Raden Aria Wangsakara-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



i



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



SEJARAH PENDIRI TANGERANG



RADEN ARIA WANGSAKARA Imaduddin Utsman



ii



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Judul: Sejarah Pendiri Tangerang, Raden Aria Wangsakara Penulis: Imaduddin Utsman Cetakan 1, November 2018 Penerbit: Balai Adat Tangerang All right reserved Dilarang memperbanyak atau menyebarkan tanpa izin dari Penulis atau dari Balai Adat Tangerang



Balai Adat Ke-Aria-an Tangerang 2018



iii



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



KATA PENGANTAR Penulis awali tulisan ini dengan menyebut nama Allah Swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi-Nya Tuhan semesta alam. Solawat dan salam untuk kekasih-Nya yaitu nabi besar Muhammad saw. dan untuk para keluarga dan seluruh sohabatnya. Adapun setelah itu, maka apa yang penulis tulis dalam buku kecil ini sebagian besar penulis ambil dari naskah ”Pararimbon Ka-aria-an Parahiyang” yang dikumpulkan dan di susun oleh “Bale adat kaum parahiyang” yang diperintahkan oleh Kangjeng Aria Gerendeng tahun 1830 yaitu V.R.A. Idar Dilaga. Naskah ini kemudian disalin tahun 1960 oleh Muhammad Djawawi bin Tuan Haji Muhammad Junaidi, penghulu landraad Tangerang. Kemudian disalin lagi oleh R. Angkagiri Yasin bin R. H. Anwar Yasin tahun 1978. Namun penulis hanya mengambil kisah hidup Raden Aria Wangsakara dan keluarganya dari naskah ini, karena ada tulisan dari naskah ini bahwa salinan ini hanya boleh dimiliki oleh keturunan Aria Kabal atau Raden Aria Idar Dilaga, karena dalam naskah ini menceritakan pula tentang silsilah keturunan Aria Kabal dan keluarga. Maka penulis berkesimpulan yang tidak boleh disebar adalah yang khusus mengenai keluarga beliau. Karena Raden Aria Wangsakara telah menjadi milik seluruh masyarakat Tangerang, dan sejarah tentangnya masih sangat minim, bahkan banyak yang menulis tapi tidak berdasarkan data sejarah, maka “Pararimbon Ka-aria-an Parahiyang” merupakan satu-satunya naskah yang bisa dipertanggungjawabkan mengenai sejarah hidup beliau sampai ditemukan data yang lebih tua. Apalagi kebetulan ‘dagh register’ Belanda di ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) di tahun-tahun hidup Raden Aria Wangsakara belum ditemukan. Terimakasih Penulis sampaikan kepada keluarga Raden Anwar Yasin terutama R. Angkagiri Yasin dan R. Haris Asadullah Yasin (Kang Bayu) yang telah mengizinkan Kami menulis sejarah penting ini. Terimakasih pula kepada Ketua Balai Adat Tangerang, H. Ali Taba Akifin, yang telah membantu berbagai informasi yang diperlukan. Semoga buku kecil ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. Tangerang, 23 November 2018 Imaduddin Utsman



iv



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



DAFTAR ISI Hal ii iii iv vi



JUDUL BUKU PENERBIT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I



RADEN ARIA WANGSAKARA HIJRAH KE BANTEN



Raden Aria Wangkara............................................................................ Situasi Politik Kerajaan Sumedang Larang Tahun 1620-1629.................................................................................... Sumedang Larang Setelah Wafatnya Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata I..................................................................................... Raden Aria Wangsakara Tiba di Banten................................................ Menempati Tanah Peninggalan Pucuk Umun......................................... Tumenggung Suradita............................................................................ Kadu Agung Tigaraksa........................................................................... BAB II



1 1 2 3 4 5 5



PERISTIWA-PERISTIWA DARI TAHUN 1632-1654



Pangeran Suriadiwangsa II Menyerang Sumedang Larang Tahun 1632.............................................................................................. 7 Pangeran Suriadiwangsa II Wafat di Batavia 1633................................. 8 Raden Aria Wangsakara Membuka Lengkong Tahun 1633................... 9 Tumenggung Kuridilaga Datang Di lengkong Tahun 1637................... 9 Raden Aria Wangsakara dan Raden Aria Santika Pergi Ke Makkah 1636........................................................................................ 10 Raden Aria Wangsakara Pulang Dari Makkah 1638............................. 12 Raden Aria Wangsakara di Beri Gelar Imam Tahun 1651.................... 13 Tumenggung Kidang dan Tumenggung Purba Prabangsa Datang ke Lengkong 1652.................................................................................. 13 Kompeni Datang di Sebelah Timur Cisadane 1652.............................. 13 Raden Aria Raksanagara Melapor Kepada Sultan Agung Tirtayasa 1654...................................................................................... 14 Keariaan Tangerang Siap Perang melawan Kompeni Belanda 1654............................................................................................14 Pertempuran Meletus Antara Tangerang dan Kompeni 1654................. 14 Raden Aria Wangsakara Menjadi Aria Tangerang 1654....................... 15 BAB III



KE-ARIAAN-TANGERANG PASCA TUGU TANGERANG



Perang Kesulthanan Banten melawan Kompeni 1658.......................... 17 Formasi Perang Manuk Dadali Raden Aria Wangsakara dan Senapati Ingalaga.............................................................................. 19 Gencatan Senjata 1659.......................................................................... 20 Raden Aria Wangsakara Mengumpulakan Para Yatim dan Janda Korban Perang............................................................................. 20 Raden Aria Wangsakara Menyerahkan Ke-aria-an kepada Raden Aria Yudanegara 1666................................................................. 21 Pembesar dari Tatar Sunda Menghadap Raden Aria v



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA Wangskara 1678...................................................................................... 21 22 Raden Aria Wangsakara Siap Menyerang Sumedang 1678............ Sabda Sultan Agung Tirtayasa Untuk Menyelamatkan Sumedang 1678....................................................................................... 23 Raden Raksanegara Menghadap Kesulthanan Banten 1678.................... 23 Pasukan Tangerang –Banten Menuju Sumedang 1678........................... 24 Raden Rangga Gempol III Mengungsi ke Indramayu............................ 25 Banten Menguasai Sumedang 1678......................................................... 25 Sultan Agung Tirtayasa Mengucapkan Selamat Kepada Raden Aria Wangsakara..................................................................................... 25 Janji Setia Dua Saudara Tangerang-Sumedang...................................... 26 Raden Aria Wangsakara Wafat............................................................. 27 Kesultanan Banten di Adudomba Kompeni........................................... 27 Keluarga Tangerang Mendampingi Sultan Tirtayasa Sampai Titik Darah Penghabisan........................................................................ 28 BAB IV



SILSILAH RADEN ARIA WANGSAKARA



Dari Jalur Nalendra Prabu Geusan Ulun (Pangeran Angkawijaya)....................................................................... Silsilah Raden Aria Wangsakara dari Nyai Ratu Harisbaya.................. Silsilah Raden Aria Wangsakara dari Banten....................................... Keluarga Raden Aria Wangsakara......................................................... BAB V



29 29 29 30



PENUTUP



Selayang Pandang Penulis..................................................................... 31



vi



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



BAB I RADEN ARIA WANGSAKARA HIJRAH KE BANTEN Raden Aria Wangsakara Raden Aria Wangsakara memiliki nama-nama lain di antaranya: Raden Wangsaraja (penyebutan ‘raja’ dan ‘kara’ dibelakang namanya mempunyai satu makna yaitu ‘raja’); Raden Kenyep; Raden Lenyep; Raden Aji Narantaka; Imam Haji Wangsaraja; Raden Wiraraja II dan Aria Tangerang I. Situasi Politik Kerajaan Sumedang Larang Tahun 1620-1629 Situasi politik Kerajaan Sumedang Larang di bawah pemerintahan Pangeran Suriadiwangsa I (Pangeran Rangga Gempol I) bin Prabu Geusan Ulun tidak menentu. Mataram mengancam Sumedang untuk tunduk kepadanya atau kalau tidak akan mendapat serangan dari Mataram. Terjadilah perbedaan pendapat dikalangan pembesar Kerajaan Sumedang. Sebagian menerima perintah Mataram agar Sumedang bergabung di bawah Mataram dikarenakan secara hitungan militer tentu Sumedang bukan lawan Mataram. Namun sebagian lagi mengusulkan agar Sumedang meminta bantuan Banten untuk menghadapi Mataram. Di mana secara teritorial memang Sumedang berada di tengah antara dua kerajaan yang besar dan saling “bermusuhan”. Di antara yang menentang bergabungnya Sumedang Larang ke Mataram adalah Raden Aria Wangsakara, Raden Aria Suria Diwangsa II yang merupakan putra mahkota Sumedang, dan Aria Santika. Ketiga pemuda ini sangat menentang Kerajaan Sumedang bergabung dengan Mataram. Selain penggabungan ini menunjukan kelemahan dan pertanda kebesaran “Orang Sunda” dengan kerajaan Pajajarannya telah betul-betul hilang, di mana setelah hancurnya Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang di anggap sebagai pelanjut kerajaan Pajajaran, di sisi lain kalau toh harus bergabung untuk menyelamatkan Kerajaan Sumedang dari serangan Mataram, kenapa tidak bergabung dengan Kesultanan (Saat itu masih berupa kerajaan) Banten yang masih memiliki kekerabatan baik dari Pajajaran maupun dari Pangeran Suriadewangsa I sendiri yang merupakan menantu dari Kesultanan Banten. Walau begitu kuat penolakan dari para bangsawan, terutama dari kalangan muda, Pangeran Suriadiwangsa I akhirnya pada tahun 1620 memilih bergabung dengan Mataram. Ia datang ke Mataram dan mengikrarkan diri bahwa Sumedang Larang menjadi bagian dari Kerajaan Mataram. Sultan Agung 1



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Mataram menyambut baik kedatangan Pangeran Suriadiwangsa I. Kemudian wilayah Sumedang Larang di sebut wilayah “Prayangan” yang artinya “tulus ikhlas”, karena Sumedang ikhlas bergabung dengan Mataram tanpa peperangan. Dengan bergabungnya Sumedang maka niat Sultan Agung untuk menguasai Pulau Jawa semakin terbuka. Status Kerajaan Sumedang Larang-pun berubah menjadi “kabupatian wedana”, sebuah istilah untuk daerah setingkat kabupaten di bawah kekuasaan Mataram yang membawahi kabupaten lainnya yang dahulunya di bawah Sumedang Larang. Pangeran Suriadiwangsa kemudian diberi gelar Pangeran Adipati Rangga Gempol Kusumahdinata I. Para bangsawan muda yang di motori oleh Raden Aria Suriadiwangsa II (Raden Aria Kartajiwa) putra Pangeran Suriadiwangsa I, Raden Aria Wangsakara, dan Raden Aria Santika yang menolak bergabungnya Sumedang Larang ke Mataram tidak bisa berbuat banyak selain menunggu perkembangan selanjutnya. Ketiganya adalah cucu Prabu Geusan Ulun yang berdarah Banten. Pada tahun 1624 Sultan Agung Mataram memerintahkan Pangeran Adipati Rangga Gempol I untu menaklukan Sampang, Madura. Sengaja Sultan Agung memerintahkan Pangeran Rangga Gempol I untuk menyerang Madura karena ibunya yaitu Ratu Harisbaya adalah cucu dari penguasa Sampang pada masanya. Akhirnya peperangan dengan Sampang pun dapat dihindari setelah Pangeran Rangga Gempol dapat meyakinkan penguasa Sampang untuk bergabung dengan Mataram. Setelah keberhasilannya menaklukan Sampang, Pangeran Rangga Gempol kembali ke Mataram. Ia bersama pengikutnya tinggal untuk sementara di suatu kampung yang sekarang disebut “Kasumedangan”. Namun tidak berapa lama, masih dalam tahun 1624 atau tahun 1546 Saka Pangeran Rangga Gempol Kusumahdinata I diberitakan wafat tanpa sebab yang jelas. Ia di makamkan di Mataram di suatu tempat yang disebut “Lempuyangan Wangi”.



