Refarat Osteoporosis Aulia Putri Salsabila Burhan 11120202118 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU ILMU PENYAKIT DALAM



REFARAT



FAKULTAS KEDOKTERAN



07 MEI 2021



UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA OSTEOPOROSIS



DISUSUN OLEH: Aulia Putri Salsabila Burhan 111 2020 2118



PEMBIMBING: dr. Prema Hapsari Hidayati, Sp.PD, FINASIM



DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU INTERNA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA FAKULTAS KEDOKTERAN MAKASSAR 2021



LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini, saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :



Nama



: Aulia Putri Salsabila Burhan



NIM



: 111 2020 2118



Judul



: Osteporosis



Telah menyelesaikan tugas Referat yang berjudul “Osteoporosis” dan telah disetujui dan dibacakan dihadapan Dokter Pendidik Klinik dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.



Menyetujui Dokter Pendidik Klinik



dr, Prema Hapsari H.,Sp.PD,FINASIM



Makassar, 07 Mei 2021 Mahasiswa



Aulia Putri Salsabila Burhan



KATA PENGANTAR Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau hingga akhir zaman. Refarat yang berjudul “Osteoporosis” ini disusun sebagai persyaratan untuk memenuhi kelengkapan bagian. Penulis mengucapkan rasa terimakasih sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan refarat ini hingga selesai. Secara khusus rasa terimakasih tersebut penulis sampaikan kepada dr.Prema Hapsari Hidayati, Sp.PD FINASIM sebagai pembimbing dalam penulisan refarat ini. Penulis menyadari bahwa refarat ini belum sempurna, untuk saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan penulisan refarat ini. Terakhir penulis berharap, semoga refarat ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga. Makassar, April 2021



Penulis



BAB I PENDAHULUAN Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah fraktur. Osteoporosis merupakan penyakit metabolic tulang yang tersering didapatkan, ditandai oleh densitas massa tulang yang menurun sampai melewati ambang fraktur. Berbagai fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis adalah kompresi vertebral, fraktur colles dan fraktur femoris. 1 Menurut WHO (2012), osteoporosis menduduki peringkat kedua, di bawah penyakit jantung sebagai masalah kesehatan utama dunia. Di Indonesia, prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari 70 tahun pada wanita sebanyak 18-30%. Prevalensi wanita yang menderita osteoporosis di Indonesia pada golongan umur 50-59 tahun yaitu 24% sedang pada pria usia 60-70 tahun sebesar 62% (Kemenkes, 2015). Lima provinsi dengan resiko osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatra Selatan (27,75%), Jawa Tengah (24,02%), Yogyakarta (23,5%), Jawa Timur (21,42%), Sumatra Utara (22,82%). Saat ini osteoporosis menjadi salah satu penyakit yang sangat membutuhkan perhatian serius karena dapat mengakibatkan cacat tubuh, patah tulang hingga kematian. Perlu diketahui pengobatan osteoporosis memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang sangat besar dan menjadi penderitaan yang berkepanjangan .2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Osteoporosis berasal dari kata “osteo” yang berarti tulang, dan “porous”



yang



berarti



berlubang-lubang



atau



keropos.



Jadi,



osteoporosis disebut juga pengeroposan tulang, yaitu penyakit skeletal sistemik yang ditandai dengan massa tulang rendah disertai kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, sehingga tulang menjadi lebih tipis dan rapuh, sehingga cenderung mudah fraktur. Tempat yang paling umum untuk patah tulang terkait osteoporosis adalah tulang belakang, pinggul, dan radius distal. 3,18 2.2 Epidemiologi Menurut WHO (2012), osteoporosis menduduki peringkat kedua, di bawah penyakit jantung sebagai masalah kesehatan utama dunia. International Osteoporosis Foundation (IOF) 2009 lebih dari 30% wanita diseluruh dunia mengalami resiko patah tulang akibat osteoporosis, bahkan mendekati 40%, sedangkan pada pria resikonya berada pada 13%. Menopause dini menyebabkan usia 30 tahun, 40 tahun beresiko terkena osteoporosis. Usia produktif bagi wanita antara 20 sampai 49 tahun. Osteoporosis menjadi masalah kesehatan yang serius karena prevalensinya di seluruh dunia yang terus meningkat. Dalam studi berbasis komunitas yang melibatkan 620 orang turki, prevalensi Osteoporosis adalah 15,1 % diantara wanita dan 10,7% diantara pria. Di Indonesia osteoporosis sudah dalam tingkat yang patut diwaspadai, yaitu mencapai 19,7% dari populasi. 1 dari 3 wanita dan 1 dari 5 pria di Indonesia terserang osteoporosis atau keretakan



