Referat Final TMS [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Nyeri merupakan fenomena multidimensi yang melibatkan komponen sensorik, afektif, lingkungan dan kognitif. The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman emosi atau sensorik yang tidak menyenangkan yang disertai atau tidak kerusakan jaringan (Shipton, 1999). Pengelolaan nyeri khususnya tipe kronis, sampai sekarang dapat dikatakan belum memuaskan. Hal tersebut akibat fenomena nyeri itu sendiri yang begitu komplek (Meliala, 2008). Dikatakan nyeri kronis jika berlangsung selama 6 bulan atau lebih dan tidak berespon baik terhadap pengobatan yang saat ini diberikan dan dapat berlangsung sepanjang kehidupan (Weiner, 2008). Nyeri kronis masih menjadi masalah kesehatan umum baik di negara bekembang maupun negara maju yang diderita oleh 17,1% laki–laki dan 20% perempuan di Australia. Di Inggris kejadian nyeri kronis setiap tahunnya berkisar 8,3% dan prevalensi nyeri punggung sendiri di Swedia berkisar 23% . Nyeri kronis menyebabkan masalah finansial dan disabilitas (Pridmore et al., 2005). Di Amerika nyeri merupakan silent epidemic dan diperkirakan lebih dari 100 juta orang dewasa di Amerika sekitar 51% dari 215 juta populasi usia lebih dari 20 tahun mengalami nyeri pada satu atau beberapa bagian tubuh termasuk persendian, leher, punggung bawah, nyeri kepala / migrain. Lebih dari 25 % orang dewasa berusia lebih dari 40 tahun mengalami nyeri punggung bawah dan 25 %



2



wanita berusia 20 hingga 39 tahun mengalami nyeri kepala atau migrain (Anonim, 2008). Crook et al. ( 1998 ), dalam penelitian terhadap 372 keluarga di Canada didapatkan 24% dari keluarga tersebut memiliki paling sedikit satu orang anggota keluarga menderita nyeri yang menetap. Sebanyak 70% mengalami nyeri menetap dan membutuhkan bantuan medis, 60% minum obat secara rutin dan diperhitungkan bahwa rata-rata kejadian nyeri menetap menurut survei populasi adalah sekitar 11%. Andersen & Worm-Petersen (1988), melakukan penelitian terhadap 3.196 orang dewasa yang tinggal di Copenhagen dan menemukan prevalensi nyeri kronis sekitar 30%. Nyeri, terutama nyeri kronis merupakan penyebab utama penderitaan, kecacatan dan kehilangan pekerjaan. Prevalensi nyeri kronis meningkat pada populasi usia tua, yang berdampak secara dramatis pada sistem layanan masyarakat dan kesehatan di seluruh dunia. Nyeri kronis saat ini juga sudah menjadi salah satu problem kesehatan masyarakat (Peter, 2010) Terapi dan perbaikan nyeri kronis masih menjadi tantangan yang serius khususnya bagi negara-negara industri. Nyeri kronis tersebut memiliki dampak negatif yang besar bagi industri terutama jika nyeri kronis diderita oleh orang dalam usia produktif (Peter, 2010) . Hampir setiap studi epidemiologi pada nyeri kronis dan kecacatan telah dilakukan pada populasi pekerja, karena tingginya prevalensi gangguan nyeri tulang belakang yang menyebabkan nyeri kronis sebagai penyebab pertama dari



3



kompensasi ekonomi dan kecacatan. Sebuah penemuan penting bahwa lebih dari 7,4% biaya telah di klaim untuk biaya kompensasi gangguan tulang belakang yang menyebabkan nyeri kronis yang membuat para pekerja tersebut harus berhenti bekerja untuk sementara waktu sekitar 6 bulan. Hal ini tentu sangat memberi dampak yang merugikan bagi industri sehingga dibutuhkan pendekatan terapi baru untuk deteksi dan terapi awal pada nyeri kronis ini (Ruiz-López, 1995). Telah banyak studi yang dilakukan mengenai terapi nyeri kronis tetapi sampai saat ini pilihan terapi masih terbatas. Sementara itu lamanya gejala cenderung membuat rasa sakit semakin resisten terhadap pengobatan (Fregni et al., 2007). Secara farmakologi pengurangan rasa nyeri terutama nyeri kronis kurang memuaskan. Pada beberapa individu tidak dapat mencapai pengurangan rasa nyeri yang signifikan. Dalam beberapa penelitian dan menurut pedoman European Federation of Neurological Societies (EFNS) hanya sekitar 30–40% pasien dengan nyeri kronis dapat mencapai target mengurangi rasa nyeri dengan farmakoterapi (Crucu et al., 2007). Terapi tambahan seperti terapi fisik dan terapi psikologi juga sering digunakan tetapi terapi ini tidak cukup jika digunakan pada orang dengan nyeri yang hebat. Selain itu beberapa terapi yang bersifat agresif seperti pembedahan lesi yang bertujuan mengurangi rasa nyeri khususnya nyeri neuropati yang sebelumnya banyak dilakukan kini mulai ditinggalkan. World Health Association (WHO) telah mempublikasikan langkah-langkah pendekatan terapi nyeri yang sederhana dan telah tervalidasi yang di kenal dengan



4



three-step ladder WHO yang terbukti efektif dalam mengurangi nyeri pada 90 % pasien dengan nyeri kanker. Prinsip dasar tiga langkah menurut WHO tersebut meliputi (1) pemilihan analgetik yang sesuai dengan intensitas nyeri, (2) titrasi dosis analgetik opioid yang sesuai bersifat individu dan (3) penambahan terapi adjuvant baik farmakoterapi maupun nonfarmakoterapi (Internist extra, 2010). Salah satu terapi adjuvant non farmakologi untuk nyeri adalah dengan teknik



noninvasive



brain



stimulation



(neurostimulasi)



seperti



repetitive



transcranial magnetic stimulation (rTMS) yang dapat membantu brain plasticity dan modifikasi eksitabilitas neuron. Teknik ini sebenarnya bukan temuan baru dalam terapi nyeri kronis oleh karena temuan bahwa teknik noninvasive brain stimulation (neurostimulasi) dapat membantu memperbaiki sistem modulasi, menyebabkan teknik ini menjadi alternatif baru dalam pengobatan terapi nyeri kronis (Fregni et al., 2007). Terapi neurostimulasi makin banyak digunakan. Di samping sebagai pengganti terapi bedah yang bertujuan mengurangi nyeri, neurostimulasi ini juga sering digunakan pada kondisi penyakit parkinson, distonia, obsesif kompulsif, nyeri berulang, epilepsi, migrain. Teknik neurostimulasi yang bertujuan untuk menghilangkan nyeri antara lain: transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), peripheral nerve stimulation (PNS), nerve root stimulation (NRS), spinal cord stimulation (SCS), deep brain stimulation (DBS), epidural motor cortex stimulation (MCS), repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS), transcranial direct cortical stimulation (tDCS).



5



Transcranial magnetic stimulation (TMS) pertama kali diperkenalkan oleh Anthony Barker pada tahun 1985. Transcranial magnetic stimulation (TMS) merupakan metode noninvasif yang aman dan tidak menimbulkan rasa nyeri seperti pada Transcranial electrical stimulation (TES). Metode ini mengaktivasi kortek motorik manusia dan dapat menilai keutuhan jalur motorik sentral. Penggunaan teknik ini bertujuan untuk menghasilkan efek analgetik dengan cara menstimulasi kortek. Teknik ini dapat diberikan dengan cara stimulasi tunggal (single stimuli), stimulasi berpasangan atau yang dikenal dengan pairs stimulation atau secara trains of stimuli (repetitive TMS). Repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS) dapat memodifikasi eksitabilitas kortek serebral pada daerah stimulasi dan juga pada daerah yang jauh dari tempat stimulasi sepanjang hubungan fungsional anatomi. Teknik rTMS juga dapat menghasilkan efek terapi yang lebih lama dibanding stimulasi tunggal (Kobayashi & Pascual-Leone, 2003). Sejak alat ini diperkenalkan penggunaan TMS secara klinis dalam bidang neurophysiology, neurologi, neuroscience dan psikiatri telah tersebar luas. Sebagian besar masih dalam penelitian. Meskipun TMS telah banyak digunakan, namun bagaimana pengaruh TMS terhadap nyeri khususnya nyeri kronis masih menjadi perdebatan (Kobayashi & Pascual-Leone, 2003).



6



B. Perumusan Masalah Dari uraian d iatas maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan sebagai berikut: (1.)



Nyeri kronis merupakan penyebab utama penderitaan, kecacatan, dan



(2.)



kehilangan pekerjaan. Terapi nyeri kronis banyak pilihan, tetapi respon terapi sering tidak



(3.)



memuaskan. Terapi nyeri kronis secara farmakologis dihadapkan pada kemungkinan



(4.)



efek samping yang ditimbulkan. Transcranial magnetic stimulation merupakan salah satu jenis terapi non farmakologis yang sudah banyak diterapkan dibidang neurologi, namun peranan pada nyeri kronis masih belum banyak diketahui. C. Tujuan Penulisan Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh transcranial



magnetic stimulation (TMS) yang diberikan secara berulang (repetitive) / rTMS dalam terapi nyeri kronis. D. Manfaat Penulisan (1.)



Sebagai tambahan pengetahuan bagi para klinisi tentang penggunaan trancranial magnetic stimulation (TMS) dengan teknik repetitive



(2.)



transranial magnetic stimulation (rTMS) dalam terapi nyeri kronis. Menunjang penggunaan TMS di poli penyakit syaraf RS. Dr. Sardjito.



