Refarat Radiologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Fibrous dysplasia merupakan lesi jinak intramedular fibro-osseus yang pertama kali diperkenalkan oleh Lichtenstein pada tahun 1938 dan Jaffe pada tahun 1942. Insidensi dan prevalensi sebenarnya dari fibrous dysplasia sulit diperkirakan, tetapi lesi ini tidaklah jarang, dilaporkan angka kejadiannya sekitar 5-7% dari seluruh tumor jinak. Lesi fibrous dysplasia berkembang selama proses pembentukan dan pertumbuhan tulang dan memiliki evolusi natural yang bervariasi. Presentasi klinis dapat terjadi pada semua usia, dengan lesi mayoritas dideteksi pada umur 30an. Tidak ada predileksi jenis kelamin. Lokasi tulang yang paling sering terkena adalah tulang panjang, sternum, tulang kraniofacial dan pelvis. 1



Tulang merupakan jaringan kalsifikasi yang padat, yang secara khusus dapat dipengaruhi oleh berbagai jenis penyakit yang dapat bereaksi terhadap perubahan bentuk. Lesi fibro-osseus merupakan istilah yang sering digunakan didalamnya termasuk dysplasia tulang, sebagaimana neoplasma dan lesi lain pada tulang. Fibrous dysplasia merupakan kelainan perkembangan tulang pada pembentukan mesenkim tulang yang bermanifestasi sebagai defek pada diferensiasi dan maturasi osteoblastik. Keterlibatan tulang merupakan ciri khas fibrous dysplasia tetapi abnormalitas ekstra skeletal dapat menyebabkan keseluruhan penyakit yang kompleks. Disebutkan berbagai nama dalam literature yaitu fibroma kalsifikasi intraosseus, kista osteomatous, kista fibrosa osteitis dan fibroma osseus. 1,2



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA ANATOMI Tulang temporal merupakan gabungan dari 4 bagian yaitu : tulang skuamous, timpanik, mastoid dan petrosus. 2,3,4



Tulang Skuamous Bagian skuamous dari tulang temporal merupakan bagian yang paling besar dari permukaan lateral tulang. Berada di atas processus zigomaticus, bagian vertical dari tulang ini memanjang menutupi bagian temporal otak. Processus zigomaticus sebenarnya merupakan bagian skuamous dari tulang. Berawal dari anterior ke kanalis akustikus eksterna setingkat dengan penghubung bagian vertical dan horizontal tulang skuamous. Dasar dari processus zigomaticus menunjukkan penonjolan yang disebut tuberkel zigomaticus.



Processus



zigomaticus menipis dan mendatar pada saat berpisah dari tulang skuamus dan berakhir dengan artikulasi dengan tulang zigomaticus. Pada bagian posterior kanalis auditori eksterna, processus zigomaticus dapat dilihat sebagai suatu garis yang samar, krista supramastoid, menindikasikan tinggat fossa cranial medial. Tulang skuamous memanjang ke inferior pada bagian retromeatal, membentuk bagian mendatar dari processus mastoid. Baagian skuamous dari tulang temporal juga membentuk bagiaan superior baik dinding anterior dan posterior dari kanaalis auditori eksternal baiang tulang. Pada tepi posterosuperior dari kanal, kita dapat melihat spina Henle.



Gambar 1. Dikutip dari kepustakaan 2. Tulang temporal kanan, dilihat dari sisi lateral.



2



Tulang Timpani Tulang timpani berbentuk saluran membentuk bagian inferior dan sebagian besar dinding anterior dan posterior kanalis auditori eksternal bagian tulang. Dua sutura berada diantara struktur dasar yang membentuk tulang temporal berada di kanalis. Sutura timpanoskuamous



berada



di



anterosuperior,



dan



sutura



timpanomastoid



berada



posteroinferior. Jaringan konektif berada diantara kedua sutura ini, dan dioerlukan diseksi tajam pada saat melakukan elevasi kulit meatal. Sendi temporomandibular berada di bagian anterior kanal dan dipisahkan oleh kerangka tulang tipis. Tepi lateral tulang timpani kasar untuk tempat perlekatan dengan bagian kartilago kanalis auditori eksternal, yang membentuk dua pertiga kanal. Tipe inferior dari tulang timpani memanjang dan membentuk processus vaginal dimana processus styloid terletak



Gambar 2. Dikutip dari kepustakaan 2. Tulang temporal kiri, dilihat dari sisi posterolateral



Processus Mastoid Processus mastoid dapat dilihat pada tepi anterior dan inferior tulang temporal, menonjol ke anteroinferior pada berbagai tingkatan, tergantung pneumatisasi mastoid. Processus mastoid berfungsi sebagai bagian anterior pada perlekatan dengan otot sternokleidomastoideus. Pada permukaan medial terdapat digastric groove, dimana bagian posterior dari muskulus digastric berasal. Pada ujung posteromedial groove, dapat dilihat arteri oksipital. Foramen stylomastoid, yang mana trunkus utama dari nervus fasialis keluar dari tulang temporal, dapat terlihat pada tepi anterior digastric ridge posterior hingga ke 3



processus styloid. Komponen temporal foramen jugulare dapat dilihat pada bagian anteromedial ke foramen stylomastoid dan medial baaik pada tulang timpanik dan processus styloid. Dari tepi lateral foramen, spina jugular dari tulang temporal dapat meluas ke foramen melalui bagian oksipital dan memisahkan foramen ke bagian vascular dan nervus. Melalui fossa dan pada tingkat yang lebih superior, atap dari bulbus jugularis dapat dilihat. Pada bagian posterior terdapat kanal kecil dimana nervus Arnold lewat (cabang auricular nervus vagus), sementara di ujung anterior groove sinus petrosal pada bagian anterior dan lateral dapat dilihat muara dari duktus koklearis. Foramen arteri karotis interna dipisahkan dari tepi anterior foramen jugular oleh lapisan tulang yang tipis disebut spina jugulokarotid, dimana kanal pada bagian tersebut lewat nervus Jacobson ( nervus timpanik ) pada cavum timpani.