tulang. Di Indonesia, prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari 70 tahun pada wanita sebanyak 18-30%. Prevalensi wanita yang menderita osteoporosis di Indonesia pada golongan umur 50-59 tahun yaitu 24% sedang pada pria usia 60-70 tahun sebesar 62% (Kemenkes, 2015). Lima provinsi dengan resiko osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatra Selatan (27,75%), Jawa Tengah (24,02%), Yogyakarta



(23,5%),



Jawa



Timur



(21,42%),



Sumatra



Utara



(22,82%).2,4,17 2.3 Etiologi Penyebab osteoporosis diantaranya, yaitu rendahnya hormon estrogen pada wanita, rendahnya aktivitas fisik, kurangnya paparan sinar matahari, kekurangan vitamin D, usia lanjut dan rendahnya asupan kalsium. Hal ini terbukti dengan rendahnya konsumsi kalsium rata-rata masyarakat Indonesia yaitu sebesar 254 mg per hari, hanya seperempat dari standar internasional, yaitu 1000-1200 mg per hari untuk orang dewasa.5 Tulang rendah dapat disebabkan oleh massa tulang puncak yang rendah atau peningkatan pengeroposan tulang dan penyakit yang berhubungan dengan osteoporosis tercantum dalam obat-obatan tertentu, terutama glukokortikoid, silosporin, obat-obatan sitoksik, thiazolidinediones, antikovultan, aluminium, heparin, levothyroxine berlebihan, agonis GnRH, dan penghambat aromatase juga memiliki efek merugikan pada tulang.6 Tingginya osteoporosis juga dipengaruhi perilaku dan gaya hidup yang tidak sesuai, termasuk didalamnya pengetahuan gizi, aktivitas olaraga.7 Faktor Resiko Osteoporosis : Faktor risiko yang tidak dapat diubah/ dimodifikasi:



a. Usia lanjut Seiring bertambahnya usia, terjadi penurunan fungsi organ tubuh termasuk penyerapan kalsium oleh usus; penurunan estrogen atau testosteron akibat penuaan juga meningkatkan risiko osteoporosis. Selain itu, pada usia lanjut terjadi peningkatan hormon paratiroid. b. Jenis kelamin, di mana risiko pada perempuan lebih tinggi Osteoporosis lebih banyak pada perempuan karena pengaruh penurunan estrogen yang sudah dimulai sejak usia 35 tahun. Perempuan hamil juga berisiko osteoporosis karena proses pembentukan janin yang membutuhkan banyak kalsium. c. Riwayat osteoporosis keluarga kandung (genetik) d. Ras Ras Asia dan Kaukasia atau orang kulit putih memiliki risiko lebih besar untuk mengalami osteoporosis, karena secara umum konsumsi kalsiumnya rendah, intoleransi laktosa, dan menghindari produk hewan. Sedangkan ras kulit hitam dan Hispanik memiliki risiko mengalami osteoporosis yang lebih rendah. e. Penurunan hormon estrogen atau testosteron akibat penuaan. Faktor risiko yang dapat diubah/ dimodifikasi: a. Berat badan yang rendah dan struktur tulang yang kecil b. Kurang aktivitas fisik Kurangnya aktivitas fisik dapat menghambat aktivitas osteoblas sehingga densitas tulang akan berkurang. c. Kurang paparan sinar matahari d. Kurang asupan kalsium Jika asupan kalsium kurang, tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk tulang.



