Referat Forensik Cibitung Asfiksia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT “ASFIKSIA”



Pembimbing : dr. Suryo Wijoyo, Sp.KF., MH



Disusun oleh : FARHA MUFTIA D. S. (1102014092) RAFA” ASSIDIQ (1102014218)



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK RSUD KABUPATEN BEKASI



1



PERIODE 20 JULI - 8 AGUSTUS 2020



2



KATA PENGANTAR



Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan referat forensik dengan judul “Asfiksia”. Tugas ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Forensik di RSUD Kabupaten Bekasi. Penyelesaian tugas ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati penulis haturkan ucapan terima kasih kepada pembimbing dr. Suryo Wijoyo, Sp.KF.,MH. Penulis sangat menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan tugas ini dan sebagai bekal penulis untuk menyusun tugas-tugas lainnya di kemudian hari. Semoga referat ini banyak memberi manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.



Cibitung, Juli 2020



Penulis



3



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..2



BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………………………...4



BAB II : TINJAUAN PUSTAKA…..…………………………………………………..5 1.



Definisi Asfiksia………..........................................................................................5



2.



Epidemiologi Asfiksia…………………………………………………………….6



3.



Klasifikasi Asfiksia……………………………………………………………… 7



4.



Cardinal’s Sign dari Asfiksia…………………………………………………….9



5.



Tekanan pada Leher / Strangulasi……………………………………………. 13 5.1. Gantung (Hanging)………………………………………………………….14 5.2. Penjeratan (Strangulation by Ligature)…………………………………….17 5.3. Cekikan (Manual Strangulation)…………………………………………...20



6.



Sufokasi…………………………………………………………………………...23



7.



Pembekapan……………………………………………………………………...23



8.



Choking / Gagging……………………………………………………………….24



9.



Crush Asphyxia…………………………………………………………………..24



10. Tenggelam (Drawning)………………………………………………………….25



BAB III : KESIMPULAN….……………………………………………….………….29



DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….....…….30



4



BAB I PENDAHULUAN Asfiksia diartikan sebagai gabungan hipoksemia (kekurangan oksigen dalam darah), hiperkapnia (peningkatan karbondioksida dalam darah), dan iskemia jaringan yang mengakibatkan metabolisme anaerobik, dan jika tidak dipulihkan akan berakhir dengan kematian(3). Data CDC (Central for Disease Control and Prevention) pada tahun 1999 sampai 2004, berdasarkan data kematian di Amerika Serikat terdapat ± 20.000 kasus kematian oleh asfiksia seperti, tenggelam, gantung diri, strangulasi, dan sufonifikasi. Di Indonesia, kematian akibat asfiksia berada pada urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas (KLL). Di RSUP Cipto Mangunkusumo tahun 1995- 2004, angka bunuh diri di Jakarta mencapai 5,8%. Dari 1.119 korban bunuh diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% bunuh diri dengan minum obat serangga, dan sisanya 356 tewas karena overdosis obat-obatan terlarang(6,8). Pada saat ini banyak klasifikasi asfiksia internasional. Pada umumnya diklasifikasikan menjadi mechanical asphyxia, non-mechanical asphyxia, dan miscellaneous asphyxia(2). Selain itu ada juga yang mengklasifikasikan asfiksia menjadi enam, yaitu strangulasi (hanging, strangulation by ligature, manual strangulation), sufokasi, pembekapan, penyumpalan (choking/gaging), tenggelam (drawning), dan crush asphyxia(4). Asfiksia terjadi dalam beberapa episode atau fase yang disebut dengan asphyxia apisode. Asphyxial episode merupakan urutan fase-fase yang paling sering ditemukan pada kasus asfiksia, yaitu dyspnoea phase, convulsive phase, pre-terminal phase, kemudian gasping, dan terakhir adalah terminal phase(2). Pada referat ini akan dibahas mengenai klasifikasi dari asfiksia dan fase-faase yang terjadi dalam asphyxia episodes.



5



BAB II PEMBAHASAN 1. Definisi Asfiksia “Asphyxia” berasal dari bahasa Yunani yang artinya tidak terdapat pulsasi (absence or lack of pulsation atau stopping of the pulse)(1,2). Asfiksia merupakan kondisi delivery, penyerapan (uptake), dan/atau penggunaan (utilization) dari oksigen ke jaringan atau sel tubuh, biasanya disertai dengan retensi karbondioksida (CO 2)(1). Kondisi ini dapat menyebabkan turunnya level kesadaran, bahkan kematian (3). Pada kedokteran forensik, asfiksia biasa digunakan untuk menggambarkan situasi terjadinya physical obstruction di antara mulut dan hidung hingga alveoli(2). Namun pengertian asfiksia dan anoksia (atau lebih tepatnya hipoksia) seringkali dicampuradukan(4). Anoksia adalah suatu keadaan dimana tubuh sangat kekurangan oksigen, yang berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 4 golongan, yaitu(4): 1. Anoksia anoksik (anoxic anoxia); yaitu keadaan anoksia yang disebabkan oksigen tidak dapat mencapai darah sebagai akibat kurangnya oksigen yang masuk kedalam paru-paru. 2. Anoksia anemik (anaemic anoxia); yaitu keadaan anoksia yang disebabkan darah tidak dapat menyerap oksigen, seperti pada keracunan karbon monoksida. 3. Anoksia stagnan (stagnant anoxia); yaitu kedaan anoksia yang disebabkan darah tidak mampu membawa oksigen ke jaringan, seperti pada heart failure atau embolism. 4. Anoksia histotoksik (histotxic anoxia); yaitu keadaan anoksia yang disebabkan jaringan tidak mampu menyerap oksigen, seperti pada keracunan cyanida. Ketiga jenis anoksia yang terakhir (yaitu anoksia anemik, Stagnan, dan histiosik) disebabkan oleh penyakit atau keracunan, sedangkan anoksia yang pertama (yaitu anoksia anoksik) disebabkan oleh kekurangan oksigen atau karena obstruksi



