Referat Fraktur Terbuka [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR



REFERAT OKTOBER 2020



FRAKTUR TERBUKA



Oleh : M, Yusril Ihzanul Hikmah S, S.Ked. 105505401519



Pembimbing : dr. Muh. Ihsan Kitta, Sp.OT(K), M.Kes.



DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2020



1



LEMBAR PENGESAHAN



Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa: Nama



:



M. Yusril Ihzanul Hikmah S, S.Ked.



Stambuk



:



105505401519



Judul Referat



:



Fraktur Terbuka



Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.



Makassar, Oktober 2020 Pembimbing



dr. Muh. Ihsan Kitta, Sp.OT(K), M.Kes



I



KATA PENGANTAR



Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya serta segala kemudahan yang diberikan dalam setiap kesulitan hamba-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul Fraktur Terbuka. Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Muh. Ihsan Kitta, Sp.OT(K), M.Kes, selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai. Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari yang diharapkan oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan senang menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan dan kesempurnaan tugas ini. Semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis secara khusus. Makassar, Oktober 2020



Penulis



II



DAFTAR ISI



LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................................I KATA PENGANTAR................................................................................................II BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................2 A.



ANATOMI......................................................................................................2



B.



DEFINISI........................................................................................................4



C.



EPIDEMIOLOGI............................................................................................4



D.



ETIOLOGI......................................................................................................5



E.



KLASIFIKASI................................................................................................5



F.



PATOFISIOLOGI..........................................................................................7



G.



MANIFESTASI KLINIS................................................................................9



H.



DIAGNOSIS.................................................................................................10



I.



PENATALAKSANAAN..............................................................................13



J.



KOMPLIKASI..............................................................................................23



K.



PROGNOSIS................................................................................................24



BAB III KESIMPULAN...........................................................................................25 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................26



III



BAB I PENDAHULUAN



Fraktur



terbuka



merupakan



suatu



keadaan



darurat



yang



memerlukan penanganan yang terstandar dan segera untuk mengurangi resiko infeksi. Utamanya adalah untuk mencegah infeksi, penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridemen yang dapat dilakukan berulang-ulang selama 48-72 jam, stabilisasi fraktur, penutupan kulit serta pemberian antibiotik yang adekuat.1 Fraktur terbuka terjadi dalam banyak cara, dan lokasi serta tingkat keparahan cederanya berhubungan langsung dengan lokasi dan besarnya gaya yang mengenai tubuh. Fraktur terbuka dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung seperti luka tembak, trauma kecelakaan lalu lintas, ataupun kecelakaan kerja yang berhubungan dengan himpitan pada jaringan lunak.1 Infeksi pada tulang dapat menjadi masalah yang sulit ditangani. Gustilo dan Anderson melaporkan bahwa 50,7 % dari pasien mereka memiliki hasil kultur yang positif pada luka mereka pada evaluasi awal. Sementara 31% pasien yang memiliki hasil kultur negatif pada awalnya, menjadi positif pada saat penutupan definitif. Oleh karena itu, setiap upaya dilakukan untuk mencegah masalah potensial tersebut dengan penanganan secepat mungkin. 1



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ANATOMI Tulang berasal dari embryonic hyaline cartilage yang berawal dari proses yang dinamakan Osterogenesis. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut Osteoblast. Matriks tulang terdiri atas serat-serat kolagen organic yang tertanam pada substansi dasar dan garam anorganik tulang seperti fosfor dan kalsium. Substansi dasar tulang terdiri dari proteoglikan yang tersusun dari kondroitin sulfat dan beberapa asam hialuronat yang bersenyawa protein. Garam-garan tulang berada dalam Kristal kalsium fosfat yang disebut hidroksiapatit. Persenyawaan kolagen dan Kristal hidroksiapatit bertanggung jawab atas daya regang dan daya tekan tulang yang besar. Tulang terbagi atas tiga menurut bentuknya, yaitu:2,3 a. Tulang panjang atau tubuler Bentuknya bulat, memanjang, dan bagian tengahnya berlubang seperti pipa. Terdiri atas epifisis dan diafisis. Contoh tulang panjang seerti tulang femur, tibia, fibula, ulna, dan humerus b. Tulang Pendek atau Kuboid Bentuknya bulat dan pendek. Contoh tulang pendek yaitu tulang vertebra, tulang karpal. c. Tulang Pipih Bentuknya pipih dan terdiri dari lempengan tulang kompak dan tulang spongiosa. Contoh tulang pipih yaitu tulang scapula, tulang iga dan tulang pelvis. Tulang panjang terdiri atas epifisis dan diafisis. Diafisis tersusun dari tulang kompak silinder tebal yang membungkus medulla atau rongga sumsum 2



sentral yang besar dan terdapat endosteum dan periosteum. Endosteum terdiri dari jaringan ikat areolar vaskular. Sedangkan periosteum adalah jaringan ikat yang membungkus diafisis. Epifisis merupakan ujung tulang yang membesar sehingga rongga sumsum dengan mudah bersambungan dan tersusun dari tulang cancellus interna, yang diselubungi tulang kompak dan dibungkus kartilago hialin.1



