THT Epistaksis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

http://jurnal.fk.unand.ac.id



Tinjauan Pustaka



Epistaksis Abstrak Latar belakang : Epistaksis adalah salah satu keluhan emergensi di departemen THT-KL. Kebanyakan kasus epistaksis dapat ditangani dengan tatalaksana sederhana namun dalam beberapa kasus dapat menjadi kondisi yag mengancam nyawa. Managemen epistaksis tergatung pada faktor yang mempengaruhinya dan memerlukan berbagai macam intervensi. Identifkasi penyebab epistaksi sagat penting dalam tatalaksana epistaksis nantinya. Tujuan: untuk mengetahui defenisi, epidemiologi,klasifikasi, etiologi dan faktor resiko, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, tatalaksana, dan prognosis serta komplikasi epistaksis. Tinjauan pustaka: Epistaksis dikelompokkan menjadi epistaksis anterior dan posterior. Epistaksis anterior sumber perdarahannya berasal dari pleksus Kisselbach dan arteri etmoid anterior, bersifat ringan, dan dapat berhenti spontan . Sedangkan, epistaksis posteroir sumber perdarahannya berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior, lebih berat, dan jarang berhenti spontan. Kesimpulan : Diagnosis dan terapi yang cepat dan tepat dapat mengurangi terjadinya komplikasi. Kata kunci: Epistaksis, terapi, tampon hidung



Abstract Epistaxis is one of the most common emergencies in ENT-HN Department. Mostly it can be managed with simple treament but occasionally it is life threatening condition Management of epistaxis is often challenging depends on many factors and requires many types of intervention. Identification of the cause is important as it is reflects the management followed. Objective: to determine defenition, epidemiology, classification, etiology and risk factors, pathogenesis, clinical manifestations, diagnosis, diagnostic tool, management, prognosis, and complication of epistaxis. Literature review: epistaxis classified into two part, they are anterior and posterior epistaxis. Source of bleeding in anterior epistaxis is Kiesselbach plexus and anterior ethmoidalis artery, usually has mild bleeding, and stop spontaneously . on the other hand, source of bleeding in posterior epistaxis is sphenopalatine artery and posterior ethmoidalis artery, usually have severe bleeding, and cannot stop spontaneously.Conclusion: early diagnosis and treatment can decrease the complication later. Keywords:epistaxis, intervention, nasal packs Affiliasi penulis : Arial 7 Korespondensi :Arial 7[Company



E-mail] Telp:



[Company Phone] Pendahuluan Epsitaksis atau perdarahan pada hidung merupakan salah satu gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien yang berobat ke bagian emergensi THT-KL. terdapat sekitar 10 hingga 12% populasi dunia memiliki keluhan epistaksis. Meskipun pada kebanyakan kasus keluhan ini dapat hilang dengan sendirinya, namun 10% dari total populasi yang mengalami keluhan memerlukan intervensi medis. 1 Epistaksis dapat bersumber dari bagian aterior ataupun posterior dari rongga hidung. Rongga hidung kaya akan pembuluh darah yang berasal dari cabang arteri karotis interna dan eksterna yang juga merupakan anastomose dari pleksus anterior dan superior. Pada kebanyakan kasus, sumber perdarahan berasal dari aterior yaitu dari plexus kiesselbach.2 Karena perdarahan pada anterior lebih mudah ditangani, epistaksis anterior yang sering muncul pada anakanak dan dewasa muda memiliki prognosis yang baik. Sebaliknya, epsitaksis posterior yang sumber perdarahannya berasal dari arteri sfenopalatina lebih sering muncul pada usia tua. Biasanya perdarahan lebih banyak dengan kesulitan untuk mengakses sumber perdarahan sehingga prognosisnya tidak sebaik epistaksis anterior. Epistaksis dapat disebabkan



oleh faktor lokal maupun sistemik. Namun, mayoritas pasien merupakan kasus yang idiopatik. Dalam tatalaksana epistaksis yang paling utama adalah resusitasi pasien, kemudian mengendalikan sumber perdarahan, dan terapi kausanya.3