6



mekanik pada jalan nafas. Pengertian asfiksia sebenarnya adalah anoksia anoksik atau sering juga disebut asfiksia mekanik (mechanical asphyxia)(4). Tabel1. Contoh-contoh kondisi asfiksia(2)



Sederhananya asfiksia diartikan sebagai gabungan hipoksemia (kekurangan oksigen dalam darah), hiperkapnia (peningkatan karbondioksida dalam darah), dan iskemia jaringan yang mengakibatkan metabolisme anaerobik, dan jika tidak dipulihkan akan berakhir dengan kematian(3). 2. Epidemiologi Asfiksia Data CDC (Central for Disease Control and Prevention) pada tahun 1999 sampai 2004, berdasarkan data kematian di Amerika Serikat terdapat ± 20.000 kasus kematian oleh asfiksia seperti, tenggelam, gantung diri, strangulasi, dan sufonifikasi. Dimana kasus gantung diri dan stangulasi terdata banyak pada usia antara 35-44 tahun sedangkan kasus asfiksia homisidal jarang terjadi(6). Di Indonesia, kematian akibat asfiksia berada pada urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas (KLL). Di RSUP Cipto Mangunkusumo tahun 1995- 2004, angka bunuh diri di Jakarta mencapai 5,8%. Dari 1.119 korban bunuh diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% bunuh diri dengan minum obat serangga, dan sisanya 356 tewas karena overdosis obat-obatan terlarang. Dalam penelitian retrospektif di RSUP Sardjito Jogjakarta tahun 2007-2012, prevalensi asfiksia mekanik terbanyak yaitu 64% pada pria dengan usia 21-40 tahun. Data rekam medis RSUD Soetomo FK UNAIR periode Januari 2013 – Desember 2015, didapatkan 8 kasus asfiksia, dengan 5 kasus diantaranya adalah kasus asfiksia pembunuhan anak(7,8).



7



3. Klasifikasi Asfiksia Pada saat ini banyak klasifikasi asfiksia internasional, berikut merupakan klasifikasi asfiksia yang umum digunakan(2). 1) Mechanical(2) -



Strangulation adalah tekanan terhadap leher oleh tali (ligature), atau tangan, dan lain-lain.



-



Hanging adalah tekanan terhadap leher oleh tali (ligature) dan berat tubuh.



-



Choking adalah physical obstrucion pada jalan napas.



-



Compression asphyxia tekanan terhadap dada atau abdomen sehingga terjadi physical interference kemudian menyebabkan korban bernapas dengan tidak efektif.



-



Smothering adalah physical obstruction pada mulut/hidung sehingga menutup pernapasan efektif.



2) Non-mechanical(2) -



Carbon monoxide poisoning adalah terjadinya chemical inetrference terhadap sistem respirasi tingkat seluler.



-



Cyanide poisoning adalah terjadinya chemical inetrference terhadap sistem respirasi tingkat seluler



3) Miscellaneous(2) -



Drawning adalah physical interference terhadap respirasi.



8



Gambar1.



(a)Contoh mechanical asphyxia. (b)Tanda cengkraman (grip marks) pada leher dan rahang bawah disebabkan oleh manual strangulation. (c)Tanda tali (ligature marks) disebabkan oleh cekikan, tampak gambaran kongesti (tide mark) di atas double ligature(2) Asphyxial insult tidak terlalu fatal, hal ini tergantung pada sifat, derajat, dan lamanya waktu perlakuan. Sangat mungkin pada beberapa korban tidak mengalami efek kesehatan jangka panjang yang merugikan. Meskipun dapat juga selamat dalam kondisi vegetative state oleh karena irreversible hypoxic-ischaemic brain injury, tergantung dari lamanya waktu oksigenasi yang inadekuat. Pada korban yang masih hidup dilakukannya pemeriksaan yang tepat, dokumentasi, dan investigasi dapat digunakan untuk mengoptimalkan bukti yang bermanfaat secara forensik untuk membantu proses hukum selanjunya. Pada korban meninggal, disarankan untuk diperiksa oleh forensic pathologist untuk mengidentifikasi bukti kekerasan (evidence of assault) (2). Pada buku Ilmu Kedokteran Forensik Unissula, berikut jenis kejadian atau keadaan yang dapat mengakibatkan asfiksia, yaitu antara lain(4): 1) Strangulasi: -



gantung (hanging).



-



penjeratan (strangulation by ligature).



-



cekikan (manual strangulation). 9



2) Subfokasi 3) Pembekapan 4) Penyumpalan (choking/ gaging). 5) Tenggelam (drowning). 6) Crush asphyxia: -



tekanan oleh benda berat pada dada dan perut.



-



berdesakan.



4. Fase-Fase dan Tanda-Tanda dari Asfiksia Jika tubuh kekurangan oksigen maka gejala klinik yang akan terjadi tergantung pada tingkat kekurangan zat tersebut(4). Tabel2. Urutan fase yang mungkin terjadi pada asphyxial episode(2)



Asphyxial episode merupakan urutan fase-fase yang paling sering ditemukan pada kasus asfiksia, yaitu dyspnoea phase, convulsive phase, pre-terminal phase, kemudian gasping, dan terakhir adalah terminal phase(2). Penelitian mengenai patofisiologi dari asfiksia masih terus berkembang, termasuk menganalisis urutan fase asphyxial episode(2). Berikut penjabaran asphyxial episode(2,4): (1) Fase Dyspneu Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang ditandai dengan meningkatnya amplitude dan frekuensi pernapasan disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Pada stadium ini gerakan pernapasan menjadi lebih cepat dan berat, denyut nadi lebih



10



cepat, tekan darah naik, dan cyanosis. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke fase kejang. (2) Fase Konvulsi Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan saraf pusat sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan tekanan darah perlahan akan ikut menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat saraf yang lebih tinggi dalam otak, akibat kekurangan O2 dan penderita akan mengalami kejang. (3) Fase Apneu Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot pernapasan menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun, pernapasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun napas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja secara mendadak. (4) Fase akhir (final stage) Pada stadium ini terjadi paralyse secara komplit dari pusat pernapasan. Namun sebelum pernapasan berhenti sama sekali dapat terlihat adanya gerakan nafas oleh otot-otot pernapasan sekunder. Pernapasan berhenti setelah berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung ± 3 – 4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap. Terdapat classic signs dari asfiksia, yaitu sebagai berikut(2,4). -



Venous congestion dan Petechial hemorrhages Kongesti yang tejadi di paru-paru pada kematian karena asfiksia bukan merupakan tanda yang khas. Kongesti yang khas yaitu kongesti sistemik yang 11



terjadi di kulit dan organ selain paru-paru. Sebagai akibat dari kongesti vena akan terlihat adanya bintik-bintik perdarahan (petechial hemorraghes atau sering juga disebut Tardieu spot). Bintik-bintik perdarahan tersebut lebih mudah terjadi pada jaringan longgar, misalnya jaringan bawah kelopak mata, Penekanan pada vena leher (seperti misalnya akibat srangulasi) akan menyebabkan timbulnya bintikbintik perdarahan pada mata dan muka. Bintik-bintik perdarahan ini lebih mudah dilihat pada organ yang memiliki membran yang transparan; misalnya pleura, perikardium atau kelenjar thimus. Pada asfiksia yang berat maka bintik-bimik perdarahan dapat terlihat pada faring atau laring. -



Edema Kekurangan oksigen yang berlangsung lama akan mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah kapiler, sehingga permeabilitasnya meningkat. Keadaan ini akan menyebabkan timbulnya edema, utamanya edema paru-paru. Pada strangulasi juga dapat terlihat adanya edema pada daerah muka, lidah dan faring.



-



Cyanosis Kurangnya oksigen akan menyebabkan darah menjadi lebih encer dan lebih gelap. Warna kulit dan selaput lendir (mukosa) terlihat lebih gelap, demikian juga warna lebam mayat. Perlu diketahui bahwa pada setiap proses kematian pada akhirnya akan terjadi juga keadaan anoksia jaringan. Oleh sebab itu keadaan cyanosis dalam berbagai tingkat dapat juga terjadi pada kematian yang tidak disebabkan karena asfiksia. Dengan kata lain keadaan cyanosis bukan merupakan tanda yang khas pada asfiksia.



-



Abnormal fluidity of the blood Terjadi akibat peningkatan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku. Gambaran tetntang tetap cairnya darah terlihat saat autopsi akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Classic signs dari asfiksia ini tidak khas karena umum terjadi pada kasus lain



contohnya kematian pada congestive cardiac(2). Meningkatnya tekanan intravaskular pada pembuluh darah di kepala/leher menjadi penyebab 3 tanda petama (2). Tanda non spesifik pada kematian asfiksia, yaitu kongesti viscera dan petechiae (Tardieu spots) . 12



Kadar oksigen yang rendah pada asfiksia menyebabkan kadar hemoglobin (Hb) juga berkurang, apabila Hb < 5g/100mL akan tampak cyanosis (kebiruan di kulit bawah kuku, bibir, lidah, dan kadang di bagian mata)(3). Sementara itu, kongesti jantung kanan dan fluiditas darah tidak relevan untuk memastikan kematian akibat asfiksia(2).



Gambar2. Petechiae dan hemorrhage di kulit wajah dan konjungtiva pada manual



stranguation(2) Gambar3. (a)Tardieu spots (subpleural petechial hemorrhages) pada manual strangulation(2). (b) Tardieu spots di kulit. (c) Tardieu spots di pericardium. Pada pemeriksaan klinis dari korban selamat dari asphyxial episode mungkin tampak seperti berikut(2): -



Nyeri dan tenderness di sekitar leher dan alat yang ada di leher; 13



-



Kerusakan pada larynx dan kartilago di sekitarnya;



-



Kerusakan pada os hyoid;



-



Air liur yang mengering di sekitar mulut;



-



Cyanosis (pada korban selamat yang ditemukan setelah serangan);



-



Petechiae di atas garis tekan (compressive force) yang telah mengakibatkan asfiksia;



-



Hemorrhage dari mulut, hidung dan kedua telinga diduga terjadi akibat peningkatan tekanan intravaskular, inkontinensia faeces dan urin.



5. Tekanan pada Leher / Strangulasi Terdapat tiga contoh dari penekanan pada leher yang menyebabkan asfiksia, yaitu manual strangulation, ligature stragulation, dan hanging. Penekanan pada leher dapat terjadi beberapa hal berikut(2). -



Obstruksi v. jugularis, menyebabkan terganggunya venous return dari kepala ke jantung (menyebabkan cyanosis, congestion, dan petechiae);



-



Obstruksi a. carotis, menyebabkan cerebral hypoxia;



-



Stimulasi baroreseptor a. carotis pada bifurcatio a. carotis communis, menyebabkan neurologically mediated cardiac arrest;



-



Elevasi larynx dan lidah, menyebabkan tertutupnya jalan napas setinggi pharynx (kecuali penekanan ekstrim pada leher, terutama cartilaginous trachea karena lebih resisten terhadap penekanan). Tekanan mekanik pada leher dapat menyebabkan hilang kesadaran dalam waktu



cepat. Pada kasus gantung (hanging) hilang kesadaran dapat timbul dalam waktu 10 detik, gerakan respirasi mulai tidak terlihat setelah 2 menit, dan gerakan otot berkurang setelah 7,5 menit. Dalam sebuah penelitian, seekor anjing yang menjadi subjek hanging, terdapat potensi selamat sebelum 14 menit tergantung karena belum terjadi obstructive asphyxiation(2). Stimulasi mekanik pada baroreseptor sinus carotis di leher dapat berakibat fatal. Minimal pressure pada leher mengakibatkan vagal inhibition atau reflex cardiac arrest kemudian terjadi ventricular arrhythmia/asystole. Stimulasi pada baroreseptor sinus carotis diteruskan ke nucleus tractus of solitarius dan vagal nuclei di medulla melaui nervus sinus carotis cabang dari nervus glossopharyngeal. Impuls parasimpatis diteruskan lagi ke jantung melalui nervus vagus kemudian terjadi bradikardia dan berpotensi asistol. Waktu kematian dapat terjadi kapan saja selama 14



dilakukan penekanan leher karena terjadinya vagal inhibition, hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa pada beberapa kasus tidak menunjukkan satupun classic signs dari asfiksia. Lamanya durasi penekanan pada leher atau dada menyebabkan kongesti yang terus terjadi dan terbentuk petechiae sekitar minimal 10 – 30 detik(2).