Tulang Petrosus Merupakan bagian yang paling menonjol pada sisi medial tulang temporal. Berbentuk seperti pyramid, bagian ini menonjol kearah anteromedial, dengan dasarnya terletak pada bagian lateral dan dibentuk oleh kanalis semisirkularis, vestibulum, koklea dan arteri karotis. Apeks dari tulang ini membentuk bagian anterior foramen lacerum. Melalui apeks, arteri karotis interna keluar dari tulang petrosus ke bagian anterior foramen lacerum, dimana berbelok ke superior menuju ke sinus kavernosus. Ujung pars bony tuba Eustachius, istmus, juga berada pada apeks anterior pembukaan carotid dan bagian medial spina sphenoid. Permukaan superior tulang petrosus membentuk bagian medial fossa kranii medial. Berawal dari eminemsia arkuata dan berakhir pada foramen lacerum. Lekukan dari nervus petrosus mayor dapat melalui tulang dekat tepi anterior pada permukaan. Pada 10% kasus, nervus dapat berada pada bagian posterior ganglion genikulata dehisens. Sudut percabangan ini dibentuk oleh lekukan dan eminensia arkuata yang menandai posisi kanalis auditori internal. Dekat foramen lacerum, kita dapat melihat kesan dari kavitas Meckel. Tepi posterior dari permukaan ini ditandai oleh lekukan sinus petrosus superior, yang memisahkan permukaan anterior dan posterior. Permukaan posterior tulang petrosus membentuk bagian posterior fossa kranial. Muara duktus dan sakkus endolimfatikus dapat dilihat pada ujung anterior permukaan ini. Muara ini merupakan landmark yang penting untuk kanalis semisirkularis lateral pada prosedur yang menggunakan pendekatan retrosigmoid. Keistimewaan dari permukaan posterior ini adalah meatus auditori internal.



Empat elemen dari tulang temporal adalah petrosus, skuamous, tulang mastoid, dan tulang timpanik. Merupakan bagian inferolateral skull base dan hampir terbentuk dengan 4



sempurna pada saat kelahiran, dan berkembang hingga umur 3 tahun. Tambahan pada struktur osseus, tulang temporal mengandung hampir semua tipe jaringan manusia, jaringan epithelial, neural, epidermal, vascular, kartilago, dan glandula. Hampir semua jenis tumor dapat tumbuh pada tulang temporal. Pada permukaan lateroinferiornya terdapat bagian tulang dan kartilago kanalis auditori eksterna. Limfatik aurikula dan kanalis auditor eksterna mengalir ke parotis dan kelenjar limfe pre dan retroaurikula. Drainase vena mengalir ke vena jugularis interna. Dura fossa medial terletak pada permukaan superior. Pada bagian anteromedial, tulang temporal berhubungan dengan tuba Eustachius, arteri karotis interna, dan ridge petrosus, dengan sinus petrosal pada bagian superior. Apeks petrosus merupakan tempat ganglion genikulata, struktur embriologikal yang bermacam-macam, yang merupakan lokasi asal yang paling sering dari berbagai macam neoplasma.



Nasofaring memiliki hubungan anatomis yang penting dengan tulang temporal. Postero-medial dari pars petrosus merupakan tempat dari kanalis auditori interna dan isinya. Pada bagian anterior terdapat fossa glenoid, semikanal otot tensor timpani, dan kanal arteri karotis interna. Fossa infratemporal lebih di anterior. Ruang pneumatisasi pada tulang temporal merupakan jalan untuk penyebaran tumor, yang bervariasi tergantung derajat dan meluas sesuai dengan pola pneumatisasi itu sendiri. Membran timpani merupakan pertahanan terhadap penyebaran ke medial dari lesi patologis pada kanalis auditori eksterna. Labirin pars tulang resisten terhadap tumor dan berfungsi sebagai barrier sementara. Bersama dengan struktur neurovaskuler, foramen Huschke, penutupan inkomplit dari cincin timpanik, dapat juga berfungsi untuk mencegah tumor meluas ke batas intracranial tulang temporal, ke parotis, dan ke fossa infratemporal. Tambahan pada drainase limfatik periaurikuler, yang sangat relevan dengan penyakit pada kanalis auditori eksterna, telinga di suplai oleh aliran limfe cervical superior, jugular profunda, post aurikuler, dan profunda posterior. Telinga dalam tidak mendapat aliran limfatik, telinga tengah, mastoid dan tuba Eustachius mengalir ke limfenodus jugular profunda dan retrofaringeal. Peran dari system limfatik terhadap tumor tulang temporal dan penanganannya maasih belum diketaahui dengan jelas.



TUMOR TULANG TEMPORAL Berbagai tipe tumor dapat muncul pada tulang temporal, biasanya jarang; pada kenyataannya keberadaan beberapa tumor pada tulang temporal sangat terisolasi dan merupakan materi laporan kasus. Berdasarkan anatomi, lesinya dapat diklasifikan sebagai : 5



1. Tumor kanalis auditori eksternal -



Osteoma



-



Eksostosis



-



Fibrosis dysplasia



-



Histicitosis X ( histiositosis sel Langerhans )



-



Papilloma



-



Neoplasma nerve sheath



-



Paraganglioma



-



Hemangiona



2. Tumor pada telinga tengah -



Adenoma



-



Meningioma



-



Chordoma



-



Paraganglioma



-



Hemangiopercytoma



-



Schwanomma



3. Tumor pada telinga dalam/ apeks petrosus -



Paraganglioma tumor ( glomus tumor )



-



Lipoma



-



Schwanoma



-



Hemangiopericytoma



-



Granuloma kolesterol



Disamping neuroma akustik, tumor glomus merupakan tumor yang paling sering ditemukan oleh neurologist. Syukurnya, karsinoma tulang temporal terbilang jarang. Secara umum, lesi jinak pada tulang temporal tumbuh secara lambat dan tersembunyi, dengan keluhan yang minimal hingga berkembang lebih lanjut. Perkembangan lesi ini lambat sehingga gejala neorologis mengalami kompensasi simultan dan dapat tidak diketahui oleh pasien. Tak dapat dielakkan, lesi ini menghasilkan neuropati kranial dan menyebabkan penurunan pendengaran, disfungsi versitibular, masalah menelan, disfagia dengan inkompetensi glottis, parese nervus fasialis, dan gangguan penglihatan. Tumor tulang temporal yang jinak secara konseptual diwakili oleh tumor glomus, diagnosis dan penatalaksanaanya juga dapat diaplikasikan pada lesi yang lebih jarang. Pasien biasanya datang dengan keluhan otalgia, bloody otore arau mukopurulen, otitis eksterna yang tidak responsive, jaringan granulasi pada kanalis akustikus eksterna, atau neuropati kranial 6



yang progresif, khususnya pada usia lanjut atau riwayat otitis media kronik yang lama, sebaiknya dievaluasi terhadap kemungkinan malignansi dan perlu segera dibiopsi. Penanganan baik lesi jinak maupun maligna tergantung tipe penyakit dan perluasannya. Solusi yang tidak mudah diperlukan pada situasi yang sulit. Pengangkatan tumor secara total merupakan hal yang penting dan, jika memungkinkan, sebaiknya dilakukan dengan penggunaan scope yang fleksibel untuk memungkinkan konservasi struktur vital. Jika konservasi sulit dilakukan, strategi rekonstruksi defek dan rehabilitasi nervus kranialis sebaiknya direncanakan preoperative. 3,4



