Referat Dss [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT DENGUE SHOCK SYNDROME



Pembimbing : dr. Elhamida Gusti Sp.PD Penguji : dr. Elhamida Gusti Sp.PD



Disusun oleh : Jessica Febriani - 030.13.235



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BUDHI ASIH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 5 NOVEMBER 2018 – 12 JANUARI 2019



1



LEMBAR PENGESAHAN REFERAT



Judul: DENGUE SHOCK SYNDROME



Penyusun: Jessica Febriani - 030.13.235



Telah disetujui oleh Pembimbing



(dr. Elhamida Gusti Sp.PD)



2



KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus karena berkat anugrah-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah referat yang berjudul “Dengue Shock Syndrome” pada kepaniteraan klinik departemen ilmu anestesi di RSUD Budhi Asih. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. Elhamida Gusti Sp.PD selaku pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga makalah referat ini dapat terselesaikan. Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik penulis harapkan untuk menyempurnakan referat ini di kemudian hari. Terlepas dari segala keterbatasan yang ada penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.



Jakarta, Desember 2018



Penyusun



3



DAFTAR ISI



LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................................... 2 KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 3 DAFTAR ISI............................................................................................................................. 4 BAB I ......................................................................................................................................... 5 PENDAHULUAN .................................................................................................................... 5 BAB II ....................................................................................................................................... 7 DENGUE SHOCK SYNDROME ........................................................................................... 7 2.1



Definisi ...................................................................................................................... 7



2.2



Epidemiologi ............................................................................................................. 7



2.3



Etiologi ...................................................................................................................... 7



2.4



Patofisiologi .............................................................................................................. 9



2.5



Patogenesis .............................................................................................................. 10



2.6



Manifestasi klinis ................................................................................................... 11



2.7



Penegakan diagnosis .............................................................................................. 13



2.8



Pemeriksaan penunjang ........................................................................................ 14



2.9



Tatalaksana ............................................................................................................ 16



2.10



Komplikasi .............................................................................................................. 18



2.11



Prognosis ................................................................................................................. 19



BAB III.................................................................................................................................... 20 KESIMPULAN ...................................................................................................................... 20 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 21



4



BAB I PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albocpictus.(1) Virus Dengue memiliki 4 jenis serotype: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotype yan bersangkutan, namun tidak untuk serotipe lainnya, sehingga seseorang dapat terinfeksi demam Dengue 4 kali selama hidupnya. Indonesia merupakan Negara yang endemis untuk Demam Dengue maupun Demam Berdarah Dengue.(2) Pada umumnya penderita DBD (Demam Berdarah Dengue) akan mengalami fase demam selama 2-7 hari, fase pertama: 1-3 hari ini penderita akan merasakan demam yang cukup tinggi 40oC, kemudian pada fase kedua penderita mengalami fase kritis pada hari ke 45, pada fase ini penderita akan mengalami turunnya demam hingga 37 oC dan penderita akan merasa dapat melakukan aktivitas kembali (merasa sembuh kembali) pada fase ini jika tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat dapat terjadi keadaan fatal, akan terjadi penurunan trombosit secara drastis akibat pemecahan pembuluh darah (pendarahan). Di fase yang ketiga ini akan terjadi pada hari ke 6-7 ini, penderita akan merasakan demam kembali, fase ini dinamakan fase pemulihan, di fase inilah trombosit akan perlahan naik kembali normal kembali.(1) Gejala yang akan muncul ditandai seperti demam mendadak, sakir kepala, nyeri belakang bola mata, mual dan manifestasi perdarahan seperti mimisan atau gusi berdarah serta adanya kemerahan di bagian permukaan tubuh pada penderita.(1) Sampai saai ini DBD masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial yang terjadi antara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota keluarga dan berkurang usia harapan dalam keluarga, kematian anggota keluarga dan berkurangnya usia harapan hidup msyarakat. Dampak ekonomi langsung adalah biaya pengobatan yang cukup mahal, sedangkan dampak tidak langsung adalah kehilangan waktu kerja dan biaya lain yang dikeluarkan selain pengobatan seperti transportasi dan akomodasi selama perawatan sakit. (1) Mengingat obat untuk membunuh virus Dengue hingga saat ini belum ditemukan dan vaksin untuk mencegah DBD masih dalam tahap uji coba, maka cara yang dapat dilakukan sampai saat ini adalah dengan memberantas nyamuk penular (vektor). Pemberantasan vektor ini dapat dilakukan pada saat masih berupa jentik atau nyamuk dewasa. (1)