Gambar 1.1 Struktur Tulang Panjang Sebelah proksimal dari tiap epifisis terdapat metafisis. Diantaranya terdapat daerah kartilago yang tumbuh, yaitu lempeng epifisis atau growth plate. Tulang panjang tumbuh dengan cara mengakumulasi kartilago di lempeng epifisis yang kemudian akan digantikan oleh osteoblas, dan tulang akan memanjang. Pada akhir usia remaja, kartilago akan habis, lempeng epifisis akan berfusi dan pertumbuhan tulang akan terhenti. 2,3 Tulang terdiri dari sel-sel dan matriks ekstraselular. Sel tersebut adala osteosit, osteoblas, dan osteoklas. Osteoblas terbentuk dari sel induk yang disebut sel mesenkhimal. Sel ini juga dapat membentuk jaringan tulang rawan serta berbagai jenis jaringan. Osteoblas merupakan salah satu produk akhir sel induk mesenkhimal dan akan membentuk osteosit yaitu komponen sel utama dalam jaringan tulang yang berperan penting dalam pembentukan matriks tulang dengan cara membantu pemberian nutrisi. Osteoklas merupakan sel fagosit yang mempunyai kemampuan melisiskan tulang dan merupakan bagian yang penting, osteoklas berasal dari deretan sel monosit makrofag.



3



B. DEFINISI Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri dan timbul komplikasi berupa infeksi. Luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang tajam dan keluar menembus kulit (from within) atau dari luar oleh karena tertembus misal oleh peluru atau trauma langsung (from without). Fraktur terbuka merupakan suatu kondisi keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi.3



C. EPIDEMIOLOGI Frekuensi fraktur terbuka bervariasi tergantung faktor geografis dan sosioekonomi, populasi penduduk, dan trauma yang terjadi. Dari data yang diambil dari Universitas Gajah Mada didapatkan insidensi fraktur terbuka sebesar 4% dari seluruh fraktur dengan perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 3,64:1 dan untuk kelompok usia mayoritas pada dekade dua atau dekade tiga, dimana mobilitas dan aktifitas fisik tergolong tinggi.8 Sedangkan insiden fraktur terbuka di Edinburgh Orthopaedic Trauma Unit di Skotlandia mendata sebanyak 21.3 kasus per 100.000 dalam setahun. Yang terbanyak adalah fraktur diafisis pada tibia (21,6%), lalu pada femur (12,1%), radius dan ulna (9,3%), dan humerus (5,7%). Pada tulang panjang, fraktur terbuka diafiseal (15,3%) lebih sering terjadi disbanding metafiseal (1,2%).9



D. ETIOLOGI Sachdeva membagi etiologi fraktur menjadi tiga, yaitu cedera traumatik, fraktur patologik, dan cedera spontan. Cedera traumatik pada tulang bisa disebabkan karena cedera langsung atau pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan, cedera tidak



4



langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, dan fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat. Fraktur patologik keadaan dimana terjadinya fraktur pada tulang akibat proses penyakit dimana trauma minor dapat menyebabkan fraktur. Fraktur patologik terjadi apabila terdapat tumor tulang baik jinak maupun ganas, terdapat infeksi pada tulang seperti pada osteomyelitis, dan pada rakhitis.10 Tingkat keparahan cedera fraktur terbuka berhubungan langsung dengan lokasi dan besarnya gaya yang mengenai tubuh. Ukuran luka bisa hanya beberapa millimeter hingga terhitung diameter. Tulang yang fraktur bisa langsung terlihat atau tidak terlihat pada luka. Fraktur terbuka lainnya dapat mengekspos banyak tulang dan otot, dapat merusak saraf serta pembuluh darah sekitarnya. Penyebab lain fraktur terbuka selain trauma bisa karena kecelakaan kerja maupun luka tembak.



E. KLASIFIKASI Klasifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut Gustilo dan Anderson yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan lunak, konfigurasi fraktur, dan derajat kontaminasi. Klasifikasi Gustilo membagi fraktur terbuka menjadi tipe I, II, dan III. Gustilo juga membagi tipe III mejadi subtype, yaitu tipe IIIA, IIIB, IIIC.11



Tabel 2.1 Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo & Anderson11 Tipe



Luka



Fraktur



Resiko infeksi (%) 5



I



II



Laserasi < 1cm kerusakan



Sederhana,



0-2



jaringan tidak berarti



dislokasi fragmen



relative bersih Laserasi > 1cm, tidak ada



minimal Dislokasi fragmen



kerusakan jaringan yang



jelas



2-5



hebat atau avulsi, ada III



kontaminasi Luka lebar >10cm dan rusak



Kominutif,



hebat, atau hilangnya



segmental, fragmen



jaringan disekitarnya,



tulang ada yang



kontaminasi hebat



hilang



5-50



Tabel 2.2 Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo & Anderson11 Tipe



Batasan



IIIA



Periostenum



masih



membungkus



fragmen



Resiko



Resiko



infeksi (%) 5-10



amputasi (%) 0



10-50



16



25-50



42



fraktur dengan kerusakan jaringn lunak yang luas Kehilangan



IIIB



jaringn



lunak



yang



luas,



kontaminasi berat, periostenal striping atau terjadi bone expose Disertai kerusakan arteri yang memerlukan



IIIC



repair tanpa melihat tingkat kerusakan jaringn lunak



Keterangan : 



Tipe IIIA terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak, walaupun adanya kerusakan jaringan lunak yang luas dan berat.







