Referat Bab II Ekstasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Ekstasi (MDMA/3,4-methylenedioxy-methamphetamine) 2.1.1 Definisi MDMA merupakan istilah untuk merujuk pada



3,4-methylenedioxy-



methamphetamine atau yang sering disebut ekstasi. MDMA



pertama kali



ditemukan oleh perusahan farmasi Merck pada tahun 1912 dengan tujuan awal sebagai zat yang dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. MDMA dipatenkan pada tahunn 1914 dengan tujuan utama sebagai penekan nafsu makan, namun pengunaanya secara luas terbatas mengingat banyaknya efek samping yang dilaporkan. Tahun 1980 penyalahgunaan MDMA meningkat. Tahun 1985 di Amerika Serikat penggunaan MDMA di ilegalkan, hal ini dikarenakan adanya kemiripan struktur dengan amfetamin yang merupakan halusionogen yang dilarang peredaran dan pengunaanya. Di Indonesia MDMA termasuk Psikotropika golongan I.



2.1.2 Epidemiologi Berdasarkan hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Puslitkes UI Tahun 2011 tentang Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia, diketahui bahwa angka prevalensi penyalahguna Narkoba di Indonesia telah mencapai 2,23% atau sekitar 4,2 juta orang dari total populasi penduduk (berusia 10 - 59 tahun). Tahun 2015 jumlah penyahguna Narkoba diproyeksikan ± 2,8% atau setara dengan ± 5,1 - 5,6 juta jiwa dari populasi penduduk Indonesia. Pada kelompok ATS jenis yang paling sering digunakan adalah ekstasi dan shabu dengan prevalensi ekstasi 1,4%, dan shabu 1,4%, jenis katinon juga dilaporkan digunakan dengan prevalensi 0,3%. Penggunaan opiad jenis heroin prevalensinya 0,5%, morfin 0,4% dan opium 0,2%. Pengunaan tranquilizer seperti luminal (0,4%), pil koplo/BK (0,5%), dan fenorbital (barbiturate) prevalensinya 0,1% juga ditemukan dikalangan pekerja transportasi setahun terakhir. Sedangkan pada kelompok hallucinogen terbanyak digunakan adalah mushroom (0,3),



kecubung (0,3%), dan bentuk Narkoba jenis lama yaitu LSD yang masih tetap beredar (0,1%). Untuk obat



bebas



di



konter obat



terbanyak



adalah



dextromethorpan (0,7%). Jumlah barang bukti ekstasi yang disita tahun 2013 dalam sediaan tablet sebanyak 1.137.940 dan bubuk sebanyak 2.113,17 gram.



2.1.3 Sifat Fisik



2.1.4 Sifat Kimia



2.1.5 Toksikokinetik 2.1.5.1 Farmakodinamik MDMA MDMA memiliki kemiripan bentuk dengan tiga neurotransmitter di otak, yaitu serotonin, dopamin dan norepinefrin. Kemiripan bentuk ini merupakan dasar mekanisme kerja MDMA. Tempat kerja utama MDMA adalah transporter monoamin



untuk



transporter/NET,



norepinefrin, serotonin



serotonin



dan



transporter/SERT,



dopamin



dopamin



(Norepinephrin



transporter/DAT).



Transporter monoamin terletak di membran presinaps, berfungsi untuk menghentikan kerja neurotransmiter yang berlebihan dengan cara re-uptake neurotrasnmiter. MDMA merupakan inhibitor kuat terhadap re-uptake serotonin, dopamin dan norepinefrin, selain itu, MDMA dapat memicu pelepasan ketiga neurotransmiter ke celah sinaps. MDMA menyebabkan peningkatan konsentrasi serotonin, dopamin dan norpeinefrin di celah sinap dan meningkatkan aktivasi reseptor post-sinaps. 2.1.5.2 Farmakokinetik MDMA MDMA berbentuk tablet atau kapsul, penggunaannya melalui oral dan tempat absorbsi utamanya di traktus gastrointestinal. Penggunaan untuk efek “rekreasi” biasanya 100mg, mulai kerja obat dalam 30 menit setelah pemakaian dan puncak konsentrasi dalam serum terjadi setelah satu sampai tiga jam. Waktu paruh MDMA kira-kira 16 jam hingga 31 jam. MDMA mengalami metabolisme di hepar dibantu oleh sitokrom P450 dengan dua jalur, yaitu jalur N-demethylation dan O-demethylation. Pada metabolisme



MDMA melalui



jalur minor N-demethylation, akan menghasilkan 3,4



methylenedioxyamphetamine (MDA), menurut hasil penelitian MDA memiliki farmakodinamik dan toksikasi yang sama seperti MDMA, bahkan lebih kuat efeknya



terhadap



sistem



kardiovaskular



dan



menyebabkan



hipertermia.



