Referat Polisitemia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT “Polisitemia” Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto



Disusun oleh Heriberty Chindy Sulisty 11 – 2017 – 265



Pembimbing : dr. Agus Patmono, SpPD, FS, MARS



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 2018



LEMBAR PENGESAHAN



REFERAT “Polisitemia”



Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto



Disusun oleh:



Heriberty Chindy Sulisty



112017265



Telah Disetujui oleh Pembimbing:



Nama Pembimbing



dr. Agus Patmono, SpPD, FS, MARS



Tanda Tangan



Tanggal



.................



..................



Mengesahkan:



Koordinator Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam



dr. Rushwandi, SpPD, K-GEH



KATA PENGANTAR



Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena pada kesempatan kali ini, penulis bisa menyelesaikan tugas laporan kasus yang diberi judul “Pansitopeni et causa Suspek Sindrom Mielodisplastik”. Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai “Pansitopeni et causa Suspek Sindrom Mielodisplastik” dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, dr. Djoko Wibisono, SpPD, KGH, FINASIM yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari dokter pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan masukan yang berguna bagi penulis. Lepas dari segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga laporan kasus ini membawa manfaat bagi kita semua.



Jakarta, Juli 2018



Penulis



DAFTAR ISI



LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... ii KATA PENGANTAR ...................................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 2 2.1. Definisi............................................................................................................ 2 2.2. Etiologi............................................................................................................ 2 2.3. Epidemiologi................................................................................................... 3 2.4. Patofisiologi.................................................................................................... 4 2.5. Manifestasi Klinik.......................................................................................... 6 2.6. Diagnosis........................................................................................................ 8 2.7. Pemeriksaan................................................................................................... 12 2.8. Penatalaksanaan............................................................................................. 14 BAB III KESIMPULAN................................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................20



BAB I PENDAHULUAN



Polisitemia didefinisikan sebagai peningkatan jumlah sel darah merah di dalam darah yang beredar melebihi nilai normal. Istilah eritrositosis sering digunakan secara bergantian dengan polisitemia, namun keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Eritrositosis mengacu kepada keadaan dimana terjadi peningkatan massa sel darah merah, sedangkan polisitemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah sel darah merah. Ada dua jenis utama polisitemia yaitu polisitemia primer (polisitemia vera) dan polisitemia sekunder. Polisitemia vera disebut juga sebagai polisitemia splenomegalik, eritrositosis megalosplenik, penyakit Vaquez’s, penyakit Osler’s, polisitemia mielopati, polisitemia kriptogenik.1 Polisitemia vera adalah suatu gangguan klonal yang melibatkan suatu sel progenitor hematopoietik dimana sel darah merah, granulosit, dan trombosit terakumulasi tanpa adanya suatu stimulus fisiologis yang dikenal, sedangkan polisitemia sekunder umumnya terjadi sebagai respon terhadap faktor-faktor lain atau kondisi yang mendasarinya.2 Pasien dengan polisitemia vera mengalami proliferasi yang progresif bukan hanya pada komponen eritroid, tetapi juga pada komponen mieloid dan megakariosit yang terjadi di dalam sumsum tulang, sehingga manifestasinya berupa peningkatan massa sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.3 Polisitemia biasanya dialami oleh pasien pada rentang usia 40-60 tahun, dengan perbandingan pria dan wanita adalah 2:1 dan dilaporkan insiden polisitemia vera adalah 2,3 per 100.000 populasi dalam setahun.1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1.



Definisi Polisitemia didefinisikan sebagai peningkatan jumlah sel darah merah di dalam darah



yang beredar melebihi nilai normal. Istilah eritrositosis sering digunakan secara bergantian dengan polisitemia, namun keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Eritrositosis mengacu kepada keadaan dimana terjadi peningkatan massa sel darah merah, sedangkan polisitemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah sel darah merah.2 Peningkatan jumlah sel darah merah tidak selalu disertai sekaligus dengan kenaikan jumlah hemoglobin dan hematokrit. Perlu dibedakan antara polisitemia absolut dan polisitemia relatif yang terjadi melalui hilangnya plasma darah, sehingga konsentrasi sel darah merah yang beredar lebih tinggi. Ada dua jenis utama polisitemia yaitu polisitemia primer (polisitemia vera) dan polisitemia sekunder. Kata polisitemia vera berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti poly (banyak), cyt (sel), dan hemia (darah) sedangkan vera (benar), yang berarti bahwa polisitemia terjadi tidak disebabkan oleh adanya gangguan lain. Sedangkan, polisitemia sekunder umumnya terjadi sebagai respon terhadap faktor-faktor lain atau kondisi yang mendasarinya atau gangguan seperti tumor hati, tumor ginjal, dan sindrom Cushing. 2.2.