Sumedang Larang Kusumadinata I



Setelah



Wafatnya



Pangeran



Rangga



Gempol



Setelah wafatnya Pangeran Rangga Gempol Kusumahdinata I (Pangeran Suriadiwangsa I) tahun 1624, Mataram menyerahkan kekuasaan Sumedang Larang kepada adiknya yaitu Pangeran Rangga Gede. Antara Pangeran Rangga Gempol dan Pangeran Rangga Gede berbeda ibu. Pangeran Rangga Gempol 2



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



adalah anak Prabu Geusan Ulun dari isteri Nyai Ratu Harisbaya, sedangkan Pangeran Rangga Gede dari isteri Nyai Cukang Gedeng Waru. Adapun para sejarawan Sumedang kekinian yang menyatakan bahwa Pangeran Rangga Gempol Kusumahdinata I atau Pangeran Suriadiwangsa I sebagai anak tiri dari Prabu Geusan ulun adalah tidak berdasar data sejarah apapun, selain asumsi bahwa Prabu Geusan Ulun menikahi Nyai Ratu Harisbaya setelah menjadi janda dari Panembahan Girilaya Cirebon. Pernyataan aneh yang menyatakan ketika Nyai Ratu Harisbaya dicerai oleh Panembahan Girilaya dalam keadaan hamil, lalu langsung dinikahi Prabu Geusan Ulun adalah sama saja menganggap Prabu Geusan Ulun tidak mengerti ajaran Islam, di mana wanita hamil yang dicerai suaminya tidak boleh langsung dinikahi kecuali setelah melahirkan. Pengangkatan Pangeran Rangga Gede sebagai pengganti Pangeran Rangga Gempol menyulut ketidakpuasan sebagian para bangsawan Sumedang, terutama dari Pangeran Kartajiwa (Pangeran Suriadiwangsa II) yang merasa berhak menggantikan ayahnya sebagai penguasa Sumedang Larang Kulon. yang dulu telah dibagi dua. Pangeran Kartajiwa didukung sepupu-sepupunya yaitu cucu dari Prabu Geusan Ulun dari isteri Nyai Ratu Harisbaya. Sesuai wasiat dari Prabu Geusan Ulun bahwa nanti setelah ia wafat Kerajaan Sumedang akan dibagi dua dengan perbatasan sungai Citarum. Sebelah barat sungai Citarum untuk keturunan Nyai Ratu Harisbaya sedang untuk sebelah timur Citarum untuk keturunan Nyai Cukang Gedeng Waru. Dengan diangkatnya Pangeran Rangga Gede sebagai pangganti Pangeran Rangga Gempol berarti seluruh wilayah Sumedang Larang telah menjadi milik dari keturunan Nyai Cukang Gedeng Waru. Sultan Agung Mataram setelah mendengar ada kelompok di Sumedang Larang yang tidak puas dengan diangkatnya Pangeran Rangga Gede sebagai Adipati Sumedang mengeluarkan maklumat untuk menangkap dan menghukum mereka. Maka Raden Aria Wangsakara yang masih muda belia itu mengajak Pangeran Kartajiwa dan Raden Aria Santika bersama para pengikutnya untuk pergi ke Banten mengadukan keadaan mereka kepada Sulthan Banten yaitu Pangeran Ratu Ing Banten Mahmud Abdul Qodir yang merupakan paman mereka dari jalur nenek. Raden Aria Wangsakara Tiba di Banten Di catat dalam buku “Pararimbon Ka-aria-an Parahyang” bahwa pada tahun 1038 hijriyah atau tahun 1628/1629 masehi datanglah para pangeran Sumedang 3



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



keturunan Banten menghadap Pangeran Ratu Ing Banten Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qodir. Mereka adalah : 1. Pangeran Kartajiwa (P. Suriadiwangsa II) bin Pangeran Rangga Gempol I (Pangeran Suriadiwangsa I), ibunya adalah misan kedua dari Pangeran Ratu (Sultan) Banten; 2. Raden Aria Wangsakara bin Pangeran Wiraraja I, ibunya adalah Nyimas Cipta bin Raden Kidang Palakaran cucu Pucuk Umun Banten, dan 3. Raden Aria Santika bin Raden Jaka Lalana bin Radeng Kidang Palakaran, ibunya adalah Nyimas Nurteja binti Prabu Geusan Ulun. Ketiga bangsawan Sumedang Larang ini kesemuanya memiliki ikatan kekeluargaan dengan Pangeran Ratu Ing Banten. Pangeran Kartajiwa beribu Ratu Widara bin Pangeran Widara bin Maulana Yusuf. Sedangkan Raden Aria Wangsakara dan Raden Aria Santika adalah cucu Pucuk Umun Banten. Di kemudian hari tiga bangsawan Sumedang ini dikenal dengan Tigaraksa I. Menempati Tanah Peninggalan Pucuk Umun Sultan Banten yang pada waktu itu masih bergelar Pangeran Ratu Ing Banten sangat berbahagia dengan kedatangan tiga bangsawan Sumedang yang masih sepupunya ini. Selain karena ia sebagai saudara harus menerima saudaranya yang sedang dalam keadaan susah, ia juga memandang ketiganya sebagai para ksatria yang akan sangat berguna untuk memperkuat pasukan Kerajaan (kemudian pada tahun 1638 menjadi Kesultanan) Banten. Ditambah mereka memiliki kedudukan terhormat di Tatar Sunda, Pangeran Ratu mengharapkan ketiganya akan dapat menjadi mediator rekonsiliasi Tatar Sunda pasca penyerangan Banten terhadap Pajajaran yang masih “renggang” untuk bersamasama menghadapi kompeni dan nafsu Mataram menguasai Tatar Sunda.



Di tambah, wilayah kekuasaan Banten dari mulai sebelah timur sungai Cidurian sampai Sungai Cipamugas (Cisadane sekarang) belum ditempatkan pejabat khusus. Wilayah itu sekarang adalah wilayah Tangerang Raya. Untuk memperkuat basis Kerajaan Banten sebelah timur, maka keiganya di tempatkan di wilayah itu. Sebenarnya wilayah itu dahulu adalah wilayah kekuasaan Pucuk Umun kakek dari Aria Wangsakara dan Aria Santika dari nenek. Ketika dikuasai Kerajaan Banten di bawah Maulana Hasanudiin daerah itu tidak di isi oleh pejabat khusus. Maka ketika Pangeran Ratu menempatkan para “tigaraksa” ini di wilayah itu sebenarnya meneruskan kakek mereka Prabu Pucuk Umun. Di sebelah Cipamugas sudah ada kadipaten yang berada di bawah Kerajaan 4



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Banten yang dijabat oleh Raden Tumenggung Wirajaya di bantu adiknya Ki Wangsadijaya, keturunan Galuh yang besar wibawanya, tepatnya kadipaten ini berada di Gardu Gede Kaler. Namun kadipaten yang dipimpin Tumenggung Wirajaya hanya menguasai sebagian kecil wilayah Tangerang sekarang. Kelak ketika Raden Aria Wangsakara memimpin Ke-aria-an Tangerang daerah kekuasaan Tumenggung Wirajaya ini menjadi bagian dari Ke-aria-n Tangerang. Tumenggung Suradita Wilayah Tangerang yang ditinggalkan Pucuk Umun setelah kekalahan Pajajaran oleh Kerajaan Banten kemudian masuk dalam wilayah Kerajaan Banten. Namun mulai dari Maulana Hasanuddin sampai Pangeran Ratu ing Banten Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qodir di wilayah itu tidak ditunjuk penguasa politik seacara definitif. Raden Tumenggung Wirajaya yang menempati Kadipaten Gardu Gede Kaler pun tugas utamanya adalah mengawasi dan menjaga wilayah itu, bukan sebagaimana layaknya pemerintahan Kadipaten. Agaknya para penguasa Banten sangat menghormati peninggalan Pucuk Umun ini, dan hanya akan diserahkan kepada keturunan Pucuk Umun saja. Tersebutlah salah satu cucu Pucuk umun yang bernama Raden Tumenggung Suradita ingin menguasai wilayah ini. Ia adalah penguasa Parung dan Jenglapa yang pro Mataram, maka Pangeran Ratu Banten tidak mengizinkan Raden Tumenggung Suradita untuk menguasai wilyah Tangerang dan menempatkan Raden Tumenggung Wirajaya sebagai penjaga untuk menghalangi niyat Raden Tumenggung Suradita. Ketika para cucu Pucuk Umun dari Sumedang yang pro Banten datang yaitu Raden Aria Wangsakara dan Raden Aria Santika, berbahagialah Pangeran Ratu Banten dan menempatkan mereka sebagai penguasa di wilayah itu.



Kadu Agung Tigaraksa Setelah diterima dengan baik oleh Pangeran Ratu ing Banten Mahmud Abdulqodir, tiga bangsawan Sumedang dan pengikutnya ditetapkan untuk menjadi penguasa di Tangerang dengan menempati daerah Pasangrahan Kadu Agung (Tigaraksa Sekarang). Penetapan itu terjadi dengan sebuah upacara resmi di Kadu Agung pada tahun 1632. Secara resmi tiga bangsawan ini ditetapkan oleh Pangeran Ratu dengan mengutus Mangkubumi untuk membacakan surat penetapan itu. Dalam surat penetapan itu tiga bangsawan itu ditetapkan sebagai



5



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



“praksa siti ngongkrong kageungan keruhun nira” (Penjaga tanah tak berpejabat peninggalan leluhurmu), dengan menyebut Pangeran Sriadiwangsa II (Pangeran Kertajiwa) dalam surat Pangeran Ratu sebagai yang tertua. Adapun bunyi surat Pangeran Ratu ditulis dalam bahasa Jawa yang lengkapnya sebagai berikut: “Milane sun tan ngutus Mangkubumi saking kagusten Banten dina Rebo Pon sasi Ba’da mulud taun 1042 h ing Ki Suriadiwangsa ing Pasangrahan Kadu Agung dipun katur ngraksa siti ngongkrong kagengan keruhun nira kang wawatese Cidurian lan Cipamugas. Kang kalih dipun katur ngjaga basakala glagah kesatron saking bungas wetan. Serta dipun pasrahaken dipun Kettomas gena wewakil kabantenaning siti anyar sakudune lan sawudune”. Artinya: “Saya megutus Mangkubumi dari Kerajaan Banten hari Rabu Pon bulan Rabiul Akhir tahun 1042 h kepada Ki Suriadiwangsa di pasangrahan Kadu Agung agar dapat menjaga ‘siti ngongkrong’ (tanah tak berpejabat) keagungan leluhurmu yang batasnya Sungai Cidurian dan sungai Cipamugas (Cnisadane). Kedua, agar dapat menjaga ancaman musuh dari Bungas Wetan (Mataram). Juga diserahkan kettomas (Mahkota) untuk mewakili kebantenan tanah baru seharusnya dan seperlunya”. Jika kita mengitung dengan ilmu falak modern bertekhnologi canggih, hari Rabu Pon itu sebenarnya masih tanggal 28 Rabiul Awal, jadi ada beda satu hari, tapi dapat dimaklumi karena penentuan tanggal pada masa itu masih sangat konvensional. Dapat dipastikan dalam tanggal masehi bahwa Rabu Pon tahun 1042 itu jatuhnya pada tanggal 13 Oktober 1632 Walaupun yang tertera dalam surat adalah nama Pangeran Suriadiwangsa II (Pangeran Kartajiwa), tetapi yang menjalankan tugas adalah Raden Aria Wangsakara dan Raden Aria Santika, karena Pangeran Suriadiwangsa II langsung mengkonsolidasikan pasukan untu menyerang Sumedang dalam rangka menuntuk haknya sebagai putra dari penguasa sebelumnya.