Anatomi Mukosa hidung didarahi oleh cabang arteri karotis interna dan eksterna, namun didominasi oleh arteri karotis eksterna via arteri maksilaris dan arteri sfenopalatina. A.sfenopalatina memasuki bagian posterolateral hidung lewat fisura pterigomaksila. Meskipun terdapat banyak variasi pada a.sfenopalatina, namun secara umum dibagi menjadi cabang lateral dan medial. Cabang lateral mendarahi dinding lateral rongga hidung dan konka inferior, sedagkan cabang medial melewati dinding sfenoid anterior menuju septum nasi untuk kemudian bercabang menjadi tiga.4 Arteri karotis interna mendarahi hidung via a.oftalmika yang memasuki orbita lewat fisura orbital superior, kemudian berjalan di sisi anteromedial untuk menjadi a.etmoidalis anterior dan posterior. A.etmoidalis anterior merupakan cabang yang dominan sedangkan a.etmoidalis posterior tidak terdapat di hidung manusia sebanyak 30%.4 Pembuluh darah vena secara umum mengikuti arteri, namun sebagai tambahannya yaitu vena emisari yang Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)



1



http://jurnal.fk.unand.ac.id



menghubungkan drainase vena-vena ke pleksus kavernosus. Anastomose arteri dari pembuluh darah berdinding tipis banyak terdapat pada mukosa di septum nasi anterior yang disebut pleksus kiesselbach. Hal ini sering ditemukan pada pasien anak yang sering mengeluhkan epistaksis berulang. Selain itu, juga terdapat pleksus yang mudah dilihat saat endoskopi setelah pemberian vasokonstriktor pada mukosa , yang disebut dengan woodruff yang merupakan pleksus vena yang berdekatan dengan konka inferior yang menjelaskan penyebab terjadinya epistaksis posterior yang berat.4



skuamosamuncul sebagai rasa sesak hidung unilateral dengan epitaksis pada dewasa.5 (e)Obat-obatan seperti dekongestan topikal dan kokain. Penggunaan teratur lebih dari seminggu dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa yang menyebabkan krusta dan pendarahan di dalam hidung Selain itu, penggunaan kortikosteroid intranasal yang tidak benar untuk berbagai bentuk rhinitis, bisa mengakibatkan epistaksis.6 (f) Benda asing, dapat menyebabkan perdarahan ipsilateral, khususnya pada anak.6 (g) Faktor lingkungan, seperti udara dingin-panas dan kering. Epistaksis ringan dapat terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat dingin atau kering.8



Defenisi Faktor Sistemik Epistaksis berasal dari bahasa latin yaitu epistazein; epi berarti diatas dan over/stazein yang berarti menetes. Epistaksis berarti perdarahan dari dalam hidung atau kavum nasi.



Epidemiologi Epistaksis dapat muncul pada semua golongan usia, namun epistaksis rekuren sering muncul pada anakanak. Pada dewasa insiden meningkat seiring usia dengan puncak pada dekade ke-enam. Epistaksis pada usia di bawah 2 tahun sangat jarang terjadi dan dikaitkan dengan kondisi medis yang serius atau karena kasus child abuse.4 Epistaksis merupakan salah satu keluhan paling banyak di unit emergensi bagian THT-KL. Diperkirakan setidaknya terdapat satu episode epistaksis pada setengah populasi dunia.2



Etiologi Hidung mudah mengalami perdarahan karena terdapat banyak pembuluh darah di bawah mukosa hidung.5 Berbagai faktor yang menyebabkan perdarahan hidung pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.5-7 Selain itu, faktor lingkungan seperti alergen dan kelembaban juga harus dipertimbangkan.7Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya.7,8



Faktor Lokal Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain: (a) Trauma. Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan seperti mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau karena trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh, atau kecelakaan.8 (b) Kelainan infeksi atau inflamasi. Kondisi inflamasi misalnya pada infeksi saluran napas atas seperti rinitis atau sinusitis dapat menyebabkan epistaksis.5,6,8 (c)Gangguan anatomis. Deviasi dan perforasi septum nasal mempengaruhi pembuluh darah yang terdapat di mukosa dan juga aliran udara. Hal ini dapat menimbulkan krusta dan terkadang epistaksis.6 (d) Keganasan juga berhubungan dengan epistaksis yang umumnya ipsilateral.6 Pada Angiofibroma nasofaring juvenil, terjadi epistaksis berulang pada laki-laki remaja atau dewasa muda. Tumor ganas sepeti melanoma malignan dan karsinoma sel



Beberapa faktor sistemik yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain: (a) Kelainan darah, seperti leukemia, trombositiopenia, anemia, dan hemofilia.8 (b) Obat-obatan, seperti antiagregasi trombosit atau antikoagulan.6 (c) Infeksi sistemik, seperti demam berdarah, demam tifoid. Influensa dan morbili.8 (d) Penyakit kardiovaskuler. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah sepertiarteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis.8 (e) Kelainan kongenital seperti telangiektasis hemoragik herediter dan Von Willebrand disease.8



