Referat Hiperpireksia Arya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT HIPERPIREKSIA



DISUSUN OLEH: Arya Nugraha Karya 1102014040



PEMBIMBING: dr. Amin Husni, Sp.A



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RS TK II MOH. RIDWAN MEURAKSA



KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul “Hiperpireksia” ini dapat diselesaikan. Referat ini disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RS Moh Ridwan Meuraksa. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya referat ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. dr. Amin Husni, Sp.A selaku dokter pembimbing penulisan referat. 2. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RS Moh Ridwan Meuraksa Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari. Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.



Jakarta,



November 2019



Penulis



ii



LEMBAR PENGESAHAN



Nama



: Arya Nugraha Karya



NPM



: 1102014040



Asal Insitusi : Universitas YARSI Stase



: Ilmu Kesehatan Anak



Periode



: 11 November 2019 s/d 18 Januari 2020



REFERAT DENGAN JUDUL “HIPERPIREKSIA”



Penyusun



Pembimbing



Arya Nugraha Karya



dr. Amin Husni, Sp.A Letkol Ckm



(1102014040)



iii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A.



Latar Belakang .......................................................................................... 1



B.



Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3 A.



Definisi ........................................................................................................ 3



B.



Etiologi ........................................................................................................ 3



C.



Patofisiologi Pengaturan Suhu Tubuh..................................................... 5



D.



Patofisiologi Demam .................................................................................. 7



E.



Klasifikasi Demam................................................................................... 13



F.



Gambaran Klinis ..................................................................................... 19



G. Penatalaksaan Hiperpireksia ................................................................. 22 H. Penanganan Heat Stroke: ....................................................................... 28 I.



Pengobatan Penunjang ........................................................................... 29



J.



Mencari Dan Mengobati Penyebab ....................................................... 30



K. Prognosis .................................................................................................. 30 BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33



iv



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam (pireksi) yaitu peninggian suhu tubuh di atas 38,3o C, sejak dahulu sudah dikenal sebagai tanda penyakit. Penderita atau orang tua biasanya menyamakan tingginya demam dengan beratnya penyakit. Didapatkan bahwa 30 – 35,8% alasan kunjungan ke dokter ialah demam. Walaupun sebagian penderita dapat menahan suhu tubuh antara 39,4oC – 40oC, demam dapat menimbulkan efek yang merusak. Pada 3% anak yang berumur kurang daripada 5 tahun terdapat kejang demam, yang merupakan separuh daripada seluruh kejang pada kelompok umur ini. Orang tua biasanya cemas bila anaknya demam karena beranggapan bahwa tingginya suhu sejajar dengan gawatnya penyakit yang diderita dan berusaha meminta pertolongan untuk pengobatan demamnya.1 Keadaan demam yang lebih berat, yaitu hiperpireksi dimana suhu tubuh lebih daripada 41,1oC atau 106oF, terdapat pada 0,476/ 1000 kasus demam. Kenaikan suhu di atas 41,1oC sebenarnya jarang terjadi, oleh karena adanya set point pengatur suhu yang diatur oleh hipotalamus di otak. Kenaikan suhu di atas 41,1oC ini umumnya masih dapat ditoleransi oleh anak, kecuali anak yang memang peka terhadap timbulnya kejang. Dalam keadaan kejang, hiperpireksia menyebabkan



kebutuhan



untuk



metabolisme



yang lebih



tinggi



dan



memperburuk keadaan. 1 Dari penderita yang datang ke ruang darurat terdapat 0,048% yang menderita hiperpireksia, sedang dari 1761 penderita dengan infeksi berat, misalnya tifus abdominalis dan pneumonia lobaris ternyata 5% di antaranya menderita hiperpireksia. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa meningkatnya suhu disertai dengan meningkatnya kasus bakterimia. Hal ini dibuktikan bahwa pada kasus dengan hiperpireksia terdapat 26% bakterimia (kultur positif dibanding dengan hanya 13% penderita dengan demam di bawah 40oC.2 Baik hipertermia dan hipotermia dapat menyebabkan MOD (Multiorgan system Dysfunction). Terapi untuk hipertermia meliputi mencari agen penyebab



1



dan mendiagnosa serta penanganan penyakit yang mendasari dengan perawatan keseluruhan secara simultan. Pasien dengan hipertermia dapat mengalami myoglobinuria dan gagal ginjal.5 Hiperpireksi meningkatkan metabolisme tubuh dan kerja system kardiopulmoner dan menyebabkan kerusakan jaringan sehingga harus ditanggulangi sebagai kasus emergensi. Malignant hyperthermia pada anestesi dapat menyebabkan kematian pada 60 – 80% kasus. 1 Angka kematian penderita hiperpireksia cukup tinggi tetapi lebih daripada separuhnya bukan disebabkan oleh tingginya suhu, melainkan disebabkan oleh penyebab hiperpireksia. Pada percobaan penggunaan hipertermia sebagai pengobatan penderita keganasan yang lanjut, meninggikan suhu tubuh sampai 42oC, tidak menyebabkan terjadinya disfungsi otak. Kenaikan suhu di atas 41oC pada anak disertai frekuensi yang tinggi daripada infeksi berat atau bakterimia, misalnya meningitis purulen, pneumonia lobaris, tifus abdominalis dan lainlain.2 Penyelidikan tentang demam telah banyak dilakukan, sungguhpun begitu belum dapat ditentukan peranan demam terhadap penyakit. Buku teks pediatric yang terpenting hampir tidak membicarakan sama sekali gejala demam dan pengobatannya. Selain merupakan alat diagnostic yang penting, demam mungkin merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat dipakai pada pengobatan. 1 Pengobatan hiperpireksi tidak selalu menyenangkan, efektif dan berguna, malahan mungkin berbahaya. Pengobatan yang rasionil memerlukan pengertian yang baik tentang mekanisme pengaturan suhu tubuh, patogenesis dan patofisiologi demam serta pengetahuan tentang mekanisme pengobatan yang dapat menurunkan suhu tubuh. Pengobatan yang ditujukan terhadap penyakit yang menyebabkan hiperpireksi tentu saja tetap merupakan hal yang utama. 1 B. Tujuan Penulisan Mengetahui tentang definisi, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, penatalaksanaan dan prognosis hiperpireksia



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Demam adalah peningkatan suhu tubuh diatas normal akibat kenaikan setpoint atau thermostat dari pusat termoregulasi dipusat hipotalamus. Hal ini berbeda dengan hipertermia, pada hipertermia terjadi peningkatan suhu tubuh, namun tidak terjadi peningkatan set point atau thermostat di pusat thermoregulasi. Istilah lain yang sering dipakai adalah hiperpireksia (hyperpyrexia) yaitu demam yang sangat tinggi, sama atau diatas 41,2 oC. Demam menjadi alasan utama dari orang tua untuk berobat ke dokter, merupakan kondisi yang mengkhawatirkan bagi orang tua dan juga dalam bebrapa hal bagi dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan. Penyebab utama demam adalah penyakit infeksi seperti virus, bakteri, riketsia, clamidia, dan parasite. Akan tetapi, dapat pula terjadi pada penyakit non infeksi seperti gangguan imunitas (SLE, Imun Rhematoid Arthritis), vaksin, cedera jaringan (trauma, infark, luka bakar), obat (drug fever), neoplasma, zat bioaktif (granulocyte-machrophage colony stimulating factor), gangguan metabolik (Febri diseases, hiperlipidemi tipe 1), genetic (familial mediterranian fever), dan gangguan endokrin (tirotoksikosis, pheochromocytoma).1 B. Etiologi Sekitar 29-59% demam berhubungan dengan infeksi, 11-20% dengan penyakit kolagen, 6-8% dengan neoplasma, 4% dengan penyakit metabolik dan 11-12% dengan penyakit lain. 1 Penyebab hiperpireksi ialah : infeksi 39%, infeksi dengan kerusakan pusat pengatur suhu 32%, kerusakan pusat pengatur suhu saja 18%, dan pada 11% kasus disebabkan oleh Juvenille Rheumatoid Arthritis, infeksi virus dan reaksi obat. Dari 28 penderita hiperpireksia terdapat 11 penderita (39%) disebabkan oleh infeksi diantaranya 7 penderita disebabkan oleh kuman gram negatif yang mengenai traktus urinaria 4 penderita, intraabdominal 2 penderita dan 1 penderita pada paru. Sedang 9 penderita (32%) disebabkan oleh gabungan