6



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



BAB II PERISTIWA-PERISTIWA DARI TAHUN 1632-1654 Pangeran Suriadiwangsa II Menyerang Sumedang Larang Tahun 1632 Setelah beberapa lama ditetapkan sebagai praksa Tangerang, pada tahun 1632 Pangeran Kartajiwa (Pangeran Suriadiwangsa II) bersiap menyerang Sumedang Larang untuk menuntut haknya sebagai pewaris kekuasaan Sumedang. Dengan dukungan Pangeran Ratu ing Banten, Pangeran Kartajiwa memimpin pasukan yang terkumpul di Cikande. Sepertinya penyerangan ini tidak mendapat dukungan penuh dari Raden Aria Wangsakar dan Raden Aria Santika, selain terhitung tergesa-gesa, pasukan dukungan yang diberikan Pangeran Ratu Banten tidak bisa banyak karena ketika itu pasukan Banten sedang serius menahan kemungkinan serangan Mataram dan kompeni. Selain dari itu Sumedang kini sudah menjadi bagian dari Mataram, tentunya jika Sumedang diserang Mataram akan membantunya. Pangeran Kartajiwa yang pemberani ini tidak memikirkan semua itu, baginya kekuasaan Sumedang yang seharusnya menjadi haknya ini harus cepat direbut. Mungkin ia berpikir bahwa di Sumedang sendiri banyak yang dihatinya tidak setuju dengan pengangkatan Rangga Gede sebagai pengganti ayahnya, namun karena ketidakberdayaan mereka terpaksa menerima keputusan Mataram mengangkat Adipati Rangga Gede sebagai pengganti Pangeran Rangga Gempol I. Orang-orang ini tentunya akan mendukungg Pangeran Kartajiwa apabila terjadi peperangan antara dirinya dan Adipati Rangga Gede. Setelah persiapan matang pasukan ini bergerak ke Jatinegara. Ia berharap keluarga Banten-Sumedang yang di Jatinegara juga ikut bergabung menyerang Sumedang. Memang pasukan ini terhitung pasukan kecil, jumlahnya tidak seberapa. Pangeran Kartajiwa berharap para pendukung ayahnya dari keluarga Sumedang dan keluarga ibunya yang dari Banten yang dilewati pasukannya akan bergabung menyerang Sumedang. Pasukan Pangeran Kartajiwa terus bergerak menuju Sumedang, dari Jatinegara menuju Karawang. Kebetulan di Karawang yang berkuasa adalah Bupati Singaperbangsa mertua dari keponakan Pangeran Kartajiwa, yaitu Raden Aria Wangsakara. Saat itu Karawang sudah berada di bawah Mataram. Dalam naskah “Papakem Lengkong” dikisahkan Bupati Singaperbangsa mengirim utusan kepada Raden Aria Wangsakara agar membujuk Pangeran Kartajiwa dan pasukannya tidak melewati Karawang, karena ini akan menjadi sorotan pihak Mataram. Tidak diceritakan dalam naskah itu apakah kemudian Raden Aria 7



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Wangskara memenuhi permintaan mertuanya untuk membujuk Pamannya yaitu Pangeran Kartajiwa agar tidak melewati Karawang, yang jelas dalam sumber Sumedang, Pasukan Pangeran Kartajiwa sebelum sampai di Sumedang sudah bisa menklukan daerah-daerah yang dilewatinya termasuk Karawang. Agaknya berita Sumedang itu bermaksud menyatakan bahwa daerah-daerah itu kemudian bergabung dengan Pasukan Pangeran Kartajiwa, bukan ditaklukan dalam arti peperangan, melihat daerah-daerah yang disebutkan itu memiliki kekerabbatan dengan Pangeran Kartajiwa. Walaupun serangan Pangeran Kartajiwa ini tidak bisa mendudukan Pangeran Kartajiwa sebagai penguasa sumedang, namun serangan ini mengakibatkan Pangeran Rangga Gede lari ke Mataram karena khawatir pasukannya tidak bisa menahan pasukan Pangeran kartajiwa.. Sultan Agung Mataram kaget mendengar Pangeran kartajiwa menyerang Sumedang dan sebelumnya bisa keluar Sumedang menuju Banten. Kenapa Pangeran Kartajiwa dibiarkan menuju Banten dan sekarang akhirnya sampai menyerang Sumedang? Dan mengapa sampai pasukan Banten bisa bergerak memasuki daerah-daerah yang dikuasai Mataram, Sultan Agung murka dan menilai bahwa Pangeran Rangga Gede tidak mampu mengendalikan pemerintahan. Sebagai sanksinya, pangkat bupati wedana (opperregent) dari Pangeran Rangga Gede dicopot. Pangeran Rangga Gede pun ditawan di Mataram. Sebagai penggatinya, pangkat bupati wedana diberikan kepada Dipati Ukur. Dipati ukur adalah adik ipar dari Pangeran Kartajiwa, hubungan mereka sangat dekat, bahkan sebenarnya Dipati Ukurlah tokoh dibalik bisa pindahnya Pangeran Kartajiwa, Raden Aria Wangsakara dan Raden Aria Santika ke Banten. Ketika Dipati Ukur diangkat Mataram sebagai pengganti Pangeran Rangga Gede, pangeran Kartajiwa menarik pasukan kembali ke Banten. Pangeran Suriadiwangsa II Wafat di Batavia 1633 Pada tahun 1633 Pangeran Ratu mengirim pasukan Banten untuk menghalau kompeni Belanda di Batavia. Dalam pertempuran itu Pangeran Suriadiwangsa II atau Pangeran Kartajiwa tewas dan dimakamkan di Jatinegara. Pangeran Ratu segera memerintahkan Raden Aria Santika untuk menggantikan Pangeran Kartajiwa memimpin pasukan Banten.



8



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Raden Aria Wangsakara Membuka Lengkong Tahun 1633 Setelah diangkatnya tiga bangsawan dari Sumedang sebagai ‘praksa’ Tangerang (waktu itu belum disebut Tangerang) maka masyhurlah dimasarakat sebutan “Tigaraksa”. Seperti disebutkan sebelumnya walaupun yang tertera di dalam surat hanya nama pangeran Kartajiwa (Pangeran Suriadiwangsa II) tetapi secara defacto yang kemudian mengurus Tangerang hanyalah dua orang yaitu Raden Aria Wangsakara dan Raden Aria Santika karena Pangeran Suriadiwangsa II kemudian memimpin pasukan menyerang Sumedang dan selanjutnya memimpin pasukan Banten menyerang Batavia. Untuk waktu kemudian, Raden Aria Santika pun bergabung dengan pasukan pamannya yaitu Dipati ukur dalam menyerang Kompeni atasnama Mataram dan selanjutnya melawan Mataram ketika Dipati Ukur dianggap tidak patuh kepada Mataram. Sehingga yang menjadi Praksa sebenarnya di Tangerang hanyalah Raden Aria Wangsakara. Raden Aria wangsakara mulai membangun tanah Tangerang dengan memulai membangun kampung Lengkong Sumedang yang kemudian iapun menetap di sana dan kelak akan menjadi kampung “kaum parahyang” (Orang Sunda). Dibagilah tugas-tugas pemerintahan oleh Raden Aria Wangsakara. Ia sendiri menjadi Aria Lengkong (Penguasa Tangerang yang berpusat di lengkong), Raden Aria Santika sebagai Papager Jaya (semacam pertahanan laut) bertempat di Muara (mungkin yang di maksud Muara Angke), Raden Wirajaya mengurusi Bale Kambang, dan Raden Wangsadijaya menjadi “Papager Jaya” di Sangiang. Pada tahun 1634 Hari Selasa tanggal 7 Sela tahun Ehe Raden Adipati Singaperbangsa mengirim surat kepada menantunya Raden Aria Wangsakara yang menghabarkan tentang adanya masyarakat Karawang yang tidak mau bergabung dengan Mataram di bawah pemerintahannya termasuk salah satu anaknya agar bergabung dengan Raden Aria Wangsakara di Lengkong. Hal ini dilakukan untuk menghindari hukuman Mataram kepada mereka jika keadaan ini diketahui oleh Sultan Agung. Dicertakan dalam Pararimbon nama Ki Janala datang membawa rombongan pertama dari Karawang sebanyak 400 orang dan rombongan setelahnya 700 orang. Tumenggung Kuridilaga Datang Di lengkong Tahun 1637 Pada Hari Kamis Wage Bulan Mulud Tahun Dal (1047 h) atau bertepatan dengan 30 Juli 1637 datanglah Tumenggung Kuridilaga bersama 59 prajuritnya 9



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



di Lengkong untuk bergabung dengan Aria Wangsakara. Tumenggung Kuridilaga bin Pangeran Kuripan berasal dari Kadipaten Kuripan Bogor yang berada di bawah Mataram. Sepupu keduanya yang bernama Raden Ayu Urianegara binti Pangeran Mahajayadilaga (Adipati Kuripan II) menikah dengan Sultan Agung Tirtayasa dan mempunyai anak Pangeran Purbaya, Pangeran Sageri dan Pangeran Ingayuda (P.Singalaras, wafat di Tanara bersama Senapati Ciliwulung Kresek bin Raden Aria Wangsakara 1682). Tumenggung Kuridilaga bersama pasukannya membantu Mataram dalam berperang baik ketika melawan Kompeni maupun melawan Banten. Tapi kemudian ia berbalik arah ingin mengabdikan dirinya kepada Kerajaan Banten dengan ingin bergabung bersama Raden Aria Wangsakara di Lengkong. Kemudian keluarga Kuripan berbakti kepada Banten termasuk kakak Raden Ayu Urianegara yang bernama Raden Singadilaga. Peristiwa datangnya Tumenggung Kuridilaga bersama 59 pasukannya ini dicatat dalam Pararimbon Ka-aria-an dengan peristiwa ‘seket sanga sadrah pangabakti’` Raden Aria Wangsakara dan Raden Aria Santika Pergi Ke Makkah 1636 Raden Aria Wangsakara dan Raden Aria Santika pergi haji ke Makkah. Selain pergi haji juga mendapat tugas diplomatik dari Pangeran Ratu Ing Banten Mahmud Abdul Qodir menemui penguasa Makkah. Rombongan ini diketuai oleh Labe Panji, ikut dalam rombongan putra mahkota Pangeran Pekik sebagai mewakili Pangeran Ratu menghadap penguasa Makkah. Rombongan ini mula-mula menaiki kapal sampai ke Maladewa, kemudian Keling India kemudian di Surat. Di sini harus menunggu kapal yang akan berangkat ke Makkah. Kemudian menaiki kapal Sultan Akbar menuju Makkah. Setelah menempuh perjalanan jauh akhirnya rombongan tiba Pelabuhan Jeddah. Kemudian menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan membawa misi diplomatik menemui penguasa Makkah. Setelah beberapa lama rombongan diterima penguasa Makkah, Sultan Syarif Zaed bin Muhsin. Hadiah Pangeran Ratu Ing Banten pun diserahkan kepadanya. Sebagai seorang diplomat cerdas Raden Aria Wangsakara mampu meyakinkan Sultan Syarif Zaed untuk membuka hubungan diplomatik antara Makkah dan Banten. Sultan Syarif Zaed yang diberi kuasa oleh Khalifah Turki Utsmani untuk memimpin Makkah memang kharismanya lebih tinggi bagi umat Islam termasuk Banten daripada Khalifah sendiri. Hal ini tentunya karena



