Refarat Respiratory Distress of New Born [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Bagian Ilmu Kesehatan Anak



REFERAT



Fakultas Kedokteran



Oktober 2019



Universitas Halu Oleo



RESPIRATORY DISTRESS OF THE NEWBORN



Oleh : Faning Fridayani Murniati S.Ked K1A1 14 055



Pembimbing dr. Hasniah Bombang, M.Kes., Sp.A



DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2019



RESPIRATORY DISTRESS OF THE NEWBORN Faning Fridayani, Hasniah Bombang



A. PENDAHULUAN Gangguan pernapasan bayi baru lahir terjadi pada sekitar 7% kelahiran. Sindrom



distres



pernapasan,



terjadi



terutama



pada



bayi



prematur,



mempengaruhi sekitar 1% bayi baru lahir yang menyebabkan sekitar 860 kematian per tahun. Menurunnya angka kelahiran prematur dan kelahiran sesar dapat mengurangi kasus gangguan pernapasan bayi baru lahir. Wanita dengan perawatan pranatal yang tidak memadai dapat melahirkan bayi dengan berat lahir rendah dan peningkatan risiko masuk ke unit perawatan intensif neonatal. Penggunaan kortikosteroid antenatal pada kelahiran prematur pada usia gestasi 24 hingga 34 minggu secara signifikan mengurangi insidensi dan keparahan distres pernapasan. Karena kelahiran caesar merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pernapasan, terutama pada bayi premature. Mengurangi operasi caesar dapat mengurangi kejadian gangguan pernapasan.1 B. DEFINISI Gangguan pernapasan pada bayi adalah meningkatnya kerja pernapasan ditandai dengan takipnea (frekuensi napas > 60 – 80 kali/menit) dan retraksi berupa cekungan atau tarikan kulit antara iga (interkostal) dan atau di bawah sternum



(substernal)



selama



inspirasi.5 Tidak



semua



kelainan



yang



menyebabkan gangguan pernapasan merupakan penyakit paru primer. 2 Penyebab paling umum gangguan pernapasan pada bayi baru lahir adalah Transient Tachypnea of Newborn (TTN), Respiratory Distress Syndrome (RDS)/ Penyakit Membran Hialin , Meconium Aspiration Syndrome (MAS) / sindrom aspirasi mekonium, pneumonia, sepsis, dan pneumotoraks.5



1



C. EPIDEMIOLOGI Distres pernapasan adalah salah satu alasan paling sering seorang bayi dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU). 15% bayi cukup bulan dan 29% dari bayi prematur yang terlambat dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) mengalami morbiditas pernapasan yang signifikan, bahkan lebih tinggi pada bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 34 minggu. Faktor risiko tertentu meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit pernapasan neonatal. Faktor-faktor tersebut adalah prematuritas, cairan amniotik bercampur mekonium (MSAF), diabetes pada kehamilan, korioamnionitis, dan temuan ultrasonografi prenatal, seperti oligohidramnion atau kelainan paru struktural. Namun, untuk memprediksi bayi mana yang akan mengalami distress pernapasan tidak bisa dilakukan.3 Respiratory Distress Syndrome (RDS) merupakan penyebab utama kematian pada bayi yang lahir prematur. RDS meningkat seiring dengan meningkatnya prematuritas. Bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 29 minggu memiliki peluang 60% untuk berkembang menjadi RDS, tetapi bayi yang dilahirkan dalam kondisi cukup bulan jarang mengalami kondisi ini. Faktor risiko ibu untuk kelahiran prematur yaitu kelahiran premature pada kehamilan sebelumnya, penyakit periodontal, indeks massa tubuh ibu yang rendah, perawatan pranatal yang buruk, dan kemiskinan. Di antara bayi prematur, risiko RDS meningkat pada ras Kaukasia, saudara dengan RDS sebelumnya, kelahiran caesar, asfiksia perinatal, dan diabetes pada ibu. Pada tahun 2003, jumlah kelahiran hidup di Amerika Serikat untuk semua ras adalah 4.089.950; sekitar 0,6 persen bayi baru lahir memiliki RDS (sekitar 24.000 atau 6 per 1.000 kelahiran hidup). Pada tahun 2005, ada 4.138.000 kelahiran hidup di Amerika Serikat, dan jumlah bayi yang terkena RDS



2



meningkat karena tingkat kelahiran prematur meningkat dari 11,6 persen menjadi 12,7 persen. 4 D. ETIOLOGI Adapun yang menjadi penyebab gangguan nafas pada bayi / neonatus, yaitu5 : 1. Obstruksi jalan nafas a. Nasal atau nasofaringeal: obstruksi konae, edema nasalis, ensefalokel. b. Rongga mulut: makroglosi atau mikrognati c. Leher: struma kongenital dan higroma kistik d. Laring: stenosis subglotik, hemangioma, paralisis medulla spinalis dan 2. 3.