3



antara infeksi dan kerusakan pusat pengatur suhu. Selain itu 5 penderita (18%) disebabkan oleh kerusakan pusat pengatur suhu. Tiga penderita (11%) tidak diketahui penyebabnya. 1,2 Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat mengakibatkan hiperpireksia dapat dibagi sebagai berikut: 1. Set point hipotalamus meningkat a. Pirogen endogen 



Infeksi







Keganasan







Alergi







Panas karena steroid







Penyakit kolagen



b. Penyakit atau zat 



Kerusakan susunan saraf pusat







Keracunan ddt







Racun kalajengking







Penyinaran







Keracunan epinefrin



2. Set point hipotalamus normal a. Pembentukan panas melebihi pengeluaran panas 



Hipertermia malignan







Hipertiroidisme







Hipernatremia







Keracunan aspirin



b. Lingkungan lebih panas daripada pengeluaran panas 



Mandi sauna berlebihan







Panas di pabrik







Pakaian berlebihan



c. Pengeluaran panas tidak baik (rusak)



4



3.







Displasia ektoderm







Kombusio (terbakar)







Keracunan phenothiazine







Heat stroke



Rusaknya pusat pengatur suhu a. Penyakit yang langsung menyerang set point hipotalamus: 



ensefalitis/ meningitis







trauma kepala







perdarahan di kepala yang hebat







penyinaran2



C. Patofisiologi Pengaturan Suhu Tubuh Manusia ialah makhluk yang homeotermal, artinya makhluk yang dapat mempertahankan suhu tubuhnya walaupun suhu di sekitarnya berubah. Yang dimaksud dengan suhu tubuh ialah suhu bagian dalam tubuh seperti viscera, hati, otak. Suhu rectal merupakan penunjuk suhu yang baik. Suhu rectal diukur dengan meletakkan thermometer sedalam 3 – 4 cm dalam anus selama 3 menit sebelum dibaca. Suhu mulut hampir sama dengan suhu rectal. Suhu ketiak biasanya lebih rendah daripada suhu rectal. Pengukuran suhu aural pada telinga bayi baru lahir lebih susah dilakukan dan tidak praktis. Suhu tubuh manusia dalam keadaan istirahat berkisar antara 36oC – 37oC, yang dapat dipertahankan karena tubuh mampu mengatur keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas. 1 Panas dapat berasal dari luar tubuh seperti iklim atau suhu udara di sekitarnya yang panas. Panas dapat berasal dari tubuh sendiri. Pembentukan panas oleh tubuh (termogenesis) merupakan hasil metabolisme tubuh. Dalam keadaan basal tubuh membentuk panas 1 kkal/ kg BB/ jam. Jumlah panas yang dibentuk alat tubuh, seperti hati dan jantung relative tetap, sedangkan panas yang dibentuk otot rangka berubah-ubah sesuai dengan aktifitas. Bila tidak ada



5



mekanisme pengeluaran panas, dalam keadaan basal suhu tubuh akan naik 1oC/ jam, sedang dalam aktivitas normal suhu tubuh akan naik 2oC/ jam. 1 Pengeluaran panas terutama melalui paru dan kulit. Udara ekspirasi yang dikeluarkan paru jenuh dengan uap air yang berasal dari selaput lendir jalan nafas. Untuk menguapkan 1 ml air diperlukan panas sebanyak 0,58 kkal. Pengeluaran panas melalui kulit dapat dengan dua cara yaitu: a.



Konduksi – konveksi : pengeluaran panas melalui cara ini



bergantung kepada perbedaan suhu kulit dan suhu udara sekitarnya. b.



Penguapan air : air keluar dari kulit terutama melalui kelenjar



keringat. Dapat juga melalui perspirasi insensibilitas, difusi air melalui epidermis. 1 Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus melalui sistem umpan balik yang rumit. Hipotalamus karena berhubungan dengan talamus akan menerima seluruh impuls eferen. Saraf eferen hipotalamus terdiri atas saraf somatik dan saraf otonom. Karena itu hipotalamus dapat mengatur kegiatan otot, kelenjar keringat, peredaran darah dan ventilasi paru. Keterangan tentang suhu bagian dalam tubuh diterima oleh reseptor di hipotalamus dari suhu darah yang memasuki otak. Keterangan tentang suhu dari bagian luar tubuh diterima reseptor panas di kulit yang diteruskan melalui sistem aferen ke hipotalamus. Keadaan suhu tubuh ini diolah oleh thermostat hipotalamus yang akan mengatur set point hipotalamus untuk membentuk panas atau untuk mengeluarkan panas. 1 Hipotalamus anterior merupakan pusat pengatur suhu yang bekerja bila terdapat kenaikan suhu tubuh. Hipotalamus anterior akan mengeluarkan impuls eferen sehingga akan terjadi vasodilatasi di kulit dan keringat akan dikeluarkan, selanjutnya panas lebih banyak dapat dikeluarkan dari tubuh. Hipotalamus posterior merupakan pusat pengatur suhu tubuh yang bekerja pada keadaan dimana terdapat penurunan suhu tubuh. Hipotalamus posterior



6



akan mengeluarkan impuls eferen sehingga pembentukan panas ditingkatkan dengan meningkatnya metabolisme dan aktifitas otot rangka dengan menggigil (shivering), serta pengeluaran panas akan dikurangi dengan cara vasokonstriksi di kulit dan pengurangan keringat. 1



D. Patofisiologi Demam Demam merupakan masalah kesehatan yang paling sering menjadi perhatian sepanjang sejarah kedokteran, berbagai upaya untuk memahami terjadinya demam telah dimulai sejak abad ke-19, bahkan sebelumnya. Berbagai penelitian baik pada hewan percobaan maupun pada manusia telah banyak dilakukan, hasil penelitian-peneliatian tersebut memberi petunjuk mengenai pathogenesis demam.1 Mekanisme terjadinya demam sangat kompleks melibatkan berbagai sistem dalam tubuh, namun secara garis besar, mekanisme utama melibatkan adanya pyrogen, prostaglandin E-2 (PGE-2), dan pusat termoregulasi. Pyrogen adalah substansi yang dapat menimulkan demam, yang terdiri dari pyrogen eksogen dan endogen. Pyrogen eksogen adalah pyrogen yang berasal dari luar tubuh seperti lipopolisakarida (bagian dari dinding sel bakteri), toksin, dan produk lain dari bakteri. Pirogen eksogen yang masuk ke dalam tubuh merangsang pembentukan sitokin seperti interleukin 1 dan 6 (IL-1 dan IL-6), tumor necrosis factor α (TNF- α), interferon β dan γ (IF- β dan IF- γ), dan berbagai sitokin lain. Sitokin proinflamasi (pro-inflammatry citokines) ini disebut sebagai pyrogen endogen, zat ini kemudian memasuki sirkulasi otak. Akan tetapi, karena memunyai berat molekul yang besar, pyrogen endogen sulit menembus sarwar otak. Diduga pyrogen endogen memengaruhi susunan saraf pusat secara indirect atau masuk ke dalam ruang periventrikuler melalui kapiler yang mudah dilalui didaerah organum vasculosum lamina terminalis (OVLT). Melalui mekanisme yang belum diketahui pasti, sitokin yang masuk ke susunan saraf pusat menstimulasi leukosit dan sel di daerah tersebut untuk memproduksi fospolipid. Melalui proses enzimatik dari fospolipid terbentuk asam



