Referat Benign Prostat Hypertrophy [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA



Pembimbing : Dr. Tri Endah, Sp.U



Penyusun : Intan Telani Oktaviana



Kepaniteraan Klinik Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Periode 30 Januari 2012 – 7 April 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti



Lembar Pengesahan



Nama



: Intan Telani Oktaviana



NIM



: 030.07.119



Judul Referat



: Benign Prostatic Hyperplasia



Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing Dr. Tri Endah, Sp.U pada : Hari



: Senin



Tanggal



: 12 Maret 2012



Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih



Jakarta, 12 Maret 2012



Dr. Tri Endah, Sp.U



Kata Pengantar



Rasa syukur saya panjatkan terutama kepada Allah SWT, karena rahmatNya saya dapat menyelesaikan referat ini. Tulisan ini saya buat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik bedah yang sedang berlangsung di RSUD Budhi Asih.



Pada kesempatan ini saya ingin berterima kasih atas bimbingan dan juga segala bantuannya kepada: 1. Dr. Tri Endah,Sp.U sebagai pembimbing yang telah memberikan nasihat, saran dan bimbingannya yang sangat berguna bagi saya dalam menyusun referat ini. 2. Keluarga dan kerabat saya,atas doa dan dukungannya dalam membantu saya menyelesaikan referat ini. 3. Seluruh teman-teman kepaniteraan klinis yang telah membantu saya.



Akhir kata, saya memohon maaf sebesar-besarnya bila ada kesalahan dalam menyusun referat ini dan saya berharap referat ini dapat berguna bagi semua pihak yang telah membacanya.



Jakarta, 12 Maret 2012



Intan Telani Oktaviana



DAFTAR ISI



1.



KATA PENGANTAR



2.



DAFTAR ISI



3.



BAB I . PENDAHULUAN



4.



BAB II . PEMBAHASAN a. II. A. KELENJAR PROSTAT i.



II. A. 1. Anatomi dan Histologi Kelenjar Prostat



ii.



II. A. 2. Fisiologi Kelenjar Prostat



b. II. B. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA i.



II. B. 1. Definisi



ii.



II. B. 2. Epidemiologi



iii.



II. B. 3. Etiologi



iv.



II. B. 4. Patologi



v.



II. B. 5. Patofisiologi



vi.



II. B. 6. Manifestasi klinis



vii.



II. B. 7. Pemeriksaan fisik



viii.



II. B. 8. Pemeriksaan penunjang



ix.



II. B. 9. Diagnosis Banding



x.



II. B. 10. Komplikasi



xi.



II. B. 11. Penatalaksanaan



xii.



II. B. 12. Prognosis



xiii.



II. B. 13. Pencegahan



5.



BAB III. KESIMPULAN



6.



BAB IV. DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN



Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Pada tahap usia tertentu banyak pria mengalami pembesaran prostat yang disertai gangguan buang air kecil. Gejala ini merupakan tanda awal Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Hiperplasia prostat sering terjadi pada pria diatas usia 50 tahun (50-79tahun) dan menyebabkan penurunan kualitas hidup seseorang. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian bermanifes dengan gejala klinik. Dengan adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif hingga tindakan operasi.



BAB II PEMBAHASAN II. A. KELENJAR PROSTAT II. A. 1. Anatomi dan Histologi Kelenjar Prostat(1) Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus (kerucut) terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm. Pada bagian anterior digantung oleh ligamentum pubo-prostatika yang melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum. Fasia denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup keras dan biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal membungkus otot levator ani yang tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena ototnya lebih sedikit dan fasia lebih tipis.



Gambar 1. kelenjar prostat dan uretra



Menurut klasifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior, posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal, prostat dibagi atas 4 bagian utama: 1.



Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular. Ini merupakan sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang glandular dapat dibagi menjadi 3 zona (bagian 2,3 dan 4).



2.



Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang glandular, membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara skematik zona ini dapat digambarkan seperti suatu corong yang bagian distalnya terdiri dari apex prostat dan bagian atasnya terbuka untuk menerima bagian distal zona sentral yang berbentuk baji. Saluran-saluran dari zona perifer ini bermuara pada uretra pars prostatika bagian distal.