4.



laringomalasia. Trakea: trakheomalasia, fistula trakheosofagus, stenosis trakea, dan stenosis bronchial. Penyebab pulmonal: a. Aspirasi mekonium b. Respiratory distress syndrom (RDS)=Hyallin mebrane dissease c. Atelektasis d. Kebocoran udara: pneumothorax, pnemomediastinum, emfisema pulmonalis interstitialis e. TTN (Transient tachypnea of the newborn) Penyebab non pulmonal: setiap keadaan yang menyebabkan aliran darah ke paru meningkat atau menurun, menyebabkan kenaikan kebutuhan oksigen meningkat dan penurunan jumlah sel darah merah yang menyebabkan ditress respirasi: a. Gagal jantung kongestif b. Penyebab metabolik: asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia c. Hipertensi pulmonal menetap d. Depresi neonatal e. Syok f. Polistemia: jumlah sel darah merah yang berlebihan



yang



menyebabkan meningkatnya viskositas darah dan mencegah sel darah merah dengan mudah masuk ke dalam kapiler paru. g. Hipotermia h. Bayi dari ibu yang DM



3



E. KLASIFIKASI GANGGUAN NAPAS Berdasarkan frekuensi napas dan gejala tambahan, klasifikasi gangguan napas dibagi menjadi:5 Gangguan Nafas Berat



-



Frekuensi nafas > 60 kali/menit dengan sianosis central dan tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi



-



Frekuensi nafas > 90 kali/menit dengan sianosis central atau tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi



Gangguan Nafas Sedang



-



Frekuensi nafas < 30 kali/menit dengan



-



atau tanpa gejala lain dari gangguan nafas Frekuensi nafas 60-90 kali/menit dengan tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi tanpa sianosis sentral



-



Frekuensi nafas > 90 kali/ menit tanpa tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral



Gangguan Nafas Ringan



Frekuensi



nafas



60-90 kali/menit



tanpa



tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral Kelainan Kongenital



Jantung Frekuensi nafas 60-90 kali/menit dengan sianosis sentral tanpa tarikan dinding dada atau merintih



Tabel 1. Klasifikasi ganguan napas (Sumber : Buku Ajar Neonatologi IDAI, 2008)



4



Evaluasi gawat nafas dengan skor Downes5 Pemeriksaan



0



1



2



Frekuensi



< 60 kali/menit



60-80 kali/menit



> 80 kali/menit



Retraksi



Tidak ada retraksi



Retraksi ringan



Retraksi berat



Sianosis



Tidak ada sianosis



Sianosis



nafas



hilang Sianosis



dengan O2



menetap walaupun diberi O2



Air entry



Udara masuk



Penurunan ringan Tidak ada udara udara masuk



Merintih



Tidak merintih



Dapat



masuk



didengar Dapat didengar



dengan stetoskop



tanpa alat bantu



Tabel 2. Skor Downes (Sumber : Buku Ajar Neonatologi IDAI, 2008)



Skor total  1-3  4-5  ≥6



Diagnosis Sesak nafas ringan Sesak nafas sedang Sesak nafas berat



F. EMBRIOLOGI PARU Hingga bulan ketujuh pranatal, bronkiolus membelah menjadi saluransaluran yang semakin banyak dan semakin kecil (fase kanalikular) dan suplai vaskular semakin banyak. Bronkiolus terminalis membelah membentuk bronkiolus respiratorius dan setiap bronkiolus ini membelah menjadi tiga hingga enam duktus alveolaris. Duktus berakhir di sakus terminalis (alveolus primitif) yang dikelilingi oleh sel-sel alveolus gepeng yang berkontak erat dengan kapiler di sekitarnya. 6



5



Pada akhir bulan ketujuh, terdapat sakulus alveolaris matur dan kapiler dalam jumlah yang cukup untuk menjamin pertukaran gas yang adekuat, dan bayi yang dilahirkan prematur mampu bertahan hidup selama 2 bulan terakhir kehidupan pranatal dan selama beberapa tahun sesudahnya, jumlah sakus terminalis terus bertambah. Selain itu, sel-sel yang melapisi sakus, dikenal sebagai sel epitel alveolus tipe I, menjadi lebih gepeng, sehingga kapiler di sekitarnya menonjol ke dalam sakulus alveolaris. Kontak erat antara sel endotel dan epitel ini membentuk sawar darah-udara. Alveolus matur tidak ditemukan sebelum lahir. Selain sel-sel endotel dan sel epitel alveolus gepeng, tipe sel lainnya berkembang di akhir bulan keenam. Sel-sel ini, sel epitel alveolus tipe II menghasilkan surfaktan, suatu cairan kaya fosfolipid yang mampu menurunkan tegangan permukaan di pertemuan udara-alveolus. Sebelum lahir, paru dipenuhi oleh cairan yang mengandung klorida berkonsentrasi tinggi, sedikit protein, sejumlah mukus dari kelenjar bronkus, dan surfaktan dari sel epitel alveolus (tipe II). Jumlah surfaktan di dalam cairan bertambah, terutama selama 2 minggu terakhir sebelum lahir. Seiring peningkatan konsentrasi surfaktan selama minggu ke-34 kehamilan, beberapa fosfolipid ini masuk ke cairan amnion dan bekerja pada makrofag di dalam rongga amnion. Saat "teraktivasi", makrofag-makrofag ini bermigrasi melewati korion ke dalam uterus tempat makrofag ini mulai memproduksi protein sistem imun, termasuk interleukin-1β



(1L-1β).