7



arakhidonat dengan bantuan enzim fospolipase A2. Selanjutnya terjadi metabolisme asam arakhidonat melalui jalur siklooksigenase (cyclooxygenase pathways) dan 5-lipooksigenase (5-lipoxygenase pathway) melalui jalur siklooksigenase terbentuk sikloendoperoksida (cyclo-endoperoxides) yang selanjutnya menghasilkan produk akhir prostaglandin E2, prostaglandin F α2, prostasiklin, dan tromboksan. PGE2 yang dikeluarkan sel di hipotalamus diperkirakan sebagai substansi utama yang meningkatkanset-point di pusat termoregulasi. Obat penurun demam seperti parasetamol dan antiinflamasi bekerja menghambat enzim siklooksigenase sehingga tidak terbentuk sikloendopiroksida sebagai substansi dasar pembentukan PGE2. PGE2 bersifat parakrin yang mengirimkan signaling ke sel-sel yang berdekatan sehingga mempengaruhi



sel-sel



tersebut.



Pada



patogenesis



demam,



PGE2



mempengaruhi sel-sel dihipotalamus untuk meningkatan set-point dipusat termoregulasi sehingga terjadi demam. Endoktoksin merupakan pyrogen eksogen yang dapat menimbulkan demam melalui 2 jalur, yaitu melalui stimulasi produksi pyrogen endogen dan melalui efek langsung terhadap pusat termoregulasi dihipotalamus. 1 Secara klinis, demam terdiri dari 3 fase, prodromal, menggigil (chills), demam (fever), dan penyembuhan (defervescense/resolution). Pada fase prodromal mulai terjadi stimulasi produksi pyrogen endogen, gejala tidak spesifik seperti rasa lelah, sakit kepala ringan, dan malaise. Selanjutnya, dengan terbentuknya prostaglandin E2, dimulai peningkatan set-point dihipotamalus, pasien masuk ke dalam fase menggigil. Pada fase ini tubuh berupaya meningkatkan suhu agar sesuai dengan set-point yang baru. Peningkatan suhu tubuh dilakukan melalui termogenenis (menggigil), mengurangi pengeluaran panas melalui vasokontriksi pembuluh darah kulit, kontraksi muskulus erector pilli, dan posisi tubuh meringkuk untuk mengurangi luas permukaan tubuh. Secara klinis terlihat anak merasa kedinginan, menggigil, kulit pucat, ingin diselimuti, dan posisi tidur meringkuk. Berbagai perubahan yang terjadi pada fase menggigil adalah sama dengan perubahan yang terjadi pada orang normal yang terpapar dengan suhu



8



dingin. Bila sudah tercapai keseimbangan baru antara set-point dan suhu tubuh, menggigil hilang diganti dengan peningkatan suhu tubuh (demam), pasien merasa kepanasan, kulit hangat dan kering, muka kemerahan (flushing), ciliary injection pada konjungtiva dan fotophobia. Pada fase penyembuhan (defervescense/resolution), set-point menurun, tubuh mengeluarkan panas untuk menyesuaikan dengan set-point sehingga terjadi pelepasan panas seperti melalui proses berkeringat.1



9



P R O D R O M E



Exogenous Pyrogens Inducers Of Endogenous Pyrogens



Host Inflammatory Cell Realese of Endogenous Pyrogens NSAIDS acetamenofen



Prostaglandin E2



C H I L L



F L U S H



Febrile Phase



Increase in Thermoregulatory Setpoint



FEVER



Effect of: - pyrogen



Body Temp Below Set Point



Body Temp Equals Set Point



Decrease in Thermoregulatory Setpoint



Body Temp Above Set Point



Resolution



Body Temp Equals Set Point



Pathophysiology



Body Temperature and Set Point



Heat Generation and Conservation - Involuntary shivering - Increased cell metabolism - Vasocontriction - Heat preference



Heat Dissipation - Sweating - Obligate heat loss - Vasodilatation - Cold preference



Physiologic and Behavior Changes



Gambar 1. Patogenesis dan Menifestasi Klinis Demam



10



PERUBAHAN FISIOLOGIS AKIBAT PENINGKATAN SUHU TUBUH Pada keadaan demam terjadi perubahan yang perlu pertimbangan dalam pemberian terapi suportif. Perubahan yang ditemukan bergantung pada usia anak, lama demam, tingginya demam, factor komorbid, dan derajat penyakit yang mendasari demam. Perubahan akibat peningkatan suhu ialah perubahan pada system kerdiorespirasi. Pasiend demam pada umumnya mengalami takikardia, terjadi penambahan 10 denyut jantung untuk setiap kenaikan suhu 10C. Tekanan darah dapat pula meningkat. Kadang ditemukan bradikardi relative seperti pada demam tifoid. Anak dengan demam sering menunjukkan peningkatan laju napas, terjadi peningkatan frekuensi napas sebesar 2,5 untuk setiap kenaikan 10C, bahkan pda pasien pneumonia dapat lebih dari 2,5 untuk setiap kenaikan 10C. Peningkatan denyut jantung dan laju napas membuat asupan oksigen dan pengeluaran CO2 menjadi tidak efisien, padahal pada keadaan demam konsumsi oksigen dan produksi CO2 meningkat. Untuk mengurangi efek buruk dari hal tersebut perlu dipertimbangkan pemberian oksigen pada pasien yang mempunyai penyakit jantung, paru, dan anemia kronis.1 1. Cairan Anak dengan demam tinggi dapat mengalami dehidrasi akibat peningkatan pengeluaran cairan melalui insensible loss, muntah atau asupan cairan yang kurang akibat anoreksia. Setiap kenaikan suhu tubuh 10C terjadi peningkatan 10% dari insensible loss. Status hidrasi anak berpengaruh langsung terhadap pusat termoregulasi di daerah POA, efek yang ditimbulkan dehidrasi adalah menekan respons berkeringat. Dengan demikian dehidrasi dapat mengurangi efek obat penurun demam karena mengurangi pengeluaran panas melalui evaporasi. Selain itu, demam tinggi yang disertai dehidrasi mempunyai resiko untuk terjadinya heat stroke terutama bila anak demam diberi selimut tebal. Pemberian cairan yang adekuat merupakan syarat penting dalam terapi suportif dan simptomatik dari demam. 2. Kadar Gula Darah



11



Pada keadaan sehat dibutuhkan energy untuk mempertahankan suhu tubuh normal, pada keadaan demam untuk menyesuaikan dengan set-point baru dibutuhkan peningkatan energy sebesar 10% untuk setiap kenaikan 10C. Pada pasien demam terjadi pengalihan sumber energy dari glukosa, yang merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri. Tubuh mempunyai mekanisme untuk mengurangi pemakaian glukosa melalui : a. Pengalihan sumber energy dari glukosa ke metabolisme yang berasal dari sumber energy lain(proteolysis dan lipolysis) b. Pengurangan aktivitas locomotor mengurangi kebutuhan otot akan glukosa c. Anoreksia dan somnolen akan mengurangi asupan glukosa. Mekanisme ini mempunyai batas, apabila asupan glukosa makin menurun, anak akan jatuh kedalam kondisi hipoglikemi yang akan memperberat penyakit. Hipoglikemia mempengaruhi langsung pusat termoregulasi, menyebabkan penurunan set-point, dan mengurangi shivering thermogenesis. Walaupun demam dapat turun, namun akibat hipoglikemia dapat menimbulkan kondisi yang dapat menimbulkan kondisi yang dapat mengancam kehidupan, hipoglikemia berat dapat menimbulkan gangguan kesadaran, kejang, aritmia, sampai henti jantung. Deteksi adanya hipoglikemia perlu diperhatikan dalam merawat anak demam, demam yang turun, namun kondisi anak memburuk perlu diperiksa kadar gula darah. Hipoglikemia juga dapat terjadi akibat pengobatan simptomatik yang tidak benar, telah dilaporkan beberapa kasus yang diberikan metode pengobatan fisik (external cooling) yang mempergunakan kompres alcohol.1



