REFERAT Forensik - Wahyu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT PROSEDUR DAN TEKNIK OTOPSI KEPALA DAN LEHER



Oleh: Wahyu Aprillia G99141087



Pembimbing: dr. Sugiharto, M.Kes, MMR, S.H



KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/ SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2015



0



BAB I PENDAHULUAN Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atau penemuanpenemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.1 Dari pemeriksaan otopsi yang dilakukan, dokter diharapkan dapat memberikan keterangan setidaknya tentang luka atau cedera yang dialami korban, tentang penyebab luka atau cedera tersebut, serta tentang penyebab kematian dan mekanisme kematiannya. Dalam beberapa kasus dokter juga diharapkan untuk dapat memperkirakan cara kematian dan faktor-faktor lain yang mempunyai kontribusi terhadap kematiannya.2



1



BAB II STUDI PUSTAKA A. Definisi Otopsi berasal dari kata oto yang berarti sendiri dan opsis yang berarti melihat. Namun pengertian yang sebenarnya dari otopsi adalah suatu pemeriksaan terhadap tubuh jenazah untuk kepentingan tertentu, meliputi pemeriksaan bagian luar dan bagian dalam dengan menggunakan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh ahli yang berkompeten. Karena meliputi pemeriksaan bagian dalam, maka otopsi memerlukan pembukaan tubuh jenazah dengan menggunakan irisan.3 Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.1 B. Pembagian Otopsi Berdasarkan tujuannya, otopsi terbagi atas : 1.



Otopsi Anatomi, dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran. Pelaksanaan otopsi jenis ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Th. 1981 tentang bedah jenazah. Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit yang setelah disimpan 2 x 24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang mengakuinya. Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, mayat disimpan sekurang-kurangnya satu tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hukum, hal ini dapat dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak ada yang mengakuinya menjadi milik negara setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan



2



mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, hal ini haruslah sesuai dengan KUHPerdata pasal 935. 1,3,4 2.



Otopsi Klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat suatu penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, pathogenesis penyakit, dan sebagainya. Otopsi klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya ahli waris sendiri yang memintanya.1,3 Autopsi klinik dilengkapi dengan pemeriksaan histopatologi, bakteriologi, serologi, dan lain-lain. Pelaksanaan otopsi ini juga diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Th. 1981, yang pada prinsipnya baru boleh dilakukan setelah ada izin dari keluarga terdekat atau jika sesudah 2 hari tidak ada keluarga yang mengurusnya. 3



3.



Otopsi Forensik/Medikolegal, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Tujuan dari otopsi medikolegal adalah : o



Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.



o



Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian.



o



Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.



o



Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum.1,3,4



C. Otopsi Medikolegal Otopsi medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Hasil pemeriksaan adalah temuan obyektif pada korban, yang diperoleh dari pemeriksaan medis.5 Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada otopsi medikolegal : 3



1. Tempat untuk melakukan otopsi adalah pada kamar jenazah. 2. Otopsi hanya dilakukan jika ada permintaan untuk otopsi oleh pihak yang berwenang. 3. Otopsi harus segera dilakukan begitu mendapat surat permintaan untuk otopsi. 4. Hal-hal yang berhubungan dengan penyebab kematian harus dikumpulkan dahulu sebelum memulai otopsi. Tetapi kesimpulan harus berdasarkan temuan-temuan dari pemeriksaan fisik. 5. Pencahayaan yang baik sangat penting pada tindakan otopsi. 6. Identitas korban yang sesuai dengan pernyataan polisi harus dicatat pada laporan. Pada kasus jenazah yang tidak dikenal, maka tanda-tanda identifikasi, photo, sidik jari, dan lain-lain harus diperoleh. 7. Ketika dilakukan otopsi tidak boleh disaksikan oleh orang yang tidak berwenang. 8. Pencatatan perincian pada saat tindakan otopsi dilakukan oleh asisten. 9. Pada laporan otopsi tidak boleh ada bagian yang dihapus. 10. Jenazah yang sudah membusuk juga bisa diotopsi.5 Adapun



persiapan



yang



dilakukan



sebelum



melakukan



otopsi



forensik/medikolegal adalah: 1. Melengkapi surat-surat yang berkaitan dengan otopsi yang akan dilakukan, termasuk surat izin keluarga, surat permintaan pemeriksaan/pembuatan visum et repertum. 2. Memastikan mayat yang akan diotopsi adalah mayat yang dimaksud dalam surat tersebut. 3. Mengumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya kematian selengkap mungkin untuk membantu memberi petunjuk pemeriksaan dan jenis pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan. 4. Memastikan alat-alat yang akan dipergunakan telah tersedia. Untuk otopsi tidak diperlukan alat-alat khusus dan mahal, cukup : 



Timbangan besar untuk menimbang mayat. 4







Timbangan kecil untuk menimbang organ.