Metabolisme MDMA melalui jalur mayor O-demethylation menghasilkan 3,4 dihydroxymethamphetamin



(HHMA).



Hasil



metabolit



MDMA



akan



dikonjugasikan lalu diekskresi melalui urin.



Gambar 1. Proses Metabolisme MDMA. 2.1.6 Patofisiologi



2.1.7 Intoksikasi Ada 4 tipe toksisitas yang sangat serius mengancam kehidupan yaitu: hepatik, kardiovaskuler, serebral dan hiperpireksia. Setiap bagian akan dijelaskan terpisah dibawah ini tetapi pola toksisitas ini bisa terjadi lebih dari satu pada setiap individu yang menggunakan MDMA. 1. Toksisitas hepatik



Proporsi tinggi dari laporan kasus toksisitas tinggi dari MDMA termasuk observasi pasien dengan jaundice. Beberapa penjelasan ditawarkan untuk hal ini termasuk kemungkinan dari reaksi alergi obat, kontaminan toksis dari individu tersebut terhadap obat tersebut, atau efek sekunder dari hiperpireksia, yang akan dijelaskan selanjutnya. Akan tetapi penjelasan yang paling mungkin adalah berhubungan dengan jalur metabolisme dari obat tersebut. Seperti yang dijelaskan sebelumnya MDMA dan obat yang berhubungan dengan MDMA dimetabolisme di hati dengan menggunakan enzim CYP p450 beragam sehingga membentuk CYP2D6. Produk yang langsung jadi dari reaksi ini akan diproses lebih jauh oleh enzim menjadi prosuk sekunder, beberapa metabolit sekunder ini sangat reaktif dengan glutation. Penurunan bermakna level dari glutation bebas menunjukkan adanya proses perubahan kimiawi (influks kalsium secara masif, perubahan oksidatif dalam membran lipid sel, dan selanjutnya) dan kemudian kearah kematian sel. Gambaran klinis dari beberapa kasus bervariasi. Secara umum hal ini relatif ringan seperti pada hepatitis viral dengan jaundice, pembesaran hati, kecenderungan untuk peningkatan perdarahan, peningkatan enzim hati di darah, dan gambaran biopsinya tidak menunjukkan pastinya diagnosis dari toksisitas MDMA. Kesembuhan spontan biasanya terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan tetapi pada pengguna jangka panjang serangan akan berulang dari hepatitis. Beberapa penulis menyimpulan pada kasus hepatitis berulang pada dewasa muda, penggunaan MDMA bisa dicurigai sebagai penyebab. Andreu dkk. menemukan di rumah sakitnya “ekstasi” merupakan penyebab paling sering kedua untuk cedera hati pada pasien dibawah 25 tahun. Gambaran ini bisa menjadi lebih parah, akan tetapi progres penyakit ini bisa terjadi secara cepat untuk menghindari gagal hati dan akan menyebabkan fatal kecuali penderita ini mendapatkan transplantasi hati. 2. Toksisitas kardiovaskuler Seperti yang diceritakan sebelumnya, MDMA dan obat lain yang berhubungan meningkatkan pelepasan tidak hanya serotonin, tetapi juga



noradrenalin



dan



dopamin.



Hal



ini



khusunya



noradrenalin



yang



bertanggungjawab dari efek samping serius pada sistem kardiovaskuler. Efek ini terdiri dari 2 tipe dasar yaitu: hipertensi dengan konsekuensi ruptur pembuluh darah, perdarahan internal dan takikardi dengan konsekuensi peningkatan beban kerja jantung dan hasilnya risiko terjadi heart failure. 



Perdarahan intrakranial mayor dilaporkan, yang kemungkinan penyebab dari rupturnya pembuluh darah yang sudah di lemahkan dengan anomali kongenital atau penyakit yang mendasari dan ketika ditambahkan dari hipertensi yang terinduksi obat memberatkan hal ini.







Perdarahan ptekie diobservasi di otak dan beberapa macam organ lain dari penelitian observasional pada otopsi pada beberapa banyak dari kasus



fatal



yang



dijelaskan



sebelumnya.



