Referat Emergency Psychiatry [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT EMERGENCY PSYCIATRY CLINICAL AND TRAINING APPROACHES



Reza Aulia Permatasari, S.Ked 71 2018 014



Pembimbing: dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ., MARS



DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA RUMAH SAKIT DR. ERNALDI BAHAR PROVINSI SUMATERA SELATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG 2020



HALAMAN PENGESAHAN Referat yang berjudul EMERGENCY PSYCIATRY: CLINICAL AND TRAINING APPROACHES



Oleh: Reza Aulia Permatasari, S.Ked Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit dr.Ernaldi Bahar Palembang Fakultas Kedokteran Univesitas Muhammadiyah Palembang periode 12 Oktober– 18 Oktober 2020.



Palembang, Oktober 2020



dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ., MARS



ii



KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Semesta Alam, Allah SWT, atas nikmat dan karunia-Nya. Sholawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Penulis menghaturkan terima kasih atas bimbingan selama pengerjaan referat, dengan judul “Emergency Psychiatry: Clinical and Training Approaches” ini kepada pembimbing dr. Abdullah Shahab,Sp.KJ.,MARS dan bagi semua pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis haturkan terima kasih atas bantuannya hingga referat ini dapat terselesaikan. Semoga bantuan yang telah diberikan mendapatkan imbalan setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa didalam referat ini masih banyak kekurangan baik itu dalam penulisan maupun isi referat. Karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya referat ini. Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Palembang, Oktober 2020



Penulis



iii



BAB I PENDAHULUAN



Instalasi gawat darurat (IGD) merupakan tempat yang penuh dengan kesibukan dimana sindrom psikiatrik akut seringkali muncul dan menimbulkan kesulitan dalam diagnostik dan manajemen. Ruang kedaruratan di rumah sakit awalnya digunakan untuk mengatasi dan memberikan pelayanan segera pada pasien dengan kondisi medis atau trauma akut. Peran ini kemudian meluas dengan memberikan pelayanan segara pada tipe kondisi lain, termasuk pasien yang mengalami kedaruratan psikiatri1,2 Kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang tak terduga dengan potensi katastrophic, dengan demikian diharapkan praktisi kesehatan mental harus siap untuk mengatasi krisis seperti keinginan bunuh diri, agitasi dan agresi, serta keadaan confusional state. Sekitar 40 persen dari semua pasien terlihat di ruang gawat darurat psikiatri memerlukan rawat inap. Sebagian besar kunjungan terjadi selama jam malam, dan tidak ada perbedaan antara hari, minggu, bulan, atau tahun3,4 Banyak penyakit medis umum yang memberikan gejala gangguan perilaku dan dapat menyebabkan perubahan dalam berpikir dan mood. Berbagai gejala tersebut menyebabkan peningkatan keterlibatan psikiatri dalam pelayanan kedaruratan. Saat ini juga telah banyak pasien dengan alasan medis yang datang dengan ciri-ciri kepribadian dan mekanisme koping yang maladaptif yang dapat mempersulit penatalaksanaan medisnya. Dalam semua situasi ini, peran psikiater sebagai konsultan dan penghubung dapat menjadi sangat penting dalam memfasilitasi perawatan yang tepat. Psikiater hendaknya mampu dalam mengelola pasien yang mengalami kegawatdaruratan, mengelola masalah sistem rumah sakit, informasi tentang penyakit medis dan psikiatris, terampil dalam konflik resolusi, etis dan legal tentang tanggung jawab untuk keamanan pasien, dan mampu melayani sebagai pemimpin tim yang bisa terjun langsung dalam krisis5



1



Secara keseluruhan, kedaruratan psikiatri merupakan bidang yang masih terus berkembang. Klinisi diharapkan memiliki kemampuan atau keahlian pada consultationliaison psychiatry, manajemen krisis, brief psychotherapy, risk assessment dan pengetahuan yang luas mengenai pengobatan, sistem pelayanan rumah sakit dan kesehatan, serta psikiatri secara umum. 5



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI Berdasarkan konsensus yang dikembangkan oleh American Psychiatric Association (APA) menyebutkan bahwa kedaruratan psikiatri adalah gangguan yang bersifat akut, baik pada pikiran, perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan intervensi segera yang didefinisikan oleh pasien, keluarga pasien, atau masyarakat2 Tujuan pelayanan kedaruratan psikiatri adalah untuk: 1) memberikan perawatan tepat waktu atas kedaruratan psikiatri, 2) adanya akses perawatan yang bersifat lokal dan berbasis masyarakat, 3) menyingkirkan etiologi perilaku pasien yang mungkin mengancam nyawa atau meningkatkan morbiditas medis, dan 4) berjalannya kesinambungan perawatan.3 4 Proses evaluasi di kedaruratan psikiatri antara lain: 1) wawancara kedaruratan psikiatri, 2) pemeriksaan fisik, dan 3) pemeriksaan penunjang. Hal hal yang sebaiknya dievaluasi pada pasien yang dirujuk ke bagian psikiatri adalah risiko bunuh diri, risiko kekerasan (violence), dan penilaian psikososial. Hal-hal yang harus diperhatikan di seting kedaruratan yaitu, 1) agitasi dan agresi, 2) withdrawal (lepas zat), 3) intoksikasi zat, 4) kekerasan domestik, 5) kekerasan pada anak, 6) kekerasan pada lansia, dan 7) perkosaan.3



4



Tujuan utama dalam evaluasi kedaruratan psikiatrik adalah: menilai



kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat. Dengan tugas di unit gawat darurat yang sifatnya sering tak terduga, banyaknya pasien dengan keluhankeluhan fisik dan emosional, terbatasnya waktu, ruang, dan pemeriksaan penunjang, diperlukan pendekatan yang pragmatis bagi pasien.



3



Kadang-kadang lebih baik bagi pasien untuk tidak terlalu lama berada di unit gawat darurat. Dalam proses evaluasi dilakukan:6,7 1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik Wawancara dilaksanakan dengan lebih terstruktur. Secara umum, fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman ataupun polisi dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, negativistik, tidak kooperatif atau inkoheren. Seperti halnya wawancara psikiatrik yang biasa dilakukan, hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang diberikan dan yang diinterpretasikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dikatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat. Sikap yang tenang dan jujur akan sangat diperlukan dalam proses wawancara. Hal ini membuat pasien mengerti bahwa dokter memegang kendali, dan bahwa keputusan untuk melakukan setiap tindakan, adalah untuk mencegah perilaku yang melukai diri sendiri atau orang lain. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik, dan kalau perlu pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oleh dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan darah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur yang dapat memberikan suatu informasi yang bermakna secara cepat. Misalnya seseorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per menit, dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik



4



Apapun penyakit pasien yang sesungguhnya, tanda-tanda vital dapat membantu dokter untuk memilih alur diagnosis yang benar karena pemeriksaan ini saja sudah banyak yang bisa kita simpulkan atau kita singkirkan. Pada bagan, dapat dilihat salah satu model alur evaluasi dan penatalaksanaan pasien darurat psikiatrik. Bagan alur evaluasi dan penatalaksanaan pasien gawat darurat psikiatri Pasien rujukan



Datang sendiri



Pasien diantar oleh



polisi



Pelayanan gawat darurat psikiatrik Triage Tanda vital Kesadaran Pemeriksaan medik, neurologik Pemeriksaan laboratorium Triage psikiatrik



Evaluasi medik Evaluasi psikiatrik; organik atau fungsional



Rawat bersama dengan disiplin ilmu lain



Rawat inap psikiatrik



(Kemenkes,2010).



5



Rawat jalan



Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:8 1. Keamanan pasien Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa situasi di ruang gawat darurat, pola pelayanan dan komunikasi antar staf, serta jumlah pasien dalam ruangan tersebut cukup aman bagi pasien, baik secara fisik maupun emosional. Jika intervensi verbal tidak cukup atau merupakan kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian obat atau pengekangan. Perhatian perlu diberikan terhadap kemungkinan timbulnya agitasi atau perilaku merusak. 2. Medik atau psikiatrik? Penting sekali bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik, atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisikondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam tinggi, kelainan metabolisme, tumor, AIDS, intoksikasi atau gejala putus zat, seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik pada umumnya. Bila kondisi ini tidak ditangani semestinya, dapat menyebabkan kematian. Karena itu dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak, meskipun sebelumnya secara medik telah dinyatakan tak ada kelainan oleh dokter lain. 3. Psikosis Yang penting disini bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan mempengaruhi hidupnya. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta kepatuhannya dalam berobat. Komunikasi dengan pasien psikosis harus luwes dan tidak bertele-tele. Semua intervensi klinis harus dijelaskan secara singkat dan jelas, dalam bahasa yang dapat dimengerti. Jangan mengharapkan pasien mempercayai atau mengharapkan bantuan kita. Dokter harus siap untuk melakukan wawancara terstruktur atau menghentikan wawancara sewaktu-waktu untuk membatasi kemungkinan terjadinya agitasi atau regresi.