Tipe IIIB terjadi pada fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringn lunak, sehingga tulang terlihat jelas atau bone expose, terdapat pelepasan



6



periosteum, fraktur kominutif. Biasanya disertai kontaminasi masif dan merupakan trauma high energy tanpa memandang luas luka. 



Tipe IIIC terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar kehidupan bagian distal dapat dipertahankan tanpa memandang derajat kerusakan jaringan lunak.



Gambar 2.2 Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo & Anderson11



F. PATOFISIOLOGI Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Apabila tekanan eksternal lebih besar dari yang diserap tulang, maka terjadi trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung, trauma tidak langsung, atau kondisi patologis. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah seta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan tulang yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medulla tulang. Akibat hematoma yang terjadi dapat menghambat suplai darah atau nutrisi ke jaringan tulang yang berdekatan, sehingga jaringan tulang mengalami nektosis dan menstimulasi terjadinya



7



respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan infiltrasi sel darah putih. Tahap ini menunjukan tahap awal penyembuhan tulang. Hematoma yang terjadi juga menyebabkan dilatasi kapiler otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamine pada otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstisial, hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung saraf yang dapat menyebabkan nyeri yang bila berlangsung lama bias menyebabkan sindroma kompartemen.4 Fraktur yang hebat menyebabkan diskontinuitas tulang yang dapat merubah jaringan sekitar seperti merusak integritas kulit atau terjadi laserasi kulit hal ini menyebabkan fraktur terbuka. Fraktur juga menyebabkan



terjadinya



pergeseran



fragmen



tulang



yang



dapat



mempengaruhi mobilitas fisik sehingga terjadi gangguan pergerakan dan gangguan perfusi jaringan jika terjadi penyumbatan pembuluh darah oleh emboli lemak dan trombosit yang terjadi akibat reaksi stress dan memicu pelepasan katekolamin yang disbabkan oleh peningkatan tekanan sumsum tulang disbanding tekanan kapiler. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur yaitu faktor ekstrinsik, adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur, dan faktor intrinsik, yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur, seperti kapasitas absorbs dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekeras.4



8



Gambar 2.3 Skema terjadinya komplikasi pada fraktur G. MANIFESTASI KLINIS Penderita fraktur terbuka biasanya datang dengan suatu trauma, baik trauma hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Riwayat trauma kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat ketinggian, luka tembak dengan kecepatan tinggi atau pukulan langsung oleh benda berat akan mengakibatkan prognosis jelek dibanding trauma sederhana atau trauma olah raga. Faktor trauma kecepatan rendah atau taruma kecepatan tinggi sangat penting dalam menentukan klasifikasi fraktur terbuka karena akan berdampak pada kerusakan jaringan itu sendiri. Penting adanya deskripsi yang jelas mengenai keluhan penderita, biomekanisme trauma, lokasi dan 9



derajat nyeri serta faktor umur dan kondisi penderita sebelum kejadian, seperti adanya riwayat hipertensi dan diabetes melitus merupakan faktor yang penting untuk ditanyakan. Apabila trauma yang menyebabkan fraktur adalah trauma ringan perlu dicurigai adanya lesi patologi. Keluhan umum penderita adalah nyeri, memar, dan pembengkakan merupakan gejala yang sering ditemukan, tetapi gejala itu tidak membedakan fraktur dari cedera jaringan lunak, sehingga perlu diperhatikan ada tidaknya deformitas dan krepitasi karena lebih mendukung terjadinya fraktur. Selain keluhan umum, pada anamnesis juga perlu ditanyakan trauma yang terjadi merupakan trauma langsung atau trauma tidak langsung serta ada tidaknya luka pada daerah trauma dan fraktur, penting juga menanyakan mengenai gejala-gejala cedera yang berkaitan, seperti baal atau hilangnya gerakan, kulit yang pucat atau sianosis, darah dalam urin, nyeri perut, hilangnya kesadaran untuk sementara, juga tentang riwayat cedera sebelumnya dan kemungkinan terjadinya fraktur di daerah lain.10,12



H. DIAGNOSIS 1. Anamnesis Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.13 2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:13



