Referat Cedera Kepala [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nilai: Tandatangan:



REFERAT



CEDERA KEPALA



Pembimbing: dr. Yudi Yuwono W, Sp.BS



Disusun Oleh: Mohamad Soleh (112015425)



KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA dr. ESNAWAN ANTARIKSA PERIODE 19DESEMBER 2016 – 24 FEBRUARI 2017 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 1



LEMBAR PENGESAHAN



Referat dengan judul : Cedera Kepala



Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 19 Desember 2016 – 24 Februari 2017



Disusun oleh: Mohamad Soleh (112015425)



Telah diterima dan disetujui oleh dr. Yudi Yuwono W, Sp.BS selaku dokter pembimbing Departemen Ilmu Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa



Jakarta, Februari 2017



dr. Yudi Yuwono W, Sp.BS



2



BAB I PENDAHULUAN



Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar, serta rujukan yang terlambat. Di Indonesia kajadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokokpokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala. Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.



3



I.1 Anatomi Kepala 1.1 Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu: 



Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar sebasea (keringat).







Connective tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan lemak yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama diatas galea. Pembuluh darah tersebut merupakan anastomosis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.







Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak. Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior), m.occipitalis (posterior), m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini dipersarafi oleh N. VII.







Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Loose areolar tissue, lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup, menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan dengan mudah menyebar ke intrakranial. Avulsi SCALP bisa terjadi pada lapisan ini. Hematoma yang terjadi pada lapisan ini disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling sering ditemukan setelah cedera kepala, terutama anak-anak.







Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung berhubungan dengan endosteum. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan sehingga bila



subgaleal. terjadi



Kulit



kepala



perdarahan



memiliki



akibat



banyak



laserasi



pembuluh



kulit



kepala



darah akan



menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.



4



Gambar 1. Lapisan kulit kepala. 1.2 Tulang Tengkorak Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.



5



Gambar 2. Tulang Tengkorak



1.3 Meningens Merupakan selaput atau membrane yang terdiri dari connective tissue yang melapisi dan melindungi otak, terdiri dari tiga bagian yaitu : 3.1 Duramater Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak paling luar, terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan periosteal) langsung melekat pada endosteum tabula interna dan lapisan dalam (lapisan meningeal). Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Vein, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi oleh arteri meningea anterior, media, dan posterior. Masing-masing merupakan cabang dari arteri opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis eksterna untuk yang media, dan arteri vertebralis untuk yang posterior. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis. 3.2 Arakhnoid Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat dibawah duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan nutrisi dari CSS (Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki banyak trabekula yang melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang



potensial,



disebut



spatium



subdural,



dan



dari



piamater 6



oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.



3.3 Pia Mater Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid, hanya pada lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.



Gambar 3. Lapisan pelindung otak (Meningens) 1.4 Otak Otak adalah salah satu organ terpenting dari manusia. Merupakan pusat dari sistem



syaraf



yang



berfungsi



mengatur



gerakan,



perilaku



dan



fungsi



tubuh homeostasis serta melatih emosi emosi, ingatan dan motorik.



7



Gambar 4. Otak Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1. 2. 3. 4.



Cerebrum (Otak Besar) Cerebellum (Otak Kecil) Brainsteam (Batang Otak) Lymbic System (Sistem Limbik)



4.1 Cerebrum Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian ini. Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Keempat Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus Temporal. 



Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas,







kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum. Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan







seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit. Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan







pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara. Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata



8



4.2 Cerebellum Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya. Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju. 4.3 Brainsteam ( Batang Otak) Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya. Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu, batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur “perasaan teritorial” sebagai insting primitif. Contohnya anda akan merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang yang tidak Anda kenal terlalu dekat dengan anda. Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu: 



Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran







pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan. 9







Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.