Tipe



hemoragik



ini



mempengaruhi pembuluh darah kecil dan secara instan lebih lemah dari pembuluh darah yang besar dan tidak membutuhkan kerusakan preeksisting padadinding pembuluh darah. 



Perdarahan retina sudah di jelaskan dapat dilihat di autopsi.







Kerusakan dinding pembuluh darah dan akan menyebabkan trombosis intravena.







Gangguan serius pada irama jantung diobservasi diobservasi pada pengguna MDMA.



3. Toksisitas serebral Salah satu konsekuensi dari penggunaan ekstasi adalah berkeringat sangat banyak sebagai hasil kombinasi dari aktivitas fisik yang bersemangat dan aksi farmakologi pada darah dengan mekanisme termoregulasi. Jika sodium dalam jumlah besar bisa hilang dari keringat, maka seorang penari akan meminum air untuk menghindari kepanasan, hasilnya adalah hemodilusi dan menyebabkan hiponatremia. Dan dengan mekanisme tambahan yang dapat berkontribusi dengan hasil yang sama adalah ketidak sesuaian sekresi dari kelenjar hipofisis hormon antidiuretik sehingga menyebabkan retensi air pada ginjal, tetapi pada banyak kasus kemungkinan penyebabnya adalah pemasukan air yang sebelumnya diikuti oleh berkeringat. Hal ini



mengarahkan jalan lintasan air dari darah menuju jaringan termasuk otak. Terdapat 2 hal yang serius ketika hal tersebut terjadi yaitu inisiasi dari kejang seperti epilepsi, kompresi dari batang otak dan serebelum turun pada foramen magnum. Yang menunjukan disrupsi fatal dari respirasi atau kardiovaskuler. 4. Toksisitas dengan pola hiperpireksia Pola ini merupakan toksisitas yang diinduksi MDMA yang paling berbahaya dari toksisitas lain. Dari catatan sebelumnya kombinasi reaksi obat, aktivitas fisik dan lingkungan yang panas. Contoh pola hiperpireksia yaitu rhabdomyolisis, myoglobinuria dan gagal ginjal, kerusakan hati.



2.1.8 Diagnosis Pemeriksaan MDMA dalam Forensik Toksikologi forensik mempelajari tentang ilmu dan aplikasi toksikologi untuk kepentingan hukum. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kuantitatif maupun kualitatif dari racun sebagai bukti fisik serta melakukan interpretasi hasil analisis racun tersebut baik pada korban hidup maupun pada korban yang telah meninggal.9 Deteksi substansi toksik memegang sebuah peranan penting dalam forensik. Hal tersebut penting untuk menunjukkan apakah benar bahwa seseorang berada di bawah pengaruh obat-obatan pada suatu kejadian yang bermakna, baik kecelakaan atau tindak kriminal. 10 Kadar suatu substansi dalam darah atau plasma sering berhubungan dengan efek serebral yang dihasilkan pada manusia hidup, berbeda dengan yang terjadi pada jenazah. Hal ini diakibatkan proses kimia yang terjadi pada jenazah atau yang disebut proses tanatokemikal (thanatochemical-processes). Yang termasuk di antaranya adalah degradasi post-mortem, redistribusi, dan terkadang dipengaruhi oleh produksi substansi post-mortem. Pada suatu substansi yang tidak stabil, kadar substansi tersebut dalam plasma dapat berkurang atau bahkan tidak terukur. 9



Untuk mendapatkan hasil yang valid dalam melakukan analisis toksikologi, kita perlu mengenali sifat dan stabilitas dari analit. Studi-studi yang dilakukan oleh Giorgi SN dan Meeker JE terhadap stabilitas kokain, benzoilekgonin, metamfetamin, amfetamin, morfin, kodein, dan