6



4. Suicidal atau homicidal Pasien-pasien dengan kecenderungan ini sangat membahayakan dirinya atau orang lain. Jangan pernah menyepelekan semua ancaman, pikiran atau sikap yang menunjukkan adanya kecenderungan bunuh diri, sampai terbukti hal itu tidak benar. Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus diobservasi secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan pada pasien. 5. Kemampuan merawat diri sendiri Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendiri, mampu menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah satu indikasi rawat inap. Indikasi rawat inap adalah: - Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain, - Bila perawatan di rumah tidak memadai, - Perlu observasi lebih lanjut. 2.1 Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis dan Terapi Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis dan terapi antara lain:6 7 1. Diagnosis Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data, misalnya penapisan toksikologi (tes urin untuk opioid, amfetamin, benzodiazepin, kanabis, dsb), pemeriksaan radiologi, EKG, tes laboratorium. Sedapat mungkin pemeriksaan dan konsultasi medik untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab organik dilakukan di ruang gawat darurat. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya, informasi dari sumber luar (alloanamnesis dari keluarga, polisi, dll)



7



juga dikumpulkan sebelum kita menentukan tindakan. Prioritas utama memang kemanan, namun hal ini jangan sampai menunda penegakan diagnosis. 2. Terapi Pemberian terapi obat atau pengekangan (bila memang diperlukan) harus mengikuti prinsip terapi: maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk: - Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali - Mengurangi/menghilangkan penderitaannya, - Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat kesimpulan akhir. Pasien yang tidur memang tidak dapat membahayakan orang lain, tetapi kita pun tidak dapat melakukan pemeriksaan status mental pada pasien tersebut. Obatobatan yang sering digunakan adalah: -



Low-dose high-potency anti psychotics, seperti haloperidol, trifluoperazine, perphenazine, dsb, karena batas keamanannya cukup luas. Haloperidol terdapat dalam kemasan injeksi dan tetes (cairan) sehingga memudahkan pemberian.



-



Atypical



anti



psychotics,seperti



risperidone,



quetiapine,



olanzapine.



Olanzapine juga terdapat dalam bentuk injeksi. -



Injeksi benzodiazepin. Kombinasi antipsikotik dengan benzodiazepin kadang sangat efektif.



Kesalahan yang sering dilakukan oleh para dokter adalah: 1. Pemberian dosis yang terlalu besar atau penggunaan preparat yang terlalu kuat (overmedication), sehingga evaluasi atau pemulangan menjadi terlambat, 2. Pemberian dosis yang kurang atau pemberian preparat yang kurang tepat (undermedication), 3. Penggantian obat yang terlalu cepat.



8



2.2 Rujukan/Pemindahan Pada beberapa keadaan, misalnya psikosis akibat zat, reaksi stres akut, dekompensasi psikologik sementara pada pasien dengan gangguan kepribadian tertentu, akan lebih baik pasien tidak langsung dirawat atau dipulangkan.6 Penempatan di ruang observasi berkelanjutan akan memberikan waktu bagi dokter untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut mengenai penyebab gangguan mentalnya. Selain itu keadaan pasien juga akan membaik bila berada di tempat yang aman.6 Dengan demikian pasien mungkin tidak perlu dirawat di instalasi rawat inap psikiatrik yang dapat menimbulkan stigma atau trauma baginya. Intervensi krisis pada korban perkosaan atau korban trauma lainnya, misalnya, juga dapat dilakukan pada fasilitas observasi ini. Bila pasien dianggap perlu untuk dirawat inapkan, sebaiknya hal itu dilakukan dengan persetujuan pasien sehingga ia merasa dapat mengendalikan hidupnya dan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan pengobatannya. Bila pasien memang membahayakan diri sendiri atau lingkungannya, maka hal itu dapat dilakukan tanpa persetujuannya.6 2.3 Dokumentasi Semua penemuan dan tindakan harus didiskusikan dan dicatat dengan baik untuk kepentingan pasien, dokter dan RS, asuransi/pembayaran, dan hukum. Catatan medik harus dapat menggambarkan keadaan pasien. Penemuan positif maupun negatif serta informasi yang belu didapat sebaiknya dicatat. Nama-nama serta alamat dan nomor telepon yang dapat dihubungi wajib dicatat. Rencana penatalaksanaan awal dilakukan sesuai diagnosis kerja saat itu. A. Tindak kekerasan (violence) Violence atau tindak kekerasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat



9



berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik. Tindak kekerasan dan ancaman tindak kekerasan sering terjadi di ruang gawat darurat psikiatrik serta sering menyebabkan permintaan konsultasi ke psikiatri. Para dokter dan staf harus mengetahui cara cepat memulai prosedur pencegahan peningkatan tindakan kekerasan ini. Prosedur ini meliputi interensi perilaku, farmakologik serta psikososial.6 Tindakan kekerasan merupakan bagian dari suatu kondisi gaduh gelisah. Kondisi gaduh gelisah dapat bermanifestasi dalam 3 hal, yaitu:6 



Agitasi, merupakan perilaku patologi dengan manifestasi berupa aktivitas verbal atau motorik yang tak bertujuan







Agresif, digunakan untuk binatang dan manusia. Pada manusia dapat berbentuk agresi verbal atau fisik terhadap benda atau seseorang







Kekerasan (violence), agresi fisik oleh seseorang yang bertujuan melukai orang lain



a. Gambaran klinis dan diagnosis Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:  Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination),  Intoksikasi alkohol atau zat lain,  Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif  Katatonik furor  Depresi agitatif  Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan pengendalian



impuls



(misalnya



gangguan



kepribadian



ambang



dan



antisosial),  Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan temporalis otak.



10



Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :7 



Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,







Adanya rencana spesifik,







Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,







Laki-laki,







Usia muda (15-24 tahun),







Status sosioekonomi rendah,







Adanya riwayat melakukan tindak kekrasan,







Tindakan antisosial lainnya







Riwayat percobaan bunuh diri.







Adanya stresor yang baru saja terjadi







Riwayat tindak kekerasan merupakan indikator terbaik.



Faktor tambahan lain6 



Adanya riwayat bahwa yang bersangkutan pernah menjadi korban kekerasan







Riwayat masa kanak-kanak yang meliputi triad: mengompol, main api, dan kekejaman terhadap hewan







Mempunyai catatan kriiminal







Pernah berdinas militer/polisi







Mengendarai kendaraan secara ugal-ugalan







Riwayat tindak kekerasan dalam keluarga



Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya adalah membuat diagnosis



sebagai



dasar rencana



penatalaksanaan,



termasuk



memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.6 Asesmen pada kondisi gaduh gelisah6 1. Singkirkan kondisi fisik



11



cara-cara



untuk



Riwayat medik, pemeriksaan fisik, radiologi, laboratorium bila ada indikasi tentukan status HIV atau hepatitis C 2. Evaluasi adanya komorbiditas Gangguan penyalahgunaan zat, gangguan kepribadian antisosial atau ambang 3. Efek samping obat Akatisia 4. Penilaian risiko Riwayat kekerasan, ide/tindakan bunuh diri sebelumnya, akses ke senjata, catatan pengalihan tentang kriminal, isi waham/halusinasi Panduan wawancara dan Psikoterapi3 



Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini sekarang”







Katakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,







Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang dan penuh kontrol.







Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.



Evaluasi dan penatalaksanaan 1) Lindungi diri anda. Kita harus memperkirakan bahwa mungkin saja terjadi suatu tindak kekerasan sehingga kita tidak akan dikejutkan oleh suatu perilaku kekerasan yang mendadak -



Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata. Pasien harus menyerahkan senjatanya ke petugas keamanan (mis: satpam_. Ketahuilah sebanyak mungkin tentang pasien sebelum anda mewawancarai mereka.



-



Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent) seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa



12



dijambak/ditarik pasien seperti kalung atau dasi. Usahakan agar dokter selalu terlihat oleh staf lainnya -



Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu pada anggota staf yang terlatih.



-



Jangan biarkan pasien mempunyai akses terhadap ruangan yang berisi barang-barang yang dapat dijadikan senjata, misalnya brankar atau ruang tindakan



-



Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang mungkin merasa bahwa dokter mengamcamnya. Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan.



-



Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.



-



Waspadalah



terhaddap



tanda-tanda



munculnya



kekrasan.



Selalu



persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerang anda. Jangan pernah membelakangi pasien 2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain: -



Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,



-



Ancaman verbal,



-



Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti garpu, asbak)



-



Agitasi psikomotor (merupakan indikator kuat)



-



Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,



-



Waham kejar, dan



-



Halusinasi yang menyuruh (commanding hallucination)



3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara aman. Minta bantuan anggota staf lain sebelum agitasi pasien meningkat. Seringkali, unjuk kekuatan dengan menghadirkan banyak anggota staf yang tampak kuat sudah cukup untuk mencegah tindak kekerasan.