Patofisiologi Perdarahan hidung paling sering terjadi di Little’s areayang juga dikenal sebagai pleksus Kisselbach. Hampir 80-90% perdarahan hidung berasal dari daerah ini. Pleksus ini terletak di bagian anteroinferior hidung dan berikteraksi dengan udara yang dihirup.6 Little’s area memiliki suplai darah yang intens. Kebanyakan pembuluh darah di daerah tersebut terletak superfisial.2Selain itu, mukosa yang menutupinya tipis dan rapuh serta pembuluh darah kecil yang terdapat di sana hanya memiliki sedikit struktur penyokong. Oleh karena itu, kongesti pembuluh darah yang disebabkan oleh berbagai kondisi misalnya infeksi saluran napas atas atau keringnya mukosa karena rendahnya kelembaban udara akan menyebabkan area tersebut rentan mengalami perdarahan.9



Klasifikasi Berdasarkan asal perdarahannya, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.8Pembagian ini terletak pada apertura piriformis secara anatomis. Lebih dari 90% episode epistaksis terjadi sepanjang septum nasal anterior yang disuplai oleh pleksus Kisselbach. Pleksus Kisselbach merupakan jaringan anastomosis dari pembuluh darah yang terdapat di septum kartilago anterior.10 Epistaksis anterior sering bermula ketika pasien sedang duduk atau berdiri. Epistaksis anterior umum terjadi saat cuaca kering atau musim dingin ketika udara kering atau udara dalam ruangan yang telah dipanaskan mendehidrasi membran hidung. Kekeringan tersebut menghasilkan pengerasan dan keretakan mukosa, dan selanjutnya menyebabkan perdarahan hidung.11Perdarahan Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)



2



http://jurnal.fk.unand.ac.id



pada septum anterior biasanya ringan, seringkali berulang, dan dapat berhenti sendiri.8 Epistaksis posterior umumnya berasal dari arteri, yaitu arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.8,9 Perdarahan yang terjadi biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Epistaksis posterior lebih sering ditemukan pada orang tua, orang dengan hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskuler lainnya serta orang yang mengalami trauma hidung atau wajah.8,11 Selain itu epitaksis juga dapat dibagi menjadi epistaksis primer atau sekunder. Penyebab primer mencakup 85% dari kejadian epistaksis dan bersifat idiopatik. Sementara itu epistaksis disebut sekunder apabila terdapat sebuah penyebab yang jelas (misalnya trauma).10



Penegakan Diagnosis Diagnosis epistaksis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, apabila diperlukan. Pada anamnesis biasaya pasien datang dengan keluhan keluar darah dari hidung atau adanya riwayat keluar darah dari hidung. Harus ditanyakan secara spesifik lokasi keluarnya darah (depan rongga hidung atau ke tenggorok), banyaknya perdarahan, frekuensi, dan lama perdarahan.12 Selain itu, perlu digali faktor risiko pasien, seperti adanya trauma, penyakit di hidung yang mendasari, penyakit sistemik, riwayat penggunaan obat-obatan (NSAID, obat antikoagulan), tumor, kelainan kongenital, deviasi septum, pengaruh lingkungan, ataupun faktor kebiasaan.12 Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan : Rinoskopi anterior untuk mencari sumber perdarahan. Rinoskopi posterior, pada pasien dengan epistaksis berulang dan dicurigai adanya tumor. Pemeriksaan lainnya adalah pengukuran tekanan darah, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis posterior yang hebat dan berulang.12 Pemeriksaan penunjang dilakukan pada keadaan tertentu, dan bila diperlukan. Seperti pemeriksaan darah perifer lengkap, skrining koagulopati (waktu perdarahan, waktu pembekuan).12



Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah memperbaiki keadaan umum, mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi serta mencari faktor penyebab untuk mencegah perdarahan berulang.8 Apabila datang pasien dengan epistaksis, perlu dilakukan penilaian keadaan umum dan tanda vital pasien. Pasien dengan perdarahan aktif perlu dinilai apakah memerlukan resusitasi cairan. Pasien diperiksa dalam posisi duduk, namun jika pasien tampak lemah, maka boleh berbaring dengan kepala ditingggikan. Pasien dengan epistaksis ringan, perdarahannya dapat dikontrol dengan



menekan cuping hidung ke arah septum selama 3-5 menit (metode Trotter).12,13 Apabila perdarahan tidak berhenti, dapat diberikan anestesi lokal dan vasokonstriktor di mukosa hidung “little’s area “ yaitu bagian bawah dari septum anterior. Kapas dibasahi dengan larutan pantokain 2% sebanyak 2 cc atau lidokain 2% sebanyak 2cc dan adrenalin 1/5000-1/10.000, kemudian dimasukkan ke dalam hidung selama 10-15 menit, lalu dievaluasi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi rsa nyeri dan membuat vasokonstriksi pembuluh darah, sehingga perdarahan dapat berhenti. 12,13 Selanjutnya diidentifikasi sumber perdarahan dengan melakukan pemeriksaan rinoskopi anterior. Sekret dan bekuan darah dievakuasi dengan alat penghisap (suction).12



Epistaksis Anterior Apabila sumber perdarahan dapat terlihat dengan jelas, dapat dilakukan kaustik kimia dengan menggunakan lidi kapas yang dibasahi dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30% atau asam trikloroasetat 10% selama 5-10 detik. Larutan tersebut akan bereaksi dengan lapisan mukosa mengakibatkan kerusakan lokal. Setelah itu, srea tersebut diberi krim antibiotik. Kaustik hanya dapat dilakukan pada satu sisi septum, karena adanya risiko perforasi septum akibat berkurangnya vaskularisasi kartilago septum . Sehingga terapi kaustik direkomendasikan dengan interval 4-6 minggu.3 Dapat juga dilakukan elektrokauter pada perdarahan yang lebih berat dan dengan lokasi lebih ke posterior. Tindakan ini memerlukan anestesi lokal.9 Apabila perdarahan masih terus berlangsung, dilakukan pemasangan tampon anterior, yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas bertujuan untuk mempermudah pemasangan tampon, sedangkan salep antibiotik bertujuan untuk mencegah terjadinya sindrom syok toksik akibat infeksi sekunder oleh Stafilokokus aureus. Bakteri ini memproduksi eksotoksin yang beredar secara sitemik, yang akan menimbulkan gejala demam, kemerahan, hipotensi, gangguan gastrointestinal, perubahan status mental.14 Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Teknik lain yaitu menggunakan potongan sarung tangan jari yang diisi pita kasa. Tampon harus menekan sumber perdarahan, dan dipertahankan selama 2x24 jam. Selama 2 hari tersebut dicari faktor penyebab epistaksis. Selama pemakaian tampon diberikan antibiotik sistemik dan analgetik.2 Antibiotik sistemik direkomendasikan untuk mencegah timbulnya rhinosinusitis.14



Epistaksis Posterior Untuk menghentikan perdarahan posterior, dilakukan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus dengan diameter 3 cm. Pada tampon diikat 3 Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)



3



http://jurnal.fk.unand.ac.id



buah benang, 2 benang pada 1 sisi, dan 1 benang pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana posterior.8,12



penggunaan obat yang dapat meningkatkan perdarahan , seperti aspirin, ibuprofen.13



Teknik pemasangan tampon posterior yaitu; (1) Masukkan kateter karet melalui nares anterior sampai orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut, (2) pada ujung kateter ikatkan 2 benang tampon Bellocq, kemudian tarik kembali kateter melali hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik, (3) Tampon perlu didorong dengan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole dan masuk ke nasofaring, apabila masih tampak perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi, (4) ikat kedua benang yang keluar dari hidung pada gulungan kain kasa di depan nares anterior, agar tampon tidak bergerak. (5) Benang lain yang keluar dari mulut, ikatkan secara longgar di pipi pasien, yang berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setalah 2-3 hari.8,12



Kriteria Rujukan



Selain itu, dapat juga digunakan kateter folley yang dimasukkan melalui nares anterior sapai terlihat di orofaring. Kemudian balon dikembangkan dengan air atau udara 3-4 ml, kemudian ditarik lagi sampai balon berada di koana posterior.13



Kriteria rujukan pasien dengan epistaksis adalah: (1) apabila diperlukan mencari sumber perdarahan dengan modalitas yang tidak tersedia di layanan primer, misalnya nasoendoskopi. (2) Pasien epistaksis akibat curiga tumor di kavum nasi atau nasofaring. (3) Epistaksis yang terus berulang atau masif.