Gambar4. (a)Lokasi bifurcation sinus carotis dari a. carotis communis di leher. (b) Penekanan pada area leher menyebabkan kompresi sinus carotis(2). 5.1 Gantung (Hanging) Gambar5. Gambaran peristiwa gantung (hanging)



Peristiwa gantung (hanging) adalah peristiwa dimana seluruh atau sebagian dari berat tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami tekanan setempat(4). Dengan definisi seperti itu, maka peristiwa gantung tidak harus seluruh tubuhnya berada di atas lantai, sbeab dengan tekanan berkekuatan 10 pon pada 15



leher sudah cukup untuk menghentikan aliran darah pada daerah itu. Oleh karena itu, tindakan gantung diri misalnya, dapat dilakukan dengan kaki tetap menyentuh lantai(4). Ciri-ciri yang dapat dilihat pada jenazah akibat gantung diri yang sebagian tubuhnya menyentuh lantai agak berbeda dengan ciri-ciri peristiwa gantung yang seluruh tubuhnya berada di atas lantai, yaitu(4): 1) Jejas jerat tidak begitu nyata. 2) Letak jejas jerat di leher lebih rendah. 3) Arah jejas jerat lebih mendekati horizontal. 4) Karena efek tali hanya menekan vena, maka tanda-tanda lain yang dapat dilihat adalah muka sembab, warna merah kebiruan, serta ditemukan bintikbintik perdarahan. Gantung diri juga dapat dilakukan dengan cara meletakkan leher bagian depan pada suatu benda (misalnya tangan kursi, tangga, atau tali yang terbentang) guna menahan sebagian atau seluruh berat tubuhnya. Jejas yang terlihat pada leher tidak jelas dan tidak khas, atau mungkin bahkan tidak terlihat sama sekali(4). Penyebab Kematian Gantung (Hanging) Kematian yang tejadi pada peristiwa gantung (baik karena bunuh diri, pembunuhan, atau kecelakaan) dapat disebabkan oleh karena(4): -



asfiksia.



-



gangguan sirkulasi darah ke otak.



-



syok karena vagal reflek.



-



kerusakan medulla spinalis akibat dislokasi sendi atlantoaxial, misalnya pada judicial hanging). Tanda-tanda yang dapat dilihat pada tubuh jenazah dengan sendirinya



tergantung dari penyebab kematiannya(4). Kelainan Pos Mortem pada Gantung (Hanging) Jika penyebab kematiannya karena asfiksia maka pada jenazahnya akan dijumpai adanya tanda-tanda umum dan tanda-tanda khas (spesifik) (4). 1. Tanda-Tanda Umum: 16



-



sianosis.



-



bintik-bintik perdarahan dan pelebaran pembuluh darah.



-



kongesti di daerah kepala, leher, dan otak.



-



darah lebih gelap dan encer.



2. Tanda-Tanda Khas: -



jejas jerat; berupa lekukan melingkari leher (secara penuh atau sebagian) dan di sekitarnya kadang-kadang terlihat adanya bendungan



-



jejas melingkar tidak secara horisontal, melainkan mengarah keatas menuju arah titik simpul dan membentuk sudut atau jika jejas diteruskan (pada jejas yang tidak melingkar secara penuh) akan membentuk sudut semu.



-



warna jejas coklat kemerahan (karena lecet akibat tali yang kasar), perabaan keras seperti kertas perkamen.



-



pada



pemeriksaan



mikroskopik



ditemukan



adanya



pelepasan



(deskuamasi) epitil serta reaksi jaringan. -



resapan darah padajaringan bawah kulit dan otot.



-



patah tulang, yaitu os hyoid (biasanya pada cornu mayus) atau cartilago cricoid.



-



lebam mayat ditemukan pada tubuh bagian bawah, anggota gerak bagian distal, dan ujung alat kelamin laki-laki jika sesudah meninggal dunia tetap dibiarkan dalam keadaan tergantung cukup lama.



-



lidah terlihat menjulur keluar jika posisi tali melingkar di bawah cartilago



thyroidea



dan



berwarna



lebih



gelap



akibat



prroses



pengeringan. Cara Kematian (Manner of Death) pada Gantung (Hanging) Jika seseorang ditemukan meninggal dunia dalam keadaan tergantung maka cara kematiannya harus diselidiki dengan teliti boleh jadi orang itu bunuh diri, atau dibunuh lebih dahulu kemudian digantung, atau karena kecelakaan(4). 1. Bunuh diri: Kejadian ini paling banyak di jumpai pada jenazah yang meninggal dunia akibat gantung. 2. Pembunuhan:



17



Biasanya sebelum digantung lebih dahulu dibunuh dengan cara lain. Oleh sebab itu pada tubuh jenazah akan dijumpai lebam mayat yang letaknya pada punggung (jika sebelum digantung dalam posisi terlentang) atau pada tubuh bagian depan (jika posisi mayat tengkurap sebelum digantung). 3. Kecelakaan: Keadaan ini bisa terjadi jika pada waktu jatuh, bagian belakang bajunya tersangkut pada cabang pohon sehingga bagian depan bajunya menahan berat badan korban dan menekan pembuluh darah leher dan tenggorok. Kecelakaan juga bisa menimpa penerjun yang payung yang tali parasutnya tersangkut di pohon dan melilit lehernya. Untuk menentukan cara kematian tersebut perlu dilakukan pemeriksan di tempat kejadian. Tujuan pertamanya ialah untuk mengetahui apakah korban benarbenar sudah mati apa belum. Jika ada dugaan belum mati maka hendaknya korban segera diturunkan untuk kemudian dilakukan penyelamatan. Tujuan keduanya ialah untuk mengumpulkan fakta-fakta guna dipakai sebagai dasar membuat kesimpulan tentang cara kematian tersebut(4). Hal-hal yang perlu dilihat dalam pemeriksaan di tempat kejadian guna menentukan cara kematiannya ialah(4): 1. Keadaan lokasi Perlu dilihat ada tidaknya benda-benda penumpu, misalnya kursi atau meja sebagai pijakan(4). 2. Posisi Korban Perlu dipikirkan kemungkinannya korban dapat melakukan gantung diri dengan posisi seperti yang ditemukan(4). 3. Keadaan tali Perlu dipikirkan kemungkinannya yang bersangkutan dapat melakukan gantung diri dengan kondisi tali dan simpul seperti yang ditemukan. Juga perlu dipikirkan kondisi simpulnya, yaitu simpul hidup atau simpul mati. Jika menggunakan simpul mati, mungkinkah besarnya lingkar jerat tali dapat dilewati oleh kepala yang bersangkutan(4). 4. Distribusi lebam mayat Distribusi lebam mayat dapat dipakai sebagai petunjuk peristiwa pembunuhan atau bunuh diri. sesuai. Kondisi lidah (menjulur atau tidak), perlu dikaitkan dengan posisi jeratan dileher(4). 18



Mengenai keluarnya sperma, urine, dan faeces tidak dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa cara kematian yang bersangkutan disebabkan karena bunuh diri. Juga kondisi lidah, menjulur atau tidak menjulur, tidak dapat dipakai sebagai petunjuk pembunuhan atau bunuh diri. Kondisi lidah hanya dapat dikaitkan dengan posisi jeratan di leher(4). 5.2 Penjeratan (Strangulation by Ligature) Pada peristiwa gantung maka kekuatan jeratnya dari berat tubuhnya sendiri, namun pada jeratan dengan tali (strangulation by ligature) kekuatan jeratannya berasal dari tarikan pada kedua ujungnya. Dengan kekuatan tersebut, pembuluh darah balik (vena) dan jalan nafas akan tertekan Sehingga mengganggu aliran darah dan udara(4). Pada bunuh diri dengan cara ini, tali yang dipakai seringkali disilangkan dan sering pula dijumpai adanya simpul guna mencegah jeratan mengendur jika orang yang bunuh diri tersebut mulai tidak sadar dan melepaskan tarikannya. Jeratan pada bagian depan leher hampir selalu melewati membrane yang menghubungkan tulang rawan hyoid dan tulang rawan thyroid(4). Jika tali yang digunakan untuk menjerat berasal dari bahan yang lembek dan halus atau sesudah mati ikatan menjadi longgar maka jeratan tersebut sering tidak meninggalkan jejas pada leher(4). Sebab Kematian pada Penjeratan (Strangulation by Ligature) Pada peristiwa penjeratan dengan menggunakan tali maka kematian yang terjadi dapat disebabkan oleh(4): -



tertutupnya jalan nafas sehingga menimbulkan anoksia atau hipoksia.



-



tertutupnya vena sehingga menyebabkan anoksia otak.



-



vagal reflek.



-



tertutupnya pembuluh darah carotis sehingga jaringan otak kekurangan darah, kecuali pada bunuh diri yang kekuatan jeratnya diragukan mampu menutup pembuluh darah carotis.



Kelainan Post Mortem pada Penjeratan (Strangulation by Ligature) Pada tubuh jenazah yang meninggal dunia akibat jeratan tali dapat ditemukan kelainan sebagai berikut(4): 19



1. Leher a. Jejas jerat: -



Tidak sejelas jejas gantung.



-



Arahnya horizontal.



-



kedalamannya regular (sama), tetapi jika ada simpul atau tali disilangkan maka jejas jerat pada tempat tersebut lebih dalam dan lebih nyata.



-



tinggi kedua ujung jejas jerat tidak sama.



b. Lecet atau memar : Pada peristiwa pembunuhan sering ditemukan adanya lecet atau memar di sekitar jejas. Kelainan tersebut terjadi karena korban berusaha membuka jeratan. 2. Kepala a. Terlihat tanda-tanda asfiksia. b. Kongesti dan bintik-bintik perdarahan pada daerah di atas jejas. Jika kematiannya karena vagal reflek maka tanda-tanda tersebut diatas tidak ditemukan. 3. Tubuh bagian dalam a. Leher bagian dalam terdapat : -



resapan darah pada otot jaringan ikat.



-



fraktur tulang rawan (terutama tulang rawan thyroid) kecuali pada korban yang masih muda dimana tulang rawan masih sangat elastis.



-



kongesti pada jaringan ikat, kelenjar limfe, dan pangkal lidah.



b. Paru-paru -



ditemukan edema paru-paru.



-



ditemukan adanya buih halus pada jalan napas



Cara Kematian pada Penjeratan (Strangulation by Ligature) Peristiwa jeratan dengan menggunakan tali (strangulation by ligature) dapat terjadi pada kasus(4): -



pembunuhan.



-



bunuh diri.



-



kecelakaan.



20



Untuk menentukan cara kematian tersebut perlu diperiksa dengan teliti. Biasanya pada pembunuhan ditemukan lecet-lecet atau memar-memar disekitar jejas karena korban berusaha melepas jeratan. Pada bunuh diri biasanya terdapat simpul atau kalau tidak posisi tali disilangkan agar supaya jeratan dapat terkunci dan berlangsung terus walau orang yang bunuh diri sudah dalam keadaan tidak sadar. Dalam hal tali disilangkan tanpa simpul perlu diperhatikan apakah tali itu kasar atau halus sebab jika tali halus maka jeratan akan mengendur ketika orang yang melakukan bunuh diri sudah mulai tidak sadar(4). Jeratan tali juga bisa teljadi karena kecelakaan, seperti misalnya pada bayi yang terlilit oleh pakaiannya sendiri atau pada buruh pabrik yang pakaiannya tersangkut mesin dan menjerat lehernya sendiri(4).



