 16 Karantina ..................................................................................... 17



iii



Kata-kata ...................................................................................... 18 Kaum Muda ................................................................................ 19 Kehendak Tuhan ........................................................................ 20 Khusyuk ....................................................................................... 21 Kristus Bangkit! .......................................................................... 22 Lapar ............................................................................................ 23 Lara ............................................................................................... 24 Magnificat .................................................................................... 25 Marsinah ...................................................................................... 26 Montir Aksara ............................................................................. 27 Nazaret ......................................................................................... 28 Nyatanya? .................................................................................... 29 Paulus ........................................................................................... 30 Pena dan Senjata ......................................................................... 31 Proletar ......................................................................................... 32 Revolucionario ............................................................................ 33 Sakit Kepala ................................................................................. 34 Sebuah Kursi ............................................................................... 35 Suara Pembebasan...................................................................... 36 Tak Langsung Mandi ................................................................. 37 Tak Sadar ..................................................................................... 38 Terang Dunia .............................................................................. 39 Tertidur ........................................................................................ 40 Tentang Penulis............................................................................... 41



iv



Daniel Sihombing



Tradisi profetik atau kenabian dalam Kitab Suci umat Kristen telah lama memukau imajinasi saya. Dari Amos ke Yeremia, Musa hingga Yohanes Pembaptis, Alkitab penuh dengan gambaran tentang mereka yang menempuh jalan sunyi, menggugat penguasa dengan berani, menyuarakan jeritan rakyat tertindas dan suara Allah yang berpihak pada mereka. Konten subversif dalam Kitab Suci ini seringkali direpresi dengan pengerangkaan figur dan karya nabi sebagai penunjuk pada Kristus, Juruselamat yang akan datang. Kritik tajam para nabi atas ketidakadilan sosial di Israel dan Yehuda lalu dianggap sebagai bukti ketidakberdayaan manusia membangun peradabannya karena kerusakan parah akibat dosa turunan dari Adam, sehingga solusi yang diajukan atas permasalahanpermasalahan yang para nabi ini ungkapkan adalah iman kepada Juruselamat yang akan datang, yang akan membawa orang yang percaya menikmati surga. Lain ceritanya jika kisah keluaran ditangkap sebagai pusat iman Israel dan titik berangkat kelanjutan tradisi ini. Dipandang dari sudut ini, Allahnya Israel jadi ternyata v



sebagai Allah yang berpihak pada mereka yang tertindas, mendengar jeritan para budak di Mesir, dan tidak tinggal diam (bdk. Kel. 2:23-24). Ia berbagian dalam proses pembebasan dari perbudakan serta proyek pembangunan tatanan masyarakat baru yang berkeadilan. Dari gambaran tentang Allah yang demikian, menjadi jelaslah mengapa para nabi gencar melancarkan kritik-kritik sosial. Meminjam penjelasan filsuf Yahudi, Abraham Joshua Heschel, para nabi adalah individu-individu yang menghayati pathos ilahi. Kepekaan mereka atas kejahatan demi kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat namun dianggap normal oleh narasi yang dominan pada masanya merefleksikan perhatian dan keterlibatan Allah dalam sejarah. Dengan retorika yang vulgar dan eksplosif, suara mereka menjadi pengingat bahwa Allahnya Israel mendengar jeritan rakyat tertindas dan tidak tinggal diam.1 Yesus pun bisa dikategorikan sebagai salah satu penerus tradisi ini, ketika sorotan ditujukan pada ‘Manifesto Nazaret’ yang Ia serukan di awal pelayanan, ucapanucapan celaka yang ia lontarkan, ataupun pewartaan dan karya-Nya secara keseluruhan: Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orangorang buta, untuk membebaskan orang-orang yang



1



Cf. Abraham Joshua Heschel, The Prophets (New York: Perennial, 2001), 29, 297-8.



vi



tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. (Luk. 4:18-19) Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. (Luk. 6:24-25) Meski penelusuran sosok Yesus Sejarah amatlah rumit, kalau bukan bisa dibilang mustahil untuk mencapai gambaran yang cukup besar sekaligus bisa disepakati bersama setelah berabad-abad diperdebatkan panjang lebar oleh para ahli studi Perjanjian Baru dan sejarawan abad pertama, catatan tentang Yesus yang mati disalib oleh pemerintah Romawi dan berkonflik tajam dengan para petinggi institusi agama di masanya akan selalu menghantui kontestasi kekuasaan di ranah politik dan agama, serta membuka kemungkinan pembacaan yang subversif. Untuk siapakah hukuman salib dalam konteks pemerintahan Romawi di masa itu ditujukan, dan mengapa Yesus bisa sampai disalib? Minat terhadap tradisi profetik ini pada satu titik menghubungkan saya dengan sosok Wiji Thukul. Penyair legendaris yang hingga kini keberadaannya masih menjadi tanda tanya ini begitu mengingatkan saya pada gambaran tentang nabi-nabi dalam Alkitab. Syair-syairnya bagaikan rekontekstualisasi ujaran-ujaran profetik di Alkitab dalam konteks Indonesia zaman Soeharto. Puisi-puisi seperti ‘Supar’, ‘Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu’, ‘Peringatan’, dan banyak lagi yang lain, begitu menyengat sewaktu vii