SEJARAH Pada tahun 1891, fibrous dysplasia pada tulang pertama kali ditemukan oleh Von Recklinghausen. Pada tahun 1938, Lichtenstein dan Jaffe pertama kali memperkenalkan istilah fibrous dysplasia. Pada tahun 1942, Lichtenstein dan Jaffe, melaporkan manifestasi klinis yang berbeda yaitu bentuk soliter (monostotik) dan multipel (poliostotik). Pada tahun 1946, Schlumberger secara khusus mendalami mengenai fibrous dysplasia tipe monostotik. Pada tahun 1983, Shafer et al menggambarkan lesi radiologik, yang saangat bervariasi tergantung pada maturitas dan pola dasarnya dapat terlihat.



DEFENISI 1. Fibrous dysplasia merupakan tumor jinak yang progresifitasnya dan perluasannya lambat, dan etiologi yang tidak diketahui dimana tulang normal digantikan oleh jaringan fibro-osseus yang abnormal. 2. Fibrous dysplasia merupakan penyakit berbasis genetic yang menyebar pada tulang, mutasi pada gen ( GNAS-1) yang mengkode sub unit alfa dari protein-G yang mentransduksi sinyal ( Gsalpha ).5,6



ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Fibrous dysplasia dihipotesiskan terjadi sebagai hasil dari kegagalan perkembangan dalam remodeling tulang primitive untuk menjadi tulang lamellar yang matang dan kegagalan tulang untuk menyusun kembali sebagai respon terhadap tekanan. Kegagalan maturasi meninggalkan massa trabekula imatur yang terisolasi dalam jaringan displatik fibrosa yang berganti secara konstan tetapi tidak ( atau sangat, sangat lambat ) melengkapi proses remodeling. Sebagai tambahan, matriks yang immature tidak dimineralisasi secara normal. 7



Kombinasi dari kurangnya penyeimbangan tekanan dan mineralisasi yang tidak cukup menyebabkan kurangnya kekuatan mekanik, yang mengacu kepada timbulnya nyeri, deformitas, dan fraktur patologis. Etiologinya dikaitkan dengan mutasi gen Gsα yang terjadi setelah fertilisasi pada sel somatic dan berlokasi pada kromosom 20q. Semua sel yang berasal dari sel yang bermutasi bermanifestasi dalam bentuk displastik. Presentasi klinis bervariasi tergantung dibagian sel mana mutasi terjadi dan ukuran massa sel selama embryogenesis ketika mutasi terjadi. Penyakit kronik dapat dihubungkan dengan kejadian mutasi awal yang mengacu pada distribusi sel mutan yang banyak dan meluas. Penyebaran terjadi pada penyakit ini dan ditandai dengan pola kulit yang mengalami lateralisasi keterlibatan tulang pada fibrous dysplasia jenis poliostotik yang menunjukkan distribusi mosaic sel yang abnormal. Mutasi Gsα pertama kali diidentifikasi pada pasien dengan sindrom McCuneAlbright, suatu kelainan yang jarang yang mengkombinasikan fibrous dysplasia poliostotik, pigmentasi kulit, salaah satu endokrinopati. Gen Gsα juga dikaitkan dengan tumor endokrin yang lain dan penyakit manusia. Weinstein et al menganalisa DNA dari empat pasien dengan sindrom McCune-Albright dan menemukan bahwa pada keempatnya terjadi mutasi gen yang aktif pada subunit α guanine-nucleotide binding protein (Gsα) yang menghambat aktivitas GTPase dan mengacu pada aktivasi adenilat siklase dan peningkatan pembentukan cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Mutasi ditemukan terjadi pada region koding 8 pada gen Gsα ketika analisis PCR digunakan untuk memperbesar DNA genomic pasien. Penelitian molekuler yang lain juga digunakan untuk menyaring mutasi. Lokasi spesifik dari mutasi yaitu pada posisi 201, yang biasanya ditempati oleh arginine (R201) dan digantikan oleh sistein (R201C) atau histidin (R201H). Pada penelitian multi-institusi dimana tehnik yang sama digunakan, Shenker et al mengidentifikasi residu mutasi Arg201 dari Gsα pada tiga pasien tambahan dengan sindrom McCune-Albright. Bukti yang paling kuat untuk mendukung keterkaitan genetic dengan etiologi fibrous dysplasia terdapat dalam studi eksperimental yang dilakukan oleh Bianco et al, yang mengisolasi gen Gsα pada pasien dengan sindrom McCune-Albright, ditransplatasikan pada tikus yang immunocompromised, dan menginduksi produksi tulang displatik.



Model selular in vivo fibrous dysplasia ini mengilustrasikan pentingnya baik sel normal maupun sel mutan dalam perkembangan fibrous dysplasia. Marie et al menunjukkan 8



bahwa aktivasi mutasi Gsα pada sel osteoblastik pada pasien dengan sindrom McCuneAlbright dan penyakit monostotik yang mengacu kepada aktivasi adenilat siklase, peningkatan proliferasi sel, dan differensiasi sel yang tidak sesuai, menghasilkan produksi berlebihan matriks tulang fibrotic pada fibrous dysplasia tipe poliostotik daan monostotik.1,7



INSIDEN DAN PREVALENSI Pada tahun 2002, di Institusi Kesehatan Nasional Bethesda Maryland , 51 pasien didiagnosa fibrous dysplasia. Fibrous dysplasia paling sering ditemukan di maksila dan mandibula. Pada tulang kraniofacial lebih sering ditemukan tipe poliostotik dibandingkan monostotik.1,8