3.



Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang glandular, dikenal sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum dan basisnya pada leher buli-buli. Saluran-salurannya juga bermuara pada uretra prostatika bagian distal. Zona central dan perifer ini membentuk suatu corong yang



berisikan segmen uretra proximal dan bagianventralnya tidak lengkap tertutup melainkan dihubungkan oieh stroma fibromuskular. 4.



Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang terkecil (5 %), terletak tepat pada batas distal sfinkter preprostatik yang berbentuk silinder dan dibentuk oleh bagian proximal uretra. Zona transisional dan kelenjar periuretral bersama-sama kadang-kadang disebut sebagai kelenjar preprostatik.



Prostat diperdarahi oleh arteri vesika inferior, arteri pudendalis interna arteri hemoroidalis medialis. Arteri utama memasuki prostat pada bagian infero-lateral persis dibawah bladder neck, ini harus diligasi atau didiatermi pada waktu operasi prostatektomi. Darah vena prostat dialirkan kedalam fleksus vena periprostatika yang berhubungan dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka interna yang juga berhubungan dengan pleksus vena presakral. Oleh karena struktur inilah sering dijumpai metastase karsinoma prostat secara hematogen ke tulang pelvis dan vertebra lumbalis. Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan kandung kemih bagian inferior yaitu fleksus saraf simpatis dan parasimpatis. Aliran lymph dari prostat dialirkan kedalam lymph node iliaka interna (hipogastrika), sacral, vesikal dan iliaka aksterna II. A. II. Fisiologi Kelenjar Prostat(1,2) Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama ejakulasi, mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi pasti cairan ini belum diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa sperma. Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin, dapat dianggap imbangannya (counterpart) dengan payudara pada wanita. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti, tetapi pada pengebirian kelenjar prostat jelas akan mengecil. Jadi prostat dipengaruhi oleh hormon androgen, ternyata bagian yang sensitive terhadap androgen adalah bagian perifer, sedangkan yang sensitive terhadap estrogen adalah bagian tengah. Karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang berkurang sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut.



II. B. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA II. B. 1. Definisi(2) Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel (hiperplasia) kelanjar periuretral prostat yang tidak ganas yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah1. II. B. 2. Epidemiologi(2) Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hyperplasia. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun3. II. B. 3. Etiologi(2) Belum diketahui secara pasti, saat ini terdapat beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat antara lain : 1. Teori DHT (dihidrotestosteron). Testosteron dengan bantuan enzim 5-a reduktase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat. 2. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel. 3. Teori stem cell hypotesis. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal. 4. Teori growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor-b (TGF-b), akan menyebabkan terjadinya



ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat. 5. Teori Hormonal. Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. 
 Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen. II. B. 4. Patologi(2) Perubahan paling awal pada BPH adalah di kelenjar periuretra sekitar verumontanum. Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler, nodul asinar atau nodul campuran fibroadenomatosa. Hiperplasia glandular terjadi berupa nodul asinar atau campuran dengan hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar biasanya besar dan terdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak menunjukkan proses keganasan. Proses patologis lainnya adalah penimbunan jaringan kolagen dan elastin di antara otot



polos yang berakibat melemahnya kontraksi otot. Hal ini mengakibatkan terjadinya hipersensitivitas pasca fungsional, ketidakseimbangan neurotransmiter, dan penurunan input sensorik, sehingga otot detrusor tidak stabil. II. B. 5. Patofisiologi(2,5) Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik. Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi uretra. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk mengatasi resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus1. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.



II. B. 6. Manifestasi klinis(2,3) Gejala hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejalagejalanya antara lain1: 1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency) 2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream) 3. Miksi terputus (Intermittency) 4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling) 5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying) Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga factor, yaitu: a. Volume kelenjar periuretral b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat c. Kekuatan kontraksi otot detrusor Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah1 : 1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency) 2. Nokturia 3. Miksi sulit ditahan (Urgency) 4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)



Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi : Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml Grade III: Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin > 150 ml.8



Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7. Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu: - Ringan : skor 0-7 - Sedang : skor 8-19 - Berat : skor 20-35 Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.