- Syok, anemia atau pendarahan



10



- Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen



- Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis. Pemeriksaan lokal yang dapat dilakukan yaitu: a. Look (inspeksi) Pembengkakan, memar, dan deformitas, berupa penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, ataupun pemendekan, mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh atau tidak, kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur menunjukkan bahwa fraktur tersebut merupakan fraktur terbuka (compound). b. Feel (palpasi) Palpasi dilakukan untuk memeriksa temperatur setempat,



nyeri



tekan, krepitasi, pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior atau sesuai anggota gerak yang terkena, refilling atau pengisisann arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma, serta pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai. Palpasi juga untuk memeriksa bagian distal dari fraktur merasakan nadi dan untuk menguji sensasi. Trauma pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan pembedahan. c. Movement (pergerakan) Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih pnting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal cedera. Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi paroksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pemeriksaan pergerakan harus



11



dilakukan secara hati-hati karena pada penderita dengan fraktur setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat dan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.



3. Pemeriksaan Penunjang



a. X-Ray Dengan pemeriksaan klinis, biasanya sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun demikian, pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur dengan mengingat rule of twos14: 



Two views, minimal dua jenis proyeksi (anteroposterior dan lateral) harus diambil.







Two joints, sendi yang berada di atas dan di bawah dari fraktur harus difoto.







Two limbs, x-ray pada sisi anggota gerak yang tidak cidera dibutuhkan sebagai pembanding.







Two injuries, trauma keras biasanya menyeabkan cidera lebih dari satu daerah tulang. Maka dari itu, pada fraktur calcaneum atau femur, penting untuk memfoto x-ray pada pelvis dan vertebra.







Two occasions, beberapa fraktur sulit kelihatan pada hasil foto x-ray pertama sehingga pemeriksaan ulang x-ray dalam satu atau dua minggu kemudian dapat menunjukkan lesi yang ada.



b. Pemeriksaan khusus CT scan dan MRI memperlihatkan hasil yang lebih optimal pada cidera tulang dan jaringan lunak, namun keduanya sering tidak diperlukan dalam manejemen awal dari fraktur terbuka.1 CT scan melihat lebih detail bagian tulang sendi dengan membuat irisan foto lapis demi lapis. MRI digunakan untuk 12



mengidentifikasi cidera pada tendon, ligament, otot, tulang rawan, dan tulang. I. PENATALAKSANAAN Pasien dengan fraktur terbuka kemungkinan besar memiliki cedera multipel, maka dari itu perlu dilakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan prinsip penanganan trauma yaitu penilaian awal (primary survey) yang bertujuan untuk menilai dan memberikan pengobatan sesuai dengan proritas berdasarkan trauma yang dialami.14 Penanganan pasien terdiri dari evaluasi awal segera serta resusitasi fungsi vital, penanganan trauma, dan identifikasi keadaan yang mengancam jiwa. 



A: Airway, penilaian terhadap patensi jalan napas. Jika terdapat obstruksi jalan napas, maka harus segera dibebaskan. Apabila dicurigai terdapat kelainan pada vertebra servikalis maka dilakukan pemasangan collar neck.







B: Breathing, perlu diperhatikan dan dilihat secara menyeluruh daerah toraks untuk menilai ventilasi pasien. Jalan napas yang bebas tidak menjadikan pasien memiliki ventilasi yang adekuat. Jika terdapat gangguan kardiovaskuler, respirasi atau gangguan neurologis, harus dilakukan bantuan ventilasi menggunakan alat pernapasan berupa bag-valve-mask yang disambung pada reservoir dan dialirkan oksigen.







C: Circulation, kontrol perdarahan meliputi dua hal, yaitu (1) volume darah dan output jantung; (2) perdarahan, baik dari luar maupun dalam, dengan perdarahan luar yang harus diatasi dengan balut tekan.







D: Disability, evaluasi neurologis secara cepat setelah satu survey awal dengan menilai tingkat kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale, besar dan reaksi pupil, serta refleks cahaya.







E: Exposure, untuk melakukan pemeriksaan secara teliti dan menyeluruh maka pakaian pasien perlu dilepas, selain itu perlu dicegah terjadinya hipotermi.



13



Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif terhadap kasus fraktur, terdapat prinsip pengobatan 4R 15 pada waktu menangani fraktur, yakni sebagai berikut: 1. Rekognisi, menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadinnya kecelakaan dan kemudian di rumah sakit. Riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan, dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri menentukan apakah ada kemungkinan fraktur, dan apakah diperlukan permeriksaan spesifik untuk mencari adanya fraktur. Perkiraan diagnosis fraktur pada tempat kejadian dapat dilakukan sehubungan dengan adanya nyeri dan bengkak lokal, kelainan bentuk, dan ketidakstabilan. 2. Reduksi, adalah reposisi fragmen-fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak normalnya. Biasanya reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalankan prosedur. Harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetik diberikan untuk mengurangi nyeri selama tindakan. Lebih baik mengerahkan semua tenaga pada percobaan pertama yang biasanya dengan cepat akan mencapai reduksi yang memuaskan daripada melakukannya dengan perlahan-lahan tetapi merusak lebih banyak jaringan kulit. 3. Retensi, menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Sebagai aturan umum, maka fiksasi eksterna yang dipasang untuk mempertahankan reduksi harus melewati sendi di atas fraktur dan di bawah fraktur.