dibaca, menyentak semangat berlawan.



kesadaran



dan



menggerakkan



Pengalaman berkesan waktu membaca syair-syair Thukul ini pulalah yang antara lain memberi saya inspirasi untuk menggubah puisi sendiri. Soeharto sudah dikubur dan Orde Baru secara resmi telah berlalu, namun proses neoliberalisasi yang semakin gencar di era Reformasi juga melahirkan pengalaman-pengalaman ketertindasan yang tidak kalah brutalnya. Kalau di zaman Orde Baru ada Marsinah, di era Nawacita ada Salim Kancil dan Porro Dukka. Di zaman Soeharto ada kasus Kedung Ombo, sementara kini Kulon Progo. Nama-nama ini pun hanya perwakilan, karena ada begitu banyak contoh kasus lain yang juga layak disebutkan. Ketika proses akumulasi kapital digenjot kencang, sudah tentu yang mengikuti adalah eksploitasi habis-habisan bagi kaum buruh dan berbagai macam perampasan ruang hidup, terutama bagi mereka yang posisinya di wilayah periferi. Perkenalan dengan Yasuo Huang, teolog muda berbakat yang penuh dengan antusiasme untuk belajar dan kegelisahan melihat ketidakadilan, memastikan aspirasi tadi tidak berhenti sebagai angan-angan. Yasuo rajin menulis, berinisiatif tinggi, cepat belajar, dan berani mengeksplorasi pemikiran serta mempertahankan posisi. Keterlibatannya dalam Kristen Hijau adalah suntikan segar bagi saya dan juga kawan-kawan lainnya. Selain kumpulan puisi dalam buku ini, ia juga telah menerbitkan beberapa tulisan di jurnal-jurnal teologi nasional dan telah menyelesaikan novel pertamanya. Dari sekian macam proyek bersama yang kami gagas, akhirnya kumpulan puisi-lah yang kami pilih sebagai output pertama. viii



Secara total ada empat puluh puisi yang dipresentasikan dalam buku ini, diurut berdasarkan abjad judulnya. Saya menyumbang dua puluh, demikian pula Yasuo. Angka empat puluh ini punya arti penting dalam tradisi Kristen. Menurut cerita Alkitab, selama empat puluh tahun bangsa Israel mengembara di padang pasir sebelum mencapai tanah perjanjian, dan selama empat puluh hari Yesus berpuasa dan dicobai Iblis sebelum memulai pelayanan-Nya. Di gereja-gereja yang menjalankan masa Prapaskah, selama kurang lebih empat puluh hari pula praktik berpantang atau puasa dijalankan. Baik pengembaraan Israel di padang gurun, puasa dan pencobaan yang dialami Yesus, hingga praktik Prapaskah, merujuk pada proses perjalanan menuju suatu kenyataan yang baru. Ini pula yang menjadi harapan kami ketika menyusun buku ini. Dalam proses penyusunan puisi-puisi ini saya sendiri terus belajar dan mengupayakan perbaikan gaya penulisan. Sewaktu buku ini disusun, lima puisi lain yang saya buat tengah menjalani proses review di IndoProgress. Kawan Windu Jusuf banyak memberi masukan penting untuk naskah tersebut, dan membagikan pelajaran berharga tentang penulisan puisi. Berbekal masukannya, saya coba memoles kembali puisi-puisi yang sudah digubah sebelumnya, meski tetap saja saya sadari betul kelemahan di sana-sini dalam versi akhirnya yang ditampilkan di buku ini. Saya anggap saja ini semua sebagai bagian dari eksperimen. Jika di antara keduapuluh puisi ini ada satu atau dua saja yang menancapkan kesan di hati pembaca, saya sudah teramat berbahagia. ix