Etiologi Penyebab terjadinya polisitemia vera tidak diketahui, meskipun kelainan kromosom



seperti delesi 20q, trisomi 8, dan trisomi 9 telah tercatat pada hingga 30% pasien polisitemia vera yang tidak diterapi. Namun, sebuah mutasi pada domain autoinhibitor pseudokinase pada tirosin kinase JAK2 yang mengubah valin menjadi fenilalanin (JAK2V617F exon 14), menyebabkan konstitusi aktifasi ainase tampak memiliki peran utama dalam patogenesis dari polisitemia vera.2 Hampir semua pasien polisitemia vera mengalami aktivasi mutasi pada ekson 14, dan ada beberapa pasien dengan polisitemia vera yang mengalami mutasi pada ekson 12 atau mutasi lainnya.4 Salah satu penelitian sitogenetika menunjukkan adanya kariotipe abnormal di sel induk



hemopoesis pada pasien dengan polisitemia vera dimana tergantung dari stadium penyakit, ratarata 20% pada pasien polisitemia vera pada saat terdiagnosis dan meningkat 80% setelah diikuti lebih dari 10 tahun. Beberapa kelainan tersebut sama dengan penyakit mielodisplase sindrom yaitu: delesi 20q (8,4%), delesi 13q (3%), trisomi 8 (7%), trisomi 9 (7%), trisomi 2q (4%), delesi 5q atau monosomi 5 (3%), delesi 7q atau monosomi 7 (1%).1 JAK2 adalah tirosin kinase non-membran yang diketahui terlibat dalam jalur transduksi sinyal untuk beberapa growth factor dan berfungsi sebagai perantara reseptor membran dengan molekul sinyal intraselular. Mutasi gen ini terjadi pada 95% pasien polisitemia vera.2 Adanya mutasi gen JAK2V617F berdasarkan WHO, telah ditentukan menjadi salah satu kriteria untuk polisitemia vera. Selain itu, penurunan alel JAK2 merupakan salah satu kriteria yang digunakan oleh European Leukemia Net (ELN) Working Group untuk menilai respons terapi pada pasien polisitemia vera. Hal ini juga masih menjadi kontroversi karena berdasarkan penelitian Kuriakose et al respons hematologi pada polisitemia vera seringkali tidak diikuti oleh respons molekular berupa perubahan penurunan alel JAK2V617F.1 Polisitemia sekunder umumnya terjadi sebagai respon terhadap faktor-faktor lain atau kondisi yang mendasarinya, seperti tumor hati, tumor ginjal, atau sindroma Cushing. Polisitemia sekunder juga dapat disebabkan oleh peningkatan eritropoietin (EPO) baik dalam respon terhadap hipoksia kronis atau dari tumor yang mensekresi eritropoietin, perilaku, gaya hidup seperti merokok, tinggal di tempat yang tinggi, penyakit paru-paru kronis, riwayat jantung bawaan.5 2.3.



Epidemiologi Polisitemia vera biasanya dialami oleh pasien pada rentang usia 40-60 tahun, dengan



perbandingan pria dan wanita adalah 2:1 dan dilaporkan angka kejadian polisitemia vera adalah 2,3 per 100.000 populasi dalam setahun. Keseriusan penyakit polisitemia vera dapat terlihat dengan survival median pasien tanpa pengobatan adalah 1,5-3 tahun, sedangkan pasien dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.1 Polisitemia vera memiliki angka prevalensi jauh lebih tinggi daripada mielofibrosis (44-57 per 100.000 berbanding 4-6 per 100.000). Di Eropa, angka kejadian polisitemia vera berkisar antara 0,4 hingga 2,8



per 100.000 orang per tahun, di



Amerika Serikat angka kejadian polisitemia berkisar 0,8 hingga 1,3 per 100.000 orang per tahun6, sedangkan di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadiannya. Pasien dengan



polisitemia vera memiliki risiko kematian 1,6 kali lipat lebih lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Survival median pada polisitemia vera jauh lebih rendah pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun dan/atau memiliki riwayat trombosis.3 2.4.