12



E. Klasifikasi Demam Pada abad yang lalu diagnosis klinis ditegakkan atau sangat diduga berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pengamatan pasien selama dalam perawatan. Diagnosis klinis yang paling sering harus segera ditegakkan adalah penyakit dengan menifestasi utama berupa demam. Pola demam merupakan suatu informasi yang penting dalam menegakkan diagnosis. Pada masa tersebut pemeriksaan penunjang belum ada ataupun bila sudah ada hasil pemeriksaan masih belum dapat diandalkan. Pada zaman kedokteran modern, kepentingan pengenalan pola demam dalam menegakkan diagnosis telah berkurang dengan alasan sedikit penyakit infeksi yang memberikan pola demam spesifik, beberapa penyakit dapat memiliki pola demam yang sama, dan konfirmasi diagnosis berdasarkan pemeriksaan penunjang sudah dapat ditegakkan sebelum muncul pola demam yang spesifik. Beberapa pola demam yang spesifik mempunyai nilai dalam penegakkan diagnosis seperti misalnya penyakit malaria. Lebih jauh lagi, Woodward menyatakan bahwa pengenalan pola demam tetap diperlukan alasan bahwa pemeriksaan laboratorium memerlukan biaya yang tidak sedikit dan sering tidak bersifat mutlak. Selain itu, dalam menghadapi pasien demam akut apalagi yang disertai keadaan umum yang berat, sangat penting untuk segera memperkirakan diagnosis sebelum menentukan jenis pemeriksaan penunjang atau untuk menentukan terapi bila hasil konfirmasi laboratorium belum ada. Dalam keadaan ini pengetahuan mengenali pola demam dapat membantu penegakkan diagnosis. Pola demam yang banyak dikenal adalah:1 1. Demam kontinua (continuous or sustained fever). Merupakan demam persisten/terus menerus dalam 24 jam dalam perbedaan suhu tertinggi dengan suhu terendah kurang dari 1oC (beberapa literature menyebut kurang dari 0,4oC). dapat ditemukkan pada pasien pneumonia 2. Demam remitten (remitten fever). Demam naik turun, namun suhu terendah tidak mencapai suhu normal, fluktuasi suhu tertinggi dengan terendah > 1oC. Demam remitten merupakan pola demam tersering pada anak.



13



3. Demam intermitten (intermitten fever). Demam naik turun dengan suhu terendah mencapai suhu tubuh normal, fluktuasi suhu tertinggi dengan suhu terendah > 1oC. 4. Demam hektik (hectic or septic fever). Berupa demam intermitten atau remitten, namun perbedaan suhu tertinggi dengan suhu terendah sangat besar. Dapat ditemukkan pada infeksi berat seperti sepsis. 5. Demam bifasik (biphasic fever/saddle back fever). Demam untuk beberapa hari kemudian demam turun sekitar 1 hari, kemudian demam muncul kembali. Dapat ditemukkan pada demam dengue. 6. Demam tertian (tertian fever). Merupakan bagian dari demam intermitten tetapi sangat spesifik. Demam terjadi setiap 3 hari, ditemukkan pada malaria tertiana. Siklus demam sesuai dengan siklus multiplikasi parasit. 7. Demam kuartana (quotidian fever). Merupakan bagian dari demam intermitten tetapi sangat spesifik. Demam terjadi setiap 4 hari, ditemukkan pada malaria kuartana. Siklus demam sesuai dengan siklus multiplikasi parasite. 8. Demam tifus inversus (reversal of the diurnal/typhus inversus fever). Temperatur lebih tinggi dipagi hari dibanding pada waktu sore atau malam (kebalikan dari pola suhu diurnal). Dapat ditemukkan pada salmonellosis, TBC milier, abses hati, dan endocarditis bakterialis. 9. Demam berkepanjangan (prolonged fever). Menggambarkan suatu demam yang disebabkan oleh satu jenis penyakit dengan lama sakit yang lebih lama dari biasanya. Misal penyakit infeksi saluran pernafasan atas dengan penyebab virus yang berlangsung lebih dari 10 hari. 10. Demam rekurens (rekurent fever). Demam yang timbul kembali setelah mengalami fase tubuh normal untuk beberapa waktu tanpa dapat diprediksi kapan timbulnya lagi, bila terjadi pada fase penyembuhan disebut demam rekrudesens. Perbedaan dengan demam periodic adalah orang tua dapat memprediksi kapan timbulnya kembali episode demam berikut. 11. Demam periodic (periodic fever). Merupakan demam berulang selama beberapa hari atau minggu disusul fase afebris dengan lama yang tidak



14



teratur, kemudian demam timbul kembali. Dapat ditemukkan pada penyakit infeksi seperti Brucellosis, keganasan, dan penyakit noninfeksi lain. Demam periodic yang berlangsung lebih dari 2 tahun jarang sekali disebabkan oleh penyakit infeksi atau keganasan. Beberapa penyakit demam periodic yang diturunkan secara genetic adalah familial Mediterranean fever (FMF), hyper-IgD syndrome, dan tumor necrosis factor (TNF) receptor-associated periodic syndrome. 12. Demam relapsing (relapsing fever). Terjadi pengulangan dari siklus demam tinggi yang berlangsung 3-10 hari atau beberapa minggu diikuti oleh fase afebris dalam waktu yang sama kemudian demam timbul kembali untuk waktu yang sama. Ditemukan pada penyakit Hodgkin, brucellosis oleh B. melitensis, dan infeksi oleh spirochaetal spp. Berdasarkan keadaan hipotalamus, demam dapat dibagi sebagai berikut: I.



Set point hipotalamus meningkat: Pembentukan panas meningkat, pengeluaan panas berkurang. 1. Endogenous pyrogen (E.P): a. Leukosit polimorfonuklear (PMN) Pada demam oleh karena infeksi, kuman sebagai penyebab melepaskan suatu polisakarida yang tahan panas, disebut sebagai pirogen eksogen yang beredar dalam darah. Infeksi menimbulkan demam karena endotoksin bakteri merangsang sel PMN untuk membuat EP. Pada penyakit infeksi terdapat peningkatan sel PMN. Pada percobaan binatang telah dibuktikan bahwa pirogen eksogen tidak langsung mempengaruhi pusat pengatur suhu, tetapi lewat banyak sel dalam tubuh seperti sel leukosit, sel Kupfer hati, sel makrofag dalam paru, limpa dan kelenjar limfe bereaksi terhadap pirogen eksogen dan membentuk protein yang tak tahan panas, disebut pirogen endogen (endogenous pyrogen). Pirogen endogen masuk ke susunan saraf pusat melalui darah dan menyebabkan pelepasan prostaglandin E di dalam jaringan otak dengan akibat rangsangan terhadap hipotalamus yang peka terhadap zat tersebut



