Referat Anestesi Epidural [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT ANESTESI EPIDURAL



Disusun Oleh: Suci Purnama 1102015230



Pembimbing: dr. Rizky Ramadhana, Sp. An



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI PERIODE 10 AGUSTUS - 21 AGUSTUS 2020



BAB I PENDAHULUAN Anestesia epidural dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal kedalam ruang epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang berasal dari medula spinalis dan melintasi ruang epidural. Tujuannya untuk memblk serabut saraf spinalis (radix) dalam ruang epidural yang keluar dari dura menuju foramen intervertebralis. Efek anestesi yang dihasilkan lebih lambat dari anesthesia spinal dan terbentuk secara segmental. 1 Anestesi epidural dapat digunakan mulai dari analgesia dengan blok motorik minimal sampai anesthesia dengan blok motorik penuh. Variasi ini dapat dikontrol dengan pemilihan obat, konsentrasi dan dosis. Pengunaan analgesia post operasi secara kontinu dengan narkotik atau local anestesi melalui kateter epidural semakin popular saat ini. 2,3



2



BAB II Tinjauan Pustaka 2.1



Anatomi 1,2,4 Tulang



belakang



manusia



terdiri



dari



tuang



vertebral



dan intervertbralis



fibrocartilagonous disk.terdiri dari ; 7 ruas vertebra servikalis, 12 ruas vertebra thorakal, dan 5 ruas vertebra lumbal, sakrum adalah fusi dari 5 vertebra sakral dan ada kecil rudimenter coccygeal. Tulang belakang secara keseluruhan memberikan dukungan struktural untuk tubuh dan perlindungan bagi sumsum tulang belakang dan saraf, dan memungkinkan tingkat mobilitas dalam beberapa bidang spasial. Ruang epidural adalah ruang antara duramater, ligamentum dan eriosteum dari kanalis vertebra yang membantasng dari foramen magnum hingga membran sacrococygeus. Ruang epidural merupakan ruang potensial bertekanan negatif dengan komponen terdiri dari jaringan lemak, saluran limfatik, dan pembuluh darah tanpa ada cairan bebas dalam ruang epidural.



Gambar 1. Anatomi vertebra 1 Diameter ruang epidural memiliki perbedaan pada tiap segmennya, menurut beberapa literatur ukuran dari tiap segmen sesuai Tabel 1. Luas ruang epidural



Tebal duramater



Servikal



1- 1,5 mm



1,5 – 2 mm



Thorakal atas



2,5- 3 mm



1 mm



Thorakal bawah



4 – 5 mm



1 mm



Lumbal



5 – 6 mm



0,33 – 0,88 mm 3



Tabel 2.1 Diameter ruang dan tebal duramater tiap segmen 3 Tekanan negatif tiap segmen juga memiliki perbedaan, tekanan negatif dari ruang epidural juga digunakan untuk menentukan apakah jarum epidural telah memasuki ruangan epidural. Tekanan negatif ruang epidural Servikal



4cm h2o



Thorakal



1 – 3 cm h2o



Lumbal atas



1 cm h2o



Lumbal bawah



0,5 cm h2o



Tabel 2.2 Nilai tekanan negatif ruangan epidural 2 2.2



Anestesia Epidural Anestesi epidural merupakan salah satu bentuk teknik blok neuroaksial, dimana



penggunaannya lebih luas dari pada anestesia spinal. Epidural blok dapat dilakukan melalui pendekatan lumbal, torak, servikal atau sacral (yang lazim disebut blok caudal). Teknik epidural sangat luas penggunaannya pada anestesia operatif, analgesia untuk kasus-kasus obstetri, analgesia post operatif dan untuk penanggulangan nyeri kronis.5 Ruang epidural berada diuar selaput dura. Radiks saraf berjalan di dalam ruang epidural ini setelah keluar dari bagian lateral medula spinalis, dan selanjutnya menuju kearah luar.5 Onset dari epidural anestesia (10-20 menit) lebih lambat dibandingkan dengan anestesi spinal. Dengan menggunakan konsentrasi obat anestesi lokal yang relatif lebih encer dan dikombinasi dengan obat-obat golongan opioid, serat simpatis dan serat motorik lebih sedikit diblok, sehingga menghasilkan analgesia tanpa blok motorik. Hal ini banyak dimanfaatkan untuk analgesia pada persalinan dan analgesia post operasi.5 2.2.1