fenisiklidin



(PCP) selama 5 tahun, didapatkan bahwa hasil obat yang paling tidak stabil adalah kokain, benzoilekgonin, dan morfin. Sedangkan metamfetamin dan PCP bersifat stabil. 9 Penyalahgunaan turunan amfetamin seperti MDMA atau yang disebut ekstasi adalah suatu masalah publik dan sering mengakibatkan hal yang fatal. Dimana hal ini sering ditemui pada praktik forensik maupun medikolegal seharihari. Beberapa kasus yang didiskusikan oleh para ahli adalah ditemukannya pengemudi yang berkendara di bawah pengaruh (driving under the influence/DUI) obat-obatan, dalam hal ini MDMA. 9 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kedokteran Forensik dari Ghent University, Belgia, ditemukan relevansi dari sampel spesimen post-mortem, termasuk pengambilan darah dan urin, beberapa jenis jaringan (misalnya hati, ginjal, otot, dan otak), rambut, vitreous humor, dan larva. Disimpulkan bahwa degradasi post-mortem MDMA sangat minimal, yang artinya evaluasi cairan atau sampel jaringan yang diambil post-mortem dapat mempresentasikan mendekati konsentrasi MDMA ante-mortem. 9 Pemeriksaan Toksikologi Pemeriksaan Fisik pada Pasien Hidup Pemeriksaan yang cepat harus dilakukan dengan penekanan pada daerah yang mungkin memberikan petunjuk ke arah diagnosis toksikologi, termasuk tandatanda vital, mata, mulut, kulit, abdomen, dan sistem saraf. 11 1. Tanda-tanda vital Evaluasi dengan teliti tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh) merupakan hal yang esensial dalam kedaruratan toksikologi.



Hipertensi dan takikardia adalah khas pada obat-obatan amfetamin dan antimuskarinik. Sementara pernapasan yang cepat, hipertermia khas pada amfetamin dan simpatomimetik lainnya. 2. Mata Dilatasi pupil (midriasis) umumnya terdapat pada turunan amfetamin, kokain, LSD, atropin, dan obat antimuskarinik lain. 3. Sistem saraf Pemeriksaan neurologik yang teliti adalah esensial. Kekakuan dan hiperaktivitas otot umum ditemukan pada metakualon,



haloperidol, PCP, dan obat



simpatomimetik lainnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, MDMA mempunyai efek mulut kering, kejang, jantung berdenyut lebih cepat, dan keringat keluar lebih banyak, kemudian efek selanjutnya mata kabur, hipertermia, paranoid, sulit konsentrasi, dan nyeri seluruh otot.



Perubahan Tanatologi yang Terjadi pada MDMA MDMA merupakan substansi yang cukup stabil in vitro. Hingga saat ini, belum ada argumen yang menyatakan bahwa MDMA dimetabolisme post-mortem oleh bakteri, berbeda dengan nitrobenzodiazepin. Pada manusia, metabolisme dari metabolit aktif 3,4-metilendioksiamfetamin (MDA) adalah jalur minor; sementara pembentukan



glukoronit



dihidroksimetamfetamin



atau (HHMA)



metabolit dan



konjugat



sulfat



3,



4-



4-hidroksi-3-metoksimetamfetamin



(HMMA) merupakan jalur predominan di metabolisme MDMA. MDA sebagai metabolit aktif dari MDMA biasanya ditemukan sekitar 5-10 % dari kadar MDMA dalam serum atau plasma. 9



Pemeriksaan Barang Bukti Mati pada Kasus Pemakaian Narkoba



Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan kerja sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensik, psikiater maupun ahli toksikologi. Pertanyaan–pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan hal di atas meliputi apakah kejadian tersebut merupakan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan, ataupun kemungkinan pembunuhan, jenis obat apakah yang digunakan, melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut, adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian, apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat, adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut, apakah jenis narkoba yang digunakan memprovokasi penyakit-penyakit yang mungkin sudah ada pada korban, apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian korban. Ringkasnya, penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek,11 yaitu : a. TKP (Tempat Kejadian Perkara); b. riwayat korban; c. otopsi; d. pemeriksaan toksikologi; Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti-bukti adanya pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut. Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat pemakaian narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga, teman, maupun saksi-saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba. Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemeriksaan toksikologi. Biasanya temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas penyuntikan maupun sayatan-sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba.



Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari tanda-tanda dari komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanya didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan-bahan narkoba yang masih utuh tetapi warna dari cairan lambung dapat memberi petunjuk mengenai jenis narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa secara keseluruhan untuk mencari bukti adanya usaha-usaha penyelundupan narkoba. Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada daerah-daerah yang dicurigai merupakan tempat suntikan. Penilaian mengenai adanya perdarahan, peradangan, benda-benda asing, dan tingkat ketebalan vena akan dapat memberikan informasi mengenai berapa lama telah dilakukan kebiasaan menyuntik. Namun pada penyalahgunaan MDMA tidak ditemukan bekas suntikan, karena obat ini dikonsumsi secara oral, kecuali apabila korban diketahui mengonsumsi jenis obat-obat lain melalui intravena. 12