4.4 System Lymbic (Sistem Limbik) Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang. Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak. Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh indera. Dialah yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran. Carl Gustav Jung menyebutnya sebagai "Alam Bawah Sadar" atau ketidaksadaran kolektif, yang diwujudkan dalam perilaku baik seperti menolong orang dan perilaku tulus lainnya. LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini sebagai tempat duduk bagi semua nafsu manusia, tempat bermuaranya cinta, penghargaan dan kejujuran. 1.5 Cairan Cerebrospinal Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari. 1.6 Vaskularisasi Otak



10



Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat



arteri



ini



beranastomosis



pada



permukaan



inferior



otak



dan



membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.



I.2 Fisiologi Kepala 2.1 Tekanan Intra Kranial (TIK) Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan perubahan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. TIK ini merupakan suatu keadaan dinamis yang berfluktuasi secara terus menerus yang dapat berubah sebagai respon terhadap berbagai aktivitas dan proses fisiologis tertentu seperti olahraga, batuk, peregangan, denyut nadi dan siklus pernapasan. Secara klinis TIK bisa diukur langsung dari intraventikuler, intraparenkim, subdural atau epidural dimana dengan pengukuran secara terus menerus dapat diperoleh informasi adanya perubahan fisiologis dan patologis didalam rongga intrkranial. Pengukuran ini dapat bermanfaat dalam penanganan penderita dengan kelainan intrakranial. TIK dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain orientasi sumbu kraniospinal terhadap gravitasi, volume komponen intrakranial, elastan , dan tekanan atmosfer. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi otak dan mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak, tetapi justru merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O). TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk ke dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk prognosisnya. Tabel 1. Nilai normal tekanan intrakranial (TIK) Usia Dewasa Anak-anak Infants



Nilai Normal (mmHg) < 10-15 3-7 1,5-6



11



2.2 Doktrin Monro-Kellie Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin terekspansi. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume. 2.3 Tekanan Perfusi Otak (TPO) Tekanan perfusi otak merupakan indikator yang sama penting dengan TIK. TPO mempunyai formula sebagai berikut: TPO = MAP – TIK. Maka dari itu, mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera kepala adalah sangat penting, terutama pada keadaan TIK yang tinggi. TPO kurang dari 70 mmHg umunya berkaitan dengan prognosis yang buruk pada penderita cedera kepala. 2.4 Aliran Darah ke Otak (ADO) Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/ 100 gr jaringan otak/ menit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/ 100 gr/ menit, aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/ 100 gr/ menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita trauma, fenomena autoregulasi akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan apabila MAP 50-160 mmHg. Bila MAP < 50 mmHg ADO menurun tajam, dan bila MAP > 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemi sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba. Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Maka dari itu, bila terdapat TTIK, harus dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.



I.3 Definisi Cedera Kepala Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, 12



fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.



I.4 Epidemiologi Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera kepala meninggal sebelum datang ke Rumah sakit. Lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala. Data-data yang didapat di USA dan mancanegara, dimana kecelakaan terjadi hampir 15 menit. Sekitar 60% diantaranya bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan cedera kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada usia 85%). Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak memadai adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum kepala membentur permukaan tanah atau aspal.



I.5 Etiologi 13



Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon, kayu, dsb), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul maupun tajam (misalnya golok, parang, batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain-lain.



I.6 Patofisiologi Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasideselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup). Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologi yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.



I.7 Klasifikasi Cedera Kepala



Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.



1. Mekanisme 14







Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh,







atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera



tumpul 2. Berat Klasifikasi beratnya cedera kepala ditentukan dengan menggunakan Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale) yang dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Tabel 2. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Skala Koma Glasgow.