KLASIFIKASI FIBROUS DYSPLASIA Tipe-tipe utama fibrous dysplasia adalah : 1. Fibrous dysplasia monostotik Hanya satu tulang yang dipengaruhi. Ditemukan dengan insidensi 7 kasus dari 10 kasus. Region yang paling sering ditemukan tipe ini adalah pada tengkorak. 2. Fibrous dysplasia poliostotik Dua atau lebih tulang yang terkena. 3. Sindrom McCune-Albright Dapat diasosiasikan dengan gangguan hormone dan perubahan pigmen kulit. Ditemukan pada sekitar 1 dari 10 kasus fibrous dysplasia. Beberapa orang dengan fibrous dysplasia memiliki masalah hormone dan perubahan pada warna kulit. Umumnya, orang dengan lebih dari satu tulang yang terkena fibrous dysplasia memiliki resiko yang tinggi untuk terkena sindrom McCune-Albright. Gejalanya antara lain : -



Mengalami pubertas sebelum berusia 10 tahun



-



Overaktifitas glandula pituitary yang menyebabkan pertumbuhan tinggi yang abnormal



-



Hipertiroidisme



-



Spot yang menghitam pada kulit (café-au-lait spot ) 1,4



9



GEJALA KLINIS 1. Temuan yang tidak disengaja Kebanyakan lesi monostotik bersifat asimptomatik dan kadang ditemukan pada pemeriksaan radiologi yang melibatkan organ lain yang dilakukan dengan indikasi yang lain. 2. Nyeri tulang Nyeri yang terlokalisir dapat ditemukan pada pasien dengan fraktur akibat kelelahan karena tekanan yang tinggi padaa regio tulang displastik. Hal ini khususnya nyata pada lesi pada leher femoral. Usia dimana gejala muncul bervariasi dari usia 6-56 tahun. Pasien wanita daapaat mengalami nyeri yang meningkat selama kehamilan dan khususnya selama siklus menstruasi oleh karena reseptor estrogen yang ditemukan pada fibrous dysplasia. 3. Deformitas Derajat deformitas tergantung pada perluasan dan lokasi dari lesi, umur pasien, dan jenis lesi. Lesi poliostotik yang difus pada tulang yang sering terkena tekanan berat yang besar cenderung mudah untuk mengalami deformitas (bungkuk) yang meningkat seiring dengan pertambahan usia dan pertumbuhan tulang. Tidak seperti deformitas pada pasien dengan penyakit monostotik, deformitas pada pasien dengan penyakit poliostotik daapat lanjut berkembang setelah maturitas tulang. Frodel et al melaporkan ekspansi lokal fibrous dysplasia pada tulang maksila, zigoma, atau tulang ethmoid pada wajah dapat menyebabkan deformitas pada fungsinya dan secara kosmetik. Pada region wajah, perluasan kontur pada tulang dapat menyebabkan deformitas yang aneh. Sinus paranasalis kadang kolaps dan satu atau kedua mata dapaat mengalami eksoftalmus oleh karena kompresi. Masalah penglihatan dan dizziness sering dijumpai pada lesi di tulang wajah dan dysplasia pada maksila dapat menyebabkan epifora. Pertumbuhan ke dalam sinus maksila dapat menghasilkan gejala oleh karena blockade dari system drainase, dan pertumbuhan ke orbita yang dapat menyebabkan gangguan visual seperti proptosis dan lain-lain. 4. Fraktur Fraktur pada tulang displastik sembuh dengan segera, setelah penyembuhan terjadi, lesi hampir kembali ke keadaan sebelum fraktur. 1,6



10



PEMERIKSAAN RADIOLOGI Foto Polos Gambaran radiologi fibrous dysplasia sangat bervariasi. Tulang yang normal digantikan oleh jaringan yang lebih radiolusen, dengan pola “ground-glass” abu-abu yang mirip dengan densitas tulang spongiosa tetapi lebih homogeny, dengan pola trabecular yang nyata. Daerah yang radiolusen terdiri secara histologis oleh massa jaringan yang fibro-osseus, yang mengandung komponen kistik dengan kaavitaas yang terisi oleh cairan. Lesi ditandai oleh pembatas tulang reaktif yang nampak lebih tajam pada bagian dalam daripada bagian luar, yang dapat semakin memudar ke arah normal atau tulang spongiosa. Lesi monostotik matur setelah pertumbuhan tulang berhenti. Gambaran radiologis menunjukkan maturasi ini, dengan adanya peningkatan dalam ketebalan batas reaktif pada lesi dan pada densitas lesi itu sendiri. Poliostotik fibrous dysplasia memiliki gambaran radiologis yang sama dengan monostotik. Oleh karena lesi poliostotik lebih luas, sehingga lebih sering disertai dengan deformasi.



Scintigraphy Pada awalnya scintigraphy tulang radionuklir digunakan untuk menunjukkan perluasan dari penyakit. Pembentukan lesi yang aktif pada orang dewasa dapat meningkatkan uptake isotope yang berhubungan erat dengan perluasan radiologi dari lesi. Isotope dapat menunjukkan peningkatan uptake selama hidup, tetapi uptakenya menjadi lebih berkurang seiring dengan kematuran lesi. Scintigraphy tulang sensitive untuk mendeteksi lesi, tetapi penyusutan uptake tidak spesifik. Beberapa karakteristik ditemukan paada lesi fibrous dysplasia yaitu pola berbentuk batang, keterlibataan seluruh tulang, dan kemiripan antara ukuran lesi pada raadiologi dan ukuran area uptake.



Computed Tomography CT scan merupakan pemeriksaan yang terbaik untuk menunjukkan karakteristik radiografi pada fibrous dysplasia. Perluasaan lesi dapat dilihat dengan nyata, dan batas kortikal digambarkan dengan lebih detail daripada foto polos atau MRI.



11



Gambar 3a dan 3b. dikutip dari kepustakaan 6. (a) CT scan axial menunjukkan adanya pertumbuhan tulang pada temporal dekstra dengan gambaran sklerotik pada air cell mastoid. Tetapi, telinga tengah dan telinga luar tetap ada (gambar panah). Temporal kiri dalam batas normal. (b) CT scan coronal yang menunjukkan ekspansi tulang pada temporal dekstra dengan perubahan litik pada air cell mastoid. Magnetic Resonance Imaging MRI memiliki arti yang sensitive untuk menentukan bentuk lesi dan isi dan ukuran area yang terkena. Dalam sebuah penelitian yang menunjukkan hubungan antara karakteristik MRI dengan temuan raadiologis, daerah kistik dapat terlihat pada 2 dari 13 lesi. Kista ini menunjukkan intensitas sinyal yang tinggi pada gambaran T2 sekunder daripada yang berisi cairan. Daerah hipointens fibrosa menunjukkan peningkatan yang moderat bersama dengan pemberian gadolinium intravena yang menunjukkan pembuluh darah kecil yang multipel dalam komponen lesi ini.