Temuan pada Otopsi Jika obat dihisap atau dikonsumsi secara oral seperti MDMA, mungkin tidak ada manifestasi eksternal yang ditemukan. Disamping informasi lain, terdapat tanda terbakar pada jari telunjuk bagian palmar yang digunakan untuk memegang pipa panas pada penggunaan oral.12 Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap dan berbagai macam barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Sampel otopsi harus menyertakan darah perifer, urin, jaringan pada hepar, jaringan pada otak, jaringan pada jantung, jaringan pada paru-paru, isi lambung dan rambut. Urin, cairan spinal dan jaringan dapat positif untuk beberapa hari setelah penggunaan pertama, dan positif untuk waktu yang lebih lama pada penggunaan kronis. Rambut juga dapat dianalisis untuk melihat positif tidaknya penggunaan MDMA.12 Cairan empedu dan urine secara khusus sangat penting pada kasus-



kasus kematian akibat pemakaian opiat. Usapan mukosa hidung kadang-kadang dapat menunjukkan bekas hisapan pada pemakaian kokain maupun heroin.13 



Penemuan Pada Otak Studi post mortem memperlihatkan perubahan level serotonin dan metabolit utamanya pada otak pada pengguna jangka panjang. Level serotonin berkurang 50%–80% pada regio yang berbeda pada otak, pada perbandingan dengan yang tidak menggunakan. Dapat memperlihatkan gambaran disseminated intravascular coagulation (DIC), edema dan degenerasi neuron nampak pada lokus ceruleus. Dalam sebuah studi postmortem dapat ditemukan adanya nekrosis glandula hipofisis, hal ini kemungkinan karena kurangnya suplai darah.12







Penemuan Pada Jantung Jantung adalah target organ, terkadang terjadi penambahan berat, terutama pada hipertrofi ventrikel kiri dan pembesaran jantung bagian kanan. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kongesti dari organ dengan edema. Juga dapat ditemukan peningkatan sejumlah partikel karbon. Bisa juga terlihat nekrosis myofibril. Sejak diketahui bahwa obat ini merupakan stimulator katekolamin, dan menyebabkan terjadinya peningkatan katekol dalam darah, jantung sering terdapat area iskemi dan mionekrosis yang dikelilingi oleh neutrofil dan makrofag.12







Penemuan pada Hepar Dapat terdapat pembesaran hepatosit dan pada sitoplasma bisa mengandung banyak vakuola. Kasus intoksikasi yang menyebabkan hipertermia dengan kegagalan fungsi hati sering terdapat nekrosis hepatis masif, perlemakan, dilatasi sinusoidal dan inflamasi juga ditemukan.12







Penemuan pada Ginjal Pada ginjal mengakibatkan myoglobinuric tubular necrosis, sedangkan metamfetamine dapat menyebabkan glomerulonefritis peroliferatif akibat dari suatu systemic necrotizing vasculitis. Biasanya akan terjadi bila digunakan secara intravena, Merupakan keadaan yang jarang terjadi, dan timbul bila terjadi overdosis.7







Pemeriksaan Darah Waktu paruh yang cukup lama menyebabkan obat dapat dideteksi pada darah dalam waktu beberapa jam, bergantung dari dosisnya.12 Kebanyakan tes skrining darah adalah menggunakan teknik imunoassay. Dapat juga dengan menggunakan gas kromatografi dan analisis spektroskopi. Identifikasi dengan menggunakan saliva telah ada dan dapat digunakan untuk tes simpel yang non-invasif.







Tes Urin Pengguna MDMA akan memperlihatkan hasil positif pada amfetamin (metode umum) dan metamfetamin (metode tes yang baru dan lebih jarang digunakan). Periode deteksi amfetamin pada urin adalah 24-96 jam setelah penggunaan (rata-rata 72 jam). Periode deteksi amfetamin dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH dan status hidrasi. 12







Tes Rambut Analisis rambut juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan derivatnya, namun penggunaannya tidak direkomendasikan. Tes rambut secara umum memerlukan sekitar 1.5 inci dari rambut. Ini menyediakan periode dekteksi sekitar 90 hari. Jika rambut seseorang kurang dari 1,5 inci, periode deteksinya akan lebih pendek. 12