Patofisiologi Patogenesis polisitemia vera jauh lebih berkembang setelah teridentifikasi adanya mutasi



pada gen Janus Kinase 2 (JAK2) pada hampir semua pasien polisitemia vera. Mutasi klasik pada JAK2V167F ditemukan pada 96% pasien polisitemia vera dan mutasi JAK2 ekson 12 pada 3% pasien polisitemia vera.7 Transduksi sinyal merupakan elemen penting dalam fisiologi tubuh manusia. Eritropoiesis yang tergantung pada eritropoietin (EPO) melibatkan molekul-molekul tambahan dan regulator yaitu EPO receptor (EPOR), Janus Kinase 2, Signal Transducers and Activators of Transcription (STATs; STAT1, STAT3, STAT 5), STC (family of tyrosine kinase) homology 2 (SH2) domain-containing protein tyrosine phosphatases (SH-PTPs, SH-PTP1, SH-PTP2), Src phosphoinositide 3 kinase, dan mitogen-activated protein kinase. Adanya defek pada salah satu molekul tersebut memungkinkan mendasari terjadinya proliferasi eritroid yang tidak bergantung pada eritropoeion (EPO). Dalam keadaan normal proses eritropoiesis dimulai dengan ikatan eritropoetin (EPO) dengan reseptornya (EPO-R), kemudian terjadi fosforilasi pada protein JAK, yang selanjutnya mengaktivasi molekul Signal Transducers and Activators of Transcription (STAT), molekul STAT masuk ke dalam inti sel dan terjadi proses transkripsi. Pada polisitemia vera terjadi mutasi yang terletak pada posisi 617 (V617F) sehingga menyebabkan kesalahan pengkodean quinintimin menjadi valin-fenilalanin sehingga proses eritropoiesis tidak memerlukan eritropoietin. Sehingga pada pasien polisitemia vera serum eritropoietinnya rendah yaitu 400.000/ml), basofilia (hitung basofil >65/ml), splenomegali, hepatomegali, laju siklus sel yang tinggi, defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan penurunan laju transpor oksigen dan penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), dan lebih jauh lagi akan menyebabkan eritrostasis sebagai akibat dari terjadinya penggumpalan eritrosit. Hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi target organ (iskemia/infark) seperti di otak, penglihatan, pendengaran, jantung, paru, dan ekstremitas. Penurunan kecepatan aliran (shear rate) akan menimbulkan terjadinya gangguan hemostasis primer yaitu agregasi trombosit pada endotel. Hal tersebut akan menyebabkan timbulnya perdarahan, walaupun jumlah trombosit >450.000/ml. Perdarahan terjadi pada 10-30% kasus polisitemia vera, dan manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis, dan perdarahan gastrointestinal. Trombositosis dapat menimbulkan trombosis, pada polisitemia vera tidak ada korelasi trombositosis dengan trombosis. Trombosis vena atau tromboflebitis dengan emboli terjadi pada 30-50% kasus polisitemia vera. Lima puluh persen kasus polisitemia vera datang dengan keluhan gatal (pruritus) di seluruh tubuh terutama setelah mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia vera datang dengan urtikaria yang merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam darah. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningkatan kadar histamin. Splenomegali tercatat pada sekitar 70% pasien polisitemia vera, hal ini terjadi sebagai akibat sekunder dari hiperaktif hemopoiesis ekstra medular. Selain splenomegali, hepatomegali juga dijumpai pada pasien polisitemia vera juga sebagai akibat sekunder dari hiperaktif hemopoiesis ekstra medular, dengan persentase kira-kira sejumlah 40%. Selanjutnya, akibat dari hiperaktif hemopoiesis dan splenomegali adalah sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak sehingga produksi asam urat darah akan meningkat dan di sisi lain



laju filtrasi glomerular menurun karena penurunan shear rate. Artritis gout dijumpai pada 5-10% kasus polisitemia vera. Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi asam folat dan vitamin B12, hal ini dijumpai pada sekitar 30% kasus polisitemia vera karena penggunaan/metabolisme untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B12 (UB12 – protein binding capacity) dijumpai meningkat pada >75% kasus. Seperti diketahui, defisiensi asam folat dan vitamin B12 memegang peran dalam timbulnya kelainan kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.optikus, serta psikosis.1 2.6.