Pisau, dapat dipakai pisau belati atau pisau dapur yang tajam.







Guntung, berujung runcing dan tumpul.







Pinset anatomi dan bedah.







Gergaji, gergaji besi yang biasanya dipakai di bengkel.







Forseps atau cunam untuk melepaskan duramater.







Gelas takar 1 liter.







Pahat.







Palu.







Meteran.







Jarum dan benang.







Sarung tangan







Baskom dan ember







Air yang mengalir4,5



5. Mempersiapkan format otopsi, hal ini penting untuk memudahkan dalam pembuatan laporan otopsi.



D. Pelaksanaan otopsi Pelaksanaan otopsi forensik diatur di dalam KUHAP, yang pada prinsipnya otopsi baru boleh dilakukan jika ada surat permintaan tertulis dari penyidik dan setelah keluarga diberi tahu serta telah memahaminya atau setelah 2 hari dalam hal keluarga tidak menyetujui otopsi atau keluarga tidak ditemukan.6 Sebagaimana disebutkan di dalam pasal 134 KUHAP bahwa penyidik yang meminta otopsi mempunyai kewajiban untuk memberitahukan keinginannya kepada keluarga. Dalam hal keluarga merasa keberatan maka penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan otopsi. Apabila dalam waktu 2 hari tidak ada tanggapan apapun



5



(perubahan sikap) dari keluarga atau keluarga tidak ditemukan maka otopsi segera dilaksanakan.6 Dari pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk keperluan otopsi forensik tidak diperlukan izin keluarga seperti pada otopsi klinik atau otopsi anatomik. Keluarga hanya punya hak untuk diberitahu dan tanggung jawab memberitahu itu berada di pundak penyidik. Demi praktisnya, tugas memberitahu itu sering diambil alih oleh dokter karena kebanyakan keluarga langsung datang ke rumah sakit.6 Dalam menjelaskan kepada keluarga perlu diingatkan adanya sanksi pidana bagi siapa saja yang menghalang-halangi pelaksanaan otopsi, yaitu dihukum berdasarkan Pasal 222 KUHP.6



E. Cara Otopsi Cara melakukan otopsi klinik dan otopsi forensik kurang lebih sama, yaitu: 1. Pemeriksaan luar. Seluruh bagian luar dari tubuh jenazah, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki diperiksa dengan teliti. 2. Pemeriksaan dalam, terdiri atas: a. insisi (pengirisan), yaitu untuk membuka rongga kepala, leher, rongga dada, rongga perut, rongga panggul, dan bagian-bagian lain yang diperlukan. b. Pengeluaran organ dalam. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan organorgan dalam, yaitu: - Teknik Virchow Setelah



dilakukan



pembukaan



rongga



tubuh,



organ-organ



dikeluarkan satu persatu dan langsung diperiksa. Manfaatnya kelainan-kelainan yang terdapat pada organ dapat langsung



6



diperiksa. Kelemahannya hubungan anatomik antar beberapa organ yang tergolong dalam satu sistem menjadi hilang. - Teknik Rokitansky Setelah rongga tubuh dibuka, organ-organ dilihat dan diperiksa dengan melakukan beberapa irisan secara in-situ, baru kemudian seluruh organ-organ tersebut dikeluarkan dalam kumpulan organ (enbloc). - Teknik Letulle Pada teknik Letulle, setelah organ dibuka, organ-organ leher, dada, diafragma, dan perut dikeluarkan sekaligus (en masse) kemudian diletakkan di atas meja dengan permukaan posterior menghadap ke atas. Dengan pengangkatan organ-organ tubuh secara en masse ini, hubungan antar organ tetap dipertahankan setelah seluruh organ dikeluarkan dari tubuh. Kerugian dari teknik ini adalah sukar dilakukan tanpa asisten serta agak sukar dalam penanganan karena panjangnya kumpulan organ-organ yang dikeluarkan bersama-sama ini. - Teknik Ghon Setelah rongga tubuh dibuka, organ dada dan leher, hati, limpa, dan organ-organ pencernaan, serta organ-organ urogenital diangkat keluar sebagai tiga kumpulan organ-organ6 c.



Pemeriksaan tiap-tiap organ satu persatu.



d.