15



sehingga menimbulkan panas seperti yang diperlihatkan pada bagan sebagai berikut:2 Hipotalamus mengandung kadar yang tinggi dari norepinephrin (NE). 5-hydroxytryptamin (5HT), acetylcholine, dopamine dan histamin, yang semuanya disebut neurotransmitter dari hipotalamus, yang turut meregulasi suhu tubuh. Pada percobaan binatang dibuktikan bahwa apabila NE disuntikkan ke dalam hipotalamus menyebabkan penurunan suhu tubuh, 5HT menyebabkan kenaikan suhu dan acetylcholine juga menyebabkan kenaikan suhu.2 Mekanisme yang dapat mengaktifkan EP belum diketahui. Juga belum diketahui bagaimana EP mempengaruhi pusat pengatur suhu dalam



menimbulkan



demam,



mungkin



dengan



mengubah



lingkungan kimia neuron set point hipotalamus. 1 b. Non-PMN Pirogen endogen dapat terbentuk tanpa mengaktivasi sel leukosit dan hal ini kemungkinan terjadi dengan mengubah lingkungan kimia neuron set-point hipotalamus. Metabolisme pirogen endogen disini belum diketahui dan zat ini dikeluarkan melalui sel retikuloendotelial. Keadaan ini terjadi pada penyakit alergik, penyakit kolagen, tumor, infark, infeksi virus, penyakit darah, demam steroid, penyakit metabolik dan lain-lain. 1 2. Non-endogenous pyrogen (non-EP): obat-obatan atau bahan lain Demam pada keadaan set point hipotalamus meningkat dapat terjadi bukan karena pelepasan pirogen endogen tetapi karena obat-obatan (phenotiazine,



amphetamine,



metamphetamine,



preparat



tiroid),



penyakit tertentu di susunan saraf pusat, keracunan epinefrin, norepinefrin, DDT dan lain-lain. 1,3 II. Set point hipotalamus normal Kenaikan suhu tubuh dapat terjadi pada keadaan set point hipotalamus yang normal, yakni bila pembentukan panas melebihi pengeluaran panas yang normal atau pada pembentukan panas normal tetapi mekanisme



16



pengeluaran panas tidak baik. Mekanisme terjadinya kenaikan suhu seperti berikut: 1. Pembentukan panas meningkat, pengeluaran panas normal Keadaan ini ditemukan pada malignant hyperthermia, hypertiroidisme, hipernatremi, keracunan aspirin, feokromositoma. Keadaan ini juga dijumpai bila suhu udara di luar tubuh sangat tinggi atau bila memakai baju terlampau tebal. 2. Pembentukan panas normal, pengeluaran panas berkurang Keadaan in terjadi pada keadaan keracunan obat antikolinergik seperti atropin, ektodermal displasi, luka bakar. 1 III. Kerusakan pusat pengatur suhu (central fever) Pada keadaan ini demam terjadi disebabkan oleh karena penyakit tertentu yang menyerang dan mengakibatkan rusaknya pusatnya pengatur suhu tubuh, misalnya penyakit yang langsung menyerang set point hipotalamus, seperti ensefalitis, trauma kapitis, perdarahan hebat intrakranial, meningtis bakterial, radiasi, tetraparesis atau paraparesis, dimana susunan saraf otonom tidak berfungsi. 2



17



18



F. Gambaran Klinis Pada demam yang disebabkan oleh peningkatan set point hipothalamus, baik yang berhubungan dengan endogenous pyrogen maupun non-EP, terdapat peninggian pembentukan panas dan pengurangan pengeluaran panas. Penderita merasa dingin, terdapat piloerection, menggigil (shivering), ekstremitas dingin, keringat tidak ada atau sedikit sekali dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk mengurangi luas permukaan tubuh. 1 Pada demam dimana set-point hipothalamus normal, pembentukan panas meningkat melebihi pengeluaran panas dan mekanisme pengeluaran panas normal, penderita merasa panas, tidak ada piloerection, ekstremitas panas, keringat banyak atau berkurang dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk memperluas permukaan tubuh. Pada feokromositoma, hiperpireksi timbul secara tiba-tiba disertai nyeri kepala dan keringat banyak. Bila pembentukan panas normal, tapi mekanisme pengeluaran panas tidak baik, penderita merasa panas, ekstremitas panas, keringat sedikit. 1 Pada penyakit tertentu misalnya dehidrasi dengan hipernatremia yang disebabkan oleh diare terdapat gabungan mekanisme set point normal dan meningkat yaitu demam disebabkan oleh infeksinya karena diare, yang mengakibatkan terjadinya set point meningkat sedang oleh hipernatremia set point tetap normal.2 Pada demam disebabkan oleh displasia ektodermal, terbakar, kelebihan/ keracunan phenotiazine dan heat stroke terdapat pembentukan panas normal tetapi mekanisme pengeluaran panas terganggu/ berkurang. Dalam hal ini penderita merasa panas, gelisah, lemah, ekstremitas panas dan keringat berkurang sampai tidak ada.2 Pada penderita dimana pusat pengatur suhu rusak, penderita ini seperti mahkluk poikilothermal, tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di sekitarnya. Suhu tubuh akan menetap, tidak dapat naik turun. Resisten terhadap antipiretik. Bila kerusakan hebat, keringat tidak ada. Sesudah tindakan penurunan suhu secara fisik, misalnya surface colling, suhu



19



tubuh akan tetap rendah. Terdapat juga gangguan neurologik dan endokrin lainnya. 1 Pada rusaknya pusat pengatur suhu yang disebabkan oleh penyakit yang langsung menyerang hipotalamus, misalnya ensefalitis dan perdarahan otak, pada tingkat permulaan terdapat gejala klinis yang sama dengan set point hipotalamus yang meningkat tetapi apabila kerusakan berlanjut terjadi keadaan dimana penderita tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di sekitarnya. Penderita sangat bergantung pada suhu luar dan resisten terhadap antipiretik. Bila kerusakan hebat terdapat gangguan neurologik dan endokrin seperti diabetes insipidus.2 Hubungan demam dengan infeksi, banyak diselidiki. Pada anak berobat jalan dengan suhu tubuh 38,3 C, ditemukan bakterimia pada 3,2-4,4% kasus. Pada anak berumur 7 bulan sampai dengan 1 tahun dengan suhu tubuh lebih dari 39,4 C dan jumlah sel leukosit lebih dari 20.000/ml besar kemungkinan menderita infeksi. Pada anak berumur kurang dari 2 tahun, dengan suhu tubuh 40 C atau lebih dengan leukositosis dan laju endap darah lebih dari 30 mm/jam, risiko bakterimi tiga kali lebih besar bila tidak ada leukositosis atau peningkatan laju enap darah. Pada anak berumur kurang dari 3 bulan dengan suhu tubuh lebih dari 40 C, infeksi berat ditemukan pada 31,4% kasus, meningtis bakterial pada 13,63% kasus. Sedangkan bila suhu tubuh antara 37,7 – 39,9 C infeksi berat hanya ditemukan pada 9,5% kasus, tidak dijumpai kasus meningitis bakterial. 1 Pada anak dengan hiperpireksi dimana suhu tubuh lebih dari 41,1 C, ditemukan bakterimia pada 26% kasus, meningitis bakterial pada 18% kasus dan kejang pada 18% kasus. Bila suhu tubuh antara 40,5-41,0 C, bakterimi hanya ditemukan pada 13% kasus, meningitis bakterial pada 9% kasus dan kejang pada pada 7,2% kasus. 1 Hipertermia pada pasien dengan penyakit yang mendasari di jantung dapat menyebabkan terjadinya iskemia, aritmia hingga penyakit jantung kongestif. Kebutuhan oksigen meningkat dan pengeluaran karbondioksida bertambah yang mengakibatkan peningkatan metabolisme dan heart rate. Hipertermia



20



dapat memperberat brain injury. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis, trombositosis, hemokonsentrasi dan DIC. Azotemia dan peningkatan serum levels of muscle enzymes serta tanda-tanda gagal ginjal dan rhabdomiolisis dan peningkatan enzim-enzim hati dengan gejala-gejala gagal hepar bisa terjadi.5 Bila suhu badan meningkat terus dan pada pengukuran suhu rektal mencapai 41,1oC atau lebih terjadilah apa yang dinamakan hiperpireksia dan manifestasi klinis akan bertambah dan bergantung pada keadaan. Gejala klinis yang penting dan harus dikenal secepatnya supaya dapat ditanggulangi segera, yaitu: a.