GAMBARAN PATOLOGI



Gross Pathology Paparan pembedahan terhadap fibrous dysplasia menunjukkan jaringan putih kekuningan dengan perabaan khas seperti pasir, dinyatakan oleh trabekula tulang kecil yang berserakan sepanjang lesi. Lesi dapat dikeluarkan dari lingkaran tulang yang reaktif dengan diseksi tumpul, dan jarang ditemukan, berpenetrasi keluar dari kerangka reaktif dan meluas ke jaringan lunak sekitarnya. Jaringan dapat dipotong dengan menggunakan scalpel dan 12



beresiko mengalami perdarahan ketika dipotong, oleh karena adanya konsentrasi kecil pembuluh darah. Jika terjadi perdarahan selama prosedur, dapat dikontrol dengan kuretase yang komplit dan cepat.



Gambaran Histologis



Gambar 4. Dikutip dari kepustakaan 1. Stroma mesenkimal mengelilingi trabekula displastik relative hiposeluler. Kurangnya rimming osteoblastik mengelilingi trabekula displastik. Merupakan karakteristik fibrous dysplasia (hematoxylin and eosin, ×200). Kunci dari gambaran histologis fibrous dysplasia adalah adanya trabekula tulang immature yang lunak, tanpa rimming osteoblastik, terperangkap dalam stroma fibrosa yang lunak pada sel displastik berbentuk spindle tanpa gambaran malignansi seluler. Rasio jaringan fibrosa dengan tulang bervariasi, hingga yang seluruh displastik trabekula terisi oleh jaringan fibrosa. Pemeriksaan makrosection lesi menunjukkan adanya tepi lesi yang terpisah dari tulang sekitarnya oleh lapisan tipis tulang lamellar reaktif. Kesan secara keseluruhan adalah adanya sekelompok displastik trabekula yang immature, tidak stressoriented, tidak terkoneksi, yang mengambang pada laautan sel mesenkimal immature yang memiliki sedikit atau tidak memiliki kolagen sama sekali. Pola trabekula yang acak disamakan dengan “sop alphabet”. Stroma mesenkimal dikelilingi oleh trabekula displastik yang realtif hiposeluler dan disusun oleh sel mesenkimal primitive berbentuk spindle yang menghasilkan sedikit ( atau tidak ) fibril kolagen.



13



Tansformasi Maligna Transformasi maligna fibrous dysplasia sangat jarang terjadi dengan prevalensi 0,44%. Menentukan insiden transformasi ini sulit. Terapi radiasi meningkatkan resiko transformasi malignansi. Tumor ganas yang paling sering adalah osteosarcoma, fibrosarcoma dan chondrosarcoma. Kebanyakan pasien berusia di atas 30 tahun ketika terdiagnosa sarcoma. Region kraniofacial adalah yang paling sering terkena. Tingkat malignansi pada lesi monostotik adalah 1,9% dan lesi poliostotik adalah 6,7%.



DIAGNOSIS BANDING Lesi yang memberi kesan kearah fibrous dysplasia termasuk kista tulang sederhana, fibroma non ossifiying, osteofibrous dysplasia, adamantinoma, osteosarcoma intrameduler low-grade, dan penyakit Paget. Kista tulang sederhana cenderung lebih radiolusen dari fibrous dysplasia, menghasilkan perluasan area yang lebih luas, dikelilingi oleh sejumlah lamella tulang yang tipis. Densitas fibrous dysplasia yang lebih besar dan tekstur homogen “ground-glass” dapat terlihat pada pemeriksaan CT scan. Jika ada indikasi klinis, dapat dilakukan aspirasi untuk membedakan antara kedua lesi tersebut. Cairan berwarna kemerahan dapat diaspirasi dari kista dan nampak pengisian komplit lesi radiolusen oleh material kontras yang direkomendasikan untuk diagnosis kista tulang yang tunggal. Fibroma non ossifying merupakan lesi fibrosa jinak yang sering ditemukan pada tulang. Biasanya asimptomatik dan menyusut seiring dengaan pertambahan usia. Setelah tulang mature, lesi cenderung meluas dan mengalami osifikasi secara bertahap. Dysplasia osteofibrous, atau fibroma ossifiying, pertama kali diidentifikasi oleh Campanacci pada tahun 1976, merupakan suatu lesi yang jarang, paling sering ditemukan pada tibia atau fibula, dan pada anak usia kurang dari 10 tahun.1



PENATALAKSANAAN Observasi dan Edukasi Beberapa lesi ditemukan secara tidak sengaja melalui pemeriksaan radiologis dan biasanya bersifat asimptomatik. Jika temuan radiologisnya karakteristik fibrous dysplasia, maka tdak diindikasikan untuk biopsy. Follow up radiologi sebaiknya dilakukan setiap 6 14



bulan untuk melihat perkembangan tumor. Scan tulang juga diperlukan untuk mengekslusikan diagnosis penyakit poliostotik. Jika ditemukan maka perlu dirujuk ke bagian endokrin metabolic untuk pemeriksaan lanjut sehingga kelainan yang berkaitan dengan endokrin dapat didiagnosa dan diterapi lebih awal.1



Pengobatan Tidak ada terapi medikamentosa yang dapat menyembuhkan atau menghentikan perkembangan penyakit ini. Kortison dapat membantu dalam meredakan nyeri, tetapi tidak konsisten. Terapi hormone memiliki sedikit efek. Kalsitonin, mithramycin dan etidronate, juga telah dicoba pada beberapa kasus dengan angka kesuksesan yang sedikit.1,7



Pembedahan Penatalaksanaan fibrous dysplasia facial adalah pembedahan, yaitu eksisi dan kuretase. Pada anak-anak, prosedur operasi sebaiknya ditunda, jika memungkinkan, hingga setelah pubertas ketika lesi cenderung statis. Menurut Zimmerman, sekitar 20% lesi lanjut bertumbuh setelah terapi, kecuali yang diterapi dengan eksisi radikal. Radioterapi kontraindikasi karena kemungkinan perkembangan sarcoma akibat induksi radiasi. Terapi pembedahan radikal awal dianjurkan baik sebagai profilaksis dan usaha kompresi ulang.1