Pengembalian organ tubuh ke tempat semula.



e.



Menutup dan menjahit kembali.



3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang diperlukan jika dari pemeriksaan yang telah disebutkan di atas belum dapat menjawab seluruh persoalan yang muncul dalam proses peradilan pidana. Pemeriksaan penunjang tersebut misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana, toksikologik, mikroskopik, serologik, DNA, dan sebagainya. 7



Untuk



pemeriksaan



toksikologik



diperlukan



bahan



untuk



mengawetkan sampel, yaitu etil alkohol. Jika tidak ada dapat digunakan wiski atau es kering (dry ice). Sedangkan untuk pemeriksaan lengkap diperlukan minimal 4 buah botol dari gelas berwarna gelap dengan mulut lebar. Botol pertama diisi contoh bahan pengawet sebagai pembanding, botol kedua diisijaringan traktus digestivus, botol ketiga traktus urinarius, dan botol ke empat diisi jaringan lain. Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan bahan pengawet berupa cairan formalin 10% dan sampel jaringan yang dicurigai ada kelainan dipotong-potong dalam ukuran yang tidak terlalu besar (1cm x 1 cm x 2,5 cm) karena daya tembus formalin terbatas. Dalam hal pemeriksaan penunjang tersebut tidak dapat dilakukan di tempat dilakukannya otopsi, maka dokter wajib memberitahukan serta menyerahkan sampel dengan berita acara kepada penyidik. Selanjutnya penyidiklah yang harus mengajukan permohonan pemeriksaan penunjang kepada laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan.3 F. Pemeriksaan Dalam Teknik Insisi Terdapat beberapa jenis insisi yang dapat digunakan untuk membuka tubuh. Pada dasarnya, semua jenis insisi menggunakan pendekatan dari midline anterior, namun berbeda pada diseksi leher. Terlepas dari jenis insisi yang dipilih, tubuh jenazah sebaiknya diletakkan dalam posisi supinasi dan bahu ditopang oleh balok agar leher terekstensi. Jenis insisi yang digunakan diharapkan aman bagi operator dan dapat memberikan lapang pandang yang maksimal dengan tetap mempertertimbangkan aspek rekonstruksi dari tubuh jenazah.7 Teknik pembukaan dapat menggunakan teknik insisi I atau insisi Y. Keuntungan teknik insisi I adalah mudah dikerjakan dan daerah leher dapat diperiksa lapis demi lapis sehingga semua kelainan yang ada dapat dilihat, tetapi keburukannya ialah dari segi estetika karena ada irisan pada daerah leher. 8



Sedangkan keuntungan teknik insisi huruf Y ialah tidak adanya irisan di daerah leher, tetapi teknik ini agak sulit dan memerlukan ketrampilan tinggi.3 Insisi I dimulai di bawah tulang rawan krikoid di garis tengah sampai prosesus xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri dari pusat sampai simfisis, dengan demikian tidak perlu melingkari pusat.4 Insisi Y dilakukan semata-mata untuk alasan kosmetik, sehingga jenazah yang sudah diberi pakaian, tidak memperlihatkan adanya jahitan setelah dilakukan bedah mayat. Ada dua macam insisi Y, yaitu: 1. Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision), yang dilakukan pada tubuh pria, o



buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan sejajar dengan tulang tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu pada bagian tengah (incissura jugularis),



o



lanjutkan sayatan, dimulai dari incissura jugularis ke arah bawah tepat di garis pertengahan sampai ke symphisis os pubis; dengan menghindari daerah umbilicus.



o



Kulit daerah leher dilepaskan secara hati-hati, sampai ke rahang bawah; tindakan ini dimulai dari sayatan yang telah dibuat untuk pertama kali,



o



Dengan kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh, alat-alat dalam rongga mulut dan leher dikeluarkan,



o



Tindakan selanjutnya sama dengan tindakan yang biasa dilakukan pada bedah mayat biasa.



2. insisi yang lebih dalam (deep incision), yang dilakukan pada tubuh wanita, o



buat sayatan yang letaknya tepat di tepi bawah buah dada, dimulai dari bagian lateral menuju bagian medial (processus xyphoideus); bagian lateral di sini dapat dimulai dari ketiak, ke arah bawah sesuai dengan garis ketiak depan (linea axillaris anterior), hal yang sama juga dilakukan untuk sisi yang lain.