Mengingat pendeknya jumlah halaman serta kesulitan-kesulitan yang terkait dengan karantina karena pandemi Corona, kami berdua akhirnya memutuskan untuk merilis buku ini dalam format elektronik yang dapat diakses secara cuma-cuma. Format ini kami harap bisa memudahkan akses pembaca di masa sulit ini, dan menjangkau lebih banyak orang. Pada waktu pengantar ini dibuat, ada sekitar seratus enam puluh orang yang sudah memesan buku kami lewat akun-akun media sosial kami berdua, dua hari setelah diumumkan rencana rilisnya. Seandainya diterbitkan dalam format cetak dan berbayar, kami sungguh yakin peminatnya tidak bakal sebanyak ini. Ada kawan yang mengusulkan agar kami menuliskan nomor rekening seandainya ada yang mau memberikan apresiasi, dan juga ada yang menyatakan kesiapan untuk membeli seandainya dibuat berbayar. Namun kami sepakat bahwa untuk kesempatan kali ini, biarlah karya sederhana ini disebar gratis alias cuma-cuma. Sekiranya dari antara sekian pembaca ada yang merasakan manfaat dari buku ini, apresiasi dapat diberikan dengan membagikannya kepada lebih banyak orang lagi, lewat akun-akun media sosial ataupun grup-grup whatsapp. Agar persebaran dan komentarnya di media sosial bisa kami amati, silakan gunakan #puisipembebasan, jika berkenan. Akhirnya, kami ucapkan terima kasih untuk pembaca yang sudah mau meluangkan waktunya untuk membaca puisipuisi kami ini. Dalam segala keterbatasannya, semoga karya sederhana ini dapat menyumbangkan manfaat.



x



Yasuo T. Huang



Belakangan ini, saya tertarik dengan dunia kesusastraan. Perkenalan diawali saat saya membaca Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Lambat laun dari sana saya mengetahui untuk pertama kali: Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang membuat saya begitu terpukau dan terinspirasi dengan sepak terjangnya. Lekra adalah sebuah organisasi kebudayaan yang tidak pernah saya tahu seumur hidup sampai dengan beberapa bulan lalu. Melalui kerja-kerja kesusastraan, perjuangan Lekra ditujukan untuk melawan kapitalisme dan membangun bumi Indonesia tanpa penghisapan manusia atas manusia. Pandangan saya akan sastra menjadi lebih luas. Sebelumnya saya anggap sastra adalah urusan eksklusif sastrawan pembuat karya-karya yang tidak bisa dimengerti oleh banyak orang. Semakin abstrak dan semakin mengawang-awang suatu karya sastra seakanakan menunjukkan semakin tinggi kualitas karya sastra tersebut. Selain itu, konten dari karya-karya yang beredar seringkali mengagungkan individualisme dan romantika percintaan. Jarang saya temukan karya yang menyuarakan nasib kelas pekerja yang diperas habis-habisan oleh kelas borjuis dalam sistem kapitalisme global. Dalam konteks xi



inilah Lekra menjadi unik karena karya-karyanya berfokus untuk “menjebol dan membangun”, yakni melawan imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme, dan berpartisipasi dalam pembangunan bangsa Indonesia sesuai dengan garis politik yang mereka anut. Berpuisi adalah salah satu dari sekian upaya yang dilakukan Lekra di samping film, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, dan musik, yang antara lain ditujukan untuk mengkritik habishabisan ketidakdilan sosial yang menyengsarakan rakyat. Sayangnya, Lekra sudah dihabisi puluhan tahun lalu bersama dengan organisasi-organisasi progresif lainnya. Puisi-puisinya tidak seramai tatkala masih berjaya mengisi panggung kebudayaan Indonesia. Selepas Lekra dicabut dari negeri ini, wajah kesusastraan Indonesia didominasi semangat humanisme universal yang leluasa menancapkan kukunya. Tidak heran kalau hari ini individualisme dan pendambaan kebebasan sebebasbebasnya yang sebenarnya semu menjadi begitu pekat mewarnai kesusastraan Indonesia. Namun demikian, semangat perjuangan yang direpresentasikan oleh badan kebudayaan progresif ini tidak bisa dipadamkan sekalipun dengan represi, persekusi brutal, memori dan stigma negatif yang diwariskan rezim pemerintahan Orde Baru. Wiji Thukul adalah salah satu contoh penyair radikal pasca 1965. Selain itu, ada Toto Muryanto yang getol menulis puisi di laman akun facebook yang juga berpihak pada rakyat dan mengkritik semua anasir berbau kapitalisme. Mereka berasal dari rakyat, membuat puisi untuk perjuangan rakyat pekerja. Merekalah penyemangat saya dalam menciptakan puisi progresif. xii



