Referat Mikosis Fungoides I Made Mustika [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT



SEPTEMBER, 2018



MIKOSIS FUNGOIDES



Disusun Oleh: I Made Mustika N 111 17 104 PEMBIMBING KLINIK



dr. Nur Hidayat, Sp.KK



KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2018



BAB I PENDAHULUAN Limfoma sel T kulit (cutaneous T-cell lymphoma/CTCL) merupakan kelompok kelainan limfoproliferatif



heterogen yang ditandai oleh akumulasi



klonal limfosit T neoplastik dikulit. Insidensnya lebih tinggi pada kelompok Afrika-Amerika, dan lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. Subtipe yang paling umum adalah mikosis fungoides (MF),sindrom Sezary (SS), limfoma sel besar anaplastik kulit primer, dan papulosis limfomatoid. Semua kelainan tersebut berjumlahsekitar 95% dari seluruh kasus CTCL.



Mikosis



fungoides (MF) merupakan salah satu bentuk tersering cutaneous T-cell lymphoma (CTCL). CTCL merupakan kelompok spesifik limfoma non-Hodgkin ekstranodal yang umumnya ditandai adanya manifestasi primer pada kulit. 1,2 Mikosis fungoides merupakan tipe CTCL yang paling umum, sekitar 50% dari semua kasus CTCL, biasanya terjadi pada dewasa usia pertengahan sampai lanjut (rerata usia pada saat terdiagnosisadalah 55-60 tahun) dan menunjukkan dominasi pada laki-laki dengan perbandingan terhadap perempuan 2:1. Insidens tahunan penyakit ini adalah 5 laporan baru per 1.000.000 jiwa. MF merupakan penyakit kronik yang berkembang lambat, yang ditandai oleh perkembangan makula, plak, atau tumor.1 Faktor pemicu yang diduga sebagai etiologi MF adalah adanya antigen yang persisten dan agen virus. Dua penelitian yang terpisah menunjukkan adanya hubungan molekul HLA kelas II yaitu alel HLA-DRB1*11 dan DQB1*03 dengan MF secara bermakna. Beberapa penelitian melaporkan deteksi gen human T-cell leukemia virus-1 (HTVL-1) atau HTVL-2 dalam sel darah tepi atau biopsi lesi MF, tetapi penelitian lain tidak menemukan hubungan antara HTVL-1 dengan MF. Pada beberapa penelitian, Staphylococcus aureus dapat dideteksi pada kulit pasien CTCL. 2 Mikosis fungoides (MF) merupakan transformasi keganasan sel T pada kulit dengan bentuk CTCL yang paling sering ditemukan Proses keganasan berawal dikulit, yang kemudian dapat menyebar ke sistem limforetikular,



1



termasuk kelenjar getah bening dan organinternal lain. Manifestasi klinis MF terdiri atas empat stadium, yaitu stadium patch, plak, tumor, dan sindrom Sezary. Stadium plak ditandai oleh gambaran plak eritematosa hingga keunguan, disertai skuama dan plak berbentuk anular atau arsiformis yang dapat asimtomatik atau gatal.Facias leonina dapat ditemukan pada stadium ini, sebagai akibat infiltrasi sel tumor pada kulit. Pemeriksaan histopatologis MF menunjukkan infiltrat limfosit di epidermis dengan epidermotropism, dan mikroabses Pautrier. Limfosit menunjukkan gambaran atipia yang bervariasi, mulai dari pleomorfik, hiperkromatik, dan convoluted nuclei cerebriform. Pemeriksaan imunohistokimia CD-20 menghasilkan ekspresi positif pada sel T atau sel B, sedangkan CD-3 terhadap sel B. Pemeriksaan imunohistokimia kappa-lambda dapat diketahui proses keganasan.3 Penegakan diagnosis MF yang adekuat memerlukan biopsi untuk pemeriksaan histologi, immunophenotype dan studi molekuler. Modalitas terapi yang diberikan disesuaikan dengan gejala klinis pasien. Prognosis bergantung tipe dan keterlibatan kulit (plak, tumor atau eritroderma), adanya keterlibatan kelenjar limfe dan organ dalam.2



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Definisi Mikosis Fungoides Mikosis fungoides (MF) merupakan salah satu bentuk tersering cutaneous T-cell lymphoma (CTCL). CTCL merupakan kelompok spesifik limfoma non-Hodgkin ekstranodal yang umumnya ditandai adanya manifestasi primer pada kulit. MF merupakan penyakit kronik yang berkembang lambat, yang ditandai oleh perkembangan makula, plak, atau tumor.2,1