International Prostatic Symptom Score Pertanyaan Keluhan pada bulan terakhir



Jawaban dan skor Tidak



Hampir



50 cc), dan waktu laju aliran urin akan menurun ( 10 ng/mL, kanker harus dicurigai (normal < 4 ng/mL). Serum alkaline phosphatase biasanya meningkat jika tumor telah menyebar ke tulang.
 Prostatitis akut dapat menyebabkan gejal-gejala obstruksi, tetapi pasien biasanya mengalami infeksi saluran kemih (ISK) atau bisa dalam sepsis. Prostat terasa nyeri terutama dengan penekanan meskipun secara halus.
 Striktur uretra mengurangi kaliber pancaran urin. Biasanya terdapat riwayat gonorrhea atau trauma lokal. Retrograde urethrogram akan menunjukkan area stenosis. Striktur juga dapat menghambat pasase kateter. Pemeriksaan pencitraan(1) a. Foto polos abdomen (BNO) Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat b. Pielografi Intravena (IVP) Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui adanya kelainan pada



ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit (trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli). Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin. c. Sistogram retrograde Memberikan gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter karena retensi urin. d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS) Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur residu urin e. MRI atau CT scan Jarang dilakukan. Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam potongan Pemeriksaan lain(1) 



Uroflowmetri Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran ditentukan oleh daya kontraksi otot detrusor, tekanan intravesika, resistensi uretra. Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik.







Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan AbramsGriffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.







Pemeriksaan Volume Residu Urin Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.



II. B. 9. Diagnosis Banding(1) Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya3: 1. Struktur uretra 2. Kontraktur leher vesika 3. Batu buli-buli kecil 4. Kanker prostat 5. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan obat-obat parasimpatolitik. Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh : 1. Instabilitas detrusor 2. Karsinoma in situ vesika 3. Infeksi saluran kemih 4. Prostatitis 5. Batu ureter distal 6. Batu vesika kecil. II. B. 10. Komplikasi(3) Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut1 a. Inkontinensia Paradoks b. Batu Kandung Kemih c. Hematuria d. Sistitis e. Pielonefritis f. Retensi Urin Akut Atau Kronik g. Refluks Vesiko-Ureter h. Hidroureter i. Hidronefrosis j. Gagal Ginjal



Komplikasi
 Obstruksi dan residual urin menyebabkan infeksi pada VU dan prostat dan kadang-kadang menyebabkan pyelonephritis; ini mungkin sulit untuk dihilangkan.
 Obstruksi juga dapat menyebabkan terjadinya divertkel VU. Infeksi residual urin berperan terhadap pembentukan batu (calculi).
 Obstruksi fungsional pada intravesical



ureter, disebabkan oleh



hipertropi



trigonum,



dapat



menyebabkan



hydroureteronephrosis. II. B. 11. Penatalaksanaan(3) Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan teknologi yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi bedah minimal invasif yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang tinggi. Berikut ini akan dibahas penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif3.



Watchful Waiting Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS 3) 1.



Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar mengurangi nokturia.



2.



Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).



3.



Mengurangi kopi.



4.



Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil. Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring, uroflowmetri, dan TRUS.



5.



Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.



Terapi Medikamentosa Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa). Terdapat tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu dengan penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi3. 



Penghambat adrenergik a-1



Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan pada otot



polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan demikian, akan terjadi relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars prostatika menurun dan mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif cepat. Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat menimbulkan keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah (fatique). Pengobatan dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa pertanyaan, seperti berapa lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap baik mengingat sumbatan oleh prostat makin lama akan makin berat dengan tumbuhnya volume prostat. Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1 mg/hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/hari. Tamsulosin dengan dosis 0.2-0.4 mg/hari2. 



Penghambat enzim 5a reduktase



Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga testosteron tidak diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi DHT dalam jaringan prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan memberikan perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi. Salah satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido dan kadar serum PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/hari. 



Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase



Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a reduktase pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat penurunan skor dan peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan penghambat adrenergik a-1. Namun, masih terdapat keraguan mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih kecil dibandingkan kelompok lain. Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian lebih lanjut. 