Catatan : pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG 13-15, pingsan < 10 menit, tanpa deficit neurologic, tetapi pada hasil skening otaknya terlihat perdarahan, diagnosisnya bukan cedera kepala ringan (CKR)/komosio, tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang (CKS)/kontusio. Glasgow Coma Scale



Nilai



Respon membuka mata (E) Buka mata spontan



4



Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara



3



Buka mata bila dirangsang nyeri



2



Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun



1



Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat



5



Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang



4



Kata-kata tidak teratur



3



Suara tidak jelas



2



Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun



1



Respon motorik (M) Mengikuti perintah



6



Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan



5



15



Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan



4



Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal



3



Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal



2



Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi



1



3. Morfologi a. Laserasi Kulit Kepala Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak. b. Fraktur Tulang Kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:  Fraktur linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar pada permukaan yang lebar dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.







Gambar fraktur linier os temporal Fraktur diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematom epidural. 16











Fraktur kominutif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur. Fraktur depressed Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang terlokalisir pada satu tempat di kepala.



Ketika gaya tersebut cukup besar, atau



terkonsentrasi pada daerah sempit, tulang terdesak ke bawah, sehingga menghasilkan fraktur depressed.



Keadaaan tersebut tergantung dari



besarnya benturan dan kelenturan tulang kepala.







Fraktur basis kranii Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media).



c. Lesi Intrakranial Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis.  Epidural Hematome Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk 17



bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadangkadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan



langsung



dengan



status



neurologis



penderita



sebelum



pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf. Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas. 



Subdural Hematome Subdural hematoma (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arachnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh



18



tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis. SDH Akut Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural. SDH Kronis Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007) 



Subarachnoid Perdarahan subarachnoid terjadi pada ruang subarachnoid (antara piamater dan arachnoid). Biasanya kondisi ini disebabkan oleh trauma yang merusak pembuluh darah. Perdarahan subarachnoid juga sering terjadi pada kondisi nontrauma seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena. Gejalan yang ditimbulkan antara lain nyeri kepala, gangguan kesadaran, dan kaku kuduk. Pemeriksaan CT Scan untuk kondisi ini memiliki spesifitas yang rendah. Oleh Karena itu sering kali pemeriksaan CT angiografi juga dilakukan untuk mengeksklusi perdarahan subarachnoid.







Kontusio dan Perdarahan Intraserebral Kontusio serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusio dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.



19



Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.







Cedera Diffus Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara makroskopis tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologik, meskipun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma. Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh massa yang mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang otak atau jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari derajat yang ringan berupa regangan sampai derajat yang lebih berat berupa disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada umumnya tergantung pada banyak sedikitnya akson yang mengalami kerusakan. Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran bercak-bercak perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear hemorrages. Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya dapat berupa: Cedera Akson Difus (“Diffuse Axonal Injury” = DAI) Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal 20



baik berupa massa maupun daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya dan tidak mampu memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson difus. Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi : a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis ini relatif jarang ditemukan. b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 % dari semua kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %. c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang otak tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya mencapai 57 % dan menyebabkan cacat neurologis yang berat. Cedera Vaskular Difus (“Diffuse Vaskular Injury” = DVI) Ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer, khususnya masa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya pasien segera meninggal dalam beberapa menit.



I.8 Anamnesis   



Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan) Keluhan utama, dapat berupa : - Penurunan kesadaran - Nyeri kepala Anamnesis tambahan : - Kapan terjadinya? ( untuk: mengetahui onset) - Bagaimana mekanisme terjadinya trauma, bagian tubuh yang terkena dan tingkat -



keparahannya ? Apakah ada pingsan ? Apakah pernah sadar setelah pingsan ? Apakah ada nyeri kepala, kejang, mual dan muntah ? Apakah ada perdarahan dari telinga, hidung dan mulut ?



21



-



Riwayat AMPLE : Allergy, Medication (sebelumnya), Past Illness (penyakit penyerta), Last Meal, Event/Environment yang berhubungan dengan kejadian trauma







Komplikasi / Penyulit - Memakai helm atau tidak (untuk kasus kecelakaan lalulintas) - Pingsan atau tidak - Ada sesak nafas, batuk-batuk - Muntah atau tidak - Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut - Adanya kejang atau tidak - Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta) - Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya - Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM) - Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah mendapat penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.