5



Infeksi sekunder dengan serotipe virus Dengue yang berbeda dari sebelumnya merupakan faktor resiko terjadinya manifestasi Deman Berdarah Dengue yang berat atau Dengue Shock Syndrome (DSS). Namun sampai saat ini mekanisme respons imun pada infeksi oleh virus dengue masih belum jelas, banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue antara lain faktor host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment) yaitu kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim); Kondisi demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Jenis nyamuk sebagai vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh.(3)



6



BAB II DENGUE SHOCK SYNDROME 2.1 Definisi Dengue shock syndrome (DSS) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. DSS adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.(3,4,5)



2.2 Epidemiologi DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia selama 47 tahun terakhir. Terjadi peningkatan jumlah kasus DBD dari tahun 1968 yaitu 58 kasus menjadi 126.675 kasus pada tahun 2015. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut dapat disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk dan factor epidemiologi yang lainnya.(1)



2.3 Etiologi Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat 4 serotipe virusyaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. keempatnya ditemukan di Indonesia dengan den-3 serotype terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia,pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan menunjukkan manifestasi klinik yang berat.(3,4,5) Penularan terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama Aedes aegypti dan A. albopictus). Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari 7



(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission). Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia,yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.(3,4) 



Virus



Virus dengue (DEN) adalah small single-stranded RNA virus yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri atas asam ribonukleast rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempat serotipe tersebut dapat ditemukan di Indonesia namun yang paling banyak adalah DEN-3. 



Vektor Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang



terinfeksi, khususnya Ae. aegypti. Nyamuk ini merupakan spesies tropikal dan subtropikal yang menyebar luas di dunia. Perindukan nyamuk Aedes terjadi dalam bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng yang berisi air dan tempat penampungan air lainnya). Sehingga nyamuk yang belum matur dapat ditemukan pada tempat-tempat tersebut. 



Host Inkubasi virus dengue terjadi dalam 4-10 hari. Setelah masa inkubasi tersebut



infeksi oleh virus dengue dapat menyebabkan spektrum penyakit yang luas, walaupun sebagian besar infeksi asimptomatik atau subklinis. Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menghisap darah manusia. Selama fase akut virus dapat ditemukan dalamdarah. Respon imun humoral dan selular berkontribusi dalam melawanvirus ini dengan membentuk antibodi netralisasi dan mengaktifkan limfosit CD4+ dan CD8+.



8



2.4 Patofisiologi Patofisiologi primer pada Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah pada kebocoran plasma ke dalam ruang ekstra vaskuler, sehingga akan menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun mencapai 20% pada kasus berat yang diikuti efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat dan menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Syok Syndrome (DSS) yang akan melibatkan 3 faktor yaitu: (1) perubahan vaskuler; (2) trombositopenia; dan (3) kelainan koagulasi.(6) Setelah virus Dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak didalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Respon imun humoral atau seluler muncul akibat dari infeksi virus ini. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi Dengue primer antibodi mulai terbentuk dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang ada telah meningkat. (6) Antibodi terhadap virus Dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam pada hari ke 5, meningkat pada minggu pertama sampai minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat pada demam hari ke-14 sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Diagnosis dini pada infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima, sedangkan pada infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.(6) Trombositopenia merupakan kelainan hematologi yang sering ditemukan pada sebagian besar kasus Demam Berdarah Dengue. Trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai pada 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.(6) Gangguan hemostasis melibatkan perubahan vaskuler, pemeriksaan tourniquet positif, mudah mengalami memar, trombositopenia dan koagulopati. DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, Disseminated Intravaskular Coagulation (DIC) dapat dijumpai pada kasus yang berat dan disertai syok dan secara potensial dapat terjadi juga pada kasus DBD tanpa syok. Terjadinya syok yang berlangsung akut dapat cepat