9



Lanjutkan sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai ke



o



symphisis os pubis, dengan demikian pengeluaran dan pemeriksaan alat-alat yang berada dalam rongga mulut, leher, dan rongga dada lebih sulit bila dibandingkan dengan insisi Y yang dangkal.3



Gambar 2.1 Kiri : insisi huruf I, kanan : insisi huruf Y Insisi U: Insisi dimulai dari 1 cm di belakang meatus acusticus externa, menyusuri aspek lateral leher dan melewati klavikula di sepertiga luar. Insisi yang sama dilakukan di sisi yang lain dan bertemu dengan insisi sebelumnya di atas angulus sternalis. Insisi di lanjutkan melalui garis tengah depan, menghindari umbilikus sampai ke mons pubis. Teknik lain yang dapat digunakan adalah single midline incision. Pada single line incision, insisi dimulai dari prominensia laryngeal sampai ke mons pubis. Penggunaan single midline incision dapat berbahaya bagi operator karena tidak dapat menyediakan ruangan yang cukup untuk diseksi lidah dan leher. Pada saat tidak adanya persetujuan untuk membuka leher (dan thorax), tubuh dapat dibuka dengan menggunakan insisi T subcostal. Insisi dimulai dari processus xyphoideus sampai ke mons pubis. Kulit dan otot abdomen selanjutnya diinsisi sepanjang batas costochondral.7 Pilihan teknik ini diserahkan sepenuhnya kepada dokter yang hendak melakukan otopsi, tetapi pada kasus dengan trauma pada leher harus dilakukan dengan teknik insisi I.3 10



Pada pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu dengan hatihati dan dicatat : 1.



Ukuran : Pengukuran secara langsung adalah dengan menggunakan pita pengukur. Secara tidak langsung dilihat adanya penumpulan pada batas inferior organ. Organ hati yang mengeras juga menunjukkan adanya pembesaran.



2.



Bentuk



3.



Permukaan : Pada umumnya organ tubuh mempunyai permukaan yang lembut, berkilat dengan kapsul pembungkus yang bening. Carilah jika terdapat penebalan, permukaan yang kasar , penumpulan atau kekeruhan.



4. Konsistensi: Diperkirakan dengan cara menekan jari ke organ tubuh tersebut. 5. Kohesi: Merupakan kekuatan daya regang anatar jaringan pada organ itu. Caranya dengan memperkirakan kekuatan daya regang organ tubuh pada saat ditarik. Jaringan yang mudah teregang (robek) menunjukkan kohesi yang rendah sedangkan jaringan yang susah menunjukkan kohesi yang kuat. 6. Potongan penampang melintang: Disini dicatat warna dan struktur permukaan penampang organ yang dipotong. Pada umumnya warna organ tubuh adalah keabu-abuan, tapi hal ini juga dipengaruhi oleh jumlah darah yang terdapat pada organ tersebut. Warna kekuningan, infiltrasi lemak, lipofisi, hemosiferin atau bahan pigmen bisa merubah warna organ. Warna yang pucat merupakan tanda anemia. Struktur organ juga bisa berubah dengan adanya penyakit. Pemeriksaan khusus juga bisa dilakukan terhadap sistem organ tertentu, tergantung dari dugaan penyebab kematian.7 G. Pemeriksaan Kepala Pemeriksaan pada kepala dimulai dengan membuat irisan pada kulit kepala, dimulai pada prosesus matoideus, melingkar kepala kearah puncak kepala (vertex) dan berakhir pada prosesus mastoideus sisi lain. Pada mayat



11



yang lebat rambut kepalanya, dilakukan terlebih dahulu penyisiran pada rambut sehingga terjadi garis belahan rambut sepanjang kulit kepala yang akan diiris tersebut.8



Gambar 2.2 Kiri : Irisan permulaan pada kulit kepala, kanan : garis penggergajian tengkorak mayat dewasa. Gambar paling kanan menunjukkan atap tengkorak yang telah dilepaskan dari tempatnya. Pengirisan dibuat sampai pisau mencapai periosteum. Kulit kepala kemudian dikupas, ke arah depan sampai kurang lebih 1-2 sentimeter di atas batas orbita (margo supraorbitalis) dan ke arah belakang sampai sejauh protuberantia occipitalis externa. Perhatikan dan catat kelainan-kelainan yang terdapat, baik pada permukaan dalam kulit kepala maupun permukaan luar tulang tengkorak. Kelainan yang biasa ditemukan adalah tanda-tanda kekerasan, baik merupakan resapan darah maupun garis retak/patah tulang. Untuk membuka rongga tengkorak, dilakukan penggergajian tulang tengkorak, melingkar di daerah frontal sejarak kurang lebih 2 sentimeter di atas margo supraorbitalis, di daerah temporal kurang lebih 2 sentimeter di atas daun telinga. Pada daerah temporalis ini, penggergajian dilakukan setelah otot temporalis dipotong dengan pisau terlebih dahulu. Pemotongan otot temporalis dimaksudkan agar otot tersebut setelah selesai pemeriksaan dapat digunakan sebagai pegangan/ tempat jahitan menyatukan kembali atap tengkorak dengan bagian lain tengkorak tersebut. Pada daerah temporalis ini, penggergajian dilakukan melingkar ke arah belakang, kurang lebih 2 sentimeter sebelah atas protuberantia occipitalis externa, dengan garis penggergajian yang membentuk 12