Pemeriksaan Penunjang Mass Spectrometry (MS) adalah teknik yang sekarang digunakan dalam banyak aspek ilmu forensik, tapi alat yang di gunakan masih terus berkembang untuk menyediakan peningkatan pada metode yang sekarang ada atau bahkan dalam aplikasi yang baru. MS dalam ilmu forensik menyediakan metode dalam banyak aplikasi untuk mengidentifikasi sebuah senyawa atau komponen dari sebuah senyawa campuran, yang terdiri dari formula molekul dengan struktur kimianya. Pengguanan MS secara luas dan juga kebutuhannya untuk dapat bekerja lebih cepat, efisien dan pengukuran yang lebih sensitif, mendorong dalam perkembangan yang lebih serba guna dan lebih efisien. Format MS yang baru



terbukti dalam penggunaanya untuj aplikasi forensiknya, bukan hanya itu format baru ini juga dapat di gunakan secara luas dalam penggunaannya dalam bidang kimia, biokimia, biologi, dan farmakologi, dan di antara bidang yang lainnya, MS juga menjadi alat yang penting dalam identifikasi bahan kimia, profil komposisi dan analisis struktur. Idealnya, teknik deteksi dan analisis haruslah kuat, sensitif, informatif, luas dalam segi aplikasinya dan spesifik dalam segi diskriminasi.14, 15 Banyak teknik analisis tersedia untuk analisis forensik, tapi MS mendominasi dalam beberapa aplikasi. Meskipun teknik Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GC – MS) tradisional digunakan sebagai alat instrument yang penting dalam analisis forensik, teknologi MS yang baru dikembangkan memberikan pengingkatan dalam banyak hal. Peningkatan dalam hal proses ionisasi mungkin menjadi salah satu perkembangan yang paling penting, yang termasuk diantaranya teknik ESI, MALDI dan ambient atau atmospheric pressure ionization.13 Aplikasi yang saat ini paling mutakhir adalah dengan metode ambient ionization, khususnya pada direct analysis in realtime (DART). Perbedaan dari ambient ionization dengan MS yang konventional adalah pada manipulasi kimia dari sampel pada instrument. Senyawa yang diperiksa diionisasi dalam udara terbuka langsung di depan tabung terbuka tempat masuk senyawa dari mass spectrometer sehingga hasilnya akan langsung terdeteksi. Perlu diingat bahwa metode



ambient



ionization



dapat



digunakan



tanpa



pemisahan



secara



kromatografik. Keuntungan utama dari ambient ionization adalah kegunaannya yang luas dalam ionisasi sampel dalam bentuk aslinya, tanpa perlu diekstraksi, derivatisasi atau proses sampel yang lain sebelum dilakukan analisis. Perkembangan dalam mass analyzers sangat berguna menyediakan manfaat yang langsung sehingga mass analyzers memiliki resolusi yang lebih tinggi dan dapat mengidentifikasi dengan lebih baik. 15 Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GCMS) Dalam GCMS sampel yang digunakan harus dalam bentuk larutan yang akan di injeksikan kedalam alat yang digunakan dan akan di ekstraksi. Setelah pemisahan



secara kromatografi, akan terjadi ionisasi melalui electron impact ionization, dimana 10 elektron volt menyebabkan electron dikeluarkan dari dalam sel, menyebabkan molekul ion kation radikal dengan berat dari senyawa yang ditemukan.14



Mass Analyzers Banyak jenis dari mass analyzers digunakan dalam MS, termasuk quadrupole, TOF, orbitrap dan instrument gabungan. Mass analyzers GC – MS yang ada pada umumnya



digunakan



pada



laboratorium



forensik



menggunakan



linear



quadrupole, karena mudah digunakan dan relatif murah, efisien dalam segi transmisi ion ke detector dan dalam segi kegunaan dasarnya, yaitu menjadi filter massa dalam analisis kimia. Akurasi yang tinggi dalam pengukuran massa menjadi kuncinya, sehingga dapat mengidentifikasi tanpa perlu melakukan pemisahan secara kromatografi. 16 Liquid Chromatography – Mass Spectrometry (LCMS) Ketika GCMS digunakan secara luas dalam bidang forensik, metode LCMS ada dengan metode yang dianggap lebih baik. LCMS menggunakan ESI untuk menghasilkan fase ion gas, sehingga lebih berguna bila digunakan untuk analisa bahan dalam jumlah yang besar, bahan yang tidak dapat menguap, seperti material biologik.16 Ambient ionization Dalam dekade terakhir ini merupakan masa peralihan dalam pengembangan metode – metode ionisasi. Metode yang sederhana dan tepat menjadi faktor penting dalam pengambilan sampel dari senyawa di keadaan aslinya. Perkembangan ini memudahkan analisis dari senyawa yang sulit di proses bila menggunakan metode konvensional, termasuk senyawa yang tidak dapat menguap dan materi yang padat, juga sampel jaringan atau jaringan dengan susunan yang kompleks.16