13



4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk menenangkan pasien. 5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan wawancara pskiatrik. Evaluasi risiko bunuh diri, kemudian rencana penatalaksanaan yang meliputi penanganan tindak kekerasan yang mungkin muncul kemudia 6) Ekspolasi kemungkinan dilakukannya intervensi psikososial untuk mengurangi risiko kekerasan. Jika tindak kekerasan itu berhubungan dengan situasi atau orang tertentu, coba pisahkan pasien dari orang atau situasi tersebut. Coba intervensi keluarga dan manipulasi lingkungan lainnya. Apakah pasien tetap akan bersikap keras bila ia tinggal dengan keluarga lainnya? 7)



Mungkin pasien perlu dirawat untuk mencegahnya melakukan tindak kekerasan. Observasi harus dilakukan terus menerus, meskipun pasien dirawat di ruang perawatan psikiatri yang terkunci



8) Jika penanganan psikiatrik bukan hal yang sesuai dalam suatu kasus, mungkin perlu melibatkan polisi atau aparat hukum 9) Calon korban harus diperingatkan seandainya masih ada kemungkinan bahaya mengancam, misalnya bila pasien tidak dirawat Terapi Psikofarmaka6 Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenangkan pasien diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin: -



Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,



-



Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis ratarata per hari 13-14mg,



-



Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2 menit).



14



Bila pasien sudah mendapat antipsikotik sebelumnya, berikan lagi obat yang sama. Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Benzodiazepine mungkin



tidak akan efektif pada pasien yang sudah toleran;



benzodiazepin juga dapat menurunkan inhibisi yang secara potensial dapat memperburuk kekerasan pada pasien. Untuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita gangguan organik kronik seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti propanolol. Penilaian kondisi gaduh gelisah secara objetif dapat menggunakan instrumen The Excited Componen of The Positive and Negative Syndrome (PANSS-EC), (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) B. Bunuh Diri (Suicide) Bunuh diri merupakan kematian yang ditimbulkan oleh diri sendiri dan disengaja dimana bukan tindakan yang acak dan tidak bertujuan. Sebaliknya, bunuh diri merupakan jalan keluar dari masalah atau krisis yang hampir selalu menyebabkan penderitaan yang kuat.6 Bunuh diri merujuk kepada perbuatan memusnahkan diri karena enggan berhadapan dengan suatu perkara yang dianggap tidak dapat ditangani. Menurut Keliat (1994) bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan dan merupakan keadaan darurat psikiatri karena individu berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif. Lebih lanjut menurut Keliat, bunuh diri merupakan tindakan merusak integritas diri atau mengakhiri kehidupan, dimana keadaan ini didahului oleh respon maladaptif dan kemungkinan keputusan terakhir individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Bunuh diri adalah pengambilan tindakan untuk melukai diri sendiri yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang. Orang yang melakukan tindakan bunuh diri mempunyai pikiran dan perilaku yang merupakan perwakilan (representing) dari



15



kesungguhan untuk mati dan juga merupakan manifestasi kebingungan (ambivalence) pikiran tentang kematian (Hoeksema, 2001). Para klinikus menemukan adanya perbedaan antara bunuh diri yang asli (genuine suicide) dengan bunuh diri yang dimanipulasi (manipulative suicide). Bunuh diri asli adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang benar-benar ingin mati dan tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan bunuh dirinya tersebut, dilakukan tanpa perhitungan yang salah (miscalculation). Sementara orang yang melakukan bunuh diri yang dimanipulasi tidak sungguhsungguh ingin membunuh dirinya, tindakan mereka (bunuh diri) adalah percobaan yang terkontrol, yang dilakukan untuk memanipulasi orang lain (Landis & Meyer, Shneidman, dalam Barlow & Durand, 2002). Lyttle (1986) juga membedakan antara bunuh diri (suicide) dengan usaha bunuh diri (parasuicide). Wilkinson menyebutkan jika bunuh diri (suicide) sebagai tindakan fatal untuk mencederai diri sendiri yang dilakukan dalam kesadaran untuk merusak diri yang kuat atau secara sungguh-sungguh (conscious self-destructive intent). Sementara usaha bunuh diri (parasuicide) merujuk pada tindakan menyakiti diri sendiri yang dilakukan dengan pertimbangan yang mendalam yang biasanya tidak berakibat fatal. Usaha bunuh diri (parasuicide), biasanya juga digambarkan sebagai percobaan bunuh diri (attempted suicide). Heeringan (2001) menyebutkan jika perilaku bunuh diri merupakan istilah yang digunakan untuk mewakili istilah bunuh diri itu sendiri dan usaha bunuh diri sebagai suatu perbuatan yang menghasilkan kejadian fatal maupun tidak fatal. Etiologi Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab bunuh diri, diantaranya adalah: Faktor Sosial  Teori Durkheim. Sumbangan pertama yang besar untuk penelitian pengaruh sosial dan kultural terhadap bunuh diri dilakukan pada akhir abad yang lalu oleh ahli



16



sosiologi Perancis Emile Durkheim. Dalam upaya menjelaskan pola statistikal, Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga kategori sosial : egoistik, altruistik, dan anomik.  Bunuh Diri Egoistik diterapkan pada mereka yang tidak terintegrasi secara kuat ke dalam kelompok sosial. Tidak adanya integrasi keluarga dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa orang yang tidak menikah adalah lebih rentan terhadap bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah dan mengapa pasangan dengan anak-anak adalah kelompok



yang paling terlindung dari



semua kelompok. Masyarakat perkotaan memiliki lebih banyak integrasi sosial dibandingkan dengan daerah pedesaan, jadi lebih sedikit bunuh diri.  Bunuh Diri Altruistik terjadi dalam masyarakat yang mempunyai ikatan sosial yang kuat. Bunuh diri ini dimaksudkan demi kelompok, hampir seperti bunuh diri ritual Jepang “Seppuku” yang dilakukan ketika kekacauan melada masyarakat.  Bunuh Diri Anomik terkait dengan apa yang disebut “Anomie” atau keadaan dimana anda tidak tahu tempat yang tepat bagi seseorang seperti menjadi tunawisma atau yatim piatu. Orang tersebut merasa tidak punya apa-apa dan ini berarti berada dalam keadaan tanpa norma dan peraturan yang membimbing dalam kehidupan sosial sehari-hari. Hal ini dapat menjelaskan mengapa mereka dengan situasi ekonomi yang berubah secara drastik lebih rentan dibandingkan mereka sebelum perubahan keberuntungan mereka. Anomik juga dimaksudkan pada ketidakstabilan sosial, dengan kehancuran standar dan nilai-nilai masyarakat. Faktor Psikologis  Teori Freud Tilikan psikologis pertama yang paling penting ke dalam bunuh diri berasal dari Sigmund Freud. Ia menggambarkan hanya satu pasien yang mencoba bunuh diri, tetapi ia melihat banyak pasien depresi. Dalam tulisannya “Mourning and



17



Melancholia”, Freud menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri mencerminkan agresi yang dibelokkan ke dalam objek cinta yang terintroyeksi, dan ditangkap secara ambivalen.  Teori Menninger Berdasarkan konsep Freud, Karl Menninger menyimpulkan bahwa bunuh diri adalah pembunuhan yang di retrofleksikan, pembunuhan yang dibalikkan sebagai akibat kemarahan pasien kepada orang lain, yang dibalikkan pada diri sendiri atau digunakan sebagai pengampunan akan hukuman. Ia juga menggambarkan insting kematian yang diarahkan kepada diri sendiri (konsep Thanatos dari Freud). Ia menggambarkan tiga komponen permusuhan dalam bunuh diri : keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh dan keinginan untuk mati. Faktor Fisiologis  Genetika Teori faktor genetik dalam bunuh diri telah diajukan. Penelitian menunjukan bahwa bunuh diri cenderung berjalan di dalam keluarga. Sebagai contohnya, pada orang yang mencoba bunuh diri ditemukan adanya riwayat bunuh diri dalam keluarga lebih banyak secara bermakna daripada orang yang tidak pernah melakukan bunuh diri. Satu penelitian terbesar menemukan bahwa resiko bunuh diri untuk sanak saudara dari pasien psikiatri hampir delapan kali lebih tinggi dibanding sanak saudara dari kontrol. Selain itu, resiko bunuh diri pada sanak saudara pasien psikiatri yang melakukan bunuh diri adalah empat kali lebih tinggi dibandingkan pada sanak saudara pasien psikiatri yang tidak melakukan bunuh diri.  Neurokimia Defisiensi serotonin, diukur sebagai penurunan metabolisme 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), telah ditemukan dalam kelompok pasien depresi yang



18



mencoba bunuh diri. Pasien depresi yang mencoba bunuh diri dengan cara keras (contoh, senjata api atau meloncat) memiliki kadar 5-HIAA yang lebih rendah di dalam cairan serebrospinalisnya dibandingkan pasien depresi yang tidak melakukan bunuh diri atau yang mencoba bunuh diri dengan cara yang kurang keras (overdosis zat). Beberapa penelitian terhadap binatang dan manusia telah menyatakan suatu hubungan antara defisiensi sistem serotonin sentral dan pengendalian impuls yang buruk. Beberapa peneliti telah memandang bunuh diri sebagai salah satu tipe perilaku impulsif. Kelompok pasien lain yang diperkirakan memiliki masalah dengan pengendalian impuls adalah pelaku kekerasan, pembakar rumah dan mereka dengan ketergantungan alkohol. Beberapa



peneliti



telah



menemukan



pembesaran



ventrikular



dan



elektroensefalogram (EEG) yang abnormal pada beberapa pasien bunuh diri. Sampel darah dari kelompok sukarelawan normal yang dianalisis untuk monoamin oksidase trombosit menemukan bahwa orang dengan kadar enzim yang terendah didalam trombositnya memiliki prevalensi bunuh diri delapan kali lebih besar didalam keluarganya, dibandingkan dengan orang yang memiliki kadar enzim yang tinggi. Faktor yang terkait Adapun faktor-faktor yang terkait dengan tindakan bunuh diri adalah: 1. Jenis Kelamin Laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan wanita. Akan tetapi wanita adalah empat kali lebih mungkin berusaha bunuh diri dibandingkan laki-laki. 2. Metode Lebih tingginya angka bunuh diri yang berhasil pada laki-laki adalah berhubungan dengan metode yang digunakan dimana laki-laki menggunakan pistol, menggantung diri, atau lompat dari tempat yang tinggi. Sedangkan wanita lebih mungkin menggunakan zat psikoaktif secara overdosis atau memotong pergelangan tangannya, tetapi mereka mulai lebih sering menggunakan pistol dibandingkan sebelumnya.



19



3. Usia Angka bunuh diri meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki, puncak bunuh diri adalah usia 45 tahun; pada wanita, jumlah terbesar bunuh diri yang berhasil adalah diatas 55 tahun. Orang lanjut usia kurang sering melakukan usaha bunuh diri dibandingkan orang muda tetapi lebih sering berhasil. Angka untuk mereka yang berusia 75 tahun atau lebih adalah lebih dari tiga kali dibandingkan angka untuk orang muda. 4. Ras Angka bunuh diri diantara orang kulit putih adalah hampir dua kali lebih besar dari angka bukan kulit putih, tetapi angka tersebut masih diragukan, karena angka bunuh diri pada kulit hitam adalah meninggi. 5. Status perkawinan Perkawinan yang diperkuat oleh anak tampaknya secara bermakna menurunkan risiko bunuh diri. Orang yang hidup sendirian dan tidak pernah menikah memiliki angka hampir dua kali lipat angka untuk orang yang menikah. Bunuh diri lebih sering pada orang yang memiliki riwayat bunuh diri dalam keluarganya dan yang terisolasi secara sosial. Yang disebut bunuh diri ulang tahun (anniversary suicide) adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang mencabut hidupnya pada hari yang sama seperti yang dilakukan oleh anggota keluarganya. 6. Pekerjaan Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar resiko bunuh diri, tetapi penurunan status sosial juga meningkatkan risiko. Pada umumnya, pekerjaan menghalangi bunuh diri. Bunuh diri lebih tinggi pada orang yang pengangguran dibandingkan orang yang bekerja. Selama resesi ekonomi dan depresi, angka bunuh diri menjadi meningkat. Selama waktu tingginya pekerjaan dan selama perang, angka bunuh diri menurun. Dokter secara tradisional dianggap memiliki risiko terbesar untuk bunuh diri. Dokter psikiatri dianggap memiliki risiko yang paling tinggi. Populasi yang berada dalam risiko khusus adalah musisi, dokter gigi, petugas hukum, pengacara dan agen asuransi. 7. Kesehatan Fisik



20



Hubungan antara kesehatan fisik dan bunuh diri sangat bermakna. Penelitian postmortem menunjukan bahwa suatu penyakit fisik ditemukan pada 25 sampai 75 persen dari semua korban bunuh diri. 50% orang dengan kanker yang melakukan bunuh diri melakukannya dalam satu tahun setelah mendapatkan diagnosis. Tujuh penyakit sistem saraf pusat yang meningkatkan risiko bunuh diri : epilepsi, sklerosis multipel, cedera kepala, penyakit kardiovaskular, penyakit Huntington, demensia, dan AIDS. Semua adalah penyakit dimana diketahui terjadi gangguan mood yang menyertai. Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan terlibat didalam bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah hilangnya mobilitas pada orang yang aktivitas fisiknya memiliki kepentingan pekerjaan atau rekreasional; kecacatan, terutama pada wanita; dan rasa sakit kronis yang tidak dapat diobati. Obat tertentu dapat menyebabkan depresi, yang dapat menyebabkan bunuh diri pada beberapa kasus. Diantara obat-obat tersebut adalah reserpine (Serpasil), kortikosteroid, antihipertensi (propanolol/Inderal), dan beberapa obat antikanker. 8. Kesehatan Mental Faktor psikiatrik yang sangat penting dalam bunuh diri adalah penyalahgunaan zat, gangguan depresif, skizofrenia, dan gangguan mental lainnya. Hampir 95 persen dari semua pasien yang melakukan bunuh diri atau berusaha bunuh diri memiliki gangguan mental yang terdiagnosis. Pasien yang menderita depresi delusional berada pada resiko tertinggi untuk bunuh diri sebesar 80%. 25 persen dari semua pasien yang memiliki riwayat perilaku impulsif atau tindakan kekerasan juga berada dalam resiko untuk bunuh diri. Perawatan psikiatrik sebelumnya untuk alasan apapun meningkatkan resiko bunuh diri. 9. Pasien Psikiatrik Resiko pasien psikiatrik untuk melakukan bunuh diri adalah 3 sampai 12 kali lebih besar dibandingkan bukan pasien psikiatrik. Derajat resikonya adalah bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, diagnosis, dan status rawat inap atau rawat jalan. Diagnosis psikiatrik yang memiliki resiko tertinggi untuk bunuh diri pada kedua jenis kelamin adalah gangguan mood.



21



Relatif mudanya korban bunuh diri sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa dua gangguan mental kronis yang memiliki onset awal, skizofrenia dan gangguan depresif yang berat rekuren berjumlah lebih dari setengah dari semua bunuh diri tersebut. Gangguan-gangguan yang beresiko terjadinya bunuh diri :6 1. Gangguan mood Gangguan mood adalah diagnosis yang paling sering berhubungan dengan bunuh diri. Pasien laki-laki lebih banyak yang melakukan bunuh diri dibanding pasien wanita. Kemungkinan orang terdepresi yang melakukan bunuh diri meningkat jika tidak menikah, dipisahkan, diceraikan, janda atau baru saja mengalami kehilangan. 2. Skizofrenia Resiko bunuh diri tinggi diantara pasien skizofrenik; sampai 10 persen meninggal akibat bunuh diri. Usia onset skizofrenia biasanya pada masa remaja atau dewasa awal dan sebagian besar pasien skizofrenik yang melakukan bunuh diri melakukannnya selama tahun-tahun pertama penyakitnya; dengan demikian pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri cenderung relatif muda. Gejala depresif berhubungan erat dengan bunuh diri mereka. Hanya sejumlah kecil yang melakukan bunuh diri karena instruksi halusinasi atau untuk melepaskan waham penyiksaan. Jadi, faktor resiko untuk bunuh diri diantara pasien skizofrenik adalah usia yang muda, jenis kelamin laki-laki, status tidak menikah, usaha bunuh diri sebelumnya, kerentanan terhadap gejala depresif, dan baru dipulangkan dari rumah sakit.



3. Ketergantungan Alkohol 15 persen orang yang ketergantungan alkohol melakukan bunuh diri. Kira-kira 80 persen dari semua korban bunuh diri yang tergantung alkohol



22



adalah laki-laki. Kelompok terbesar pasien laki-laki yang ketergantungan alkohol adalah mereka dengan gangguan kepribadian antisosial. Korban bunuh diri yang tergantung alkohol cenderung merupakan golongan kulit putih, usia pertengahan, tidak menikah, tidak memiliki teman, terisolasi secara sosial dan baru saja mulai minum. 4. Ketergantungan Zat Lain



.



Penelitian di berbagai negara telah menemukan peningkatan resiko bunuh diri diantara penyalahgunaan zat. Angka bunuh diri untuk orang yang tergantung heroin kira-kira 20 kali lebih besar dibandingkan angka untuk populasi umum. 5. Gangguan Kepribadian Sejumlah besar korban bunuh diri memiliki berbagai macam gangguan kepribadian yang menyertai. Menderita suatu gangguan kepribadian mungkin merupakan suatu determinan perilaku bunuh diri dalam beberapa cara : dengan mempredisposisikan pada gangguan mental berat seperti gangguan depresif atau ketergantungan alkohol, dengan menyebabkan kesulitan dalam hubungan dan penyesuaian sosial, dengan mencetuskan peristiwa kehidupan yang tidak diinginkan, dengan mengganggu kemampuan untuk mengatasi gangguan mental atau fisik dan dengan menarik orang ke dalam konflik dengan orang disekitar mereka, termasuk anggota keluarga, dokter dan anggota staf rumah sakit. Depresi adalah berhubungan tidak hanya dengan bunuh diri yang dilakukan tetapi juga dengan usaha bunuh diri yang serius. Jika orang yang melakukan usaha bunuh diri dinyatakan sebagai memiliki maksud bunuh diri yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki maksud bunuh diri yang rendah, mereka secara bermakna lebih banyak adalah laki-laki, berusia lebih tua, tidak menikah atau bercerai dan hidup sendirian. Kesimpulan dari korelasi tersebut adalah bahwa pasien depresi yang melakukan usaha bunuh diri yang serius lebih menyerupai korban bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang berusaha bunuh diri.