sudut kurang lebih 120 derajat dari garis penggergajian terdahulu. Hal ini dilakukan agar setelah selesai pemeriksaan, atap tengkorak dapat dipasang kembali tanpa tergelincir/tergeser. Agar penggergajian tidak merusak jaringan otak, penggergajian harus dilakukan dengan hati-hati dan dihentikan setelah terasa tebal tulang tengkorak telah terlampaui. Atap tengkorak dapat dilepas dengan menggunakan pahat berbentuk T (T-chisel). Setelah atap tengkorak dilepaskan, pertama-tama dilakukan penciuman terhadap bau yang keluar sebab pada beberapa jenis keracunan, dapat tercium bau yang khas. Kemudian perhatikan adanya kelainan baik pada permukaan dalam atap tengkorak maupun pada durameter yang kini tampak. Kelainan-kelainan dapat merupakan luka pada durameter, perdarahan epidural atau kelainan lain. Durameter kemudian digunting mengikuti garis penggergajian, dan daerah subdural dapat diperiksa akan adanya perdarahan, pengumpulan nanah dan sebagainya. Otak dikeluarkan dengan pertama-tama memasukkan dua jari tangan kiri di garis pertengahan daerah frontal, antara bagian otak dan tulang tengkorak. Dengan sedikit menekan bagian frontal, akan tampak falks serebri yang dapat dipotong atau digunting sampai dasar tengkorak. Kedua jari tangan kiri tersebut kemudian dapat sedikit mengangkat bagian frontal dan memperlihatkan nervi olfaktorius, nervi optikus, yang kemudian dipotong sedekat mungkin pada dasar otak. Pemotongan lebih lanjut dapat dilakukan pada arteri karotis interna yang memasuki otak, serta saraf-saraf otak yang keluar pada dasar otak. Dengan memiringkan kepala mayat ke salah satu sisi, serta jarijari tangan kiri sedikit menarik/mengangkat bagian pelipis (temporalis) sisi yang lain, tentorium serebelli akan jelas tampak dan mudah dipotong, dimulai dari foramen magnum ke arah lateral menyusuri tepi belakang tulang karang (os petrosum). Dengan cara yang sama, tentorium serebelli sisi lainnya juga dipotong. Kemudian kepala dikembalikan pada posisi semula dan batang otak dapat dipotong melintang dengan memasukkan pisau sejauh-jauhnya dalam foramen magnum. Dengan tangan kiri menyanggah daerah bagian occipital, dua jari tangan kanan dapat ditempatkan di sisi kanan dan kiri batang otak yang telah terpotong, untuk kemudian menarik bagian bawah otak ini dengan gerakan memutar/meluksir 13



hingga keluar dari rongga tengkorak. Setelah otak dikeluarkan, duramater yang melekat pada dasar tengkorak harus dilepaskan dari dasarnya, agar dapat diperhatikan adanya kelainan-kelainan dasar tengkorak.8 Kulit kepala diiris dari prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri dengan mata pisau menghadap ke luar supaya tidak memotong rambut terlalu banyak. Kulit kepala kemudian dikelupas ke muka dan ke belakang dan tempurung



tengkorak



dilepaskan



dengan



cara



menggergajinya.