Fitoterapi



Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan poluler diberikan di Eropa dan baru-baru ini di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula, Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya3.



Terapi Bedah Konvensional Penatalaksanaan
 Indikasi managemen operasi adalah penurunan fungsi ginjal dan gejala-gejala lain yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Karena derajat obstruksi berjalan dengan lambat pada kebanyakan pasien, terapi konservatif dapat juga adekuat. Obat-obatan yang merelaksasi kapsul prostat dan spinter internal (α-adrenergic blocking agent) atau yang menurunkan volume prostat (5 α-reductase inhibitor atau antiadrogen) telah dicoba dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Penatalaksanaan prostatitis kronik adalah untuk mengurangi gejala. Resolusi dari komplikasi sistitis biasanya akan dapat tercapai. Dalam rangka melindungi tonus vesikal, pasien sebaiknya diperingatkan agar segera BAK ketika terjadi urgensi. Memaksa cairan urin keluar dalam waktu yang pendek menyebabkan pengisian VU yang cepat, dan menurunkan tonus vesikal; ini adalah penyebab umum dari retensi urin akut dan oleh sebab itu harus dihindari. Pasien-pasien dengan gejala obstruksi urin sebaiknya menghindari pemakaian obat flu termasuk antihistamin, karena juga dapat menyebabkan retensi urin. Terapi konservatif ini hanya sementara menolong.
 Kateterisasi diharuskan untuk retensi urin akut. BAK spontan dapat kembali normal, tetapi kateter sebaiknya dibiarkan terpasang selam 3 hari sementara tonus detrusor kembali normal. Jika ini gagal, terapi konservatif atau operatif diindikasikan. Terdapat empat pendekatan klasik yang digunakan dalam prostatectomy: transurethral, retropubic, suprapubic, dan perineal. Transurethral dipilih pada pasien dengan berat prostat di bawah 50 g karena morbiditas lebih rendah dan perawatan di RS lebih singkat. Prostat yang lebih besar memerlukan tindakan bedah terbuka, tergantung dengan pilihan dan pengalaman dari urologist. Angka kematian rendah dalam masingmasing prosedur (1–2%). Potensi risiko tertinggi jika pendekatan transperineal digunakan,



tetapi



impotensi



kadang-kadang



terjadi



setelah



reseksi



prostat



transuretra.
 Pendekatan alternative dalam penatalaksanaan BPH adalah transurethral incision of the prostate (TUIP). Prosedur ini terdiri dari insisi prostat pada leher VU ke atas verumontanum, sehingga memungkinkan ekspansi seluruh uretra prostat. Terutama efektif ketika titik primer obstruksi disebabkan di "median bar" atau bibir leher VU letak tinggi posterior.
 Terapi alternatif lainnya yang kini sedang berkembang adalah teknik



minimally invasive seperti transurethral vaporization, laser prostatectomy, transurethral microwave thermotherapy, transurethral needle ablation, dan high intensity focused ultrasound ablation of the prostate.
 Prognosis
 kebanyakan pasien dengan gejala yang khas BPH dapat mengalami perbaikan dan peningkatan fungsi kemih. Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan3:



1. Prostatektomi terbuka : a.



Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)



b.



Prostatektomi retropubik (Terence Millin)



c.



Prostatektomi perinealis (Young)



2. Prostatektomi tertutup : a.



Reseksi transuretral.



b.



Bedah beku



Open simple prostatectomy Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu besar, di atas 100 gram, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli. Dapat dilakukan dengan teknik transvesikal atau retropubik. Operasi terbuka memberikan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada TUR-P1-2.



Terapi Invasif Minimal Transurethral resection of the prostate (TUR-P) Prinsip TUR-P adalah menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang menimbulkan obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter. Sampai saat ini, TUR-P masih merupakan baku emas dalam terapi BPH. Sembilan puluh lima persen prostatektomi dapat dilakukan dengan endoskopi3. Komplikasi jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia (sindrom TUR), dan retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang adalah struktur uretra, ejakulasi retrograd (75%), inkontinensia (3.