14



4. Rehabilitasi, direncanakan segera dan dilaksanakan bersamaan dengan pengobatan fraktur untuk mengembalikan kekuatan otot, pergerakan sendi, dan melatih pasien agar dapat kembali menjalankan aktivitas normal dalam kesehariannya. Ketika fraktur terbuka siap untuk ditangani, luka pertama kali diinspeksi secara menyeluruh, apabila terdapat perdarahan eksternal segera di stop dan jika terkontaminasi maka segera dibersihkan. Kemudian, luka difoto untuk dokumentasi cidera yang baru terjadi, lalu luka ditutup dengan dressing yang dibasahi dengan normal saline. Pasien diberikan antibiotik yang biasanya co-amoxiclav atau cefuroxime, tapi clindamycin dipakai jika pasien alergi terhadap penicillin. Juga diberikan profilaksis tetanus toxoid jika sebelumnya telah diimunisasi atau antiserum jika belum diimunisasi. Bagian yang cidera lalu dibidai sampai pembedahan siap dilakukan. Sirkulasi dan status neurologis bagian distal dari fraktur harus dicek secara berkala, terutama setelah maneuver reduksi fraktur telah dilakukan.14 Tatalaksana ditentukan dari tipe fraktur, karakteristik dari kerusakan jaringan lunak (termasuk ukuran luka) dan derajat kontaminasi. Biasanya banyak digunakan klasifikasi fraktur terbuka dari Gustilo. Semua fraktur terbuka, sesimpel apapun kelihatannya harus dianggap telah terkontaminasi. Penting bagi kita untuk mencegah fraktur tersebut mengalami infeksi, berikut merupakan tahapan tindakan operatif untuk fraktur terbuka.14 1. Debridement Tujuan debridement adalah menjadikan luka bersih dari benda asing dan jaringan mati, menyisakan daerah untuk operasi yang bersih serta jaringan yang memiliki perdarahan yang baik. Dressing yang sebelumnya digantikan dengan sterile pad dan kulit di sekelilingnya



15



dibersihkan. kemudian pad dilepaskan dan luka diirigasi dengan normal saline. Luka kemudian ditutup lagi dan operasi disiapkan.14,16 Penanganan fraktur terbuka terdiri dari eksisi pinggir luka seperlunya sehingga meninggalkan pinggiran jaringan sehat. Kemudian pembersihan luka secara teliti membutuhkan eksposur luka yang adekuat, eksposur luka dapat dilakukan melalui ekstensi luka dengan cara yang aman yakni mengikuti garis pada insisi fasciotomy untuk menghindari kerusakan pada cabang pembuluh darah yang menyuplai darah pada area kulit yang bisa digunakan sebagai flap untuk menutup fraktur yang terekspos.14,16 Lalu, penilaian permukaan fraktur tidak dapat dilakukan dengan adekuat tanpa mengekstraksi tulang di dalam luka. Cara yang paling sederhana adalah dengan menekuk eksremitas pada posisi dimana bagian tersebut menerima benturan saat cidera terjadi sehingga permukaan fraktur akan terekspos melalui luka tanpa kerusakan tambahan pada jaringan lunak. Selanjutnya, dilakukan pembersihan jaringan mati karena sisa jaringan mati bertindak sebagai medium terhadap perkembangbiakan bakteri. Semua benda asing dan debris dibersihkan dengan eksisi atau dicuci dengan menggunakan normal saline. Jangan menginjeksikan cairan ke dalam celah luka kecil untuk membersihkan luka karena ini hanya akan membuat kontaminan semakin terdorong ke dalam. Sekitar 6 - 12 L saline diperlukan untuk mengirigasi dan membersihkan fraktur terbuka pada tulang panjang.14 2. Penanganan fraktur Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. Stabilisasi fraktur penting dalam mengurangi terjadinya infeksi, meminimalisir trauma yang berlangsung, dan membantu penyembuhan jaringan lunak. Metode fiksasi bergantung pada derajat kontaminasi, lama waktu cidera terjadi sampai operasi