2.2



Epidemiologi Mikosis Fungoides Cutaneous T-cell lymphoma adalah neoplasma yang jarang. Jenis yang paling umum dari cutaneous T-cell lymphoma adalah mycosis fungoides, yang kira-kira dua kali lebih banyak terjadi pada pria dibanding wanita, dan dua kali lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam dibanding orang berkulit putih. Hal ini kurang banyak terjadi di Asia. Kebanyakan kasus didiagnosis pada dekade kelima dan keenam (median usia 55-60 tahun), anak-anak dan remaja jarang terkena penyakit ini. Sekitar 1.000 kasus baru didiagnosa setiap tahun di Amerika Serikat.4 Tingkat kejadian secara keseluruhan adalah sekitar 4 sampai 5 kasus per 1.000.000 orang. Dalam periode ini, sebanyak 721 kasus baru didiagnosis, insiden rata-rata terlihat dari 0,29 per 100.000 per tahun di Amerika Serikat, yang mewakili 2,2% dari semua limfoma. Mycosis fungoides jarang terjadi di Asia. Dalam sebuah studi dari Swiss, terlihat sejumlah total 426 infiltrat kulit limfoproliferatif, CTCL ditemukan pada frekuensi 1,0 = 100.000 per tahun (55% laki-laki dan 45% perempuan). Jumlah ini jauh lebih tinggi dari angka yang dilaporkan untuk Amerika Serikat. Faktor genetik tampaknya bukan suatu yang penting pada tahap awal CTCL dan familial mycosis fungoides dilaporkan jarang terjadi.5



3



2.3



Etiologi Mikosis Fungoides Etiologi mycosis fungoides belum diketahui secara pasti. Predisposisi genetik mungkin berperan dalam beberapa kasus dan kejadian familial telah dilaporkan dalam beberapa kasus. Mycosis fungoides dapat didahului oleh T-cell bermediasi pada penyakit kulit inflamasi kronik, yang kadang-kadang berkembang ke limfoma fatal.4 Faktor pemicu yang diduga sebagai etiologi MF adalah adanya antigen yang persisten dan agen virus. Dua penelitian yang terpisah menunjukkan adanya hubungan molekul HLA kelas II yaitu alel HLA-DRB1*11 dan DQB1*03 dengan MF secara bermakna. Beberapa penelitian melaporkan deteksi gen human T-cell leukemia virus-1 (HTVL-1) atau HTVL-2 dalam sel darah tepi atau biopsi lesi MF, tetapi penelitian lain tidak menemukan hubungan antara HTVL-1 dengan MF. Pada beberapa penelitian, Staphylococcus aureus dapat dideteksi pada kulit pasien CTCL.4 5



2.4 Patogenesis Mikosis Fungoides Biasanya, ada keseimbangan dalam tubuh dimana sel baru ganti yang lama, dan setiap sel melakukan tugasnya yang spesifik. Keseimbangan ini memastikan tubuh berfungsi dengan baik. Di Limfoma, limfosit ganas (sel kanker) tumbuh tak terkendali Pembelahan sel ganas tidak diimbangi oleh kematian sel. Limfosit T maligna berbeda dari normal limfosit kulit residen yang mereka kumpulkan di kulit dan bentuk tambalan, plak, atau nodul tumor. Di awal tahap, sel CTCL ditemukan terutama di kulit. Di Pasien dengan stadium lanjut penyakit, sel juga mungkin menumpuk di sumsum, darah, kelenjar getah bening dan / atau organ padat.4 Mycosis fungoides adalah limfoma ganas yang ditandai dengan perluasan tiruan CD4 + (atau helper) sel T memori (CD45RO +) yang biasanya bersirkulasi dan masuk ke dalam kulit. Pola produksi sitokin dengan profil Th2 meningkat. Fenotip lain yang terkait dengan MF khas adalah CD8 +, CD56 + dan negatif ganda, CD4-dan CD8-. Klon ganas sering kekurangan antigen sel-T normal seperti CD2, CD5, atau CD7. Sel T 4