BAB II PEMBAHASAN



7



A.Nyeri kronis Nyeri kronis ditetapkan sebagai kelainan proses somatosensori yang berkelanjutan melebihi waktu yang telah ditetapkan sebagai nyeri akut. Nyeri kronis muncul dari disfungsi sistem saraf bersifat samar, sangat mengganggu dan sukar untuk di lokalisir sehingga sering sulit untuk didiagnosis. Menurut Shipton (1999), dikatakan nyeri kronis jika nyeri masih dirasakan diluar dari batas waktu nyeri akut atau berulang setiap bulan atau tahun. Nyeri kronis berlangsung selama 6 bulan atau lebih dan tidak berespon baik terhadap pengobatan yang saat ini diberikan dan dapat berlangsung sepanjang kehidupan (Weiner, 2008). PERDOSSI (2011), mendefinisikan nyeri kronis jika berlangsung lebih dari 3 bulan. Nyeri akut jika tidak diatasi dengan baik dapat menyebabkan perubahan pada sistem saraf pusat misalnya perubahan pada kornu dorsalis dimana nyeri nosiseptik yang dihasilkan dari perifer bertahan lebih lama. Lesi pada sistem saraf dapat menghasilkan nyeri kronis dimana tidak terdapat bukti patologis pada tempat yang nyeri misalnya pada phantom limb pain, trigeminal neuralgia. Nyeri diketahui bersifat individual hal ini dibuktikan pada percobaan di laboratorium yang dilakukan pada tikus menunjukkan pada beberapa tikus lebih cenderung untuk menderita nyeri. Diperkirakan lebih dari 10% populasi umum nyeri kronis dihasilkan dari stimulus noksius dimana pada individu normal nyeri tersebut hanya dirasakan dalam waktu yang singkat, tetapi pada beberapa orang nyeri berlangsung lama. Respon afektif terhadap stimulus noksius berhubungan dengan faktor genetik, pengalaman masa lalu, mood dan interpretasi seseorang terhadap



8



nyeri. Faktor lingkungan juga dapat memainkan peranan yang cukup penting terhadap nyeri (Weiner, 2008). 1. Fisiologi Nyeri Sebelum menjadi persepsi nyeri, sinyal nosisepsi akan menjalani empat proses yang berbeda yang dikenal sebagai transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi adalah proses dimana energi dari stimulus mekanik, suhu, atau kimia diubah menjadi aktivitas elektrofisiologis dari perifer ke medula spinalis. Transmisi adalah penjalaran sinyal elektrofisiologis dari perifer ke medula spinalis, dari medula spinalis ke batang otak dan thalamus dan akhirnya ke kortek (Serge, 2010). Modulasi merupakan aktivitas saraf yang akan mengontrol transmisi nyeri sebelum dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Kemampuan sel-sel saraf pada kornu posterior medula spinalis mengontrol / memodulasi rangsang nyeri sebelum dilanjutkan ke atas, pada gilirannya memberikan perbedaan persepsi nyeri terhadap rangsang nyeri yang sama. Modulasi terjadi pada tingkat sistem saraf pusat dan akan menyebabkan peningkatan atau penurunan aktivitas neuron. Sebagaimana disebutkan pada bagian berikutnya, baik mekanisme eksitatorik dan inhibitorik mempunyai peran penting dalam kondisi nyeri kronis (Serge, 2010). Persepsi nyeri adalah puncak dari proses transduksi yang bersifat sementara atau berkelanjutan yang diterima oleh nosiseptor perifer. Persepsi nyeri dimulai dengan aktifasi nosiseptor perifer dan konduksi melalui serabut saraf Aδ dan serabut saraf C ke ganglion dorsalis. Dari sini sinyal berjalan ke traktus spinotalamikus menuju thalamus dan kortek somatosensori (Shipton, 1999).



9



Nosiseptor dapat bersifat spesifik terhadap satu stimulus nyeri atau dapat berespon terhadap beberapa stimulus nyeri seperti mekanik, termal, kimia atau stimulus listrik yang disebut wide dynamic range (WDR) (Greene, 2010). Cara yang baik untuk memahami fisiologi nyeri adalah dengan mengikuti jaras sinyal nosisepsi dari perifer ke otak, dengan penekanan pada integrasi dan modulasi sinyal nosisepstif pada berbagai tahap sistem saraf pusat (Serge, 2010). Jaras nosiseptif perifer ke otak dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.



Gambar 1. Jaras nosiseptik dari perifer ke otak PAG = periaquaduktal gray NRM = nucleus raphe magnus (Sumber :Serge, 2010). Serabut Aδ dan C merupakan sinaptik pertama dengan proyeksi saraf di kornu dorsalis pada medula spinalis. Saraf kedua akan menyilang pada medula spinalis dan menghubungkan ke nukleus thalamus. Neuron ketiga akan diproyeksikan ke kortek somatosensoris (S1-S2) merupakan komponen sensori diskriminatif untuk nyeri dan struktur limbik, anterior cortex cingula (ACC) dan insula sebagai komponen afektif untuk nyeri.



10



Stimulus nosiseptif mekanis, kimia atau suhu akan diterima oleh nosiseptor perifer yang kemudian akan melakukan konduksi sinyal nosiseptif di neuron primary afferen menuju kornu dorsalis medula spinalis. Pada kornu dorsalis neuron aferen primer akan melakukan kontak sinaptik dengan neuron sekunder. Neuron sekunder dari traktus spinotalamikus lateral dan spinoretikular medial akan menyilang di medula spinalis dan mengirimkan proyeksi eferen ke pusat– pusat yang lebih tinggi. Sebagian besar aferen akan membuat sinap kedua di nukleus lateral dan medial thalamus yang kemudian akan membuat kontak sinaptik dengan neuron ketiga. Penting untuk mengingat bahwa neuron sekunder juga bersinap dengan neuron di berbagai nukleus di batang otak termasuk periaquaductal gray (PAG) dan daerah nucleus raphe magnus (NRM) yang terlibat dalam modulasi nyeri endogen desenden. Neuron ketiga di thalamus mengirimkan aferen ke kortek somatosensoris primer dan sekunder (S1 dan S2). Kortek S1 dan S2 terlibat dalam kualitas sensoris dari nyeri yang mencakup lokasi, durasi dan intensitas. Neuron ketiga juga berproyeksi ke sistem limbik termasuk anterior cingulated cortex (ACC) dan insula yang terlibat dalam komponen afektif atau emosional dari nyeri. Berbagai kontak sinaptik dengan neuron eksitatorik dan inhibitorik pada berbagai tingkat sistem saraf pusat adalah daerah integrasi yang penting yang merupakan target untuk sebagian besar pendekatan farmakologis (Serge, 2010). 2. Patofisiologi nyeri kronis Lesi pada jaringan dapat berlangsung singkat dan bila lesi sembuh nyeri akan hilang, akan tetapi jika lesi tersebut berkepanjangan dan menjadi kronis



11



menyebabkan neuron-neuron di kornu dorsalis dibanjiri potensial aksi yang mengakibatkan terjadinya sensitisasi neuron – neuron tersebut. Sensitisasi neuron di kornu dorsalis menjadi penyebab timbulnya alodinia dan hiperalgesia sekunder (Shipton, 1999). Respon nosiseptor ditransmisikan dari perifer ke sistem saraf pusat (kornu dorsalis) melalui serabut saraf bermielin (tipe A delta) maupun tanpa mielin (tipe C). Reseptor nosiseptor di samping sebagai penerima impuls juga dapat berperan sebagai neuroefektor yang mampu melepaskan neuropeptid seperti substansi P dan CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide) paska trauma atau inflamasi. Fungsi sebagai neuroefektor ini sebenarnya berguna untuk mencegah atau mengurangi efek merugikan dari trauma atau lesi dan mempercepat penyembuhan. Pada beberapa keadaan patologik fungsi tersebut sebaliknya menyebabkan rasa nyeri terutama pada nyeri kronik (Greene, 2010). Perbedaan yang mendasar antara patofisiologi nyeri akut dan nyeri kronis adalah keterlibatan reseptor NMDA. Pada nyeri kronis ada proses yang disebut sebagai sensitisasi sentral yang berlangsung beberapa detik (wind-up) sampai beberapa jam (Long Term Potentiation) atau LTP. Aktivasi reseptor NMDA akan menyebabkan timbulnya slow excitatory post synaptic potential yang sangat berperan dalam proses terjadinya nyeri kronis. Aktivitas NMDA yang lama juga akan menginduksi transkripsi ekspresi gen (c-fos dan c-jun) secara cepat menyebabkan sensitisasi nosiseptor. Plastisitas neuronal dari neuron sekunder ini akan menyebabkan penurunan ambang stimulus atau aktifitas spontan neuron tersebut di medula spinalis. Fenomena wind-up adalah peningkatan jumlah aksi



12



potensial progresif yang di produksi oleh neuron-neuron kornu dorsalis, disebabkan karena banjirnya stimuli yang dihantarkan oleh serabut saraf C. Stimuli tersebut menyebabkan kepekaan neuron kornu dorsalis meningkat mengakibatkan terjadinya sensitisasi sentral. Aktivitas serabut saraf C menyebabkan pelepasan glutamat yang secara langsung bereaksi terhadap reseptor AMPA (α-amino-3-hydry-5-methyl-4-isoxazole propionic acid), yang terjadi dalam beberapa milidetik. Glutamat juga bereaksi dengan NMDA yang membutuhkan waktu lebih banyak yaitu dalam ratusan milidetik (Meliala, 2008). Disamping



glutamat,



serabut



C



juga



melepaskan



tachynin



yang



membutuhkan waktu lebih lagi yaitu puluhan detik untuk bereaksi terhadap reseptor neurokinin. Pelepasan glutamat dan tachynin yang simultan terhadap serabut saraf C akan menyebabkan timbulnya synaptic currents baik yang lambat maupun yang cepat secara bersamaan. Proses ini yang disebut dengan istilah long term potentiation (LTP) (Meliala, 2008). Proses wind-up dan LTP mirip karena sama-sama bergantung pada aktivitas reseptor NMDA namun lama keberadaannya berbeda. wind-up akan menyebabkan kepekaan neuron meningkat selama input atau stimulus masih ada. Long term potentiation (LTP) juga menambah kepekaan neuron yang masih terjadi walaupun stimuli sudah hilang. Proses di atas menggambarkan mekanisme hiperalgesia sekunder yang terjadi pada nyeri kronis (Meliala, 2008). Proses sensitisasi sentral dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini.



13



Gambar 2. Sensitisasi sentral (Serge, 2010). Proses sensitisasi sentral terjadi pada saat neuron kedua di medula spinalis mengubah pengeluaran discharge secara frekuen mengikuti rekruitment yang menetap dari nosiseptif aferen primer. a) Pada gambar ini kita dapat melihat discharge yang dikeluarkan oleh nosiseptif aferen primer (serabut saraf C) yang akut akan menginduksi pelepasan peptide (substansi P, CGRP) dan glutamat yang nantinya akan merekrut neurokinin-1 (NK 1) dan reseptor AMPA. b) Pelepasan yang terus-menerus akan merekrut reseptor NMDA dan memproduksi sensitisasi pada saraf



kedua yang akan mengeluarkan discharge pada frekuensi tinggi



saat direkrut oleh nosiseptif (hiperalgesia) dan stimulasi non nosiseptif (alodinia). Secara umum kejadian ini bersifat sementara namun dapat menetap untuk jangka waktu yang lama dan berperan dalam kejadian nyeri kronis.