Gejala serebral seperti disorientasi, delirium, halusinasi, ataksia, fotofobi, kejang, koma dan deserebrasi



b.



Kulit : merah, panas dan kering



c.



Tekanan darah : mula-mula naik, normal dan kemudian turun



d.



Jantung : takikardia dan aritmia



e.



Pernafasan : tak teratur atau tipe cheyne stokes



f.



Oliguria, dehidrasi, asidosis metabolik dan renjatan (shock)



g.



Ekimosis, petekiae, perdarahan dan dic (disseminated intravascular coagulation).2 Hiperpireksi



menyebabkan perubahan metabolisme, termasuk di



dalamnya peningkatan konsumsi oksigen dan metabolisme jaringan. Setiap kenaikan suhu tubuh 1oC, basal metabolik rate meningkat 10 -14%, kebutuhan oksigen meningkat 20% dan basal tidal volume meningkat 9%. Sebagai akibatnya sistem kardiovaskuler bekerja lebih berat. Hiperpireksia secara langsung dapat menyebabkan kerusakan jaringan. 1 Hiperpireksia dan gangguan sirkulasi berupa shock sering ditemukan pada anak berumur kurang dari 1 tahun. Hiperpireksia menyebabkan vasokonstriksi umum dan gangguan perfusi jaringan. Pengeluaran panas berkurang, sehingga suhu tubuh meningkat lagi dan keadaan hipoksi lebih diperberat. 1



21



Sebagai kesimpulan, gambaran klinik yang dapat ditemukan pada hiperpireksia ialah dehidrasi, gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit, aritmia, decompensatio cordis, hipotensi, shock, gangguan fungsi ginjal, respiratory failure, kejang, penurunan kesadaran sampai koma. 1 G. Penatalaksaan Hiperpireksia Terapi simtomatis demam terdiri dari pemberian antipiretik dan metode fisis (physical methods/external cooling). 1. Antipiretik Di negara maju hanya parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen yang direkomendasikan untuk pengobatan demam pada anak. Sebagai contoh The Italian Pediatric society, 2016 hanya merekomendasikan kedua macam obat tersebut (Evidence level 1; Strength of recommendation A). di negara berkembang masih ditemukan golongan metamisol dan asam salisilat (aspirin) yang dipergunakan sebagai antipiretik pada anak. a. Paracetamol Cukup banyaknya bukti hubungan antara pemberian aspirin dan Reye’s syndrome menjadikan parasetamol sebagai pilihan utama dalam tata kelola demam. Dosis parasetamol 10-15 mg/kgBB per oral setiap 4-6 jam cukup aman dan efektif. Sekitar 80% kasus menunjukkan penurunan suhu tubuh 30-60 menit setelah pemberian, dengan lama kerja (duration of action) sekitar 4-6 jam. Usia termuda yang boleh diberikan parasetamol adalah 3 bulan, dibawah usia ini harus seizing dokter yang memeriksa. Parasetamol dikatakan sangat aman untuk diberikan pada anak, kejadian hepatotoksik sangat jarang, namun dapat terjadi pada pemberian yang lama terutama bila diberikan dalam dosis supraterapeutik atau bila sering diberikan dengan interval kurang dari 4 jam. Rajanayagam dkk. Dari analisis retrospektif pada 14 pasien yang mengalami gagal hati akut akibat parasetamol menunjukkan bahwa hepatotoksisitas terutama berhubungan dengan dosis, frekuensi, dan lama



22



pengobatan.



Di



samping



cara



pengobatan



monoterapi



parasetamol yang konvensional, beberapa pilihan pemberian telah pernah dianjurkan, di antaranya pemberian parasetamol dosis tinggi sebagai dosis awal (dosis inisial) dilanjutkan dengan dosis biasa, dan pemberian kombinasi parasetamol dengan ibuprofen. Berbagai penelitian mengenai pemberian dosis awal yang tinggi baik secara oral (30 mg/kgBB/dosis) maupun rektal (40 mg/kgBB/dosis) kemudian diikuti dosis terapeutik tidak memberikan hasil yang konsisten dalam menurunkan suhu tubuh. Metode pemberian seperti ini menambah kebingungan bagi orangtua dalam penentuan dosis antipiretik, juga dapat mengakibatkan toksisitas akut. Oleh karena itu, metode ini tidak direkomendasikan. Dosis tinggi per rektal hanya boleh dilakukan bila diperlukan pada saat intraoperasi, tidak boleh dalam praktik rutin sehari-hari.1 Pemberian



parasetamol



bergantian



dengan



ibuprofen



(alternating) atau pemberian kombinasi parasetamol-ibuprofen banyak dipakai dalam praktik sehari-hari. Dari lima penelitian yang membandingkan pemberian parasetamol-ibuprofen secara berselang-seling



dengan



monoterapi



parasetamol



atau



ibuprofen saja, memperlihatkan bahwa setelah 4 jam pemberian terjadi penurunan suhu tubuh yang berbeda bermakna pada kelompok pemberian selang-seling parasetamol-ibuprofen. Sekalipun demikian timbul pertanyaan mengenai aspek keselamatan pasien dari pemberian parasetamol-ibuprofen secara bergantian. Dari suatu survei, sebanyak 67% orangtua atau pengasuh melaporkan pemberian parasetamol-ibuprofen secara bergantian , 81% di antaranya menyatakan mengikuti petunjuk dokter. Akan tetapi, walaupun kebanyakan responden menyatakan 4 jam sebagai jarak pemberian antara kedua obat, namun beberapa responden secara tidak konsisten menyatakan



23



jarak pemberian 2, 3, 4, dan 6 jam. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan pengobatan yang dapat menimbulkan efek samping. Vyas dkk. Membandingkan efektivitas kombinasi parasetamolibuprofen dengan monoterapi parasetamol atau ibuprofen. Kombinasi parasetamol-ibuprofen menunjukkan penurunan suhu tubuh yang bermakna 4 jam sejak pemberian obat disbanding dengan kelompok parasetamol, namun tidak dengan kelompok ibuprofen. Penelitian juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam penurunan suhu tubuh antara kelompok parasetamol dengan ibu profen. The National Institute for Health Care Excellence (NICE), 2013, tidak merekomendasikan



pemberian



kombinasi



parasetamol-



ibuprofen; The Italian Pediatric Society, 2016, tidak merekomendasikan pemberian parasetamol bersama dengan ibuprofen, baik secara bergantian (alternating) maupun dalam bentuk



kombinasi



(Evidence



level



1;



Strength



of



recommendation D). parasetamol dibanding dengan ibuprofen, dapat diberikan pada bayi < 3 bulan, pasien demam yang mengalami dehidrasi, pasien varisela, dan penyakit Kawasaki.