Saya tidak menganggap diri sebagai seorang sastrawan. Latar belakang pendidikan saya adalah teologi. Sebagian orang mungkin mengernyitkan dahi ketika mendengar seseorang yang menghabiskan waktu dengan membaca teks-teks teologis, justru menggarap antologi puisi. Lantas mengapa menghasilkan antologi puisi dan bukannya karya ilmiah teologis? Saya percaya bahwa puisi adalah medium amat kuat untuk menyampaikan pesan secara implisit. Ekspresi tersirat seringkali menggema lebih lama dalam pikiran manusia. Saya pikir teologi dan puisi adalah kombinasi yang akan berdengung keras dalam pikiran rakyat, membangkitkan kesadaran kelas, dan mendorong terjadinya perubahan struktural masyarakat. Pikiran saya terusik dengan pertunjukan ketidakadilan dalam masyarakat. Jika Lekra dan kerjakerja kebudayaannya, terutama dalam bidang kesusastraan, telah menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat tertindas, bagaimana dengan teologi? Akankah berada di kubu yang sama? Untuk itulah kumpulan puisi ini dibuat. Bahwa teologi seringkali menjadi urusan para teolog yang hidup dalam dunianya sendiri bukanlah rahasia lagi. Sebagian teolog hidup dalam kotak yang mereka bangun sendiri dan terpisah dari pergulatan sosial. Menara gading harus dirubuhkan. Dengan berpuisi, pesan teologis dapat disampaikan kepada pembaca yang lebih luas, dan yang terlebih penting adalah: melesat tepat di jantung rakyat kebanyakan. Puisi dalam buku ini bermuatan teologis. Selain karena penulisnya bergiat dalam dunia teologi, cengkeraman kapitalisme yang belum berakhir sampai sekarang tidak lepas dari peran teologi yang menopang xiii



struktur tersebut lewat legitimasi. Dengan mengutip bagian-bagian tertentu dalam Alkitab), misalnya Roma 13 dan 1 Petrus 2, gagasan-gagasan untuk tunduk kepada pemerintah sebagai wakil Allah di dunia berjamuran di kalangan kekristenan. Saya percaya bahwa tidak ada yang namanya netral di dunia ini. Diakui atau tidak, semua berpihak. Bermain-main di ranah kenetralan semu sebenarnya merupakan demonstrasi keengganan untuk mengubah keadaan yang sesungguhnya memperpanjang napas status quo yang menguntungkan kelas tertentu. Inilah saatnya teologi berpihak pada rakyat. Dan penulisan puisi adalah sebuah langkah kecil untuk mengekspresikannya. Sebenarnya saya sudah lama mendengar nama Daniel Sihombing sebagai teolog “kawakan” yang menempuh jalan berbeda dari kebanyakan teologrohaniwan lainnya di Indonesia. Karena resah dengan ketimpangan sosial yang begitu gamblang namun kebanyakan gereja duduk manis dan berpangku tangan, saya mencoba berdiskusi dengannya. Keresahan yang berputar-putar dalam benak, saya temukan juga dalam dirinya. Ini membuat minat saya semakin besar untuk mencari tahu lebih banyak tentang ilmu yang selama ini dilarang di negeri +62. Kesamaan cita-cita kami untuk berpartisipasi dalam pembangunan dunia baru menyuntikkan tenaga besar bagi saya untuk menempuh jalan sunyi ini. Dan ketika mencoba untuk meniti pilihan serupa dan terbenam di dalamnya, saya menyadari bahwa dia cukup berani untuk melawan arus utama yang begitu deras alirannya dalam peta kekristenan di Indonesia. xiv



Sebagai anak zaman, kami harus menyuarakan kritik atas kegilaan zaman. Berhubung saya dan Daniel sama nekatnya, munculah kumpulan puisi ini, meski kami bukanlah sastrawan. Karena itu, masukan dan diskusi dari khalayak pembaca sungguh dinantikan guna meningkatkan kualitas karya puisi kami ke depannya. Saya tutup pengantar ini dengan sebuah puisi dari Njoto, salah satu pendiri Lekra: Revolusimu revolusi kami Revolusimu revolusi kita Revolusi dunia



xv



1, 2, 3, 4 kita bukan manusia, kita cuma angka ditambah, dikurang, dikali, dibagi bikin pening tapi bikin untung kenapa jumlah pengunjung berkurang? ananta melihat sekelilingnya dia tidak sedang berada di pusat perbelanjaan dia tengok ke kiri lalu ke kanan kitab suci bertebaran di mana-mana ananta memegang pensil dan menulis: 5, 6, 7, 8 YH