14



Pada nyeri kronis, di samping



hiperalgesia sekunder



juga terdapat



alodinia yaitu nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri. Prinsip terjadinya alodinia ialah impuls yang dijalarkan oleh serabut Aα yang biasanya berupa sentuhan halus atau rabaan yang dalam keadaan



normal dirasakan sebagai



rabaan



atau sentuhan akan tetapi pada



alodinia dirasakan sebagai nyeri. Terjadinya alodinia oleh karena sensitisasi sentral (wind-up) menyebabkan neuron di kornu dorsalis terutama WDR menjadi sangat peka dan akibatnya daerah penerimaan impuls noksius meluas (perluasan receptive field), peningkatan jumlah potensial aksi sebagai respon terhadap stimuli noksius dan perlangsungannya lebih lama. Peningkatan respon terhadap stimuli ini dapat mencapai 20 kali lipat dari normal, penurunan nilai ambang sehingga stimuli non noksius mampu menimbulkan persepsi nyeri. Perubahan fenotip / reorganisasi serabut Aβ juga merupakan penyebab terjadinya alodinia. Dalam keadaan normal serabut Aβ tidak mengeluarkan substansi P akan tetapi dengan adanya lesi atau inflamasi di jaringan atau sistem saraf, serabut ini mampu mengeluarkan substansi P. Bila inflamasi sembuh maka hiperalgesia dan alodinia juga hilang khususnya pada nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi. Lain halnya dengan nyeri neuropati dimana hiperalgesia dan alodinia bisa terus berlanjut. Hal ini terutama disebabkan sumber impuls pada nyeri neuropati tetap ada yaitu yang datang dari perifer berupa ectopic discharge. Serabu–serabut saraf C masuk ke kornu dorsalis dan bersinapsis di lamina I dan II.



15



Pada beberapa keadaan lesi serabut saraf aferen baik oleh karena inflamasi maupun neuropati akan menyebabkan kematian serabut saraf



C. Hilangnya



serabut saraf C menyebabkan hubungan sinapsis kosong dan hal ini memacu sprouting Aβ untuk mengisi kekosongan tersebut terutama dilamina II, dengan demikian impuls yang dibawa oleh



Aβ (sentuhan, rabaan) yang diterima di



lamina I dan II diterjemahkan oleh neuron di kornu dorsalis sebagai nyeri atau alodina (Meliala, 2008). Hilangnya kontrol inhibisi juga menyebabkan terjadinya alodinia. Impuls perifer yang datang di kornu dorsalis biasanya berupa eksitasi. Impuls tersebut sebelum dijalarkan ke otak selalu dimodifikasi oleh serabut saraf intersegmental atau serabut saraf desendens yang bersifat inhibisi. Neurotransmiter inhibisi umumnya GABA atau glycin. GABA dan glycin berfungsi untuk mempertahankan potensial



membran



mendekati



potensial



istirahat



atau



menyebabkan



hiperpolarisasi. Pada nyeri kronik khususnya nyeri neuropati terlihat adanya penurunan aktivitas inhibisi yang diperkirakan disebabkan oleh kematian sel-sel inibisi. Inhibisi menurun berarti eksitasi keadaan ini dapat menyebabkan alodinia (Meliala, 2008). Gambaran selanjutnya mengenai patofisiologi nyeri kronis adalah dihubungkan dengan plastisitas sistem saraf dengan aktivitas yang berkelanjutan sepanjang jalur nyeri hasil dari proses sensitisasi. Plastisitas saraf dihasilkan dari degenerasi dan remodeling dari sinaps dan ganglia dengan kolateral sprouting di antara sel saraf. Terapi yang agresif dan dini akan menurunkan nyeri dan mencegah timbulnya nyeri kronis (Meliala, 2008).



16



Pada nyeri kronis diketahui juga terdapat peningkatan produksi cholecystokinin (CCK) pada serabut saraf aferen. Peningkatan CCK menyebabkan hipersensitifitas nosiseptor dan penurunan terhadap efektifitas opioid (Meliala, 2008).



Gambar 3. Perubahan morfologi pada serabut aferen dan kornu dorsalis pada medula spinalis pada sindroma nyeri kronis. Perubahan ini ditunjukkan dengan simptom klinis dari hiperalgesia dan alodinia (Greene, 2010). 3. Managemen nyeri kronis Nyeri kronis berbeda dengan nyeri akut. Pada nyeri kronis sering penyebab sudah berlalu tetapi nyeri tetap dirasakan dan mengganggu, seperti pada nyeri post herpes. Terdapat perbedaan penanganan antara nyeri akut dan nyeri kronis. Pada nyeri akut sebagian besar cukup dengan analgetik, sedangkan untuk nyeri kronis selain analgetik juga diperlukan analgetik adjuvant maupun intervensi lain seperti biofeedback, neurostimulasi atau pain coping lainnya (Meliala, 2008). Berikut adalah tabel intervensi nyeri kronik yang saat ini dilakukan.



17



Nyeri kronik : intervensi Metode terapi



Terapi farmaka



Blok transmisi saraf Alternatif



Analgesik  NSAID/para setamol.  Opioid.



 Reversibel Injeksi anastesi lokal



Adjuvan analgesik  Antidepresan.  Antikonvulsan



  



Stimulator TMS,DBS,tDCS,S CS Akupunktur Hipnosis Psikologi



Ireversibel Operasi Destruksi saraf



Gambar 4. Intervensi nyeri kronis (Sumber McQuay and Moore, 1999 cit. Meliala, 2008) Memahami patofisiologi nyeri kronis dengan baik, memberikan tantangan pada kita untuk terus mencari terapi yang efektif dan mencari metode–metode baru sebagai tambahan terapi yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri kronis. Obat–obatan yang biasa digunakan untuk nyeri akut hanya sedikit atau bahkan tidak memberikan manfaat apa – apa ketika digunakan untuk nyeri kronis. Sebaliknya obat - obatan yang memberikan efek sedikit pada nyeri akut memiliki efikasi yang signifikan dalam terapi nyeri kronis (Meliala, 2008). Rekomendasi terapi nyeri kronis telah dibuat oleh World Health Organization (WHO) sebagai pedoman managemen nyeri kronis yang dikenal sebagai WHO Ladder (Meliala, 2008; Greene, 2010).



18



Gambar 5.World Health Organization (WHO) analgesics ladder Nyeri ringan diawali dengan terapi analgesik nonopioid (step 1) seperti nonsteroidal



antiinflammatory



analgesic



(NSAID)



carprofen,



etodolac,



meloxicam, ketoprofen, deracoxib, tepoxalin, acetaminophen, dan aspirin. Demikian juga analgesik yang bekerja menghambat enzim siklooksigenasi (COX1) dan lipooksigenasi (COX-2).



Obat–obat tersebut dikombinasikan dengan



analgetik adjuvant. Langkah kedua dari WHO lader untuk terapi nyeri kronis bila langkah pertama tidak adekuat, maka langkah pertama diteruskan ditambah dengan narkotik oral dan adjuvant analgetik narkotik pilihan adalah codein. Langkah ketiga diambil bila langkah kedua kurang efektif. Obat–obatan dilangkah kedua dihentikan, obat dilangkah pertama diteruskan, ditambah dengan



19



grup narkotik yang lebih poten. Obat pilihan adalah morfin dengan dosis dapat dinaikkan tanpa batas, sambil diawasi respirasi, status mental dan kesiagaan. Beberapa tipe nyeri mempunyai respon yang baik terhadap golongan opioid lemah dibandingkan dengan opioid kuat dan juga NSAID memberikan efek analgetik yang lebih baik dibandingkan dengan golongan opioid pada beberapa tipe nyeri (Greene, 2010). Sampai saat ini nyeri kronis yang diterapi secara farmakologi dengan berbagai macam obat analgetik, secara umum masih tidak memberikan pengurangan rasa nyeri yang adekuat pada kebanyakan pasien. Opioid dan beberapa jenis obat – obatan yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri yang umumnya bekerja memblok sinyal nyeri yang berjalan sepanjang saraf, medula spinalis dan otak seringkali tidak memberikan efek signifikan dalam mengurangi rasa nyeri. Bahkan efek samping penggunaan obat tersebut sering muncul seperti mengantuk, depresi respirasi, konstipasi (Greene, 2010). Terapi non farmakologis untuk nyeri kronis termasuk massage, physical therapy, acupuncture, dan transcutaneous electrical nerve stimulation. Modalitas tersebut bekerja mengurangi nyeri dengan memperbaiki aliran darah ke daerah lesi dan dengan melepaskan substansi endogen analgetik seperti beta-endorphin dan enkephalin. Endogen opioid mempengaruhi modulasi pada desending inhibisi pada transmisi saraf di tingkat kornu dorsalis (Greene, 2010). Disamping terapi non farmakologis di atas dikenal juga neurostimulasi yang saat ini sedang berkembang baik yang invasif maupun non invasif antara lain:



20



(1). spinal cord stimulation (SCS), (2). Deep brain stimulation (DBS) atau disebut juga electrical intracerebral stimulation, (3). Transdirect cranial stimulation (tDCS) dan (4). Transcranial magnetic stimulation (TMS). Spinal cord stimulation, Deep brain stimulation, merupakan metode invasif sedangkan Transdirect cranial stimulation dan Transcranial magnetic stimulation merupakan metode non invasif. 1). Spinal cord stimulation (SCS). Merupakan metode invasif yang dilakukan dengan cara menanam elektrode di bawah kulit yang dihubungkan dengan pulse generator



bertujuan untuk menstimulasi kolumna posterior medula spinalis



metode ini efektif dalam mengurangi nyeri khususnya CRPS, failed back surgery syndrome, critical limb ischemi, post stroke pain dan berbagai nyeri kronis lainnya. Hasil saat ini menunjukkan pada 40 sampai 70 % penderita nyeri kronis 50 % hingga 70 % nyeri berkurang signifikan bahkan mereka dapat kembali bekerja dan hidup normal. Cara kerja SCS dalam mengurangi nyeri adalah dengan memblok sinyal nyeri yang berjalan dari perifer ke medula spinalis sampai ke otak (Demers, 2011). 2). Deep brain stimulation (DBS). Merupakan salah satu alat intervensi yang digunakan dalam terapi nyeri kronis. Alat ini di tanam di daerah tertentu di otak yang dilakukan melalui proses pembedahan yang disebut sebagai brain pacemaker. Alat ini mengirim impuls listrik ke daerah tertentu di otak. Bekerja secara langsung dengan merubah rangsangan di otak. Food and Drug Administration (FDA) telah merekomendasikan alat ini sebagai terapi essential tremor tahun 1997, Parkinson's disease tahun 2002 dan distonia pada tahun 2003.