Transurethral incision of the prostate (TUIP) Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan ukuran prostat kecil, yang sering terdapat hiperplasia komisura posterior (leher kandung kemih yang tinggi)3. Teknik ini meliputi insisi pada arah jam 5 dan 7. Penyulit yang bisa terjadi adalah ejakulasi retrograd.



Terapi laser Terdapat dua sumber energi yang digunakan, yaitu Nd YAG dan holmium YAG. Tekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP) yang dilakukan dengan bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser ablation of the prostate (VILAP), dan interstitial laser therapy3. Keuntungan terapi laser adalah perdarahan minimal, jarang terjadinya sindrom TUR, mungkin dilakukan pada pasien yang menjalani terapi antikoagulan, dan dapat dilakukan tanpa perlu dirawat di rumah sakit3. Kerugiannya di antaranya tidak didapatkan jaringan untuk pemeriksaan histopatologi, diperlukan waktu pemasangan kateter yang lebih lama, keluhan iritatif yang lebih banyak, dan harga yang mahal1,2. Efek samping yang pernah dilaporkan di Indonesia adalah perdarahan (2%), nyeri pasca operasi (3%), retensi (19%), ejakulasi retrograd (3%), dan disfungsi ereksi (1%).



Microwave hyperthermia Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi.



Trans urethral needle ablation (TUNA) Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas, sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum yang menancap di jaringan prostat.



High intensity focused ultrasound (HIFU) Melalui probe yang ditempatkan di rektum yang memancarkan energi ultrasound dengan intensitas tinggi dan terfokus.



Intraurethral stent Adalah alat



yang secara



endoskopik ditempatkan di



fosa prostatika untuk



mempertahankan lumen uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan harapan hidup terbatas dan tidak dapat dilakukan anestesi atau pembedahan



Transurethral baloon dilatation Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher kandung kemih. Prosedur ini hanya efektif bila ukuran prostat kurang dari 40 g, sifatnya sementara, dan jarang dilakukan lagi. II. B. 12. Prognosis(3)



Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru5. BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita. II. B. 13. Pencegahan(3) Sekarang sudah beredar suplemen makanan yang dapat membantu mengatasi pembesaran kelenjar prostat. Salah satunya adalah suplemen yang kandungan utamanya saw palmetto. Berdasarkan hasil penelitian, saw palmetto menghasilkan sejenis minyak, yang bersama-sama dengan hormon androgen dapat menghambat kerja enzim 5-alpha reduktase, yang berperan dalam proses pengubahan hormon testosteron menjadi dehidrotestosteron (penyebab BPH)5. Hasilnya, kelenjar prostat tidak bertambah besar. Zat-zat gizi yang juga amat penting untuk menjaga kesehatan prostat di antaranya adalah : 1. Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam mencegah pertumbuhan sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus BPH dapat berkembang menjadi kanker prostat.



2. Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh lain tidak terlalu berat. 3. Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu melancarkan pengeluaran air seni dan mendukung fungsi ginjal. 4. L-Glysine, senyawa asam amino yang membantu sistem penghantaran rangsangan ke susunan syaraf pusat. 5. Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan kualitas sperma.



Berikut ini beberapa tips untuk mengurangi risiko masalah prostat, antara lain: 1. Mengurangi makanan kaya lemak hewan 2. Meningkatkan makanan kaya lycopene (dalam tomat), selenium (dalam makanan laut), vitamin E, isoflavonoid (dalam produk kedelai) 3. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran sehari 4. Berolahraga secara rutin 5. Pertahankan berat badan ideal



BAB III KESIMPULAN



Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat bertambah karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel kelenjar (jaringan dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini terdiri dari gejala obstruksi dan gejala iritatif. Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif. Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.



BAB IV DAFTAR PUSTAKA



1. Mahummad A., 2008., Benigna Prostate Hiperplasia., http://ababar.blogspot .com/2008/12/benigna-prostate-hyperplasia.html., 3 Maret 2009 2. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi ke – 2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85 3. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign prostatic hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbell’s urology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52. 4. Arthur C. Guyton, dkk. 2006. “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”. Edisi 9. Jakarta : EGC 5. Sylvia A. Price, dkk. 2006. “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC