Referat Epistaksis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



Epistaksis



Oleh: Linda Angelia, S.Ked



04054821820081



Nyimas Badrya Ulfa, S.Ked



04054821820017



Rati Amira Lekabreda, S.Ked



04054821820010



Feisal Moulana, S.Ked



04011181520040



Reni Wahyu Novianti, S.Ked



04084821921114



Pembimbing: dr. Andrey Dwi Anandya, Sp.T.H.T.KL



BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG 2019



HALAMAN PENGESAHAN Referat Judul Epistaksis Oleh: Linda Angelia, S.Ked



04054821820081



Nyimas Badrya Ulfa, S.Ked



04054821820017



Rati Amira Lekabreda, S.Ked



04054821820010



Feisal Moulana, S.Ked



04011181520040



Reni Wahyu Novianti, S.Ked



04084821921114



Telah dinilai dan dinyatakan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher (T.H.T.K.L.) RSUP Dr. Moh. Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 11 Maret 2019 – 15 April 2019.



Palembang, 20 Maret 2019



dr. Andrey Dwi Anandya, Sp.T.H.T.KL



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Epistaksis” untuk memenuhi tugas sebagai bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L. Universitas Sriwijaya. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Andrey Dwi Anandya, Sp.T.H.T.KL, selaku pembimbing yang telah membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita semua.



Palembang, Maret 2019



Penulis



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... ii KATA PENGANTAR ................................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi ..................................................................................................................... 3 2.2 Definisi ...................................................................................................................... 3 2.3 Klasifikasi ................................................................................................................. 5 2.4 Kekerapan ................................................................................................................. 7 2.5 Etiologi ...................................................................................................................... 7 2.6 Patogenesis ............................................................................................................... 9 2.7 Diagnosis ................................................................................................................... 11 2.8 Penatalaksanaan ....................................................................................................... 12 2.9 Komplikasi ................................................................................................................ 16 BAB III KESIMPULAN ............................................................................................... 17 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 18



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Epistaksis atau perdarahan dan hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. 1 Beberapa literatur menyebutkan bahwa 60% dari populasi dunia mengalami epistaksis sekali dalam seumur hidup mereka dan hanya 6% dari total 60% yang memerlukan tindakan medis untuk memberhentikan perdarahan. Berdasarkan distribusi umur, ada dua puncak kejadian epistaksis yaitu pada umur 10 tahun ke atas dan yang kedua yaitu pada usia lebih dari 50 tahun. Epistaksis muncul lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. 2, 3 Bagi sebagian pasien, epistaksis bisa terjadi karena adanya trauma atau adanya ketakutan dari diri sendiri. Epistaksis juga bisa terjadi secara masif dan berakibat fatal. Sebagian besar kasus epistaksis dapat berhenti sendiri tetapi sebagai seorang dokter perlunya pendekatan pada semua kasus epistaksis baik kasus yang minor ataupun pada kasus epistaksis yang diakibatkan oleh penyakit sistemik. 4



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Anatomi Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dan atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (tip), 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).1 Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka hidung luar dibentuk oleh 1) tulang hidung (Os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) pars nasalis os frontalis, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari lempeng-lempeng tulang rawan hialin yang terletak di bagian bawah hidung.5



Gambar 1. Hidung luar dan septum nasi. A. Permukaan lateral rangka tulang dan cartilaginosa hidung luar. B. Facies anterior rangka tulang dan cartilaginosa hidung luar. C. Rangka tulang dan cartilaginosa septum nasi (sekat rongga hidung).5



Kavum Nasi Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.



6



Septum nasi dibentuk oleh cartilago septi nasi, lamina verticalis osis ethmoidalis, dan vomer. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang bermuara ke dalam nasofaring. Bagian dan kavum nasi yang letaknya tepat di belakang nares, disebut vestibulum.1,5



Gambar 2. A. Dinding lateral cavum nasi kanan. B. Dinding lateral cavum nasal kanan; concha nasalis superior, media, dan inferior dibuang sebagian untuk memperlihatkan muara dari sinus paranasalis dan ductus lacrimalis ke dalam meatus.5 Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis Os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis Os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.1,5 Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan



7



labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dan labirin etmoid.1 Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dan letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1 Batas rongga hidung. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dan os etmoid, tulang ini berlubanglubang



(kribrosa=saringan)



tempat



masuknya



serabut-serabut



saraf



olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.1,5



Vaskularisasi Hidung Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dan a. karotis interna.1 Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dan cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a.sfenopalatina



yang



keluar



dan



foramen



sfenopalatina



bersama



n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.1 Bagian depan hidung mendapat pendarahan dan cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dan cabang-



8



cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.1,5 Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.1,5 Pendarahan cavum nasi berasal dari cabang-cabang arteria maxillaris, yang merupakan salah satu cabang terminal arteria carotis externa. Cabang yang terpenting adalah arteria sphenopalatina. Arteria sphenopalatina beranastomosis dengan ramus septalis arteria labialis superior yang merupakan cabang dari arteria facialis di daerah vestibulum. Darah di dalam anyaman vena submucosa dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri. 5



Gambar 3. A. Dinding lateral cavum nasi memperlihatkan pendarahan membrana mucosa. B. Septum nasi memperlihatkan pendarahan membrana mucosa.5 2.2



Definisi Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua. Epistaksis bisa disebabkan oleh faktor lokal maupun sistemik.6



9



2.3



Epidemiologi Epistaksis merupakan kejadian perdarahan spontan kedua yang sering terjadi. 60% pasien pernah mengalami setidaknya satu kali episode epistaksis dalam hidup mereka. 80% kasus terjadi karena rupturnya pleksus Kiesselbach. Insiden epistaksis sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan wanita. Pada anak-anak, 30% pasien yang mengalami perdarahan pada salah satu hidung berkisar pada umur 5 tahun. Pada anak yang berusia antara 6-10 tahun mengalami peningkatan jumlah hingga 56%. Perdarahan hidung jarang terjadi pada awal masa kelahiran dan pasca pubertas. Epistaksis paling umum terjadi pada anak yan tinggal pada daerah yang kering, khususnya jika mereka memiliki riawayat infeksi pernafasan atas atau rinitis alergi.6 Frekuensi epistaksis sulit ditentukan karena sebagian besar episode berhenti secara spontan atau dengan self treatment dan karena itu tidak dilaporkan. 1,6 Kejadian epistaksis sedikit lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Bagi kebanyakan orang, epistaksis merupakan gangguan fisiologis saja. Namun, masalah yang mengancam nyawa pada pasien dengan usia lanjut dan adanya penyakit yang mendasari seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.1,6



2.4



Etiologi Epistaksis memiliki penyebab lokal dan sistemik. Faktor-faktor lokal seperti trauma, benda asing dan penggunaan alat medis seperti intubasi endotrakeal dan nasogastric tube juga merupakan penyebab epistaksis. Infeksi dan inflamasi seperti sinusitis, rinitis alergi dan dekongestan topikal juga merupakan faktor lokal yang berkontribusi terhadap epistaksis.3,9 Faktor sistemik seperti kardiovaskular terkait dengan risiko kejadian epistaksis karena volume yang berlebihan dan peningkatan tekanan di pembuluh darah vena yang memicu pecahnya daerah pleksus Kiesselbach.



10



Faktor-faktor ini termasuk gagal jantung kongestif, stenosis mitral, obstruksi vena kava superior. Disfungsi koagulasi biasanya terjadi pada penggunaan obat-obatan seperti OAINS, clopidogrel dan warfarin. Sepertiga pasien dengan epistaksis berulang memiliki gangguan hemostasis yang mendasari seperti defisiensi faktor koagulasi, penyakit Von Willebrand dan beberapa kelainan fungsi platelet yang langka.2,4 Tabel 1. Penyebab epistaksis.3,4 Tipe



Penyebab



Lokal



Idiopatik Sinusitis kronik Rinitis Neoplasma intranasal Perforasi septum Iritan (contoh : rokok) Deviasi septum Infeksi Trauma Neoplasia Benda Asing Telengiektasis Hipertensi Obat-obatan (antikoagulan) Penyakit kelainan darah seperti hemofilia, leukimia Disfungsi platelet Trombositopenia Penyakit hati seperti sirosis hepatis



Sistemik



2.5



Patofisiologi Suplai darah dari hidung sangat kompleks dan didistribusi sebagian besar oleh arteri karotis interna dan eksterna. Arteri karotis eksterna memperdarahi hidung melalui arteri fasialis dan arteri maxilla interna. Arteri labialis superior yang merupakan salah satu cabang terminal dari arteri fasialis yang berkontribusi sebagai suplai darah pada bagian anterior hidung dan septum melalui cabang septum. Arteri maksilla interna memasuki fossa pterigomaksilla dan membelah menjadi 6 cabang yaitu alveolar superior posterior, palatina decendens, infraorbital, sphenopalatina, pterygoid canal dan pharyngeal. Arteri palatina descendens melalui canalis palatina mayor dan sebagai suplai darah pada bagian dinding lateral kavum



11



nasi. Masuk kembali ke hidung melalui cabang dari foramen foramen incisive untuk mengirigasi septum anterior. Arteri sphenopalatina memasuki hidung melalui foramen sphenopalatina yang terletak kira-kira 10 mm secara dorsal ke garis teoritis yang ditarik antara kedua pasang posterior dari turbinat tengah dan bawah untuk mesuplai dinding hidung lateral, dan juga memiliki cabang ke septum. Arteri karotid internal mengirigasi hidung melalui arteri ophthalmic yang memasuki tulang orbita melalui fisura orbita superior dan terbagi menjadi beberapa cabang.6 Salah satunya, arteri ethmoid posterior yang keluar dari orbit untuk hidung melalui foramen ethomoid posterior, terletak 2 mm sampai 9 mm anterior ke kanal optik. Arteri ethmoid anterior keluar dari orbit melalui foramen ethmoid anterior. Kedua pembuluh darah tersebut melewati atap ethmoid untuk memasuki fossa cranial anterior dan kemudian turun ke rongga hidung di mana terbagi menjadi cabang lateral dan cabang septum untuk mesuplai dinding lateral hidung dan septum hidung. Plesus Kiesselbach atau Little Area, terletak di sepertiga bawah septum tulang rawan dan merupakan sumber yang paling sering untuk kebanyakan epistaksis anterior. Banyak dari arteri yang mesuplai septum memiliki anastomosis di pleksus ini. Mukosa yang menutupi area ini tipis dan rapuh dan pembuluh-pembuluh kecil yang mesuplai selaput lendir hidung memiliki dukungan struktural yang minimal. Kemacetan pembuluh darah yang disebabkan oleh kondisi seperti URI atau pengeringan mukosa dari kelembaban lingkungan yang rendah membuat daerah ini rentan terhadap perdarahan. Saraf sensorik mengikuti pola umum anatomis pembuluh darah.6



2.6



Manifestasi Klinis Manifestasi klinis pada epistaksis akan tergantung pada etiologi dan patofisiologi yang mendasarinya. Namun, pasen mungkin akan berubah secara emosional karena kehilangan darah yang bisa mereka amati. Kecemasan ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan takikardi.



12



Berdasarkan sumber perdarahan, epistaksis terbagi atas epistaksis anterior dan posterior.1 Pada epistaksis anterior, kebanyakan berasal dari Pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoidalis anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Perdarahan biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak-anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.1,2 Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis aau pasien dengan penyakit kardiovaskular karena pecahnya a. sfenopalatina.1



2.7



Penegakkan Diagnosis Pada anamnesis, ditanyakan mengenai beratnya perdarahan, frekuensi, durasi, riwayat perdarahan di hidung sebelumnya dan sumber perdarahan apakah dari depan atau dari belakang hidung. Pertanyaan selanjutnya yaitu mengenai tatalaksana awal yang dilakukan oleh pasien untuk menghentikan perdarahan. Riwayat trauma pada kepala dan leher sehingga menimbulkan gejala perdarahan pada hidung perlu ditanyakan kepada pasien. Selain itu, seorang dokter juga harus menanyakan mengenai kondisi medis yang menyertai (seperti hipertensi, aterosklerosis, koagulopati, penyakit hati), obat-obatan yang sedang dikonsumsi (seperti komadin, NSAID), riwayat merokok dan minum alkohol juga penting untuk ditanyakan.6 Pada pemeriksaan fisik, setelah memeriksa keadaan umum pasien dan memastikan tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada hidung. Hidung harus diperiksa dengan teliti untuk menentukan lokasi dan penyebab perdarahan. Lampu kepala dan spekulum hidung sebaiknya digunakan



13



untuk visualisasi yang optimal. Jika pasien mengalami trauma nasal, perhatikan adanya septal hematoma, yang tampak berupa massa hitamkebiruan pada septum anterior memenuhi kavum nasal. Terkadang dapat dilihat hemangioma mukosa atau teleangiektasis. Jika tidak dijumpai sumber perdarahan, namun dijumpai darah yang mengalir di tenggorokan, kemungkinan asal perdarahan dari daerah posterior. Pemeriksaan penunjang tidak diperlukan atau tidak membantu pada epistaksis untuk yang pertama kalinya atau jarang berulang dan disertai dengan riwayat mengorek hidung atau trauma terhadap hidung. Tetapi, pemeriksaan penunjang diperlukan bila terjadi perdarahan hebat atau dicurigai terdapat koagulopati.6 1) Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai kondisi pasien dan masalah medis penyebab epistaksis. Pemeriksaan ini tidak dilakukan bila perdarahan bersifat minor dan tidak berulang. Bila terdapat riwayat perdarahan yang berat dan berulang, kelainan platelet atau neoplasia dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Bleeding time digunakan untuk menilai kecurigaan terdapatnya kelainan perdarahan dan pemeriksaan INR



(International



Normalized



Ratio)



aPTT(activated



Partial



Thromboplastin Time) dan PT (Prothrombin Time) dilakukan bila pasien dicurigai mengonsumsi warfarin atau menderita penyakit liver.6,9 2) Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan CT-Scan dan MRI diindikasikan untuk menilai anatomi dan menentukan kehadiran dan perluasan dari rinosinusitis, benda asing dan neoplasma. 3) Nasofaringoskopi Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila tumor dicurigai sebagai penyebab perdarahan.



2.8



Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan epistaksis ada empat yaitu:  Langkah awal pertolongan pertama



14



 Pemantauan kehilangan darah  Evaluasi penyebab  Melakukan prosedur untuk menghentikan perdarahan Langkah awal pertolongan pertama pada pasien adalah pemeriksa memeninta pasien untuk dalam posisi duduk dengan badan membungkuk ke depan agar tidak tertelan darah. Kemudian minta pasien untuk menekan hidung secara bersamaan dan pasien diminta untuk bernafas lewat mulut (gambar 4.a). Menekan tulang hidung adalah cara yang salah dan tidak efektif (gambar 4.b). 4,7,8 A



B



Gambar 4. (a). Kompresi manual dengan tehnik yang benar. (b) kompresi manual dengan tehnik yang salah. 4 Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.1,4 Untuk mengevaluasi penyebab kita perlu untuk menghentikan perdarahannya



terlebih



dahulu.



Alat-alat



yang



diperlukan



untuk



pemeriksaan antara lain yaitu lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap. Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi adrenalin 1/50001/10.000 lalu dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pdaa saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon dibiarkan selama 10-15 menit lalu dibuka kemudian dilihat apakah perdarahan berasal dari anterior atau posterior.1



15



Gambar 5. Algoritma Tatalaksana Epistaksis9



2.8.1 Epistaksis Anterior Penatalaksanaan



pada



epistaksis



anterior



tidak



terlalu



membutuhkan perawatan medis yang intensif karena biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri. Pasien diminta untuk menekan hidung luar selama 10-15 menit dan seringkali berhasil.