9



teratasi bila mendapatkan perawatan yang tepat dan melakukan observasi disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostatis.(6)



2.5 Patogenesis Patogenesis Demam Berdarah Dengue sampai saat ini masih kontrovesial dan belum dapat diketahui secara jelas. Terdapat dua teori yang dikemukakan dan paling sering dianut adalah : Virulensi virus dan Imunopatologi yaitu Hipotesis Infeksi Sekunder Heterolog (The Secondary Heterologous Infection). Teori lainnya adalah teori endotel, endotoksin, mediator, dan apoptosis.(7) 



Virulensi Virus (7) Virus Dengue merupakan keluarga flaviviridae dengan empat serotip (DEN 1, 2, 3, 4).



Terdiri dari genom RNA stranded yang dikelilingi oleh nukleokapsid. Virus Dengue memerlukan asam nukleat untuk bereplikasi, sehingga mengganggu sintesis protein sel pejamu. Kapasitas virus untuk mengakibatkan penyakit pada pejamu disebut virulensi. Virulensi virus berperan melalui kemampuan virus untuk: a. Menginfeksi lebih banyak sel, b. Membentuk virus progenik, c. Menyebabkan reaksi inflamasi hebat, d. Menghindari respon imun mekanisme efektor. Penelitian terakhir memperkirakan bahwa terdapat perbedaan tingkatan virulensi virus dalam hal kemampuan mengikat dan menginfeksi sel target. Perbedaan manifestasi klinis demam dengue, DBD dan Dengue Syok syndrome mungkin disebabkan oleh varian-varian virus dengue dengan derajat virulensi yang berbeda-beda. 1. Teori Imunopatologi(7) Hipotesis infeksi sekunder oleh virus yang heterologous (secondary heterologous infection) menyatakan bahwa pasien yang mengalami infeksi kedua kalinya dengan serotype virus dengue yang heterolog akan mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenali virus lain yang telah menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan reseptor dari membrane sel leukosit, terutama makrofag. Antibodi yang heterolog menyebabkan virus tidak dinetralisasi oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), yaitu suatu proses yang akan meningkatkan infeksi sekunder pada replikasi virus dengue di dalam sel 10



mononuklear yaitu terbentuknya komplek imun dengan virus yang berkadar antibodi rendah dan bersifat subnetral dari infeksi primer. Komplek imun melekat pada reseptor sel mononukleus fagosit (terutama makrofag) untuk mempermudah virus masuk ke sel dan meningkatkan multiplikasi. Kejadian ini menimbulkan viremia yang lebih hebat dan semakin banyak sel makrofag yang terkena. Sedangkan respon pada infeksi tersebut terjadi sekresi mediator vasoaktif yang mengakibatkan terjadinya keadaan hipovolemia dan syok. 2. Teori Endotoksin(7) Syok pada DBD menyebabkan iskemia usus, yang kemudian menyebabkan translokasi bakteri dari lumen usus ke dalam sirkulasi. Endotoksin sebagai komponen kapsul luar bakteri gram negative akan mudah masuk ke dalam sirkulasi pada keadaan iskemia berat. Telah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya bahwa endotoksin berhubungan erat dengan kejadian syok pada Demam Berdarah Dengue. Endotoksinemia terjadi pada 75% Sindrom Syok Dengue dan 50% Demam Berdarah Dengue tanpa syok. 3. Teori Mediator(7) Makrofag yang terinfeksi virus Dengue mengeluarkan sitokin yang disebut monokin dan mediator lain yang memacu terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler dan aktivasi koagulasi dan fibrinolisis sehingga terjadi kebocoran vaskuler dan perdarahan. 4. Teori Apoptosis(7) Apoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologis yang merupakan reaksi terhadap beberapa stimuli. Akibat dari apoptosis adalah fragmentasi DNA inti sel, vakuolisasi sitoplasma, peningkatan granulasi membran plasma menjadi DNA subseluler yang berisi badan apoptotik. 5. Teori Endotel(7) Virus Dengue dapat menginfeksi sel endotel secara in vitro dan menyebabkan pengeluaran sitokin dan kemokin. Sel endotel yang telah terinfeksi virus Dengue dapat menyebabkan



aktivasi



komplemen



dan



selanjutnya



menyebabkan



peningkatan



permeabilitas vaskuler dan dilepaskannya trombomodulin yang merupakan pertanda kerusakan sel endotel. Bukti yang mendukung adalah kebocoran plasma yang berlangsung cepat dan meningkatnya hematokrit dengan mendadak.