kutaneous normal dan ganas masuk ke kulit melalui interaksi dengan sel endotel kapiler kulit. Sel T kutaneous mengekspresikan antigen limfosit kulit (CLA), molekul adhesi yang memediasi penarikan limfosit T ke sel endotel pada venula postcapillary kulit melalui interaksinya dengan selektif E.6 Selanjutnya,



pelepasan



sitokin



keratinosit



mempromosikan



kecenderungan sel T kutaneous masuk ke kulit, yang menginfeksi dermis, melapisi permukaan luminal sel endotel dermal, dan mengatur ulang molekul adhesi di lumen endotelial kapiler dermal, yang bereaksi terhadap reseptor kemokin CC 4 (CCR4) yang ditemukan pada sel T kutaneous.6 Ekstravasasi ke dalam dermis, menunjukkan afinitas sel ini untuk epidermis, berakumulasi di sekitar sel Langerhans (seperti yang terlihat mikroskopis seperti mikrobiak Pautrier). Namun, sel ganas yang menempel pada kulit mempertahankan kemampuan untuk keluar dari kulit melalui jalur aferen limfatik. Mereka melakukan perjalanan ke kelenjar getah bening dan kemudian melalui limfatik eferen kembali ke darah untuk bergabung dengan populasi sel CLA-positif T yang beredar. Dengan demikian, mycosis fungoides pada dasarnya merupakan penyakit sistemik, bahkan ketika penyakit ini tampaknya pada tahap awal dan secara klinis terbatas pada kulit.6 2.5



Gambaran Klinis Mikosis Fungoide Tiga fase kulit yang khas pada mycosis fungoides, yaitu patch, plak, dan tumor, digambarkan oleh Bazin pada tahun 1876. Ketiga tahap ini dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan. Gatal sering merupakan gejala yang menonjol. Eritroderma dapat mengembangkan di beberapa titik, sehingga sulit untuk membedakannya dari sindrom Sezary tanpa riwayat klinis yang tepat.7 a.



Patch Bercak mikosis fungoides bervariasi besar, eritematosa, lesi halus (bisa tunggal/ganda) yang sebagian besar berada di bagian bokong dan



5



daerah terlindungi dari sinar matahari lainnya. Lesi bercak bisa sangat gatal atau tanpa gejala. Poikiloderma atrophicans vasculare adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan lesi bercak dengan rokok kertas yang atrofi, telangiektasis, dan berbintik-bintik hiperpigmentasi.7



Gambar 1. Tahap bercak dari Mycosis fungoides. Lesi kulit awal tampak seperti eksim atau erupsi papulosquamous, seperti tinea corporis, sifilis sekunder, atau psoriasis.



b.



Plak Plak dari MF meningkat karena hiperplasia epidermal atau infiltrat limfositik neoplastik yang signifikan. Lesi ini dapat berkembang dari yang sebelumnya sudah ada bercak. Plak biasanya berwarna merahcoklat dan berbatas tegas, tetapi plak bisa bergabung membentuk pola annular, arciform, atau pola serpiginous, kadang-kadang tampak bersih pada bagian tengah. Plak infiltratif terjadi pada wajah dapat mengakibatkan wajah seperti singa, dan bila plak muncul di daerah berbulu bisa menjadi alopesia atau kista.7



6



Gambar 2. Plak dari Mycosis fungoides pada ekstremitas. Plak meningkat karena hiperplasia epidermal atau infiltrat limfositik neoplastik yang signifikan



c.



Tumor Lesi tumor stadium mycosis fungoides biasanya berbentuk jamur yang



biasanya didapatkan lipatan wajah dan tubuh. Lesi sering



mengalami ulserasi atau nekrosis dan infeksi sekunder. Gatal berkurang intensitasnya selama tahap ini.7 Kelenjar getah bening, paru-paru, limpa dan hati adalah situs yang paling sering terlibat extracutaneous, tetapi lesi tertentu dapat timbul di semua organ. Karena keberadaan tumor ulserasi dan defisiensi imun (karena kedua limfoma dan banyak perawatan biasanya diberikan kepada pasien), septikemia dan atau pneumonia adalah penyebab utama kematian. Lebih dari 50% kematian akibat mycosis fungoides disebabkan



oleh



Staphylococcus



aureus



atau



demam



akibat



Pseudomonas aeruginosa.