15



BAB III LAPORAN KASUS DAN DISKUSI



Dilaporkan 3 kasus mengenai fibrous dysplasia craniofacial di Rumah sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar. Pada kasus I, seorang wanita berusia 28 tahun dengan keluhan benjolan di belakang telinga kiri yang dirasakan sejak 5 tahun yang lalu, awalnya benjolan berukuran kecil tetapi sejak 1 tahun terakhir dirasakan semakin membesar dan nyeri yang bersifat hilang timbul, tidak ada riwayat otalgia maupun otore, tidak dirasakan keluhan yang lain pada telinga, hidung dan tenggorok. Dari pemeriksaan fisis, pada inspeksi nampak massa pada regio temporal sinistra, dengan ukuran 4,5x4,5x3 cm, permukaan mulus, tidak berbenjol-benjol, warna sama dengan sekitar. Pada palpasi massa kesan padat, terfiksir dan tidak ada nyeri tekan. Dari pemeriksaan otoskopi, rhinoskopi anterior dan faringoskopi dalam batas normal.



Foto pre op kasus I



Foto post op kasus I



Pada pemeriksaan CT scan ditemukan lesi heterogen bentuk lobulated, batas tegas, tepi regular disertai kalsifikasi didalamnya dan tidak mendestruksi tulang dengan ukuran 2,6x4 cm pada soft tissue regio temporal sinistra, dengan kesan massa pada daerah soft tissue temporal kiri sugestif sarcoma region temporal sinistra. Dari pemeriksaan FNA didapatkan kesan lesi jinak suspek osteoma.



16



CT scan mastoid tanpa kontras (28/5/2016) : Telinga kanan : -



Meatus akustikus eksternus dalam batas normal



-



Membrane timpani intak



-



Osikula intak, tidak tampak perselubungan pada telinga tengah



-



Koklea, kanalis semisirkularis dan meatus akustikus internus dalam batas normal



-



Air cell mastoid dalam batas normal, tidak tampak destruksi tulang.



Telinga kiri : -



Lesi heterogen bentuk lobulated, batas tegas, tepi regular disertai kalsifikasi didalamnya dan tidak mendestruksi tulang dengan ukuran 2,6x4 cm pada soft tissue regio temporal sinistra



-



Meatus akustikus eksternus dalam batas normal



-



Membran timpani intak



-



Osikula intak, tidak tampak perselubungan pada telinga tengah



-



Koklea, kanalis semisirkularis dan meatus akustikus internus dalam batas normal



-



Air cell mastoid dalam batas normal, tidak tampak destruksi tulang



Kesan :Massa pada daerah soft tissue temporal kiri sugestif sarcoma region temporal sinistra.



17



Osteoma itu sendiri merupakan tumor jinak mesenkim osteoblas yang terdiri dari diferensiasi jaringan tulang matur. Osteoma pada bagian kepala dan leher sering ditemukan pada daerah frontal-etmoid. Pada tulang temporal, liang telinga merupakan lokasi yang tersering, dan jarang pada daerah mastoid, skuamous tulang temporal, telinga tengah. Penyebab osteoma temporal tidak diketahui diduga dapat disebabkan oleh trauma, radioterapi, infeksi kronik dan faktor hormonal dengan disfungsi kelenjar hipofise. Osteoma sering tanpa gejala, tumbuh lambat dan dapat stabil dalam beberapa tahun dan secara kebetulan ditemukan pada pemeriksaan radiologi. Insiden osteoma 0,1-1 % dari seluruh tumor jinak tulang tengkorak. Osteoma lebih sering terjadi pada wanita dengan insiden terbanyak pada decade kedua dan ketiga serta jarang sebelum usia pubertas. Pemeriksaan 18



makroskopis menggambarkan zona yang berbatas tegas dengan hiperostosis homogen dengan karakteristik pertumbuhan keluar lempeng tulang yang padat, tunggal, permukaan rata, bertangkai dan tidak infiltrative. Gambaran osteoma menunjukkan radiolusen, terbatas pada jaringan tulang dan diliputi oleh bagian sklerotik pada radioopak. Secara histopatologis tumor ini disusun oleh lamela tulang dengan kanal Havers. Stroma intertrabekular biasanya seluler dan berisi osteoblas, fibroblas dan giant cells. Pemeriksaan mikroskopis osteoma identic dengan tulang normal yaitu gambaran sklerotik dan lempengan tulang padat.2



Gambar 6a dan 6b. dikutip dari kepustakaan 2. (a) CT scan yang menunjukkan pertumbuhan tulang yang berlebihan pada mastoid kiri. (b) Menunjukkan tulang lamellar dan bundle fibrovaskuler (H-E STAIN, ×10) Jika dilihat dari hasil pemeriksaan fisis, radiologi, dan FNA, diagnosis awal terhadap pasien ini adalah osteoma temporal bone. Dan kemudian pada tanggal 14/7/2016 dilakukan pembedahan eksisi tumor temporal bone, dan jaringan yang dikeluarkan kemudian diperiksa Patologi Anatomi. Hasil PA post operasi adalah jaringan yang menunjukkan trabekel-trabekel tulang tanpa osteoblastik rimming diantara stroma jaringan ikat padat dengan kesan fibrous dysplasia. Pasien pun kemudian didiagnosa fibrous dysplasia temporal bone dan dianjurkan untuk control 6 bulan kemudian untuk evaluasi radiologis guna memonitor perkembangan tumor. Meskipun fibrous dysplasia merupakan tumor jinak dengan kecenderungan metastase yang sedikit, tetapi pasien tetap perlu dimonitor guna melihat adanya rekurensi dari tumor.



19



Pada kasus II, seorang laki-laki berusia 28 tahun datang dengan keluhan utama benjolan di pipi kanan di alami sejak + 2 tahun yang lalu, dan dirasakan semakin membesar. Keluhan obstruksi nasi ada, rinore ada, cefalgia ada. Penonjolan pada mata kanan dialami sejak + 2 tahun yang lalu, penglihatan mata kanan kesan normal. Dari pemeriksaan fisis didapatkan Nampak penonjolan pada regio pipi kanan, dengan ukuran 10 x 8 x 4 cm, konsistensi padat, terfiksir, tidak ada nyeri tekan, warna sama dengan sekitar. Pada rhinoskopi anterior terlihat penonjolan yang berasal dari dinding lateral cavum nasi dextra yang memenuhi seluruh cavum nasi dextra dan mendesak septum nasi kearah kiri, permukaan halus, padat, kesan tidak mudah berdarah, sekret ada.