e. Merokok Zat nikotin dalam rokok bisa mempercepat resorpsi tulang dan menurunkan



kadar



dan



aktivitas



estrogen,



sehingga



meningkatkan risiko osteoporosis. f. Konsumsi



minuman



tinggi



kafein



dan



alkohol



Kafein dan alkohol dapat menghambat proses pembentukan massa tulang dan menyebabkan terbuangnya kalsium bersama urin, sehingga menyebabkan pengeroposan tulang g. Penggunaan obat tertentu jangka panjang (kortikosteroid, anti kejang,



antikoagulan,



methotrexate)



Kortikosteroid



dapat



menghambat aktivitas osteoblas sehingga meningkatkan risiko osteoporosis.3 Klasifikasi Osteoporosis : a. Osteoporosis primer tipe 1 yaitu kehilangan massa tulang yang terjadi karena proses penuaan yaitu akibat kekurangan estrogen pada wanita pasca menopause dan kekurangan testosterone yakni androgen pada pria. b. Osteoporosis primer tipe 2 disebut osteoporosis senil yang dapat terjadi pada pria dan wanita di atas usia 75 tahun. c. Osteoporosis sekunder, disebabakan oleh adanya penyakit yang mendasari dan pengaruh obat-obatan yang mengakibatkan adanya penurunan densitas tulang tang patah. d. Osteoporosis idiopatik, tidak diketahui penyebabnya, biasa muncul pada anak-anak,remaja dan dewasa muda.19 2.4 Patofisiologi Osteoimunologi Dari segi fisiologi, tulang terus diperbarui melalui proses resorpsi tulang yang terkoordinasi oleh osteoklas dan pembentukan tulang oleh osteoblast. Peran yang muncul dalam patofisiologi tulang telah



dikaitkan dengan sistem kekebalan, memunculkan bidang penelitian baru yang disebut osteoimunologi. Konsep osteoimunologi mengacu pada interaksi timbal balik antara sistem kekebalan dan tulang. Dalam literatur Inggris istilah "osteoimunologi" diciptakan pada tahun 2000 , meskipun demikian, salah satu penulis artikel ulasan (PP) ini telah menggunakan istilah Jerman "Osteoimmunologie" pada tahun 1997. Di tingkat seluler, file osteoklas, sel yang bertanggung jawab untuk resorpsi tulang, dapat dianggap sebagai prototipe sel osteoimun: osteoklas berbagi sel prekursor yang sama dengan monosit, makrofag, dan sel dendritik (myeloid). Dengan demikian, wawasan pertama ke dalam crosstalk osteoimunologi diperoleh dengan studi tentang interaksi sel kekebalan dan osteoklas yang menyebabkan kerusakan tulang pada penyakit inflamasi seperti periodontitis atau rheumatoid arthritis. Sekarang, menjadi jelas bahwa sel-sel sistem kekebalan dan tulang memiliki banyak molekul, seperti faktor transkripsi, faktor pensinyalan, sitokin, atau kemokin, yang sama. Salah satu jenis sel kekebalan pertama yang telah terbukti memediasi efek sistem kekebalan pada tulang adalah sel T, khususnya sel CD4 +. Di artritis reumatoid, kelainan osteoimun khas yang ditandai dengan erosi tulang pada beberapa sendi sehubungan dengan peradangan sinovium, stimulasi resorpsi tulang oleh osteoklas secara eksklusif dimediasi oleh Subset Th17 dari sel CD4 +. sel-sel ini terakumulasi dalam cairan synovial pasien dengan RA dan mempromosikan osteoklastogenesis pertama kali oleh sekresi IL-17 yang merangsang ekspresi RANKL oleh fibroblast synovial. Selain itu, IL-17 menambah peradangan kal. Oleh karena itu, produksi sitokin inflamasi seperti TNF dan Il-6 meningkat, yang pada gilirannya memperkuat ekspresi RANKL dan dengan demikian secara tidak langsung memicu osteoklastogenesis (Sato dkk., 2006). Dalam beberapa tahun terakhir, subset CD4 + pro-osteoklastogenik yang paling kuat semakin dipersempit menjadi jenis sel Th17 tertentu, yang berasal dari sel T



FOXP3 +. Mereka telah terbukti kehilangan ekspresi faktor transkripsi FOXP3



di



bawah



kondisi



rematik,



sehingga



mendorong



pengembangan Th17 daripada sel-T regulasi. Singkatnya, kemajuan luar biasa telah dibuat dalam menjelaskan protagonis dan jalur yang berkontribusi pada kerusakan tulang sehubungan



dengan



penyakit



inflamasi,



rheumatoid



arthritis.