Pemberian parasetamol sebelum atau segera setelah imunisasi Tidak jarang orangtua memberikan parasetamol sebelum atau segera setelah diimunisasi untuk mencegah kejang demam atau reaksi lokal yang berhubungan dengan imunisasi. Penelitian Das dkk. Menemukan bahwa memang pada kelompok yang diberi parasetamol profilaksis kejadian demam > 38oC lebih jarang disbanding dengan control, namun titer antibodi terhadap vaksin yang terbentuk lebih rendah disbanding dengan kontrol. Penelitian lain menunjukkan hasil yang sama, namun perlu



24



diingat bahwa demam pasca imunisasi jarang > 39oC yang tidak perlu menjadi kehawatiran yang berlebihan sehingga perlu diberikan antipiretik profilaksis. American Academy of Pediatrics (AAP) dan Advisory Committee on Immunization Practice (ACIP) tidak menganjurkan pemberian parasetamol profilaksis pada imunisasi.



b. Ibuprofen Pemakaian ibuprofen dalam tata kelola demam makin meningkat dikarenakan efek penurunan suhu tubuh yang lebih lama, paling tidak sama atau mungkin lebih efektif disbanding dengan parasetamol. Tidak ditemukan bukti yang menunjukkan perbedaan bermakna dari keamanan ibuprofen dibanding dengan parasetamol pada anak usia 6 bulan sampai 12 tahun yang sebelumnya sehat. Sebagaimana non-steroidal antiinflammatory drugs (NSAID) lain, ibuprofen memliki potensi untuk menimbulkan gastritis, walaupun demikian, tidak ada data yang memadai bahwa ibuprofen sering menimbulkan gastritis bila diberikan dalam waktu yang singkat. Dosis ibuprofen 10 mg/kgBB dapat diberikan setiap 6-8 jam. Ibuprofen sebaiknya tidak diberikan pada pasien dehidrasi, penyakit jantung dan pembuluh darah, pasien yang memiliki penyakit ginjal, serta pasien yang mendapat obat-obat yang memiliki efek nefrotoksik. Pada pasien-pasien tersebut, terutama dehidrasi, dapat mengakibatan penurunan sirkulasi darah ginjal (renal blood flow). Juga sebaiknya tidak diberikan pada pasien varisela, karena pernah dilaporkan kasus-kasus ibuprofen varisela-related invasive Group A Streptococcal infection. Ibuprofen juga jangan diberikan pada bayi usia kurang dari 6 bulan sehubungan kemungkinan adanya perbedaan farmakokinetik dan kemungkinan perkembangan



25



ginjal yang belum sempurna. Iburprofen tersedia dalam bentuk oral (sirup, tablet) dan rektal (supositoria).



2. Metode Fisik Metode fisik telah berlangsung selama lebih dari 2500 tahun, namun sampai saat ini manfaatnya dalam pengobatan simtomatik demam masih menjadi pertanyaan. Metode fisik merupakan cara untuk menurunkan suhu tubuh melalui pendinginan kulit (external cooling) seperti kompres air dingin, tepid spoging (seka dengan air hangat kuku), alcohol, mandikan, membuka pakaian, pemakaian cold blanket, menurunkan suhu ruangan atau meningkatkan ventilasi ruangan. Diantara berbagai cara yang paling sering di teliti adalah tepid spoging, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa antipiretik lebih bermanfaat dibanding dengan tepid spoging, namun antipiretik berjalan dengan lambat atau sama dengan tepid spoging. Mekanisme penurun suhu tubuh dengan cara tepid spoging dan metode fisik lain adalah melalui pola pengeluaran panas konduktif, yang kemudian disusul pola konveksidan evaporasi. Penurunan suhu tubuh dengan cara external cooling tidak berlangsung lama karena set-point termoregulasi tidak diturunkan, sehingga suhu tubuh akan naik kembali atau bahkan lebih tinggi. Hal ini terjadi karena dengan terpaparnya kulit dengan air yang dingin (walaupun hangat suam kuku) akan mempelebar perbedaan antara setpoint dengan suhu kulit. Perbedaan yang makin besar ini menimbulkan mekanisme penahanan panas melalui vasokonstriksi dan peningkatan panas melalui menggigil. Dengan demikian, pemberian metode fisik tidak ada artinya atau sedikit sekali manfaatnya bila tanpa antipiretik. Tepid spoging dan metode fisik lain menimbulkan rasa tidak nyaman pada kebanyakan pasien, selain itu dapat merugikan pasien. Alcohol sejak lama diketahui bila terhirup dapat menimbulkan hipoglikemia, koma, bahkan kematian. Menggigil menyebabkan kebutuhan oksigen



26



yang meningkat, peningkatan kinerja respirasi dan peningkatan aktivitas saraf simpatis. Berdasar berbagai pertimbangan secara ilmiah dan keselamatan pasien, sejak tahun 2007 National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) tidak merekomendasikan metode fisik (physical intervention) dalam pengobatan simptomatis demam.



Pengobatan Suportif Demam Pada umumnya demam pada anak berlangsung singkat dan pada anak yang sebelumnya sehat biasanya dapat mengatasi peruahan fisiologis akibat peningkatan suhu tubuh. Akan tetapi, bila ditemukan factor komorbid seperti penyakit saluran napas kronis, penyakit jantung kronis, atau demam sangat tinggi dengan dasar derajat penyakit yang mendasarinya cukup berat, terapi suportif sering perlu diberikan. Beberapa terapi suportif yang perlu dipertimbangkan untuk diberikan antara lain: 1. Cairan Anak dengan demam tinggi dapat mengalami dehidrasi akibat peningkatan pengeluaran cairan melalui insensible loss, muntah, atau asupan cairan yang kuranga akibat anoreksia. Setiap kenaikan suhu tubuh 10C terjadi peningkatan 10% dari insensible loss. Status hidrasi anak berpengaruh langsung terhadap pusat termoregulasi di daerah POA, efek yang ditimbulkan dehidrasi adalah menekan respons berkeringat. Dehidrasi dapat mengurangi efek obat penurun demam karena menekan respons berkeringat sehingga pengeluaran panas melalui evaporasi tidak terjadi. Selain itu, demam tinggi yang disertai dengan dehidrasi mempunyai resiko untuk terjadinya heat stroke terutama bila anak demam diberi selimut tebal. Pemberian cairan yang adekuat merupakan syarat penting dalam terapi simptomatik dan suportif dari demam. Sebaiknya diberikan cairan yang mengandung elektrolit karena ada kemungkinan terjadi kehilangan elektrolit akibat insensible loss dan asupan yang kurang.



27



2. Oksigen Anak yang mengalami demam tinggi mengalami peningkatan laju nadi dan napas, pola ini membuat asupan oksigen dan pengeluaran CO2 tidak efisien. Selain itu, pada demam tinggi terutama saat fase menggigil konsumsi oksigen meningkat dua kali lipat dan terjadi paningkatan produksi CO2. Sehingga pada pasien penyakit jantung, paru, dan anemia kronis perlu dipertimbangkan pemberian oksigen. 3. Sumber energy terutama glukosa Pada



keadaan



sehat



sekalipun,



energy



dibutuhkan



untuk



mempertahankan suhu tubuh normal, pada keadaan demam untuk menyesuaikan dengan set-point baru dibutuhkan peningkatan energy sebesar 10% untuk setiap kenaikan suhu tubuh 10C. Anak dengan demam apalagi bila tinggi dan disertai dengan status nutrisi sebelumnya yang tidak baik, dapat mengalami penurunan kadar gula darah yang bila tidak diwaspadai dapat menimbulkan hipoglikemia berat. Hipoglikemia juga dapat terjadi yang berhubungan dengan pengobatan metode fisik yang menggunakan alcohol.