Foto pre op kasus II



Foto post op kasus II



Dari pemeriksaan CT scan tampak massa heterogen (57 HU), batas tegas, tepi ireguler, dengan kalsifikasi didalamnya (pop corn calcification) kesan berasal dari dinding medial sinus maksilaris kanan yang meluas ke anterosuperior, mengisi cavum nasi dan sinus frontalis, ruang retrobulbar kanan serta mendesak bulbus oculi kanan ke anterosuperolateral dengan ukuran 8,4 x 7,1 x 10 cm, yang mendestruksi os zigomaticum kanan dengan kesan sugestif osteosarcoma DD/ tumor sinonasal kanan hematosinus maksillaris sinistra.



20



CT Scan Sinus Coronal (3-11-2016)



-



Tampak massa heterogen (57 HU), batas tegas, tepi ireguler, dengan kalsifikasi didalamnya (pop corn calcification) kesan berasal dari dinding medial sinus maksilaris kanan yang meluas ke anterosuperior, mengisi cavum nasi dan sinus frontalis, ruang retrobulbar kanan serta mendesak bulbus oculi kanan ke anterosuperolateral dengan ukuran 8,4 x 7,1 x 10 cm, yang mendestruksi os zigomaticum kanan.



-



Perselubungan pada sinus maksilla kiri (60 HU)



-



Region orofaring yang terscan dalam batas normal



-



Airway yang terscan dalam batas normal



-



Bulbus oculi dan ruang retrobulbar kiri dalam batas normal 21



-



Sinus paranasalis lainnya dan air cell mastoid yang terscan dalam batas normal



-



Parenkim cerebri, cerebelli dan pons yang terscan dalam batas normal



Kesan : -



Sugestif osteosarcoma DD/ tumor sinonasal kanan



-



Hematosinus maksillaris sinistra (Dibandingkan CT scan pada tanggal 6 oktober 2016 : perburukan) Pemeriksaan Patologi Anatomi pre operasi dan post operasi menunjukkan sediaan



jaringan menunjukkan banyak woven bone (immature bone) di antara jaringan ikat fibrous, inti spindle tidak ada osteoblastik rimming dengan kesan fibrous dysplasia.



Pada kasus III, seorang pria 48 tahun dengan keluhan benjolan pada pipi kanan yang dialami sejak 6 tahun yang lalu dan dirasakan semakin membesar. Keluhan obstruksi nasi ada, riwayat epistaksis berulang ada, rhinore ada, post nasal drips ada, cefalgia ada. Pada pemeriksaan fisis nampak penonjolan pada pipi kanan dengan ukuran 6 x 5 x 3 cm dengan konsistensi padat, terfixir, permukaan tidak rata, tidak ada nyeri tekan, warna sama dengan sekitar. Pada rhinoskopi anterior nampak dinding lateral kavum nasi dekstra terdorong ke medial, memenuhi cavum nasi dekstra dan mendesak cavum nasi sinistra, massa kesan padat, tidak mudah berdarah, sekret ada, darah tidak ada.



Foto pre op kasus III



Foto post op kasus III



22



Pemeriksaan CT scan menunjukkan soft tissue massa heterogen (30,79 HU) batas tegas, permukaan ireguler pada region maksillaris kanan meluas ke cavum nasi, sinus ethmoidalis kanan, sinus sphenoidalis kanan dan sinus frontalis kanan dan menyebabkan destruksi os maksillaris kanan disertai new bone formation pada daerah distal dengan kesan primary bone tumor region maksilla kanan. Pemeriksaan Patologi Anatomi pre operasi menyatakan polip inflamasi kronik aktif dengan mikrofokus menunjukkan epitel kelenjar dengan gambaran dysplasia berat. Tetapi konfirmasi Patologi Anatomi post operasi menunjukkan hasil mikroskopik : A.B. sediaan jaringan (tulang) terdiri dari stroma jaringan ikat fibrous dengan inti spindle di antara trabekel woven bone tanpa osteoblastik rimming. C. sediaan jaringan (compang-camping) dilapisi epitel respatorius dengan stroma dilapisi epitel respiratorius dengan stroma dibawahnya terdapat sebukan sel radang limfosit, sel plasma, netrofil yang sangat padat. Pada area lainnya terdapat trabekel tulang imatur (woven bone) diantara stroma jaringan ikat inti spindle. D. sediaan jaringan terdiri dari proliferasi kelenjar-kelenjar mucus dengan inti dibasal, tersusun berlobus-lobus, diatasnya terdapat jaringan otot. Kesan : fibrous dysplasia dengan hyperplasia kelenjar mucus. CT Scan (11-05-2016) -



Tampak soft tissue massa heterogen (30,79 HU) batas tegas, permukaan ireguler pada region maksillaris kanan meluas ke cavum nasi, sinus ethmoidalis kanan, sinus sphenoidalis kanan dan sinus frontalis kanan dan menyebabkan destruksi os maksillaris kanan disertai new bone formation pada daerah distal.



-



Parenkim cerebri yang terscan dalam batas normal.



-



Kedua bulbus oculi dalam batas normal.



-



Airway yang terscan dalam batas normal.



Kesan : Primary bone tumor region maksilla kanan.



23



Fibrous dysplasia merupakan tumor jinak yang tidak diketahui penyebabnya dimana matriks tulang secara progresif digantikan oleh fibrous selular dan jaringan penunjang yang menyebabkan pembentukan tulang yang abnormal dan tidak stabil dengan pengurangan mineralisasi. Penyakit ini ditemukan dalam 3 bentuk yaitu : -



Monostotik, merupakan yang bentuk yang paling ringan dan paling sering ditemukan yang hanya melibatkan satu tulang.



-



Poliostotik, melibatkan beberapa tulang, biasanya pada sisi tubuh ipsilateral.