Peningkatan



protein-protein



ini



menghasilkan



peningkatan produksi prostaglandin yang menyebabkan kontraksi uterus. 6 Gerakan bernapas janin dimulai sebelum lahir dan menyebabkan aspirasi cairan amnion. Gerakan ini penting untuk merangsang perkembangan paru dan pergerakan otot-otot pernapasan. Sewaktu pernapasan dimulai saat lahir,



6



sebagian besar cairan paru secara cepat diserap oleh kapiler darah dan limfe, dan sebagian kecil kemungkinan dikeluarkan melalui trakea dan bronkus selama persalinan.6 Ketika cairan diserap dari sakulus alveolaris, surfaktan tetap mengendap sebagai selubung fosfolipid tipis di membran sel alveolus. Seiring dengan udara masuk ke dalam alveolus saat bernapas pertama kali, selubung surfaktan mencegah terbentuknya pertemuan udara-air (darah) dengan tegangan permukaan yang tinggi. Tanpa lapisan surfaktan yang mengandung lemak ini, alveolus akan kolaps selama ekspirasi (atelektasis). Gerakan napas sesudah lahir membawa udara ke dalam paru, yang mengembangkan dan mengisi rongga pleura.6 Walaupun ukuran alveolus agak bertambah besar, pertumbuhan paru sesudah lahir disebabkan terutama oleh peningkatan jumlah bronkiolus respiratorius dan alveolus. Diperkirakan bahwa hanya 1/6 dari jumlah alveolus pada orang dewasa yang terdapat pada saat lahir.6 Gambar 1. Maturasi Paru (Sumber : Langmans Embriology)



G. PATOGENESIS Penyebab gangguan pernapasan pada bayi baru lahir beragam dan multisistemik.



Gangguan



pernapasan



dapat



terjadi



akibat



kelainan



perkembangan yang terjadi sebelum atau sesudah kelahiran. Malformasi



7



perkembangan



awal



bayi



baru



lahir



seperti



trakeoesofageal



fistula,



bronkopulmonalis sequestration (massa abnormal jaringan paru tidak terhubung ke trakeobronkial), dan kista bronkogenik (percabangan abnormal dari trakeobronkial). Penyakit gangguan pernafasan yang lebih umum, seperti TTN, RDS, pneumonia neonatal, MAS, dan hipertensi pulmonal persisten pada bayi baru lahir (PPHN), merupakan hasil dari komplikasi selama periode transisi prenatal ke postnatal. Paru-paru belum sepenuhnya berkembang sampai usia 2 hingga 5 tahun karena itu, penyakit akibat prekembangan paru masih bisa terjadi setelah lahir. 3 Adapun patogenesis dari penyebab distres pernapasan yang menjadi penyebab tersering, antara lain: 1. Respiratory Distress Syndrome/ Penyakit Membran Hialin Respiratory Distress Syndrome juga dikenal sebagai penyakit membran hialin adalah penyebab umum penyakit pernapasan pada bayi prematur yang disebabkan oleh kekurangan surfaktan di alveoulus, yang meningkatkan tegangan permukaan di alveoli, menghasilkan mikro atelektasis dan volume paru menjadi rendah. Defisiensi surfaktan muncul sebagai infiltrasi granular halus difus pada gambaran radiografi.3 Surfaktan sangat penting agar bayi prematur dapat bertahan hidup. Bila jumlah surfaktan tidak cukup, tegangan membran permukaan udaracairan ataupun darah menjadi tinggi, yang beresiko tinggi menyebabkan alveolus kolaps selama ekspirasi. Akibatnya, terjadi respiratory distress syndrome (RDS). Hal ini merupakan penyebab umum kematian pada bayi prematur. Pada kasus yang demikian, alveolus yang kolaps sebagian, mengandung cairan dengan kandungan tinggi protein, banyak membran hialin, dan badan lamelar, yang kemungkinan berasal dari lapisan