Kontribusi



sistem



khususnya kekebalan



dengan terhadap



pengeroposan tulang yang terlihat pada osteoporosis, sebaliknya, kurang dipahami dengan baik. Penghentian fungsi ovarium dan terkait dengan itu, hilangnya estrogen telah diketahui sejak hampir delapan dekade sebagai peristiwa kunci dalam mendorong kehilangan tulang yang dipercepat pada awal menopause dan, seperti yang diusulkan oleh model kesatuan untuk patofisiologi. osteoporosis primer atau involusional, juga pada pengeroposan tulang yang lambat pada akhir pasca menopause, disebut sebagai kehilangan tulang terkait usia, dan pada pria lanjut usia. Efek kehilangan estrogen sampai batas tertentu dimediasi oleh modulasi langsung osteoblas, osteoklas, dan fisiologi osteosit melalui reseptor estrogen pada sel-sel ini. Secara khusus, kehilangan estrogen meningkatkan jumlah osteoklas dan pada saat yang sama menurunkan jumlah osteoblas yang mengarah ke aktivitas yang tidak seimbang dari unit multiseluler dasar yang mendukung resorpsi tulang. Namun, sekarang diterima dengan baik, bahwa efek defisiensi estrogen, khususnya pada resorpsi tulang, terutama tidak langsung melalui pelepasan sitokin yang aktif pada tulang. Di antara sitokin osteoklastogenik ini adalah sitokin inflamasi, menunjukkan peran interaksi system kekebalan dan jaringan tulang juga dalam patofisiologi osteoporosis. Peran dari dan fisiologi osteosit melalui reseptor estrogen pada sel-sel ini. Secara khusus, kehilangan estrogen meningkatkan jumlah osteoklas dan pada saat yang sama menurunkan jumlah osteoblas yang mengarah ke aktivitas yang tidak seimbang dari unit multiseluler dasar yang mendukung resorpsi



tulang. Namun, sekarang diterima dengan baik, bahwa efek defisiensi estrogen, khususnya pada resorpsi tulang, terutama tidak langsung melalui pelepasan sitokin yang aktif pada tulang. Di antara sitokin osteoklastogenik ini adalah sitokin inflamasi menunjukkan peran interaksi sistem kekebalan dan jaringan tulang juga dalam patofisiologi osteoporosis. Peran sitokin proinflamasi pada osteoporosis diperkuat oleh temuan peningkatan kadar TNF, IL-1, IL-6, atau IL-17 dalam sepuluh tahun pertama setelah menopause dan pada wanita postmenopause osteoporosis dibandingkan dengan wanita nonmenopause.



wanita



postmenopause-osteoporosis.



Selain



itu,



fenomena "inflamasi" yang ditandai dengan status inflamasi tingkat rendah dan peningkatan kadar penanda proinflamasi pada orang tua dalam beberapa penelitian telah dikaitkan dengan keropos tulang dan risiko patah tulang. Demikian pula, penyakit inflamasi kronis, misalnya rheumatoid arthritis atau penyakit Crohn, mempromosikan fenotipe osteoporotic. Seperti pada rheumatoid arthritis, juga pada sel-T osteoporosis yang dianggap sebagai sumber utama dari proinflamasi sitokin. Kelompok kami telah menunjukkan bahwa proporsi sel CD8 + yang mengekspresikan TNF meningkat pada wanita pascamenopause dengan fraktur osteoporosis bila dibandingkan dengan kontrol yang cocok. D'Amelio dkk. menggambarkan produksi yang lebih tinggi dari TNF dalam sel-T dan monosit dan Zhao et al. ekspresi IL-17 yang diatur lebih tinggi dalam sel CD4 + wanita pascamenopause osteoporosis. Namun, hubungan penting antara kehilangan estrogen, peradangan yang bergantung pada sel T, dan osteoporosis baru-baru ini terurai. Cline-Smith dkk. untuk pertama kalinya menjelaskan mekanisme molekuler di mana kehilangan estrogen mendorong peradangan tingkat rendah oleh sel-T selama fase akut kehilangan tulang pada tikus yang diovariektomi. Mereka memberikan data yang menunjukkan peran sentral sel dendritik sumsum tulang ( BMDCs)



dalam



induksi



sitokin



proinflamasi



yang



memproduksi



sel-T.