Lumbal epidural Lumbal epidural merupakan daerah anatomis yang paling sering menjadi tempat



insersi atau tempat memasukan epidural anestesia dan analgesia. Pendekatan median atau paramedian dapat dikerjakan pada tempat ini. Anestesia lumbal epidural dapat dikerjakan untuk tindakan-tindakan dibawah diafragma. Oleh karena medula spinalis berakhir pada level



4



L1, keamanan blok epidural pada daerah lumbal dapat dikatan aman, terutama apabila secara tidak sengaja sampai menembus dura.5,6 2.2.2



Torakal epidural Secara teknik lebih sulit dibandingkan teknik lumbal epidural, demikian juga risiko



cedera pada medula spinalis lebih besar. Pendekatan median dan paramedian dapat dipergunakan. Teknik torakal epidural lebih banyak digunakan untuk intra atau post operatif analgesia.5,6 2.2.3. Cervikal epidural Teknik ini biasanya dikerjakan dengan posisi pasien duduk, leher ditekuk dan menggunakan pendekatan median. Secara klinis digunakan terutama untuk penanganan nyeri.5,6 2.3



Teknik Anestesi Epidural Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.8 1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal. 2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4. 3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu: a) jarum ujung tajam (Crawford) b) jarum ujung khusus (Touhy)



Gambar 2. Jarum epidural anestesi



4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang paling populer adalah teknik “loss of resistance” dan “hanging drop”. 5,7



5



Gambar 3. Lokasi epidural anestesi



Teknik “loss of resistance” lebih banyak dipilih oleh para klinisi. Jarum epidural dimasukkan menembus jaringan subkutan dengan stilet masih terpasang sampai mencapai ligamentum interspinosum yang ditandai dengan meningkatnya resistensi jaringan. Kemudian stilet atau introducer dilepaskan dan spuit gelas yang terisi 2 cc cairan disambungkan ke jarum epidural tadi. Bila ujung jarum masih berada pada ligamentum, suntikan secara lembut akan mengalami hambatan dan suntikan tidak bisa dilakukan. Jarum kemudian ditusukan secara perlahan, milimeter demi milimeter sambil terus atau secara kontinyu melakukan suntikan. Apabila ujung jarum telah mesuk ke ruang epidural, secara tiba-tiba akan terasa adanya loss of resistance dan injeksi akan mudah dilakukan.5,7 2.4



Aktifasi Epidural Jumlah (volume dan konsentrasi) dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan untuk



anestesi epidural relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan anestesi spinal. Keracunan akan terjadi bila jumlah obat sebesar itu masuk intratekal atau intravaskuler. Untuk mencegah timbulnya hal tersebut, dilakukan tes dose epidural. Hal ini dibenarkan dengan menggunakan jarum ataupun melalui kateter epidural yang telah terpasang. 5,6



6



Test dose dilakukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan injeksi ke ruang subaraknoid atau intravaskuler. Test dose klasik dengan menggunakan kombinasi obat anestesi lokal dan epineprin, 3 ml lidokain 1,5 % dengan 0,005 mg/mL epineprin 1:200.000. Apabila 45 mg lidokain disuntikan kedalam ruang subaraknoid akan timbul anestesi spinal secara cepat. 15 g epineprin bila disuntikan intravaskuler akan menimbulkan kenaikan nadi 20% atau lebih. Beberapa menyarankan untuk menggunakan obat anestesi lokal yang lebih sedikit suntikan 45 mg lidokain intratekal akan menimbulkan kesulitan penanganan pada tempat tertentu, misalnya di ruang persalinan. Demikian juga, epineprin sebagai marker injeksi intravena tidaklah ideal. False positif dapat terjadi (kontraksi uterus sehingga menimbulkan nyeri yang berakibat meningkatnya nadi) demikian juga false negatif (pada pasien yang mendapat  bloker). Fentanil telah dianjurkan untuk digunakan sebagai test dose intravena, yang mempunyai efek analgesia yang besar tanpa epineprin. Yang lain menyarankan untuk melakukan tes aspirasi sebelum injeksi dapat dilakukan untuk mencegah injeksi obat anestesi lokal secara intravena. 5,6 2.5



Penempatan Kateter Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local pada operasi yang lama



dan pemberian analgesia post operasi.9 (1). Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika bevel diposisikan kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus ditarik kembali1-2 cm untuk menurunkan insiden parestesia dan pungsi dural atau vena. (2). Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat mengalami parasthesia yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika kateter tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali, maka kateter dan jarum dikeluarkan bersama-sama. (3). Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran kateter. (4). Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian belakang pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter telah masuk, kateter ditarik kembali 2-3 cm dari ruang epidural. (5). Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi dapat dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan kemudian



7



kateter diplester dengan kuat pada bagian belakang pasien dengan ukuran yang besar, bersih dan diperkuat dengan pembalutan.