21



Alat ini juga telah digunakan secara rutin untuk terapi nyeri kronis. Alat ini terdiri dari tiga komponen implanted pulse generator (IPG), lead, extension. Implanted pulse generator adalah neurostimulator bertenaga baterai yang terbungkus titanium, yang mengirimkan arus listrik ke otak untuk merubah aktivitas saraf pada daerah target di otak. Lead adalah kawat melingkar yang dibungkus poliuretan dengan empat elektroda platina iridium dan ditempatkan di salah satu dari tiga daerah otak. Lead dihubungkan ke IPG oleh extension, sebuah kabel terisolasi yang berjalan dari kepala turun ke leher lalu ke belakang telinga dan dihubungkan ke IPG yang diletakkan secara subkutan di bawah klavikula atau dalam beberapa kasus diletakkan di perut. Implanted pulse generator diletakkan sesuai gejala yang ditunjukkan sebagai contoh untuk parkinson (rigiditas, bradikinesia/akinesia dan tremor), lead ditempatkan pada globus pallidus atau nukleus subthalamik. Pada nyeri IPG ini menstimulasi daerah periaqueductal gray maupun periventricular gray untuk nyeri nosiseptik, kapsula interna, ventral posterolateral nucleus dan ventral posteromedial nucleus untuk nyeri intractable. Meskipun DBS banyak menolong dalam mengurangi gejala namun alat ini juga memberikan efek samping dan komplikasi yang serius (Bittar, 2005). 3). Transdirect cranial stimulation (tDCS). Metode noninvasive brain stimulation lainnya adalah Transdirect cranial stimulation (tDCS). Alat ini menggunakan arus listrik yang konstan dan bertegangan lemah terdiri dari anoda dan catoda yang diletakkan di atas scalp menembus otak dan menyebabkan perubahan pada exitabilitas neuron. Alat ini bekerja dengan cara menstimulasi daerah target



22



dengan memberikan arus yang konstan dan bertegangan lemah melalui elektrode yang diletakkan di daerah target. Arus yang diberikan ini diketahui dapat merubah exitabilitas neuron pada daerah tertentu di otak berdasarkan jenis stimulasi yang diberikan. Perubahan exitabilitas neuron menyebabkan perubahan pada fungsi otak. Penggunaan tDCS pertama kali adalah untuk mengontrol nyeri neuropati dan skor nyeri dapat berkurang hingga 58% pada minggu terakhir stimulasi. Dibandingkan dengan TMS alat ini memberikan efek samping yang lebih kecil dan mampu mengurangi nyeri lebih baik serta after effect yang lebih lama bertahan (Fregni et al., 2006). 4). Transcranial magnetic stimulation (TMS). Salah satu terapi tambahan untuk nyeri, khsususnya nyeri kronik. Merupakan salah satu metode non invasif yang menyebabkan depolarisasi maupun hiperpolarisasi pada sel saraf di otak. Transcranial magnetic stimulation menggunakan induksi elektromagnetik yang dapat membangkitkan arus listrik dengan menggunakan perubahan medan magnet yang cepat yang kemudian masuk menembus kulit, tengkorak dan mencapai otak. menginduksi arus listrik sekunder pada daerah di bawah kumparan. Hal ini dapat menyebabkan perubahan aktivitas pada daerah tertentu di otak maupun daerah lain di otak dengan sedikit rasa tidak nyaman tanpa menimbulkan rasa sakit. Pada single stimuli atau paired pulse stimuli akan menyebabkan saraf pada neokortek di bawah tempat stimulasi terdepolarisasi dan membangkitkan potensial aksi. Jika diletakkan pada kortek motorik akan menimbulkan aktivitas otot yang disebut dengan motor evoked potential (MEP) yang dapat dicatat pada electromyography. Pemberian TMS secara berulang dapat menghasilkan long



23



lasting after effect setelah stimulasi. Teknik ini dapat meningkatkan atau menurunkan rangsangan pada kortek tergantung pada intensitas stimulasi, penempatan kumparan dan frekuensi. B. Sejarah TMS Penggunaan gelombang magnet untuk menstimulasi jaringan saraf didasarkan pada konsep induksi elektromagnetik oleh Faraday pada tahun 1831. D’Arsonal pada tahun 1896 melaporkan penggunaan gelombang magnet pertama kali pada manusia (Davey et al., 2002). Pada tahun 1985 Barker pertama kali mendemonstrasikan kontraksi otot yang dibangkitkan oleh stimulasi gelombang magnetik noninvasif melalui sistem saraf sentral yaitu stimulasi melalui kortek motorik. Saat ini dikenal dengan Transcranial magnetic stimulation (TMS). Sejak pertama kali ditemukan TMS digunakan di bidang psikiatri untuk gangguan depresi yang gagal diterapi secara farmakologi saat ini food and drug administration (FDA) telah mengakui TMS yang diberikan secara berulang (rTMS) sebagai terapi tambahan pada major depressive disorder. Di bidang neurologi TMS pertama kali digunakan sebagai alat bantu diagnosis untuk penyakit-penyakit demielinisasi seperti multiple sclerosis (Rosa, 2012). Pada tahun 1992, Alvaro Pascual-Leone mengeksplorasi kemungkinan penggunaan teknik ini pada pasien parkinson ternyata mereka menemukan perbaikan kecepatan dan respon motorik pada penderita parkinson (mengurangi akinesia). Penggunaan TMS untuk terapi nyeri kronis sendiri masih dalam penelitian dan terus dikembangkan (Rosa, 2012).



24



C. Stimulasi TMS Bagaimana TMS menstimulasi otak lebih lanjut diterangkan dalam gambar enam. Gambar 6 a menjelaskan setiap gelombang TMS menghasilkan arus listrik di otak. Hal ini menghasilkan perubahan medan magnet secara cepat yang kemudian menembus scalp dan tengkorak hingga mencapai otak dan menginduksi arus listrik sekunder yang dapat menstimulasi aktifitas saraf pada kortek dan subkortek di white matter. Seperti pada stimulasi saraf perifer, TMS pada kortek dapat mengaktivasi axon dari beberapa saraf (rekruitmennya tergantung pada parameter stimulus). Terdapat bukti bahwa penggunaan TMS pada kortek dengan intensitas yang rendah menghasilkan efek inhibisi pada outcome motorik. Sebaliknya penggunaan TMS dengan intensitas tinggi menghasilkan efek fasilitasi pada outcome motorik.



Gambar 6. Stimulasi otak oleh TMS (Sumber Ridding & Rothwell, 2008). Gambar 6 b menjelaskan kumparan berbentuk figure of eight yang terdiri dari beberapa kawat tembaga yang melingkar dengan diameter 7 cm. Tampak arus mengalir di bawah kedua lingkaran dan arus terbesar terdapat pada pertemuan kedua lingkaran. Sehingga besarnya arus pada titik tengah kumparan 2 kali



25



dibanding arus yang mengalir di bawah lingkaran. Tidak ada arus yang mengalir di bawah pusat kumparan. Menurut Barker (2002), terdapat tiga keterbatasan TMS yaitu (1). Besarnya medan magnet tergantung dari jarak daerah stimulasi terhadap permukaan kumparan sehingga stimulasi secara langsung hanya terbatas pada daerah otak yang berada di bawah kumparan, (2). Daerah stimulasi tidak fokus sehingga salah satu cara untuk membuat stimulasi lebih fokus adalah dengan menggunakan kumparan berbentuk figure of eight dan (3). Penggunaan TMS mahal dan alatnya memakan tempat. Selajutnya menurut Rossi et al. (2009), terdapat tiga macam teknik penggunaan TMS yaitu: (1). single- pulse TMS yaitu TMS yang diberikan dalam satu waktu dan terdiri dari satu stimulus, teknik ini menghasilkan respon yang baik tetapi hanya berlangsung singkat. Pengulangan stimulus dapat lebih memperpanjang after-efect pada otak. Lamanya efek setelah single stimulus berkisar 30-60 menit. Single-pulse TMS dapat digunakan untuk mapping output kortek motorik, (2). Paired-pulse TMS yaitu TMS yang diberikan dalam stimulus berpasangan / lebih dari satu stimulus dan diantara stimulus terdapat jeda (interval), (3). Repetitive TMS yaitu TMS yang diberikan dalam stimulus yang berurutan. Paired-pulse TMS dapat diberikan pada satu target kortikal menggunakan satu kumparan atau pada dua daerah otak yang berbeda menggunakan dua kumparan yang berbeda. Teknik paired- pulse TMS digunakan untuk mengukur fasilitasi intrakortikal dan inhibisi intrakortikal. Penggunaan TMS dengan teknik paired stimulation yang dibarengi dengan stimulus perifer



26



disebut sebagai paired associative stimulation (PAS). Pada stimulus multipel dimana gelombang TMS diberikan secara berurutan atau dengan teknik train stimuli atau disebut juga rTMS dibedakan menjadi conventional dan patterened repetitive stimulation. Pada frekuensi tertentu TMS dapat menyebabkan inhibisi yang terjadi pada frekuensi rendah 1 Hz atau kurang dan cTBS, fasilitasi terjadi pada TMS dengan frekuensi tinggi dan iTBS, ditemukan pada corticospinal motor outoput orang sehat. Mekanisme yang mendasari efek inhibisi dan fasilitasi TMS belum jelas. Salah satu mekanisme yang diduga berperan menimbulkan efek inhibisi dan fasilitasi adalah Long term depression (LTD) atau transmisi sinaptik yang disebabkan pemberian TMS secara berulang pada frekuensi rendah, Long term potentiation (LTP) yang muncul pada frekuensi tinggi. Serta pergeseran eksitabilitas jaringan dan aktivitas yang berhubungan dengan metaplastisitas (Rossi et al., 2009). D. Repetitive transcranial magnetic stimulation Secara umum ada dua teknik prosedur penggunaan rTMS yaitu conventional rTMS dan patterned rTMS. Conventional terdiri dari frekuensi rendah dan frekuensi tinggi. Patterned menggunakan theta burst stimuli baik intermiten theta burst stimuli (iTBS) yang meningkatkan rangsangan kortikal maupun continous theta burst stimulation (cTBS) yang menyebabkan inhibisi rangsangan kortikal. Pada pemberian rTMS untuk kepentingan terapi total durasi dari satu sesi rTMS adalah sekitar 20 menit. Pengulangan pemberian rTMS dapat memperkuat dan memperpanjang pengaruh efek single TMS yang seringkali