Direct analysis in real time ionization DART ionization mengandalkan mekanisme ionisasi fase gas, dan membutuhkan sampel yang sedikit untuk dapat diperiksa.DART menggabungkan desorpsi termal, transfer, dan penning ionization. DART dapat langsung digunakan pada sampel di TKP tanpa harus di ekstraksi terlebih dahulu.15, 16



2.1.9 Penatalaksanaan Prinsip pengobatan pada toksisitas MDMA adalah farmakoterapi intervensif ,sebagai berikut: (1) dekontaminasi dengan arang aktif/sorbitol; (2) sedasi dengan benzodiazepin pada pasien gelisah dan cemas; (3) pengobatan hipertermia dengan cepat pendinginan konveksi, penyemprotan air ke tubuh dan menggunakan kipas angin listrik untuk mengalirkan air, mencoba untuk mendinginkan suhu inti untuk 101 ° F dalam waktu 30-45 menit; (4) bantuan dari kejang otot dan/atau kram dengan benzodiazepin, (5) pencegahan rhabdomyolysis dengan cairan IV (manfaat furosemide atau natrium bikarbonat masih kontroversial); (6) kontrol kejang dengan benzodiazepin; dan (7) stabilisasi hemodinamik dan / atau gangguan kardiovaskular dengan nitroprusside atau nitrogliserin. Sementara kebanyakan pasien dengan MDMA overdosis meningkatkan dengan perawatan suportif, komplikasi yang mengancam jiwa hasil dari toksisitas berat. Kematian telah dilaporkan karena hipertermia berat (yaitu, stroke panas) disertai dengan disseminated intravascular coagulation, rhabdomyolysis, dan gagal ginjal akut. Kematian dari edema serebral dan kejang sekunder untuk hiponatremia dan syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH) juga telah dilaporkan. Seperti dalam setiap toksisitas amfetamin, bahaya aritmia jantung dan ketidakstabilan kardiovaskular selalu harus diperhatikan. Perhatian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABC) dan tanda-tanda vital adalah standar penanganan dalam overdosis, dan pemeriksaan neurologis juga diperlukan. Menyediakan oksigen, memperoleh akses intravena, dan melakukan monitoring jantung. Penentuan kadar glukosa ditunjukkan kepada pasien dengan



perubahan status mental. Jika seorang pasien hipoglikemik,pemberian tiamin untuk menjaga konsentrasi glukosa serum dengan pemantauan sering. Jika toksisitas akut yang disebabkan oleh konsumsi diketahui, melakukan dekontaminasi gastrointestinal dengan pemberian arang aktif. Lavage Orogastric biasanya tidak diperlukan kecuali co-ingestant mengancam jiwa terlibat dan pasien datang dalam waktu 1 jam dari konsumsi. Irigasi seluruh usus dapat diindikasikan jika tubuh keracunan obat yang dicurigai. Meskipun gangguan pernapasan jarang, intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan pada pasien yang tidak dapat melindungi jalan napas mereka atau memiliki gangguan pernapasan karena kondisi seperti kejang, instabilitas kardiovaskular, atau trauma. Pasien



dengan



hipertermia



parah



memerlukan



langkah-langkah



pendinginan agresif dan resusitasi cairan yang memadai. Morbiditas secara langsung berhubungan dengan tingkat keparahan dan durasi hipertermia. Pertimbangan manajemen adalah sebagai berikut: Menanggalkan pakaian pasien, Terapkan pendingin menguapkan air dan kipas angin, Terapkan kompres es di pangkal paha dan ketiak, Lavage lambung es dapat dianggap, Kendali menggigil dengan benzodiazepin, jangan menggunakan antipiretik karena tidak ada manfaatnya. Mengobati kejang dengan benzodiazepin. Kebanyakan kejang adalah sembuh dan berespon dengan baik untuk benzodiazepin. Melindungi jalan napas dan mempertimbangkan fenobarbital atau propofol pada pasien dengan gejala refrakter. Perlakukan yang mendasari penyebab dan cek elektrolit, terutama hiponatremia. Mulailah dengan pembatasan cairan, tapi pertimbangkan untuk menambahkan garam hipertonik dalam kasus refrakter atau berat; dalam kasus ini, menambahkan 3% saline dan furosemide dapat diindikasikan tetapi pada tingkat tidak lebih besar dari 0,5-1 mEq/L/jam. Selalu melakukan pengujian kehamilan pada pasien wanita dengan overdosis. MDMA, seperti semua amfetamin, dapat menjadi racun bagi janin dan dapat menyebabkan keguguran atau persalinan prematur.