8



surfaktan. merupakan penyebab pada sekitar 20% kematian di antara bayi baru lahir. Penanganan bayi prematur menggunakan surfaktan buatan dan juga



penanganan



ibu



dengan



persalinan



prematur



menggunakan



glukokortikoid untuk merangsang produksi surfaktan, telah menurunkan mortalitas akibat RDS.6 2. Transient Tachypnea of Newborn (TTN) TTN juga dikenal sebagai retained fetal lung fluid syndrome, adalah gangguan pernapasan dini pada bayi cukup bulan dan bayi mendekati cukup bulan (late preterm) yang disebabkan oleh gangguan pembersihan cairan paru janin. Biasanya di dalam rahim, ruang udara janin dan kantung udara diisi cairan. Agar pertukaran gas efektif terjadi setelah lahir, cairan ini harus dibersihkan dari ruang udara alveolar. Pada akhir kehamilan dan sebelum kelahiran, klorida dan saluran sekresi cairan dalam epitel paru terbalik, sehingga absorbs cairan mendominasi dan cairan dikeluarkan dari paru-paru. Proses ini dipengaruhi oleh persalinan, sehingga persalinan sebelum taksiran persalinan sebenarnya meningkatkan risiko retensi cairan paru janin. Faktor-faktor yang meningkatkan pembersihan cairan dalam paru yaitu penggunaan kortikosteroid pada fase antenatal, kompresi thorax janin yang diakibatkan kontraksi uterus, dan pelepasan adrenalin janin dalam persalinan, yang meningkatkan serapan cairan dalam paru.3 3. Meconium Aspiration Syndrome (MAS) Meconium Aspiration Syndrome



(MAS)



adalah



gangguan



pernapasan pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh adanya mekonium di saluran napas trakeobronkial. Aspirasi mekonium oleh janin dapat terjadi



selama



periode



antepartum



atau



intrapartum



dan



dapat



9



mengakibatkan obstruksi saluran napas, gangguan pertukaran gas alveolar, pneumonitis kimia serta disfungsi surfaktan.12 Mekonium adalah bahan steril, pekat, hitam-hijau, tidak berbau yang dihasilkan dari akumulasi bahan-bahan di usus janin selama bulan ketiga kehamilan. Komponen mekonium termasuk air (72% -80%), sel-sel yang mengalami desquamasi dari usus dan kulit, mucin gastrointestinal, rambut lanugo, bahan lemak dari vernix caseosa, cairan ketuban, cairan usus, glikoprotein golongan darah tertentu, empedu, dan obat-obatan.15 Mekonium sangat toksik bagi paru. Sulit menentukan mekanisme mana yang paling dominan dalam kasus MAS. Mekanisme terjadinya MAS diduga melalui mekanisme, obstruksi mekanik saluran napas, pneumonitis kimiawi, vasokonstriksi pembuluh darah vena, dan surfaktan yang inaktif.8 a. Obstruksi Jalan Napas Mekonium yang kental dapat menyebabkan obstruksi mekanik total atau parsial. Pada saat bayi mulai bernapas, mekonium bergerak dari saluran napas sentral ke perifer. Partikel mekonium yang terhirup ke dalam saluran napas bagian distal menyebabkan obstruksi dan atelektasis sehingga terjadi area yang tidak terjadi ventilasi dan perfusi menyebabkan hipoksemia. Obstruksi parsial menghasilkan dampak ballvalve effect yaitu udara yang dihirup dapat memasuki alveoli tetapi tidak dapat keluar dari alveoli. Hal ini akan mengakibatkan air trapping di alveoli dengan gangguan ventilasi dan perfusi yang dapat mengakibatkan sindrom kebocoran udara dan hiperekspansi.8 b. Pneumonitis Kimiawi Mekonium diduga mempunyai dampak toksik secara langsung yang diperantarai oleh proses inflamasi. Dalam beberapa jam neutrofil



10



dan makrofag telah berada di dalam alveoli, saluran pernapasan dan parenkim paru. Dari makrofag akan dikeluarkan sitokin seperti TNF α, TNF-1b, dan interleukin-8 yang dapat langsung menyebabkan gangguan pada parenkim paru atau menyebabkan kebocoran vaskular yang mengakibatkan pneumonitis toksik dengan perdarahan paru dan edema. Mekonium mengandung berbagai zat seperti asam empedu yang apabila dijumpai dalam air ketuban akan menyebabkan kerusakan langsung pembuluh darah tali pusat dan kulit ketuban, serta mempunyai dampak langsung vasokonstriksi pada pembuluh darah umbilical dan plasenta.8 c. Vasokonstriksi Pulmonal Pelepasan mediator vasoaktif seperti eikosanoids, endotelin-1, dan prostaglandin E2 (PGE2), sebagai akibat adanya mekonium dalam air ketuban diduga mempunyai peran dalam terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah pulmonal yang akan menyebabkan hipertensi pulmonal persisten.8 H. DIAGNOSIS Diagnosis gangguan napas dapat ditegakkan secara klinis maupun dengan analisa gas darah (blood gas analysis). Perhitungan indeks oksigenasi akan menggambarkan beratnya hipoksemia. Bila mengevaluasi dengan gangguan napas harus hati-hati atau waspada karena dapat terjadi bayi dengan gejala pernapasan yang menonjol, tetapi tidak menderita gangguan napas (misalnya asidosis metabolik, DKA (diabetik ketoasidosis) dan sebaliknya gangguan napas berat dapat juga terjadi pada bayi tanpa gejala distres respirasi (hipoventilasi sentral akibat intoksikasi obat atau infeksi). Penilaian yang hati-