27



melemah dan bertahan secara singkat setelah pemberian single TMS tersebut (cumulative effect). Gelombang single TMS dapat mendepolarisasi sel neuron namun bersifat sementara tetapi ketika gelombang ini diberikan secara berulang yang kita kenal dengan repetitive TMS, dapat mengubah rangsangan kortikal (menurunkan atau menaikkan). Repetitive TMS digunakan pada frekuensi tertentu untuk dapat menginduksi modulasi rangsangan kortikal secara persisten (Rossi et al., 2009). Penggunaan rTMS pada penderita nyeri kronis bertujuan memberikan efek analgesik. Stimulasi diberikan pada scalp di atas daerah target kortikal. Stimulasi menggunakan kumparan figure of eight lebih dianjurkan untuk mendapatkan stimulasi yang lebih fokus. Sebagai patokan untuk menentukan intensitas, stimulasi yang diberikan berdasarkan persentase resting motor threshold. Umumnya stimulasi diberikan di bawah motor threshold. Frekuensi dan jumlah total gelombang yang diberikan tergantung pada hasil studi yang dilakukan. Dalam satu sesi paling sedikit harus terdiri dari 1000 gelombang / pulse yang berdurasi 20 menit. Pemberian stimulus rTMS dapat diulang setiap hari selama satu atau beberapa minggu (Crucu et al., 2007). Keuntungan pemberian rTMS tidak menyebabkan rasa nyeri dan tidak membutuhkan anastesi atau rawat inap selama terapi. Stimulasi rTMS dapat mengaktifkan beberapa serabut saraf yang berjalan melewati kortek motorik dan berproyeksi sampai ke tempat yang jauh yang terlibat pada beberapa aspek proses nyeri kronis (komponen emosi dan komponen sensori diskriminatif). Metode ini juga dapat digunakan pada penderita nyeri kronis yang drug resistant maupun



28



memprediksi prognosis nyeri neuropati kronis yang akan dilakukan pemasangan implan MCS. Dari hasil studi yang melakukan stimulasi rTMS baik pada kelompok kontrol dengan menggunakan sham rTMS, dan kelompok kasus menggunakan rTMS aktif pada 280 pasien dengan nyeri neuropati (nyeri sentral post stroke, lesi medula spinalis, lesi pleksus brakialis, trigeminal neuralgia, nyeri phantom dan CRPS II) didapatkan efikasi yang berbeda antara kondisi nyeri satu dengan lainnya, hal ini umumnya tergantung pada parameter stimulasi. Dari beberapa RCT, yang melakukan teknik rTMS pada pasien dengan nyeri sentral post stroke dan beberapa lesi saraf tepi yang menggunakan stimulus rTMS pada daerah kortek motorik primer dengan frekuensi rendah (1 Hz atau kurang) ternyata tidak efektif dalam mengurangi keluhan nyeri. Stimulasi rTMS menggunakan kumparan yang bersifat fokal dengan frekuensi tinggi (5-20 Hz), dengan durasi 20 menit, 1000 gelombang, dengan pemberian stimulus berulang didapatkan pengurangan nyeri lebih dari 30% pada sekitar 50% pasien yang menderita nyeri kronis. Dapat disimpulkan bahwa respon positif dalam memberikan efek analgesik didapatkan pada penggunaan rTMS dengan frekuensi tinggi. Penggunaan rTMS pada daerah non motor seperti pada dorsolateral prefrontral cortex dalam mengurangi nyeri belum banyak diteliti (Crucu et al., 2007). Penggunaan rTMS pada kortek motorik menggunakan kumparan figure of eight dan frekuensi tinggi akan menginduksi pengurangan nyeri secara signifikan pada penderita nyeri sentral post stroke dan beberapa kondisi nyeri kronis lainnya. Hal ini berlawanan dengan penggunaan rTMS frekuensi rendah pada kondisi nyeri



29



yang sama ternyata tidak efektif dalam mengurangi keluhan nyeri (Crucu et al., 2007). Pada saat rTMS diaplikasikan di atas kortek motorik dengan frekuensi yang rendah maka akan menurunkan motor evoked potential (MEP). Sebaliknya jika diberikan pada frekuensi tinggi akan meningkatkan MEP. Repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS) dibagi menjadi conventional rTMS dan patterened rTMS. Pada conventional rTMS dijelaskan bahwa pemberian rTMS dengan satu stimulus yang diberikan secara berulang dan teratur diberikan dengan frekuensi rendah 1 Hz atau kurang atau dengan frekuensi tinggi lebih dari 1 Hz. Klasifikasi ini berdasarkan efek fisiologis dan besarnya risiko yang ditimbulkan (Rossi et al., 2009). Patterened rTMS diberikan sebagai stimulus yang berulang menggunakan gelombang burst yang singkat dengan frekuensi tinggi dan diantara gelombang tersebut terdapat jeda yang singkat tanpa stimulasi. Saat ini patterened rTMS banyak digunakan dengan gelombang burst pendek pada frekuensi 50 Hz diulang pada kisaran gelombang theta 5 Hz sebagai continuous theta burst stimulation (cTBS) atau intermitten theta burst stimulation (iTBS) (Rossi et al., 2009). Berdasarkan pedoman penggunaan keamanan dan aplikasi penggunaan TMS dalam praktek klinis yang ditulis oleh Rossi et al. (2009), penggunaan rTMS yang conventional pada frekuensi rendah (kurang dari 1 Hz frekuensi stimulasi) semua gelombang diberikan secara terus menerus tanpa ada jeda. Sementara untuk frekuensi tinggi (lebih dari 5 Hz frekuensi stimulasi) diberikan



30



dalam waktu yang lebih singkat dan diantaranya terdapat waktu istirahat tanpa stimulus. Patterened rTMS memiliki dua bentuk yaitu continous theta burst stimulation (cTBS) dan Intermitten theta burst stimulation (iTBS). Protokol TBS yang ada saat ini dibuat berdasarkan penelitian Huang et al. (2005). Untuk continous theta burst stimulation (cTBS) diberikan dengan frekuensi 5 Hz selama 20 detik (total stimulus 300) atau 40 detik untuk total stimulus 600 yang diberikan secara terus-menerus. Sedangkan untuk intermitten theta burst stimulation (iTBS), diberikan stimulus dalam periode 2 detik dan dipisahkan oleh interval tanpa stimulasi selama 8 detik. Terdapat beberapa variasi kombinasi dari protokol teknik pengunaan TMS di atas dan perlu ditekankan efek dan keamanan dari masing – masing aplikasi penggunaan teknik tersebut. Saat ini Patterned rTMS juga dapat diberikan dalam bentuk quadripulse stimulation (QPS) yang dapat menyebabkan perubahan eksitabilitas kortikal jangka panjang. Quadripulse stimulation diberikan dalam bentuk stimulasi berulang yaitu 4 pulse / gelombang monopasik yang dipisahkan oleh interstimulus interval selama 1,5–1250 milidetik yang menyebabkan fasilitasi pada interval pendek atau inhibisi pada interval yang panjang yang kemungkinan melalui aksi modulasi sirkuit eksitatori intrakortikal (Rossi et.al., 2009). Kombinasi pemberian sub-motor threshold 5 Hz rTMS yang berulang pada nervus medianus kanan dengan sub-motor threshold 5 Hz rTMS pada kortek motorik primer (M1) pada interval yang konstan selama 2 menit teknik ini disebut paired associated stimulation (PAS). Paired associated stimulation merupakan



31



protokol baru yang dapat meningkatkan efek rTMS pada tingkat kortikal berdasarkan percobaan interaksi dan tes stimulus pada tingkat kortikal sebelumnya.



Diduga



mekanisme



yang



mendasari



melalui



mekanisme



metaplastisitas (Rossi et al., 2009). Gambar 7 menjelaskan bentuk teknik rTMS. Sebelah kiri menunjukkan conventional rTMS. Gambar paling atas memberikan contoh 10 detik rTMS dengan frekuensi 1 Hz pada percobaan pertama dan 5 Hz pada percobaan kedua. Percobaan ketiga 1 detik rTMS pada frekuensi 10 Hz. Percobaan keempat untuk tujuan terapeutik pada frekuensi 20 Hz (2 detik train rTMS yang disisipkan oleh jeda 28 detik). Sebelah kanan gambar pertama menunjukkan pola cTBS dengan durasi 20 detik pada frekuensi 5 Hz. Gambar kedua menunjukkan iTBS dan intermediet theta burst (imTBS). Gambar keempat menunjukkan quadripulse stimulation (QPS).



Gambar 7. Teknik rTMS (Rossi et al., 2009).



32



E. Prinsip Penggunaan rTMS Telah disebutkan sebelumnya bahwa teknik ini menggunakan



prinsip



induksi elektromagnetik, dimana kumparan diletakkan di atas kepala terbanyak pada M1. Kumparan tersebut dialiri arus dan menghasilkan medan magnet serta menginduksi arus listrik yang dapat menembus kulit dan tengkorak kepala hingga mencapai otak dan dapat mencetuskan depolarisasi saraf. Stimulasi diberikan sepanjang jalannya serabut saraf, menggunakan arus yang cukup kuat untuk dapat menimbulkan depolarisasi. Selain itu teknik rTMS dapat mengaktifasi sel – sel piramidalis secara tidak langsung (transinaptik) atau secara langsung melalui axon hillock. Pada penggunaan rTMS operator dapat mengkontrol intensitas stimuli dengan mengubah intensitas arus listrik yang mengalir pada kumparan sehingga mengubah besarnya medan magnet dan medan listrik yang mengalir ke otak. Fokus medan magnet tergantung pada bentuk kumparan (Kobayashi & Leono, 2003). Induksi arus harus cukup kuat untuk dapat menyebabkan depolarisasi saluran neuron kortikospinalis baik secara langsung di axon hillock atau tidak langsung melalui transinaptik. Penggunaan TMS secara single TMS dapat mendepolarisasi neuron bersifat sementara, sedangkan penggunaan TMS secara berulang yang dikenal dengan repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS) dapat mendepolarisasi neuron lebih lama sehingga dapat menginduksi rangsangan modulasi kortikal secara persisten ( Rossi et al., 2009).