2.6 Manifestasi klinis Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi dayatahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus sehingga dapat



11



bersifat simptomatik, atau berupa demam yang tidak khas (undifferentiated fever), demam dengue (DD),demam berdarah dengue (DBD) atau sindrom syok dengue (SSD).(5) Masa inkubasi dalam tubuh manusia selama 4-6 hari (rentang 3-14 hari) timbul gejala prodromal yang tidak khas berupa nyeri kepala, tulang belakang, dan merasa lemas. 1. Demam Dengue Gejala klasik ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah,dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2hari ) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6atau ke7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan ptekie. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti: epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi.(9) 2. Demam Berdarah Dengue Bentuk klasik ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena. Kebanyakan kasus, petekie halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.(9) 3. Sindrom Syok Dengue Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan darah 2 cm



-



Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat



Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran plasma tidak jelas) b. Kriteria dengue berat: (10) 



Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan dengan distress pernafasan.







Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi







Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan kesadaran, gangguan jantung dan organ lain)



Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi sangat membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %.



2.8 Pemeriksaan penunjang a. Deteksi Antigen Produk gen NS1 merupakan glikoprotein yang dihasilkan oleh semua flavi- virus dan penting untuk replikasi dan viabi- litas virus. Selama replikasi virus, NS1 terlokalisir dalam organel sel. Protein NS1 di- sekresikan oleh sel mamalia, tetapi tidak oleh sel-sel serangga.



14



Bentuk protein sekresi berupa heksamer, yang terdiri dari subunit dimer. Glikosilasi protein ini diyakini pen- ting untuk sekresi. Antigen NS1 muncul awal pada hari pertama setelah serangan demam dan menurun ke tingkat tidak terdeteksi setelah 5-6 hari. Protein NS1 merupakan antigen yang memperbaiki dan saling melengkapi, serta juga menghasilkan respon humoral yang sangat kuat. Penelitian telah banyak didedikasikan untuk kegunaan NS1 sebagai alat diagnosis infeksi virus dengue, karena disekresikannya protein ini.



(11)



b. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test) Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji HI ini:(12) -



Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat menunjukan tipe virus yang menginfeksi



-



Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun), maka uji ini baik digunakan pada studi seroepidemiologi.



-



Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer serum akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtive positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (Recent dengue infection )



c. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test ) Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh karena selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan tenaga periksa yang sudah berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan sampai beberapa tahun saja ( 2 – 3 tahun ). (12) d. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test ) Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test ( PRNT ) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi komplemen tetapi lebih cepat dari antibodi fiksasi dan bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin. (12)



15



e. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa) Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai. Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji mac elisa adalah : (12) 1. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang diikuti oleh IgG. 2. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan diagnosis yang tepat. 3. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu diulang. 4. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif. 5. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk memeperjelas hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji terhadap IgG. Untuk itu uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus. 6. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan uji mac elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji HI. f. IgG Elisa Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji HI , hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi dengue IgM / IgG dengue blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang telah beredar di pasaran. Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih). (12)



2.9 Tatalaksana Bila kita berhadapan dengan sindroma syok Dengue maka hal pertama y a n g h a r u s diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh karena i t u penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan



pertolongan



/



pengobatan,



penatalaksanaan



yang



tidak



tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda - tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan 16



oksigen 2-4 liter/ menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, AGD, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin. (12) P a d a f a s e a w a l , c a i r a n k r i s t a l o i d d i g u y u r s e b a n ya k 1 0 - 2 0 m l / k g B B dan



dievaluasi



setelah



15-30



menit.