2.6



Obat-obat anestesi epidural10



Anestetik lokal. Pilihan obat anestetik lokal untuk anestesi epidural ditentukan oleh lamanya prosedur operasi dan intensitas blok motoris yang dikehendaki. kloroprokain adalah kerja singkat, mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain adalah kerja lama. Buvipakain konsentrasi rendah tidak cocok digunakan pada prosedur yang membutuhkan blok motoris untuk setiap blok sensorik dibandingkan dengan obat lainnya. Ada pun obat yang sering di pakai di indonesia yaitu prokain, lidokain, bupivakain. Obat



Konsentrasi



Lama onset digabungkan epinefrin



Chloroprokain



2–3 %



60 menit



Lidokain



1,5 %



60 – 90 menit



Mepivakain



1,5 %



90 – 120 menit



Bupivakain



0,5 %



> 180 menit



Etidokain



1,0 %



> 150 menit



Tabel 2.3 Konsentrasi obat dan onset15. Epinefrin. Penambahan epinefrin (5 mg/ml) kedalam anestesi lokal yang disuntikkan kedalam ruang epidural tidak hanya memperpanjang efeknya



dengan cara menekan absorbsi,



menurunkan konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan sitemik. Epinefrin juga mengurangi suatu kelainan akibat penyuntikan intravaskuler. Sejumlah kecil epinefrin diabsorbsi dari ruang epidural yang akan membentuk efek beta adrenergik, peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan denyut jantung. Dosis anestesi. Penyebaran obat anestesi lokal dalam ruang epidural hanya tergantung pada volume yang dinjeksikan . sedang konsentrasi anestesi lokal dalam larutan hanya berpengaruh pada 8



derajat dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural labih lambat walaupun ditambahkan sodium bikarbonat kedalam anestesi lokal untuk mempercepat onsetnya. Volume larutan anestetik yang tepat untuk anestesi epidural lumbal berkisar dari 15 – 25 ml. Studi pada sukarelawan muda menunjukkan kebutuhan rata-rata adala 1,6 ml per segemen spinal yang di anestesi. Pada ruang epidural thorakal yang sempit kurang lebih dibutuhkan setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan intra abdominal yang meningkat diperlukan volume anestesi lokal lebih sedikit untuk mencapai distribusi yang diberikan. Penambahan anestetik local yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli anestesiologi pada observasi klinik. Bila anestesi dihabiskan untuk dua dermatom , penambahan sepertiga sampai setengah dari jumlah anestesi lokal semula akan diperoleh anestesi yang adekuat. Bilamana menggunakan anestesi epidural dan anestesi umum bersama-sama, penambahan dosis diberikan pada interval waktu yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi lokal. 2.7



Kegagalan Blok Epidural Tidak seperti anestesi spinal, yang mana hasil akhirnya sangat jelas, dan secara teknis



tingkat keberhasilannya tinggi, anestesi epidural sangat tergantung pada subyektifitas deteksi dari loss of resistance (atau hanging drop). Juga, lebih bervariasinya anatomi dari ruang epidural dan kurang terprediksinya penyebaran obat anestesi lokal, karenanya membuat anestesia epidural kurang dapat diprediksi.5 Kesalahan tempat penyuntikan obat anestesi lokal dapat terjadi dalam sejumlah situasi. Pada beberapa dewasa muda, ligamentum spinalis lembut dan perubahan resistensi yang baik tidak bisa dirasakan, dengan kata lain kekeliruan dari loss of resistance tidak bisa dipungkiri. Demikian juga bila masuk ke muskulus paraspinosus dapat menimbulkan kekeliruan loss of resistance. Penyebab lain kegagalan anestesi epidural seperti injeksi intratekal, subdural, dan injeksi intravena. Walaupun dengan konsentrasi dan volume yang adekuat dari obat anestesi lokal telah dimasukkan kedalam ruang epidural, dan waktu yang dibutuhkan telah mencukupi, beberapa blok epidural tidak berhasil.5 Blok unilateral dapat terjadi bila obat diberikan lewat kateter yang keluar dari ruang epidural. Bila blok unilateral terjadi, masalah tersebut dapat diatasi dengan menarik kateter 12 cm dan disuntikan ulang dimana pasien diposisikan dengan bagian yang belum terblok berada disisi bawah. Bisa juga pasien mengeluh akibat nyeri viseral pada blok epidural yang 9



bagus. Pada beberapa kasus (tarikan pada ligamentum inguinale dan tarikan spermatic cord), yang lainnya seperti tarikan peritoneum. Pada keadaan ini diperlukan pemberian suplementasi opioid intravena. Serat aferen visceral yang berjalan bersama nervus vagus mengakibatkan semua hal ini.5 2.8