33



Jenis kumparan Umumnya kumparan yang digunakan pada beberapa studi TMS terdiri dari dua sayap yang berdekatan yang disebut figure of eight. Bentuk ini dapat menstimulasi daerah kortikal superfisial secara fokal yang berada di bawah bagian utama kumparan figure of eight. Serabut saraf yang diharapkan paling banyak mendapatkan stimulasi diorientasikan secara paralel terhadap bagian sentral dari kumparan. Sudut antara sayap kumparan akan mempengaruhi efisiensi dan fokalitas dari kumparan. Bagian kumparan yang non-tangential terhadap kulit kepala (scalp) menyebabkan penumpukan dari muatan permukaan, yang mengurangi efisiensi kumparan. Sudut kumparan yang lebih kecil dari 180 0, sayap kumparan lebih tangensial terhadap kulit kepala dan meningkatkan efisiensi kumparan (Rossi et al., 2009). Beberapa studi TMS menggunakan kumparan yang berbentuk lingkaran (circular coil) dengan ukuran yang bervariasi. Diameter kumparan yang lebih besar dari kumparan figure of eight menyebabkan stimulasi secara langsung pada bagian otak yang lebih dalam tetapi kurang fokus. Sampai saat ini belum ada studi yang membandingkan keamanan penggunaan antara kumparan berbentuk circular dan figure of eight (Rossi et al., 2009). Kumparan double cone dibentuk dari dua sayap berbentuk lingkaran yang berdekatan bersudut 950. Kumparan besar ini menyebabkan medan listrik yang relatif besar juga tetapi kurang fokus dibanding kumparan figure of eight, dan dapat menyebabkan stimulasi langsung pada daerah otak yang lebih dalam. Karena kemampuan daya tembusnya kumparan ini mampu mengaktifasi fisura



34



interhemisperik yang mewakili dasar panggul dan tungkai bawah. Stimulasi daerah otak yang lebih dalam membutuhkan intensitas dan frekuensi yang lebih tinggi hal ini memberikan rasa tidak nyaman pada penderita (Rossi et al., 2009). Hal yang sering menjadi pertanyaan tentang TMS adalah mengenai kedalaman yang mampu dicapai alat ini. Hal ini merupakan pertanyaan yang sulit dijawab. Kedalaman penetrasi dari TMS tergantung pada faktor anatomi, ukuran kumparan, bentuk kumparan dan intensitas stimulus yang diberikan (Barker, 2002). F. Mekanisme rTMS Terdapat beberapa macam mekanisme rTMS dalam memperbaiki keluhan nyeri salah satunya stimulasi pada kortek motorik dapat memperbaiki komponen sensori-diskriminatif. Di samping itu juga mempengaruhi perubahan komponen fungsional motivational-affective aspek nyeri pada cingulate cortex atau orbitofrontal cortex. Gambar 9 menunjukkan struktur saraf dan jalur yang terlibat dalam efek analgesik pada stimulasi kortek motorik. Perangsangan rTMS pada kortek motorik (M1) akan mempengaruhi kortek somatosensori primer (S1) dan sekunder (S2) yang berperan dalam proses sensori-dikriminatif. Nukleus thalamus-motor (Th-M), nukleus thalamus sensori dan nukleus thalamus assosiatif (Th-S/A), insular cortex (Ins), anterior cingulate cortex (ACC), periaquaductal gray (PAG), rostral ventro medial (RVM) yang berperan dalam descending modulation dan komponen motivational affective. (Lefaucher, 2006).



35



Gambar 8. Struktur saraf dan jalur potensial yang yang terlibat dalam stimulasi kortek motorik. (Lefaucher, 2006). Beberapa serabut saraf yang turun dari brainstem menuju medula spinalis dapat memodulasi impuls nyeri yang datang. Jalur desending yang dapat memodulasi impuls nyeri diterangkan sebagai berikut stimulus nyeri yang datang di kornu dorsalis akan diteruskan ke PAG dari sini diteruskan ke nukleus raphe magnus di medula bagian atas, impuls akan dikembalikan ke kornu dorsalis melalui serabut reticulospinalis. Pemberian rTMS pada M1 akan meningkatkan pelepasan neurotransmiter serotonin di PAG dan noradrenalin di locus cerolus disamping itu juga memicu pelepasan opioid endogen pada CNS yang juga terletak di PAG dan nukleus raphe magnus dan dapat menekan impuls nyeri (Renin & Dorsey, 2005). Selain



itu



stimulasi



menggunakan



rTMS



memiliki



kemampuan



memperbaiki plastisitas sinaptik, dimana pada nyeri kronis diketahui terjadi malplasticity. Plastisitas sinaptik adalah kemampuan sinap antara dua neuron untuk memperkuat modulasi. Plastisitas sinaptik yang terjadi dalam bentuk long term potentiation (LTP) terjadi jika diberikan stimulus dengan frekuensi tinggi atau menggunakan iTBS yang dapat membangkitkan aktivitas sinap, dan long



36



term depression (LTD) yang terjadi pada stimulasi dengan frekuensi rendah atau menggunakan cTBS yang menurunkan aktivitas sinap. Mekanisme molekuler yang mendasari proses LTP dan LTD bergantung pada calsium influx dan reseptor glutamat yang memiliki dua jenis reseptor yaitu AMPA (alpha-amino-3-hydroxy5-methyl-isoxazolepropionic acid) dan NMDA (N-methyl-D-aspartat) (Andrade et al., 2011). Pada saat sinap glutamanergik melepaskan glutamat, maka glutamat akan berikatan pada reseptor AMPA dan reseptor NMDA. Reseptor AMPA merupakan reseptor ionotropik yang bertanggung jawab terhadap transmisi sinap yang cepat. Reseptor NMDA sebagai coincidence detector. Aktivitas reseptor NMDA membutuhkan pelepasan glutamat yang cukup dari presinap yang akan mencetuskan depolarisasi membran dan mengaktifkan reseptor NMDA. Depolarisasi membran postsynaptic yang cukup akan membuka kanal ion magnesium sehingga terjadi calsium influx, proses ini yang menginduksi terjadinya LTP (Cooke & Bilis, 2006). Gambar 9 menunjukkan membran glutamatergic



postsynaptic



yang



mengandung reseptor AMPA dan NMDA (A). Dalam kondisi istirahat atau aktivitas input yang rendah, saluran reseptor NMDA ini diblok oleh ion magnesium bermuatan positif (Mg2+) (B). Glutamat dilepaskan dari terminal dan memasuki celah sinap dan berikatan dengan kedua reseptor, yang kemudian akan membuka saluran reseptor AMPA. Aliran arus ke dalam sel yang dibawa oleh Na+ akan mendepolarisasi membran post sinap dan menyebabkan exitatory postsynaptic potential (EPSP). Pelepasan glutamat dalam jumlah yang sedikit tidak



37



akan cukup mendepolarisasi membran postsynaptic (C). Konsentrasi glutamat yang tinggi menghasilkan depolarisasi membran post-sinaptik, sehingga membuka blok ion magnesium dari saluran reseptor NMDA, menyebabkan masuknya ion Na+ dan ion Ca2+. Reseptor NMDA bertindak sebagai aktivitas coincidence detektor pra dan postsinaptik. (D). Menggambarkan rekaman intraseluler dari rangsang sinaptik dengan kondisi magnesium yang rendah atau depolarisasi membran (Cooke & Bliss, 2006).



Gambar 9. Aktivitas reseptor glutamat (Cooke & Bliss, 2006) Kemampuan plastisitas sinaptik pada tingkat seluler melalui percobaan dengan otak tikus yang dilakukan oleh Pridmore et al. (2005), stimulasi kortek motorik menggunakan TMS menunjukkan perubahan densitas reseptor betaadrenergik pada kortek, korpus striatum, region-specific monoamine levels, second messenger cyclic AMP, densitas NMDA binding site di hipotalamus,



38



amygdala, kortek parietal, dan densitas 5-HT1A binding site di frontal, cingulate cortex dan nukleus olfaktori anterior, ekspresi glial fibrillary acidic protein mRNA di girus dentata dan kortek. Dengan kata lain TMS memiliki kemampuan mempengaruhi neurotransmiter, reseptor, second messengers systems dan gen, pada saraf dan jaringan penyokong yang penting dalam regulasi nyeri. Perbedaan efek plastisitas yang dihasikan oleh stimulasi TMS pada tingkat sistem dan seluler berada pada rangsangan kortikal. Pada tingkat sistem menjelaskan bahwa pada stimulasi yang rendah (1 Hz atau kurang) akan menyebabkan penurunan rangsangan kortikal. Pada frekuensi tinggi akan meningkatkan rangsangan kortikal. Fenomena di atas banyak dipelajari pada penggunaan TMS yang diletakkan pada kortek motorik. Perubahan rangsangan kortikal yang dihasilkan oleh TMS memiliki efek yang singkat dengan durasi menit hingga jam. Sementara pengulangan TMS akan menghasilkan efek kumulatif perubahan plastisitas. Percobaan yang dilakukan oleh Baumer et al. (2001), pada kortek premotor menggunakan TMS selama 5 hari berturut turut pada frekuensi tinggi, menunjukkan bahwa pada hari pertama penurunan rangsangan kortikal bertahan 30 menit, pada hari kedua dapat bertahan 6 jam, hari kelima menunjukkan hasil efek TMS dapat bertahan 4 minggu dari stimulasi terakhir. Dari percobaan ini juga menunjukkan bahwa stimulasi menggunakan TMS pada satu daerah juga dapat berpengaruh pada daerah lainnya yang secara fungsional berhubungan dengan daerah tersebut. Studi brain imaging dan neurofisologi menunjukkan bahwa pada nyeri kronis terjadi perubahan pada struktur dan fungsi otak. Stimulasi TMS



39



menghasilkan perubahan sementara neuroplastisitas di otak. Hal ini memberikan keuntungan pada kondisi nyeri kronis (Pridmore et al., 2005). Mekanisme lain yang dimiliki oleh rTMS adalah kemampuannya mengaktifkan sistem opioid endogen yang diketahui berperan dalam proses modulasi nyeri, dimana pada nyeri kronis terdapat penurunan reseptor opiod pada beberapa daerah otak. Pada dasarnya pengaruh analgetik stimulasi rTMS pada M1 melibatkan inhibisi langsung sinyal nosiseptik dari transmisi spinal. Studi elektrofisiologis pada hewan menunjukkan keterlibatan kortek motorik dalam modulasi proses informasi sensorik. Dengan kata lain rTMS memperbaiki descending modulasi pada penderita nyeri kronis yang terpusat pada brainstem dan diencephalon sampai medula spinalis dimana aktivitas modulasi kortikal bergantung pada jalur GABAergic dan glutamat. G. Variabilitas yang mempengaruhi efek rTMS Efek rTMS dalam mempengaruhi modulasi rangsang kortikal dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain dipengaruhi oleh variabilitas inter-subjek dan inter-session.