Ovariektomi (OVX) dalam penelitian mereka meningkatkan jumlah BMDC dan selanjutnya jumlah IL-7 dan IL-15 yang diproduksi oleh sel-sel ini. IL-7 dan IL-15, pada gilirannya, menginduksi antigen produksi independen IL-17A dan TNF dalam subset sel T memori (T MEM). Lebih lanjut, peran penting dari jalur yang disarankan dalam kehilangan tulang terkait OVX telah dikonfirmasi dengan menunjukkan bahwa ablasi spesifik sel-T dari IL15RA mencegah ekspresi IL-17A dan TNF dan peningkatan resorpsi tulang atau kehilangan tulang setelah OVX. Menariknya, penulis berspekulasi bahwa peran penting dari aktivasi T MEM pada pengeroposan tulang pascamenopause dapat memberikan penjelasan tentang berbagai kerentanan untuk mengembangkan osteoporosis dalam suatu populasi. Berbeda tingkat T MEM pada individu mencerminkan eksposur yang berbeda seumur hidup untuk mikroba komensal dan patogen dan mungkin terkait dengan tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah dari TNFα dan IL17A dan sebagai konsekuensi dari keropos tulang yang diinduksi setelah menopause. Subclass lain dari sel-T semakin terbukti bertindak di antarmuka sistem kekebalan dan kerangka peraturan T (T reg) sel. Mereka dicirikan oleh ekspresi faktor transkripsi FOXP3 dan fungsi utamanya adalah untuk menekan berbagai jenis sel kekebalan dan mencegah reaksi kekebalan yang berlebihan, peradangan, dan kerusakan jaringan.



Peran



mereka



dalam



biologi



tulang



jelas



anti-



osteoklastogenik. Dengan demikian, pengalihan T reg sel menjadi tikus yang kekurangan sel T dikaitkan dengan peningkatan massa tulang dan penurunan jumlah osteoklas. Bahkan, Foxp3 tikus transgenik dilindungi dari kehilangan tulang akibat OVX, mendukung a peran T reg sel dalam pengeroposan tulang sehubungan dengan deprivasi estrogen. Sejalan dengan ini, estrogen telah terbukti merangsang proliferasi dan diferensiasi dari T reg sel.



Peran dari Sel B. dalam patofisiologi osteoporosis didukung oleh temuan bahwa mereka memproduksi RANKL dan OPG, dan, karenanya, bertindak sebagai pengatur sumbu RANK / RANKL / OPG. Memang, produksi RANKL oleh sel-B meningkat di pascamenopause perempuan dan ablasi sel B dari RANKL pada tikus dari kehilangan tulang trabekuler setelah ovariektomi. Peran sel B dalam metabolisme tulang dan osteoporosis diperkuat lebih lanjut oleh hasil studi ekspresi gen global oleh Pineda dkk. Membandingkan ekspresi gen pada tikus OVX dan tikus kontrol, mereka mengidentifikasi beberapa jalur yang dikaitkan dengan biologi sel B di antara tikus. jalur kanonik atas terpengaruh. Sebuah studi yang lebih baru membandingkan ekspresi gen global dalam sel-B yang diperoleh dari sumsum tulang OVX dan tikus control. Pada tahap kedua, mereka mempelajari hubungan polimorfisme dalam gen yang diekspresikan secara berbeda pada wanita



pascamenopause



dan



mengidentifikasi



hubungan



yang



signifikan antara polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) di CD80 dengan kepadatan mineral tulang (BMD) dan risiko osteoporosis. Hubungan yang mungkin antara molekul ini dan BMD mungkin tidak langsung melalui fungsi kostimulatori untuk aktivasi sel-T atau langsung



melalui



efek



penghambatan



yang



dijelaskan



pada



pembentukan osteoklas. Kesimpulannya, ada bukti substansial untuk kontribusi sel-B terhadap perkembangan osteoporosis. 8,14



Gambar 1. Patofisiologis osteoporosis



2.5 Gejala Klinis Osteoporosis merupakan “silent disease” karena tidak memiliki tanda dan gejala kecuali jika terjadi fraktur. Fraktur dapat berakibat rasa nyeri, deformitas tulang, kecacatan, bahkan kematian.