11



hati berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap dan pemeriksaan penunjang dapat menegakkan diagnosis.5 1. Anamnesis Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan intrapartum diperlukan, antara lain hal-hal dibawah ini:5 a. Prematuritas, sindrom gangguan napas, sindrom aspirasi mekonium, infeksi: pneumonia, displasia pulmoner, trauma persalinan sungsang, kongesti nasal, depresi susunan saraf pusat, perdarahan susanan saraf pusat, paralisis nervus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin, depresi neonatal, tali pusat menumbung. Bayi lebih bulan, demam atau suhu yang tidak stabil (pada pneumonia). b. Gangguan SSP: tangis melengking, hipertoni, flasiditas, atonia, trauma,miastenia. c. Kelainan kongenital: arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain:



anomali



kardiopulmonal,



abdomen



cekung



pada



hernia



diafragmatika, paralisis erb (paralisis nervus frenikus, atresia koanae, kongesti nasal obstruktif, meningkatnya diameter anterior posterior paru, hipoplasi paru, trakeoesofageal fistula) d. Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan, partus lama, kulit ketuban pecah dini, oligohidromnion, penggunaan obat yang berlebihan. 2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas seperti :5 a. Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan gejala menonjol. b. Sianosis c. Retraksi d. Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresia koana, ditandai kesulitan memasukkan pipa nasogastrik melalui hidung.



12



e. Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada tali pusat. f. Abdomen mengempis (scaphoid abdomen).



3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan , yaitu : 5 a. Analisis gas darah 1) Dilakukan untuk menentukan adanya Gagl napas akut yang ditandai dengan PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 60 mmHg atau Saturasi oksigen arterial < 90%. 2) Dilakukan pada bayi baru lahir yang memerlukan suplementasi oksigen lebih dari 20 menit. Darah arterial lebih dianjurkan. 3) Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri. 4) Menggambarkan gambaran asidosis metabolic atau asidosis respiratorik dan keadaan hipoksia. 5) Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau overdistensi saluran napas bawah. 6) Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang merupakan hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolism anaerobik. 7) Hipoksia terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui pembuluh darah pulmonal, PDA dan/atau persisten foramen ovale. 8) Pulse Oxymeter digunakan sebagai cara non invasive untuk memantau saturasi oksigen yang dipertahnkan pada 90-95%. b. Elektrolit 1) Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi metabolik untuk hiperkapnea kronik 2) Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya hipoglikemia



13



3) Kelainan elektrolit ini dapat juga diakibatkan oleh karena kondisi kelemahan tubuh: hipokalemia, hipokalsemia, dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan gangguan kontraksi otot. c. Pemeriksaan jumlah sel darah: polistemia mungkin karena hipoksemia kronik. d. Pemeriksaan radiologi atau pencitraan 1) Pemeriksaan radiologi toraks pada bayi dengan PMH (penyakit membrane hialin), menunjukkan gambaran retikulogranular yang difus bilateral atau gambaran bronkogram udara (air bronchogram) dan paru tidak berkembang. 2) Gambaran air bronchogram



yang



menonjol



menunjukkan



bronkious yang menutup latar belakang alveoli yang kolaps. 3) Kardiomegali mungkin merupakan akibat asfiksia prenatal, maternal diabetes, PDA, berhubungan dengan kelainan jantung bawaan atau pengambangan paru yang buruk. Gambaran ini mungkin akan berubah dengan pemberian terapi surfaktan secara dini atau terapi indometasin dengan ventilator mekanik. 4) Pemeriksaan transiluminasi toraks dilakukan dengan cara memberi iluminasi atau sinar yang terang menembus dinding dada untuk mendeteksi adanya penumpukan abnormal misalnya pneumotoraks. Pemeriksaan radiologik toraks ini berguna untuk membantu konfirmasi ada tidaknya pneumotoraks dan gangguan parenkimal seperti pneumonia atau PMH. Gambaran pemeriksaan radiologik pada toraks.5 Derajat Berat/ringan



Temuan



pada



pemeriksan



radiologik



I



Ringan



toraks Kadang normal atau gambaran granuler,



II



Ringan-Sedang



homogen, tidak ada air bronchogram Seperti tersebut di atas ditambah gambaran



14



air bronchogram III



Sedang-Berat



Seperti di atas ditambah batas jantung menjadi



IV



Berat



tidak jelas “white lung” : paru putih menyeluruh



Tabel 3. Klasifikasi Gangguan Napas (Sumber : Buku Ajar Neonatologi IDAI, 2008)



I.