1



dulu banyak pemuda berkoar-koar tentang keadilan sekarang sudah hilang ditelan asap memang tanpa metode revolusioner bagai rumah berfondasi pasir hanyut diseret ganasnya ombak kemudian, sama asin dengan samudra YH



2



udara dingin menusuk tulang lewat tengah malam, anjing pun diam langit-langit kamar begitu tenang mata tak juga terpejam bara di dada hangatkan badan di sanubari melantun nyanyian bangunlah kaum yang tertindas bangunlah kaum yang lapar DS



3



hari Minggu pergi ke gereja ajak kawan-kawan dari Papua ternyata aku lupa Agustus nama bulannya jalan-jalan penuh bendera merdeka! merdeka! terbaca jelas tanpa kacamata tak kalah meriah gedung gereja mainkan pula lagu wajibnya kami pun bertatap muka ingat nyanyian di jalan raya bukan merah putih, tapi bintang kejora DS



4



baju rapi licin disetrika wangi parfum tambahkan pesona duduk manis di bangunan suci sepenuh hati siap bernyanyi ‘semua baik adanya’ terdengar lagi kesekian kalinya ganggu kesehatan jiwa disonansi bikin resah memori kelam bangkitkan gelisah ingatan melayang pada mereka yang disesah coba katakan pada jenazah Marsinah! lembaran syair tergeletak depan mata tertulis si kaya di istana, si miskin di pintu gerbangnya Tuhan ciptakan semua dengan indahnya DS



5



konon yang berpihak pada buruh dibuang ke Digul dibuang ke Pulau Buru diburu-buru sepi diburu-buru maut mampus! sekarang tak ada yang membela kepincut takhta! buruh ditinggalkan di mesin-mesin penghisap buruh tak butuh mereka buruh butuh ilmu dan lautan buruh guna menghapus air mata yang menyeberangi pipimu seluas sabana waktunya buruh menggugah dan menggugat! YH



6



pada anakku aku akan bercerita tentang negara yang rakyatnya beragama tiap hari rajin berdoa pada anakku aku akan bercerita di tanah ini mengucur deras air mata penindasan merajalela pada anakku aku akan bercerita tentang keringat yang dihisap bumi Utara beserta kekayaan alamnya pada anakku aku akan bercerita tentang surga di dunia miliknya rakyat pekerja DS



7



Untuk Marsinah mereka pandai menginterpretasi kitab suci sayangnya mereka gagu di hadapan kenyataan mereka berjualan kasih ilahi setiap minggu pembeli datang berbondong-bondong pulang dengan segudang ayat justifikasi banyak yang berharap dan bertanya-tanya kapan dunia baru tiba? sekarang! sekarang! bukan diberi, tapi diciptakan bersama-sama bersama-sama lantas mereka berteriak dari kotak itu mana ayatnya? semoga Tuhan menghukum para penyesat mereka berdoa baik-baik seorang perempuan pembuat arloji duduk di sana tangannya terkepal keras dan bergumam: "mereka adalah ilalang jalan pembebasan!" YH



8



profit anti rakyat rakyat anti profit profit bikin gawat bikin melarat dunia galat karena profit bukan rakyat YH



9



gereja ada di mana? Tanyaku di mana-mana, kata mereka gerutulah aku dia tidak ada ngibul kamu! hanya menara, hampa, tak bergema YH



10



mereka bilang golput tak cinta rakyat tak peduli orang banyak relakan negeri pada penjahat mereka bilang golput isinya pelaknat warga negara mestinya taat jangan cuma tuntut aparat! mereka bilang golput cuma bisa menggugat kecuali protes, tak ada yang diperbuat tapi coba lihat yang kau bilang penjahat kini pejabat tapi coba lihat yang kau puja cuma alat DS



11



aku punya guru lewat tulisan kami sama tanggal kelahiran di Paris sebarkan pemahaman namanya melejit waktu protes ’68 kata orang Paris surga pemikiran belum kuliah, filsafat masuk ujian Revolusi Prancis berontak dari kekangan sekularisasi tuntut kemandirian lain cerita di negeri penuh pembredelan belum baca sudah dibayangi hukuman! diskusi dilarang, pembodohan dibudayakan takhayul dipelihara, kapan disingkirkan? era informasi buka akses pembelajaran bisa baca guru berpesan soroti kerja ideologi lihat proses reproduksi relasi temukan retakan karena kontradiksi di situ perjuangan kelas terekspresi DS



12



berapa lama lagi, ya Tuhan? rakyatmu harus tanggung kuk penderitaan di mana-mana aniaya dan kekerasan sudah terbalik keadilan! nabi penuh keluhan matanya terus lihat kelaliman kakinya injak tanah penindasan di mana pertolongan Tuhan? lain ladang, lain ilalang dari mimbar kudengar himbauan pasrahkan pada kedaulatan! semua sudah diatur Tuhan DS