Bila



renjatan



telah



t e r a t a s i ( d i t a n d a i d e n g a n T D sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemvberian cairan menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setellah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabilserta diuresis cukup maka pemberian cairan infus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi edeme paru atau gagal jantung dapat terjadi). (12) Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dlam waktu 48 jam pertama sejak terjadinya renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung, dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan piliha, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. (12) 17



Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mulamula diberikan dengan tetesan cepat 10-20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan katetar vena sentral dna pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlahmaksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 m/hari) dengansasaran tekanan vena sentral 15-18 cm H2O. bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koeksi terhadap gangguan asam baselum teratasi maka dapat diberikan obat inotropic/ vasopressor. (12)



2.10



Komplikasi



Pada penderita demam dengue yang disertai syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari, keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Pada sebagian besar penderita ditemukan tanda kegagalan peredaran darah yaitu kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat danlemah, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan darah menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebihrendah. Penderita kelihatan lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase kritis syok. Penderita seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok timbul. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal, dannyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang dapat dibuktikan memberikan petunjuk terjadinya perdarahan gastrointestinal yang hebat.(13) Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk. Tatalaksana sindrom syok dengue sama dengan terapi demam dengue, yaitu pemberian cairan ganti secara adekuat. Pada sebagian besar penderita, penggantian dini plasma secara efektif dengan memberikan cairan yangmengandung elektrolit, ekspander plasma, atau plasma, memberikan hasil yang baik. Nilai hematokrit dan trombosit harus diperiksa setiap hari mulai hari ke-3 sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi normal. Pemeriksaan inilah yang menentukan perlu tidaknya penderita dirawat dan atau mendapatkan pemberiancairan intravena. (13)



18



2.11



Prognosis



Prognosis infeksi dengue tergantung tingkat keparahan penyakit dan komplikasi yang muncul. Kematian sering terjadi jika terdapat perdarahan yang berat, syok yang tidak dapat teratasi, efusi pleura dan ascites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan infeksi sekunder yang terjadi selama perjalanan penyakit. Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf,kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain. (13)



19



BAB III KESIMPULAN



DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia selama 47 tahun terakhir. Terjadi peningkatan jumlah kasus DBD dari tahun 1968 yaitu 58 kasus menjadi 126.675 kasus pada tahun 2015. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh tanda renjatan atau syok dapat berakibat fatal. Kegawat daruratan DBD dinyatakan sebagai salah satu masalah kesehatan global. Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Keadaan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Pengobatan DSS bersifat suportif. Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting. Tatalaksana berdasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikanmerupakan kunci keberhasilan pengobatan. Penegakkan diagnosis DBD secara dini dan pengobatan yang tepat dan cepat akan menurunkan angka kematian DBD.



20



DAFTAR PUSTAKA 1. Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI. Infodatin situasi DBD di Indonesia. Jakarta: KEMENKES RI. 2015. 2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 5 Tahun 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer: Demam Dengue. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. 3. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis PenyakitDalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006 4. Pedoman



Tatalaksana



Klinis



Infeksi



Dengue



di



Sarana



Pelayanan



Kesehatan.Departemen Kesehatan RI. 2005 5. Gubler DJ. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical Microbiology Reviews. 1998.Vol 11, No 3 ;480-496 6. Candra Aryu. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Resiko Penularan. Aspirator Vol. 2 Tahun 2010: 110-119. 7. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New Edition. Geneva: World Health Organization; 2009. 8. Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division of Vector Borne and Infectious Diseases.Atlanta : 2009 9. Cook GC. Manson's Tropical Diseases. 22th Edition. United Kingdom :Elsevier Health Sciences. 2008. 10. Pusat Data Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. Volume 2. Jakarta: KEMENKES RI. 2010. 11. Sekaran SD, Lan EC, Mahesawarappa KB, Appanna R, Subramaniam G. Sensitivity of dengue virus NS- 1detection in primary and secondary infections. African Journal of Microbiology Research Vol. 3. 2009; (3):105-110. 12. Syafiqah NBMY. Demam Berdarah Dengue. Bali: Udayana. 2018. 13. Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division of Vector Borne and Infectious Diseases. Atlanta : 2009



21