5.3 Cekikan (Manual Strangulation) Cekikan dengan tangan merupakan jenis strangulasi yang hampir selalu disebabkan oleh pembunuhan. Memang dapat disebabkan kecelakaaan (misalnya pada latihan bela diri atau pembuatan film), tetapi sangat jarang sekali. Yang jelas peristiwa pencekikan tidak mungkin digunakan untuk bunuh diri, sebab cekikan akan lepas begitu orang yang melakukan bunuh diri mulai kehilangan kesadaran(4). Pada pembunuhan, cckikan dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau kedua tangan. Kadang-kadang digunakan lengan bawah untuk membantu menekan leher dari samping(4). Sebab Kematian pada Cekikan (Manual Strangulation) Penyebab kematian (cause of death) pada peristiwa pencekikan dengan menggunakan tangan ialah(4): -



tertutupnya jalan nafas sehingga menyebabkan anoksia.



-



tertutupnya pembuluh balik (vena) sehingga menyebabkan anoksia otak.



-



tertutupnya pembuluh nadi carotis sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah ke otak.



Kelainan Post Mortem pada Cekikan (Manual Strangulation) 1. Leher 21



a. Bagian luar(4): -



memar yang bentuknya bulat atau lonjong akibat tekanan jari-jari orang yang melakukannya.



-



lecet berbentuk bulan sabit akibat kuku.



b. Bagian dalam(4) : -



resapan darah nampak lebih jelas daripada strangulasi jenis lain: yaitu pada jaringan ikat bawah kulit di belakang kerongkongan, dasar lidah, dan kelenjar thyroid.



-



fraktur dari tulang rawan thyroid, cricoids dan hyoid.



2. Paru-paru Edema paru-paru terjadi jika anoksia berlangsung lama. Bila penekanan pada leher terjadi secara intermiten maka pada mulut dan lubang hidung akan terlihat adanya buih halus(4).



Gambar5. Luka memar, bekas tekanan jari, luka lecet akibat penekanan kuku jari(9)



22



Gambar6. Luka memar dan luka lecet pada leher dan rahang bawah akibat pencekikan dengan letak jari tinggi atau pencekikan dengan lengan(9)



Gambar7. Perdarahan mukosa laring(9)



Gambar8. Fraktur Os Hyoid dan Fraktur(9)



23



6. Sufokasi Peristiwa sufokasi (suffocation) dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara setempat kurang memadai, seperti misalnya tempat tahanan yang tidak ada ventilasinya atau di tempat penambangan yang mengalami keruntuhan(4). Kematian dapat terjadi dalam beberapa jam, tergantung dari luasnya ruangan dikaitkan dengan kebutuhan oksigen bagi prang yang ada didalamnya. Pada orang yang sedang istirahat kebutuhan oksigen lebih sedikit daripada ketika sedang bekerja keras(4). Sebab kematian pada penderita sukofasi biasanya merupakan kombinasi dari anoksia, keracunan C02, hawa panas, dan kemungkinan juga luka-luka akibat runtuhnya tempat penambangan itu(4). Pada pemeriksaan post mortem akan dapat dilihat adanya tanda-tanda umum asfiksia disertai tanda-tanda lain, misalnya lukaluka yang terjadi akibat tertimpa reruntuhan(4).



7. Pembekapan Pembekapan (smothering) merupakan jenis asfiksia yang disebabkan oleh penutupan lubang hidung dan mulut secara bersamaan. Penutupan bisa dilakukan dengan menggunakan tangan atau sesuatu benda yang lunak (misalnya bantal) (4). Peristiwa



pembekapan



tersebut



dapat



terjadi



karena



pembunuhan,



kecelakaan, atau bunuh diri. Yang sering terjadi ialah kecelakaan pada anak-anak ketika bermain dengan memasukan kepala kedalam kantong plastik. Cara seperti itu juga Sering digunakan oleh orang dewasa untuk melakukan bunuh diri atau pembunuhan(4). Kematian yang terjadi pada peristiwa smothering lebih cepat daripada pcrisliua sufokasi. dengan tanda-tanda asllksia yang sangat jelas. Benda-hcnda lunak seperti bantal sering digunakan karena tidak meninggalkan bekas luka(4).



24



8. Choking/ Gaging Choking/ gaging merupakan jenis asfiksia yang disebabkan blokade jalan nafas oleh benda asing yang datangnya dari luar ataupun dari dalam tubuhnya sendiri (misalnya inhalasi tumpahan, tumor, jatuhnya lidah kebelakang ketika dalam keadaan tidak sadar, bekuan darah atau gigi yang lepas). Gejalanya sangat khas sekali yaitu dimulai dengan batuk-batuk yang terjadinya secara tiba-tiba, kemudian disusul tandatanda sianosis, dan pada akhirnya meninggal dunia(4). Pada pemeriksaan post mortem dapat dilihat adanya tanda-tanda asfiksia yang sangat jelas, kecuali jika kematiannya karena vagal reflek. Dapat ditemukan adanya material yang menyebabkan blokade jalan napas. Kadang-kadang kematian terjadi sangat cepat tanpa disertai tanda-tanda chocking, terutama pada kematian karena vagal reflek akibat inhalasi makanan sehingga memberikan kesan adanya serangan jantung. Kasus seperti itu seringkali disebut cafe coronaries(4).



9. Crush Asphyxia Crush asphyxia merupakan peristiwa dimana dada dan perut mendapat tekanan secara bersamaan oleh suatu kekuatan yang besar, misalnya tertimpa pohon yang tumbang atau tebing yang runtuh. Crush asphyxia juga terjadi karena berdesakdesakan keluar dari suatu ruangan melalui pintu sempit. Akibat tekanan tersebut maka akan terjadi kompresi dada dan perut sehingga diafragma dalam keadaan terfiksir. Akibatnya gerakan pernafasan tidak mungkin sehingga tubuh mengalami asfiksia(4). Pada pemeriksaan post mortem terlihat adanya tanda-tanda umum asfiksia: seperti sianosis, bintik-bintik perdarahan bagian atas dari tubuh, edema serta pembengkakan pada bola mata dan kongesti pada tubuh sebelah atas akibat darah terdorong ke atas oleh kompresi pada abdomen. Jika benda yang menekan itu sangat berat maka kemungkinan kematiannya bukan karena asfiksia, tetapi karena sebab lain; misalnya perdarahan karena hancurnya organ-organ dalam(4).