16



dilakukan dan jumlah dari kerusakan jaringan lunak. Jika tidak ada kontaminasi yang tampak dan penutupan luka definitive dapat dilakukan saat debridement, fraktur terbuka dalam semua grade dapat ditatalaksana seperti cidera tertutup, dimana fiksasi internal atau eksternal dapat dilakukan tergantung dari karakteristik individual dari fraktur dan luka. Jika penutupan luka terlambat dilakukan, maka fiksasi eksternal lebih aman.14,16 Fiksasi eksternal dapat diganti dengan fiksasi internal pada saat penutupan luka definitive jika (1) penundaan penutupan luka kurang dari 7 hari; (2) kontaminasi pada luka tidak tampak dan; (3) fiksasi internal dapat mengontrol fraktur sebaik fiksator eksternal.14 Fiksasi internal, yakni dengan cara fragmen-fragmen tulang direposisi ke posisi normal kemudian fiksasi dengan skrup khusus atau dengan menggunakan pelat logam ke permukaan luar tulang. Indikasinya adalah (1) fraktur yang tidak bisa direduksi kecuali dengan operasi; (2) fraktur yang tidak stabil dan cenderung untuk mengalami re-displace setelah reduksi dilakukan; (3) fraktur yang penyatuannya lambat dan sulit, contohnya fraktur kolumn femur; (4) fraktur patologis dimana penyakit tulang menghambat penyembuhan.14 Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang terjadi. Fiksasi ini digunakan untuk menahan tulang agar tetap berada dalam satu garis lurus, dengan menggunakan kawat atau skrup yang ditempatkan di atas dan di bawah tempat fraktur. Kemudian fragmen tulang direposisi. Pin atau skrup dihubungkan ke sebuah lempengan logam di luar kulit. Perangkat ini merupakan suatu kerangka stabilisasi yang menyangga tulang dalam posisi yang tepat. Indikasinya adalah (1) untuk penanganan fraktur yang berkaitan dengan kerusakan jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka) atau dengan kontaminasi yang berat; (2) fraktur disekitar sendi dimana fiksasi internal dapat dilakukan namun jaringan lunaknya terlalu bengkak untuk bisa dilakukan pembedahan secara aman, sehingga pemasangan fiksator eksternal memberikan stabilitas sampai kondisi lunak



17



membaik; (3) fraktur pada pasien tidak stabil yang tidak bisa mentolerir kehilangan darah.14,16



Gambar 2.4 Pemasangan skrup dan pelat pada fiksasi internal (tengah); fiksasi eksternal pada fraktur (kiri dan kanan) 3. Penutupan luka Fraktur terbuka harus diobati dalam waktu periode emasnya (6-8 jam mulai dari terjadinya kecelakaan). Dapat dilakukan split thickness skin-graft atau local-distant flap(1,3) serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. Pada luka yang lebih berat atau Gustilo grade yang lebih lanjut (III), dilakukan stabilisasi fraktur segera dan penutupan luka.



Gambar 2.5 Penutup luka yang terbaik adalah kulit atau otot 4. Pemberian antibiotik profilaksis



18



Pada kebanyakan kasus, co-amoxiclav (1,2g / 8jam) atau cefuroxime (1,5g / 8jam) (atau clindamycin (600mg / 6 jam) jika terdapat alergi penisilin) diberikan secepatnya. Pada saat dilakukan debridement, gentamicin (1,5 mg/kgBB) ditambahkan ke dosis kedua dari antibiotik pertama. Kedua antibiotik memberikan profilaksis melawaan bakteri Gram positif dan Gram negative yang telah memasuki luka saat cidera terjadi. Selanjutnya, hanya co-amoxiclav atau cefuroxime (atau clindamycin) yang terus diberikan.14,17 Karena luka grade I Gustilo bisa ditutup saat debridement, profilaksis antibiotik tidak perlu diberikan lebih dari 24 jam. Pada fraktur grade II dan IIIA-C biasanya terdapat penundaan penutupan luka, dan karena luka yang ada sekarang telah berada pada lingkungan rumah sakit, ada data yang menyebutkan bahwa infeksi pada fraktur terbuka banyak disebabkan oleh hospital-acquired bacteria dan tidak tumbuh saat cidera terjadi, gentamicin dan vancomycin (1g) (atau teicoplanin (800mg)) diberikan saat penutupan luka definitif. Total waktu penggunaan antibiotic untuk fraktur-fraktur ini tidak boleh lebih dari 72 jam.17



Tabel 2.3 Antibiotik untuk fraktur terbuka17 Diberikan secepatnya (dalam 3 jam dari terjadinya fraktur) Saat melakukan debridement Saat penutupan luka definitive



Grade I co-amoxiclav



Grade II co-amoxiclav



Grade IIIA co-amoxiclav



Grade IIIB/C co-amoxiclav



co-amoxiclav dan gentamicin



co-amoxiclav dan gentamicin



co-amoxiclav dan gentamicin



co-amoxiclav dan gentamicin



Penutupan luka dapat dilakukan saat debridement; penundaan luka tidak dibutuhkan



Penutupan luka dapat dilakukan saat debridement. Jika ditunda, gentamicin dan vancomycin (atau



Penutupan luka Gentamicin dan dapat dilakukan vancomycin (atau saat debridement. teicoplanin) Jika ditunda, gentamicin dan vancomycin (atau 19



teicoplanin) teicoplanin) diberikan saat diberikan saat penutupan luka penutupan luka Profilaksis diteruskan



Hanya pemberian co-amoxiclav yang diteruskan setelah pembedahan



Maksimal waktu pemberian



24 jam



Hanya pemberian co-amoxiclav yang diteruskan dari proses pembedahan awal sampai setelah pembedahan terakhir. 72 jam



Hanya pemberian co-amoxiclav yang diteruskan dari proses pembedahan awal sampai setelah pembedahan terakhir.