13



23 Mei satu abad berlalu pertama di Asia pada waktu itu! rakyat tertindas sambut kelahiranmu kolonial gemetar mendengar namamu ingat Meneer berlabuh gendong teori teteskan tinta demi revolusi pidato 9 jam bakar nyali jelata di Jawa siap berdikari kadermu paksakan Proklamasi massamu jutaan buruh petani demagog dijegal kau dihabisi hingga kini didemonisasi namanya hantu tak bisa dibunuh lagi gentayangan selama masih ada eksploitasi pandemi Corona bikin resesi awas, yang mati bisa bangkit lagi! DS



14



di sekolah kita dibiasakan berkompetisi dipersiapkan jadi tumbal akumulasi dari biologi sampai akuntansi otak diperas dipaksa ahli neoliberalisasi dorong semangat teknokrasi yang penting jadi! bukan refleksi ruang kelas serasa bui makin sempit ruang eksplorasi kini hibah harga mati humaniora siap gantung diri apa beda dengan mega-industri? isinya juga eksploitasi awas, rentan overproduksi! DS



15



baca buku di perpustakaan dingin, nyaman enak buat tidur pula keseharian bertuhan rutinitas menalar Tuhan hidup bermoral, mengejar kesalehan apa lacur pikiran tumpul hati makin degil tak mampu mendengar jeritan, teriakan begitu keras tanpa suara di balik tembok, sejengkal jaraknya YH



16



Minggu siang biasanya jalan-jalan di gereja cekakakan hati senang bertemu handai taulan karantina bikin jadi rumahan sehari-hari kerjanya internetan lama-lama jago bikin masakan banyak orang mengeluh bosan apa yang mau dikerjakan? jutaan orang di-PHK pekerja medis lembur kerja sudah untung masih bisa makan! DS



17



kata-kata memang sudah mati tapi dia bangkit pada hari ketiga lantas dia menetap di bumi tak terburu-buru naik ke sorga kata-kata adalah peluru puisi adalah senapan pena adalah pelatuk realita adalah target tatanan masyarakat baru adalah cita-cita YH



18



sadarkah kaum muda? di dalam dada kalian gejolak hebat menggelegak mengangkangi tsunami melampaui batas dan tradisi menyeret mereka ke perapian tak menyerah pada realita kalian ciptakan yang baru! bayangkan jika kalian bersatu padu di manakah penindasan mampu bersembunyi? YH



19



kulihat orang-orang rapi berdasi berkerumun di tempat suci kudengar pertanyaan dipungkasi jawaban ini kehendak Tuhan mengapa pergi kekasih hati? mengapa diizinkan terjadi? ini kehendak Tuhan mengapa sakit tubuh ini? dosa apa yang sebabkan pedih ini? ini kehendak Tuhan mengapa timpang bumi manusia? foya-foya di Utara, keringat darah di Selatan ini kehendak Tuhan mengapa sengsara buruh dan petani? hidup dieksploitasi, kadang dibunuh mati ini kehendak Tuhan mengapa dia yang menjawab pertanyaan? siapa yang memberikan wewenang? ini kehendak Tuhan DS



20



aku melihat seorang perempuan tua kisut wajahnya, kusut semangatnya kasak-kusuk segera datang menyerbu bikin rusak telingaku bikin kernyit pula di sana orang amat khusyuk entah murni atau tradisi menunduk-nunduk kepada yang tak kasatmata di sana orang amat khusyuk menyeruak dari hati sibuk bergunjing sepasang kaki tak berselop YH



21



pagi itu para perempuan terkejut bukan karena lupa mengangkat jemuran keburu hujan tapi karena kebangkitan Kristus dia bangkit! memecah keheningan dunia pax romana di zaman Romawi rust en orde khas kolonial Belanda “jangan bikin bapak marah” di era bapakisme dan UU ITE di era giat bekerja kebangkitan Kristus menandakan suatu kebaruan pembangunan dunia baru bukan mimpi siang bolong tapi mimpi buruk untuk mereka yang tak pernah kapok menghisap sesamanya YH



22



nasimu dimakan! dia nangis kalau tak habis teriak suara dari dapur nasi itu memang tak mati ia hidup ia mengandung keluh dan peluh lantas kau buang di kakusmu yang berkilauan jauh di sana dengan bermandikan keringat memegang arit mereka bertanya makan apa siang ini? YH