7



2.6



Diagnosis Mikosis Fungoides Diagnosis dini MF sangat penting untuk pilihan terapi dan penentuan prognosis. Penegakan diagnosis pada stadium dini MF, yaitu fase makula dan plak sering mengalami kesulitan, karena gambaran yang tumpang tindih dengan penyakit kulit jinak lain atau ketidakcocokan antara temuan klinis dan patologis. Stadium makula/plak tersebut didiagnosis banding dengan dermatitis kronis, psoriasis, dermatitis kontak, eksema atau tinea korporis, sedangkan stadium tumor didiagnosis banding dengan limfoma sel-B, karsinoma kutis, sarkoidosis, deep mycosis, kusta atau leismaniasis.4, 14 Pemeriksaan darah yang perlu dilakukan, antara lain hematologi rutin, biokimia, serum laktat dehidrogenase (LDH), sel Sezary, subset limfosit, rasio CD4/CD8, serologi human T-cell lymphotropic virus (HTLV)-I dan analisis gen T-cell receptor (TCR) sel mononuklear darah perifer. Pada limfoma kutan sering diperlukan biopsi kulit multipel untuk menentukan diagnosis. Bila kelenjar limfe teraba, sebaiknya dilakukan biopsi pada kelenjar limfe dengan teknik fine needle biopsy. Penegakan diagnosis MF yang adekuat memerlukan pemeriksaan biopsi untuk histologi, immunophenotype dan studi molekuler.8 Gambaran histopatologi MF menjadi diagnostik bila terdapat infiltrat limfosit padat sepanjang lapisan basal dan menunjukkan



8



epidermotropism sel tunggal. Dapat ditemukan spongiosis atau tidak. Mikroabses Pautrier’s (kelompok limfosit dengan posisi yang berdekatan satu sama lainnya dalam epidermis dengan batas tegas tersebar) sangat khas untuk MF. Epidermotropism masih merupakan gambaran yang menonjol. Perubahan epidermis antara lain parakeratosis, psoriasiform ringan, hiperplasia dan musinosis epidermal.15 2.7



Histopatologi Mikosis Fungoides Meskipun kriteria histopatologi yang tepat untuk diagnosis mycosis fungoides awal telah diidentifikasi, dalam banyak kasus korelasi dengan gambaran klinis penyakit memungkinkan diagnosis yang tepat. Berikut adalah histopatologi dari mycosis fungoides sesuai tingkatan lesinya.9 a.



Tahap bercak Lesi awal dari mycosis fungoides tampak bercak likenoid seperti lekukan yang menyusup dalam dermis papiler yang luas. Limfosit kecil mendominasi dan sel-sel atipikal dapat diamati hanya pada sebagian kecil kasus. Epidermotropism limfosit soliter biasanya diamati, tapi mikroabses Pautrier jarang terjadi. Berguna sebagai petunjuk diagnostik adalah adanya limfosit epidermotropik dengan inti sedikit lebih besar daripada limfosit dalam dermis atas dan atau adanya limfosit sejajar sepanjang lapisan basal epidermis. Dermis papillary tampak layak untuk menandai fibrosis dengan tumpukan kasar pada kolagen.



9 Gambar 4. Epidermotropism pada tahap bercak Mycosis fungoides. Epidermis sering menunjukkan pola hiperplasia epidermal psoriasiform



b.



Tahap plak Plak dari mikosis fungoides ditandai dengan padat, lekukan infiltrasi seperti dalam dermis atas. Limfosit intraepidermal diatur dalam kumpulan abses Pautrier paling banyak ditemukan pada tahap ini. Cytomorphologically, sel pleomorfik (cerebriform) yang kecil mendominasi.



Gambar 5. Sel mononuklear padat masuk memanjang mulai dari dermis papiler ke dalam epidermis. Epidermis sudah benar-benar diserap oleh sel-sel ini, yang membentuk abses pautrier.



c.



Tumor Pada tumor dari mikosis fungoides infiltrat padat, nodular atau infiltrat yang terhambur ditemukan di dalam seluruh dermis disertai lemak subkutan. Epidermotropis mungkin akan hilang. Untuk transformasi sel besar pada stadium lanjut, pasien dengan mikosis fungoides biasanya mengembangkan lesi dengan banyak sel besar (immunoblasts, sel pleomorfik besar atau sel anaplastik besar). Tumor dengan morfologi sel besar mungkin atau mungkin tidak mengekspresikan CD30. Ekspresi antigen tidak memiliki makna prognostik pada pasien ini. transformasi sel besar mycosis fungoides