H. Penanganan Heat Stroke: 1. Dinginkan pasien secepatnya dengan air es atau dingin, kipas angin atau agen pendingin lainnya. 2. Berikan oksigen 100%. Jika pasien unresponsive, awasi jalan nafasnya 3. Berikan infuse cairan isotonic cristaloid untuk hipotensi, dextrose 5% untuk tekanan darah yang normal dan untuk maintenance. Monitor CVP (Central Venous Pressure) 4. Tempatkan monitor, dan cek temperature per rectal berkelanjutan dan pasang kateter Folley serta NGT 5. Pemeriksaan laboratorium meliputi: pemeriksaan darah rutin, elektrolit meliputi: glukosa, kreatinin, protrombin time dan partial tromboplastin



28



time (PT dan PTT), keratin kinase, fungsi hati, AGD, urinalisis dan serum kalsium, magnesium dan fosfat. 6. Rawat di ICU khusus untuk anak. 4



I. Pengobatan Penunjang Pengobatan penunjang harus segra dan bersamaan dengan menurunkan suhu tubuh secara simptomatis. Hal ini bergantung pada gejala yang timbul, tetapi meskipun demikian kita harus waspada sebab sewaktu-waktu gejala yang memberatkan penderita akan timbul. Penatalaksanaan terdiri atas: 1.



Mengusahakan jalan napas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau trakeotomi



2.



Pasanglah dan pertahankan infus untuk menjamin pemasukan cairan secara teratur dan mempertahankan keseimbangan elektrolit.



3.



Bila penderita gelisah dapat diberikan sedativa karena kegelisahan dapat menambah pembentukan panas



4.



Bila terjadi keadaan menggigil dapat diberikan klorpromazin dengan dosis 2 – 4 mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis. Pada heat stroke kecuali pengobatan penurunan suhu secara fisik, dapat diberikan klorpromazin untuk mencegah vasokonstriksi pembuluh darah kulit akibat bendungan yang terlalu cepat karena tindakan secara fisik tersebut.



5.



Bila terdapat kejang segera hentikan kejangnya



6.



Bila timbul DIC (disseminated intravascular coagulation) tanggulangi secepatnya. Sebenarnya DIC tidak memerlukan pengobatan bila penyebabnya diobati dengan tepat, tetapi pada anak bila terjadi perdarahan hebat dapat diberikan heparin dengan dosis 25 unit per kg BB dalam 1 jam di dalam infuse secara kontinu atau 100 unit per kg BB tiap 4 – 6 jam sekali secara intravena.



7.



Bila terjadi hipoksia yang dapat mengakibatkan edema otak dapat diberikan kortison dengan dosis 20 -30 mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis



29



atau sebaiknya dexamethasone ½ - 1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik. 2



J. Mencari Dan Mengobati Penyebab Untuk hal ini diperlukan pemeriksaan lengkap baik secara umum maupun neurologik. Factor infeksi sangat penting dan perlu dikerjakan pemeriksaan darah lengkap termasuk biakan dan pungsi lumbal. Dengan penatalaksanaan yang baik mengeani hiperpireksia dan ditemukan penyebabnya umumya penderita dapat sembuh. Misalnya pada hipertermia malignan akibat anestesia bila tidak waspada dan tidak diketahui akan berakibat fatal. 2 K. Prognosis Prognosis hiperpireksi bergantung kepada penyakit yang menyebabkan hiperpireksi itu. Bila penatalaksanaannya baik, kebanyakan kasus dapat sembuh daripada hiperpireksinya dan fungsi basal kembali normal. Kematian karena hiperpireksi saja 3-7%, sedangkan kematian karena penyakit utamanya 20%. Jadi pengobatan yang ditujukan terhadap penyakit yang menyebabkan hiperpireksi tetap merupakan hal yang utama.1 Pada keadaan heat stroke yang mengalami komplikasi dan hipertermia malignan prognosisnya buruk.1,2



30



BAB III KESIMPULAN Hiperpireksia adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC atau 106oF (suhu rectal).2 Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat mengakibatkan hiperpireksia disebabkan oleh set point hipotalamus meningkat (adanya EP dan non EP), set point hipotalamus normal (pembentukan panas melebihi pengeluaran panas, lingkungan lebih panas daripada pengeluaran panas, pengeluaran panas tidak baik) dan rusaknya pusat pengatur suhu (ensefalitis/ meningitis, trauma kepala, perdarahan intrakranial). Gejala klinis yang penting dan harus dikenal secepatnya supaya dapat ditanggulangi segera, yaitu: gejala serebral seperti disorientasi, delirium, halusinasi, ataksia, fotofobi, kejang, koma dan deserebrasi ; kulit : merah, panas dan kering ; tekanan darah : mula-mula naik, normal dan kemudian turun ; jantung : takikardia dan aritmia ; pernafasan : tak teratur atau tipe Cheyne Stokes ; oliguria, dehidrasi, asidosis metabolik dan renjatan (shock) ; ekimosis, petekiae, perdarahan dan DIC (disseminated intravascular coagulation).2 Gambaran klinis hiperpireksia berbeda-beda, pada demam yang disebabkan oleh peningkatan set point hipothalamus, Penderita merasa dingin, terdapat piloerection, menggigil (shivering), ekstremitas dingin, keringat tidak ada atau sedikit sekali dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk mengurangi luas permukaan tubuh. 1 Pada demam dimana set-point hipothalamus normal, penderita merasa panas, tidak ada piloerection, ekstremitas panas, keringat banyak atau berkurang dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk memperluas permukaan tubuh. Pada penderita dimana pusat pengatur suhu rusak, penderita ini seperti mahkluk poikilothermal, tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di sekitarnya. Suhu tubuh akan menetap, tidak dapat naik turun. Resisten terhadap antipiretik. Bila kerusakan hebat, keringat tidak ada. Terdapat juga gangguan neurologik dan endokrin lainnya. 1 Pada rusaknya pusat pengatur suhu yang disebabkan oleh penyakit yang langsung menyerang hipotalamus,



31



misalnya ensefalitis dan perdarahan otak, pada tingkat permulaan terdapat gejala klinis yang sama dengan set point hipotalamus yang meningkat tetapi apabila kerusakan berlanjut terjadi keadaan dimana penderita tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di sekitarnya. Penderita sangat bergantung pada suhu luar dan resisten terhadap antipiretik. 2 Dalam menanggulangi hiperpireksia ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu (1) menurunkan suhu tubuh secara simptomatis, (2) pengobatan penunjang dan (3) mencari dan mengobati penyebab.2 Prognosis hiperpireksi bergantung kepada penyakit yang menyebabkan hiperpireksi itu. Bila penatalaksanaannya baik, kebanyakan kasus dapat sembuh daripada hiperpireksinya dan fungsi basal kembali normal. Pada keadaan heat stroke yang mengalami komplikasi dan hipertermia malignan prognosisnya buruk.1,2



32



DAFTAR PUSTAKA 1. Darlan Darwis. (1981). Penatalaksanaan Kegawatan Pediatrik, Beberapa Masalah dan Penanggulangan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2. H. Sofyan Ismail. (1981). Hiperpireksia. Kedaruratan dan Kegawatan Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 3. Richard C. Dart, MD, PhD. (2007). Chapter 12: Poisoning. Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Eighteenth Edition, the McGraw-Hill Companies; by Appleton & Lange. 4. F. Keith Battan, MD, FAAP, Glenn Faries, MD. (2007). Chapter 11: Emergencies & Injuries. Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Eighteenth Edition, the McGraw-Hill Companies; by Appleton & Lange. 5. Todd J. Kilbaugh Jimmy W. Huh Mark A. Helfaer. (2006). Chapter 34: Disorders of Temperature Control. Current Pediatric Therapy, 18th ed.Saunders, An Imprint of Elsevier. 6. Rudolph, Colin D.; Rudolph, Abraham M.; Hostetter, Margaret K.; Lister, George; Siegel, Norman J. (2003). Chapter 4: The Acutely Ill Infant and Child. Rudolph's Pediatrics, 21st Edition, McGraw-Hill.



33