Indikasi anestesi epidural 2.8.1



Bedah daerah panggul dan lutut Anestesi epidural untuk pembedahan daerah panggul dan lutut berhubungan



dengan rendahnya kejadian trombosis vena dalam. Perdarahan juga minimal apabila dilakukan pembedahan dengan teknik anestesi epidural.5 2.8.2



Revaskularisasi ekstremitas bawah Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit pembuluh



darah perifer yang dioperasi dengan teknik anestesi epidural aliran darah ke distal lebih besar dan oklusi pembuluh darah post operatif juga menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan dengan anestesi umum.5 2.8.3



Persalinan Pada proses persalinan yang sulit, apabila dilakukan dengan teknik epidural



anestesi menyebabkan stress peripartum berkurang. Hal ini berhubungan dengan menurunnya produksi katekolamin.5 2.8.4



Post operatif manajemen Pasien dengan gangguan cadangan paru, misalnya PPOK menunjukkan



maintenance fungsi paru lebih bagus dengan teknik epidural anestesi dibandingkan dengan general anestesi. Post operatif pun, pasien lebih kooperatif dan lebih cepat dipindahkan dari recovery room.5 2.9



Kontra indikasi Tabel 2.4 Kontra indikasi anestesi epidural5,8 No



Kontra indikasi relatif



Kontra indikasi absolut



1



Neuropati perifer



Sepsis



2



“mini-dose” heparin



Bakteremia



3



Demensia atau psikosis



Infeksi kulit pada lokasi injeksi



4



Aspirin atau pengobatan anti Hipovolemia berat platelet lainnya 10



5



Penyakit demielisasi system Koagulopati saraf pusat



6



Stenosis aorta



Dalam pengobatan antikoagulan



7



Pasien tidak kooperatif



Peningkatan tekanan intra cranial



8



dengan



Pasien menolak



Komplikasi Anestesi Epidural2-4,11,12



2.10



2.10.1 Intra operatif a.



Pungsi dural Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural. Jika hal ini



terjadi, ahli anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada kasusnya. Perubahan keanestesi spinal dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan serebrospinal. Kemudian anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan sejumlah anestesi lokal



keruang subarachnoid melalui jarum. Jika anestesi epidural diperlukan



(misalnya untuk analgesia post-operasi), kateter akan direposisikan kedalam interspace diatas pungsi dengan demikian ujung dari kateter epidural berada jauh dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi spinal dengan injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan. b.



Komplikasi kateter (1). Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim.. hal ini



lebih sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada bagian lateral dibandingkan apabila jarum diinsersikan pada median atau ketika bevel dari jarum secara cepat ditusukkan kedalam ruang epidural. Hal tersebut dapat juga terjadi apabila bevel dari jarum hanya sebagian yang melewati ligamentum flavum sewaktu penurunan resistensi terjadi. Pada kasus terakhir , pergerakan yang hati-hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam ruang epidural dapat memudahkan insersi kateter. Kateter dan jarum sebaiknya ditarik dan direposisikan bersama-sama jika terjadi tahanan. (2). Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga darah teraspirasi oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan tes dosis. Kateter seharusnya



11



ditarik secara perlahan-lahan sampai darah tidak ditemukan pada aspirasi dari pengetesan. Penarikan penting agar dapat segera dipindahkan dan diinsersikan kembali. (3). Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak terjadi infeksi, tetap memakai kateter tidak lebih banyak memberikan reaksi dibandingkan dengan pembedahan. Pasien seharusnya dinformasikan dan diterangkan mengenai masalah yang terjadi. Komplikasi dari eksplorasi bedah serta pengeluaran kateter lebih besar dibandingkan dengan komplikasi dari penanganan secara konservatif.11 c.



Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja . Injeksi dengan sejumlah besar volume anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid



dapat menghasilkan anestesi spinal yang total. d.



Injeksi intravaskuler anestesi local kedalam vena epidural. Menyebabkan toksisitas pada sistim saraf pusat dan kardiovaskuler yang



menyebabkan konvulsi dan cardiopulmonary arrest. e.