10. Tenggelam (Drawning) Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam didalam air. Asal lubang hidung dan mulut berada dibawah permukaan air maka hal 25



itu sudah cukup memenuhi kriteria sebagai peristiwa tenggelam. Berdasarkan pengertian tersebut maka peristiwa tenggelam tidak hanya terjadi di laut atau di sungai saja, tetapi juga dapat terjadi didalam watafel atau ember berisi air(4). Perlu diketahui bahwa jumlah air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru-paru adalah sekitar 2 liter untuk orang dewasa atau 30 – 40 mililiter untuk bayi(4). Adapun kematian yang dapat terjadi pada peristiwa tenggelam dalam air dapat disebabkan oleh(4): 1. Vagal reflek. Peristiwa tenggelam yang mengakibatkan kematian karena vagal reflek disebut tenggelam tipe I. Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post mortem tidak ditemukan adanya tanda-tanda asfikasia ataupun air didalam paru-parunya sehingga sering disebut tenggelam kering (dry drawning). 2. Spasme laring. Kematian karena spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat jarang sekali terjadi. Spasme laring tersebut disebabkan karena rangsangan air yang masuk ke laring. Pada pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, tetapi paru-parunya tidak didapati adanya air atau benda-benda air. Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe I. 3. Pengaruh air yang masuk paru-paru. a. Pada peristiwa tenggelam di air tawar akan menimbulkan anoksia disertai gangguan elektrolit. Perlu diketahui bahwa masuknya air tawar didalam paruparu akan meng-akibatkan hemodilusi dan hemolisis. Dengan pecahnya eritrosit maka ion kalium intrasel akan terlepas sehingga menimbulkan hyperkalemi yang akan mempengaruhi kerja jantung (terjadi flbrilasi ventrikel). Pemeriksaan post mortem ditemukan tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl jantung kanan lebih tinggi dari jantung kiri dan adanya buih serta benda-benda air pada paruparu. Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe ll A. b. Pada peristiwa tenggelam di air asin akan mengakibatkan terjadinya anoksia dan hemokonsentrasi. Tidak terjadi gangguan elektrolit. Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe II B. Dibandingkan dengan tipe II A maka kematian tipe II B terjadi lebih lambat. Pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl pada jantung kiri 26



lebih tinggi daripada jantung kanan dan ditemukan buih serta benda- benda air pada paru-paru. Cara Kematian Tenggelam Tabel 2. Cara Kematian pada Korban Tenggelam(9) Cara Kematian pada Korban Tenggelam  Kematian wajar sebelum masuk ke dalam air (contoh: infark miokard) 



Kematian wajar ketika di dalam air, air masuk secara tidak sengaja







Kematian terjadi akibat hipotermia di dalam air







Kematian tidak wajar sebelum masuk ke dalam air (contoh: kekerasan)







Kematian akibat kekerasan saat di dalam air (contoh: tertabrak kapal)







Kematian akibat tenggelam yang sebenarnya, akibat aspirasi cairan di dalam paru-paru



Peristiwa tenggelam dapat terjadi karena(4): 1. Kecelakaan. Peristiwa tenggelam karena kecelakaan sering terjadi karena korban jatuh ke laut, danau, atau sungai. Pada anak-anak kecelakaaan sering terjadi di kolam renang atau galian tanah berisi air. Tenggelam karena kecelakaan juga banyak terjadi pada waktu ada bencana banjir atau tsunami. Faktor-faktor yang sering menjadi penyebab kecelakaan itu antara lain karena mabuk atau mendapat serangan epilepsi. 2. Bunuh diri. Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri kedalam air sering kali terjadi. Kadang-kadang tubuh pelaku diikat dengan benda pemberat agar supaya tubuh dapat tetap tenggelam. Sudah tentu bukan pekerjaan yang mudah untuk membedakan tenggelam karena bunuh diri dengan pembunuhan. 3. Pembunuhan. Banyak cara digunakan untuk membunuh seseorang dengan membuat orang tersebut meninggal dunia karena tenggelam, misalnya dengan melemparkannya ke laut atau memasukan kepalanya kedalam bak berisi air. Dari sisi patologik sulit membedakan, apakah peristiwa tenggelam itu diakibatkan pembunuhan atau bunuh diri. 27



Pemeriksaan di tempat kejadian akan sangat membantu. Jika benar karena pembunuhan perlu diteliti apakah korban ditenggelamkan ke dalam air ketika masih hidup atau sesudah dibunuh lebih dahulu dengan cara lain. Kelainan Post Mortem pada Tenggelam 1. Pemeriksaan luar. Pada pemeriksaan luar akan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut(4): -



pakaian basah dan kadang-kadang bercampur lumpur.



-



kulit basah, keriput, dan kadang-kadang seperti kulit angsa (cutis anserina).



-



kulit telapak tangan dan telapak kaki kadang-kadang menyerupai kulit wanita pencuci pakaian (washer woman skin).



-



lebam mayat, utamanya pada kepala dan leher.



-



dapat ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia.



-



kadang-kadang ditemukan cadaveric spasm.



-



satu-satunya tanda pada pemeriksaan luar yang memberi petunjuk kuat terjadinya peristiwa tenggelam ialah adanya buih halus yang terjadi akibat acute pulmonary edema, berwama putih, dan persisten. Buih menjadi banyak jika dada ditekan.



2. Pemeriksaan dalam Pada pemeriksaan dalam ditemukan tanda-tanda sebagai berikut(4): -



saluran napas (trachea dan bronchus) ditemukan adanya buih.



-



paru-paru membesar dan pucat seperti layaknya paru-paru penderita asma tetapi lebih berat dan basah, di banyak bagian terlihat gambaran seperti marmer, bila permukaannya ditekan akan meninggalkan lekukan dan bila diiris akan terlihat buih berair.