Pahat



dimasukkan dalam bekas mata gergaji dan dengan beberapa ketukan tempurung lepas dan dapat dipisahkan. Duramater diinsisi paralel dengan bekas mata gergaji. Falx serebri digunting di bagian muka. Otak dipisah dengan memotong pembuluh darah dan saraf dari muka ke belakang dan kemudian medula oblongata. Tentorium serebri diinsisi di belakang tulang karang dan sekarang otak dapat diangkat. Selaput tebal otak ditarik lepas dengan cunam, otak kecil dipisah dan diiris horisontal, terlihat nukleus dentatus. Medula oblongata diiris transversal, demikian pula otak besar setebal 2,5 cm. Pada trauma kepala perhatikan adanya edema, kontusio, dan laserasi serebri.8 Pada pemeriksaan otak besar, otak kecil, dan batang otak perhatikan permukaan luar dari otak dan catat kelainan-kelainan yang ditemukan. Adakah perdarahan subdural, perdarahan sub akhranoid, kontusio jaringan otak atau kadang-kadang bahkan sampai terjadi laserasi. Pada edema serebri, girus otak akan tampak mendatar dan ulkus tampak menyempit. Perhatikan pula akan kemungkinan akan terdapatnya tanda penekanan yang menyebabkan sebagian permukaan otak menjadi datar. Pada daerah ventral otak, perhatikan keadaan sirkulus Wilisii. Nilai keadaan pembuluh darah pada sirkulus, adakah penebalan dinding akibat kelinan ateroma, adakah penipisan dinding akibat aneurisma, adakah perdarahan. Bila terdapat perdarahan profus, usahakan agar dapat ditemukan sumber perdarahan tersebut. Perhatikan pula bentuk serebelum. Pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial akibat edema serebri misalnya, dapat terjadi herniasi serebelum ke arah foramen magnum sehingga bagian depan bawah serebelum tampak menonjol. Pisahkan otak kecil dari otak besar dengan melakukan pemotongan pada pedun kulus serebri kanan dan kiri. 14



Otak kecil ini kemudian dipisahkan juga dari batang otak dengan melakukan pemotongan pada pedun kulus serebeli kanan dan kiri. Otak besar diletakkan dengan bagian ventral menghadap pemeriksa. Lakukan pemotongan otak besar secara koronal/melintang. Tempat pemotongan haruslah sedemikian rupa agar struktur penting dalam otak besar dapat diperiksa dengan teliti. Kelainankelainan yang dapat ditemukan pada penampang otak besar antara lain adalah : perdarahan pada korteks akibat kontusio serebri, perdarahan berbintik pada substansi putih akibat emboli, keracunan barbiturate serta keadaan-keadaan lain yang menimbulkan hipoksi jaringan otak. Infark jaringan otak, baik yang bilateral maupun unilateral akibat gangguan perdarahan oleh arteri, abses otak serta terjadinya perdarahan intra serebral akibat pecahnya a. lentikulostriata pada daerah kapsula interna. Otak kecil diperiksa penampangnya dengan membuat suatu irisan melintang. Catatlah kelainan-kelainan perdarahan, perlunakan dan sebagainya yang mungkin ditemukan. Batang otak diiris melintang mulai pada daerah pons, medulla oblongata sampai ke bagian proksimal medulla spinalis. Perhatikan kemungkinan terdapatnya perdarahan. Adanya perdarahan di daerah batang otak ini biasanya mematikan.8



Gambar 2.3 Irisan pada otak besar sebaiknya dibuat melalui bidang-bidang no 1 – 7. Gambar ini dapat dipergunakan untuk mencatat kelainan-kelainan yang ditentukan pada tiap-tiap irisan



15



Teknik Seksi Kepala dan Otak 1. Pengirisan Kulit Kepala Pengirisan dimulai dari atas telinga melewati puncak kepala sampai di atas telinga sisi yang lain, sedemikian rupa hingga mencapai tulang. Lalu kulit kepala dilipat ke depan hingga kira-kira 1 cm di atas alis dan ke belakang hingga kira-kira setinggi protuberantia oksipitalis eksterna. Periksa adanya hematoma dan fraktur tengkorak.9 2. Pemotongan Tulang Atap Tengkorak Tulang atap tengkorak digergaji melingkar, kemudian pada bekas gergajian dicongkel dengan betel (elevator) kecil agar atap kepala dapat terlepas. Maka lepaslah atap tengkorak. Periksa adanya perdarahan di atas selaput otak (epidural), lokasi perdarahan serta luas perdarahan. Jika berupa jendalan darah, maka timbang beratnya. Periksa juga apakah ada kelainan selaput otak.9 Kemudain selaput otak dibuka, caranya : selaput otak (durameter) diangkat dengan pinset anatomis di atas krista galli lalu digunting mendatar ke samping kanan dan kiri sesuai arah bekas gergajian. Lalu lepaskan perlekatannya pada sutura sagitalis dan selaput otak disingkapkan ke belakang. Maka terbukalah selaput otak. Periksa adanya perdarahan di bawah selaput otak (subdural), darah yang tampak di atas otak diusap, jika hilang maka perdarahan tersebut subdural, tetapi bila tidak hilang dengan pengusapan berarti perdarahan subarachnoid. Catat lokasi perdarahan tersebut, ukur luasnya dan jika jendalan usahakan untuk ditimbang. Adakah bagian-bagian otak yang rusak? 3. Pengangkatan dan Pemeriksaan Otak Jari-jari tangan kiri menekan bagian frontal otak kemudian ditarik kea rah belakang, potong vasa-vasa darah dan saraf olfaktorius serta saraf okulomotorius. Dilanjutkan dengan memotong chiasma optikum. Tarikan diperbesar dan otak disiangi dari fiksasinya hingga tampak jelas basis craniinya, foramen oksipital magnum serta cerebellumnya. Lepaskan dan balik pegangan tangan kiri pada otak, kemudian otak sedikit ditarik ke arah atas 16