Diagnosis Polisitemia Vera Pasien dengan eritrositosis dan leukositosis, trombositosis, atau splenomegali, atau



kombinasi dari antaranya, dapat ditegakkan diagnosis sebagai polisitemia vera. Namun, ketika pasien datang dengan peningkatan hemoglobin atau peningkatan hematokrit saja, evaluasi diagnostik lebih kompleks karena banyak kemungkinan diagnostik (Tabel 1). Ketika kadar hemoglobin ≥20g/dL (hematokrit ≥60%), tidak mungkin membedakan eritrositosis yang sebenarnya dari gangguan yang menyebabkan kontraksi dari volume plasma. Hal ini disebabkan karena tidak seperti pada polisitemia vera, berbeda dengan penyebab lain dari, terdapat ekspansi volume plasma, yang dapat menutupi peningkatan massa sel darah merah, sehingga penentuan massa sel darah merah dan volume plasma diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya eritrositosis relatif yang disebabkan oleh penurunan volume plasma (sindrom Gaisbӧck). Pemeriksaan terhadap adanya mutasi JAK2 pada saturasi oksigen di arteri yang normal memberikan pendekatan diagnostik alternatif untuk eritrositosis ketika massa sel darah merah dan volume plasma tidak tersedia, jumlah eritropoietin serum yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis polisitemia vera, tetapi tingkat eritropoietin yang tinggi lebih konsisten dengan eritrositosis sekunder.2



Tabel 1. Faktor- Faktor Penyebab Eritrositosis2



Pemeriksaan laboratorium lainnya yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis adalah jumlah sel darah merah, volume rata-rata korpuskular (Mean Corpuscular Volume), dan lebar distribusi sel darah merah (Red Cell Distribution Width), terutama ketika kadar hematokrit 400.000/ml







Leukositosis: leukosit ≥12.000/ml (tidak ada infeksi)







Neutrophil Alkaline Phospathase (NAP) score meningkat >100







Kadar vitamin B12 >900 pg/ml dan atau UB12BC dalam serum ≥220 pg/ml



Dalam beberapa literatur disebutkan usulan modifikasi kriteria diagnosis PV sebagai berikut: Kategori A 



Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25% di atas rata-rata angka normal atau Packed Cell Volume pada laki-laki >0,6 atau pada perempuan 0,56







Tidak ada penyebab polisitemia sekunder







Splenomegali yang teraba







Penanda klon abnormal (kariotipe abnormal)



Kategori B 



Trombositosis >400.000 per mm3







Jumlah neutrofil >10 x 109/L dan bagi perokok >125 x 109/L







Splenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau ultrasonografi







Penurunan serum eritropoietin BFU-E growth yang karakteristik



Diagnosis polisitemia vera terbagi menjadi dua kategori, yaitu A1 +A2 dan A3 atau A4 atau A1 + A2 dan 2 kriteria kategori B Jika massa sel darah merah normal (32 mlg/kg pada perempuan), kadar eritropoitin serum harus diukur. Jika tingkat eritropoitin rendah atau tidak terukur, pasien kemungkinan besar memiliki polisitemia vera. Mutasi pada JAK2 yang merupakan dapat ditemukan pada 90-95% pasien dengan polisitemia vera. Pada pasien yang tidak mengalami mutasi pada JAK2 biasanya mengalami mutasi pada ekson 12. Selain itu juga dilakukan ultrasound abdomen untuk menilai ukuran limpa. Hasil yang mendukung diagnosis dari polisitemia vera adalah peningkatan jumlah sel darah putih, peningkatan jumlah basofil absolut, dan trombositosis. Jika kadar eritropoitin meningkat, perlu dibedakan apakah peningkatan tersebut merupakan respon fisiologis terhadap hipoksia atau terkait dengan produksi eritropoitin autonom. Pasien dengan saturasi oksigen arteri rendah (16,5 g/dL atau hematokrit 49% untuk laki-laki dan hemoglobin >16 g/dL atau hematokrit 48% untuk perempuan. Selain itu, penilaian morfologi sumsum tulang juga dianjurkan, untuk membedakan polisitemia vera dari trombositemia esensial yang juga mengalami mutasi JAK2 dan untuk memperoleh informasi sitogenetika.8 Pada polisitemia vera, kadar eritropoitin biasanya tidak terdeteksi atau di bawah normal, kadar alkasi fosfatase leukosit, kapasitas pengikatan vitamin B12 serta kadar vitamin B12 dan jumlah trombosit serta jumlah total sel darah putih biasanya meninggi dan splenomegali sering dijumpai. Kadar asam urat dan LDH (laktat dehidrogenase) dalam serum dapat meningkat. Sumsum tulang memperlihatkan hiperplasia semua unsur. Pada polisitemia sekunder dengan hipoksia, PaCO2 biasanya menurun, kadar eritropoitin meninggi, sementara kadar alkali fosfatase leukosit,kadar vitamin B12 dalam serum, jumlah trombosit, jumlah total sel darah putih dan hitung jenis, semuanya biasanya normal. Hepar dan lien tidak membesar, dan sumsum tulang hanya memperlihatkan hyperplasia eritroid. Dalam keadaan tanpa adanya polisitemia vera atau polisitemia sekunder akibat hipoksia atau tumor, jenis hemoglobin dengan afinitas yang tinggi terhadap oksigen harus dicari. Pemeriksaan