-



kondisi paru-paru seperti itu disebut emphysema aquosum, yang merupakan petunjuk kuat terjadinya peristiwa tenggelam.



-



lambung dan osofagus berisi air dengan butir-butir pasir dan ganggang (algae).



-



bila teljadi hemolisis maka akan terihat bercak-bercak hemolisis pada dinding aorta.



Tes Konfirmasi pada Tenggelam Berbagai tes konfirmasi dapat dilakukan untuk membantu memastikan diagnosis tenggelam, antara lain(4): 28



1. Tes Asal Air Tes ini diperlukan untuk: -



membedakan apakah air dalam paru-paru berasal dari luar atau dari proses edema.



-



mencocokan air dalam paru-paru dengan air dilokasi tempat tenggelam, yaitu dengan meneliti species ganggang diatome. Tes dilakukan dengan memeriksa air dari paru atau lambung secara



mikroskopik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan distruksi paru-paru. 2. Tes Kimia Darah Tes ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hemokonsentrasi atau hemodilusi pada masing-masing sisi dari jantung dengan cara: -



memeriksa gaya berat spesifik dari serum masing-masing sisi.



-



memeriksan kadar elektrolit dari serum masing-masing sisi, antara lain kadar sodium atau chlorida. Tes ini baru dianggap reliabel jika dilakukan dalam waktu 24 jam setelah



kematian. 3. Tes Diatome Jaringan. Tes ini dilakukan untuk menemukan adanya diatome pada jaringan tubuh. Jika pada hati, otak atau sumsum tulang ditemukan diatome maka hal ini dapat dijadikan bukti kuat terjadinya peristiwa tenggelam. Pada jenazah yang sudah membusuk, dimana kelainankelainan yang dapat memberi petunjuk terjadinya peristiwa tenggelam sulit ditemukan, maka tes ini akan sangat bermanfaat(4). 11.



29



BAB III KESIMPULAN Asfiksia merupakan kondisi delivery, penyerapan (uptake), dan/atau penggunaan (utilization) dari oksigen ke jaringan atau sel tubuh, biasanya disertai dengan retensi karbondioksida (CO2). Kondisi ini dapat menyebabkan turunnya level kesadaran, bahkan kematian. Pengertian asfiksia sebenarnya adalah anoksia anoksik atau sering juga disebut asfiksia mekanik (mechanical asphyxia). Data CDC (Central for Disease Control and Prevention) pada tahun 1999 sampai 2004, berdasarkan data kematian di Amerika Serikat terdapat ± 20.000 kasus kematian oleh asfiksia seperti, tenggelam, gantung diri, strangulasi, dan sufonifikasi. Di Indonesia, kematian akibat asfiksia berada pada urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas (KLL). Di RSUP Cipto Mangunkusumo tahun 1995- 2004, angka bunuh diri di Jakarta mencapai 5,8%. Dari 1.119 korban bunuh diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% bunuh diri dengan minum obat serangga, dan sisanya 356 tewas karena overdosis obat-obatan terlarang. Pada saat ini banyak klasifikasi asfiksia internasional. Pada umumnya diklasifikasikan menjadi mechanical asphyxia, non-mechanical asphyxia, dan miscellaneous asphyxia. Selain itu ada juga yang mengklasifikasikan asfiksia menjadi enam, yaitu strangulasi (hanging, strangulation by ligature, manual strangulation), sufokasi, pembekapan, penyumpalan (choking/gaging), tenggelam (drawning), dan crush asphyxia. Asfiksia terjadi dalam beberapa episode atau fase yang disebut dengan asphyxia apisode. Asphyxial episode merupakan urutan fase-fase yang paling sering ditemukan pada kasus asfiksia, yaitu dyspnoea phase, convulsive phase, pre-terminal phase, kemudian gasping, dan terakhir adalah terminal phase. Penyebab kematian pada asfiksia adalah tertutupnya vena sehingga menyebabkan anoksia otak, vagal reflek, tertutupnya pembuluh darah carotis sehingga jaringan otak kekurangan darah, kecuali pada bunuh diri yang kekuatan jeratnya diragukan mampu menutup pembuluh darah carotis. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase konvulsi. Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, busa halus dalam saluran pernapasan, pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat dan berwarna lebih gelap, ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium, subpleura viseralis, kulit kepala bagian dalam, serta mukosa epiglottis, edema paru terurtama yang berhubungan 30



dengan hipoksia, adanya fraktur laring langsung dan tidak langsung, perdarahan faring terutama yang berhubungan dengan kekerasan.



31



DAFTAR PUSTAKA 1.



Graham MA. Pathology of Asphyxial Death [Internet]. 2016. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1988699-overview.



2.



James JP, Jones R, Karch SB, et al. Simpson’s Forensic Medicine. 13rd Ed. London: Hodder&Stoughton. 2011. pp. 151-162.



3.



Wahid SA. Patologi Forensik. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia. 2001. pp. 230-268.



4.



Dahlan S, Trisnadi S. Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Semarang: FK Unissula. 2019. pp. 127-146.



5.



Santosa. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponogoro. 2010. pp. 16-27.



6.



Rahman, M., Haque, M. and Bose, P. Violent Asphyxial Death: A Study in Dinajpur Medical College. Dinajpur. Journal of Enam Medical College. Vol.3(2). 2013.



7.



Rey, Nikita., Johannis F.,Erwin G. Kristanto. Gambaran Kasus Kematian dengan Asfiksia di Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUP Prof. Dr. R. D Kandou Manado. 2017.



8.



Prabowo KN. Gambaran kasus asfiksia mekanik yang ditangani di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Dr. Sardjito Tahun 2007-2012. Gadjah Mada University [Internet]. 2013. Available



from:



http://etd.repository.ugm.ac.id/index.



php?



mod=penelitian_detail&sub=Pen elitianDetail&act=view&typ=html&b uku_id=62982. 9.



Saukko P, Knight B. Knight's Forensic Pathology. 4th Ed. New York: Taylor&Francis Group. 2016.



32