I.9 Pemeriksaan Fisik 2. Primary Survey a. Airway, dengan kontrol servikal: Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.  Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara - jalan nafas bebas.  Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur - ada  



obstruksi parsial. Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total. Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan tersebut







definitif memerlukan pemasangan selang udara. Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi







pada leher. Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada leher, sampai kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan



b. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat



22







Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang







baik dari paru, dinding dada, dan diafragma. Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan jumlah







pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan. Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga







pleura. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru.



Catatan: -



Gangguan ventilasi yang berat seperti tension pneumothoraks, flail chest, dengan



-



kontusio paru, dan open pneumothorasks harus ditemukan pada primary survey. Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru harus dikenali pada secondary survey



Keterangan tambahan : -



Gejala tension pneumothoraks Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress pernafasan. takikardi, hipotensi, deviasi trakea ke arah yang sehat, hilang suara nafas pada satu sisi, dan



-



-



distensi vena leher, hipersonor, sianosis (manifestasi lanjut). Gejala Flail Chest Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan pernafasan abnormal, dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan. Gejala Open pneumothorax: Hipoksia dan hiperkapnia



-



Gejala hematothorax: Nyeri dan sesak nafas. Pada inspeksi mungkin gerak nafas tertinggal atau pucat karena perdarahan. Fremikus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain. Pada perkusi, didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak terdengar atau menghilang.



c. Circulation, dengan kontrol perdarahan 1) Volume darah  Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolemik sampai terbukti 



sebaliknya. Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat







mengakibatkan penurunan kesadaran. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang dingin merupakan tanda hipovolemik. 23







Nadi - Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama - Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia - Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik - Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia - Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda



diperlukan resusitasi segera. 2) Perdarahan Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara penekanan pada luka. d. Disability Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese. Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU: - A : sadar (Alert) - V : respon terhadap suara (Verbal) - P : respon terhadap nyeri (Pain) - U : tidak berespon (Unresponsive) Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada primary survey, GCS dapat dilakukan pada secondary survey. Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :  Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah) o Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif) o Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi) o Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang o Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing o Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala o Tidak ada kriteria cedera sedang-berat 



Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang) o Skor GCS 9-13 (konfusi, letargi, atau stupor) o Konklusi o Amnesia pasca trauma o Muntah o Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal) o Kejang







Cedara kepala berat (kelompok risiko berat) o Skor GCS 3-8 (koma) o Penurunan derajat kesadaran secara progresif 24



o Tanda neurologis fokal o Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau trauma langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Jika hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya. e. Exposure Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi terhadap jejas dan luka. 3. Secondary Survey Adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe examination), termasuk reevaluasi tanda vital.  Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika 



belum dilakukan pada primary survey Dilakukan pemeriksaan foto rontgen



I.10 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap pasien dengan cedera kepala. Berdasarkan gambaran CT scan kepala dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala. Jika tidak ada CT scan kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X-ray foto kepala untuk melihat adanya patah tulang tengkorak atau wajah. CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto CT-Scan akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari objeknya. Dengan CT-Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya (Sastrodiningrat, 2006). Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:



25



1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat. 2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak. 3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii. 4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran. 5. Sakit kepala yang hebat. 6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak. 7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.



BAB II TATALAKSANA Penatalaksanaan cedera kepala dapat dibagi berdasarkan: 1. Kondisi kesadaran pasien a. Kesadaran menurun b. Kesadaran baik 2. Tindakan a. Terapi non-operatif b. Terapi operatif 3. Saat kejadian a. Manajemen prehospital b. Instalasi Gawat Darurat c. Perawatan di ruang rawat Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk: 1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial 2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik) 26