23



Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menduga adanya resiko bunuh diri: 6 



adanya ide bunuh diri atau percobaan bunuh diri sebelumnya







adanya kecemasan yang tinggi, depresi yang dalam dan kelelahan







adanya ide bunuh diri yang diucapkan







ketersediaannya alat atau cara untuk bunuh diri







memepersiapkan warisan terutama pada pasien depresi yang agitatif







adanya krisis dalam kehidupan baik fisik maupun mental







adanya riwayat keluarga yang melakukan bunuh diri







adanya kecemasan terhadap keluarga jika terjadi bunuh diri







adanya keputus-asaan yang mendalam



Didalam menangani pasien yang mempunyai kecenderungan bunuh diri, pencegahan merupakan hal utama yang perlu diperhatikan. Jika percobaan bunuh diri telah dilakukan dan tidak berhasil , sebagai klinisi kita harus melakukan pemeriksaan yang menyeluruh dan lengkap baik secara fisik dan mental. Pada saat itu juga harus diputuskan apakah pasien perlu dirawat atau tidak. Hospitalisasi tergantung: 



Diagnosis







Beratnya Depresi







Kuatnya ide bunuh diri







Kemampuan pasien dan keluarga mengatasi masalahnya







Keadaan kehidupan pasien



24







Tersedianya support sosial bagi pasien







Ada tidaknya faktor resiko bunuh diri pada saat kejadian



Yang bisa dilakukan dokter umum jika menjumpai pasien dengan percobaan bunuh diri sebaiknya lakukan pertolongan pertama jika diperlukan, rujuk pasien ke rumah sakit terdekat sambil membenkan penjelasan ke keluarganya bahwa kondisi pasien perlu evaluasi dan pertolongan lebih jauh baik fisik maupun mentalnya (tergantung kondisi pasien). Sebelum individu itu melakukan bunuh diri biasanya ia mengalami suatu krisis suicidal yang dapat diketahui dari adanya: 1. Isyarat: ucapan atau cerita tentang keinginan mati atau catatan bunuh diri (“suicidal note”). 2. Jeritan minta tolong (“cry for help”) dengan ucapan, tulisan atau perilaku tertentu yang menunjukkan ambivalensinya terhadap bunuh diri. Penyalahgunaan Alkohol Presentasi terkait-alkohol adalah salah satu keadaan darurat kejiwaan yang paling umum. Hal ini terkait dengan gangguan berikut: intoksikasi, withdrawal, delirium intoksikasi, delirium withdrawal, gangguan psikotik dengan delusi atau halusinasi, gangguan mood, dan gangguan kecemasan. Gambaran klinis keracunan umumnya tergantung pada tingkat alkohol dalam darah pasien (BAL), tetapi BAL tidak dapat digunakan secara eksklusif. Patologis keracunan, misalnya, dicirikan oleh reaksi perilaku yang berlebihan terhadap kadar alkohol yang mencukupi. Konsep ini agak kontroversial. Di kebanyakan yurisdiksi, seorang individu dengan BAL 0,1 atau lebih dianggap secara hukum sebagai mabuk. Jika pasien mabuk, dokter harus memastikan apakah bahan kimia lain selain etanol adalah terkait dengan keadaan klinis. Pemeriksaan toksikologi sangat penting. Keadaan mabuk dicirikan oleh



25



kombinasi perilaku nyata maladaptif atau perubahan psikologis dan perubahan fisik (misalnya, bicara cadel, ataksia, nystagmus, pingsan, koma) yang muncul selama atau setelah konsumsi alkohol. Alkohol withdrawal muncul dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah penghentian atau pengurangan dalam penggunaan alkohol yang tinggi dan diperpanjang. Hal ini ditandai oleh keadaan hyperadrenergic, agitasi, insomnia, gejala gastrointestinal, halusinasi, tangan tremor, dan kejang. Baik keracunan dan withdrawal mungkin terkait dengan delirium. Gangguan psikotik, mood, dan kecemasan mungkin berkaitan dengan penggunaan alkohol. Penanganan Keadaan koma harus diatasi sebagai keadaan kegawatdaruratan medis. Pasien yang mabuk berat harus dipindahkan ketempat yang tenang. Lorazepam atau haloperidol akan sangat efektif dalam mengatasi agitasi. Pembatasan fisik atau dosis yang lebih tinggi dari lorazepam dan haloperidol mungkin dapat digunakan, jika diperlukan. Penyalahgunaan obat-obatan lainnya9 Berikut adalah tabel penyalahgunaan obat dengan manifestasi klinis, pemeriksaan fisik dan jenis obat yang digunakan. Obat Amfetamin



Gejala fisik Peningkatan tekanan darah, midriasis.



Gejala psikiatri Euphoria, kewaspadaan yang



Cannabis Kokain



Takikardi Peningkatan temperature, takikardi, tremor.



meninggi. Cemas, sosial withdrawal. Euphoria, kewaspadaan yang



Halusinogen Inhalan Opioid Phencyclidine Sedative-



Midriasis, takikardi, tremor. Nistagmus, aritmia. Miosis pada keracunan, midriasis pada withdrawal. Nistagmus, peningkatan tekanan darah, aritmia. Penurunan respirasi, tremor.



meninggi Cemas, paranoia. Agresif, apatis. Agitasi, disforia. Mood labil, amnesia. Agresif, mood labil.



hipnotik



26



Terapi Tidak semua pasien memerlukan perawatan di rumah sakit, beberapa dapat diobati dengan rawat jalan. Untuk menentukan apakah dimungkinkan terapi rawat jalan, klinisi harus menggunakan pendekatan klinis yang langsung meminta pasien yang diduga bermaksud bunuh diri untuk setuju menelepon segera jika mencapai titik dimana mereka tidak yakin akan kemampuan mereka untuk mengendalikan impuls bunuh dirinya. Pasien yang dapat membuat persetujuan tersebut memperkuat keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk mengendalikan impuls tersebut dan berusaha mencari bantuan. Jika pasien tidak dapat memenuhi komitmen ini, maka perawatan di rumah sakit menjadi indikasi yang harus diambil. Menurut Schnedman, klinisi memiliki beberapa tindakan preventif praktis untuk menghadapi orang yang ingin bunuh diri seperti : 1. Menurunkan penderitaan psikologi dengan memodifikasi lingkungan pasien yang penuh dengan stress, menuliskan bantuan dari pasangan, perusahaan atau teman. 2. Membangun dukungan yang realistik dengan menyadari bahwa pasien mungkin memiliki keluhan yang masuk akal. 3. Menawarkan alternatif terhadap bunuh diri. Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit tergantung pada diagnosis, keparahan depresi dan gagasan bunuh diri, kemampuan pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah, situasi hidup pasien, tersedianya dukungan sosial dan ada atau tidaknya faktor resiko untuk bunuh diri. Dalam rumah sakit pasien mungkin menerima medikasi antidepresan atau antipsikotik sesuai dengan indikasi, terapi individual, terapi kelompok dan pasien mendapatkan dukungan sosial rumah sakit dan rasa aman. Tindakan terapeutik lain tergantung pada diagnosis dasar pasien. Sebagai contohnya, jika ketergantungan alkohol adalah masalah yang berhubungan, terapi harus diarahkan untuk menghilangkan kondisi tersebut.



27



Tindakan yang berguna untuk terapi pasien rawat inap yang mencoba bunuh diri dan mengalami depresi adalah memeriksa barang-barang pasien dan orang yang berkunjung ke bangsal. Hal ini bertujuan untuk mencari benda-benda yang dapat digunakan untuk bunuh diri dan secara berulang mencari eksaserbasi gagasan bunuh diri. Idealnya, pasien rawat inap yang mencoba bunuh diri dan mengalami depresi harus diobati dalam bangsal yang terkunci dimana jendela dipasang terali dan ruangan pasien harus berlokasi dekat dengan tempat perawat untuk memaksimalkan pengamatan oleh staf perawat. Tim yang mengobati harus memeriksa secara berulang atau terus menerus mengawasi secara langsung. Terapi yang efektif dengan medikasi antidepresan harus dimulai. Terapi elektrokonvulsif (ECT) mungkin diperlukan untuk beberapa pasien yang terdepresi parah yang mungkin memerlukan beberapa kali pengobatan. Pasien yang sedang pulih dari depresi bunuh diri berada pada resiko khusus. Saat depresi menghilang, pasien menjadi memiliki energi dan mampu untuk melakukan rencana bunuh dirinya. Kadang-kadang pasien depresi dengan atau tanpa terapi secara tiba-tiba tampak damai dengan dirinya sendiri karena mereka telah mengambil keputusan rahasia untuk melakukan bunuh diri. Klinisi harus secara khusus mencurigai perubahan klinis yang dramatis tersebut, yang mungkin meramalkan usaha bunuh diri.