10



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



keistimewaan negeri Makkah itu sendiri sebagai kiblat seluruh umat Islam di dunia. Tidak lama setelah menghadap Sultan Zaed yang pertama Labe Panji sebagai kepala rombongan meninggal dunia. Raden Aria Wangskara menggantikan Labe Panji sebagai kepala rombongan. Sultan Syarif Zaed bertanya kepada para menteri apakah perutusan Banten dan hadiahnya harus dibawa ke Turki? Para menteri memberi saran bahwa cukuplah perutusan Banten ini menghadap Sultan Syarif Zaed. Maka dibagilah hadiah Pangeran Ratu di antara bangsawan Makkah. Setelah beberapa lama Sultan Zaed meminta perutusan Banten untuk menghadap lagi. Dalam pertemuan yang kedua itu Raden Aria Wangsakara memohon kiranya Sultan Syarif Zaed untuk memberikan gelar Sultan untuk Pangeran Ratu dan untuk Pangeran Pekik sebagai putra mahkota. Sultan Syarif Zaid pun mengabulkan permohonan itu melalui surat resmi untuk Pangeran Ratu. Pangeran Ratu diberi gelar Sultan Abul Mafakhir mahmud Abdul Qodir dan Pangeran Pekik mendapat gelar Sultan Abul Ma’ali Ahmad. Disampaikan pula oleh Sultan Syarif bahwa bila Mataram dan Makasar ingin mendapatkan gelar sultan dari Makkah harus melalui Banten. Hal ini dimaksudkan agar adanya persatuan antara para Kerajaan Islam dalam melawan penjajah. Sultan Syarif Zaed pun memberikan hadiah berupa bendera Nabi Ibrohim yang ditancapkan Nabi Ibrohim di sisi isterinya Siti Hajar ketika berada di sebuah gurun, waktu itu isterinya dalam keadaan hamil, bendera ini sebagai penanda agar Nabi Ibrohim mengetahui di mana isterinya berada ketika ia kembali. Bendera itu setiap bulan Mulud dibawa keliling dengan upacara iring-iringan. Selain bendera itu, Sultan Syarif juga menghadiahkan tirai penutup makam Nabi Muhammad saw. batu bertapak Nabi dan kiswah Ka’bah. Dalam kesempatan itu juga Sultan Syarif Zaed menghadiahkan 3 kitab untuk Sultan Abul Mafakhir. Sebagaimana diketahui bahwa Sultan Abul Mafakhir selain sebagai Sultan ia juga sebagai ulama. Setelah selesai dengan tugas kenegaraan setelah magrib Sulltan Abul Mafakhir membaca kitab kuning kepada keluarga pembesar istana. Walaupun secara umum misi Raden Aria Wangsakara ini berhasil, ada satu permohonan yang diminta oleh Raden Aria Wangsakara yang tidak bisa dipenuhi Sultan Syarif Zaed, yaitu dikirimkannya seorang ulama untuk ditugaskan di Banten. Permohonan ini bukan ditolak Sultan lebih karena belum adanya seorang ulama yang bersedia untuk hijrah ke Banten. Sultan Syarif 11



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



menawarkan Syekh Ibnu Alam (mungkin maksudnya Ibnu Alan) untuk bersedia ke Banten, namun beliaupun tidak bersedia. Setelah semua selesai rombongan Raden Aria Wangsakara meninggalkan Makkah. Raden Aria Wangsakara Pulang Dari Makkah 1638 Rombungan utusan Makkah yang setelah wafatnya Labe Panji dipimpin oleh Raden Aria Wangsakara ini, tiba di Pelabuhan Banten. Sultan Abul Mafakhir memerintahkan Tumenggung Wira Utama untuk membuat persiapan penyambutan yang besar sebagai menyambut “Sabda Sultan Makkah” yang dibawa Raden Aria Wangsakara. Sultan duduk di Srimanganti bersama para pengiringnya. Semua para pembesar kesultanan Banten telah duduk di tempatnya masing-masing. Yang ditugaskan untuk menerima surat dari kapal adalah Fakih Najamuddin. Ketika ia tiba di kapal itu ditembakkanlah meriam sebelas kali yang dibalas dengan jumlah tembakkan yang sama dari benteng kesultanan. Gamelan-gamelan dibunyikan dan banyak sekali tembakan dilepaskan. Suasana sangat ramai, orang-orang berkumpul dari segala penjuru. Tiba di pantai Fakih Najamuddin naik jampana keemasan. Bendera Nabi Ibrohim dibawa oleh Ki Ranggapaman dan hadiah lainnya oleh Tumenggung Indasupati. Sultan menyambut mereka di tengah-tengah sampai di atas Darparagi dan mengambil tempat bersama putranya dalam jampana berhadaphadapan dengan surat dari Makkah. Sungguh Sultan begitu ta’dzim dalam berhadapan dengan surat itu. Sekarang gamelan-gamelan itu berhenti berbunyi. Orang-orang menyusun dirinya siap ditempatnya masing-masing dengan khidmat. Dengan penuh hormat sedikit-sedikit secara perlahan Fakih Najamuddin membuka surat Makkah. Kemudian ia membacanya dengan suara keras sambil berdiri tegak menghadap kiblat. Surat dibacakan dengan nada seperti khutbah jum’at. Bendera Nabi Ibrohim yang dibawa itu berwarna kuning bergambar pedang Dzulfaqor, yaitu pedang saidina Ali dan lafadz “la ilaaha illallah”. Sultan mencium batu bertapak Nabi Muhammad dengan penuh kerinduan kepada Baginda Nabi dan mengharapkan keberkahan. Sangkala untuk peristiwa ini adalah “tata gali wisaya arya”. Sebagai tanda terimakasih Sultan, Raden Aria Wangsakara kemudian diberi gelar Haji Wangsaraja dan Raden Aria Santika (Demang Tisnajaya, Papager 12



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



jaya di Muara Tangerang) diberi gelar Haji Jayasantika atau kemudian ditulis dalam banyak literatur dengan Haji Jayasanta. Raden Aria Wangsakara di Beri Gelar Imam Tahun 1651 Tahun 1651 Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qodir wafat digantikan oleh Pangeran Surya yang bergelar Sultan Agung Tirtayasa. Tidak lama setelah ia di angkat sebagai Sultan, pada Bulan Rajab Tahun Jim Awal Sultan Agung Tirtayasa mengutus iparnya yaitu Senapati Singadilaga, Mangkubumi dan Ki Tanujiwa menemui Raden Aria wangsakara di Lengkong. Selain membicarakan masalah keamanan negara, Senapati Singadilaga mendapat tugas untuk menyampaikan amanah Sultan bahwa Raden Aria Wangsakara mendapat gelar baru yaitu gelar “Imam”. Gelar ini diberikan mungkin karena Raden Aria Wangsakara dianggap sebagai orang yang cakap dalam ilmu agama ditambah beliau sudah pergi haji ke Makkah. Maka dalam banyak literatur selain ditulis dengan nama Haji Wangsaraja ia juga ditulis Imam Haji Wangsaraja. Tumenggung Kidang dan Tumenggung Purba Prabangsa Datang ke Lengkong 1652 Pada tahun Je (1652) para Tumenggung Mataram dari Parahyang yaitu Raden Kidang, Raden Purbaprabangsa adik dari Nyai Nurmala, isteri Raden Aria Wangsakara, ditambah Ajeg Wirasaba datang ke Lengkong dengan 40 prajurit untuk mengabdi di Lengkong dan tinggal di sana, keduanya sudah enggan mengabdi kepada Mataram. Kemudian dua yang disebut pertama diangkat menjadi pejabat di Lengkong dengan pangkat Tumenggung. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa “Tumenggung biluk ngulon”. Kompeni Datang di Sebelah Timur Cisadane 1652 Pada tahun Je juga terjadi peristiwa datangnya pasukan kompeni di sebelah timur sungai Cisadane`. Menurut Kapten Hendrik, datangnya kompeni ini, sesuai dengan perjanjian antara kompeni dan Mataram yang diwakili oleh Rijkolf van Coens dan Sultan Agung Mataram. Dalam perjanjian itu bahwa tanah kekuasaan Mataram mulai dari Timur Cipamugas (Cisadane) diserahkan kepada kompeni. Kemudian kompeni mendirikan benteng di sana bersebelahan dengan kekuasaan Banten di Tangerang di bawah Raden Aria Wangsakara. Masa ini disebut masa “aria manjing selikur” (mungkin maksudnya tahun keduapuluh satu para aria datang ke Banten).



13



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Raden Aria Raksanagara Melapor Kepada Sultan Agung Tirtayasa 1654 Setelah kompeni betul-betul menjadi ancaman bagi Kesultanan Banten maka Sultan Agung Tirtayasa mengirim utusan kepada Raden Aria Wangsakara yang dikepalai Pangeran Surunabaya dan Ki Abdussalam untuk mendapat gambaran keadaan sebenarnya. Kemudian setelah kunjungan itu, Raden Aria Wangsakara mengutus anaknya, Raden Aria Raksanagara untuk menghadap Sultan Agung. Ia ditemani oleh Raden Purbaprabangsa dan Ki Ajeg Wirasaba. Sultan Agung Tirtayasa yang tegas memerintahkan kepada Kaum Parahyang yang ada di Tangerang untuk menjaga perbatasan antara Banten dan Kompeni. Ki Ajeg Wirasaba dan para ksatria Tangerang kemudian untuk beberapa lama tinggal di Banten untuk mendapatkan pelajaran tentang perang dari Senapati Banten. Keariaan Tangerang Siap Perang melawan Kompeni Belanda 1654 Masih ditahun yang sama para ksatria yang dilatih perang di Banten datang ke Lengkong. Kemudian Mangkubumi Kesultanan Banten datang ke lengkong untuk menghadiri acara pegangkatan para kepala pasukan oleh Aria Wangsakara. Untuk para Tumenggung diangkat Raden Aria Judanagara, Raden Aria Raksanagara, Raden Pamitwijaya dan Raden Tanumaja. Raden Purba Prabangsa dan Raden Ajeg Wirasaba diangkat menjadi Panewu (mengepalai seribu prajurit). Dan beberapa orang diangkat menjadi Panetus (mengepalai seratus prajurit). Sementara Tumenggung Kuridilaga diberikan amanah untuk menjaga Gardu Kaler berkedudukan di Cibodas. Sementara Tumenggung Wirajaya di Gardu Kidul. Pembagian dua wilayah ini dilakukan oleh Aria Wangsakara untuk memudahkan koordinasi wilayah. Sementara pusat keariaan tetap berada di Lengkong. Sementara Tumenggung Kidang dan Ki Mauran bertugas di Karawacai (mungkin maksudnya Karawaci sekarang). Pertempuran Meletus Antara Tangerang dan Kompeni 1654 Kompeni bermaksud membuka jalan tembus ke Banten melalui Cibodas dan Sangiang sepanjang 30 pal. Tumenggung Kuridilaga yang bertugas di Cibodas 14



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



siap menghadapi ancaman penyerangan kompeni. Jika pihak kompeni tidak mengurungkan niatnya menerobos masuk wilayah kesultanan Banten maka Tumenggung Kuridilaga dan pasukannya akan menjadi pagar hidup, tidak akan membiarkan sejengkalpun tanah Kesulthanan Banten diinjak kompeni dengan niat untuk menyerang. Maka terjadilah pertempuran yang sengit. Pasukan kompeni yang terdiri dari orang Belanda ditambah prajurit bayaran dari wilayah Nusantara, menghadapi pasukan Kesulthanan Banten yang terdiri dari ksatria Parahyang. Pertempuran ini berlangsung selama 7 bulan, korban bergelimpangan dari keduabelah pihak. Kompeni sangat heran dengan kemampuan taktik militer pasukan Banten. Sedang sengitnya perang antara Banten dan Kompeni, kompeni direpotkan pula oleh perampokan di laut kepada kapal dagang mereka. Perampokan ini dilakukan oleh paguyuban “ratu laut” yaitu orang-orang Makassar yang sedang mengungsi di Patramanggala dan Tegalkunir (utara Tangerang). Mungkin hal ini dilakukan mereka sebagai upaya membantu Pasukan Kesultanan Banten. Begitupula kompeni direpotkan oleh ulah Ki Wirantaka di Sudimara. Ki Wirantaka adalah Demang di Lemah Abang yang dibawa kompeni untuk bergabung dengan kompeni untuk melawan pasukan Banten dari orang-orang Tangerang. Namun ternyata Ki Wirantaka malah berbalik membantu Tangerang ketika pasukannya bertemu dengan pasukan Tumenggung Kidang. Ternyata antara Ki Wirantaka dan Tumenggung Kidang terjalin hubungan persahabatan yang erat ketika masih sama-sama berbakti untuk Mataram. Akhirnya kompeni menginisiasi gencatan senjata kepada Raden Aria Wangsakara. Terjadilah perundingan antara kompeni dan Pasukan Banten. Dari pihak Kompeni sebagai ketua delegasi perundingan adalah Kapten Hendrik sedangkan dari Banten adalah Raden Aria Raksanagara. Dalam perundingan itu disepakati: 1. Perang antara Pasukan Tangerang Kesulthanan banten melawan Kompeni di hentikan; 2. Daerah yang telah dikuasai masing-masing dalam perang ini tetap berada di bawah kuasa masing-masing; 3. Tidak boleh menyalakan apapun yang mengkibatkan ledakan dan kebakaran.