Berbagai



parameter



yang



telah



diteliti



dan



diperkirakan



mempengaruhi efek rTMS yaitu bentuk kumparan, amplitudo stimulus, frekuensi dan durasi juga berkontribusi terhadap pengaruh TMS. Secara umum parameter yang mempengaruhi derajat dan polaritas rTMS dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu kategori geometri (misalnya bentuk kumparan TMS) dan waktu (misalnya frekuensi, durasi stimulus). a). Geometri. Berbagai parameter TMS mampu mempengaruhi interaksi induksi medan listrik dengan neuron kortikal. Interaksi ini menyebabkan eksitasi



40



selektif pada kumpulan saraf tertentu oleh gelombang TMS sementara kumpulan neuron



lainnya



tidak



terpengaruh.



Terdapat



beberapa



parameter



yang



mempengaruhi ruang lingkup stimulasi yang diyakini memainkan peran penting dalam interaksi ini. Parameter ini meliputi bentuk geometri dari kumparan TMS, dan karakteristik gelombang seperti bentuk dan orientasi (Pell et al., 2011). b) Bentuk kumparan dan penempatannya. Repetitive Transcranial magnetic stimulation dapat menginduksi arus listrik dalam media apapun tanpa penghubung. Pada otak, media penghubung tersusun dari jaringan dengan karakteristik listrik yang beragam. Bentuk kumparan dan lokasi penempatan kumparan akan mempengaruhi efek TMS terhadap neuron kortikal (Pell et al., 2011). c) Interaksi antara medan listrik induksi dengan jaringan saraf. Tujuan stimulasi listrik atau magnetik pada jaringan adalah memicu terjadinya potensial aksi pada jaringan saraf. Hal ini membutuhkan depolarisasi neuron pada ambang batas tertentu. Jika kumparan kita letakkan di atas kepala subjek, medan magnet akan menembus kulit kepala dan tulang, dan menginduksi medan listrik di otak. Medan listrik induksi menyebabkan ion mengalir di otak sehingga dapat menstimulasi kortek. Transcranial magnetic stimulation dapat menstimulasi saraf kortikal tanpa menimbulkan nyeri bila dibandingkan dengan TES (Pell et al., 2011). d) Pengaruh bentuk pulse / gelombang dan orientasi. Pada umumnya ada dua bentuk gelombang TMS yaitu bentuk monopasik dan bipasik. Dengan prinsip arus osilasi, secara umum gelombang berbentuk sinusoid. Bentuk gelombang dan orientasi TMS dapat mempengaruhi efek eksitabilitas modulasi kortikal (Pell et al., 2011).



41



f) Frekuensi. Frekuensi diyakini merupakan penentu kekuatan rangsangan kortikal. Frekuensi yang tinggi pada penggunaan rTMS > 5 Hz dapat



meningkatkan



rangsangan kortikal, sementara frekuensi yang rendah menurunkan rangsangan kortikal. g) Durasi Stimulasi. Lama stimulasi berhubungan dengan bentuk teknik rTMS yang akan digunakan, secara umum total durasi rTMS yang diberikan tiap sesi adalah 20 menit. rTMS dengan frekuensi rendah menggunakan continous trains, sementara rTMS dengan frekuensi tinggi menggunakan bursts stimuli berlangsung 5 – 10 detik. Tabel 1 menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi derajat eksitabilitas modulasi yang diinduksi rTMS secara lengkap.



Tabel 1. Faktor – faktor yang mempengaruhi derajat eksitabilitas modulasi yang diinduksi oleh rTMS. Dengan faktor-faktor eksperimental yang dibagi subdivisi klasifikasi waktu (timing) dan geometri. Timing/Waktu Frekuensi stimulasi Durasi train stimulus Interval inter-train Total durasi stimulus Total jumlah pulse



42



Geometri Posisi kumparan  Intensitas stimulasi  Jarak antara tulang tengkorak dan kortek  Ketepatan posisi  Stabilitas penempatan kumparan Target kortikal  Susunan dan interaksi dari sirkuit inhibisi dan eksitasi  Karakteristik saraf individu contoh : diameter serabut saraf  Jarak antara kortek dan tulang tengkorak.  Perangkat keras : pemilihan stimulator dan kumparan  Bentuk pulse dan karakteristik  Pengaruh dari daerah yang berhubungan secara fungsional. Faktor lain Tergantung pada kondisi dasar dan riwayat sinaptik  Kondisi rangsangan (khususnya inhibisi)  Aktivitas fisiologi  Kesadaran  Perhatian Pengaruh genetik Interaksi dengan neurokimia  Monoamin neuromodulator seperti dopamin  Growth factor seperti BDNF  Obat-obatan Jens kelamin Usia Hormonal Irama sirkardian Stres



(Pell et al., 2011) H. Aplikasi Klinis rTMS Salah satu aplikasi klinis teknik rTMS dibidang neurologi adalah sebagai terapi tambahan untuk nyeri khususnya nyeri kronis, drug resistant dan nyeri sentral (nyeri post stroke, complex regional pain syndrome, fibromyalgia, neuralgia trigeminal, nyeri pantom). Teknik ini memiliki kemampuan mengaktivasi pelepasan neurotransmiter seperti GABA-ergic yang berperan



43



sebagai pemeran intracortical inhibisi selain plastisitas sinaptik. Hal ini menjadi salah satu dasar mekanisme penggunaan TMS untuk membantu mengurangi nyeri terutama nyeri kronis (Lefaucher, 2008). Disamping itu Transcranial Magnetic Stimulation juga digunakan sebagai tambahan terapi pada parkinson, distonia, tics, stuttering, tinnitus, spastisitas, epilepsy, aphasia, hemiparesis post stroke. Transcranial Magnetic Stimulation mampu memicu pelepasan neuromodulator lainnya seperti dopamin dan growth factor seperti brain derived neurotrophic factor (BDNF). Kemampuan rTMS memodulasi fungsi kortikal secara persisten telah membuka pintu penggunaan rTMS sebagai terapi yang potensial pada beberapa kelainan saraf (Pell et al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Lefaucher et al. (2001) menggunakan teknik rTMS pada 18 pasien dengan intractable nyeri neuropati pada kortek motorik dengan frekuensi 10 Hertz (Hz) dan 0,5 Hertz (Hz) dengan durasi 20 menit. Pengurangan nyeri secara signifikan didapatkan pada penggunaan rTMS dengan frekuensi 10 Hertz (Hz). Leufacher et al. (2004) menggunakan rTMS untuk nyeri sentral post stroke pada 24 subjek dengan frekuensi 10 Hz dan durasi 20 menit, nyeri dapat berkurang secara signifikan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pleger et al. (2003) menggunakan rTMS dengan cTBS yang diletakkan di kortek motorik pada 10 penderita CRPS tipe 1 ternyata dapat mengurangi intensitas nyeri yang terjadi 30 detik setelah stimulasi dan efek maksimal didapatkan 15 menit setelah stimulasi.



44



Mhala et al. (2010) meneliti efek analgesik TMS yang diletakkan di atas kortek motorik pada 40 pasien yang menderita chronic widespread pain yang disebabkan fybromyalgia. Sebanyak 20 pasien mendapatkan rTMS secara aktif dan 20 pasien lainnya menerima sham rTMS, intensitas nyeri dapat berkurang pada pasien yang mendapatkan rTMS aktif pada hari ke 5 stimulasi bertahan sampai minggu ke 25. Efek analgesik rTMS pada penderita fibromyalgia berhubungan dengan perbaikan jangka panjang pada kualitas hidup dan secara langsung berhubungan dengan perubahan intrakortikal inhibisi. Studi meta analisis Leung et al. (2009) meneliti efek analgesik rTMS pada beberapa kondisi nyeri neuropatik. Ternyata didapatkan bahwa visual analog scale (VAS) berkurang secara signifikan pada penderita yang diterapi menggunakan rTMS aktif dibanding sham rTMS. Begitu pula dengan penggunaan rTMS dengan frekuensi rendah dengan sesi terapi yang lebih frekuen menurunkan skor VAS pada penderita nyeri neuropati. Menurut Leung et al. (2009) rTMS lebih efektif bila digunakan pada penderita nyeri neuropati sentral dibanding nyeri neuropati perifer. O'Connell et al. (2010) mengevaluasi efikasi teknik noninvasive brain stimulation pada 368 penderita nyeri kronik. Mendapatkan hasil ternyata TMS frekuensi rendah tidak efektif dalam mengurangi nyeri. Efek yang singkat dalam mengurangi rasa nyeri didapatkan pada pemberian TMS single dose dengan frekuensi tinggi pada kortek motorik nyeri berkurang sebanyak 15 %. I. Keamanan dan efek samping



45



Meskipun TMS dikenal sebagai terapi adjuvant yang relatif aman, namun penggunaan alat ini juga memiliki beberapa efek samping. Efek samping TMS yang utama adalah dapat menginduksi seizure. Meningkatkan ambang pendengaran, mempengaruhi fungsi kognitif yang bersifat sementara hal ini terlihat pada beberapa hasil test kognitif yang dilakukan setelah pemberian TMS, syncope juga pernah terjadi setelah pemberian TMS. Nyeri kepala, nyeri lokal, rasa panas pada kepala dan ketidaknyamanan juga dirasakan pada beberapa pasien setelah pemberian rTMS. Berikut rangkuman tabel mengenai efek samping penggunaan TMS (Rossi et al., 2009). Tabel 2. Efek samping penggunaan TMS Efek samping



Single-pulse TMS



Paired-pulse TMS



Low frequency rTMS Jarang (biasaya bersifat protektif)



Kejang



Jarang



Tidak ada laporan



Perubahan pendengaran sementara Perubahan fungsi kognitif



Possible



Tidak ada laporan



Tidak ada laporan



Tidak ada laporan



Nyeri kepala, nyeri lokal, nyeri leher. Syncope Heat burn



Mungkin



Tidak ada laporan



Tidak ada laporan



Tidak ada laporan



Possible Possible



Possible Possible



Possible



Possible



Possible



High frequency rTMS Possible terutama pada pendeita epilepsi 1,4% kejadian. Pada orang normal kurang dari 1 %. Possible



Theta burst



Possible ( satu serangan pada individu normal)



Tidak ada laporan. Perubahan sementara pada working memory Possible



Possible (Rossi et al.,2009 )



46



Ada empat parameter yang harus ditetapkan dalam penggunaan dosis TMS antara lain intensitas, frekuensi, train duration, dan inter-train interval. Hal ini juga digunakan untuk menentukan jumlah total gelombang per sesi, jumlah sesi per hari, jumlah sesi hari per minggu. Berdasarkan Safety, ethical considerations, and application guidelines for the use of transcranial magnetic stimulation in clinical practice and research (2009): (1). Intensitas stimulasi, intensitas stimulasi yang diberikan umumnya berdasarkan motor threshold (MT) bersifat individual. Intensitas stimulasi bervariasi antara satu pasien dengan lainnya. Intensitas stimulasi merupakan persentase dari MT, yang biasa digunakan dan telah terbukti aman serta efektif berkisar 80%, 100%, dan 120% MT. Semakin tinggi intensitas stimulasi semakin banyak neuron yang dapat direkrut, (2). Train duration.