PENATALAKSANAAN Penanganan pada bayi berdasrkan derajat gangguan napas, yaitu : 5 1. Gangguan nafas ringan Beberapa bayi cukup bulan (BCB) yang mengalami gangguan nafas ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut Transient Tachipneu of The Newborn (TTN), terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus, gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik. a. Amati pernapasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya b. Bila dalam pengamatan gangguan napas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya, terapi untuk kemungkinan sepsis dan tangani c.



gangguan napas sedang atau berat. Berikan asi bila bayi mampu menghisap. Bila tidak, berikan asi peras



d.



dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minum. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 3060x/menit. Amati bayi selama 24 jam berikutnya, jika frekuensi napas menetap antara 30-60x/menit, tidak ada tanda-tanda sepsis, dan tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan, bayi dapat



dipulangkan. 2. Gangguan napas sedang a. Lanjutkan pemberian O2 dengan kecepatan sedang b. Bayi jangan diberikan minum



15



c.



Jika ada tanda berikut (suhu aksiler 39ºC, air ketuban bercampur mekonium, dan riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (>18 jam) ambil sampel darah untuk kultur dan berikan antibiotik (ampicilin dan gentamicin) untuk



d.



terapi kemungkinan besar sepsis Bila suhu aksiler>34-36,5ºC atau 37,5-39ºC tangani untuk masalah



e.



suhu abnormal dan ulang setelah 2 jam Bila suhu masih belum stabil, atau gangguan napas belum ada perbaikan, ambil sampel darah dan berikan antibiotik untuk terapi



f.



kemungkinan besar sepsis Jika suhu normal teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali



g.



abnormal, ulangi tahapan tersebut diatas Bila tidak ada tanda-tanda sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam. Apabila bayi tidak menunjukkan perbaikan atau tanda-tanda



h.



perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis. Bila bayi mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan (frekuensi napas menurun, tarikan dinding dada berkurang atau suara merintih



i. j.



berkurang) kurangi terapi O2. Pasang pipa lambung, berikan asi peras setiap 2 jam Apabila tidak diperlukan lagi pemberian O2, mulailah melatih bayi



k.



menyusu. Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O 2 selama 3 hari, minum baik dan tidak ada alasan bayi tetap tinggal di RS, bayi



dapat dipulangkan. 3. Gangguan napas berat a. Pemberian O2 dengan kecepatan aliran sedang b. Tangani dengan kemungkinan besar sepsis c. Bila bayi menunjukkan tanda perburukan atau terdapat sianosis sentral, naikkan pemberian O2 pada kecepatan aliran tinggi. Jika



16



gangguan napas bayi semakin berat dan sianosis sentral menetap walaupun pemberian O2 100%, bila memungkinkan segera rujuk ke d.



rumah sakit rujukan. Jiak gangguan napas masih menetap setelah 2 jam, pasang pipa



e. f.



lambung untuk mengosongkan cairan lambung dan udara Nilai kondisi bayi 4 kali setiap hari aoakah ada tanda perbaikan Jika bayi mulai menunjukkan tanda perbaikan (frekuensi napas menurun, tarikan dinding dada berkurang dan warna kulit membaik) kurangi pemberian O2, mulailah pemberian asi peras melalui pipa



g.



lambung. Pantau terus perkembangan bayi.



Penatalaksaanaa khusus penyebab tersering dari distress pernapasan pada bayi baru lahir : 1. Transient Tachypneu of Newborn (TTN)



Penyerapan cairan paru janin biasanya sempurna dalam 24 jam kelahiran, dan gejala langsung menghilang. Peningkatan kadar oksigen yang diinspirasi diperlukan untuk mempertahankan tekanan oksigen parsial normal pada darah arteri. Biasanya tidak ada terapi lain yang diperlukan. Posisikan bayi pada posisi tengkurap dan kepala sedikit diangkat.9 Hein dkk , telah merekomendasikan "rule of 2 hours," yaitu bayi yang baru lahir diamati selama 2 jam setelah timbulnya gangguan pernapasan. Jika tidak ada perbaikan dalam 2 jam, foto rontgen dada dapat dianjurkan. Banyak bayi baru lahir menggunakan pulse oksimeter sebagai tambahan untuk pemantauan klinis. Jika bayi menunjukkan desaturasi, pengukuran analisa gas darah mungkin diperlukan. Bayi kemudian dapat dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap jika rontgen dada tidak tampak normal, dan keadaan bayi memburuk secara klinis. Jika takipnea



