Referat DVI Forensik Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT DISASTER VICTIM IDENTIFICATION



Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Disusun Oleh : David Febryanto, S.Ked Lika Hanifah, S.Ked Ummu Halimatus Sa’diyah, S.Ked



196100802003 196100802021 196100802061



Pembimbing: dr. Ricka Brillianty Zaluchu, Sp. KF



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA 2021



REFERAT



DISASTER VICTIM IDENTIFICATION



Diajukan oleh :



David Febryanto, S.Ked Lika Hanifah, S.Ked Ummu Halimatu Sa’diyah, S.Ked



196100802003 196100802021 196100802061



Telah disetujui oleh :



Pembimbing



dr. Ricka Brillianty Zaluchu, Sp. KF



ii



LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS Dengan ini saya menyatakan bahwa referat ini adalah murni ide penulis yang diarahkan dan diberikan bimbingan penuh oleh seluruh pembimbing penulis dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat pula karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain terkecuali yang secara jelas tertulis mengacu dan disebutkan di dalam daftar pustaka. Namun apabila di kemudian hari ternyata di dalam referat ini terdapat tindakan plagiat ataupun menggunakan jasa orang lain maka penulis bersedia menerima sanksi yang diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya. Palangka Raya, November 2021 Penulis



iii



KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan berkah, rahmat dan karunia-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga referat dengan judul “DISASTER VICTIM IDENTIFICATION” dapat terselesaikan dengan baik. Dalam penyusunan referat ini terdapat banyak hambatan dan rintangan yang penulis hadapi namun pada akhirnya dapat dilalui berkat adanya bimbingan, arahan, dukungan, dan bantuan berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Rasa hormat dan terima kasih bagi semua pihak atas segala dukungan dan doa semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Amin ya Rabbal Alamin. Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun ke arah perbaikan dan penyempurnaan referat ini. Akhir kata penulis berharap referat ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan masukan bagi pembaca. Palangka Raya, November 2021



Penulis



iv



DAFTAR ISI



Halaman HALAMAN JUDUL...........................................................................................



i



HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................



ii



PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN..........................................................



iii



KATA PENGANTAR........................................................................................



iv



DAFTAR ISI.......................................................................................................



v



DAFTAR GAMBAR..........................................................................................



vi



BAB I PENDAHULUAN.................................................................................



1



1.1 Latar Belakang.....................................................................................



1



1.2 Tujuan Penulisan.................................................................................



2



1.3 Manfaat Penulisan...............................................................................



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................



8



2.1 Dasar Disaster Victim Identification..................................................



8



2.2 Proses Disaster Victim Identification ................................................



9



2.3 Fase-fase Disaster Victim Identification.............................................



10



2.4 Metode Identifikasi.............................................................................



17



BAB III KESIMPULAN....................................................................................



30



DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................



32



v



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Struktur Tim DVI...................................................................................11 Gambar 2.2 Kontainer dan Perbedaharaan Pemeriksa........................................



13



Gambar 2.3 Sidik Jari..........................................................................................



21



Gambar 2.4 Tubuh telah rusak tetapi gigi masih dapat diidentifikasi..........................



22



Gambar 2.5 Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat...................................................



24



Gambar 2.6 Gambaran panoramic X ray pada anak-anak..................................



25



Gambar 2.7 Gigi seri berbentuk sekop........................................................................



27



Gambar 2.8 Komponen dari molekul DNA................................................................



28



Gambar 2.9 Bukti Dokumen...............................................................................



29



vi



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang dimiliki negara Indonesia memungkinkan terjadinya bencana baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, serta dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan sosial. 1 Menurut World Health Organization (WHO) bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang membutuhkan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terdampak. Sedangkan menurut Undangundang Nomor 24 tahun 2007 bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak biologis.2 Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan telah memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan dengan tujuan memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur dengan layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Selain itu terdapat pula dampak hukum dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus criminal maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia. Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan prosedur dalam mengidentifikasi identitas korban meninggal akibat suatu bencana massal yang tetap harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan mengacu pada standar baku Interpol. Metode identifikasi korban meninggal melibatkan banyak 7



pemeriksaan forensik dan penelitian ilmiah. Sistem peradilan di masing-masing negara akan menetapkan persyaratan-persyaratan legislative dalam mengidentifikasi korban meninggal. Maka dari itu penulis tertarik untuk mempelajari secara dalam mengenai DVI. 1.2. Tujuan Penulisan Referat ini disusun untuk membantu memberikan informasi dan bahan belajar dalam memahami DVI. 1.3. Manfaat Penulisan Referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca agar dapat mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai DVI.



8



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Disaster Victim Identification Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah atau definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline.Tim DVI terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA.1 DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan. Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme.Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban.Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.2 Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir 99% yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.3 Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No.Pol Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal.4,5 Dasar hukumnya adalah sebagai berikut: 1.



UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana



9



2.



UU No.2 tahun 2002 tentang Polri



3.



UU No.23 tentang kesehatan



4.



PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana



5.



Resolusi



Interpol No.AGN/65/RES/13



year



1996 on Disaster



Victim



Identification 6.



MOU Depkes RI-Polri tahun 2004



7.



MOU Depkes RI-Polri tahun 2003



2.2. Proses Disaster Victim Identification Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man madedisaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim dari berbagai institusi.6 Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah. 6,7 Struktur tim DVI dapat dijabarkan seperti di bawah ini, hal ini ditentukan tergantung dari besarnya suatu bencana. 1.



Tim Spesialis Tim spesialis dapat berupa cabang kedokteran dari patologis forensic, odontologis forensic, ahli sidik jari, biologis/genetik forensic, dan antropologis forensik.



10



2.



Tim Ahli Lain Tim ahli lain yang dimaksud adalah pekerjaan ahli dibidang lain yang turut serta dalam proses DVI seperti fotografer, radiologis, tim interview, manajer properti, perekam scene dan post-mortem, tim pengontrol informasi dan data, tim pengumpul dan manajemen barang bukti, pengelola kamar mayat, penyidik, petugas logistik, petugas penghubung, petugas orang hilang, dan ahli teknologi dan informasi.



Gambar 2.1 Struktur Tim DVI8 2.3. Fase-fase DVI Proses DVI meliputi 4 fase dimana setiap fase mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari:9 1.



Fase 1: Fase TKP/The Scene Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut:8,9,11 a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan tercampur atau hilang



11



c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh dipisahkan d. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk dalam fase kedua dan seterusnya. Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.10 Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah:10,11 a. Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line. b. Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana. c. Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan. d. Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana. e. Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi. f. Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area bencana Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban. Pada langkah documentation organisasi yang memimpin



12



komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.10



Gambar 2.2 Kontainer dan Perbedaharaan Pemeriksa12 Hal-hal yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:13 a. Membuat sector-sektor atau zona pada TKP b. Memberikan tanda pada setiap sector c. Memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh/ibu jari kiri jenazah d. Memberikan label hijau (property label) pada barang-barang pemilik yang tercecer e. Membuat sketsa dan foto setiap sector f. Foto jenazah dari jarak jauh, sedang, dan dekat beserta label jenazahnya g. Isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai berikut:



13



(1) Pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP (2) Selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan (3) Deskripsikan



keadaannya



apakah



rusak,



terbelah,



dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas (4) Keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI PM h. Masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah i. Formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek j. Masukkan barang-barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung plastik dan beri label sesuai nomor properti. k. Evakuasi jenazah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif. 2.



Fase 2: Fase Pengumpulan Data Jenazah Post Mortem/The Mortuary Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap– lengkapnya mengenai korban.9,11,12 Kegiatan pada fase 2 adalah sebagai berikut:10 a.



Menerima jenazah/ potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP



b.



Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah dan barang‐barang



c.



Membuat foto jenazah



d.



Mengambil sidik jari korban dan golongan darah



14



e.



Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia



f.



Melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat



g.



Pemeriksaan antropologi forensic: pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.



h.



Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda



i.



Membuat rontgen foto jika perlu



j.



Mengambil sampel DNA



k.



Menyimpan jenazah yang sudah diperiksa



l.



Melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di mayat yang ditemukan di TKP



m. Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data Data-data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut:13 a. Primer (sidik jari, profil gigi, DNA) b. Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis) Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI Indonesia adalah didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau didukung



dengan



minimal



dua



secondary



identifiers



positif.



Selain



mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya



dengan



meletakkan



jenazah



15



pada



lingkungan



dingin



untuk



memperlambat pembusukan.8,11 Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik.14 Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacammacam metode dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan, Primary Indentifiers yang terdiri dari sidik jari, dental records, dan DNA. Sedangkan Secondary Identifiers yang terdiri atas medical, property, photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante mortem dan post mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.15,16 3.



Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem Information Retrieval Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah.10,15 Hal yang dilakukan meliputi:9 a. Menerima keluarga korban b. Mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam bencana tersebut c. Mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja, RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll d. Data‐data Ante Mortem gigi‐geligi (1) Data ‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat;



16



(2) Sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari klinik gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembaga‐lembaga pendidikan Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi. e. Mengambil sampel DNA pembanding f. Apabila diantara korban ada warga Negara asing maka data‐data Ante Mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan Negara asing (kedutaan/konsulat) g. Memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM h. Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data 4.



Fase 4: Fase Analisa/Reconciliation Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.10,11 Kegiatan : a.



Mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem;



b.



Mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat Rekonsiliasi;



c.



Mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal;



d.



Membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;



e.



Check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;



f.



Mengumpulkan hasil identifikasi korban;



17



g.



Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban yang dikenal dan surat‐surat lainnya yang diperlukan;



h.



Publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.



5.



Fase 5: Debriefing Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan medikolegal serta administratif untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.9



2.4. Metode Identifikasi Identifikasi forensik adalah suatu upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik dalam menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana dalam penyidikan karena adanya kekeliruan yang dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. 16 Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban dan membangun identitas setiap korban dengan membandingkan dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem. Permasalahan yang dapat terjadi adalah tantangan untuk mendapatkan informasi ante mortem dan post mortem sebagai perbandingan. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan, serta akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas



18



korban.15 Identifikasi yang akurat dapat dicapai dengan mencocokkan data ante mortem dan post mortem yang didapat dari:12 1.



Bukti sirkumtansial : kepemilikan seperti baju, perhiasan, dan isi kantung.



2.



Bukti fisik yang didukung oleh pemeriksaan luar (contohnya gambaran umum dan gambaran spesifik) dan pemeriksaan dalam (contohnya bukti rekam medis, bukti pemeriksaan gigi, dan pemeriksaan laboratorium). Untuk mengidentifikasi korban bencana diperlukan dua macam data:18



1.



Data orang hilang (contohnya orang yang berada di tempat kejadian namun terdaftar sebagai korban selamat).



2.



Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian



Dalam mengidentifikasi korban, DVI Interpol membentuk beberapa tim atau unit, yaitu: 1.



Bagian korban hilang (Missing Branch) a. Unit pengumpulan data ante mortem (Ante-mortem record unit) b. Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit) c. Daftar korban (Victim list)



2.



Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery) a. Koordinator tim pemulihan (Recovery coordinator) b. Tim pencari (Search team) c. Tim dokumentasi (Photography team) d. Tim pemulihan jenazah (Body recovery team) e. Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property recovery team) f. Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue station)



3.



Bagian kamar mayat (Mortuary Branch) a. Unit keamanan (Security unit) b. Unit transportasi jenazah (Body movement unit) c. Unit pengumpul data post mortem (Post-mortem record unit)



19



d. Unit pemeriksa jenazah (Body examination unit) 4.



Pusat Identifikasi (Identification Centre) a. Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification center file section) b. Bagian khusus pusat identifikasi (Identification center specialized section), terdiri atas : 1) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section) 2) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print section) 3) Bagian penyelidikan barang-barang pribadi (Property section) 4) Bagian penyelidikan medis (Medical section) 5) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section) 6) Bagian analisis DNA (DNA analysis section) 7) Badan identifikasi (Identification board) 8) Bagian pelepasan jenazah (Body release section)



Terdapat dua metode pokok dalam proses identifikasi, yaitu: 1.



Metode sederhana yaitu berupa gambaran visual, kepemilikan (perhiasan dan pakaian), dan dokumentasi.



2.



Metode ilmiah yaitu berupa sidik jari, serologi, odontology, antropologi, dan biologi molekuler.



Khusus pada korban bencana massal, berdasarkan standar Interpol untuk proses identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu: 1.



Metode identifikasi primer (sidik jari, gigi geligi, DNA) Secara internasional telah diterama bahwa identifikasi primer merupakan metode yang paling diandalkan dimana identifikasi dapat dikonfirmasi:12 a. Sidik jari Ada tiga alas an mengapa sidik jari menjadi indikator yang dapat dipakai dalam penentuan identitas:18



20



1) Sidik jari unik; kongruensi absolut antara jembatan papilar pada jari-jari berbeda tiap individu atau pada jari yang berbeda pada orang yang sama tidak ada. 2) Sidik jari tidak berubah; jembatan papilar terbentuk pada usia gestasi empat bulan dan tidak berubah sampai mati. Mereka akan tumbuh kembai pada pola yang sama saar luka kecil. Beberapa luka berat dapat menyebabkan bekas luka permanen. 3) Sidik jari dapat diklasifikasikan; karena itu mereka bisa diidentifikasi dan diregistrasi secara sistematis dan dapat diakses secara muda untuk kepentingan perbandingan.



Gambar 2.3 Sidik Jari b. Odontologi Odontologi forensik adalah cabang kedokteran gigi yang terlibat dengan hukum. Keahlian dalam bidang ini diperlukan dalam mengenal pasti bagian tubuh yang masih ada pada post-mortem dengan memeriksa gigi korban, mengenal pasti pelaku dalam kasus jenayah berdasarkan kesan gigitan pada korban dan memperkirakan usia korban berdasarkan radiograf gigi. Gigi adalah bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan terhadap trauma, pembusukan, air, dan api. Penentuan identifikasi forensik berdasarkan pemeriksaan primer masih dapat dilakukan dengan pemeriksaan gigi geligi yaitu pada jenazah terbakar karena gigi merupakan medium yang tidak mudah rusak seperti sidik jari dan memiliki daya tahan terhadap



21



dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran.15,16



Gambar 2.4 Pada suhu yang tinggi, walaupun tubuh telah rusak tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.12



Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 (dua) kemungkinan:12 1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai: umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, dan bentuk wajah. Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah. 2) Mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Disini dicatat ciri‐ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri‐ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi



22



yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban.12 Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi, bagian lain dari kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada wajah. Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan



menggunakan pemeriksaan



manual, sinar X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang



jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dan



sebagainya. 12,13 Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi melalui proses pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien yaitu pemeriksaan gigi, meskipun keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi korban dengantepat. Semakin lama terpapar dalam air maka proses pembusukan juga akan berlangsung dengan cepat sehingga akan menyebabkan terbatasnya upayapemeriksaan primer. Proses identifikasi pada konsisi harus dilakukan kombinasi pemeriksaanprimer dengan sekunder secara cermat dan akurat. Pada kasus ini korban berikutnya ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian sehingga tidak ada satupun yang



berhasil



diidentifikasi



berdasarkanpemeriksaan



primer



yang



terjangkau yaitu sidik jari maupun gigi karena terjadi pembusukan lanjut. 16 Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan otot mengecil diikuti mengkerutnyakulit, termasuk pengerutan peridontal ligament atauperiodontal membran sebagai jaringan penyanggatulang dan gigi. Hal ini akan sulit dilakukan pada jenazah yang meninggal dengan cara tenggelam. Pada jenazah yang meninggal dalam air pada saat proses pembusukan berlangsung disertai dengan proses pembusukan pada maksila dan mandibula yangakan diikuti dengan terlepasnya gigi dari tulang akibat lisis jaringan penyangga. Gigi yang terlepasakan sulit dilakukan 23



pemeriksaan karena sebagianbesar akan jatuh dalam air. Hal ini pula yangmempengaruhi keberhasilan identifikasi primermelalui pemeriksaan gigi geligi pada korban tenggelam.



Gambar 2.5 Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat Akibat Avulsi Gigi Postmortem dan HilangnyaJaringan Lunak14



a). Identifikasi odontologi forensik Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:4 1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan kraniofasial. 2. Penentuan umur dari gigi. 3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark). 4. Penentuan ras dari gigi. 5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan. 6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli. 7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal. 



Penentuan Usia berdasarkan gigi Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun. Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang lebih baik



24



daripada pemeriksaan



antropologi lainnya pada masa pertumbuhan.



Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. 5 Mineralisasi gigi dimulai saat 12-16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. Penentuan usia antara 15 dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini dapat digunakan untuk aplikasi forensik.7,11



25



Gambar 2.6 Memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anakanak (a) gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan perkembangan pada usia 9 tahun (pada usia 6 tahun terjadi erupsi dari akar gigi molar atau gigi 6 tapi belum tumbuh secara utuh). Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour dan Massler (b) menunjukkan pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun.16 



Penentuan Jenis Kelamin berdasarkan gigi -Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya. Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin.12







Penentuan Ras berdasarkan gigi Penentuan ras pada gigi dan rahang tidak dapat diandalkan, meskipun beberapa morfologi menunjukkan statistik perbedaan dalam frekuensi antara ras. Contoh gambaran gigi pada ras mongoloid adalah insisivus berbentuk



26



sekop. Insisivus pada maksila berbentuk sekop pada 85-99% ras mongoloid. 2 sampai 9% ras kaukasoid dan 12% ras negroid memperlihatkan adanya bentuk seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas. Dens evaginatus, aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras mongoloid, Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada 20% mongoloid, lengkungan palatum berbentuk elips, serta batas bagian bawah mandibula berbentuk lurus.13



Gambar 2.7 Gigi seri berbentuk sekop. 12



Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik: - Bila rahang atas dan bawah lengkap :15 1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah. 2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas. 3. Melakukan dental charting/odontogram. 4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan rahang bawah. 5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA. 6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up 7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem 8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi. - Pada rahang yang tidak utuh:13 Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya dengan menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan menggunakan self curing acrylic. Lalu melakukan pencetakan, dilakukan pemotretan close-up,



27



dan pengembalian pada jenazah.Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat memperoleh gambaran perkiraan raut wajah korban untuk membantu memudahkan identifikasi.12 c. DNA DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan. Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam mitokondria. Konsep dari identifikasi DNA pertama kali diperkenalkan oleh Alex Jeffreys pada tahun 1985 yang dimana ia menemukan bahwa beberapa regio dari DNA sangatlah bervariasi antara individu. Analisa dari regio yang polimorfik dari DNA ini akan menghasilkan “DNA fingerprint” yang dimana sekarang lebih dikenal dengan sebutan “DNA profile.”DNA ini sendiri biasanya disamakan sebagai suatu cetak biru sebuah kehidupan dan membawa informasi herediter yang dibutuhkan organiseme terebut untuk melakukan fungsinya.Molekul yang membawa informasi pengaturan biologis yang fundamental ini sebenarnya sederhana secara relatif. Yang dimana struktur dasar yang membangun DNA ini yaitu nukleotida yang tersusun atas tiga grup kimiawi yang berbeda: sebuah gula (deoxyribosa), grup fosfat dan sebuah basa nitrogen. Ada 4 tipe yang berbeda dari basa nitrogen DNA, yaitu adenine, guanine, thymine dan cytosine.15



28



Gambar 2.8 Komponen dari molekul DNA. Molekul DNA terbentuk dari deoxynucleotida (a): gula deoxyribosa (b) memiliki lima atom karbon (dari C1 hingga C5); satu dari empat tipe yang berbeda dari basa nitrogen (c) melekat pada atom karbon C1, grup hidroksil melekat pada atom karbon nomor 3, dan grup fosfat melekat pada atom karbon C5.27



Genom manusia dapat didefinisikan sebagai komplemen kehidupan suatu organisme. Genom manusia mengandung sekitar 3,2 milyar informasi yang terorganisir ke dalam 23 kromosom manusia. Manusia pada normalnya terdiri atas dua set kromosom. Dua set tersebut berasal dari tiap orangtua, yang memberikan 46 kromosom yang terdiri atas 22 pasang kromosom autosomal dan pasangan ke 23 ialah kromosom X dan Y. Yang dimana pada perempuan memiliki dua kromosom X sedangkan pria memiliki 1 kromosm X dan 1 kromosom Y.13 Bagian DNA yang mengkode dan melakukan sintesis protein disebut dengan gen. Hal inilah yang sangat luas dipelajari karena memainkan peran yang sangat vital paa struktur dan fungsi dari semua sel. Beberapa protein yang dikoding DNA berbentuk polimorfik yang artinya timbul dalam beberapa bentuk, dan inilah yang digunaan pada ilmu forensik. Sistem yang sangat diketahui dengan baik saat ini ialah sistem golongan darah ABO.3,7 Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti buccal swab (usapan mulut pada pipi sebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun lebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA. Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum antara lain; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan dan masalah forensik (dalam identifikasi korban bencana).5,6 2.



Metode identifikasi sekunder (data medis, kepemilikan, fotografi/visual) a. Riwayat medis 29



Deskripsi personal yang berisi data umum (umur, jenis kelamin, tinggi badan, etnis) dan gambaran penbeda spesifik. Penemuan medis seperti bekas luka, bukti penyakit sama halnya dengan pengangkatan organ dapat memberikan informasi krusial mengenai riwayat medis seseorang. Operasi umum yang dapat membedakan karakteristik individu (misal appendicectomy) dapat diperhitungkan dalam konteks ini. Nomor unik yang ditemukan pada alat pacu jantung dan alat prostetik lainnya dapat digunakan untuk identifikasi. Tato, tahi lalat, dan kerusakan dapat menjadi indikator pada identitas.14 b. Kepemilikan Kategori ini termasuk semua hal yang ditemukan pada jenazah (contoh perhiasan, baju, dan dokumen identitas personal). Termasuk metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban telah rusak atau hangus. Initial yang terdapat pada cincin dapat memberikan informasi siapa si pemberi cincin tersebut, dengan demikian dapat diketahui pula identitas korban. Sedangkan dari pakaian, dapat diperoleh model pakaian, bahan yang dipakai, merek penjahit, label binatu yang dapat merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas korban. Dokumentasi seperti KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya merupakan sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas.16



Gambar 2.9 Bukti dokumen



30



BAB III KESIMPULAN Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap bencana. Beberapa bencana yang sering terjadi di Indonesia antara lain banjir, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. 1 Bencana yang terjadi selalu menimbulkan kondisi gawat darurat. Kondisi ini dapat berakhir pada terjadinya krisis kesehatan di masyarakat yang terkena bencana. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup.11 Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline.Tim DVI terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA. Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme.Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban.Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Pelaksanaan DVI mencakup beberapa fase yaitu: fase TKP, fase post mortem, fase anter mortem, fase rekonsiliasi, dan fase evaluasi. Berdasarkan standar baku dari 31



Interpol proses identifikasi mencakup dua metode yaitu identifikasi primer dan sekunder. Identifikasi primer meliputi sidik jari, gigi geligi, dan DNA. Identifikasi sekunder mencakup datas medis, kepemilikan, dan visual/fotografi. Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI Indonesia adalah didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif.



32



DAFTAR PUSTAKA 1.



Singh, S. Disaster Victim Identificationdalam Majalah Kedokteran Nusantara Vol.41 (4). Medan: SMF Kedokteran Forensik FK-USU; 2008; p 254-8.



2.



Anonym. Disaster Victim Identification (DVI) Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available from : URL:http://www.bnpb.go.id.



3.



Jennet K. Disaster Victim Identification- Learning from the Victoria Bush Fires Tragedy : A Winston Churchill Travel Fellowship. Merseyside Police; 2011.



4.



Kusumasari W, Medistianto E, dkk. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat BencanaEdisi Revisi. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2012; p.1-151-61.



5.



Anonym. DVI Indonesia. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available from : http://www.dvi-indonesia.com/index.php?id=7.



6.



Disaster Victim Identification Guide. 2014. INTERPOL.



7.



International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification Guide. [Online] 2009. [Cited on 2017 May 10]. Available from : URL:http://www.interpol.int/content/download/9158/68001/version/5/file/gui de.pdf



8.



Budiyanto A, Widiatmaka W, Dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FK-UI; 1997; p.197-206.



9.



Prawestiningtyas



E,



Algozi



M.



Identifikasi



Forensik



Berdasarkan



Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus Bencana Massal dalam Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol XXV(2). Lab.Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang: 2009; p.87-92. 10.



Acharya AB. Role of forensic odontology in disaster victim identification in the Indian context. J Dent Specialities, 2015;3(1):89-91.



11.



Dix J. Color Atlas Of Forensic Pathology. New York: CRC Press; 2000. 33



12.



Simpson, D. Guidance on Disaster Victim Identification. London: National Policing Improvement Agency; 2011.



13.



Stimson P, Mertz C. Forensic Dentistry. New York: CRC Press; 1997.



14.



Eckert, W. Introduction To Forensic Sciences : Second Edition. New York: CRC Press;1997.



15.



Beauthier J, Valck E, et all. Mass Disaster Victim Identification: The Tsunami Experience in The Open Forensic Science Journal 2. Belgium:2009; p.54-62



16.



Pertiwi KR. Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik. 2014. Yogyakarta: UNY



34