Hanya pemberian co-amoxiclav yang diteruskan dari proses pembedahan awal sampai setelah pembedahan terakhir.



72 jam



72 jam



Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. Tetanus disebabkan oleh infeksi dari Clostridium tetani yang merupakan bakteri anaerob yang menghasilkan toksin



yang dapat



menjurus pada terjadinya spasme otot yang mengancam jiwa. Pemberian vaksin tetanus pada kasus luka traumatik (1) melakukan irigasi dan debridement sesuai indikasi (2) memperoleh riwayat imunisasi pasien (3) pemberian tetanus toxoid jika booster terakhir diberikan lebih dari 10 tahun atau jika riwayat vaksinasi tidak ada/jelas (4) memberikan imunoglobulin tetanus pada pasien dengan imunisasi primer inkomplit. 5. Aftercare Di ruang perawatan setelah operasi selesai dilakukan, ekstremitas ditinggikan dan sirkulasi darah diobservasi.(1) Pemberian antibiotik dapat diteruskan namun maksimal pemberiannya hanya sampai 72 jam pada tipe fraktur yang lebih berat.17 Amputasi juga bisa dilakukan pada pasien dengan fraktur terbuka. Indikasi absolut dilakukannya amputasi adalah gangguan anatomis komplit dari saraf tibialis dan iskemia yang lebih dari 6 jam. Indikasi relatifnya adalah polytrauma serius, trauma kaki ipsilateral berat, penanganan yang 20



berlarut-larut untuk bisa terjadi penutupan jaringan lunak dan rekonstruksi tulang. Jika terdapat satu indikasi absolut atau dua dari tiga indikasi relative maka amputasi diindikasikan untuk dilakukan.16 Mangled Extremity Severity Score (MESS) merupakan sebuah sistem



klasifikasi



yang



banyak



digunakan



sebagai



pertimbangan



dilakukannya amputasi. Dimana skor 7 atau lebih mengarah pada kebutuhan untuk pelaksanaan amputasi.17 Gambar 2.6 Tabel MESS



Proses Penyembuhan Tulang terdiri dari 5 proses: 1. Fase Hematoma Merupakan proses awal yang dimulai dengan terjadinya hematoma disertai pembengkakan jaringan lunak, lalu terjadi organisasi (proliferasi jaringan penyambung muda di tempat peradangan) dan hematoma akan mengecil.



21



2. Fase Proliferatif Proliferasi sel-sel periosteal dan endosteal, yang menonjol adalah proliferasi sel-sel lapisan dalam periosteal di dekat daerah fraktur. Hematoma akan terdesak proliferasi ini dan di absorbsi tubuh. Bersamaan dengan aktifitas sel-sel subperiosteal maka terjadi aktifitas sel-sel dari kanalis medularis dari lapisan endosteum dan bone marrow masing-masing fragmen. Proses tersebut lalu bertemu dalam satu proses yang sama, dan terus berlangsung kedalam dan keluar dari tulang sehingga menjembatani permukaan fraktur satu sama lain. Pada fase ini sudah terjadi pengendapan kalsium. 3. Fase Pembentukan Callus Pada fase ini terbentuk fibrous callus dan tulang menjadi osteoporotic akibat resorbsi kalsium untuk penyembuhan. Sel osteoblas mengeluarkan matriks intraseluller yang terdiri dari kolagen dan polisakarida, yang segera bersatu dengan garam kalsium, membentuk tulang immature atau young callus, karena proses tersebut, maka pada akhir stadium terdapat dua macam callus yaitu internal callus dan external callus. 4. Fase Konsolidasi Pada fase ini callus mengalami maturisasi lebih lanjut oleh aktifitas osteoblas, callus menjadi tulang yang mature dengan pembentukan lamelalamela. Pada fase ini terjadi pergantian fibrous callus menjadi primary callus dan apabila dilakukan rontgen sudah terlihat jaringan yang tampak radioopaque. Secara berangsur primary bone callus diresorbsi dan diganti dengan secondary bone callus yang sudah menyerupai jaringan tulang normal. 5. Fase Remodeling Pada fase ini secondary bone callus sudah ditimbuni kalsium yang banyak dan tulang sudah terbentuk dengan baik, serta terjadi pembentukan kembali dari medulla tulang dan dengan adanya pergerakan, kontraksi otot, dan sebagainya maka callus yang mature perlahan akan terhisap



22



kembali dengan kecepatan konstan sehingga terbentuk tulang yang sesuai dengan aslinya.