Pada



epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan



16



jelas,dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu dan sesudahnya diberikan krim antibiotik. Bila



dengan



berlangsung,



kaustik



pendarahan



diperlukan pemasangan



anterior



masih



terus



tampon anterior dengan



kapas atau kain kasa sebanyak 2-4 buah yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotika. Pemakaian pelumasdiperlukan agar tampon mudah



dimasukkan



dan



tidak



menimbulkan pendarahan



baru



saat dimasukkan atau dicabut. Dapat juga dipakai tampon rolyang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm,diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung.Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapatdipertahankan selama 1-2 hari, setelah 1-2 hari, harus diambil untuk mencegahinfeksi hidung. Bila pendarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.1,6,9



Gambar 6. Pemasangan tampon anterior3



17



2.8.2 Epistaksis Posterior Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pernenikaaan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior dan biasanya ditangani oleh dokter spesialis. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan. 1,6 Posterior nasal packing atau tampon posterior dilakukan dengan memasukkan kateter melalui salah satu lubang hidung atau keduanya ke nasofaring dan keluar melalui mulut. Tampon kasa di kaitkan diujung kateter lalu ditempatkan di nasofaring posterior, lalu kateter ditarik dari hidung sehingga tampon kasa dapat berada di belakang koana dan menutupi aliran rogga hidung posterior serta memberikan efek penekanan pada sumber perdarahan. Bila masih ada perdarahan maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dan hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di ternpatnya. Benang lain yang keluar dan mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. 1,6 Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah



2-3



hari.



Hati-hati



mencabut



tampon



karena



dapat



menyebabkan laserasi mukosa. Bila perdarahan berat dan kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. 1,6 Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Akhir akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dan bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian



18



endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.sfenopalatina dengan panduan endoskop. 1,6



Gambar 6. Pemasangan tampon posterior3



2.9



Komplikasi Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menyebabkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.1 Pada kauterisasi dapat terjadi sinekia dan perforasi septum. Pada pemasangan tampon anterior juga dapat menyebabkan sinekia, rinosinusitis, sindrom shock toksik dan disfungsi tuba eustachius. Pemasangan tampon posterior dapat terjadi disfagia, luka pada ala nasi dan columela, hipoventilasi dan bisa terjadi tuli mendadak.3,7



19



2.10 Prognosis Prognosis pada kasus epistaksis umumnya adalah baik tetapi bisa jadi prognosisnya bervariasi. Penanganan yang bersifat suportif dan mengontrol penyakit yang mendasari dapat mengurangi perdarahan berulang. Sebagian pasien memiliki tingkat kekambuhan kecil yang dapat sembuh spontan atau membutuhkan perawatan yang minimal. Sebagian kecil lainnya perlu mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Faktor yang menyebabkan terjadinya perdarahan yang berulang yaitu usia, riwayat hipertensi sebelumnya, penggunaan obat antikoagulan, tanda-tanda vital pasien, jenis kemasan tampon dan riwayat epistaksis posterior yang berat sebelumnya.6



20



BAB III KESIMPULAN Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang dapt berlangsung ringan sampai dengan berat dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal.



Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Pendarahan ini dapat berhenti sendiri atau sampai harus segera diberi pertolongan. Pada kasus yang berat, pertolongan harus dilakukan di rumah sakit dengan orang yang yang berkompetensi pada bidang ini. Penentuan asal pendarahan pada kasus epistaksis sangat penting karena berkaitan dengan cara penatalaksanaannya. Untuk menghentikan pendarahan ini dapat dilakukan tampon anterior, kauterisasi dan tampon posterior.



21



DAFTAR PUSTAKA



1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2. Soto-Galindo GA, Treviño González JL. 2017. Epistaxis Diagnosis and Treatment Update: A Review. Annals of Otolaryngology and Rhinology Review. 4(4): 1176. 3. Kucik C., Clenney T. 2005. Management of Epistaxis. American Academy of Family Physician. 71(2). 4. Dhillon. R.S., East C.A. 2000. Ear, nose, and throat and Head and Neck Surgery Second Edition. China: Hartcourt Publishers. 5. Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006. 6. Bertrand B., Eloy Ph., Rombaux Ph., Lamarque C., Watelet JB., Collet S. 2005. Guideline of the management of epistaxis. 1:27-43. 7. Bull, Tony R. 2003. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th edition. New York: Thieme Stuttgart. 8. Van De Water, Thommas R., Staecker, Henrich. 2006. Otolaryngology Basic Sciene and Clinical Review. United States of America: Thieme Medical Publishers Inc. 9. Probst R., Grevers G., Heinrich I. 2006. Basic Otorhinolaryngology. New York: Geig Thieme Verlag Stuttgart .



22