23



sayup-sayup terdengar: “dambakanlah Allah” dari semula semua sudah ditetapkan baik adanya begitu berisik mencium kuping lara lupa dengan problem dunia ini terstruktur, sistematis, masif, destruktif! sedang ayahnya baru diceraikan dari tanahnya untuk tambang emas yang berkilauan ayahnya hanyalah bintitan di kelopak mata bisanya mengganggu penglihatan belaka dan keset selamat datang boleh diinjak-injak sesukanya derasnya hujan menemani tangisan Lara suka sekali katanya kenapa? Aku bertanya terheran-heran gemuruh air berjatuhan menyelimuti raunganku seraya tangan kirinya terkepal keras-keras YH



24



apa jadinya kalau hati ini dibakar oleh Roh Suci kalau jiwa ini digugah oleh nyanyian anak dara digerakkan oleh Dia yang meninggikan orang-orang rendah dan menurunkan mereka yang berkuasa dari takhtanya tulang-tulang Yeremia tak sanggup menahannya Pramoedya kutip di Rumah Kaca ayat di Injil Lukas begitu berkuasa terucapnya dari mulut Bunda Maria Santa Maria penuh rahmat doakanlah kami yang berdosa ini bukan waktu kami mati! tapi kini, di zamannya perang suci banyak orang jadi korban hegemoni tak lihat sistem begitu keji sekarang terbuka akses informasi Marsinah masih tertinggal dalam sepi berapa banyak lagi harus mati demi puaskan birahi akumulasi semuanya jadi objek investasi hidup hanya untuk mengabdi pilih Allah atau Mammon! tantang teks dalam kanon jawabannya hanya satu kuharap Magnificat jadi lagumu DS



25



8 Mei waktunya mengingat Marsinah hari itu tubuhnya ditemukan di pematang sawah kemaluan ditembak, sisanya jadi jenazah perempuan berani, yakin tak bersalah organisir pekerja, tuntut kenaikan upah hadapi pengusaha dan tentara, tak ragu berbantah Marsinah adalah saksi atas rezim bedebah antek pemodal pasti berat sebelah pertentangan kelas adalah benang merah kapital butuh kerja tercurah bagai sapi buruh diperah berani melawan, aparat melangkah biar lumrah, undang pengkhotbah! ingat Marsinah bikin hati jadi resah ini memang cerita berdarah Marsinah mati, namun hidup dalam kenangan sejarah penerusnya berjuang songsong fajar merekah DS



26



aku ini montir aksara huruf kubongkar-pasang jadi kata syukur-syukur akhirannya ber-rima lewat kata-kata kupotret peristiwa relasi internal kulukiskan biar kasat mata tafsir utopia, proyeksikan asa fisik binaraga tak kupunya menu makan pun biasa tapi jangan remehkan pukulan kata kumpulan aksara bisa gentarkan penguasa dari Wiji Thukul hingga Pramoedya Indonesia kaya montir aksara rezim Orba hilangkan yang pertama puisinya tak lekang di hati massa DS



27



di Nazaret kudengar manifesto bak gemuruh kencang goyang kebiasaan di Nazaret kudengar manifesto bikin pemuka agama jempalitan di Nazaret kudengar manifesto pembebasan dikhotbahkan di mimbar di Nazaret kudengar manifesto hingga kini terus berkumandang di Nazaret kudengar manifesto rakyat tertindas masih tertawan DS



28



kata-kata sudah mati dan kita membunuhnya dan kita menikmatinya ilmu sudah mati dan kita membunuhnya dan kita menikmatinya ilmu dan kata-kata untuk mempertanyakan kenyataan, nyatanya? YH



29



rasul hebat terkenal militan gugat kekaisaran penuh pasukan hikmat Kristus! bukan penguasa rangkul salib, meski dihina tanpa ragu siarkan kebangkitan Injil terus diberitakan seluruh ciptaan nantikan pembebasan! tapi hari itu masanya pencoblosan Paulus disebut ajarkan ketaatan DS



30



kemarin kawanku berpesan, pena itu lebih tajam dari senjata tak bisa kau bungkam kata-kata sekali digoreskan, jadi bernyawa dulu di hutan Bolivia terdengar teriak Ernesto Guevara ‘Tembak saja diriku!’, katanya yang kaubunuh cuma manusia bukan gagasannya sejarah adalah saksinya makin dipenjara makin dibaca Pramoedya jadi penulis dunia padahal terasing di negerinya tulislah kata-kata! lawan penguasa bongkar tipu-daya sebar ke rakyat pekerja DS