3. Minimalisasi kerusakan sekunder 4. Mengobati simptom akibat trauma otak 5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan antibiotik) Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus: 1. Cedera kranioserebral tertutup a. Fraktur impresi (depressed fracture) b. Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien. c. Perdarahan subdural (hematoma subdural/ SDH) dengan pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi sisterna basalis d. Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan 2.



neurologic atau herniasi Pada cedera kranioserebral terbuka a. Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, frartur multipel, b. c. d. e.



dura yang robek disertai laserasi otak Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari Pneumoencephali Corpus alienum Luka tembak



Pasien Dalam Keadaan Sadar 1. Simple Head Injury (SHI) Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada defisit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit. 2. Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral, dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera kranioserebral ringan (CKR). Pasien Dengan Kesadaran Menurun 1. Cedera kranioserebral ringan (SKG=13-15)



27



Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa disertai defi sit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak perlu dirawat jika: a. orientasi (waktu dan tempat) baik b. tidak ada gejala fokal neurologic c. tidak ada muntah atau sakit kepala d. tidak ada fraktur tulang kepala e. tempat tinggal dalam kota f. ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS 2. Cedera kranioserebral sedang (SKG=9-12) Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner. Urutan tindakan: a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan sirkulasi (Circulation) b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas, lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intracranial e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya 3. Cedera kranioserebral berat (SKG=3-8) Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU. Di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik. Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.



28



Tindakan Di Unit Gawat Darurat & Ruang Rawat 1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C = Circulation a. Jalan napas (Airway) Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan. b. Pernapasan (Breathing) Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenic sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi. Tata laksana:  Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten  Cari dan atasi faktor penyebab  Kalau perlu pakai ventilator c. Sirkulasi (Circulation) Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik 17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara klinis lama penurunan kesadaran 220 mg/ dL. c. Ureum dan kreatinin Pemeriksaan fungsi ginjal perlu, karena manitol merupakan zat hyperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak boleh diberikan. d. Analisis gas darah Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. pCO2 tinggi dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2 dijaga tetap >90 mm Hg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35 mm Hg. e. Elektrolit (Na, K, dan Cl) Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran. f. Albumin serum (hari 1) Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin normal. g. Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis. Risiko late hematoma perlu diantisipai. Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit 50 detik. 5. Manajemen tekanan intracranial (TIK) meninggi



30



Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mm Hg sudah harus diturunkan dengan cara: a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada satu bidang. b. Terapi diuretik:  Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas 



tidak melebihi 310 mOsm. Loop diuretic (furosemid) Pemberiannya bersama manitol, Karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.



6. Nutrisi Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/ hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari, minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/ hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10- 30 mg/hari, cuprum 1-3 mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-150 mikrogram, dan mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, ribofl avin, dan vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi. Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk melihat apakah ada perdarahan lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis. BAB III KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS Komplikasi 1. Koma



31



Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh. 2. Kejang Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profi laksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari. 3. Infeksi Profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profi laksis antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis meningitis. 4. Demam Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat paha, atau tanpa memakai baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin. Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan dosis sesuai berat badan. 5. Gastrointestinal Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stress ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stressor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi Karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari. 32



6. Kerusakan Saraf Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan pada nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda. 7. Kehilangan Kemampuan Fungsi Kognitif Hilangnya kemampuan kognitif: Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami masalah ini. 8. Gelisah Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang penuh, patah tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat. Bila ada retensi urin, dapat dipasang kateter untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat diberikan penenang dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat peroral yang tidak menimbulkan depresi pernapasan.



Prognosis Prognosis cedera kepala secara sederhana dibagi dua, yaitu hidup dan meninggal. Untuk prediksi luaran hidup dan meninggal ini, bisa dipakai beberapa system penskoran, antara lain (yang dikembangkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) adalah penskoran MNM (Mata, Napas, Motorik). Penskoran yang lebih komprehensif dalam menilai kematian dan kondisi hidup dengan tingkatan kecacatan adalah Glasgow Outcome Score. Prediksi luaran pasien cedera kranioserebral bergantung pada banyak faktor, antara lain umur, beratnya cedera berdasarkan klasifikasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas, hipotensi, dan/atau iskemia serta lateralisasi neurologik. Nutrisi yang tidak adekuat dapat memperburuk luaran. Hal yang perlu juga diperhatikan adalah adanya amnesia pascacedera yang menetap lebih dari 1 jam, fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik atau gejala neurologic saat keluar dari rumah sakit, yang akan memberikan problem gejala sisa lebih sering dibandingkan mereka yang keluar tanpa adanya gejala tersebut di atas.