17



memburuk bayi membutuhkan cairan intravena (IV) cairan (10% dextrose dalam pada 60 hingga 80 mL/kgBB per hari). Setelah masa transisi (beberapa jam pertama setelah kelahiran), jika takipnea masih berlangsung perlu dipikirkan bahwa TTN mungkin bukan diagnosis yang tepat.10 2. Respiratory Distress Syndrome (RDS)



a. Resusitasi adekuat Bayi yang dilahirkan secara prematur, bayi dari ibu diabetes, atau bayi yang mengalami asfiksia berat selama persalinan beresiko tinggi mengalami penyakit membran hialin dan harus segera di resusitasi setelah lahir.11 b. Sokongan umum Bayi harus dirawat dalam lingkungan bersuhu netral dan hangat. Konsumsi cairan dibatasi sampai cairan diserap dan diuresis sempurna, biasanya hari ketiga pasca lahir. Cairan yang diberikan berupa larutan glukosa 10% 60-80 mL/KgBB/hari. Jika tekanan arteri tetap rendah pada awal perjalanan penyakit dan sirkulasi perifer tidak adekuat, volume yang bersikulasi dapat ditingkatkan dengan koloid.11 c. Bantuan Pernapasan Untuk meningkatkan PO2 arteri dapat dicapai dengan meningkatkan oksigen inspirasi atau memberikan tekanan positif ke paru. Biasanya CPAP digunakan ketika bayi memerlukan lebih dari 50% oksigen untuk mempertahankan PaO2 lebih dari 50 torr. CPAP sampai 6-10 cm H2O dapat ditoleransi dengan jalur nasal. Jika nasal CPAP tidak efektif untuk mempertahnkan oksigenasi, intubasi bayi dan upaya CPAP melalui jalur endotrakeal.11 d. Penggantian surfaktan Ada dua strategi terapi yang sudah ditetapkan dalam pemberian surfaktan yaitu :



18



1). Terapi profilaksis, yang memerlukan terapi surfaktan yang dimasukkan ke dalam trakea bayi tidak lama setelah lahir. 2). Terapi kuratif, yang digunakan untuk terapi pada bayi yang terbukti terkena penyakit membran hialin. Terapi profilaksis sangat berguna pada bayi berat lahir sangat rendah atau kehamilan < 30 minggu. Dua atau tiga dosis surfaktan memberikan hasil akhir yang lebih baik dibandingkan dengan dosis tunggal.11 Produk Calfactant



Beractant



Dosis 3 ml/kg BB lahir



Dosis tambahan Dapat diulang setiap 12 jam



diberikan dalam 2



sampai dosis 3 kali berturut-turut



aliquot



dengan interval 12 jam bila ada



4 ml/kg BB lahir



indikasi Dapat diulang minimal setelah 6



diberikan dalam 4 dosis jam, sampai jumlah total 4 dosis



Colfosceril



Porcine



5 ml/kg BB lahir



dalam waktu 48 jam setelah lahir Dapat diulang setelah 12 jam



diberikan dalam waktu



dan 24 jam bila ada indikasi



4 menit 2,5 ml/kg BB lahir



Dua dosis berurutan 1,25 ml/kg,



diberikan dalam 2



dosis diberikan dengan interval



aliquots 12 jam bila ada indikasi. Tabel 4. Dosis Surfaktan (Sumber : Buku Ajar Neonatologi IDAI, 2008) 3. Meconium Aspiration Syndrome (MAS) Meskipun MAS adalah masalah neonatal yang sering dijumpai, manajemen yang tepat di ruang bersalin dan selanjutnya masih kontroversial.12 a. Airway Clearing 19



The 2005 Joint Committee of the American Academy of Paediatrics and American Heart Association membuat pedoman resusitasi neonatal dan menyarankan penghisapan trakea pada aspirasi mekonium bayi yang baru lahir jika neonatus mengalami depresi. Gambaran depresi bayi yang digambarkan adalah yang respirasi tidak ada/tertekan, denyut jantung 60% pada bayi dengan berat> 1 kg.13 K. KOMPLIKASI Komplikasi tergantung dari latar belakang etiologi gangguan napas, yaitu : 1. Transient Tachypnea of Newborn Meskipun TTN dapat sembuh spontan, terapi suportif dapat menyebabkan komplikasi. CPAP dikaitkan dengan peningkatan risiko kebocoran udara. Inisiasi yang tertunda dari pemberian makanan oral dapat mengganggu ikatan orangtua dan pembentukan ASI, dan dapat memperpanjang rawat inap.7 2. Respiratory Distress Syndrome a. Komplikasi akut 1) Kebocoran udara Pneumotoraks, pneumomediastinum, pneumoperikardium, atau emfisema interstitial harus dicurigai ketika bayi dengan RDS memburuk, biasanya dengan hipotensi, apnea, bradikardia, atau persisten asidosis.14



2) Infeksi Infeksi dapat menyertai RDS dan dapat disebabkan dalam berbagai cara. Penggunaan alat suportif, seperti kateter atau peralatan pernapasan, menyediakan akses bagi organisme untuk menyerang bayi prematur yang belum matang secara imunologi. Setiap kali ada kecurigaan infeksi, kultur yang sesuai harus diperoleh dan antibiotik diberikan segera.14 3) Perdarahan Intrakranial