Overdosis anestesi lokal. Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan disebabkan oleh adanya



penggunaan obat yang jumlahnya relatif basar pada anestesi epidural. f.



Kerusakan spinal cord. Dapat terjadi jika injeksi epidural



diatas lumbal 2. Onset parestesia unilateral



menandakan insersi jarum secara lateral masuk kedalam ruang epidural. Selanjutnya injeksi atau insersi kateter pada bagian ini dapat menyebabkan trauma pada serabut saraf. Saluran kecil arteri pada arteri spinal anterior juga masuk kedalam area ini dimana melewati celah pada foramen intervertebral. Trauma pada arteri tersebut dapat menyebabkan iskemia kornu anterior atau hematoma epidural. g.



Perdarahan perforasi pada vena oleh jarum Dapat menyebabkan suatu perdarahan yang emergensi dan mematikan. Jarum



seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana jika terdapat perdarahan pada tempat itu maka dapat meyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum secara tepat. 12



2.10.2 Post-Operasi a. Sakit kepala post pungsi dural. Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17, menyebabkan sebanyak 75 % dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post pungsi dural . b. Infeksi Abses epidural Suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesi epidural. Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara hematogen pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain . Infeksi dapat juga timbul dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang dipergunakan untuk pertolongan nyeri post-operasi atau melalui suatu infeksi kulit pada tempat insersi. Pasien akan mengalami demam, nyeri punggung yang hebat dan lemah punggung secara lokal. Selanjutnya dapat terjadi nyeri serabut saraf dan paralisis. Pada awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan suatu lekosit dari lumbal pungsi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting adalah dekompresi laminektomi dan pemberian antibiotik. Penyembuhan neurologik yang baik adalah berhubungan dengan cepatnya penegakan diagnosis dan penanganan. c.



Hematoma epidural suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural. Trauma pada vena



epidural menimbulkan coagulophaty yang dapat menyebabkan suatu hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri punggung yang hebat dan defisit neurologi yang persisten setelah anestesi epidural. Diagnosis dapat segera ditegakkan dengan computered tomography atau MRI. Dekompresi laminektomi penting dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi.



13



BAB III KESIMPULAN Penggunaan tehnik epidural anatesi baik untuk oengelolaan nyeri, post operasi dan nyeri kronis merupakan pilihan ideal. Kateter mengalami perkembangan yang pesat hampir memnuhi kebutuhan untuk membantu proses manajemen nyeri. Ada pun beberapa komplikasi yang di timbulkan oleh tehnik ini namun hal ini dapat di cegah dengan prosedur yang ketat, ataupun perawatan. Persiapan



untuk melakukan



tindakan



anatesi



harus



selalu



mempersiapkan



perlengkapan dan obat untuk general anestesi. Penggunaan hemodinamik monitoring dapat membantu mendeteksi dini komplikasi regional anestesi.



14



DAFTAR PUSTAKA



1. Gaiser RR. Spinal, Epidural, and Caudal anesthesia. In : Introducton to anesthesia. California: WB Saunders Company, 1997. 2. Molnar R. Spinal, aepidural, and Caudal anesthesia. In : Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital.London: Little brown and Company, 1993;200 3. Tetlaff JE. Spinal, Epidural and Caudal Block. In : Clynical Anestesiolgy. USA : Appleton & Lange, 1996;300 4. Mulroy MF. Epidural Anesthesia. In : Regional anesthesia.USA: Little, Brown and Company, 1996; 181 5. Morgan E, Mikhail MS. Clinical Aesthesiology. 4th ed. Elm St. Appleton &lange Stamford; 2006. 6. Visser L. Epidural anesthesia. World Federation of Societies of Anesthesiologists. 2001;11(4 Pt). Available from: http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u13/u1311_01.htm. 7. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. 2 nd ed. Jakarta. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002. 8. Lunn JN. Catatan Kuliah Anestesi. 2005. Jakarta : EGC. p143-57 9. Dalens B and Khandwala R, Thoracic and Cervical Epidural Anesthesia . In : Regional Anesthesia in Infants, Children, and Adolescents. USA: Williams Weverly Europe, 1995; 300 10. Katz J, Spinal and Epidural. In : Atlas of Regional Aneasthesia. California, USA: Appleton & Lange, 1994; 110 11. Conachie I, Geachie J. Reginal anaesthetic Technique. In A Practice of Anesthesi, London: Edward Arnold, 1995; 118 12. Bernards CM, Epidural and Spinal Anesthesia. In : Handbook of Clinical Ansthesia, USA: Lippincott Williams and Wilkins, 2001; 117



15