15



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Dari hasil perjanjian yang disepakati ini, maka untuk sementara perang antara kompeni dan Tangerang berhenti. Daerah Kunciran dan Tajur Kulon yang dikuasai Tangerang dalam perang tetap berada di dalam kuasa Tangerang sementara Gardu Gede Kaler yang dikuasai kompeni dalam perang itu tetap berada dalam kuasa kompeni. Tanah-tanah yang direbut oleh Tangerang itu kemudian masuk wilayah kekuasaan Lengkong Wetan yang kemudian Raden Aria Wangsakara mengangkat Tumenggung Kidang sebagai penguasa daerah itu. Raden Aria Wangsakara Menjadi Aria Tangerang 1654 Pada hari Sabtu tanggal 5 Safar tahun Wawu bertepatan dengan tanggal 12 Desember 1654 M, rakyat Tangerang mengadakan gotong-royong besar keluar rumah kemudian berkumpul untuk membuat “Pager-endeng” (Gerendeng) dan “Tangger-nanggeran” (tugu yang dijadikan peringatan). Gotong-royong itu terkait kemenangan besar pasukan Raden Aria Wangsakara melawan Kompeni Belanda dan untuk membuat batas-batas kota. Tinggi dari tugu itu 5 depa (9 meter) dipasang seukuran 40 tumbak (seratus meter) sebelah barat sungai Cisadane. Datang dalam acara itu Pangeran Sugiri putra Sultan Tirtayasa mewakili ayahnya. Ia membawa prasasti yang terbuat dari papan jati yang tertera kalimat dengan tulisan arab gundul berbahasa Jawa Banten, adapun kalimat itu berbunyi: “Bismillah peget ingkang Gusti, diningsun juput perenah kala Saptu ping gasal Sapar Taun Wawu, rengse perang neteg tangger-nanggeran, bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian, sekabeh angraksa sitingsun parahyang”. Dari prasasti itu dikuatkan kembali kekuasaan Raden Aria Wngsakara dari timur mulai sungai Cisadane dari dari Barat mulai Cidurian. Dan sejak itulah nama Tangger-Nanggeran dikenal luas dan Raden Aria Wangsakara sejak itu diberi gelar “Aria Tangger-nanggeran”. Lama kelamaan menjadi “Aria Tanggeran”. Untuk kemudian nama Tanggeran berubah dialek menjadi Tangerang.



16



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



BAB III KE-ARIAAN-TANGERANG PASCA TUGU TANGERANG Aria Tangerang (kemudian dikenal dengan Aria Tangerang I) atau yang kemudian dikenal dengan nama Imam Haji Wangsaraja, atau para kerabat dan keturunanya tetap memanggil dan lebih senang menulisnya dengan nama kecilnya yaitu Raden Aria Wangsakara atau ditulis di Sumedang dengan nama Aria Wiraraja II karena beliau adalah anak pertama dari Pangeran Wiraraja I bin Prabu Geusan Ulun Raja Sumedang larang, dapat membawa Tangerang dalam kedamaian selama gencatan senjata antara Tangerang dan kompeni yang ditandatangani pada tahun 1654 itu. Selang waktu gencatan senjata itu digunakan untuk merapihkan administrasi pemerintahan, tugas dan wewenang para Tumenggung dan sebagainya. Masa tenang itu tidak berlangsung lama, tiga tahun setelah itu, kompeni mulai membuat masalah baru. Perang Kesulthanan Banten melawan Kompeni 1658 Kompeni mengirimkan utusan sebanyak dua kali pada tahun 1655 dengan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai hadiah-hadiah yang menarik, namun keseluruhannya ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan Sultan Ageng Tirtayasa menanggapinya dengan memerintahkan pasukan Banten pada tahun 1656 untuk melakukan gerilya besar-besaran dengan mengadakan pengerusakan terhadap kebun-kebun tebu, pencegatan serdadu patroli Kompeni, pembakaran markas patroli, dan pembunuhan terhadap beberapa orang Belanda yang keseluruhan dilakukan pada malam hari. Selain itu, pasukan Banten juga merusak kapal-kapal milik Belanda yang berada di pelabuhan Benten, sehingga untuk memasuki Banten, diperlukan pasukan yang kuat untuk mengawal kapalkapal tersebut. Sultan Ageng Tirtayasa pun melakukan penyatuan terhadap daerah yang dikuasai oleh kesultanan Banten, yaitu Lampung, Bangka, Silebar, Indragiri dalam kesatuan pasukan Surosowan. Menghadapi kenyataan tersebut, kompeni pun melakukan penyatuan kekuatan dengan menyewa serdadu-serdadu dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Bali, Makasar, dan Bugis karena serdadu Belanda jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi perlawanan, serdadu-serdadu pribumi inilah yang melawan pasukan Banten,



17



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



sedangkan serdadu Belanda lebih banyak berada dibelakang serdadu pribumi tersebut. Raden Aria Wangsakara mempersiapkan seluruh kekuatan Tangerang untuk membantu perang besar Banten menghadapi kompeni. Ia memerintahkan Tumenggung Johardilaga dan beberapa ksatria Tangerang yang sudah satu tahun di Kesulthanan Banten berlatih perang untuk datang segera ke Tangerang kemudian diperintahkan untuk berposisi di Gardu Sangiang dan yang lainnya di gardu Tajur Kulon. Sultan Ageng Tirtayasa mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu mengirimkan surat ke kompeni pada tanggal 11 Mei 1658. Ia mengerahkan seluruh prajuritnya untuk menghadapi Kolonial kompeni Belanda. Beliau menyiapkan prajurit-prajuritnya di daerah perairan dan di daratan juga menambah jumlah pasukan meriam. Pada hari yang sudah ditentukan, yaitu pada Hari Senin tahun “kadiula pandawa iku” atau tahun 1580 Saka atau tahun 1657/1658 pasukan perang Banten ini berangkat ke pos penyerangan masingmasing seperti yang sudah diintruksikan. Menurut Djajadiningrat (1983:71) dan Tjandrasasmita (1967:12-16), pertempuran antara VOC dengan pasukan Banten berlangsung secara terus menerus mulai dari bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659. Pertempuran antara pasukan Kesulthanan Banten melawan Kompeni berlangsung di beberapa tempat, baik di darat maupun di laut. Lurah Astrasusila yang saat itu menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa orang Belanda di atas kapal bersama kedua temannya. Namun, apa yang dilakukannya berhasil diketahui oleh orang-orang Belanda lain diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah Astrasusila bersama kedua temannya dibunuh diatas kapal tersebut. Berita mengenai terbunuhnya Lurah Astrasusila diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga memicu aksi balas dendam dan perlawanan dari Banten (Djajadiningrat, 1983:73). Raden Senopati Ingalaga dan Raden Aria Wangsakara (Imam Haji Wangsaraja) menyerang Batavia di daerah Angke. Mereka berdua naik disebuah tandu. Kedatangan tentara Banten itu sudah diketahui kompeni melalui mata-mata dan kaki tangan mereka. Kompeni menyiapkan pasukan-pasukannya dan segera menyongsong tentara Banten itu. Tujuh hari tujuh malam kedua pasukan yang bermusuhan itu saling berhadap-hadapan tanpa ada salah satu yang mendahului menyerbu. Baru setelah Senopati Ing Ngalaga berkeliling dengan kudanya sambil menantang musuh, sedangkan Ki Rangga Wirapatra berjalan kaki 18



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



dibarisan terdepan, berangkatlah pasukan ke medan laga didahului oleh doa-doa yang dibacakan oleh Raden Aria Wangsakara. Sepanjang hari pertempuran berlangsung hebat tanpa henti-hentinya. Setelah hari senja pertempuran itu mulai reda, dan kedua belah pihak menarik diri dari garis perang. Formasi Perang Manuk Dadali Raden Aria Wangsakara dan Senapati Ingalaga Kemudian setelah perang pertama itu tiga hari tidak terjadi pertempuran, masing-masing pihak beristirahat sambil mengatur taktik penyerangan selanjutnya. Raden Senopati Ing Ngalaga berunding bersama Raden Aria Wangsakara dan para ponggawa untuk merundingkan taktik dan strategi perang serta memberi intruksi lainnya. Kemudian ditetapkan supaya penyerangan dilakukan dengan formasi “Manuk Dadali” (format penyerangan menyebar) karena musuh memakai formasi Papak (saff tempur melingkar disatukan). Untuk mengacaukan mental kompeni dan menghancurkan tempat-tempat persembunyian mereka, Ngabehi Wira Angun-Angun dan Prayakarti ditugaskan untuk membakar desa disekeliling kubu musuh dan juga membakari tanaman tebu milik kompeni dan bersamaan dengan pembakaran-pembakaran itu Senopati Ing Ngalaga dengan 500 prajurit pilihan bergerak melingkar dan bergerak menyerang musuh dari belakang. Dengan menggunakan formasi Burung Dadali pasukan Banten banyak mengalami kemenangan, tidak hanya di darat pasukan Banten yang ditempatkan di daerah perairan pun mencatat kemenangan yang menggembirakan. Pertempuran juga berlangsung sengit di Tajur. Ki Wirapaksa dan pasukannya menerobos ke timur Ciangke. Benteng Sudimara dapat direbut oleh pasukan Banten dari arah timur kemudian mereka membuat benteng yang disebut benteng Kebantenan. Kompeni yang telah lari dari Kebantenan datang lagi membawa pasukan yang lebih banyak kemudian terjadilah pertempuran sengit kembali. Dalam pertempuran itu Ki Rangga Wirapaksa dan delapan orang tewas. Pada suatu malam salah seorang penggawa yang memimpin pasukan perang menghadap Sultan. Ia memberi usulan kepada Sultan agar pasukan-pasukan prajurit diganti dengan pasukan yang baru. Sultan pun merundingkannya dengan para pembesar lainnya. Maka keesokan harinya prajurit-prajurit itu di siapkan di Surosowan untuk diberangkatkan ke medan perang.



19



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Kedatangan pasukan pengganti ini diketahui kompeni Belanda. Maka untuk mengimbangi kekuatan pasukan Banten itu, dikirimnya lagi pasukan tambahan dari Batavia. Karena penyerangan pasukan Banten ini dilakukan terus-menerus dan tanpa mengenal takut akhirnya kedudukan kompeni semakin terdesak sampai mendekati batas kota Batavia. Gencatan Senjata 1659 Karena keadaan semakin terdesak, kompeni berusaha mengadakan perdamaian dengan Sultan Ageng Tirtayasa di Surosowan, dan sudah tentu Sultan menolak usul perdamaian tersebut. Untuk melunakan hati Sultan kompeni minta tolong pada Sultan Jambi untuk tercapainya perjanjian persahabatan itu Sultan jambi mengirimkan utusannya Kiai Damang Dirade Wangsa dan Kiai Ingali Marta Sidanake Surosowan. Akhirnya pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani perjanjian damai antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Gubernur Jenderal Juan Matsuiyker. Dengan ditandatanganinya perjanjian genjatan senjata ini maka berakhirlah untuk sementara perang besar antara Banten dan kompeni Belanda. Perjanjian genjatan senjata tanggal 10 juli 1659 itu, dijadikan kesempatan yang baik Sultan Ageng Tirtayasa untuk membenahi diri guna menghadapi kompeni selanjutnya. Guna memenuhi senjata api dan senjata berat lainnya Sultan mengadakan hubungan dengan negara-negara Eropa yang bersedia menjual senjata-senjata yang dibutuhkan Banten. Selain senjata-senjata ini diperoleh dengan cara membeli dari luar negeri, Banten pun sebenarnya sudah mampu membuatnya sendiri. Dalam pengadaan kapal perang, Sultan memesan dari beberapa galangan kapal di Jawa. Sedangkan kapal perang yang besar dan khusus, dibuat sendiri di galangan kapal di Banten dengan bantuan orang-orang Portugis dan Belanda yang sudah Islam. Untuk memperkuat angkatan perangnya, Sultan juga mengangkat prajuritprajurit muda yang kesemuanya dilatih guna menghadapi medan perang yang berat, mereka disiapkan untuk menempati pos di daerah Tangerang dan Angke. Raden Aria Wangsakara Mengumpulakan Para Yatim dan Janda Korban Perang Setelah perang usai, Raden Aria Wangsakara (Imam Haji Wangsareja) mengumpulkan para yatim dan janda yang ayah dan suaminya tewas dalam



20



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



perang di bale kambang dan musolla-musolla untuk di beri santunan dan semangat agar anak-anak mencontoh para orang tua mereka menjadi ksatria pemebrani dalam menjaga agama dan tanah air. Raden Aria Wangsakara Menyerahkan Ke-aria-an kepada Raden Aria Yudanegara 1666 Pada hari Selasa tanggal 8 Rajab Tahun Ehe, bertepatan dengan tanggal 12 Januari 1666, Raden Aria Wangsakara menyerahkan jabatan Aria kepada anak sulungnya yaitu Raden Aria Yudanegara yang kemudian bergelar Aria Tangerang II. Raden Aria Wangsakara yang sudah berumur sekitar 56 tahun memilih untuk mengajar agama kepada masyarakat. Namun walaupun demikian Raden Aria Wangsakara tidak melupakan untuk memberi nasihat dan saran kepada putranya itu mengenai bagaimana mengurus Tangerang yang baik. Bahkan para tamu Keariaan, selama Raden Aria Wangsakara masih hidup, lebih sering mendatangi Raden Aria wangsakara dulu ketimbang Aria Tangerang II. Pembesar dari Tatar Sunda Menghadap Raden Aria Wangskara 1678 Penyerangan Pangeran Trunojoyo dari Madura ke Mataram menghangatkan situasi politik di Sumedang Larang dan Parahyangan. Adipati Rangga Gempol II yang berkuasa di Sumedang mengajak seluruh Adipati Parahyangan bergabung dengan Sumedang untuk membantu Kompeni dan Mataram menumpas Pasukan Pangeran Trunojoyo. Para Adipati Parahyangan ini mendatangi Raden Aria Wangsakara di Lengkong untuk meminta pertimbangan dan nasihat apa yang mesti mereka lakukan. Walaupun kekuasaan Ke-aria-an telah dipegang oleh Raden Aria Yudanegara, tetaplah yang menjadi sentral kewibawaan Lengkong adalah Aria Wangsakara. Mereka tahu bahwa Banten mendukung Pangeran Trunojoyo, untuk itu mereka tidak boleh salah langkah karena bila mendukung penumpasan Trunojoyo berarti akan berhadapan dengan Banten. Sementara dengan adanya Raden Aria Wangsakara di Banten, posisi para adipati Parahyangan ini aman dari serangan Banten. Maka nasihat dan pertimbangan Raden Aria Wangsakara (Imam Haji wangsareja) yang saat itu lebih dikenal dengan sebutan ‘Imam’ sampai Sultan Agung Tirtayasa-pun bila menyapa Raden Aria Wangsakara dengan sebutan “Kang Imam”, sangat diperlukan untuk tidak adanya salah duga Sultan Banten terhadap para adipati ini.



21



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Para adipati yang mendatangi Raden Aria wangsakara itu adalah Tumenggung Wira Angun-angun (Bupati Ukur), Raden Astramanggala (Bupati Sukapura), Tumenggung Wiradadaha, Raden Wirakusuma, Raden Marta Wedana, Raden Aria Kidul (Cikundul), adiknya yaitu Raden Wira Manggala (Cikundul), Raden Yudaprabangsa (Karawang), Raden Sutabaya (Cihaur), dan Raden Yudaprana bin Raden Wangsanagara bin Raden Rangga Nitinagara (Papaku Pagaden), Raden Aria Wangsakara Siap Menyerang Sumedang 1678 Setelah mendengar laporan dari para Bupati (Adipati) Parahyangan tentang situasi politik di Tatar Sunda, Raden Aria Wangsakara mengadakan pertemuan dengan Senapati Banten dan Mangkubumi. Dalam pertemuan itu dibahas mengenai situasi di Tatar Sunda sebagaimana dilaporkan para Bupati yang datang ke Lengkong beberapa waktu lalu. Dijelaskan pula oleh Raden Aria Wangsakara kepada Mangkubumi dan Senapati mengenai posisi kekerabatan antara dirinya dan Adipati rangga Gempol II. Di mana sebenarnya antara ia dan Rangga Gempol II masih sepupu sama-sama cucu Prabu Geusan Ulun. Rangga Gempol II melalui isteri Prabu Geusan Ulun yang bernama Nyai Cukang Gedeng Waru, sementara ia cucu dari isteri Prabu Geusan Ulun Nyai Ratu Harisbaya. Waktu masih hidup Prabu geusan ulun sudah berwasiat tentang waris Sumedang Larang, yaitu bahwa mulai dari Citarum sebelah timur itu diberikan untuk anak cucu Nyai Harisbaya, sedangkan dari mulai Citarum ke barat sampai Cipamugas (batas kesultanan Banten) untuk anak cucu Nyai cukang Gedeng waru. Berarti kalau menilik wasiat ini, mulai dari Karawang sampai ke Timur itu Raden Aria Wangsakara masih mempunyai waris. Sebaliknya, Rangga Gempol II yang sekarang menguasai Sumedang tidak punya hak di sana. Dalam pertemuan itu juga dipertimbangkan: 1. Raden Rangga Gempol II akan bersekutu dengan Kompeni dan Mataram; 2. Dikhawatirkan akan memusuhi Kesultanan Banten yang selama ini tidak bermusuhan dengan para bupati Priangan; 3. Tanah Priangan hak waris cucu Nyai Ratu Harisbaya. Berdasarkan pertimbangan itu maka Raden aria Wangsakara memutuskan bahwa Sumedang Larang harus diselamatkan dari pengaruh kompeni karena akan membahayakan semua. Raden Aria Wangsakara meminta kepada Mangkubumi dan Senapati untuk menghabarkan kepada Sultan Agung Tirtayasa mengenai keputusannya itu. 22



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Sabda Sultan Agung Tirtayasa Untuk Menyelamatkan Sumedang 1678 Setelah berita sampai kepada Sultan Agung Tirtayasa, maka Sultan bersabda dalam bahasa Sunda (Sultan Tirtayasa beristri orang Tangerang yaitu Nyai Raden Urianegara, bila berbicara dengan keluarga Tangerang ia berbicara bahasa Sunda), adapun bunyi sabda Sultan Agung Tirtayasa itu adalah: “Sumedang kudu di jorag ayuena keneh, ti Kakang Imam ngatur balad-balad di bagian darat, ti kaula ngatur balad bagian laut, mangga bismillah, ngarebut hak sorangan tangtuna halal”. Artinya kurang lebih: “ Sumedang harus di serang sekarang juga, Kakang Imam (maksudnya Aria Wangsakara) mengatur tentara dari darat, Saya mengatur tentara dari laut. Silahkan bismillah! merebut hak sendiri jelas halal”. Setelah mendapat restu Sultan Banten, Raden Aria Wangsakara memerintahkan Aria Tangerang II yaitu putranya sendiri Raden Aria Yudanegara untuk mengirimkan utusan kepada para bupati yang beberapa waktu lalu datang ke Lengkong untuk memberi kabar bahwa keputusan yang diambilnya mengenai laporan para bupati Tatar Sunda itu adalah menyerang Sumedang agar terlepas dari pengaruh kompeni dan Mataram. Raden Raksanegara Menghadap Kesulthanan Banten 1678 Pada Bulan Jumadil Akhir Tahun Wawu (Agustus 1678) Raden Aria Wangsakara mengutus putranya yaitu Raden Aria Raksanegara dan Tumenggung Tanumaja ke Kesultanan Banten, untuk meminta petunjuk tehnis penyerangan Sumedang Larang. Raden Raksanegara dan Tumenggung Tanumaja kemudian bertemu dengan Senapati Banten dan Tumenggung Ciliwidara. Dibahaslah segala tehnis penyerangan Sumedang, bahwa inti penyerangan ini bukanlah perang, karena mereka datang bukan antara musuh tetapi antara saudara kepada saudara. Dalam pertemuan itu juga dibahas untuk seminimal mungkin menghindari pertumpahan darah, maksud utama penyerangan ini adalah untuk menyelamatkan tatar Sunda dari hegemoni Kompeni Belanda dan Sultan Amangkurat yang berbeda jauh dengan ayahnya, yakni Sultan Agung Mataram, yang dalam beberapa hal sangat anti terhadap kompeni. Sedangkan Sultan Amangkurat ini, dinilai sudah terlalu jauh di bawah hegemoni Kompeni. Bahkan hubungan ulama di mataram sendiri sangat riskan, sultan Amangkurat bahkan membunuh para ulama yang dinilai tidak mendukung Sultan. Maka wajarlah ketika Pangeran Trunojoyo menyerang Mataram, para ulama mendukung Trunojoyo termasuk ulama Giri Kedaton. 23



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Inipulalah yang menggerakan para Bupati dari Tatar Sunda datang ke Raden Aria Wangsakara untuk mencari jalan keluar dari masalah Adipati rangga Gempol II yang mengajak bahkan memaksa para Bupati untuk bersama dirinya membantu Kompeni dan Mataram dalam memberantas Pangeran Trunojoyo. Kenapa mereka datang ke lengkong menemui Raden Aria Wangsakara? Hal itu tentunya karena Raden Aria Wangsakara adalah penyambunglidah Tatar Sunda ke Sultan Banten. Hubungan kekerabatan Raden Aria Wangsakara dengan Sultan Banten ditambah ia juga sebagai salah seorang pewaris Tatar Sunda dari kakeknya Prabu Geusan Ulun dan ia mempunyai kedudukan sebagai seorang penguasa Tangerang dan orang kepercayaan Sultan Banten, tentunya semua itu menjadi penting dalam rangka mencari sosok pemersatu Tatar Sunda untuk menyelamatkannya dari cengkraman Kompeni dan Mataram melalui Adipati Rangga Gempol III. Maka dalam pertemuan antara Raden Aria Raksanegara dengan Senapati Banten itu diputuskan bahwa Pasukan Tangerang pada saat Hari Raya Idul Fitri harus solat di Dayeuh Sumedang. Artinya pada Bulan Puasa harus sudah sampai di Sumedang. Pasukan Tangerang –Banten Menuju Sumedang 1678 Maka pada Bulan Rajab Tahun Wawu (September 1678) Raden Raksanagara mendatangi ayahnya, yaitu Raden Aria Wangsakara di Lengkong dan mendatangi kakaknya Aria Tangerang II atau Raden Aria Yudanegara di Karawaci untuk berpamitan mohon doa restu membawa pasukan pergi ke Sumedang dan bergabung dengan pasukan Banten yang dipimpin oleh Tumenggung Ciliwidara. Dari berita di atas dapat diketahui bahwa Raden Aria Wangsakara walaupun sebagai penggagas utama ia tidak ikut serta ke Sumedang, ia mengirim putranya Raden Aria Raksanegara untuk memimpin pasukan Tangerang untuk bergabung dengan pasukan dari Kesultanan Banten. Raden Tanujiwa datang ke Sangiang menemui ayahnya Ki Lebah Bulan untuk berpamitan menyertai Raden Raksanegara ke Sumedang. Setelah itu ia pergi ke Raden Aria Wangskara di Lengkong untuk maksud yang sama. Pasukan Raden Raksanegara kemudian bergabung dengan pasukan yang telah menunggu di Pagaden. Setelah mengetahui bahwa Raden Raksanegara putra dari Nyimas Nurmala putri Raden Singaperbangsa, Raden Raksanegara diterima dengan baik oleh masyarakat Pagaden. Para petani mengirimkan beras dan sebagainya kepada pasukan Raksanegara. 24



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Sementara Raden Tanujiwa membawa pasukan melalui jalur selatan dan bergabung dengan pasukan Cikalong. Sesampainya di Cikalong ia serahkan pasukan kepada Raden Lumanjaya bin Raden Lumaju Gede dari Cikundul, sedangkan Raden Tanujiwa terus menuju Sukapura untuk mempersiapkan pasukan Galuh. Pasukan kesultanan Banten dengan jumlah 1000 orang di bawah komando Tumenggung Ciliwidara sudah mendarat di Sumedang, ia berhasil memasuki Muara Ciparagi, Ciasem dan Pamanukan. Raden Rangga Gempol III Mengungsi ke Indramayu Pada Bulan Puasa Bupati Rangga Gempol III telah mendengar berita bahwa pasukan Banten di bawah Ciliwidara telah memasuki sekitar Sumedang. Bersama pasukan itu, ikut para Bupati Tatar Sunda yang enggan bekerjasama dengan kompeni di bawah Komando Raden Aria Raksanegara cicit Prabu Geusan Ulun dari Tangerang yang juga mempunyai waris Tanah Sumedang. Mendengar banyaknya pasukan yang datang bupati Rangga Gempol III mengungsi ke Indramayu. Banten Menguasai Sumedang 1678 Berdasarkan berita dari catatan Karawang, pasukan Banten memasuki Dayeuh pada Hari Senin manis Bulan Puasa tahun 1089 h atau bertepatan 14 November 1678 sehari sebelum lebaran kemudian paginya mereka solat ied di Masjid Jami Sumedang. Pelaksanaan solat dilakukan dengan 4 madzhab sebagimana biasa dilakukan. Larinya Bupati Rangga Gempol III menjadikan pasukan Banten menguasai Sumedang tanpa perlawanan. Kemudian Sultan Banten mengangkat Ciliwidara sebagai wali pemerintahan Sumedang dengan gelar Sacadiprana dan diangkat sebagai patihnya Tumenggung Wira Angun-Angun dari Bandung dengan gelar Aria Saca Diraja. Sultan Agung Tirtayasa Mengucapkan Selamat Kepada Raden Aria Wangsakara Hari ke empat ‘boboran siyam’ (bubaran puasa, lebaran) bertepatan dengan hari Jumat tanggal 17 November 1678 di Lengkong diadakan selamatan dan perayaan yang diikuti seluruh masyarakat Lengkong dan sekitarnya. Selamatan itu dilaksanakan sebagai rasa syukur atas kemenangan pasuukan Banten



25



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



menyelamatkan Priangan (Tatar Sunda) dari hegemoni Kompeni dan Mataram yang ditandai dengan dikuasainya pusat Parahyangan yaitu Sumedang. Utusan Sultan Banten datang dalam selamatan itu dan menyampaikan salam Sultan bahwa Ia mengucapkan selamat kepada Raden Aria Wangsakara dan seluruh masyarakat Tangerang bahwa “Alhamdulillah Parahyangan geus mulang kandang” (Alhamdulillah priangan telah kembali kepada kita). Dalam selamatan itupula Raden Aria Wangsakara bermusyawarah dengan Ki Wangsanagara (Pagaden) bahwa walaupun bagaimana Raden Rangga Gempol adalah sepupunya, dan iapun adalah salah seorang pewaris Sumedang seperti dirinya, maka ketika Raden Aria Wangsakara telah mendapatkan karunia dari Allah dengan wasilah Sultan Banten untuk menjadi Aria di Tangerang, sementara Raden Rangga Gempol sekarang hidupnya terlunta-lunta dalam pengungsian, maka Raden Aria Wangsakara memohon agar Sultan Banten tetap menjadikan Rangga Gempol III sebagai penguasa Sumedang dengan sarat tidak bekerja sama dengan kompeni dan Mataram. Sultan Bantenpun menerima usul Raden Aria wangsakara. Janji Setia Dua Saudara Tangerang-Sumedang Pada hari Ahad tanggal 12 bulan Mulud tahun 1090 h bertepatan dengan 23 April 1679 di hadapan makam Prabu geusan Ulun telah hadir dua saudara sepupu para cicit Prabu Geusan Ulun berziarah bersama dengan penuh haru. Dua saudara ini adalah Raden Aria Raksanegara dan Raden Rangga Gempol III. Dua cicit Prabu Geusan Ulun berbeda nenek. Raden aria Raksanegara cicit dari isteri Prabu Geusan Ulun Nyai Harisbaya sedangkan Raden Rangga Gempol III cicit dari isteri Prabu Geusan Ulun Nyai gedeng Waru. Ziarah bersama dua saudara ini untuk menghilangkan permusuhan, baik langsung ataupun tidak langsung, baik sengaja maupun tidak sengaja, yang selama ini ada dihati para cucu Prabu Geusan Ulun ini. Dihadiri dari kesultanan Banten dan para Bupati Priangan diputuskan pula dalam acara Muludan itu beberapa hal: 1. Raden Rangga Gempol dikembalikan menjadi Bupati Sumedang; 2. Raden Rangga Gempol tidak boleh bekerja sama dengan kompeni dan Mataram; 3. Raden Rangga Gempol tidak boleh ikut campur urusan para bupati di Tatar Sunda.



26



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Raden Aria Wangsakara Wafat Setelah berhasil menyatukan keluarga Sumedang dan Tangerang pada malam Jum’at tanggal 2 Sya’ban tahun 1092 h atau bertepatan dengan tanggal 15 Agustus 1681 Raden Aria Wangsakara atau raden Kenyep atau Imam Haji Wangsaraja atau Aria Tangerang I atau Raden Narantaka meninggalkan dunia ini dengan segala amal baik yang dilakukan untuk negara, bangsa dan agama. Ia kemudian dimakamkan di dataran tinggi dekat “Bale kambang” di Lengkong, Pagedangan, Tangerang. Kesultanan Banten di Adudomba Kompeni Setelah tidak berhasil memecah belah Tatar Sunda karena digagalkan oleh Kesultanan Banten dan para Bupati Tatar Sunda yang dikomandoi oleh Raden Aria Wangsakara dari Tangerang, kompeni kini masuk ke jantung kesultanan Banten dengan cara mengadudomba antara Sultan Agung Tirtayasa dan putranya yang bernama Sultan Haji. Mau tidak mau Tangerang terbawa dalam konflik ini, dikarenakan pasal adudomba ini meyangkut Pangeraan Sageri dan Pangeran Purbaya putra-putra Sultan Agung Tirtayasa dari isteri Tangerang yaitu Raden Ayu Urianegara bin Tumenggung Mahajayadilaga. Kompeni mengadudomba bahwa yang akan diangkat Sultan ke depan adalah Pangeran Purbaya bukan dirinya sebagai putra mahkota. Dari Raden Urianegara, Sultan Agung Tirtayasa mempunyai tiga orang putra yaitu Pangeran Purbaya, Pangeran Sugiri dan Pangeran Ingayuda Singalaras. Menurut sumber lain dari Raden Urianegara Sultan Agung Tirtayasa hanya mempunyai satu anak yaitu Pangeran Sugiri. Kompeni telah dapat membujuk Sultan Haji untuk berkonfrontasi senjata dengan ayahnya, ia mengangkat dirinya sebagai Sultan Banten pada tanggal 1 Maret 1680 dan rupanya ia sudah tidak bisa kembali lagi karena terikat perjanjian dengan kompeni. Akhirnya Sultan Agung Tirtayasa menyerbu Istana Surasowan Pada tanggal 7 April 1680 pagi-pagi buta pasukan Sultan Ageng di bawah pimpinannya langsung, didampingi oleh anaknya Pangeran Purbaya dan menantunya Syeikh Yusuf melakukan serangan umum yang mematikan, terhadap kraton Sultan Haji dan pasukan Belanda. Sultan Haji dilindungi oleh Kompeni di bawah De Roy, Kapten Sloot dan W. Caeff yang berusaha melindungi loji tempatnya berlindung. 27



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Dalam keadaan yang sangat kritis, Laksamana Saint Martin dan dan Kapten deTack menyodorkan “Surat Perjanjian” kepada Sultan Haji untuk ditandatangani, jika bantuan pasukan Belanda diperlukan oleh Sultan. Untuk mempertahankan hidupnya dan kekuasaannya, Sultan Haji menanda-tangani surat perjanjian yang sangat merugikan itu untuk selama-lamanya. Akhirnya setelah perjanjian itu, Kompeni mengepung Sultan Agung Tirtayasa dengan kekuatan penuh. Dipanggillah tentara kompeni dari seluruh Nusantara untuk menghadapi musuh besarnya yaitu Sultan Agung Tirtayasa yang sedang lemah karena kekuatan pasukan Banten terbelah dua, ada yang tetap setia kepada Sultan Agung Tirtayasa ada juga yang membantu Sultan Haji dan kompeni. Keluarga Tangerang Mendampingi Sultan Tirtayasa Sampai Titik Darah Penghabisan Pada hari Sabtu tanggal 26 Dzulhijjah 1093 bertepatan dengan 26 Desember 1682 pasukan Kompeni menyerang Tirtayasa dengan melalui Tanara. Yang mendapat tugas menjaga pertahanan Tanara adalah Putra Raden Aria Wangsakara dari Isteri Tanara yang bernama Raden Wiranegara III atau Senapati Ciliwulung dan putra Sultan Agung Tirtayasa yang bernama Pangeran Ingayuda Singalaras. Pertempuran berlangsung sengit, kekuatan pasukan Tanara yang tidak banyak dengan segala keterbatasan senjata tidak menyurutkan semangat para prajurit kesultanan Banten untuk bertempur. Akhirnya seluruh pasukan Senapati Ciliwulung terdesak. Satu persatu tewas. Namun Senapati Ciliwulung dan Pangeran Ingayuda tidak bergeming. Ia tidak memerintahkan anak buahnya untuk mundur sampai akhirnya keduanya syahid dalam peristiwa itu. Ketika mendengar Pangeran Ingayuda dan senapati Ciliwulung Wafat, Sultan Haji berucap “Wong-wong Priangan sing ana ning riki bakal tek pateni kabeh” (orang-orang Priangan yang ada di sini akan saya bunuh semua). Ucapan Sultan Haji di hadapan banyak orang itu sampai ditelinga Sultan Agung Tirtayasa, Sultan murka dan berucap, “Wis ben Si Kohar dede putra kula malih, putrakulagah wis padem, Si Kohar kudu dipateni maning”. Artinya, “Si Kohar (Sultan Haji) bukan anak Saya lagi, anak Saya sudah wafat, maka Si Kohar harus mati juga”.