belakang sehingga tampak medulla oblongata dan bagian atas medulla spinalis. Lalu dengan pisau yang panjang, medulla spinalis dipotong sejauh mungkin. Maka lepaslah otak. Periksa dan timbang. Berat otak dewasa rata-rata 1250 gr1500 gr, ukuran otak besar rata-rata 20 cm x 18 cm x 6 cm, otak kecil rata-rata 11 cm x 6 cm x 2,5 cm. perhatikan gyri dan sulciya serta gambaran pembuluh darahnya. Pada kasus asfiksia akibat penggantungan atau pencekikan maka pembuluh darah akan tampak melebar da nada gambaran seperti perdarahan namun bila ditekan gambaran perdarahan tersebut akan hilang. Sedangkan pada perdarahan yang sesungguhnya sifatnya diffuse dan tidak hilang pada penekanan.9 Kemudian dilakukan pengirisan otak besar, caranya : Irisan dimulai dari fisura longitudinale cerebri sekitar 1 cm di atas comissura cerebri dengan posisi pisau miring 450 dan dilakukan dengan satu kali irisan. Jika irisan benar, maka ventrikel lateralis akan terpotong. Lakukan hal serupa pada hemisferium cerebri sebelahya. Periksa adanya jendalan darah. Perdarahan di daerah ini biasanya terjadi secara spontan akibat tekanan darah yang terlampau tinggi (pada apoplexia cerebri).9 Pengirisan otak kecil dilakukan secara radier berlapis-lapis, periksa tiap bagian irisan, adakah perdarahan pada substansia otaknya. 4. Pengangkatan Selaput Otak dari Dasar Tengkorak Selaput orak yang sudah dibuka seperti tersebut di atas harus dilepaskan dari perlekatannya dengan dasar tengkorak, caranya : jepit selaput otak tersebut dengan klm kemudian putar klem terus menerus sehingga selaput otak tergulung. Lalu lakukan tarikan hingga perlekatan selaput otak tinggal pada foramen oksipitale magnum dan potong di sini. Maka lepaslah selaput otak. Periksa dasar tengkorak, adakah retak tulang, jika ada catat lokasinya. Perlu diketahui dasar tengkorak yang paling rapuh bila mendapat trauma adalah : di sekitar foramen magnum, di sekitar krista galli, pars pyramidalis, serta atap orbita.9



17



H. Pemeriksaan dan Pengeluaran Alat-Alat Leher Pengeluaran alat-alat leher dimulai dengan melakukan pengirisan insersi otot-otot dasar mulut pada tulang rahang bawah. Irisan dimulai tepat di bawah dagu, menembus rongga mulut dari bawah. Insisi diperlebar ke arah kanan maupun ke arah kiri. Lidah ditarik ke arah bawah sehingga dapat dikeluarkan melalui tempat bekas irisan. Perhatikan keadaan rongga mulut dan catat kelainan-kelainan yang mungkin terdapat, antara lain adanya benda asing dalam rongga mulut. Perhatikan pula langit-langit mulut, baik palatum durum maupun palatum molle, untuk mencatat kelainan-kelainan yang ditemukan. Palatum molle kemudian diiris sepanjang perlekatannya dengan palatum durum yang kemudian diteruskan ke arah lateral kanan dan kiri, sampai bagian lateral dari plica pharingea. Dengan meneruskan pemotongan sampai ke permukaan depan dari tulang belakang dan sedikit menarik alat-alat leher ke arah depan, seluruh alat-alat leher dapat dilepaskan dari perlekatannya. Lakukan pemotongan-pemotongan terhadap pembuluh-pembuluh serta syaraf-syaraf yang berjalan di belakang tulang selangka dengan terlebih dahulu menggenggam pembuluh-pembuluh dan syaraf-syaraf tersebut. Lepaskan perlekatan antara paru-paru dengan dinding rongga dada, bila perlu secara tajam. Dengan tangan kanan memegang lidah dan dua jari tangan kiri yang diletakkan pada sisi kanan dan kiri hilus paru-paru, alat-alat rongga dada ditarik ke arah kaudal sampai keluar dari rongga paru-paru. Lepaskan oesophagus bagian kaudal dari jaringan ikat sekitarnya dan buatlah dua ikatan di atas diafragma. Oesophagus digunting di antara kedua ikatan tersebut. Tangan kiri kini digunakan untuk menggenggam bagian bawah alat-alat rongga dada tepat di atas diafragma dan lakukan pengirisan terhadap “genggaman tersebut”. Dengan demikian, alat-alat tersebut dapat dikeluarkan seluruhnya dari rongga dada.8 Lidah, laring, trakea, esofagus, palatum molle, faring, dan tonsil dikeluarkan sebagai satu unit. Perhatikan obstruksi di saluran nafas, kelenjar gondok, dan tonsil. Pada kasus cekik, tulang lidah harus dibersihkan dan diperiksa adanya patah tulang. 18