Komplikasi dan Prognosis Komplikasi yang dapat terjadi dibagi menjadi : (1) Komplikasi akibat epistaksis berupa aspirasi ke dalam saluran napas, anemia, hipotensi, syok, gagal ginjal, iskemia serebri, infark miokard.12 (b) Komplikasi akibat pemasangan tampon anterior timbul obstruksi sinus, rinosinusitis; akibat pemasangan tampon posterior timbul otitis media, hemotimpanum, laserasi palatum mole dan sudut bibir apabila benang yang dikeluarkan melalui mulut ditarik terlalu kencang.13 Selain itu dapat terjadi sindrom syok toksik akibat infeksi sekunder oleh Staphylococus aureus. Prognosis epistaksis umumnya baik, apabila penyebab epistaksis dapat diidentifikasi dan dikontrol.



Pembedahan



Daftar Pustaka



Apabila perdarahan tetap berlangsung setelah tampon dibuka, maka diperlukan intervensi bedah. Secara umum, intervensi bedah dibagi menjadi tiga macam yaitu, diatermi, operasi septum untuk mengkoreksi septum deviasi atau menghilangkan spur septum, dan ligasi arteri. Ligasi yang dapat dilakukan diantaranya ligasi arteri sfenopalatina, ligasi arteri etmoidalis anterior/posterior, ligasi arteri maksilaris, dan ligasi arteri karotid eksterna.13



1.



Pilihan lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi epistaksis adalah adalah; (1) Embolisasi angiografi yaitu dengan memasukkan kanul melalui arteri maksilaris, kemudian dilakukan embolisasi sumber perdarahan, (2) Fibrin glue (berasal dari human plasma cryoprecipitate), (3) Elektrokauter endoskopi, (4) irigasi air panas, merupakan tatalaksana alternatif epistaksis posterior, dimana kateter menyumbat koana posterior,selanjutnya dengan irigasi air panas 45-50 derajat celcius ke dalam nares, (5) Laser menggunakan neodymium yttrium-aluminium-garnet, dengan tujuan melakukan ligasi jaringan dan pembuluh darah yang rapuh. Laser merupakan terapi pilihan untuk kasus epistaksis rekuren.14,16



Konseling dan Edukasi Konseling dan edukasi yang diberikan dapat berupa identifikasi penyebab epistaksis, sehingga dapat mencegah epistaksis berulang, mengontrol tekanan darah pada pasien hipertensi, menghindari membuang sekret hidung terlalu keras, menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, pengawasan ketat pada anak, membatasi



Traboulsi H, Alam E, Hadi U. Changing trends in the management of epistaxis. International Journal of Otolaryngology vol. 2015 2. Tikka T. The aetiology and management of epistaxis, otolaryngology online journal vol 6 issue 2: 104, 2016 3. Parajuli R. Evaluation of etiology and treament Methods for Epistaxis: A Review at a Tertiary Care Hospital in central Nepal, International Journal of Otolaryngology, 2015 4. Swift A C. Epistaxis. The Otorhinolaryngologist 2012;5(3): 129-132. Aintree University Hospital. Lower Lane,Liverpool 5. Cho JH, Kim YH. Epistaxis. 2012 May (diunduh 30 April 2017). Tersedia dari: URL: HYPERLINK https://www.intechopen.com/books/otolaryngo logy/epistaxis 6. Gökdoğan O, Ileri F. Epistaxis: a review of clinicalpractice. Ann Otolaryngol Rhinol. 2016;3(10):1139. 7. Kucik CJ, Clenney T. Management of epistaxis. Am Fam Physician. 2005;71(2):305-11. 8. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2012. p 131-5. 9. Bertrand B, Eloy P, Rombaux P, Lamarque C, Watelet JB, Collet S.Guidelines to the management of epistaxis. B-ENT. 2005;1(1):27-43 10. Yau S. An update on epistaxis. 2015 (diunduh 30 April 2017). Tersedia dari: URL: HYPERLINK Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)



4



http://jurnal.fk.unand.ac.id



11.



12. 13.



14.



15.



http://www.racgp.org.au/afp/2015/september/anupdate-onepistaxis/ American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery. Nosebleeds. 2015 (diunduh 30 April 2017). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://www.entnet.org/content/nosebleeds Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi 2014. p 395- 400. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: an update on current management. Postgrad Med J 2005;81; p 30914. Viehweg TL, Roberson JB, Hudson JW. Epistaxis: Diagnosis and Treatment. Journal of Oral Maxillofacial Surgery. 2006.64:511-8. Hill CS, Hughes O. Update on management of epistaxis. The West London Medical Journal.2009. Vol 1.pp 33-41



Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)



5