31



proletar aku lihat tubuhmu sekejap kutersadar itulah diriku YH



32



Fidel Castro jago pidato karisma supremo pukau massa sejak Movimiento Fidel Castro sahabat Frei Betto yang terakhir romo satunya lagi revolucionario gulingkan Fulgencio bersama Ernesto dokter muda argentino kompatriot Diego Fidel Castro sekutu Soekarno ganyang colonialismo e imperialismo del mundo Fidel Castro kini extranjero lupa ‘Viva Ganefo’ mangsa neoliberalismo DS



33



Indonesia memang sudah merdeka tapi mental budak masih merajalela yang abal-abal mendatangkan laba kebohongan disulap menjadi kebenaran banyak pula yang kegirangan merangkak-rangkak guna menjabat kebal ditindas, wajar katanya tak apa-apa di sorga kelak ada penantian tiba-tiba, sungguh tiba-tiba kucari-cari obat sakit kepala YH



34



aku duduk di sebuah kursi panjang lebih panjang dari kursi warung aku harus menatap ke depan konon Allah berbicara dari tempat itu tapi yang kudengar sepanjang tahun hanya dentuman moral tak mati-mati dadaku sesak leherku tercekik kepalaku diinjak-injak kupikir aku tamat aku salah! tapi mereka mereka yang terasing dalam deru bising mesin pembuat kursi YH



35



ada suara terdengar dari sebuah manifesto yang menghantui Eropa lantas seluruh dunia hingga kini membuat bulu roma bergidik jantung berdegup kencang keringat dingin mengucur deras sekaligus mengeraskan tekad menghancurkan dunia lama membangun dunia baru suara pembebasan menjadi panduan: “kaum buruh sedunia, bersatulah!” YH



36



bangun pagi tak langsung mandi inginnya menulis puisi tiap hari lihat eksploitasi gara-gara moda produksi buruh teralienasi tanah rakyat diekspropriasi akumulasi, akumulasi, akumulasi ini hukum besi kompetisi! penggusuran harga mati yang penting kelancaran investasi menolak digusur malah masuk bui ada yang ditembak mati kudengar teriakan dalam hati, dunia macam apa ini? DS



37



di bawah modal semua manusia setara sesama pekerja tak peduli kau pakai kerah putih atau biru tak peduli bahawanmu jeans atau kain selama di bawah modal semua manusia sama sesama pekerja “aku lulusan luar negeri” “aku seorang profesor” dan sejuta bentuk kesadaran palsu serupa di bawah modal seorang profesor tak ubahnya buruh yang melinting ribuan puntung rokok tiap hari di bawah modal tidak ada diskriminasi karena mereka yang menerima upah adalah pekerja lalu kau bertanya: “apa yang salah?” YH



38



kulihat di masa Corona pasukan menyerbu tanpa senjata melayang jauh hingga penjuru dunia ternyata dokter, bukan tentara dokter Kuba penerus Che Guevara bangun surganya rakyat jelata akses kesehatan untuk semua siap terjun ke lokasi bencana siapa peduli wabah di Afrika sudah terbukti dalam kasus Ebola solidaritas merambah ke Asia ingat tsunami Aceh dan gempa Jogja hebat pula soal reforma agraria tanah untuk pekerja! bukan tuan-tuannya tepati janji waktu gerilya ribuan hektar warisan Comandante juga kena wajar imperialis sebarkan propaganda ingat fungsi Havana di zaman Batista bertahan lama sudah luar biasa diembargo Amerika malah terangi dunia tiba-tiba kuteringat Indonesia dan cita-cita yang kandas karena kudeta DS



39



ketidakadilan penghisapan penindasan atas nama Tuhan! seenaknya telanjang menari-nari oh, Tuan dan Puan sekalian seenaknya berkanjang dalam mimpi! YH



40



Daniel Sihombing menempuh pendidikan formalnya di bidang teologi Kristen. Kini tengah mengerjakan revisi akhir disertasi doktoralnya di Protestant Theological University, Netherlands. Selain berusaha mencari nafkah untuk memperpanjang nafas, memimpin pembelajaran agama di gereja, dan berbagi tugas-tugas rumah tangga, ia juga terlibat sebagai anggota partai sosialis lokal, jaringan Kristen Hijau, dan tim editor IndoProgress. Yasuo T. Huang lahir di Surabaya pada September 1997. Ia adalah seorang mahasiswa teologi yang tertarik dengan kajian-kajian ekonomi-politik, sejarah, filsafat, dan sastra. Saat ini ia sedang berusaha menyelesaikan pendidikan teologi di Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung, Jakarta. Di sela-sela berbagai kegiatan, ia suka menulis.



41



PUISI



PEMBEBASAN