Daftar Pustaka 1. Suharto G. Peraturan perundangan. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2014. h.59-63.



2. Budianto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Sidhi, Atmadja DS,dkk. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Fakultas Universitas Indonesia, 2009. h.136-7. 3. Barcelpux DG. Medical Toxicology of Drug Abuse: Synthesized Chemicals and Psychoactive Plants. New Jersey: John Willey and Sons Inc. 2012. p.126-7. 4. Mas et al 1999, ‘Pharmacology of MDMA (Ecstasy)’, Diakses pada 30 Oktober



2015.



http://www.health.gov.au/internet/publications/publishing.nsf/Content/dru gtreat-pubs-modpsy-toc~drugtreat-pubs-modpsy-2~drugtreat-pubsmodpsy-2-3~drugtreat-pubs-modpsy-2-3-pmdm. 5. Upreti, V.V 2007, ‘Characterization and Pharmacodynamic Drug Interaction



of



3,4-Methylenedioxyamphetamin



(MDMA,



Ecstasy)’,



Dissertation, University of Maryland, Baltimore. 6. Rietjens, S.J, Laura, H, Remco, H.S.W, Jan, M 2012, ‘Pharmacokinetics and



Pharmacodynamics



of



3,4-Methylenedioxymethamphetamine



(MDMA): Interindividual Differences Due to Polymorphisms and Drug– Drug Interactions’, Reviem Article, University Medical Center Utrecht, Netherlands. 7. Japardi, S 2002, ‘Efek Neurologis dari Ekstasi dan Shabu-Shabu’, Universitas Sumatera Utara, Medan. 8. Kalan, Herold dkk. 2001. The pharmacology dan toxicologi of defition, “ecstasy” (MDMA) and related drugs. CMAJ 2001;165(7):917-28. 9. De Letter, et al. Post-mortem redistribution of MDMA: human and animal data. Ghent University, Belgium: Department of Forensik Medicine; in Current Pharmaceutical Biotechnology. 11 (5), 453-59. 2010. 10. Manela C. Pemilihan, penyimpanan, dan stabilitas sampel toksik pada korban penyalahgunaan Narkotika; dalam Jurnal Kesehatan Andalas 4 (1). FK Unand: Bagian Forensik; 2015.



11. Budianto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Sidhi, Atmadja DS,dkk. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Fakultas Universitas Indonesia, 2009. h.136-7. 12. Stephen BG. Investigation of death from drug abuse. In: Spitz WU, Spitz DJ. Spitz and Fisher’s Medicolegal Investigation of Death. 4 th ed. Charles C Thomas Publisher LTD, USA. 13. Morris Hamilton; Wallach Jason. From PCP to MXE: a comprehensive review of the non-medical use of dissociative drugs. 2014. Drug test analysis. DOI 10.1002/dta.1620. 14. Tominaga M et al. Efficacy of drug screening in forensik autopsy: Retrospective investigation of routine toxicological findings. Leg Med (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.legalmed.2015.01.001. 15. Tominaga M et al. Efficacy of drug screening in forensik autopsy: Retrospective investigation of routine toxicological findings. Leg Med (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.legalmed.2015.01.001. 16. Lesiak Asthon; Shepard Jason. Recent advances in forensik drug analysis by DART-MS. BIOANALYSIS 6(6). 819-842. March 2014. DOI: 10.4155/bio.14.31. 17. Burgess C, O'Donohoe A, Gill M. Agony and ecstasy: a review of MDMA effects and toxicity. Eur Psychiatry. 2000 Aug. 15(5):287-94. 18. McCann



UD,



Eligulashvili



Methylenedioxymethamphetamine



V,



Ricaurte



GA.



('Ecstasy')-induced



(+/-)3,4serotonin



neurotoxicity: clinical studies. Neuropsychobiology. 2000. 42(1):11-6. 19. Republik Indonesia, Undang-undang No 22 tahun 1997 tentang Narkotika. 20. Republik Indonesia, Undang-undang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. 21. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Jakarta: balai penerbit FKUI, 1994. h.13-5. 22. Elliot SP. MDMA and MDA concentrations in antemortem and in antemortem and postmortem specimens in fatalities following hospital



admission. Journal of Analitycal Toxicology; Vol. 29, July/August. Birmingham; UK. 2005. p. 296-301.