23



Bayi dengan RDS berat memiliki risiko tinggi untuk perdarahan intrakranial



dan



harus



dimonitor



dengan



pemeriksaan



ultrasonografi kranial.14 4) Patent Ductus Arteriosus (PDA) PDA biasanya muncul saat tekanan vaskular pulmonal mulai turun. Peningkatan pirau kiri ke kanan dapat menyebabkan gagal jantung, dimanifestasikan oleh dekompensasi pernapasan dan kardiomegali. Konsekuensi sistemik dari shunt mungkin termasuk tekanan darah rata-rata rendah, asidosis metabolik, penurunan output urin, dan perburukan penyakit kuning karena gangguan perfusi organ. 14 b. Komplikasi Jangka Panjang Komplikasi jangka panjang termasuk Bronchopulmonary Dysplasia dan



komplikasi



prematuritas



lainnya,



termasuk



gangguan



perkembangan saraf dan retinopati prematuritas. Risiko komplikasi ini meningkat seiring dengan penurunan berat badan dan usia kehamilan.14 3. Meconium Aspiration Syndrome (MAS) Komplikasi yang dapat terjadi pada Meconium Aspiration Syndrome, yaitu:15 a. Kebocoran udara Pneumothoraks atau pneumomediastinum terjadi pada sekitar 15% hingga 33% pasien dengan MAS. Kebocoran udara terjadi lebih sering dengan penggunaan ventilasi mekanis. b. Persistent Pulmonary Hypertension of the Newborn (PPHN ) Ekokardiografi harus dilakukan untuk memastikan derajat keparahan di mana shunting kanan ke kiri berkontribusi pada bayi hipoksemia



24



keseluruhan dan untuk mensingkirkan penyakit jantung bawaan sebagai etiologi. Pada bayi yang sakit parah dengan MAS dan PPHN, nitrat oksida inhalasi (iNO) dapat mengurangi kebutuhan untuk ECMO. c. Sekuele paru Sekitar 5% dari yang selamat membutuhkan tambahan oksigen pada 1 bulan pertama, dan sebagian besar mungkin memiliki fungsi paru yang abnormal, termasuk peningkatan kapasitas residual fungsional, dan insiden pneumonia yang lebih tinggi.



25



DAFTAR PUSTAKA 1. Hermansen, C.L., Mahajan, A. Newborn Respiratory Distress American Family Physician, Vol 92, No.11,1 Desember 2015. p.994-1002. 2. Marcdante, K.J., Kliegman, R.M. Nelson Essentials Pediatric Seventh Edition. El Savier Saunders. 2015, p.209. 3. Reuter, S., Moser, C., Baack, M. Respiratory Distress in the Newborn. Pediatrics in review, Vol.35, No.10, 2014. p.418 4. Thoracic Society Pediatric. Respiratory Distress Syndrome of the Newborn. 2010. p.197-205. 5. Kosim, M. S. Gangguan Napas Pada Bayi Baru Lahir dalam Buku Ajar Neonatologi. Edisi Keempat. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. hal. 126-145. 6. Sadler, T.W. Langman’s Medical Embriology Twelfth Edition. Wolters Kluwer. 2012. p.201-207. 7. Kienstra, K.A. Transient Tachypnea of the Newborn dalam Manual of Neonatal Care Seventh Edition. A Lippincott Manual. 2014.p.403-405 8. Kosim, M.S. Infeksi Neonatal Akibat Air Ketuban Keruh. Sari Pediatri, Vol.11, No.3. 3 Oktober 2009. p.212-218 9. Bland, R. D. Sindrom Gawat Napas Akut Neonatus : Edema Paru Pasca Lahir Neonatus (Takipnea Neonatus Sementara) dalam Buku Ajar Pediatri Rudolph Edisi 20 Volume 3. Jakarta: EGC. 2007. p1755-1756 10. Guglani, L. Lakshminrusimha, S., Ryan, R.M. Tramsiemt Tachypnea of the Newborn. Pediatrics in review, Vol.29, No.11. 11 November 2008. p.559-565. 11. Tooley, W.H. Sindrom Gawat Napas Akut Neonatus : Penyakit Membran Hialin dalam Buku Ajar Pediatri Rudolph Edisi 20 Volume 3. Jakarta: EGC. 2007. p. 1757-1763 12. Raju, A. C. U., Sondhi, M. V., Patnaik, M. SK. Meconium Aspiration Syndrome : An Insight. MJAFI, Vol. 66, No. 2, 2010. p.152-157.



26



13. Mathai, S. C. SS., Raju, C. U., Kanitkar, C.M. Management Respiratory Distress in the Newborn. MJAFI, Vol. 3. No.27.2007. p.269-272. 14. Bhakta, K.Y. Respiratory Distress Syndrome dalam Manual of Neonatal Care Seventh Edition. A Lippincott Manual. 2014.p.406-416 15. Burris, H.H. Meconium Aspiration of the Newborn dalam Manual of Neonatal Care Seventh Edition. A Lippincott Manual. 2014.p.428-434



27