bagi



pasien



polisitemia



harus



mencakup



foto



rontgen



toraks,



elektrokardiogram, dan penentuan saturasi oksigen dalam darah arteri untuk mencari penyakit pada jantung serta paru-paru. Di samping itu, pemeriksaan imaging harus dilakukan terhadap lien untuk menilai ukurannya dan terhadap ginjal untuk mencari lesi yang menghasilka eritropoitin. Pada pasien yang tidak terlihat menderita polisitemia vera ataupun hipoksemia, afinitas oksigen pada hemoglobin pasien, yaitu PO2 dengan 50% hemoglobin mengalami deoksigenasi (P50) harus diukur untuk mendeteksi hemoglobin yang tidak mampu melepaskan oksigen secara normal.2



2.7.1. Pemeriksaan Laboratorium1 2.7.1.1.Eritrosit Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6 juta/ml pada pria dan >5,5 juta/ml pada perempuan, dan sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia myeloid di akhir perjalanan penyakit. 2.7.1.2.Granulosit Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada 2/3 kasus polisitemia vera, berkisar antara 12.000-25.000/ml tetapi dapat sampai 60.000/ml. Pada dua pertiga kasus ini juga terdapat basofilia. 2.7.1.3.Trombosit Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450.000-800.000/ml, bahkan dapat >1 juta/ml. Sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal. Berdasarkan jumlah trombosit, penggolongan faktor risiko polisitemia vera dapat dibagi menjadi risiko rendah, risiko menengah, dan risiko tinggi (Tabel 2). Tabel 2. Faktor Risiko Polisitemia Vera9 Kategori Faktor Risiko



Faktor Risiko



Risiko rendah



Umur ≤60 tahun dan tidak ada riwayat trombosis dan jumlah trombosit 150.000/mm3 atau ada risiko kardiovaskular



Risiko tinggi



Umur >60 tahun atau ada riwayat kardiovaskular



2.7.1.4.B12 serum B12 serum dapat meningkat, hal ini dijumpai pada 35% kasus dan dapat pula menurun, hal ini dijumpai pada ± 30% kasus, dan kadar UB12 meningkat pada >75% kasus polisitemia vera. 2.7.2. Pemeriksaan Sumsum Tulang1 Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnosis kecuali terdapat kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi



sumsum tulang menunjukkan adanya peningkatan selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari seri eritrosit, megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari histopatologi sumsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan pertanda patognomonik dari polisitemia vera. 2.7.3. Pemeriksaan Sitogenetika1 Pada pasien polisitemia vera yang belum mendapatkan pengobatan P53 atau kemoterapi sitostatika dapat dijumpai kariotipe. Variasi abnormalitas sitogenetika dapat dijumpai selain yang telah disebutkan di atas terutama jika telah mendapat pengobatan P53 atau kemoterapi sitostatika sebelumnya.



2.8.



Penatalaksanaan Polisitemia



2.8.1. Prinsip Pengobatan1 Prinsip dari pengobatan adalah menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengontrol eritropoesis dengan flebotomi, menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia yang belum terkontrol, menghindari pengobatan berlebihan (over treatment), menghindari obat mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda, mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor radioaktif atau kemoterapi sitostatika pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan trombositosis persisten di atas 800.000/ml, terutama jika disertai gejala thrombosis, leukositosis progresif, splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik, dan gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosutia yang sulit diatasi 2.8.2. Media Pengobatan 2.8.2.1.Flebotomi1 Flebotomi dapat merupakan pengobatan adekuat bagi seorang pasien polisitemia selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi dilakukan flebotomi adalah polisitemia sekunder fisiologis, hanya dilakukan jika hematokrit >55% dan pada polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat



hiperviskositas dan penurunan shear rate, atau sebagai penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik. Pada polisitemia vera tujuan prosedur flebotomi adalah untuk mempertahankan hematokrit 800.000/mm3). Produk biologi yang digunakan adalah Interferon alpha (IFN-α). Interferon α (Intron-A 3 & 5 juta IU, Roveron-A 3 & 9 juta IU) digunakan terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat dikontrol, dosis yang dianjurkan 2 juta IU/m2 SC atau IM 3 kali seminggu. Kebanyakan klinisi mengkombinasikan dengan sitostatika Siklofosfamis (Cytoxan ®25mg & 50mg/tablet) dengan dosis 100 mg/m2/hari, selama 10-14 hari atau sampai target telah tercapai (hitung trombosit