8



Biasanya tidak ada manifestasi klinis dari osteoporosis sampai pasien benar-benar mengalami patah tulang. Tanda dan gejala yang terkait



dengan



osteoporosis



berhubungan



dengan



manifestasi



langsung atau tidak langsung dari patah tulang ini. Pasien mungkin mengalami penurunan tinggi badan, nyeri punggung, dan kifosis toraks setelah mengalami patah tulang belakang. Selain itu, manifestasi kifosis toraks dapat mencakup dispnea dari penyakit paru restriktif paru serta sembelit. Nyeri yang signifikan sering terlihat pada kedua tulang belakang patah tulang dan patah tulang pinggul, meskipun beberapa pasien mungkin datang dengan patah tulang belakang tanpa gejala yang secara klinis tidak mencolok. Cacat fungsional sering terjadi setelah patah tulang dan seringkali membutuhkan rehabilitasi untuk meningkatkan status fungsional jangka panjang.9 2.6 Diagnosis Banding Diagnosis banding osteoporosis diantaranya osteomalasia, tumor, osteonecrosis,



metastasis,



osteogenesis



imperfekta,



renal



osteodynastrophy, sickle cell anemia, fraktur patologis sekunder yang diesebabkan metastasis.10 2.7 Diagnosis a. Anamnesis keluahan utama : seringkali pasien tidak disertai keluahn sampai timbul fraktur. Apabila sudah terjadi fraktur maka akan memberikan gejala sesuai lokasi fraktur misalnya nyeri pinggang bawah, penurunan tinggi badan, kifosis.



b. Pemeriksaan fisik 1. keadaan umum : tinggi dan berat badan, gaya berjalan , deformitas tulang, leg length inequality. 2. Protuberansia abdomen yang dapat disebabkan oleh kifosis dan kulit yang tipis (tanda McConkey). 3. Nyeri tulang atau deformitas yang disebabkan oleh fraktur. 4. sklera yang biru biasanya terdapat pada penderita osteogenesis imperfekta. Penderita ini biasanya akan mengalami ketulian, hiperlaksitas ligament dan hipermobilitas sendi dan kelainan gigi. Pada rikets, beberapa penemuan fisik sering dapat mengarah ke diagnosis, seperti perawakan pendek, nyeri tulang, kraniotabes, parietal pipih, penonjolan sendi kostokonral (rashitic rosary), bowing deformity tulang-tulang panjang dan kelaianan gigi. 1,10 c. Pemeriksaan penunjang Radiologi 1. Foto polos (untuk kecurigaan fraktur osteoporosis misalnya pada fraktur vertebra atau panggul). Gambaran radiologi yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra. Bowing



deformity



pada



tulang-tulang



panjang,



sering



didapatkan pada anak-anak dengan osteogenesis imperfekta, rikets dan dysplasia fibrosa.1 2. Pemeriksaan densitas massa tulang (bone mass densitometry, BMD) Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan tepat untuk menilai densitas massa tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai factor prognosis, prediksi fraktur dan bahkan diagnosis osteoporosis. Berbagai metode yang dapat



digunakan untuk menilai densitas tulang adalah single-photon absorptiometry (SPA) dan single-energy X-ray absorptiometry (SPX) lengan bawah dan tumit,



dual-photon absorptiometry



(DPA) , dan dual-energy X-ray absorptiometry (DPX) lumbal dan proksimal femur dan quantitative computed tomography (QCT) Untuk



menilai



hasil



pemeriksaan



densitometri



tulang,



digunakan kriteria kelompok kerja WHO yaitu:  Normal, bila densitas massa tulang diatas -1 SD rata-rata nolai densitas massa tulang orang dewasa muda (T-Score)  Osteopenia, bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari T-Score.  Osteoporosis, bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.  Osteoporosis berat yaitu osteoporosis disertai adanya fraktur. 



Pada wanita premenopouse dan laki-laki -1,0, dan risiko fraktur tulang panggul 10 tahun