Gambar 2.4 Dasar mulut diiris menyusuri tepi rahang bawah



Gambar 2.5 Lidah ditarik keluar melalui dasar mulut yang telah diiris



Gambar 2.6 Pembuluh-pembuluh cabang aorta yang keluar ke arah lengan dipotong di subclavia



Teknik Seksi Trakhea-Esofagus Pada kasus asfiksia mekanik mutlak diperlukan pemeriksaan tracheaesofagus. Seksi bagian ini sebaiknya dilakukan paling akhir setelah pengangkatan organ tubuh maupun pengangkatan otak agar bersih dari darah. Caranya : Irisan yang sudah ada pada leher dilanjutkan lagi ke atas sampai dagu. Kulit dan otot leher disiangi dan disisihkan hingga yang tertinggal glandula thyroidea, trachea dan esophagus. Kemudian potong origo dan insersio otot-otot dasar mulut mengikuti lengkung arkus mandibular hingga dasar mulut terbuka. Kemudian tarik lidah melalui dasar mulut yang sudah terbuka, lalu potong palatum molle pada pangkal lidah. Maka praktis terlepaslah trachea-esofagus beserta lidah. Periksa otot-otot leher, kelenjar gondok, trachea lengkap dengan tulang rawan gondok dan tulang rawan krikoid, tulang rawan lidah (cartilage hyoidea) terutama pada kornunya. Adakah hmatom dan retak/patah tulang-tulang rawan tersebut? Periksa permukaan lidah, adakah hematom, luka gigitan, atau luka-luka akibat bahan kimia atau racun yang bersifat korosif, periksa juga permukaan bagian dalam esophagus, adakah tanda-tanda peradangan ataupun kelainan akibat bahanbahan yang bersifat korosif? Periksa juga keadaan epiglottis serta permukaan bagian dalam trachea, adakah oedema, sisa bahan yang teraspirasi/regurgitasi.9 19



DAFTAR PUSTAKA 1.



Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2009. Autopsi dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius



2.



Afandi, Dedi. 2011. Otopsi Virtual. Maj Kedokt Indon edisi Juli 2009, 7; 59. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau



3.



Dahlan, S., Ilmu Kedokteran Forensik. Cetakan VI. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2008



4.



Hamdani, Njowito. Autopsi. Dalam: Ilmu Kedokteran Kehakiman. Edisi Kedua. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2000 : 48-59.



5.



Chadha, PV. Otopsi Mediko-Legal. Dalam: Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi Kelima.



6.



Collins, K.A., Hutchins, G.M., An Introduction To Autopsy Technique, USA :



7.



College of American Pathologist : 2005 Burton, J.. Rutty,G., The Hospital Autopsy, 2nd edition, USA: Oxford University Press:2001



8.



Budiyanto, Mulyono D. 2013. Teknik Otopsi dalam Buku Pedoman Keterampilan Klinis. Surakarta : FK UNS



9. Tim FK UGM. 2014. Pemeriksaan Jenazah Forensik dan Medikolegal. Yogyakarta : FK UGM diunduh di http://gamel.fk.ugm.ac.id/pluginfile.php? file=%2F23879%2Fmod_resource%2Fcontent%2F0%2FBab %202%20Pemeriksaan%20Jenazah%20Forensik%20%20Medikolegal.pdf pada Maret 2015.



20