Berdasarkan alasan



keamanan dan karena keterbatasan fisik alat TMS tersebut (kumparan menjadi panas dan keterbatasan kemampuan dari alat tersebut) maka terapi diberikan dalam bentuk trains stimuli pada setiap sesi dan bukan dalam bentuk stimulasi yang terus-menerus (continous stimulation). Pengecualian pada pemakaian TMS dengan frekuensi rendah biasanya diberikan secara continous tanpa interval. Hal ini dikarenakan risiko kejang dengan pemakaian frekuensi rendah dapat diabaikan. Saat menggunakan intensitas 100% MT, train duration maksimum untuk masing-masing frekuensi adalah 5 Hz : 10 detik, 10 Hz : 5 detik, 20 Hz : detik. Saat menggunakan intensitas 120% MT train duration maksimal adalah 5 Hz : 10 detik, 10 Hz : 4 detik, 20 Hz :1 detik, (3). intertrain interval. Tidak ada konsensus atau ketetapan berapa intertrain interval yang harus digunakan minimal



47



2 detik yang disarankan untuk frekuensi lebih dari 5 Hz dan minimal 5 detik untuk frekuensi 20 Hz. Dalam praktek klinik, intertrain interval dihitung dengan cara mengurangi train duration dengan 30 detik, sebagai contoh untuk intensitas 100% MT maka : 5 Hz untuk 10 detik maka intertrain interval 20, 10 Hz untuk 5 detik maka intertrain interval 25 detik, 20 Hz untuk 2 detik intertrain interval 28 detik. Telah ditetapkan bahwa stimulasi dengan frekuensi 1 Hz diberikan secara terus menerus (continous) tanpa ada intertrain interval, (4). Frekuensi. Frekuensi menjelaskan pengulangan gelombang perdetik. Diukur dengan hertz (HZ). Umumnya frekuensi yang ditetapkan adalah 1 Hz, 5 Hz, 10 Hz, dan 20 Hz. Berikut ini tabel yang menggambarkan dosis penggunaan TBS pada orang normal yang tidak menimbulkan efek samping. Tabel 3. Protokol Theta burst stimulation pada orang normal, tidak ada efek samping yang dilaporkan. Pulse in the Total train pulse Tempat stimulasi Intensitas burst



‘‘Standar” cTBS



(Huang et al. 2005) Protokol ”Standar” iTBS



(Huang et al. 2005) Sylvanto et al.,2007 cTBS



3 pulse pada 600 (40 detik) frekuensi 50 Hz, diulang pada 5 Hz 3 pulse pada 600 frekuensi 50 Hz diulang pada 5 Hz. 8 pulse pada frekuensi 40 Hz diulang setiap 1,8 detik



200



80 % aktif MT



Motor cortex



80 % aktif MT



Motor cortex



80 % aktif MT



Motor cortex



(Rossi et al., 2009) pada penggunaan cTBS, intensitas yang digunakan adalah 90 % resting motor threshold (RMT), setara dengan 120 % active motor threshold (AMT).



48



BAB III RINGKASAN Repetitive Transcranial magnetic stimulation (rTMS) merupakan metode stimulasi kortek noninvasif, painless dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada beberapa kasus dalam bidang neurologi. Salah satunya sebagai terapi tambahan pada nyeri kronis seperti drug resistant dan nyeri sentral (nyeri post stroke, complex regional pain syndrome, fibromyalgia, neuralgia trigeminal, nyeri pantom). Ada tiga macam teknik TMS yang digunakan, antara lain (1). Single-pulse TMS, (2). Paired pulse TMS, dan (3). Repetitive TMS yang dibagi conventional dan patterened rTMS. Stimulasi rTMS mampu menghasikan efek analgesik dengan cara (a). mempengaruhi perubahan komponen sensori-discriminative dan motivasional afektif yang terlibat dalam proses nyeri, (b). memperbaiki plastisitas sinaptik melalui long term potentiation (LTP) dan long term depression (LTD) dan (c). sistem opioid endogen sehingga dapat membantu memperbaiki descending modulasi Disamping dapat mengurangi nyeri, TMS juga memiliki efek samping. Efek samping yang paling berat adalah kejang. Efek TMS juga dipengaruhi oleh beberapa variabilitas seperti geometri, penempatan kumparan, frekuensi, durasi stimulasi, bentuk gelombang, interaksi antara medan listrik induksi dengan jaringan saraf. Secara umum dibagi menjadi dua kategori utama yaitu faktor waktu dan geometri.



49



Daftar Pustaka Andersen S., Worm-Petersen, J., 1988. The prevalence of persisten pain on Danish Population. Pain , 332. Andrade D. C., Mhalla, A., Adam, F., Texeira, M. J., & Bouhassira, D., 2011. Neuropharmacological basis of rTMS-induced analgesia: The role of endogenous opioids. Pain , 320-326. Anonim 2008. The Burden of Pain Among Adult in United State. United State: Pfizer medical division. Baumer T., Lange, R., Liepert, J., 2003. Repeated premotor rTMS leads to cumulative plastic changes of motor cortex excitability in humans. Neuroimage; 20: 550–5. Barker A., 2002. The history and basic principles of magnetic nerve stimulation dalam. Handbook of transcranial magnetic stimulation, hal. 15-17. Bittar G.R., Purkayastha K.I.,Owen L.S., Bear R.E., Green A.,Wang Y.S., 2005. Deep brain stimulation for pain relief, Journal clinical of neuroscience. Cooke S. F., Bliss T. V., 2006. Plasticity in the human central nervous system. Brain , 1659–1673. Crucu G., Azis T.Z., Garcia-Larrea L., Hansson P., Jensen T.S., Lefaucher J.P., 2007. EFNS guidelines on neurostimulation therapy for neuropathic pain. European Journal of Neurology, 14: 952–970. Davey., 2002. Handbook of transcranial magnetic stimulation. A Hodder Arnold Publication. Demers D., 2011. Spinal cord stimulation. Biomedical engineering, 281. Extra I., 2010. Chronic Pain Management. USA. Fregni F., Freedman S., Pascual-Leone A., 2007. Recent advances in the treatment of chronic pain with non-invasif brain stimulation techniques. Lancet Neurol , 1881-91. Fregni F., Boggio P.S., Lima M.C., 2006. New insight into the therapeutic potential of noninvasif transcranial cortical stimulation in chronic neurophatic pain. Pain, 11-13. Greene S. A., 2010. Chronic pain : pathophysiology and treatment implications. Washington: Elsevier Inc. Neurology. Neurology , 145-158. Lefaucher J.P., Drout X., Nguyen J.P., 2001. Interventional neurophysiology for pain control. Duration of pain relief following of repeti tive transcranial magnetic stimulation of the motor cortex . Neurophysiol clin, 31, 247-249. Lefaucher J.P., Drout X., Menar-Lefaicher I., Nguyen J.P., 2004. Neurophatic pain control for more than a year by monhtly session by repetitive transcranial magnetic stimulation. Neurophysiol clin, 34, 91-95. Lefaucher J.P., 2006. The use of Repetitive transcranial magnetic stimulation in chronic neuropathic pain. Neurophysiologie Clinique, 36,177-124. Lefaucher J.P., 2008. Use of repetitive transcranial magnetic stimulation in pain relief. Expert Rev Neurotherapeutics 8(5), , 799-808.



50



Loeser J., 1999. The physiology, biochemistry, classification and assesment of pain. Dalam E. A. Shipon., Pain Acute and Chronic (hal. 1-5). London: Oxford University. Leung A., Donohue M, Xu, R., 2009. rTMS for suppressing neuropathic pain: a meta-analysis. Journal of Pain. 10(12): 1205-1216 Mhala A., Benedict S., Andrade D.C., Gantron M., Perrot S., 2010. Long-Term Maintanance of Analgesic Effects of rTMS in Fibromyalgia, Pain, 14781485. Meliala K.L., 2008. Patofisiologi nyeri. Dalam Nyeri neuropatik (hal. 1-9). Yogyakarta: Medikagama press. Noordhout A.M., 2006. General principle for clinical use of repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS). Neurophysiologie clinique 36 , 97-103. O'Connell N.E., Wand B.M., Marston L., Spencer S., Desouza L.H., 2010. Noninvasif brain stimulation techniques for chronic pain. Cochrane Database Syst Rev. Pell G.S., Roth Y., Zangen A., 2011. Modulation of cortical excitability induced by repetitive transcranial magnetic : Influence of timing and geometrical parameters and underlying. Progress in Neurobiology , 59-98. Peter Croft F.M., 2010. Chronic Pain Epidemiology. USA: Oxford University Press. Perdossi., 2011. Diagnosis dan penatalaksanaan nyeri neuropatik. Konsensus Nasional 1. Airlangga University Press. Pleger B., Jansen F., Schwenkreis P., Volker B., 2003. Repetitive transcranial magnetic stimulation on the motor cortex attenuates pain perseption in CRPS Type 1, Neuroscience Letter, 87-90. Pridmore S., Oberoi G., Transcranial magnetic stimulation (TMS) in chronic pain, 2005. studies in waiting. Journal of the Neurological Sciences; 182: 1–4. Renin C.L., Dorsey S.G., 2005. The Physiology and Processing of Pain , AACN clinical issues, vol 3, 277 - 290. Ridding M.C., Rothwell J.C., 2007. Is there a future for therapeutic use of transcranial magnetic stimulation?. Perspective, vol 8, 559-565. Rosa A.M., 2012. History of Transcranial magnetic stimulation, Transcranial magnetic stimulation, Neurosoft. Rossi S., Hallet M., Rossini P. M., Leono A.P., 2009. Safety, ethical considerations, and application guidelines for the use of transcranial magnetic stimulation in clinical practice and research. Clinical Neurophysyiology , 2011-2012. Ruiz-López R.,1995. The epidemiology of chronic pain. Pain digest , 76-78. Serge M., 2010. Applied pain neurophysiology. Dalam P. Beaulieu, Pharmacology of pain (hal. 3-19). Seattle: IASP Press. Shipton E. A., 1999. The physiology, biochemistry, classification and assesment of pain. Dalam Pain Acute and Chronic (hal. 1-3). London: Oxford University. Weiner K., 2008. Pain Is An Epidemic. American Academy of Pain Management.



51



52