Terapi Psikofarmaka Seseorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati atau baru mengalami suatu kejadian yang jangka waktunya tak lama, biasanya akan berfungsi lebih baik setelah mendapatkan tranquilizer ringan, terutama bila tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine misalnya lorazepam 3 x 1 mg sehari, selama 2 minggu. Hati-hati memberikan benzodiazepine pada pasien yang hostile, karena penggunaan benzodiazepine yang teratur dapat meningkatkan iritabilitas pasien. Jangan memberikan obat dalam jumlah banyak sekaligus kepada pasien (resepkan sedikit-sedikit saja) dan pasien harus kontrol dalam beberapa hari. Pemberian antidepresan biasanya tidak dimulai di ruang gawat darurat, meskipun biasanya terapi definitif pasien-pasien yang mempunyai kecenderungan



28



bunuh diri adalah antidepresan. Antidepresan boleh diberikan di instalasi gawat darurat asal dibuat perjanjian kontrol keesokan harinya secara pasti. Manajemen intoksikasi atau withdrawal tergantung pada jenis obat tertentu. Asosiasi gejala fisik dan kejiwaan harus menjadi faktor dalam rencana perawatan segera. Kekerasan, psikosis, atau peningkatan gejala mood, berkaitan dengan perilaku bunuh diri, harus perawatan inap segera. Pembatasan Kimia (misalnya lorazepam atau haloperidol), pengasingan, atau pengekangan fisik mungkin diperlukan untuk mengelola perilaku kekerasan. Metadon atau clonidine secara khusus ditunjukkan dalam opioid withdrawal. Prinsip-prinsip rujukan rawat jalan adalah sama seperti untuk alkohol. PENCEGAHAN BUNUH DIRI Sebagian besar bunuh diri pada psikiatri dapat dicegah. Dimana depresi menjadi gangguan paling sering yang menyebabkan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Berdasarkan teori Psikodinamika oleh Sigmund Freud, fungsi Ego sangat berhubungan erat dengan pertimbangan yang melibatkan kemampuan menghadapi akibat dari suatu tindakan seseorang. Ego dipakai dalam memecahkan masalah pribadi orang tersebut, khususnya bila terjadi konflik dengan dunia realitas atau bila terdapat ketidaksesuaian antara keinginan yang tidak sinkron secara internal. Selain itu juga mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari suatu tindakan, sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Bunuh diri menjadi tindakan yang diambil pada orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan seperti depresi akibat Ego tidak cukup kuat menahan desakan ataupun dorongan-dorongan yang muncul dari dalam dirinya sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dari dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini dipergunakan secara kaku, terus menerus dan berkepanjangan, maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak realistis seperti keinginan untuk bunuh diri.



29



Untuk mencegah terjadinya bunuh diri tersebut, maka penanganannya dengan memberikan kesempatan kepada orang tersebut untuk mengeluarkan seluruh isi pikiran atau perasaannya yang muncul di dalam dirinya secara verbal. Dimana Ego akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di balik mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya. Adapun cara yang digunakan oleh Sigmund Freud untuk terapi sekaligus untuk mengumpulkan data, yaitu : 1. Metode asosiasi bebas (free association), dimana pasien diminta untuk berbicara tentang segala sesuatu dan apa saja yang terjadi pada dirinya dengan leluasa dan tanpa perlu berusaha membuat uraian yang logis, teratur dan penuh arti. Untuk menjaga agar pengaruh gangguan yang datang dari luar tetap minimal, biasanya pasien disuruh berbaring diatas dipan dalam ruangan yang tenang. Ucapanucapan pasien yang serba tidak teratur ini merupakan pernyataan yang memiliki hubungan dinamik dan penuh arti dengan pernyataan sebelumnya, sehingga terbentuklah suatu rangkaian asosiasi yang kontinyu dari awal hingga akhir. Mungkin banyak ucapan yang menyesatkan maupun hambatan-hambatan, tetapi pada akhirnya sejarah kejiwaan pasien dapat sampai kepada pendengar (terapis) dengan mengikuti rangkaian asosiasi melalui lika-liku ungkapan verbal. 2. Analisis tentang mimpi (dream interpretation), dimana pasien diminta secara spontan teringat tentang mimpi-mimpi mereka dan selanjutnya melakukan asosiasi bebas tentang mimpi-mimpi tersebut. Mimpi-mimpi yang dilaporkan dan asosiasi bebas yang mengiringnya merupakan sumber informasi yang kaya tentang dinamika kepribadian manusia. Peran Ego yang terpenting adalah sebagai eksekutif organisasi kepribadian dimana energi digunakan untuk menciptakan integrasi diantara ketiga sistem. Tujuan dari fungsi integrasi Ego adalah untuk menciptakan keselarasan batin dalam kepribadian antara Ego dengan lingkungan sehingga dapat berjalan lancar dan efektif. Caranya, Ego harus mengendalikan Id dan Superego agar Ego mampu mengarahkan kepribadian secara bijak supaya bisa berhubungan dengan dunia luar. Apabila Id menguasai sebagian besar energi, maka tingkah laku akan menjadi



30



impulsif dan primitif, bila Superego yang menguasai sebagian besar energi maka fungsi kepribadian akan didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan moralistik dari pada pertimbangan-pertimbangan realistik. Antikateksis (daya kekang) suara hati bisa membelenggu Ego dengan nilai moral dan menghalangi tindakan apapun sementara kateksis (daya dorong) Ego ideal bisa menentukan norma-norma yang sangt tinggi bagi Ego sehingga pribadi terus menerus dikecewakan dan akhirnya mengalami perasaan gagal yang membuat depresi. 1 C. Sindroma Neuroleptik Maligna Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan penggunaan obat antipsikotik. Efek samping pemberian obat-obatan antipsikotik seperti paskinsonism, distonia akut, akatisia akut, diskinesia tardif. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia mutisme dan agitasi.1 Gambaran Klinis dan Diagnosis Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Tingkat mortalitas dapat mencapai 20 persen. Sindroma neuroleptik maligna biasanya terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang meningkat cepat. 1 Faktor risiko lain adalah: 



Dehidrasi,



usia



muda



(20-40



tahun),



laki-laki,



malnutrisi,



serta



pengekangan/pengikatan. Sindroma biasanya akan berkembang penuh dalam 48 jam sesudah awitan. Angka kejadian berkisar antara 1-10 / 10.000.



31







Gangguan ini dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agonis dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine, dan bromocriptine







Penggunaan antipsikotik dengan lithium juga pernah dihubungkan dengan timbulnya sindrom ini. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika



terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut: -



Diaforesis



-



Disfagia



-



Tremor



-



Inkontinensia



-



Penurunan kesadaran



-



Mutism



-



Takikardia



-



Tekanan darah yang meningkat atau labil



-



Leukositosis



-



Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka



Patofisiologi Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas. Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot



32



Panduan Wawancara dan Psikoterapi Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga dan teman-temannya. Evaluasi dan Penatalaksanaan 



Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.







Bila terdapat rigiditas ringan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma neuroleptik maligna.







Hentikan pemberian antipsikotik segera.







Monitor tanda-tanda vital secara berkala.







Lakukan pmeriksaan laboratorium







Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan kemungkinan terjadiny agagal ginjal.







Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sembuh, masalah kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.1



Terapi Psikofarmaka 



Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi







Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45 mg/hari







Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus



D. Delirium Gambaran klinis dan Diagnosis



33



Gambaran klinis yang dapat ditemukan pada pasien dengan delirium sangat beragam diantaranya: 1. Prodromal : Biasanya pasien akan mengeluh kelelahan, cemas, menjadi iritabel, gangguan tidur 2. Gangguan kesadaran : Penurunan kejernihan tingkat kesadaran terhadap lingkungan (kesadaran berkabut) 3. Kewaspadaan : Terdiri dari hiperaktivitas dan hipoaktivitas Hiperaktivitas, kaitannya dengan sindrom putus zat, misalnya flushing, berkeringat, takikardia, nausea, hipertermia dsb. Hipoaktivitas seluruh aktivitas menurun sehingga sering dikatakan sebagai depresi 4. Gangguan



pemusatan



perhatian:



Ditandai



oleh



adanya



kesulitan



mempertahankan, memusatkan dan mengalihkan perhatian 5. Orientasi: Gangguan orientasi waktu sering terjadi (pada delirium yang ringan), bila delirium berat akan mencakup orientasi tempat dan orang 6. Bahasa dan kognitif: Sering terjadi abnormalitas dalam berbahasa dan terjadi inkoherensi. Daya ingat dan fungsi kognitif umum mungkin terganggu 7. Persepsi: Halusinasi visual dan auditorik sering ditemukan 8. Mood: Gejala yang sering nampak adalah merah, mengamuk, ketakutan yang tidak beralasan. Perubahan mood dapat berfluktuasi sepanjang hari. 9. Gangguan tidur-bangun: Individu sering menunjukan agitasi pada malam hari dan masalah perilaku pada saat waktu tidur keadaan ini disebut Sundowning 10. Gejala neurologi: Meliputi disfasia, tremor, asteriksis, inkoordiais dan inkontinensia urine.1 Kriteria diagnostik delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum (DSM IV-TR) a. gangguan



kesadaran



(berkurangnya



kejernihan



kesadaran



terhadap



lingkungan dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian).



34



b. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dan jangka pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi, persepsi, ilusi dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit inkoherensi, disorientasi waktu, tempat, dan orang ). c. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya singkat dan ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari d. Berdasarkan bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk menemukan penyebab delirium ini Panduan wawancara dan psikoterapi 



Bersikaplah suportif dan tidak mengancam. Meskipun demikian, bersikaplah tegas dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan ini dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat) dan bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif : “minum tablet ini sekarang!”







Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukan dan tularkan sikap yang tenang serta penuh kontrol







Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya menjadi lebih tenang



Evaluasi dan penatalaksanaan Dalam mengobati delirium, hal yang paling utama adalah mengobati penyebabnya. Bila penyebabnya akibat toksisitas antikolinergik, maka digunakan pisostigmin salisilat 1-2 mg intravena atau intramuskular dan dapat diulang 15 – 30 menit bila diperlukan. Terapi psikofarmaka Selain hal-hal yang benar-benar merupakan keadaan gawat darurat, ada gangguan psikiatrik yang sebetulnya tidak membahayakan nyawa pasien



35



tetapi dirasakan sangat menakutkan bagi pasien. Sehingga seringkali ditemukan di ruang gawat darurat. Yang tersering adalah gangguan panik yang mirip dengan serangan jantung serta gangguan koversi yang mirip dengan gangguan neurologik karena gejalanya dapat berupa: kejang, pingsan, lumpuh, hilang ingatan dan keluhan sensori motorik lainnya B. PENDEKATAN KLINIS DAN PELATIHAN Kegawatdaruratan psikiatri di praktikkan dalam berbagai pengaturan perawatan dari rumah sakit umum atau rumah sakit jiwa hingga komunitas. Penilaian pasien psikiatri harus dilakukan di lingkungan yang dirancang dengan cermat, dengan memperhatikan keselamatan pasien dan staf. Lokasi yang ideal untuk asesmen darurat akan dilakukan di rumah sakit umum di ruang yang ditentukan untuk pasien dengan masalah kesehatan mental seperti yang dicatat pada triase. 3 Keuntungan rumah sakit umum termasuk memiliki dokter gawat darurat sebagai lini pertama yang pertama kali melakukan skrining untuk masalah medis akut. Selain itu, fasilitas laboratorium tersedia di lokasi, dan penyelidikan serta konsultan mudah diakses. Dokter darurat dapat melakukan triase pada pasien yang tidak terlalu mendesak, tanpa perlu keterlibatan tim psikiatri. Unit Gawat Darurat rumah sakit umum memiliki keuntungan dari dukungan medis, seperti dijelaskan di atas, tetapi rumah sakit jiwa memiliki keahlian staf darurat terlatih yang merupakan spesialis dalam perawatan pasien psikiatri. Pasien akan dilihat oleh mereka yang terlatih untuk menilai dan mengobati penyakit kejiwaan secara empati dan berpengetahuan. Terlepas dari pengaturannya, tim psikiatri darurat harus terdiri dari psikiater, perawat psikiatri, dokter (misalnya, dalam pekerjaan sosial dan psikologi) dan asisten psikiatri dengan akses ke keamanan. 3



36



Tempat tidur observasi yang diperpanjang tetap ideal untuk pasien yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit penuh tetapi yang membutuhkan waktu lebih lama untuk penilaian atau hanya tinggal sebentar untuk pulih dari krisis. 3 Pasien dalam keadaan yang diinduksi zat juga mendapat manfaat dari pembekuan tersebut, karena gejala mereka membaik dengan resolusi toksidrom. Pengaturan asesmen darurat harus dilengkapi dengan fitur keselamatan lengkap, baik di lingkungan rumah sakit umum atau psikiatri. Ruang wawancara khusus, dengan fitur-fitur seperti bel alarm, pemantauan video, garis pandang ke ruang perawatan, furnitur yang dirancang dengan cermat (berbobot atau dikunci), dan pintu yang tidak dapat dibarikade, direkomendasikan dalam merancang UGD psikiatri. 10 Komorbiditas medis umum terjadi dan berkontribusi pada kompleksitas menilai pasien di UGD. Pasien di UGD memiliki resiko penyakit medis yang serupa dengan populasi umum,atau bahkan lebih besar. Menjadi suatu tantangan dalam merawat pasien dengan kegawatdaruratan psikiatri yang tergantung pada fasilitas, dukungan medis yang tersedia dan waktu. Diskusi dengan dokter yang merujuk sangat penting dalam menentukan spesifikasi stabilitas medis, komunikasi antardokter menjadi suatu tantangan terutama jika alasan merujuk pasien tidak jelas atau masalahnya adalah perdebatan antar layanan. Delirium dan demensia adalah dua contoh diagnosis yang dapat membebani hubungan antara layanan khusus. Modalitas terapi yang digunakan untuk seting kedaruratan psikiatri antara lain: 1) farmakoterapi, 2) seclusion (isolasi) dan restraint (fiksasi fisik), dan 3) psikoterapi4,5,11 C. INTERVENSI



PSIKOSOSIAL



PSIKIATRI



37



PADA



KEGAWATDARURATAN



Kedaruratan psikiatri memerlukan penatalaksanaan dalam waktu yang tepat dan keahlian interpersonal. Suatu krisis merupakan kesempatan untuk membantu dan jika memungkinkan melakukan perubahan, sehingga suatu pelayanan krisis tidak hanya sesederhana mengumpulkan data dan mengirim pasien ke tempat lain, namun diperlukan suatu proses interpersonal yang terjadi antara pasien dan staf di kedaruratan. 3 Intervensi dapat dimulai selama wawancara itu sendiri dengan mendengarkan saat informasi dikumpulkan. Sangat penting bagi pasien dan keluarganya untuk memiliki pemahaman tentang diagnosis dan implikasi terhadap pengobatan dan pentingnya patuh terhadap pengobatan karena akan berdampak signifikan pada hasil klinis.3 Orang yang bekerja dengan pasien kegawatdaruratan psikiatri perlu mengembangkan kemampuan untuk membangun hubungan, mengidentifikasi pemicu krisis dan membantu mengelola emosi yang menyusahkan sambil menghasilkan strategi penanggulangan alternative.3 Komponen atau fase intervensi psikososial di kedaruratan psikiatri yaitu: 1. Membangun Hubungan (Building an Alliance) Berartinya suatu wawancara tergantung dari sifat hubungan terapis dengan pasien. Agar wawancara dapat menghasilkan data yang dapat diandalkan (reliable), hendaknya senantiasa diusahakan menciptakan dan memelihara hubungan yang optimal antara dokter dengan pasien. Wawancara tidak dapat dipisahkan antara sifat terapeutik dan penegakan diagnosis. Meski beberapa staf profesional telah memiliki intuisi bagaimana membangun suatu hubungan dengan pasien, beberapa teknik berikut ini dapat bermanfaat yaitu: memenuhi kebutuhan pasien, gunakan pertanyaan alliance-building pada fase awal penilaian dan tunda pertanyaan yang bersifat alliance-deflecting, menunjukkan empati, bantu pasien mengungkapkan aspek emosional yang tidak menyenangkan pada saat perujukan atau saat terapi sebelumnya, dan secara langsung atau



38



tidak langsung menanyakan perasaan pasien mengenai terapi atau sakit yang dialaminya3 12 2. Menghadapi Krisis Melalui Proses Stabilisasi dan Intervensi Intervensi krisis adalah suatu metode yang diberikan segera pada seseorang yang mengalami suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan gangguan pada mental dan fisik. Secara ringkas tujuan dari intervensi krisis adalah (1) stabilisasi, (2) meredakan tanda dan gejala akut dari distres, dan (3) restorasi dari fungsi adaptasi independen jika mungkin atau fasilitasi akses menuju ke perawatan lebih lanjut.



13



Prinsip intervensi krisis menggunakan model



ABC, yang dimulai dari mengidentifikasi persepsi pasien terhadap kejadian yang memicu krisis. Intervensi ini baik jika dimulai dalam 4-6 minggu terjadinya krisis. Model ABC merupakan proses intervensi 3 tahap, terdiri dari A=Achieving Rapport (membangun hubungan), B=Beginning of Problem Identification (mulai mengidentifikasi problem yang terjadi), dan C=Coping. Model ini Kedaruratan Psikiatri (Fokus Pada Intervensi Psikososial) 26 digunakan dengan tujuan mengembalikan individu kepada level fungsinya sebelum krisis14 3. Melakukan Psikoterapi (Therapy Work) Fase ketiga pada intervensi psikososial adalah pengenalan psikoterapi dan kemudian memulai melakukan psikoterapi tersebut. Tantangan dalam mengenalkan elemen psikoterapi di seting kedaruratan adalah banyak karakteristik terapi yang biasanya dilakukan di klinik tidak dapat dilakukan di seting kedaruratan, hal ini karena lingkungan kedaruratan yang berisik, privacy minimal, tuntutan kerja staf profesional IRD yang bertumpang tindih sehingga membingungkan pasien, dan dibutuhkan waktu yang cepat untuk membangun hubungan terapeutik.