Gambar 2.7 Proses Penyembuhan Tulang J. KOMPLIKASI a. Umum Syok, koagulopati difus atau gangguan fungsi pernapasan yang dapat terjadi dalam 24 jam pertama setelah trauma dan setelah beberapa hari kemudian dapat terjadi gangguan metabolisme berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum yang lain dapat berupa emboli lemak, thrombosis vena dalam, infeksi tetanus atau gas gangrene.14 b. Komplikasi lokal dini Yakni komplikasi yang terjadi dalam 1 minggu pertama pasca trauma, komplikasi pada waktu ini dapat mengenai tulang, otot, jaringan lunak, sendi, pembuluh darah, saraf, organ viseral maupun timbulnya sindrom kompartemen atau nekrosis avaskuler.14



23



c. Komplikasi lokal lanjut Yakni komplikasi yang terjadi lebih dari 1 minggu pasca trauma. Dapat berupa komplikasi pada tulang, osteomyelitis kronis, kekakuan sendi, degenerasi sendi, maupun nekrosis pasca trauma. Dalam penyembuhan fraktur dapat juga terjadi komplikasi berupa infeksi, nonunion, delayed union, dan malunion.14 K. PROGNOSIS Semua fraktur terbuka merupakan kasus kegawatdaruratan. Dengan terbukanya barier jaringan lunak, maka fraktur tersebut terancam mengalami proses infeksi. Selama 6 jam sejak fraktur terjadi, luka masih dalam periode emas penyembuhannya, dan setelah periode tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karenanya, penanganan fraktur terbuka harus dilakukan sebelum periode emas terlampaui agar sasaran penanganannya tercapai.13



BAB III KESIMPULAN



24



Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat. Diagnosis fraktur terbuka didapatkan dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik serta penunjang berupa pemeriksaan radiologis. Tujuan dari tata laksana fraktur terbuka adalah untuk mengurangi resiko infeksi, terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridemen yang berulangulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian antibiotik yang adekuat.



DAFTAR PUSTAKA



25



1. Kenneth J.K., Joseph D.Z. Handbook of Fractures, 3rd Edition. Pennsylvania. 2006. 2. Sloane E. Sistem Rangka. Veldman J editor. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Edisi bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2003. 3. Rasjad C. Fraktur Epifisis. Pengantar Ilmu Bedah. 3 rd ed. Cetakan kelima. Jakarta: Yarsif. 2007. 4. Corwin EJ. Kontrol Terintegrasi dan Disfungsi. Subekti EB editor. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta : EGC. 2009. 5. Cameron JR, Skofronick JG, Grant RM. Fisika Tulang : Komposisi Tulang. Chairunnisa editor. Fisikia Tubuh Manusia. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2006. 6. Rohen JW, Drecoll EL. Lempeng Mudigah dan Perkembangan Tumbuh Embrio. Dany F editor. Embriologi Fungsional : Perkembangan Sistem Fungsi Organ Manusia. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2003 7. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi: Struktur dan Fungsi Tulang. 3rd ed. Jakarta: Yarsif. 2008; 317-478 8. Jonathan C. Open Fracture. Orthopedics (Update 2012 May, 27). Available from http://orthopedics.about.com/cs/brokenbones/g/openfracture.htm. Accessed 23 October 2020 9. Court-Brown CM, Brewster N (1996) Epidemiology of Open Fracture. Court-Brown CM, McQueen MM, Quaba AA (eds), Management of Open Fractures. London: Martin Dunitz, 25-35 10. Solomon L, Varwick D, Nayagam S. Principle of fracture. In: Nayagam S, editor. Apley’s system of orthopaedics and fractures 9th ed. United States: Crc Press;2010.p.672-88. 11. Gustilo RB, Anderson JT. Prevention of infection in the treatment of one thousand and twenty-five open fractures of long bones; retrospective and prospective analyses. J Bone Joint Surg Am 1976;58:453-8. 12. Townsmen Cm, Beaucham RD, Evers Bm, Mattox K. Sabiston text book of surgery: Trauma and critical care. 12th ed. Canada: Elsevier;2012.p.500. 13. Chapman MW. Open fractures in Chapman’s orthopaedic surgery. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins;2001 14. Nayagam S. Principles of fractures. In: Warwick D and Nayagam S (eds) Apley’s System of Orthopaedics and Fractures, 9th edition. London: Hodder Arnold; 2010. p. 687-732. 15. Carter, A. Michael. Fraktur dan Dislokasi. Dalam: Price and Wilson, Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit, edisi 6. Jakarta: EGC; 2006. p. 1187-91. 16. Marshall ST, Browner BD. Emergency Care of Musculoskeletal Injuries. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers B, Mattox K (eds) Sabiston textbook of surgery : the biological basis of modern surgical practice, 19th ed. Canada: Elsevier Sauders; 2012. p. 482-504. 17. Nanchahal J, Nayagam S, Khan U, Moran C, Barrett S, Sanderson F, et al. Standards for the Management of Open Fractures of the Lower Limb. 26



British Orthopaedic Association and British Association of Plastic, Reconstructive and Aesthetic Surgeons, 2009.



27