10



menunjukkan prognosis yang buruk dan biasanya didapat pada tahap akhir penyakit. 9 2.8



Stadium Mikosis Fungoides Stadium klinis mikosis fungoides Klasifikasi T1 Makula, plak atau keduanya, melibatkan < 10% area permukaan tubuh T2 Makula, plak atau keduanya, melibatkan ≥ 10% area permukaan tubuh T3 Satu atau lebih tumor kutaneus T4 Eritroderma generalisata N0 Kelenjar limfe tidak terlibat secara klinis N1 Pembesaran kelenjar limfe tetapi gambaran histologi normal N2 Kelenjar limfe tidak teraba secara klinis, tetapi terdapat gambaran histologi N3 Kelenjar limfe membesar dan melibatkan histologi M0 Tidak ada metastasis viseral M1 Ada metastasis viseral B0 Tidak ada sel atipikal di sirkulasi (sel Sezary) < 5% B1 Ada sel atipikal di sirkulasi (sel Sezary) ≥ 5%



Stadium klinis



Angka kelangsungan hidup 5 tahun (%) IA T1 N0 M0 96 – 100 IB T2 N0 M0 73 – 86 IIA T1-2 N1 M0 49 – 73 IIB T3 N0-1 M0 40 – 65 III T4 N0-1 M0 40 – 57 IVA T1-4 N2-3 M0 15 – 40 IVB T1-4 N0-3 M1 0 – 15 Berdasarkan perjalanan klinis dan prognosisnya, MF diklasifikasikan menjadi stadium dini (stadium IA, IB dan IIA) dan stadium lanjut (stadium IIB, III dan IV).2 2.9



Penatalaksanaan Mikosis Fungoides



11



Tujuan utama terapi adalah untuk mencapai remisi, memperbaiki kualitas hidup, memperpanjang hidup dan jika memungkinkan untuk menyembuhkan. Ketika remisi telah diperoleh, terapi pemeliharaan diperlukan untuk mencegah kekambuhan.4 EORTC Cutaneous Lymphoma Task Force merekomendasi pedoman pengobatan untuk MF/sindrom Sezary berdasarkan stadium penyakit dan dibagi menjadi 2 tahap pengobatan (lini pertama dan lini kedua). -



Lini pertama, pengobatan untuk stadium IA, IB dan IIA antara lain PUVA, UVB (lesi makula), steroid topikal, radioterapi lokal, total skin electron beam therapy (TSEB), HN2 topikal dan BCNU topikal.



-



Lini kedua pengobatan untuk stadium IA, IB dan IIA dibagi menjadi terapi sistemik dan terapi lokal. Pilihan terapi sistemik adalah bexarotene oral, monoterapi Interferon-α (IFN- α), retinoid plus IFN-α, Denileukin diftitox, metotreksat dosis rendah, kombinasi terapi sistemik dan terapi langsung pada kulit yaitu IFN-α dan PUVA, retinoid dan PUVA, bexarotene dan PUVA.9



a. Topikal Untuk pasien dengan tahap awal MF (1A / 1B) emolien +/steroid topikal seringkali merupakan pengobatan lini pertama. Steroid topikal yang poten dapat menghasilkan respons klinis walaupun biasanya berumur pendek. Pilihan pengobatan lainnya termasuk mustard nitrogen topikal dan carmustine topikal meskipun kedua perawatan terakhir ini kurang umum digunakan.10 b. Fototerapi Phototherapy adalah standar perawatan untuk pasien dengan tahap awal MF. Ada tingkat remisi yang tinggi dan bisa menghasilkan durasi tanggapan yang masuk akal. Tidak diketahui apakah fototerapi mempengaruhi waktu terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup



12



spesifik penyakit pada pasien dengan penyakit stadium awal yang berisiko mengalami perkembangan penyakit.10 -



Fototerapi UVB Fototerapi narrowband UVB (TL-01; 311-313nm) dan broadband UVB (290-320nm) dapat menghasilkan tingkat remisi yang tinggi dengan durasi respons yang lama.



-



PUVA foto-kemoterapi Tingkat remisi yang sangat tinggi telah ditetapkan untuk PUVA pada tahap awal MF Durasi respon dapat berlangsung lama namun bervariasi. Pasien dengan eritroderma MF dapat merespons PUVA namun pruritus dapat diperparah dan seringkali tidak dapat ditolerir. PUVA dapat digunakan sebagai terapi penyelamatan setelah pengobatan lain untuk penyakit tingkat tinggi.



-



Kombinasi regimen PUVA Pada pasien yang hanya menunjukkan respons parsial terhadap PUVA atau untuk mengurangi dosis UVA kumulatif secara keseluruhan, penambahan agen sistemik dapat dipertimbangkan.10 c. Radioterapi MF sangat radiosensitif dan terlokalisasi (orthovoltage superfisial atau elektron) digunakan baik pada tahap awal maupun akhir. Lebih dari 90% plak dan tumor diatasi setelah radioterapi superfisial. Kekambuhan di lapangan dapat terjadi karena lesi yang diobati dengan dosis rendah namun penggunaan dosis rendah (40gy dalam 2-3 fraksi harian pada 80-120kv) memungkinkan pengobatan bidang yang tumpang tindih dan penanganan berulang terhadap lokasi yang sulit. Radioterapi lokal juga dapat digunakan untuk tumor terisolasi yang berkembang pada latar belakang eritroderma. Radioterapi superfisial dapat digunakan untuk tumor lokal dan dosis tinggi dapat digunakan untuk penyakit nodus perifer lokal.10 d. Total Skin Electron Beam Theraphy (TSEB)



13



TSEB sangat efektif namun karena ada terapi lain yang memiliki khasiat serupa pada tahap awal penyakit, biasanya disediakan untuk tahap penyakit selanjutnya. Ini dapat digunakan pada pasien dengan penyakit progresif yang telah gagal untuk menanggapi terapi lainnya. TSEB dapat dianggap sebagai lini kedua dan terkadang terapi lini pertama untuk pasien dengan MF eritroderma tanpa keterlibatan darah perifer.11 e. Terapi Biologik Sistemik -



Interferon Alpha Interferon α dapat dipertimbangkan pada pasien yang gagal merespons secara memadai terhadap terapi yang diarahkan pada



kulit



atau



yang



memiliki



penyakit



progresif.



Tanggapannya terlihat pada tahap awal penyakit. Dosis yang lebih tinggi menghasilkan respons yang lebih baik namun dikaitkan dengan efek samping yang signifikan termasuk gejala mirip flu, kelesuan dan limfopenia, pada banyak pasien yang membatasi eskalasi dosis.10 -



Retinoid Bexarotene telah menunjukkan kemanjuran yang signifikan dan durasi respon yang baik dengan tingkat perkembangan penyakit yang



rendah.



Efek



samping



yang



umum



termasuk



hipertrigliseridaemia yang signifikan dan hipotiroidisme sentral universal yang memerlukan pemantauan secara teratur, penggunaan agen penurunan berat badan dan tiroid termasuk fibrate.10 -



Denileukin Diftitox (Difteri Difusi IL-2) Denileukin Diftitox efektif pada pasien dengan pra-perawatan berat dengan stadium lanjut penyakit dan kemanjurannya dapat ditingkatkan dengan mengkombinasikan dengan Bexarotene.11



f. Terapi antibodi



14



Alemtuzumab



(Campath-1H



-antibodi



anti-cd52



yang



diimunisasi) telah digunakan pada kohort kecil pasien dengan penyakit lanjut dengan tingkat respons yang menggembirakan. Durasi respons mungkin singkat tapi tetap merupakan pilihan terapi lini kedua dan ketiga yang penting untuk pasien dengan penyakit lanjut.10 g. Ekstrasorporeal photopheresis (ECP) ECP adalah pengobatan yang efektif pada CTCL eritroderma dengan tingkat respons keseluruhan 35-71%.10 h. Kemoterapi Baik agen tunggal (misalnya chlorambucil, Methotrexate, Gemcitibine) atau kombinasi kemoterapi untuk penyakit lanjut dapat dipertimbangkan. Pasien dengan CTCL berisiko tinggi mengalami septikemia dan kematian terkait terapi dengan kombinasi kemoterapi adalah risiko yang signifikan, dan oleh karena itu kualitas hidup pasien harus selalu dipertimbangkan sebelum memberikan rejimen kemoterapi yang beroksigen dengan keefektifan terbatas.11 i. Stem Cell/transplantasi sumsum tulang Transplantasi sel induk autologous telah dilakukan pada sejumlah kecil pasien dan tampaknya terkait dengan remisi jangka pendek pada sebagian besar pasien.10 Efek samping pengobatan akan tergantung pada banyak faktor termasuk jenis pengobatan (seperti lokasi, radiasi, dsb) dan dosis, usia pasien dan kondisi medis lain pada pasien. Terapi bisa menyebabkan kelelahan, mual, demam, menggigil, pusing, gumpalan darah, infertilitas dan lainnya efek. Beberapa pilihan pengobatan, seperti retinoid, dapat menyebabkan cacat lahir. Sebagian besar efek samping terapi akan hilang setelah pengobatan selesai.11 2.10 Prognosis Mikosis Fungoides



15



Parameter prognosis yang paling penting adalah di tahap diagnosis, tidak adanya penyembuhan setelah pengobatan pertama, usia, ras (prognosis yang lebih buruk pada orang hitam, tapi ini mungkin terkait juga dengan akses yang berbeda terhadap terapi). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kelangsungan hidup telah diamati antara tahap Ia dan Ib (klasifikasi TNM), atau antara pasien dengan tumor dan erythroderma. Setelah penyebaran ekstrakutan berlangsung, parameter prognostik tidak memiliki pengaruh pada kelangsungan hidup, dan prognosis buruk. Deteksi klon ganas dalam darah adalah kriteria prognostik independen, sedangkan implikasi yang tepat dari deteksi klon dalam kulit di fase awal penyakit ini belum jelas. Akhirnya, analisis fitur histopatologi dari spesimen biopsi dari mikosis fungoides awal gagal mendeteksi parameter histologis yang bisa membantu memprediksi perkembangan (atau tidak adanya kemajuan) dari penyakit. Setelah penyakit menjadi sistemik, prognosisnya jauh lebih buruk oleh karena itu, sangat penting untuk menentukan tingkat kepastian diagnosis yang ditentukan oleh dokter untuk menentukan histopatologi dan hasil tes biopsi kulit.12 2.11 Diagnosis banding Mikosis Fungoides Stadium makula/plak tersebut didiagnosis banding dengan dermatitis kronis, psoriasis, dermatitis kontak, eksema atau tinea korporis, sedangkan stadium tumor didiagnosis banding dengan limfoma sel-B, karsinoma kutis, sarkoidosis, deep mycosis, kusta atau leismaniasis.4, a. Mikosis Fungides 



Multiple , besarnya (5cm) dengan ukuran dan bentuk tidak beraturan.







Kulit yang dilindungi matahari.







Menetap dan perkembangan lambat.



b. Psoriasis tipe plak 



Plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama berwarna keperakan adalah karakteristik tetapi tidak harus ada



16







Daerah yang terkena biasanya: siku, lutut, kepala, celah intergluteal, palmar dan plantar







Kadang-kadang genitalia juga terkena



c. Tinea korporis 



Ruam yang gatal di badan, ekstremitas atau wajah.







Mengenai kulit berambut halus, keluhan gatal terutama bila berkeringat







secara klinis tampak lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif karena tanda radang lebih jelas, dan polimorfi yang terdiri atas eritema, skuama, dan kadang papul dan vesikel di tepi, normal di tengah (central healing).



d. Chroic ACD (Chronic Allergic Contact Dermatitis) 



Eritematosa / bersisik, patches dan plakat berbatas tegas.







Distribusi menimbulkan suatu agen eksogen







Asosiasi dengan alergen.



e. DIP (Drug-Induced Pseudolymphoma) 



Pengobatan baru







Solitery sampai multiple papula, plak, atau nodul







Sindrom dengan erupsi makulopapular, limfadenopati, eosinofilia, dan gejala sistemik.13



BAB III PENUTUP



17



Mikosis fungoides (MF) merupakan salah satu bentuk tersering cutaneous T-cell lymphoma (CTCL). CTCL merupakan kelompok spesifik limfoma nonHodgkin ekstranodal yang umumnya ditandai adanya manifestasi primer pada kulit. Mikosis fungoides memiliki 3 tipe berdasarkan stadium perjalanan penyakitnya yaitu tiper patch, plak dan tumor. Pada stadium awal gejala klinis yang timbul tidak khas sehingga pasien sering didagnosis dengan penyakit lain. Pada stadium patch didapatkan eritematosa, lesi halus (bisa tunggal/ganda), Lesi patch bisa sangat gatal atau tanpa gejala. Pada Plak biasanya berwarna merahcoklat dan berbatas tegas, tetapi plak bisa bergabung membentuk pola annular, arciform, atau pola serpiginous, kadang-kadang tampak bersih pada bagian tengah. Pada tahap tumor, Lesi biasanya keunguan, eksofitik, tumor berbentuk jamur yang biasanya didapatkan di lipatan wajah dan tubuh. Penentu diagnosis dalam kasus ini adalah dengan pemeriksaan histopatologi. Mikosis fungoides terbagi kedalam beberapa stadium dari stadium I – IV. Terapi yang diberikan bervariasi bergantung pada kondisi klinis, luasnya lesi dan stadium penyakit. Terpai pada mikosis fungoides dapat berupa topikal, fototerapi, kemoterapi, radioterapi, terapi biologi sistemik hingga stem cell dan transplantasi. Keterlambatan diagnosis dan terapi dapat memperburuk prognosis.



DAFTAR PUSTAKA



18



1. Budhiani S, Anwar AI,. Terapi Mikosis Fungiodes Dengan Steroid topikal Dan Metotreksat. MDVI Vol. 41 No. 2 Tahun 2014; 70 – 721. Diakses pada tanggal 16 September 2018 dari: https:// repository.unhas.ac.id. 2014 2. Supriyantini IDA, Winaya KK,. Mikosis Fungoides Yang Sebelumnya Diduga Sebagai Deep Mycosis. MDVI Vol. 42 No. 3 Tahun 2015;128 -135. Diakses pada tanggal 16 September 2018 dari: www.perdoski.or.id. 2015 3. Annissa MN, dkk,. Sweet Syndrome Yang Diduga Sebagai Keganasan. MDVI Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 49 – 54. Diakses pada tanggal 16 September 2018 dari: https://anzdoc.com. 2011 4. Beyer M, Sterry W. Cutaneous lymphoma. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012. h.1745-66. 5. Beyer M, Mobs M, Humme D, Sterry W. Pathogenesis of mycosis fungoides. JDDG. 2011; 9: 594–8. 6. Girardi M, Heald PW, Wilson LD. The pathogenesis of mycosis fungoides. N Engl J Med. 2004 May 6. 350(19):1978-88 7. Keehn CA. Et all. The Diagnosis, Staging, and Treatment Options for Mycosis Fungoides. Vol. 14, No. 2. Diakses pada tanggal 18 September 2018 dari https://moffitt.org 8. Shankland KR, Armitage JO, Hancock BW. Non-Hodgkin lymphoma. Lancet 2012; 380: 848–857. 9. Ilijin I, et all. Folliculotropic Mycosis Fungoides - A Case Report. Serbian Journal of Dermatology and Venereology 2016; 8 (4): 213-220l. Diakses pada tanggal 18 September dari https://www.researchgate.net/publication/316846659 10. Brazzelli V, Antoninetti M, Palazzini S, Prestinari F, Borroni G. Narrow-band ultraviolet therapy in early-stage mycosis fungoides: study on 20 patients. Photodermatol Photoimmunol Photomed. 2007; 23: 229–33. Diakses pada tanggal 18 September dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17986058 11. London Cancer. Guidelines for Cutaneous Lymphoma and Referral to Cutaneous Lymphoma Supranetwork. England. 2015; p 3 – 5. Diakses pada tanggal 18 September dari: www.londoncancer.org/.../london-cancercutaneous-lymphoma-guidelines 12. Kelati a, et all. Defining the mimics and clinico-histological diagnosis criteria for mycosis fungoides to minimize misdiagnosis. International Journal ofWomen's Dermatology 3 (2017) 100–10. Diakses pada tanggal 18 September dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28560304 13. David P, et all. Selected Inflammatory Imitators of Mycosis Fungoides Histologic Features and Utility of Ancillary Studies. Arch Pathol Lab Med—



19



Vol 138, October 2014. Diakses pada tanggal 18 September dari : https://www.researchgate.net/.../266324003 14. Strutton G. Cutaneous infiltrates-lymphomatous and leukemic. Dalam: Weedon D, penyunting. Weedon’s skin pathology. Edisi ke-3. British: Churchill Livingstone; 2010. h. 972-80 15. Cerroni L, Gatter K, Kerl H, editors. Skin lymphoma. The illustrated guide. 3rd ed. Oxford, UK: Wiley-Blackwell; 2009. pp. 11–56. Chapter 2, Mycosis fungoides



20