-



McCune-Albright sindrom, yang ditandai oleh trias pigmentasi café-au-lait, fibrous dysplasia poliostotik daan hiperfungsi endokrinopati seperti pubertas prekoks, 24



hipertiroidisme,



hipoparatiroidisme,



hormone



pertumbuhan



yang



berlebihan,



hiperprolaktinemia, hiperfungsi gonad dan Cushing sindrom. Insiden tipe monostotik sekitar 10-25% pada tulang kraniofacial, dan 50% tipe poliostotik. Tulang yang paling sering terkena adalah ethmoid (70%), sphenoid (43%), frontal (33%), maksilla (29%), temporal (24%), parietal (14%) dan tulang oksipital (5%). Dengan rasio laki-laki:perempuan 2:1 dan lebih sering ditemukan pada dua decade pertama. Gejala yang paling sering dari fibrous dysplasia temporal adalah tuli konduktif yang progresif yang disebabkan oleh oklusi tuba atau kanalis akustikus eksterna. Tuli sensorineural juga dapat terjadi, dengan prevalensi sekitar 14-17%. Hal ini disebabkan oleh penyebaran infeksi atau penetrasi produk inflamasi daan toksin melalui foramen rotundum ke telinga dalam. Hal ini menyebabkan desktruksi koklea, stenosis kaanalis akustikus interna atau fistula vestibular. Keterlibatan nervus fasialis dapat dilihat pada 10% kasus, kolesteatoma pada 40% kasus yang mengacu kepada terjadinya erosi. Gejala yang lain yang dapat timbul yaitu tinnitus, dizziness, nyeri wajah yang tidak khas dan trismus. Ada 3 pola radiologis yang khas untuk fibrous dysplasia. -



Pagetoid atau “groun-glass”, yang nampak sebagai gabungan densitas area radiolusen dan fibrosis.



-



Tipe sklerotik, merupakan densitas yang merata yang nampak pada dua pertiga kasus tulang temporal.



-



Tipe kistik, ditandai oleh suatu gambaran berbentuk sferis atau oval yang dikelilingi oleh lapisan densitas tulang. Meskipun demikian, pada era CT scan dan MRI deskripsi di atas memiliki sedikit



relevansi. Pada CT sacn, fibrous dysplasia ditandai oleh ekspansi tulang fokal baik dengan densitas yang heterogen maupun penampakan homogen “ground-glass”. CT scan resolusi tinggi membantu untuk melihat empat parameter : 1. Derajat stenosis kanalis akustikus eksterna 2. Keterlibatan struktur telinga tengah 3. Keberadaan kolesteatoma 4. Kemungkinan keterlibatan nervus fasialis. Differensial diagnosis lesi fibro-osseus tulang temporal adalah meningioma, aneurysmal bone cyst, fibroma ossifying atau nonossifying, penyakit Paget, osteokondroma, giant cell tumor dan neoplasma sarcomatous. Stadium klinis telah direkomendasikan oleh Barrionuevo, sesuai dengan progresi penyakit :



25



-



Stadium 1 : merupakan fase laten atau asimptomatik, dimana penanganannya bersifat konservatif dengan follow-up yang teratur



-



Stadium 2 : merupakan fase simptomatik



-



Stadium 3 : disertai komplikasi Terapi pembedahan pada fibrous dysplasia tulang temporal diindikasikan untuk



deformitas kosmetik, tuli konduktif yang disebabkan oleh obstruksi kanalis akustikus eksterna atau ketika terdapat gejala kompresi nervus kranialis atau pembuluh darah yang melintas pada tulang temporal secara khusus pada disfungsi nervus fasialis. Pembedahan dapat berupa eksisi sederhana atau pelebaran kanalis akustikus eksterna. Reseksi radikal diperlukan jika terjadi compromise neurovascular.5,6



26



BAB IV KESIMPULAN Oleh karena tidak adanya terapi penyembuhan untuk fibrous dysplasia, pembedahan tetap merupakan terapi utama. Meskipun begitu, harus diingat bahwa penyakit ini merupakan proses yang jinak daan keputusan untuk penatalaksanaannya tergantung pada keadaan klinis pasien. Lesi asimptomatik dapat dimonitor secara teratur melalui CT scan serial atau MRI. Intervensi bedah sebaiknya dilakukan pada pasien baik yang asimptomatik maupun dengan komplikasi akibat sekuel dari proses penyakit. Oleh karena rekurensinya yang tidak dapat diprediksi, harus diingat bahwa intervensi bedah sebaiknya sekonservatif mungkin. Prosedur operasi sebaiknya focus pada perbaikan fungsi, pencegahan komplikasi dan perbaikan kosmetik. Radiasi sebaiknya dihindari oleh karena insiden transformasi maligna yang cukup tinggi yaitu sekitar 44%.



27



DAFTAR PUSTAKA 1. DiCaprio M.R., Ennehing W.F. Fibrous Dysplasia, Pathophysiology, Evaluation and Treatment in The Journal of Bone and Joint Surgery, Incoorporated. Florida, 2005. Available at http://www.ejbjs.org. 2. Firdaus M.A., Mulyani S. Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoma Tulang Temporal. Padang, 2010. Available at http://tht.fkunand.ac.id. 3. Gulya J.A. Anatomy of the Ear and Temporal Bone in Surgery of the Ear Fifth Edition. Ontario, 2003, p.35-58. 4. Sanna M., Khrais T., et al. Anatomy of the Temporal Bone in The Temporal Bone Manual for Dissection and Surgical Approaches. New York, 2006. P. 3-9. 5. Shubha C., Sujatha G.P., et al. Deforming Bone Disease : Monostotic Fibrous Dysplasia of Maxilla in International Journal of Current Microbiology and Aplied Sciences. India, 2014. Available at http://www.ijcmas.com. 6. Mallina S., Philip R., et al. Fibrous Dysplasia of the Temporal Bone in The Medical



Journal



of



Malaysia.



Perak,



2007.



Available



at



http://www.researchgate.net/publication/23173101. 7. Gulati A., Rao N.N., et al. Fibrous Dysplasia and Ossifying Fibrous in an Advent in Their Diaagnosis in Journal Section : Oral Medicine and Pathology. India, 2011.



Available



at



http://www.medicinaoral.com/odo/volumenes/v3i4/jcedv3i4p297.pdf. 8. Canitezer G., Gunduz K., et al. Monostotic Fibrous Dysplasia : A Case Report. Turkey, 2012. Available at http://www.dx.doi.org/10.4172/2161-1121.1000167. 9. Okumoto T., Yazana M., et al. Treatment of Craniomaxillofacial Fibrous Dysplasia. Tokyo, 2015. Available at http://www.scirp.org/journals/ss.



28