28



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



BAB IV SILSILAH RADEN ARIA WANGSAKARA Dari Jalur Nalendra Prabu Geusan Ulun (Pangeran Angkawijaya) Raden Aria Wangsakara adalah putra dari Pangeran Wiraraja I bin Prabu Geusan Ulun (P. Angkawijaya/Pangeran Kusumahdinata II) Sumedang. Adapun silsilah lengkapnya adalah: Raden Aria Wangsakara (Lengkong Tangerang) bin Pangeran Wiraraja I (Darmawangi Sumedang) bin Prabu Geusan Ulun (Dayeuh Luhur Sumedang) bin Pangeran Santri (Pangeran Kusumahdinata I, Ki Gedeng Sumedang, 1530 M) bin Pangeran Pamelakaran (Gagambiran Cirebon) bin Pangeran Panjunan (Gunung Jati Cirebon) bin Syekh Datuk Kahfi (Gunung Jati Cirebon) bin bin Syekh Datuk Ahmad (Negeri Sembilan Malaysia) bin Syekh Datuk Isa (Malaka) bin Syekh Abdul Qadir bin Abdullah Azmatkhan (Khanuddin) bin Abdul Malik Azmatkhan (India). Sedangkan dari jalur ibu Prabu Geusan Ulun, silsilah Raden Aria Wangsakara adalah: Raden Aria Wangsakara bin Prabu Geusan Ulun bin Ratu Inten Dewata (Ratu Pucuk Umun, Dewi Satyasih, Pangeran Isteri) binti Nyimas Patuakan (menikah dengan Sunan Corendra, Parung) binti Prabu Tuakan Ratu Sumedang Larang bin Prabu Pagulingan II (Sunan Gulingan) bin Prabu Pagulingan I bin Prabu Gajah Agung (Patih Pajajaran, 1363-1392) bin Prabu Tajimalela III (Patih Pajajaran, 1339-1363). Silsilah Raden Aria Wangsakara dari Nyai Ratu Harisbaya Adapun silsilah Raden Aria Wangsakara dari Ratu Harisbaya adalah: Raden Aria Wangsakara bin Pangeran Wiraraja I bin Ratu Harisbaya binti Ratu Pembayun binti Sultan Trenggono bin Raden Fattah bin Brawijaya V. Ibu Raden Fattah adalah Syarifah Siu Banci bin Syekh Bentong bin Syekh Quro yang merupakan keturunan ke tujuh dari Syekh Abdul Qodir al Jailani Baghdad. Raden Aria Wangsakara juga merupakan keturunan dari bangsawan Madura karena ayah Ratu Harisbaya adalah Pangeran Suhra Pradoto/Pangeran Suhra Jamburingan/Pangeran Langgar bin Pangeran Pragalba bin Kiayi Demang Palakaran Arosbaya Madura. Silsilah Raden Aria Wangsakara dari Banten Raden Aria Wangsakara dari nenek pihak ayah adalah keturunan dari raja Banten sebelum menjadi kesulthanan. Silsilah lengkapnya Raden Aria 29



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Wangsakara bin Pangeran Wiraraja I bin Nyai Mas cipta bin Raden Kidang Palakaran bin Pucuk Umun Banten. Keluarga Raden Aria Wangsakara Raden Aria Wangsakara memiliki tiga Isteri yaitu: Pertama, Nyai Nurmala putri Bupati Karawang yang bernama Raden Singaperbangsa. Dari pernikahan ini memiliki dua putra yaitu Raden Aria Yudanegara (Dimakamkan di Sangiyang Tangerang) dan Raden Aria Raksanagara (Dimakamkan di Karawang). Keduaanya kemudian menggantikan ayahnya secara berurut menjadi Arya Tangerang. Isteri keduanya bernama Nyai Ratu Maimunah binti Tubagus Idham (RTb Wiranegara II, Tanara) bin RTb Wiranegara I bin Pangeran Wiraraja (Pangeran Jaga Lautan/Mas Wi) bin Pangeran Sunyararas bin Sulthan Maulana Hasanuddin. Dari pernikahan ini memiliki seorang putra bernama RTb. Wiranegara III atau Senapati Ciliwulung atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh Ciliwulung (Dimakamkan di Cakung Kresek Tangerang). Isteri yang ketiga adalah Nyai Ratu Zakiyah binti Ratu Salamah (Dimakamkan di masjid Agung Banten) bin Sulthan Abul Mafakhir Banten (Dimakamkan di Kenari). Dari pernikahan ini mempunyai empat orang putri yaitu Nyai Raden Ratna Sukaesih, Nyai Raden Wira Sukaesih, Nyai Raden Sukaedah dan Nyai Raden Kara Supadmi.



30



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



BAB V PENUTUP Raden Aria Yudanegara atau Aria Tangerang II tetap memerintah Ke-aria-an Tangerang pasca tertangkapnya Sultan Agung Tirtayasa. Ke-aria-an Tangerang tetap menjadi tanah ke-aria-an yang mempunyai pemerintahan sendiri. Bedanya dengan jaman Sultan Agung Tirtayasa, pada jaman Sultan Haji hubungan Banten dan Tangerang tidak mesra. Namun Sultan Haji tidak bisa menyerang Tangerang karena yang berkuasa sesungguhnya adalah Kompeni, dan kompeni tidak mengijinkan Sultan Haji menyerang Tangerang karena memang secara hukum, Tangerang tidak masuk dalam perjanjian yang diserahkan oleh Sultan Haji kepada kompeni. Pada tahun 1693 Raden Yudanegara wafat dalam satu insiden penembakan di Sangiang yang dilakukan oleh yang diduga pengikut Sultan Haji. Kemudian Kearia-an dipegang oleh adiknya yaitu Raden Aria Raksanegara yang bergelar Aria Tangerang III.



Selayang Pandang Penulis Penulis bernama Imaduddin Utsman, lahir di sebuah kampung kecil yang bernama Kampung Cempaka di Desa Kresek Kecamatan Kresek Kabupaten Tangerang pada tanggal 15 agustus 1976. Selain perhatiannya kepada Pondok Pesantren yang diasuhnya di Kresek Ia juga sangat peduli dengan sejarah dan kebudayaan daerahnya. Pada hari Sabtu tanggal 20 Oktober tahun 2012 (4 Dzulhijjah 1433 h) ia mendirikan Perdupajala (Persatuan Dzuriat Pangeran jaga Lautan) di Pulo Cangkir bersama Tubagus Fathul Adzim (Kasemen), KH. Maujud Astari (Cakung), KH. Mulyadi (Pintu Seribu), Ust. Agus Syihabuddin (Kronjo) dan lain-lain. Ia ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal adapun ketuanya KH. Maujud Astari. Persatuan Dzuriat Pangeran Jaga Lautan ini disahkan sebagai Yayasan Pangeran Jaga Lautan Pulo Cangkir oleh Kemenkumham dengan nomor AHU5882.AH.01.04. tahun 2013. Pada tahun 2016 ia mendirikan Babad Kesultanan Banten (Babad Banten) bersama Tubagus Solehuddin, Tubagus Mogy Nursatia Nurfadil, Maman Fatchurrahman, KH. Rohimuddin, dll. Ketua Umum ditunjuk Tubagus Mogy, Sekjen Tubagus Solehuddin dan penulis menjadi Wakil ketua umum.



31



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Dikukuhkan pada hari Sabtu tanggal 07 Mei 2016 di Alun-Alun Masjid Agung Kesultanan Banten (29 rajab 1437 h) Pada tahun yang sama mendirikan Lembaga Pemangku adat Kesultanan Banten (LPAKB), dikukuhkan di Alun-alun Masjid Agung Kesulthanan Banten pada hari Sabtu tanggal 08 oktober 2016 (7 Muharram 1438 h) setelah sebelumnya disahkan oleh Kemenkuham dengan nomor AHU – 0072501.AH.01.07.TAHUN 2016 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Lembaga Pemangku Adat Kesultanan Banten pada tanggal 1 September 2016. LPAKB didirikan oleh 12 para keturunan Sultan Banten dari berbagai jalur. Mereka adalah penulis, H. Tubagus Abbas Wasse (Kasemen), KH. Rohimuddin (Bekasi), Tubagus Mogy Nursatia Nurfadil (Jakarta), Tubagus Solehuddin (Ciputat), Maman Fatchurrahman (Batu Bantar), Tubagus Nashruddin (Kasemen), Tubagus Sirojudin (Kasemen), Sihabuddin (Lebak), Drs. H. Udin Saparuddin (Ciomas), Tubagus Imamuddin (Cilenggang), Tubagus Furqonsyah (Bekasi). Pada hari Sabtu tanggal 20 Oktober 2018 (11 Shafar 1440 h) penulis menginisiasi pertemuan untuk membentuk Balai Adat Tangerang. Maka penulis mengundang para keturunan Aria Wangsakara Tangerang dan para tokoh yang peduli dengan sejarah dan budaya Tangerang. Ditentukanlah pertemuan berlangsung di Petilasan Aria Suriadiwangsa II di Solear di rumah kang Engkos (Kostiawan Nata). Hadir dalam pertemuan itu H. Ali Taba Akifin (Legok), H. Anwar Ardadili (Pagedangan), Lutfi Abdul Ghani (lengkong), Tubagus Mogy Nursatia Nurfadil (Jakarta), Kostiawan Nata (Sumedang tinggal di Solear) dan penulis. Bayu Haris Yasin (Kalipasir), Tubagus Soleh (Ciputat) dan H. Baikuni (Lengkong) yang juga kemudian dimasukan dalam dewan pendiri dalam pertemuan pertama itu berh alangan hadir. Penulispun beberapa kali melakukan perjalanan kebudayaan. Pada hari Ahad tanggal 23 September tahun 2012 bertepatan dengan 07 Dzulqo’dah 1433 h melakukan silaturahmi ke Sultan Saladin di kerathon Kanoman Cirebon, bersama Dzuriat Pangeran Jaga Lautanuntuk meminta restu didirikannya Perdupajala (Persatuan Dzuriyat Pangeran Jaga Lautan dilanjutkan dengan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati yang diantar langsung Pangeran Patih Kesultanan Kanoman. Bersama penulis ketika itu KH. Tubagus fathul Adzim, KH. Maujud Astari, Ustadz Budairi Amin (adik KH. Ma’ruf Amin), Ust. Agus Sihabuddin dan lain-lain.



32



Sejarah Pendiri Tangerang |RADEN ARIA WANGSAKARA



Kemudian pada tahun 2016 bersama Babad Kesultanan Banten dan cucu Syekh Abdul Qodir Al Jailani bersilaturahmi dengan Pangeran Anglingkusumo al Hajj, keluarga Pakualaman Jogyakarta. Hari Ahad tanggal 16 April 2017 menghadiri Kirab Panji Sumedang Larang yang diundang oleh Ketua Nonoman Keraton Sumedang Larang Raden Luky Sumawilaga. Hadir dalam acara itu Paramita Rusady, aktris keturunan Sumedang larang yang didaulat mendampingi Raden Luky Sumawilaga menaiki kereta kencana. Pada tanggal 15 September 2017 penulis bersama Lembaga Pemangku Adat Kesultanan Banten menghadiri pembukaan Festival Krathon Nusantara di Gua Sunyarage Cirebon yang diadakan oleh Kesultanan Kasepuhan Cirebon. Hadir dalam acara itu Sultan kasepuhan Pangeran Adipati Arif Natadiningrat, Sultan Kanoman, Ketua LPAKB Kesultanan Banten H. Tubagus Abbas Wasse, Tubagus Amri dan Tubagus Mogy Nurfadil. Juga dihadiri oleh para raja dan sultan seluruh nusantara. LPAKB pada tanggal 9-12 November 2017 menggelar acara festival krathon Surosowan di Alun-alun Masjid Agung Kesultanan Banten dihadiri oleh para raja dan Sultan seluruh Nusantara.



33