33



BAB IV PENCEGAHAN Karena penyebab utama terjadinya sebagian besar cedera kepala adalah dikarenakan kecelakaan lalulintas, maka cara pencegahan yang paling efektif adalah dengan mengedukasi para pengguna kendaraan bermotor. Edukasi yang dapat diberikan antara lain perilaku dan keamanaan saat berkendara, seperti pengguna helm berstandar nasional pada pengguna kendaraan roda dua. Penggunaan sabuk pengaman pada kendaraan roda empat atau lebih, serta alat keamanaan tambahan pada kendaraan seperti kantong udara ataupun rem yang harus diperhatikan. Selain itu juga kita dapat mengedukasi tentang perilaku pengendara, seperti jangan mengemudi kendaraan di bawah pengaruh minuman beralkohol, mematuhi rambu-rambu lalulintas dan terutama tidak kebut-kebutan.



BAB V PENUTUP Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, 34



fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak memadai. Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan saat terjadinya lesi (primer dan sekunder), berdasarkan kelainan patologis (komosio, kontusio, laserasio cerebri), berdasarkan lokasi lesi (vaskuler, difus [DAI, DVI]), fokal (hematoma epidural, subdural, subarakhnoid, intraserebral, intraserebellar), dan berdasarkan GCS (CKR, CKS, CKB) guna menentukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, tatalaksana, indikasi operatif, dan prognosis. Tatalaksana dapat diberikan berdasarkan GCS pasien, pada kasus ringan dilakukan pemeriksaan umum dan neurologis, perawatan luka, dan observasi adanya perburukan. Pada kasus CKR dapat diberikan tatalaksana simptomatis, observasi perburukan, dan pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan untuk menyingkirkan adanya hematom, sedangkan untuk kasus CKS dan CKB tindakan awal yang dilakukan adalah sesusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C), pemeriksaan kesadaran, tanda vital, pupil, defisit fokal serebral, cedera ekstrakranial, pemeriksaan penunjang lengkap meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap dan radiologi, tatalaksana TIK yang meninggi, keseimbangan cairan dan elektrolit, nutrisi, neuroproteksi, dan terapi komplikasi (epilepsi, infeksi, demam, gangguan gastrointestinal, edema pulmonum) dan neurorestorasi /neurorehabilitasi. Indikasi terapi operatif berdasarkan hasil CT Scan, sedangkan prognosis bergantung pada skor GCS. Pencegahan dan edukasi yang sangat efektif adalah pendidikan masyarakat berupa penggunaan helm penyelamat dan memadai, penggunaan sabuk keamanan, perilaku pengemudi, dan kecepatan kendaraan.



Daftar Pustaka 1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian S. Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74. 35



2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In: Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18. 3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-154. 4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6 th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042 5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes: Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117 6. Kasan



U.



Jurnal



Cedera



Kepala.



Available



at:



http://images.neurosurg.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZQ@KQoKCDUA AGkRGyM1/CEDERA%20KEPALA.DOC?key=neurosurg:journal:9&nmid=19874711. Accessed on: November 20 2012. 7. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In: Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2007. p51-58 8. Mayo



Clinic.



Traumatic



brain



injury.



http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552.



Available Accessed



at: on



November 21 2012. 9. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p10671077 10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p12-18 11.



Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. CDK-193 vol. 39



no.5, 2012. Hal. 327-31.



36