3



Secara umum terdapat tiga



karakteristik terapi yang dapat diaplikasikan di seting kedaruratan psikiatri, yaitu perilaku (behavioral), kognitif, dan dinamik. Psikoedukasi, pendekatan



39



keluarga dan kultur juga penting, namun hanya dipandang sebagai modifikasi pada awal wawancara. Mayoritas pasien akan mendapatkan medikasi, yang dapat meningkatkan efisiensi dan keamanan intervensi psikoteraputik, serta diperlukan pasien dalam kondisi tidak tersedasi atau terganggu karena efek samping obat3 Berikut ini adalah penatalaksanaan



intervensi psikososial pada



kedaruratan psikiatri tertentu, yaitu: 1. Agitasi Strategi klinis inti untuk mengelola agitasi adalah penggunaan strategi interpersonal yang menekankan teknik intervensi verbal atau perilaku. Terdapat metode untuk intervensi verbal yang disebut “verbal deescalation”. Pendekatan ini merupakan langkah awal untuk mengatasi pasien agitasi, mencakup respon verbal dan non verbal yang digunakan untuk meredakan atau mengurangi situasi yang potensial terjadi kekerasan.2 2. Bunuh Diri Pilihan terapi yang akan dilakukan berdasarkan penilaian risiko bunuh diri yang didapatkan melalui evaluasi psikiatrik. Tujuan intervensi psikososial termasuk mencapai perbaikan dalam hubungan interpersonal, keterampilan coping, fungsi psikososial, dan manajemen afek. beberapa konsensus klinis yang menunjukkan bahwa intervensi psikososial dan psikoterapeutik spesifik memiliki manfaat untuk mengurangi risiko bunuh diri3 Klinisi hendaknya memperhatikan isu-isu di bawah ini untuk perencanaan penatalaksanaan segera, yaitu 1) Do no harm. Jangan berikan medikasi kepada pasien yang mempunyai potensi toksik dan overdosis. 2) Hindarkan pasien dari hal-hal dan benda-benda berbahaya yang bisa menyebabkan bunuh diri berulang. 3) Berikan harapan kepada pasien. Kedaruratan Psikiatri (Fokus Pada Intervensi



40



Psikososial) 27 Klinisi hendaknya mencoba untuk membantu pasien memahami problemnya dan membantu untuk penyelesaiannya3 3. Kekerasan Domestik Intervensi terhadap pasien yang mengalami kekerasan domestik yang dibawa ke IRD adalah memfasilitasi secara independen, melakukan formulasi untuk „exit-plan‟, edukasi pasien, serta konseling dan kelompok pendukung14 4. Perkosaan Pemeriksaan hendaknya dilakukan oleh staf profesional yang telah memiliki kemampuan untuk tidak hanya melakukan pemeriksaan menyeluruh namun juga mampu mengumpulkan bukti-bukti yang ada pada pasien. Pasien juga sebaiknya juga didampingi oleh konselor krisis atau advokat selama proses pemeriksaan evaluasi. Sesi awal intervensi psikoterapi mencakup unsurunsur exposure therapy dan cognitive restructuring, membantu pasien mengenai respon stres, meminimalkan pasien menghindari kenangan yang menyakitkan, dan memaksimalkan reintegrasi ke dalam rutinitas kehidupan. Krisis intervensi pada pasien korban perkosaan menjadi intervensi yang bersifat cepat, singkat, dan fokus, serta dirancang untuk menstabilkan individu dan membantu mereka mengatasi situasi. Terapi Identifying, preventing, and reducing domestic violence and abuse Plan services Training Work in partnership to prevent domestic violence and abuse Health and social care professionals Training and referral pathway for GP practices and other agencies Develop an integrated commissioning strategy Commission and evaluate programs for perpetrators Establish integrated care pathways and information sharing protocols Remove obstacles to people disclosing domestic violence and abuse Ask about domestic violence and ensure formal referral pathways are in place Identify, and when necessary, refer children and young people at risk Provide tailored support and advocacy Provide children and young people at risk with specialist services Support people



41



with mental health conditions Kedaruratan Psikiatri (Fokus Pada Intervensi Psikososial) 28 segera diperlukan untuk membantu pasien dalam memperbaiki distorsi persepsi, mengurangi rasa bersalah, menggunakan koping yang efektif, dan memfasilitasi korban untuk hubungan sosial yang lebih luas serta dukungan dari keluarga5 5. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse) Evaluasi dilakukan secara komprehensif dan penatalaksaan awal atau melakukan perujukan yang sesuai pada anak yang mengalami kekerasan untuk meminimalisir konsekuensi jangka panjang akibat kekerasan yang dialaminya. Anak yang mengalami kekerasan seksual beserta keluarganya memerlukan penatalaksanaan yang profesional. Psikiater dapat membantu mengembalikan rasa harga diri anak, menghadapi perasaan bersalah karena kekerasan yang dialaminya, dan memulai proses untuk mengatasi trauma anak. Penatalaksanaan yang baik dapat mengurangi risiko masalah pada anak berkembang menjadi lebih serius pada saat telah dewasa. Untuk orang tua anak dapat dilakukan terapi yang bersifat mendukung, dilakukan pelatihan orang tua, dan manajemen marah. Dukungan dari orang tua, sekolah, dan teman sebaya merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan perasaan aman pada anak14 6. Kekerasan Pada Lansia (Elder Abuse) Penatalaksanaan segera difokuskan pada penanganan manifestasi fisik akibat kekerasan yang dialami lansia dan menjamin keamanan pasien. Tujuan intervensi



adalah



agar



lansia



tersebut



mampu



mempertahankan



kemandiriannya seaman mungkin. Harus dilakukan evaluasi terhadap kelangsungan program, terapi fisik, bantuan kesehatan di rumah, dan alat bantu seperti kursi roda, alat bantu dengar, dan kacamata. Klinisi di IRD juga hendaknya berkonsultasi dengan tim multidisipliner dari pekerja sosial yang ada, klinisi lain, perawat, dan administrator untuk penanganan kasus ini.



42



Tujuan akhir penatalaksanaan adalah agar para lansia dapat memuaskan dan menikmati hidupnya. Melaporkan kekerasan tergantung pada hukum lokal yang berlaku, status klinis, dan derajat kemandirian atau disfungsi korban kekerasan14



43



BAB III KESIMPULAN Kegawatdaruratan psikiatri merupakan keadaan yang tak terduga dengan potensi katastrophic. Berdasarkan konsensus yang dikembangkan oleh American Psychiatric Association (APA) menyebutkan bahwa kedaruratan psikiatri adalah gangguan yang bersifat akut, baik pada pikiran, perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan intervensi segera yang didefinisikan oleh pasien, keluarga pasien, atau masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pasien kedaruratan psikiatri yaitu tindakan kekerasan atau agitasi, withdrawal dan intoksikasi zat, bunuh diri, kekerasan domestik, kekerasan terhadap anak dan lansia, serta perkosaan. Perawatan di kedaruratan psikiatri biasanya berfokus pada manajemen perilaku dan gejala. Penatalaksanan



kedaruratan psikiatri



bersifat holistik



berupa



farmakoterapi dan psikoterapi dalam hal ini adalah melalui intervensi psikososial. Tujuan dilakukan intervensi psikososial di seting kedaruratan antara lain keamanan (safety), penilaian (assessment), dan adalah jika memungkinkan untuk dilakukan fasilitasi terhadap perubahan meski sedikit namun bermakna pada kondisi diri pasien. Terdapat tiga fase atau komponen dari intervensi psikososial yaitu membangun hubungan (building an alliance), menghadapi krisis melalui proses stabilisasi dan intervensi (dealing with the crisis driving the presentation through some form of stabilization or intervention), dan yang terakhir adalah melakukan psikoterapi (therapy work). Terdapat perbedaan penanganan pasien dengan intervensi psikososial pada berbagai macam gambaran jenis kedaruratan psikiatri.



DAFTAR PUSTAKA



44



1. Petit JR, 2004, Handbook of Emergency Psychiatry, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2. Trent James, 2013, „A Review of Psychiatric Emergencies‟, CME Resource, Sacramento, California. 3. Allen H, et al., 2002, Emergency Psychiatry (Review of Psychiatry Series, Vol 21, Number 3, American Psychiatric Publishing, Inc., Washington DC. 4. Sadock B.J & Sadock V.A, 2010, Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Science / Clinical Psychiatry, 10 th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, New York. 5. Riba M.B, Ravindranath D., 2010, Clinical Manual of Emergency Psychiatry 1st ed. American Psychiatric Publishing Inc., Washington DC. 6. Kemenkes RI. Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. Jakarta. 2010 7. Maramis WF. Catatan Ilmu kedokteran Jiwa. Cetakan ke-8. Airlangga University Press. Surabaya,2004. Hal 421-447 8. Kusuma, Widjaja. Dari A sampai Z Kedaruratan Psikiatrik dalam Praktek. Professional Books. Jakarta. 1997. Hal 3-86. 9. Hawari, D.; Psikopatologi Bunuh Diri . Balai penerbit FKUI , Jakarta, 2010. 10. Moscovitch A, Chaimowitz GA, Patterson PGR. Keselamatan peserta pelatihan di unit dan fasilitas psikiatri. Ottawa (ON): Asosiasi Psikiater Kanada;2011 11. Knox D.K. dan Holloman G.H., 2011, Use and Voidance of Seclusion and Restraint: Consensus Statement of The American Association for Emergency Psychiatry Project BETA Seclusion and Restraint Workgroup, West J Emerg Med Vol 13 Issue 1.



45



12. Elvira S. D., 2005, Kumpulan Makalah Psikoterapi, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta. 13. Dass-Brailsford, P 2007, ‘Crisis interventions’, in A practical approach to trauma: empowering interventions, Sage Publication, California, pp 93-109. 14. Khouzam H.R., Gill T.S., Tan D.T., 2007. Handbook of Emergency Psychiatry. Elsevier’s Health Science, Philadelphia.



46